ALL CATEGORY
Balada Partai Demokrat Amerika & Demokrat SBY
PARTAI Demoktrat Amerika punya akar sejarah dan idiologi jelas. Thomas Jefferson dan James Madison, Presiden Amerika ke-3 dan ke-4 ini berada langsung di jantung Demokrat Amerika. Partai Demokrat Amerika adalah kelanjutan dari kaukus Republik-Demokrat, sebelum akhirnya berubah menjelma menjadi Demokrat saja. Kaukus ini diotaki langsung oleh Thomas Jefferson dan James Madison, arsitek dibalik lahirnya UUD Amerika, sekaligus pencipta konsep Presidensial. Garis politiknya top dan berkelas. Sangat jelas. Bukan pemerintahan Federal yang supreme, tetapi pemerintah lokal. Bukan aristokrat, tuan tanah yang kaya di belahan Utara Amerika yang supreme. Tetapi petani di belahan Selatan Amerika yang supreme. Itulah cikal-bakal demokrat Amerika. Property Keluarga Cikeas? Bagaiman dengan demokrat SBY? Ah ini dia problemnya. Sangat tidak jelas posisinya. Tak pro kepada konglomerat, tetapi memiliki jarak yang jauh miliaran mil dengan petani kecil dan rakyat miskin. Entah karena itu sebabnya atau bukan, Demokrat SBY sejauh ini terlihat asyik sendiri dengan caranya, entah dirancang sendiri oleh SBY atau kuntilanak. Apa betul SBY adalah founder utama Demokrat? Berapa duit yang ditaruh SBY pada saat Demokrat didirikan? Apakah lambang Mercy saat ini hasil rancangan SBY? Siapa pencipta mars Demokrat? SBY kah atau Max Sopacua, nyong Ambon manise ini yang menciptakan? Kalau SBY memang terlibat dari awal dalam membentuk Partai Demokrat, tidakkah saat itu SBY adalah Menkopolkamnya Presiden Megawati? Apa SBY minta izin atau beritahukan kepada Ibu Megawati? Jadi anak buah Ibu Megawati, tetapi bikin partai lalu gunakan partai itu untuk melawan Ibu Mega dalam pilpres. Etiskah itu SBY? Kalau itu tidak etis, pantaskah SBY meminta Pak Jokowi menghidupkan etika? Dari kejauhan Demokrat SBY benar-benar milik keluarga SBY. SBY jadinya semacam ”Bos of the Bos” Demokrat. Ini menarik. Mengapa menarik? Demokrat Amerika tak pernah sekalipun terindikasi sebagai property milik Thomas Jefferson dan James Madison. Top mereka. Betul-betul negarawan mereka. Apakah tanpa Demokrat, SBY kehilangan wadah politik? Kalaupun begitu, etiskah Demokrat harus dikendalikan Hadi Utomo, iparnya Ani Yudhoyono? Setelah Hadi Utomo, memang Anas Urbaningrum. Tetapi Sekjennya Mas Ibas, anak SBY juga. Lalu begitu Anas kena musibah, SBY langsung kendalikan. Setelah itu AHY, kakak Ibas, jadi Ketum dan SBY jadi Ketua Majelis Tinggi. Inikah model demokrasi SBY? Demokrat memang angkuh dalam perpolitikan mutakhir. Sikapnya pada beberapa persitiwa politik, benar-benar menjengkelkan orang. Bayangkan Demokrat begitu independen pada Bang Hatta Rajasa, Besan SBY ketika Dia jadi cawapres berpasangan dengan Jendral Prabowo Subiyanto. Entah apalah maksudnya agar terlihat hebat, atau sombong atau agar menjadi center dalam permainan politik, sehingga orang harus bolak-balik konsultasi dengan SBY, setelah AHY-Sylvia Murni tersingkir pada putaran pertama Pilgub DKI. Demokrat SBY tak mendukung sana dan sini, baik Anies-Sandi atau Ahok-Jarot. Sikap mirip ini terjadi pada pilpres 2019 kemarin. Demokrat SBY benar-benar memusingkan orang. Prabowo Subiyanto harus bolak-balik ketemu SBY. Selalu saja ada sikap Demokrat, yang bukan hanya memusingkan Prabowo, tetapi juga pendukung-pendukungnya. Itu terjadi ditengah hasrat dan ekspektasi banyak orang agar Demokrat habis-habisan memenangkan Prabowo-Sandi. Apa sikap SBY itu dipengaruhi kenyataan Prabowo-Sandi disokong habis-habisan oleh ulama dan ummat Islam? Apa susahnya bagi AHY untuk datang ke Senayan pada kampanye akbar Prabowo-Sandi yang dipadati ribuan ummat Islam? Apapun alasan dibalik itu, ummat Islam merasa menderita, dilukai oleh keangkuhan Partai Demokrat SBY. Partai Demokrat dan SBY tampil sebagai pemain solo dalam politik Indonesia. Tidak peduli pada apa penderitaan politik yang dialami oleh kolega-koleganya. SBY tak berkontribusi pada penderitaan yang dialami Golkar dibawah Bang Ical dan PPP di bawah Yan Farid. Payah amat SBY dan Partai Demokrat. Sekarang Demokrat terang-terangan mengajak orang berjuang bersama mereka menghadapi kemelut KLB di Sibolangit Seli Serdang, Sumatera Utara. Bertempat di sekretariatnya di Dekat Tugu Proklamasi, diselenggarakan mimbar bebas. Demokrat Tidak Berkelamin Ada banner yang bertuliskan “Commander Call” Ketua Partai Demokrat se-Indonesia, Rapatkan Barisan Jaga Kehormatan dan Kedaulatan Partai. Taufiqurrahman, salah seorang pimpinannya mengatakan dalam mimbar itu “pada sore hari ini, saya ingin menyampaikan pada seluruh rakyat Indonesia, bahwa dari Kantor DPP Partai Demokrat, kita akan memulai sebuah gerakan dengan nama Aliansi Rakyat Penyelamat Demokrasi". Anda waras Bung Taufiqurrahman? Memangnya Demokrat itu demokratis? Demokrat tak produktif berpihak pada rakyat miskin ko bung. Demokrat tak bersuara terhadap hukum suka-suka yang menimpa anak-anak bangsa ini. Apakah Partai Demokrat dan SBY bersuara tentang penahanan semena-mena aktvis demokras Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin Anidah? Eh, sekarang bicara minta didukung soal demokrasi, etika dan rule of law? Gawat deh Demokrat. Kemana suara SBY, AHY dan Partai Demokrat terkait penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang ditahan dengan ancaman hukuman Cuma dua tahun? Demokrat tidak bersuara juga soal unlwafull killing pada anak-anak laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Partai Demokrat SBY tidak minta agar Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha Tahu beri petunjuk pada aparat hukum agar pakai hati, pakai akal, pakai nalar dalam menegakan hukum. Apakah Partai Demokrat bodoh dan tolol untuk soal-soal yang seperti ini? Haqul yakin pasti tidak. Demokrat juga tak bersuara untuk anak-anak yang ditangkap dalam demo tolak Perubahan UU KPK. Demokrat SBY juga tak tahu ada anak-anak yang kepalanya bocor, hampir sekarat terkena benda tumpul Polisi. Demokrat SBY diam tenan atas ditangkapnya anak-anak yang menolak UU Cipta Kerja. Demokrat SBY ini payah sepayah-payahnya. Ketika tersambar KLB Sibolangit Deli Serdang, eh ajak orang bersama Demokrat menyelamatkan keadilan, demokrasi dan rule of law. Memangnya di Demokrat ada demokrasi dan rule of law? Enak aja. Senang, senangnya sendiri, ketika susah baru minta tolong orang. Jangan-jangan orang malah bilang ogah lah yaooo. Bro AHY, maju aja bersama Ibas adik anda dan SBY, ayah kalian itu. Kan ini partai punya kalian. Ya urus saja sendiri. Apalagi SBY kan jagoan. Jagoan ko minta tolong orang. Yang benar aja deh AHY dan SBY. Prilaku Moeldoko Primitif Oke itu satu hal. Seburuk itu sekalipun Demokrat SBY dan AHY, sikap Jendral (Purn) Moeldoko juga kebangetan dekil, jorok dan primitif. Yang lebih kebangetan lagi, ya sikap Presiden Jokowi. Presiden jangan pura-pura tak tahu tentang kelakuan Moeldoko ini. Moeldoko itu Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Dia berkantor di Kantor anda Pak Jokowi. Masa anda tak tahu? Mustahil pak bos tidak tahu. Apa anda, Pak Presiden telah mati rasa? Tak lagi punya rasa sebagai manusia, juga sebagai Presiden? Tidak bisakah anda pintar lagi sedikit saja? Presiden jangan bilang pemerintah tak bisa melarang orang ber-KLB. Orang bodoh juga tahu itu. Orang bodoh juga tahu masalahnya bukan di situ Pak Jokowi. Masalahnya Moeldoko itu Kepala Kantor Staf Presiden, berkantor di kantor Presiden, kantor anda Pak Presiden Jokowi. Itu masalah pokoknya. Apa anda diam-diam mau kangkangi Partai Demokrat SBY? Apa anda punya agenda mengamendemen UUD 1945, mengubah pasal 7 UUD 1945, sehingga bisa mencalonkan diri jadi Presiden lagi? Picik, licik dan primitif amat kalau itu tujuannya. Pak Presiden Jokowi, sikap anda ini mengingatkan orang atas sikap Presiden Richard Nixon, Presiden Amerika pada skandal gedung “watergate”. Itu terjadi 47 (empat puluh tujuh) tahun lalu. Perkaranya sederhana. Takut kalah pada pemilu 1972, Tim Nixon Nixon diam-diam menyadap pembicaraan-pembicaraan di Kantor Demokrat, di Washington DC. Apakah perintah melakukan wiretapping di Kantor Demokrat datang dari Nixon? Tidak juga. Perintah itu datang John Michcel, attorney general, yang pernah jadi Ketua Tim Kampanye Nixon 