ALL CATEGORY
Jangan-Jangan Ada Pasal Omnibus Law Yang Bolehkan Begal Parpol
by Asyari Usman Medan, FNN - Buru