1968. Dialah yang merancang wiretapping itu. Selain dia, teridentifikasi dianranya Howard Hunt, mantan agen CIA, James MacCord, mantan agen FBI, Gordon Liddy, Ketua Tim Keuangan Kampanye Nixon. Semuanya terkait dengan Nixon. Merekalah yang berada di front depan kasus watergate ini. Howard Hunt yang merekrut Virgilio Gonzalez, Bernard Barker, James McCord, Eugenio Martinez, dan Frank Sturgis. Orang-orang ini yang beroperasi menyadap pembicaraan-pembicaraan di kantor Demokrat. Tak terhitung berapa kali Nixon menyangkal peristiwa itu. Tetapi Demokrat yang dominan di House of Representative dan Senat, melalui Judiciary Committe terus menggalakan penyelidikan dalam kerangka impeachment. Pada saat yang sama Mark Felt, penyelidik FBI, yang punya koneksi kuat dengan Bob Woodward dan Karl Benstein, dua jurnalis Washington Post ini, terus membagi informasi valid katagori A1 kepada keduanya. Washington Post terus memberitakannya. Pada saat yang sama Archibal Cox, Profesor hukum dari Harvard University, yang bertindak sebagai penyelidik independen, terus menemukan kenyataan top. Hari-hari berat buat Nixon tiba bersamaan House of Judiciary Committe meminta Supreme Court mengeluarkan perintah pengambilan paksa (subpoena) material recorder yang asli. Apa yang terjadi? Recorder asli yang berkali-kali ditolak Presiden Nixon untuk diserahkan kepada Judiciary Committe, akhirnya harus diserahkan juga oleh Nixon. Dan saatnya “saturday nigh massacre” tiba. Nixon mundur. Game over. Pak Jokowi anda musti ingat yang anda hadapi adalah SBY. International networkingnya Pak SBY top. Pak SBY pernah bilang, untuknya amerika adalah “second country”. Bagaimana kalau tiba-tiba Pak SBY eksploitasi habis-habisan kasus unlawfull killing enam laskar FPI di tol Japek itu? Pak Jokowi, apa anda tidak tahu bahwa urusan cetak-mencetak uang itu sama dengan menampar mukanya The Fed? Bagaimana kalau nanti Pak SBY mengeksploitasi semua itu? Bisa barabe dan berantakan semuanya lho Pak Jokowi. Terus terang saja, tidak masuk akal kalau Pak Jokowi lepas tangan dari tindakan Pak Moeldoko jijik, jorok dan primitif itu. Moeldoko ini sehari-harinya berada di kantor anda. Moeldoko tidak berkantor di luar pagar dan halaman istana. Itu fakta yang tidak bisa disangkal. Jadi, semakin anda sangkal dan lepas tangan, maka semakin beralasan SBY mencela anda sebagai orang tak punya rasa dan etika. Sikap cuek-bebek Pak Jokowi itu sama dengan seruan kepada rakyat untuk bersama SBY melawan anda.*
Jendral TNI (Purn) Gatot Memandu Etika Berpolitik
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Gini lho. Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua. Taruhlah itu hal biasa. Tetapi kalau saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu. Kemudian ketika jabatan Penglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), pasti presiden tahu. Apalagi presidennya waktu itu tentara, Pak SBY. Tidak sembarangan. Bahkan, saya dipanggil, dan bilang “kamu akan saya jadikan KSAD”. Laksanakan tugas dengan profesional. Beliau berpesan, “laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajuritmu dan keluarga dengan segenap hati dan pikiranmu”. Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden. Satu Pak Susilo Bambang Yudhoyono, satu lagi Pak Jokowi. “Terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya”? kata Gatot (Lihat Eramuslim, 9/3/2021). Alhamdulillah wasyukrillah. Hemat saya, menjadi dua kata tepat untuk diucapkan menyambut sikap timbangan etika Pak Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantiyo itu. Tepat, karena sikap itu terlampau langka di tengah kehidupan politik hari-hari ini. Sikap itu, untuk alasan apapun, harus dianggap “mutiara yang jatuh di tengah lumpur. Diangkat lagi dari lumpur, tetap saja terlihat mutiara”. Tak Mudah Menjaga Etika Saya tidak tahu berapa lama setiap habis Sholat Subuh, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo habiskan waktu hanya untuk lantunkan, tentu tanpa kata-kata lafadz “qul huwallahu ahad”. Saya juga tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Pak Gatot sehabis Sholat Magrib hanya untuk lantunkan “Ya Azizu” dan “Ya Haiyu ya Qaiyum”. Sekali lagi, saya tak tahu itu. Penjara dunia dalam “genggam kekuasaan” dengan cara kotor dan jijik rebut-merebut di lintasan yang kotor. Begitu kata para bijak, selalu indah seindah-indahnya untuk orang-orang berpakasitas rendah. Rendah dalam cita rasa etik, ahlak, harkat dan martabat. Tidak untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahaya tersembunyi dibalik indahnya dunia itu. Pengetahuan itu memang bukan pengetahuan puncak, tetapi tidak mungkin tak berada di sudut kehidupan yang tinggi. Tak mungkin tidak memerlukan usaha mendaki, sekedar untuk meraihnya dengan serba sedikit. Bukan kelelahan, tetapi nikmatnya, boleh jadi membuat pendaki tertawan merebahkan tubuh kasar dan halusnya setotal yang bisa. Apakah sikap Pak Gatot itu menandai dirinya sedang dipuncak itu? Aapakah sedang merebahkan tubuh kasar dan halusnya dalam nikmat itu? Jelas saya tak tahu. Pembaca FNN yang budiman. Sungguh tak mudah sikap yang diambil Pak Gatot. Tidak mudah untuk meremehkan hal-hal yang, oleh banyak orang-orang berkapasitas moral dan etik rendah, mati-matian memburunya. Sikap Pak Gatot itu, bukan hanya khas orang pintar. Tetapi juga khas orang-orang yang kepintarannya terbalut kalam pencipta alam semesta ini. Sekongkol menyakiti orang yang merendahkan mereka. Itu pekerjaan orang-orang yang kecil kapasitas moral dan etikanya. Pak Gatot, bagusnya tertuntun. Saya yakin, nikmat-nikmat kalam-Nya Pencipta alam semesta telah menarik jarak sejauh yang bisa dari tipuan dunia untuk memperoleh kekuasaan kecil nan rapuh itu. Subhanallah, Alhamdulillah. Budi luhur, itu hanya milik orang-orang yang berbudi. Titik, tidak lebih. Budi tidak mendekat, apalagi menjadi milik orang yang tak mengunakan sepertiga malamnya bercengkrama dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala. Budi bukan punya mereka yang terlalu enggan mengasah nafasnya dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala, suka atau tidak. Sikap dan tindak-tanduk itu cermin diri orang. Tampilan politik adalah cermin diri dan jiwa politisi. Semakin dalam politisi tenggelam dalam politik, semakin jelaslah politik praktis memburuk dalam semua seginya. Semakin suka politisi pada politik, semakin tebal sekat mereka dengan moral yang agung. Politik jenis itu akan buruk seburuk-buruknya di setiap detik hidup berbangsa dan bernegara. Sakitnya atau sialnya, politisi jenis ini tidak lagi memiliki kemampuan mengenalnya sebagai hal busuk. Semuanya ditimbang dengan moral politik ular. Bahkan binatang yang bernama ular, boleh jadi masih lebih baik. Itulah yang tak mampu untuk diti oleh Pak Gatot. Beralsan menajdikannya sebagian dari alasan apresiasi kepada Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo atas sikapnya menolak ajakan, yang saya sebut “iblis” untuk mencongkel Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Terima kasih Pak Gatot. Sikapmu bagai segelas air di tengah padang tandus, untuk seorang pengembara yang tertawan kehausan. Saya tak bilang ini satu teladan kecil di tengah mengeringnya teladan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini. Tetapi untuk beberapa hal, saya ingin melihat ini sebagai cahaya rembulan di tengah kegelapan gulita malam. Memberi arah ke mana harus melangkah agar tak terjatuh di lubang kecil yang mematahkan jemari. Itulah faedah kecil dari tampilan etika Pak Gatot. Tak menjadi apa-apa, justru telah menjadi apa-apa itu sendiri. Itu yang mesti dimengerti orang. Orang itu dikenang bukan karena posisi posisi politiknya, tetapi karena sikap politiknya. Sikap politik tidak selalu harus bertimbal-balik dengan jabatan formil dalam politik. Wahai politisi, sukailah hal-hal bagus. Ingatlah sebisa mungkin. Alam tak diciptakan secara serampangan. Alam dibuat indah, karena keindahan itu cermin hakikat. Cintailah keindahan, karena keindahan itu sahabatnya keihlasan. Dan keihlasan menjadi jalan terdekat menghindar dari kegundahan. Bawalah sejauh mungkin sikap-sikap politik dari cinta mati kepada kekuasaan. Selalulah berada jauh dari tabiat membebek, menghamba, dan menjadi budak kekuasaan. Tak usah mendekat pada kemunafikan. Tetapi teruslah untuk membimbing tingkah laku politik dengan timbangan-timbangan yang disabdakan oleh Pencipta alam semesta. Hebat Pak Syaf & Leimena Kejarlah daku, kau kudekap dengan seluruh pesonaku yang menipu. Begitulah tabit kekuasaan, yang dalam wajah empirisnya selalu menipu. Kenalilah itu, karena dia menuntunmu kesemua keindahan sepanjang masa. Itulah yang ditunjukan Pak Sjafrudin Prawiranegara. Itu pulalah yang disajikan oleh Pak Johanes Leimena, nyong Ambon manise ini. Boleh saja ilmuan hukum tata negara datang dengan argumentasi hukum melemahkan kehebatan Pak Sjaf yang, dengan sukarela mengembalikan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Karno. Toh Pak Sjaf memperoleh kekuasaan itu atas kuasa Bung Karno. Tetapi tidak untuk Pak Sjaf, yang Pak J. Riberu sematkan padanya sebagai manusia “etis” ini. Manusia etis, tahu kebesaran etika. Itulah Pak Sjaf. Kekuasaan yang ada padanya diperoleh melalui kuasa lisan Bung Karno,Presiden tampan dan energik ini. Pak Syaf segera serahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karno setibanya di Yogya. Tak ada semenitpun Pak Sjaf mencari alasan politik untuk mempertahankan kekuasaan itu. Subhanallaah, Pak Syaf, semoga Allaah Subhaanahu Wata’ala menempatkanmu di syurga-Nya. Boleh saja orang tata negara menyatakan sikap itu harus diambil Pak Sjaf, oleh karena kekuasaan itu ada padanya atas kuasa Bung karno. Tetapi sejujurnya saya suka dengan penegasan Pak J. Riberu. Manusia “etis” itulah sebutan Pak Riberu untuk Pak Sjaf. Dalam esainya tentang Pak Sjaf, Pak Riberu mengutip “hebat sekali” salah satu ayat Al-qur’an. Ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam esai Pak Riberu adalah ayat 104 Surat Al-Imran. Hendaknya diantara kamu ada satu golongan yuan mengajak berbuat benar, serta mencegah berbuat salah”. Tulis Pak Riberu selanjutnya “ia merasa berkewajiban mengajak orang lain berbuat benar, dan mencegah berbuat salah”. Hormat saya yang tak terbatas untuk Pak Riberu. Argumentasi hukum dan gurihnya kekuasaan, cukup jelas tak mampu menipu Pak Sjaf. Benteng etiknya terlalu tangguh dan tebal untuk dapat dijebol oleh gurihnya kekuasaan. Hormat untuk Pak Sjaf atas pelajaran etika ini. Semoga almarhum bahagia di alam sana dengan Rahim Allah Subhanahu Wata’ala. Terima kasih Pak Sjaf untuk teladan yang telah diwariskan. Apalagi hari-hari ini terlihat terlalu berat untuk dicontohi politisi-politisi kacangan dan picisan yang terkenal jorok, licik dan primitif di panggung kekuasaan. Tak berusaha memperpanjang, apalagi berusaha mempertaankan kekuasaannya. Pak Syaf terlalu top untuk ukuran demokrasi dimanapun. Terbimbing dengan balutan etika, kekuasaan ditangannya diserahkan kepada Bung karno, ayahanda tercinta Ibu Mega dan Ibu Rahma, untuk menyebut dua saja di antara beberapa anak-anaknya. Apakah teladan yang diwariskan oleh Pak Syaf ini bisa diikuti oleh Pak Jokowi? Entahlah. Mungkin Pak SBY harus lebih kencang lagi menyerukan Pak Jokowi menggunakan etika dalam merespon kemelut kecil Partai Demokrat. Untuk alasan apapun, Pak Jokowi memang harus menyegarkan akal, fikiran dan rasa etiknya bahwa Pak Moeldoko itu berkantor di lingkungan kantor kepresidenan, sekaligus anak buah Presiden Jokowi. Derajat dengan etika, yang kearifan berinduk padanya, yang mengalir deras dari Pak Sjaf, jelas merupakan nutrisi tak tertandingi dalam membuat demokrasi memiliki makna untuk diagungkan. Itu juga yang ditunjukan Om Jo, begitu orang-orang Maluku memanggil Pak Johanes Leimena, untuk teladannya yang hebat pada sisi waktu yang berbeda. Johanes Leimone memegang kekuasaan pemerintahan setiap kali Bung Karno keluar negeri, dan segera mengembalikannya kepada Bung Karno setibanya di tanah air, itulah etika moral yang tinggi dari Om Jo. Hebat sekali Om Jo. Terbimbing begitu kuat oleh rasa etik, dan budi nan mulia. Begitu beretika politik Om Jo. Itu nutrisi sebenarnya yang menyehatkan demokrasi. Demokrasi, yang Aristoteles kenali sebagai barang busuk. Tetapi telah dikenali keunggulannya oleh kapitalis tua dan oligarki kecil maupun besar, juga korporasi. Sehingga membentuk korporatokrasi ini, selalu bisa dan produktif menciptakan etika khasnya. Etika khasnya selalu bisa membuat demokrasi menerima aksi tipu-tipu, menindas orang lemah, kecil dan miskin sebagai kegagalan kecil saja. Alhamdulillah di tengah kelangkaan, kekeringan dan kegersangan manusia yang mau belajar etika politik, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmatiyo hadir untuk membimbing, memandu, menghidupkan dan mengukir tingkah laku demokrasi yang berkalas dan mengagumkan. Terima kasih Pak Gatot, anda telahhadirkan pelajaran kecil yang terlalu mahal untuk politisi kebanyakan ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Demokrat, Ken Dedes, Ken Arok, dan Moeldoko, Ada Hubungan Apa?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jika mereferensi pada kisruh Partai Demokrat, terlihat ada persiapan 2024. Partai Demokrat “diobrak-abrik” untuk menutup peluang Agus Harimurty Yudhoyono (AHY). Prediksi saya yang berikutnya dijadikan target adalah Partai NasDem. Tujuannya agar Anies Baswedan tidak bisa diusung NasDem. Di sinilah saya acungi jempol permainan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sering dijuluki dengan sebutan 08. Dia mengubah Gerindra dari partai Kombatan menjadi partai Intelijen. Dan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo yang terkena kasus korupsi KKP yang dikorbankan. Sebab, loyalitas EP terhadap 08 bisa merusak skenario Gerindra itu sendiri dan menjadi penghalang perubahan strategi dari kombatan ke intelijen. Sekarang tinggal bagaimana kita tunggu permainan strategi 08 dalam menaklukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan memainkan kartu Anies-AHY. Jika “perkawinan” itu terjadi, peluang mantan Panglima TNI yang kini merangkap Presidium KAMI Gatot Nurmantyo juga tertutup total. Tinggal head to head SBY-08 dan kru Pak Lurah Cs. Mau tidak mau GN akan merapat ke poros SBY-08. Di sinilah kekalahan 08 pada Pilpres 2019 lalu dan sebelumnya (2014) bisa terbayarkan. Bisa saja nanti pada Pilpres 2024 SBY-08 berkoalisi untuk usung Anies-AHY menghadapi koalisi Pak Lurah Cs. . Atau bisa juga menyiapkan orang lain. Bisa saja 08-Anies. AHY “dititipkan” dulu jadi Ketua DPR dan Sandiaga Salahuddin Uno (SSU) menjadi Ketua MPR. Yang jelas, sepertinya Jusuf Kalla juga akan ikut SBY-08. Sebabnya, JK sekarang ini sudah tidak “berkuasa” lagi atas Kapolri sekarang, Jenderal Lestyo Sigit Prabowo. Sebelumnya, JK masih bisa berkuasa atas Kapolri Jenderal Idham Azis. Manuver Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang “membegal” kepemimpinan AHY di Demokrat mirip kisah Ken Angrok (Arok) yang membunuh Raja Tumapel Tunggul Ametung untuk “merampas” Ken Dedes dan menjadi Raja Singosari. Mungkin sosok proto-preman paling terkenal dalam sejarah kerajaan kuna di Jawa adalah Ken Arok. Muasalnya adalah kekerasan, menurut sejarawan Onghokham, merupakan salah satu soko tegaknya kerajaan-kerajaan kuna, selain bersandar pada konsep dewa-raja. Filolog dan arkeolog Johannes Gijsbertus de Casparis menyebut di daerah yang terpengaruh Indianisasi, sejak awal abad masehi ada fenomena seorang gembong bandit yang jadi raja. Banyak raja pertama Jawa berasal dari kalangan jago. Misalnya, Ken Arok dan Senapati. Karena diperlukan unsur paksaan dari atas pada masyarakat, penggunaan para jago berjalan terus. “Mereka merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan tradisional,” tulis Onghokham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2003, hlm. 180). Jerome Tadie dan sejarawan Denys Lombard juga menempatkan Ken Arok secara khusus. Kisahnya tersaji cukup detail dalam kitab klasik Pararaton. Ditulis sekira abad ke-16, bab pertama kitab tersebut berkisah tentang masa muda Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi, pendiri Kerajaan Singasari. Terlepas dari mitos-mitos yang melingkupinya, Keng Arok adalah arketipe bagi generasi bandit setelahnya. Ken Arok dikisahkan berayah Dewa Brahma dan beribu seorang petani biasa. Ken Arok lahir dilingkupi cahaya yang membuat ibunya takut dan meninggalkannya. Bayi Ken Arok kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Tentu saja Lembong mengajarinya keahlian mencuri. Tapi, di samping itu, Ken Arok juga jadi penggembala sapi. Hingga suatu hari, ia kehilangan sapi-sapi gembalaannya. Karena takut pada murka Lembong, Ken Arok lantas kabur. Sejak itulah Ken Arok terjerumus lebih jauh ke dalam dunia kriminal. Bersama ayah angkat barunya bernama Bango Samparan, ia jadi penjudi. Ia juga menjalin persahabatan dengan pemuda bernama Tita dan memulai kiprahnya sebagai bandit desa. Gara-gara ulahnya, sering kali Ken Arok jadi buronan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Sewaktu jadi buron, Ken Arok dengan mudah bersembunyi di kampung-kampung petani. Ken Arok menyaru dengan cara mengabdi pada seorang pengrajin emas bernama Mpu Palot. Ia bukannya tak pernah diceritakan tertangkap. Tapi, Ken Arok selalu dilepaskan ketika para penangkapnya mendapat suatu bisikan gaib. Pararaton memperlihatkan meski kekuatan mistik itu jadi bagian dari diri Ken Arok muda, ia tidak sepenuhnya menguasainya. Karena itu Ken Arok ditakdirkan untuk bertemu dengan brahmana Lohgawe yang kemudian jadi pembimbingnya. Melalui Lohgawe pula, Ken Arok mendapat akses ke kaum penguasa Tumapel. Berkat posisi Lohgawe itulah, Ken Arok akhirnya dikenal oleh Tunggul Ametung dan istrinya Ken Dedes. Ia juga berkawan dengan Kebo Ijo, seorang bangsawan Tumapel. Relasi-relasi inilah yang kemudian dimanfaatkannya untuk panjat sosial dan bahkan merebut kekuasaan Tumapel. Ambisi Ken Arok nyatanya tak hanya menguasai Tumapel. Tidak berapa lama, setelah itu Kerajaan Kediri yang dipimpin Raja Kertajaya limbung. Raja tersebut berseteru dengan para brahmana yang menolak tunduk. Memanfaatkan situasi itu, Ken Arok menyerang Kediri. Kali ini ia tampil sebagai pembela hak kaum brahmana. Ia menang. Pada 1222, Kerajaan Singhasari memulai sejarahnya. Membaca kisah Ken Arok, sebagai asal-usul mitos seorang perampok yang menjadi raja, mengandung unsur lain yang membentuk jatidiri sebagai preman masa kini, yang menjadi bagian atribut dan aspirasinya. “Kemungkinan untuk memperoleh masa pensiun bermartabat dan mencapai kekuasaan,” tulis Jerome Tadie (hlm. 228). Akhir cerita ini jelas menunjukkan bahwa relasi-relasi antara preman dan elite politik adalah fenomena kuno. Pola-pola itu terus berlangsung hingga kini, meski dengan konteksnya yang berbeda-beda seiring perubahan zaman. Jadi, sebenarnya bukan hanya penguasa yang memanfaatkan para bandit untuk menegakkan kekuasaannya. Sebaliknya, bandit-bandit pun memanfaatkan relasi itu untuk tujuan-tujuan politik atau ekonominya sendiri. Kembali ke soal KLB Partai Demokrat versi Moeldoko. Demokrat itu ibarat Ken Dedes, Ratu yang cantik, sehingga mendorong Ken Arok tertarik untuk “membajak” dari tangan Raja Tunggul Ametung, ia pun harus membunuh Raja Tumapel ini. Dengan jabatan KSP, Moeldoko memanfaatkan “bandit” sekelas Muhammad Nazaruddin, untuk mendanai KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Hasilnya, Moeldoko ditetapkan sebagai Ketua Umum. Saat ini semua mata terfokus pada Presiden Joko Widodo. Kebijakan politik apa yang akan dilakukan terhadap “Pembuat Gaduh” NKRI dan Perusak Citra PresidenRI dalam penegakan Demokrasi, Hukum, dan Pemerintahan Bersih anti-Korupsi Selama ini banyak yang salah persepsi jika BuzzerRp itu piaraan Pak Lurah. Yang benar itu, mereka piaraan “Kakak Pembina”, yang dibiayai dari hasil menipu Pak Lurah. Saat ini rakyat Indonesia terbuka matanya. Penghianat Presiden Jokowi dan pembuat gaduh NKRI, ternyata bukan Opung Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan mantan penerima tamu pernikahan Kahyang dan Bobby Nasution di Medan itu. Ksatria itu tak akan lupa Hutang Budi. Sosok tak tahu hutang budi itu adalah sosok yang tak pantas menjadi Pemimpin, apalagi level Nasional. Dia pasti tega menjual Negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Alumni Lembah Tidar kini jelas sangat Prihatin dan Malu Diri. Karena, Kawah Candradimuka itu ternyata bisa juga melahirkan sosok yang mampu khianati senior penolongnya. Saat ini SBY baru tahu dan sadar, jika Moeldoko tidak layak jadi KSAD itu benar. Spekulasi SBY atas data saat itu, kini Terbukti. Moeldoko tega rampas Demokrat demi ambisi berkuasa! Jokowi, Menkumham, dan Menko Polhukam harus membuktikan jika mereka itu tidak di belakang perampasan Demokrat oleh Moeldoko! KLB partai akan Sah, jika yang hadir pemilik suara sah. Saat KLB digelar dengan peserta bukan pemilik suara sah, maka itu pelanggaran hukum! Penyelenggara bisa diseret dengan KUHP Pasal Penipuan dan Pemalsuan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Soal Harga Diri, SBY Tidak Akan Biarkan Moeldoko
by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ke depan ini, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tak akan bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang kudeta mulus Partai Demokrat (PD) mulai mengejar Kepala Staf. Dia seharusnya sudah menyadari kalkulasi kudeta yang keliru. Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak akan membiarkan Moeldoko. Sebab, perampasan PD itu mengacak-acak harga diri mantan presiden yang keenam itu. Moeldoko mempermalukan SBY dan keluarga besar Cikeas. Ini tidak main-main, tentunya. Pelecehan telak. Setelah “deklarasi perang” yang diucapkan sendiri oleh SBY, penyelesaian kasus kudeta PD tidak menyisakan banyak pilihan bagi Moeldoko. Akhir drama pembegalan ini bisa sangat tragis bagi “the President’s Chief of Staff”. Sebab, per hari ini, SBY di atas angin. Moeldoko mati langkah. Dia terjepit. Jokowi tidak akan berani mensahkan Moeldoko sebagai ketua umum. Risikonya terlalu besar. Massa Demokrat asli kelihatannya siap melancarkan aksi ribut berpanjang-panjang di seluruh basis konstituen mereka. Kemarin, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumpulkan 33 ketua DPD. Mereka solid. Hanya 1 ketua DPD yang ikut kudeta. SBY bukan imbang Moeldoko. Pastilah. Bagaimanapun, SBY pernah menjadi presiden sekaligus atasan langsung Pak Moel. Sepuluh tahun SBY duduk sebagai presiden. Elektabilitasnya waktu itu sangat tinggi. Sampai sekarang pun, SBY masih memiliki basis dukungan akar rumput yang cukup kuat. Karena itu, serangan balik terhadap gerombolan kudeta PD yang dipimpin Moeldoko, tak bisa dianggap enteng. Pak KSP tentu sudah paham konsekuensi yang akan terjadi. Inilah yang membuat Moeldoko tak bisa tidur. SBY pasti akan memberi pelajaran. Teach him a lesson. Istana membantah keterlibatan. Kalau Jokowi akhirnya lepas tangan, berarti Moeldoko selesai. Dan jalan inilah yang paling aman bagi Pak Jokowi yang sedang dirundung banyak masalah besar. Terlalu mahal waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dikerahkan Jokowi untuk menyelamatkan Moeldoko. Jokowi hampir pasti akan menerima masukan dari para senior Istana bahwa kehilangan Moeldoko jauh lebih kecil dibandingkan “perang” SBY. Masyarakat memberikan empati kepada mantan presiden itu meskipun banyak juga yang skeptis. Dalam dua hari ini, opini publik berbalik mengempur Moeldoko. Para pakar tata negara meminta agar Jokowi memecat KSP. Tindakan Moeldoko dinilai sangat keterlaluan, tidak etis, dan memberikan contoh buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sekarang, paling-paling yang sedang diolah Istana adalah “exit strategy” untuk Moeldoko. Digeser atau dikeluarkan. Kepala Staf memang naïf sekali. Terlalu mudah dirayu oleh Jhoni Allen Marbun Cs –pimpinan KLB Sibolangit. To be fair, memang ada masalah dengan manajemen PD di bawah AHY. Entah karena apa, AHY tidak bisa “connect” dengan generasi awal PD. Mungkin karena “generation gap” (jurang generasi) itu sendiri. Atau, bisa jadi karena pembawaan AHY yang cenderung aristokratis. Tetapi, sekali lagi, kudeta oleh Moeldoko tidak punya alasan. Bahkan memperburuk citra perpolitikan Indonesia yang sudah amburadul. Negeri ini sedang dikuasai oleh oligarki taipan. Kendali kekuasaan yang ‘de facto’ ada di tangan mereka. Perbuatan gegabah Moeldoko memperkuat kepercayaan publik bahwa negara ini memang benar milik para taipan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
KLB Moeldoko Mengonfirmasi Penanganan Pandemi Covid19 Hanya Guyon?
SATGAS penanganan pandemi Covid19 bisa dicap tak serius menangani wabah. Ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol kesehatan kerap ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. KLB abal-abal yang ujung-ujungnya melambungkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ke pucuk pimpinan partai tersebut, tak hanya menyesakkan dada SBY maupun AHY, tetapi juga merobek-robek perasaan kader partai berlambang bintang mercy. Tak hanya itu, jutaan orang yang masih menjunjung tinggi etika dan moral politik juga ikut geram. God father buzzer nasional itu distempel sebagai pelakor, perebut lahan orang. Lebih geram lagi ketika polisi tidak sudi membubarkan acara pembegalan pimpinan Partai Demokrat atas laporan anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan yang meyakini acara tersebut melanggar protokol kesehatan. Bahkan tidak ada izinnya. Hinca mengaku sudah mengecek langsung ke Kapolri bahwa penyelenggaraan KLB itu ilegal. Sebelumnya polisi juga ogah-ogahan menindaklanjuti kerumunan massa yang dilakukan selebgram Raffi Ahmad dan mantan penista al Quran Ahok usai menghadiri pesta mewah ulang tahun pengusaha dan pembalap, Ricardo Gelael pada Rabu malam, 13 Januari 2021 di Jakarta. Penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus kerumunan itu. Polisi berkilah jumlah tamu yang hadir hanya 18 orang dengan luas ruangan yang cukup menampung 200 orang. Selain itu, para tamu yang datang telah melakukan test swab dan hasilnya negatif Covid-19. Kata polisi, para tamu yang datang hadir secara spontanitas alias tanpa undangan. Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris. Profesor Jimmly Asshidiqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi menyarankan agar kasus Jokowi di Maumere ini dibawa ke DPR, MK dan MPR. Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan telah melanggar UU Protokol Kesehatan. Seorang presiden tidak boleh dan dibiarkan melanggar UU. Negara akan rusak jika tindakan pelanggaran UU oleh presiden dibiarkan. Saking kesalnya atas leletnya pekerjaan polisi, akhirnya Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan melaporkan Jokowi ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Namun, mereka kecewa lantaran petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri tidak mau menerbitkan surat laporan polisi terkait pengaduannya tersebut. Hampir semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi untuk menolaknya. Berbeda jika yang melakukan rakyat kecil, apalagi oposisi. Di Bali, Tim gabungan Satpol PP membubarkan sebuah warung makan di Denpasar karena melanggar ketentuan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Di Kendangsari, Surabaya seorang warga bernama Widodo menggelar resepsi pernikahan di halaman Masjid Baiturrozaq SIER Surabaya. Sebelum tamu undangan datang, acara dibubarkan oleh petugas karena melanggar Perwali Nomor 2 tahun 2021 yang ingin menegakkan 5 M. Di desa Ngargoyoso, Tasikmadu, Mojogedang, Karanganyar Jawa Tengah, Satpol PP membubarkan acara hajatan dan penyelenggaranya dipolisikan karena melanggar Instruksi Bupati Nomor 183/3 Tahun 2021 tentang PPKM. Apa bedanya kerumunan massa yang terjadi di Bali, Surabaya, dan Karanganyar dengan kerumunan Rafii Ahmad di Jakarta, Jokowi di Maumere, dan Moeldoko di Medan? Mengapa beda perlakuan? Mengapa kerumunan massa yang dilakukan pendukung HRS harus memakan 6 korban nyawa. Mengapa pula HRS harus dipenjara, rekening dibekukan, dan pengurusnya dikerangkeng. Padahal HRS sudah membayar denda Rp50 juta. Di mana letak keadilan bangsa ini? Seriuskah polisi menangani pendemi Covid19? Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini terhadap rakyat. Rezim selalu merasa paling benar. Berbeda dengan pemimpin negara lain yang ksatria mengakui kesalahan. Raja Yordania Abdullah II misalnya. Ia merestui pengunduran diri dua menteri yang telah melanggar aturan pengendalian Covid-19. Ini terjadi usai Perdana Menteri Yordania Bishr Al-Khasawneh meminta Menteri Dalam Negeri Samir Al-Mobaideen dan Menteri Hukum Bassam Al-Talhouni untuk mundur dari jabatan mereka. Di Argentina, skandal antrean vaksin membuat Menteri Kesehatan Gines Gonzales Garcia dipecat langsung oleh Presiden Alberto Fernandez. Skandal tersebut memicu aksi unjuk rasa ribuan warga Argentina. Di Amerika Serikat, dua menteri mundur lantaran tak bisa mencegah kericuhan pendukung Donald Trump di Capitol Hill, saat Kongres AS membahas hasil Pilpres AS yang dimenangi Joe Biden terus bergulir. Sebelumnya, sejumlah pejabat Gedung Putih juga mengundurkan diri akibat kerusuhan di Capitol Hill. Pada awal Covid19 melanda Indonesia Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, mengingatkan masyarakat untuk melakukan social distancing. Bagi yang masih nekat berkerumun bisa dikenakan hukuman penjara hingga 7 tahun. Beberapa pasal bisa diterapkan sebagai bentuk pendisiplinan masyarakat terhadap social distancing ini. Fadjroel kemudian menutip Pasal 212 KUHP yang berisi imbauan untuk tidak berkumpul dan jika dibubarkan melakukan perlawanan. "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menuntut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun," demikian bunyi Pasal 212 KUHP yang diunggah Fadjroel di akun Instagram miliknya, 29 Maret 2020. Dalam beberapa hari ini masyarakat disibukkan dengan perebutan partai secara konyol dan brutal, sedangkan mereka sibuk menutupi kekurangannya dengan menciptakan kegaduhan demi kegaduhan. Kerumunan KLB Moeldoko tidak dibubarkan polisi. Kerumunan Jokowi juga tidak diproses. Kerumunan Raffi Ahmad juga dibenarkan oleh penguasa bahwa Rafii hanya diundang, bukan penyelenggara. Banyak alasan untuk selalu membenarkan perilaku penguasa dan penjilatnya. Kerumunan-kerumunan yang dilakukan penguasa dan penjilatnya – yang tidak diproses hukum - semakin menunjukkan bahwa wabah Covid19 seperti tidak mengerikan. Oleh karena itu pencegahan penangannya pun santai, guyon (bercanda), dan sesuai cara penguasa. Guyon yang paling menggelikan adalah anggaran penanganan Covid19 yang dikorupsi Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Publik geram, ada pejabat negara yang tega menggasak anggaran penanganan wabah. Publik makin terpingkal-pingkal ketika proses hukum terhadap sang koruptor penuh dengan intrik dengan mengabaikan peran sang Madame. Pasal sedang dipilih-pilih, tuduhan sedang direkayasa, dan kelak vonis pun sesuai selera. Tak heran jika kemudian banyak masyarakat yang seenaknya melanggar protokoler kesehatan. Tak kaget pula jika banyak masyarakat yang menolak vaksinasi. Jadi sesungguhnya penanganan Covid19 ini serius atau guyon sih? Kalau serius berlakukan secara adil dan beradab. Sedangkan kalau guyon katakan sejujurnya, guyon ya guyon biar masyarakat bisa ketawa bersama-sama. Janganlah ketawa pun dimonopoli satu pihak, biar seragam dan satu komando. Rakyat juga pingin ketawa biar imun meningkat. Tidak elok main monopoli. (sws)
KLB Demokrat Dan Derita Demokrasi
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) cukup mencengankan. Terendusnya rencana mengudeta PD tak juga mampu mengoyak rasa malu penyelenggara. Banyak yang menghujat. Namun tidak sedikit juga yang mengecam. Tetapi ujung dari rencana itu tetap membuahkan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Yang lebih mencengankan, tokoh utamanya adalah pejabat negara yang juga elit istana. Moeldoko, kita tahu, menjabat Kepala Staf Presiden (KSP), yang mengomandoi seluruh tenaga profesional di Kantor Staf Presiden. Kantor ini adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sejak awal, Presiden Joko Widodo bukannya tidak tahu perihal kudeta tersebut. Juga bukan tidak paham keterlibatan anak buahnya. Jauh sebelumnya, rencana kudeta Partai Demokrat telah disampaikan Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui surat. Bukannya menanggapi, Presiden Jokowi malah membisu, dengan alasan itu urusan internal PD. Padahal, Jokowi punya beban moral mengklarifikasi. Sebab, sejumlah elit PD telah mengatakan ada kader yang mendengar lontaran kalimat KLB direstui oleh presiden. Barangkali saja nama presiden dicatut. Tetapi itu tak mengurangi beban moral tersebut. Beberapa menteri disebut-sebut ikut merestui pula KLB, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD. Mahfud telah mengklarifikasi. Mengapa Presiden cuek? Menjadi sulit untuk menepis berkembangnya aneka dugaan. Termasuk dugaan sejumlah pihak bahwa Istana merestui gerakan KLB PD ini dengan cara melakukan pembiaran. Fakta yang mendukung dan tidak dapat diingkari adalah keterlibatan salah satu elit istana secara intens dalam kasus KLB PD. Tudingan miring itu kian mendapat pembenaran ketika aparat keamanan seolah kehilangan dalil untuk menindak kegiatan ilegal yang tidak berizin tersebut. Terlebih, kegiatan di Sumut itu memunculkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19, yang dalam beberapa kasus sebelumnya, ditindak dengan sangat tegas. Bahkan penahanan segala. Moral Politik Di kalangan elit politik, rencana kudeta PD agaknya telah meluas sebelum isu ini menjadi konsumsi publik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku sempat diajak terlibat penggulingan itu. Tetapi Gatot menolak dengan pertimbangan moralitas, etika, dan jasa Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Terima kasih Jendral Gatot. Anda mengenal budi. Sementara Moeldoko agaknya hanya mengenal Jokowie. Tidak mengenal budi," usai seorang jurnalis mewawancarai Gatot. Cuitan menohok ini sepertinya didorong rasa kesal melihat perjalanan isu kudeta hingga KLB di Sumut. KLB Sumut memang menjadi preseden buruk yang merusak nalar sehat demokrasi kita. KLB tanpa dihadiri pemilik suara. Tidak hanya kering legalitas, tetapi juga miskin etika. Bagaimana mungkin kumpul-kumpul beberapa mantan pengurus PD lalu membuat KLB atas nama PD, lalu mengesahkan Moeldoko yang nyata-nyata tidak memiliki sejarah dengan PD? Ini bukan tentang PD saja. Ini tentang demokrasi yang susah payah kita bangun bersama. KLB Sumut bukan hanya membunuh masa depan PD. Tetapi juga menebas masa depan demokrasi kita. Kita tahu, partai politik adalah tiang utama penyangga demokrasi. Maka perlakuan di luar batas terhadap PD menjadi urusan semua akal sehat yang merasa kemerdekaan demokrasi terancam. Tentu kita tidak ingin wajah demokrasi Indonesia menjadi barbar. Demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai moral politik, etika dan hukum. Itulah demokrasi Pancasila. Demokrasi salah satunya dibangun atas ketundukan kita bersama kepada hukum. Secara hukum, PD memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang telah disahkan oleh negara melalui Kemenkumhan. Negara tentu tidak sekadar mengakui keberadaan partai, tetapi juga mendukung dan melindunginya agar berkembang dengan sehat sebagai piranti demokrasi. Pembiaran negara berpotensi memunculkan kegelisahan dan kegoncangan. Pimpinan partai politik lain tentu saja tidak akan pernah merasa aman. Sebab hal yang sama bisa saja terjadi pada mereka suatu saat nanti. Indikasinya mulai terlihat. Tiada angin tiada hujan. Namun Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan membuat surat terbuka kepada seluruh kader PAN untuk saling rangkul, saling bimbing, dan mempererat kebersamaan. Sementara Ketua Umum Partai Nasdem juga tetiba menyuarakan hal senada. Independensi Kemenkumhan Kini, bola panas kembali lagi kepada pemerintah, menyusul pendaftaran PD versi KLB Deli Serdang Sumut ke Kemenkumhan. Kita berharap Menkumham Yasonna Laoly dapat menjaga independensi dan integritasnya untuk menilai secara jernih pelaksanaan KLB Sumut. Netralitas pemerintahan Presiden Jokoie diuji dalam kasus PD ini. Sejarah tidak akan pernah luput dalam mencatat. Kita berharap pemerintah menjauh dari kepentingan politik. Paradigma hukum yang berkeadilan adalah satu-satunya solusi mengurai persoalan. Konflik organisasi tidak begitu rumit bila diselesaikan dengan kacamata hukum. Sebab hukum dapat dengan mudah mendeteksi antara yang legal dan yang ilegal. Meski demikian, untuk organisasi politik sekelas partai politik, faktanya seringkali tidak sesederhana itu. Modal hukum acapkali tidak cukup untuk mempertegas legalitas partai. Karena itu, rencana AHY menyambangi Kemenkumhan untuk menyerahkan surat penolakan terhadap penyelenggaraan KLB, cukup taktis dan strategis. Penyerahaan berkas adalah hal biasa. Yang istimewa adalah membawa 34 DPD seluruh Indonesia saat penyerahan berkas itu. Ini sebuah penegasan tentang legitimasi. Bila melihat reaksi pengurus daerah, agaknya kepemimpinan AHY masih cukup kuat. Menjadi lebih kuat lagi bila AHY melakukan konsolidasi melalui zoom. Membuat pernyataan sikap bersama seluruh pemilik suara PD, baik DPD maupun DPC secara terbuka, dan disaksikan masyarakat luas. Itu penting, karena menurut Deputi Bappilu DPP PD Kamhar Lakumani, saat ini kelompok KLB Sumut sedang menghubungi dan menekan para Ketua DPD dan Ketua DPC agar balik badan mendukung KLB Sumut. Mereka mengklaim akan mendapatkan pengesahan dari Kemenkumhan. Pada akhirnya, semua tergantung presiden. Seperti diungkap Hendri Satrio, SK Kemenkumhan kemungkinan tidak akan turun jika Moeldoko tidak direstui Presiden. Artinya, jika direstui, kemugkinan sebaliknya tentu dapat berlaku. Maka kita tak henti bertanya-tanya tentang sikap diam presiden di sepanjang perjalananan kasus ini. Keterlibatan langsung elit istana dan diamnya Presiden Joko Widodo dapat memantik praduga awal tentang ketidaknetralan pemerintah. Bila ini betul, maka PD bisa saja dikerangkeng dalam konflik yang berkepanjangan melalui dualisme kepemimpinan. Akibatnya, PD akan kehilangan fokus, kehilangan pemilih, dan kehilangan kesempatan mengikuti pemilu yang akan datang. Siapa yang diuntungkan? Jawabannya barangkali terbayang dalam benak masing-masing. Siapa yang dirugikan? Tentu saja kita semua, anak bangsa yang mencinta demokrasi. Penulis adalah Senator DPD RI.
Syaikhona Muhammad Kholil: Mengapa Harus Pahlawan? (2)
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Eksistensi dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, dan sebagainya sangat besar. Kontribusi Syaikhona Kholil terlibat dalam perlawanan melawan kolonialisme di Indonesia. Terutama yang digerakkan oleh ulama dan santri. Simpul-simpul perlawanan, terutama di wilayah Tapal Kuda diinisiasi oleh santri-santri Syaikhona Kholil. Terkait dengan peran Syaikhona Muhammad Kholil dan posisi sentral Bangkalan sebagai pusat yang melahirkan gerakan perjuangan melawan kolonialisme sudah dianalisis dan direkomendasikan oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje tak lain adalah seorang orientalis yang menjadi penasehat urusan pribumi pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Temuan Hurgronje menyatakan bahwa Bangkalan merupakan pusat dari jejaring ulama dan santri di Jawa. Hal ini tidak lepas dari peran Syaikhona Muhammad Kholil sebagai guru dan pemimpin mereka. Temuan Hurgronje ini tidak begitu dihiraukan oleh Belanda, karena kondisi geografis tanah Madura membuat Belanda menafikkan kekuatan tanah Madura. Dalam catatan tulisan-tulisan Syaikhona Muhammad Kholil sendiri, didapati tulisan beliau yang bersinggungan dengan nasionalisme. Hal ini menjadi bukti penanaman nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan Syaikhona Kholil kepada santri-santrinya. Catatan ini masih tertuang dalam manuskrip asli. Dalam catatan ini mengutip sebuah hadits yang berbunyi: Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman). Dalam proses menggelorakan semangat perjuangan melalui mimbar pengajian Musholla Pesantren Demangan ini, Hubbul Wathon Minal Iman menyelipkan semangat cinta tanah air. Sebagimana tertuang dalam manuskrip Hubbul Wathon Minal Iman sendiri. Semangat perjuangan, cinta tanah air, dan bangkit melawan kelaliman Pemerintah Hindia-Belanda selalu digelorakan oleh Syaikhona Kholil dari mimbar Musholla Pengajian Pondok Demangan setiap saat. Fakta ini terkuak dari hasil wawancara dengan KH Syarifuddin Damanhuri (Ketua MUI Bangkalan dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Aermata Buduran Arosbaya Bangkalan). KH Syarifuddin Bamanhuri menuturkan, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan selalu menyampaikan narasi-narasi perjuangan melalui mimbar pengajian di Musholla Pesantren Demangan. Tentu saja narasi perjuangan ini membuat gusar pemerintahan Belanda. Kiai Syarifuddin menututkan bahwa kisah ini didapat dari riwayat Kiai Damanhuri, dan Kiai Damanhuri mendapatkan riwayat kisah ini dari Kiai Abdul Mu'thiy yang tiada lain adalah kakek dari Kiai Syarifuddin Dahamhuri. Kiai Abdul Mu'thiy diketahui sebagai salah satu murid kesayangan Syaikhona Muhammad Kholil, sekaligus juru pijat pribadi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Berdasarkan manuskrip itu, bukti otentik penanaman rasa kebangsaan dengan memberikan pemahaman kepada para santri bahwa mencintai bangsanya merupakan bagian dari iman. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari pelajaran pokok di samping mempelajari agama, juga menyelipkan ajaran tentang nilai-nilai nasionalisme kepada para santri di tengah pergolakan kolonialisme Balanda di Nusantara. Manuskrip itu menegaskan bahwa ajaran tentang nasionalisme kepada santri menjadi hal yang utama, di samping pembelajaran tentang agama, seperti kajian fikih, nahwu, sharrof, dan sebagainya. Hal ini menyiratkan suatu komitmen kebangsaan yang luar biasa dari Syaikhona Muhammad Kholil. Kepedulian tentang persoalan bangsanya, diimplementasikan dalam dunia pendidikan dengan menanamkan tentang nilai-nilai nasionalisme dalam perspektif Islam. Syaikhona Muhammad Kholil memandang perlu dan kemudian diimplementasikan dalam pembelajaran dan pendidikan kepada para santrinya. Penanaman pendidikan tentang nasionalisme kiranya begitu massif dan intensif disampaikan oleh Syaikhona Muhammad Kholil kala itu. Mengingat ketika itu, Indonesia masih berada dalam genggaman jajahan Belanda. Tak bisa dibayangkan, bagaimana metode, cara, dan teknik yang disampaikan oleh Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan menanamkan semangat, hingga semua santrinya begitu terpatri gemuruh semangat nasionalisme yang sama dalam diri para muridnya. Hal yang tampak dari bukti itu, nilai-nilai dan karakter kebangsaan yang disampaikan kepada para santri menjadi pemantik tumbuhnya nasionalisme. Pemantik itu oleh para santrinya itu dijadikan landasan pembentukan karakter untuk mencintai tanah air dan bangsanya. Belanda Perampok Selanjutnya rasa kebangsaan tersebut diimplemantasikan dalam berbagai bentuk termasuk perlawanan secara kultural dan fisik oleh santri-santri Syaikhona Kholil di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Pulau Jawa dan Madura. Kesadaran akan kebangsaan yang diperoleh para santri Syaikhona Muhammad Kholil dalam penempaan pembelajaran dan pendidikan, menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Pendidikan adalah salah satu cara yang paling efektif dalam menumbuhkan kesadaran jiwa kebangsaan. Jika disampaikan oleh tokoh panutan yang menjadi guru secara terus-menerus dapat menjadi dogma yang begitu melekat pada para santri. Sehingga kemudian menjadi pemantik yang membakar dan membangkitkan nasionalisme di kalangan santri. Keteguhan sikap Syaikhona Kholil ditunjukkan dengan penegasan respon Syaikhona Kholil terhadap Pemerintah Hindia-Belanda. Interpretasi sikap Syaikhona Muhammad Kholil dalam mengibaratkan sebagai pencuri yang wajib dipotong tangan dan kakinya. Hal ini terungkap dalam manuskrip yang ditemukan berupa tulisan tangan Syaikhona Kholil. Atase Pemerintahan Hindia-Belanda di Surabaya pernah berkirim surat kepada Syaikhona Muhammad Kholil. Berikut adalah surat Atase Pemerintahan Hindia-Belanda Surabaya yang ditujukan kepada Kiai Hadji Halil diissi Kapook Bangkalan. Amplop surat yang dikirimkan kepada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dengan kop Scheepsagentuur Voorheen J. Daendels & Co, Gravenhage, Batavia, Semarang, Soerabaija, Padang, Macasser, Singapore. Sementara di bawah terdapat tulisan Ini Sorat Dari Balandah Soerabaja. Di atas amplop surat terdapat tulisan tangan (tulisan Arab Pegon). Perangko tertulis 15-11-1899. Sepertinya ini merujuk pada 15 November tahun 1899. Yang menarik dari manuskrip ini tentu saja adalah tulisan Arab yang artinya: “Ya Allah, bahwa ini (Pemerintah Hindia-Belanda) adalah Perampok dan Pencuri, maka potonglah tangan dan kakinya”. Guratan tulisan ini merupakan tulisan tangan langsung dari Syaikhona Muhammad Kholil. Tulisan ini dalam interpretasi peneliti, menggambarkan secara jelas betapa geram dan marahnya beliau terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Geram dan amarah Syaikhona Muhammad Kholil ini digambarkan dari penggunaan diksi kata Perampok dan Pencuri. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Politik Devide Et Impera
by Naniek S. Deyang Madiun FNN – Partai Hanura pecah. Partai Amanat Nasional (PAN) juga dipisahkan dari pendirinya Pak Amien Rais. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terbelah. Beberapa kader utamanya keluar, lalu membentuk Partai Gelora. Sementara Partai Berkarya diambil dari Mas Tomy Suharto, dan sekarang Demokrat dihostile take over dengan terang-terangan. Cerita sebelumnya Golkar juga terambang pecah. Dimana para tokoh di dalamnya membuat partai masing-masing. Prabowo Subianto membuat Partai Gerindra, Wiranto membuat Hanura, dan Surya Paloh membuat Partai Nasdem. Pecah jadi empat. Jangan lupa Partai Gerindra meski ditangan Prabowo juga sempat digoyang hebat oleh orang dekat Prabowo. Demikian juga dengan Partai Nasdem, hampir oleng saat Harry Tanoesoedibjomasih di dalam. PPP juga sama. Entah berapa kali terus terpecah. Dari partai besar, hingga mengerdil dan pengurusnya terus diguncang isu. Terakhir masih terbelah lagi kepengurusannya. Kemudian PKB juga pecah. Dari keluarga Gus Dur sebagai pendiri, terambil oleh Cak Imin Cs. Polemik rebutan PKB sejak jaman Presiden Megawati sampai Presiden SBY. Sebelumnya lagi, di jaman Pak Harto yang paling fenomenal adalah PDI. Kemudian berbelah menjadi PDI dan PDIP. PDI lama dipimpin oleh Suryadi dan PDIP dipimpin oleh Megawati. PBB, dan partai-partai lain juga terus membelah, hingga seringkali terpisah dari pendirinya. Bicara rebutan partai, atau terpecahnya partai, sebetulnya bukan sekarang saja terjadi. Dari jaman dulu juga terjadi. Mengapa? Saya pernah mendengar dulu dari para mahaguru intelejen, saat saya mulai menjadi wartawan politik, bahwa di Indonesia sejak awal merdeka, tidak pernah diikhlaskan oleh negara-negara besar termasuk eks penjajah. Untuk mengerdilkan Bangsa dan Negara Indonesia itu, hanya dengan cara devide it empera. Intinya tidak boleh ada kekuatan utuh, baik kekuatan dalam bidang agama atau partai politik. Tidak boleh ada partai politik punya kekuatan di atas 20 persen. Jadi, harus diobrak-abrik supaya banyak partai. Karena hanya agama dan partai politiklah yang bisa menggerakkan rakyat. Rakyat Indonesia yang mayoritas tidak punya karakter yang kuat, seperti mudah diadu domba. Senang hidup borju dan pamer. Suka menjilat dan gampang disogok. Tidak malu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Benar-benar menjadi "alat ampuh" untuk terus membelah rakyat Indonesia, dengan menggunakan oknum rakyat. Sebut saja para komprador (combe penjual negeri). Rakyat Indonesia tidak boleh bersatu. Kalau bersatu akan sangat kuat dan mengancam negara mana pun. Karena akan menjadi negara berpenduduk Islam terkuat, dan dengan alam yang luar biasa kaya. Kalau rakyatnya kelewat kuat, tentu sangat sulit bagi kaum kapitalis global untuk terus menjajah Indonesia. Terus mengeksploitasi SDA dan juga market (pasar Indonesia). Saat di jaman Orde baru (Orba), Pak Harto sepertinya memahami teori konspirasi global untuk terus mengangkangi negeri ini. Makanya selama 30 tahun memimpin, Pak Harto berusaha hanya ada tiga Partai Politik saja. Namun kekuatan tiga partai ini juga terus digerilya, hingga PDI misalnya, pecah menjadi dua. Demikian juga dengan PPP. Yang agak tangguh hanya Partai Golkar, karena dikendalikan langsung oleh pak Harto. Kelompok Islam juga hanya dua, NU dan Muhamadiyah. Meski terus dibentur-benturkan, misalnya lewat kesepakatan Hari Raya atau mulai puasa yang nggak pernah sama antara NU dan Muhamadihah, namun Pak Harto sangat cerdik. Tidak boleh masing-masing golongan itu membuat partai. Maka jadilah partai orang Islam itu ya hanya satu, yaitu PPP saja. Pak Harto yang dinilai mengganggu konspirasi global untuk mencekram Indonesia, akhirnya melalui orang-orang Indonesia sendiri dilengserkan. Setelah Pak Harto lengser, kekuatan global asing makin leluasa mengaduk-aduk Indonesia. Maka partai politik pun lahir bak jamur di musim hujan. Pernah ratusan partai bermunculan. Tak yanya itu organisasi Islam juga bermunculan. Dalam posisi rakyat makin banyak dalam kelompok-kelompok, maka aksi devide et impera mudah untuk dijalankan. Apalagi rakyat terus dibelah seperti saat ini, maka kapitalis global makin berpesta pora mengeduk kekayaan alam. Bukan tidak mungkin pada saatnya nama Indonesia tinggal kenangan. Siapa yang membantu konspirasi kapitalis global ini mengacak-acak politik di Indonesia? Supaya tetap bisa menjajah Indonesia sekarang? Dengan terus-menerus menyudutkan Islam?.Mereka adalah para komprador! Maaf, mereka bajingan penjual NKRI ini menyusup di semua lini. Mereka ini sekumpulan binatang berwujud manusia yang melihat dunia tanpa batas yang disebut negara. Mereka serigala berbulu domba. Mereka bisa berwujud pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka juga pengusaha, artis, tokoh, pemimpin agama, LSM, Wartawan dan lain-lain. Penulis adalah Wartawan Senior.
Baranikah SBY Geruduk Istana?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Bappilu dan OKK Partai Demokrat Andi Arief bahwa terhadap gerakan kudeta Moeldoko lewat Kongres Luar Biasa (KLB) abal-abal, Partai Demokrat SBY akan geruduk Istana. Meski Istana mengeles tak terlibat, namun status Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sulit untuk mempercayai bahwa gerakan Moeldoko tanpa sepengetahuan Presiden atau Istana. SBY menyerukan "lawan" atau mengumandangkan deklarasi perang atas invasi Jenderal Moeldoko ke Markas Partai Demokrat. Jika SBY atau AHY konsisten dan berani, maka pertarungan bakalan menjadi seru. Sebagaimana KLB sendiri yang merupakan aksi politik, maka selayaknya dilakukan perlawanan secara politik. Mengapa bukan hukum? Ada tiga alasan. Pertama, Moeldoko and his gang bukan tak faham bahwa KLB itu melanggar hukum dan tak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat. Sangat tahu tentunya. Kemungkinan terjadi gugatan hukum juga sudah diperhitungkan. Tapi proses hukum diyakini akan dimenangkan oleh intervensi kekuasaan. Rekayasa bertingkat. Kedua, proses hukum adalah jalan panjang yang masuk area "buying time" yang menguntungkan Moeldoko. Di tengah proses yang bertele-tele, pengesahan cepat hasil KLB oleh Kemenkumham menyebabkan Moeldoko bebas bergerak. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly berasal dari PDIP, lawan politik SBY dan Demokrat. Ketiga, proses hukum hanya menciptakan dualisme kepengurusan in concreto. Partai Demokrat pimpinan Moeldoko akan melakukan konsolidasi intensif ke bawah untuk memecah. Tentu dengan bantuan bapak Dana yang sejak awal sudah bersiap-siap untuk menerkam. Menghadapi gerakan turun ke bawah Moeldoko itu, tidak ada pilihan lain yang tersedia untuk SBY dan AHY. Dua tokoh penting di Partai Demokrat ini harus melakukan gerakan perlawanan politik. Perang terbuka. Disamping geruduk Istana dengan tekanan pecat Moeldoko dan keluar pernyataan Presiden bahwa KLB tidak sah. Harus juga melakukan langkah lain. Pertama, memperluas isu dari semata masalah kudeta Partai Demokrat, ke arah pidana kerumunan di masa pandemi, rezim otoritarian, serta pelanggaran Konstitusi. Presiden Jokowi yang dengan sengaja mendiamkan aksi KLB Deli Serang, dengan arsitek Moeldoko adalah perbuatan tercela Presiden yang menjadi alasan bagi pemberhentian. Kedua, melakukan konsolidasi politik besar-besaran terhadap seluruh jajaran pengurus dan kader agar bersiap bersama melakukan perlawanan terhadap upaya eksternal yang mengacak-acak Partai. Langkah itu untuk membuktikan bahwa pengaruh SBY masih kuat terhadap kader dan soliditas Partai hingga ke struktur yang paling bawah. Ketiga, munculkan sikap kritis dan panas anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat di Parlemen dengan usul penggunaan Hak Interpelasi, atau bila perlu Hak Angket berkaitan dengan dugaan keterlibatan Presiden dalam aksi politik brutal KLB Deli Serdang. Keempat, jajaran Partai Demokrat di kendali SBY dan AHY harus mulai menyadari dan peduli akan nasib elemen lain yang menjadi korban kezaliman rezim. Keluar dan turut berteriak soal penahanan aktivis KAMI, pembelaan pada HRS, serta membantu menekan agar terkuak kasus pelanggaran HAM pembunuhan enam anggota Laskar FPI dan pelanggaran HAM lainnya. Kelima, Partai Demokrat lebih vokal mengkritisi kemerosotan ekonomi negeri, termasuk hutang luar negeri dan carut- marut penanganan pandemi Covid 19. Mengadvokasi korban dan lembaga kesehatan yang terdampak akibat penanganan pandemi yang kurang baik. Partai Demokrat jangan menjadi Partai yang terkesan "cari selamat", sehingga menjadi ragu dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang dirasakan beban, dan kondisinya semakin berat. Buktikan bahwa terhadap gerakan ilegal KLB Moeldoko, memang Partai Demokrat benar-benar melakukan perlawanan. Rakyat akan selalu bersama partai pejuang kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Sebaliknya, ketika terjadi pembiaran atas nasib yang menimpa satu partai politik, maka mungkin sebenarnya partai politik itu memang selama ini tidak pernah bersama rakyat. Sibuk dan ramai dengan urusan dirinya sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Euforia Demokrasi di Tengah Distorsi Moral Bangsa
by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Sejak bergulirnya reformasi, harapan kita adalah mewujudkan demokrasi dengan seutuhnya secara konsisten dan konsekuen. Harapan ini termanifestasi dalam lima tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Namun hingga saat ini harapan itu masih jauh dari apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa kala reformasi 1998 dulu. Kita berada pada tahap dilema distorsi moral bangsa yang sangat dalam. Pasca reformasi memang kita disibukkan dengan berbagai penataan sistem ketatanegaraan, dan membangun perbaikan kembali dalam beberapa lembaga kenegaraan. Kenyataan ini sebagai bentuk konsolidasi demokrasi kembali menuju alam demokrasi seutuhnya. Namun apa yang dirasakan setelah masa-masa redemokrasi tersebut berlangsung hingga lima priodesasi presiden ini masih jauh dari cita-cita. Padahal reformasi yang digaung-gaungkan menjadi jargon demokrasi dahulu. Sungguh ironis jika hampir 23 tahun agenda pembangunan kembali Indonesia belum juga memberikan hasil yang signifikan. Konflik internal antar kelompok sosial serta masyarakat dengan negara tak kunjung selesai. Padahal konsolidasi demokrasi sudah dilakukan sejak lama. Tulisan Yudi Latif di Media Indonesia (21/01/2019), “Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam, manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik. Bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama”. Lihat saja pada suksesi politik, baik daerah maupun secara nasional. Masyarakat terbelah dengan sakala besar. Media sosial dipenuhi dengan bergam komentar yang saling menyudutkan, bahkan sampai ke tingkat fitanh. Ingat loh bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, dengan sila ketiganya Persatuan Indonesia. Tulisan Ariel Heryanto pada media Kompas (06/03/2021), “Setahun terakhir sopan santun pengguna media sosial Indonesia paling terparah di dunia”. Hal ini diperoleh dari hasil riset Microsoft seminggu yang lalu. Dalam tulisan analisis budaya ini, Ariel menulis “memprihatinkan, tapi tidak mengejutkan jika ingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan”. Keadaan ini bukan mustahil memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat terpelihara, kebencian dan kemarahan akan menjadi distorsi moral kepada bangsa dan negara Indonesia. Kebiasaan ini akan terjadi regenerasi. Bagaimana kelak generasi penerus bangsa dan negara kita di kemudian hari? Jika perbedaan pandangan itu merupakan sunatullah, maka perbedaan itulah dijadikan potensi dalam membangun keragaman untuk mencapai Indonesia yang merdeka seutuhnya. Bukan malah sebaliknya, dijadikan musuh atau diberhanguskan begitu saja. Lain halnya kalau dengan ideologi yang menjadi parasit dalam tubuh NKRI. Memudarnya moral kebangsaan ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini jika ditarik jauh ke belakang, maka kita dapati euforia demokrasi yang berlebihan. Akibatnya, terbengkalainya agenda-agenda penting regenerasi kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Selanjutnya menurut Yudi Latif, Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Lain halnya dengan pra kemerdekaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin-pemimpin bangsa sudah mempersiapkan diri dengan konsep-konsep yang brilian menuju Indonesia merdeka. Hal ini diperhitungkan secara matang dan tersistematis. Sekalipun banyak perbedaan pandangan diantara para founding father, sehingga konflik-konflik diantara mereka tidak dapat dihindari, namun konsolidasi perjuangan tetap dilakukan untuk menggapai Indonesia merdeka. Kita dapat menyaksikan bagaimana Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, Persis dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya berpadu, berlomba-lomba dengan organisasi nasionalis seperti Budi Utomo hingga Taman Siswo yang menjadi cikal-bakal bangsa Indonesia terlahir hingga merdeka dan membentuk negara hari ini. Pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berjiwa besar. Bahkan mereka rela berkorban tanpa imbalan. Hanya berharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan era demokrasi Indonesia saat ini. Gontok-gontokan merebut kekuasaan atas nama rakyat. Alhasil terbangunn kelompok masyarakat yang pro dan kontra menghiasi dunia lingkungan masyarakat dan media sisial. Kondisi sosial masyarakat saat ini harus ditangani, dan diselesaikan secara baik dan benar. Keadaan ini sudah diibaratkan api dalam sekam. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan keadaan lebih menjadi buruk dan bertambah parah. Tentu itu kondisi yang tidak kita harapkan. Gambaran fenomena saat ini memberikan isyarat, supaya pembenahan kembali serta menyusun agenda konsolidasi demokrasi. Tujuannya untuk memperkuat tatanan kebangsaan, dan kenegaran demi menciptakan persatuan dan kesatuan menuju Indonesia emas 2045. Penulis adalah Kandidat Ketum PB HMI 2021-2023.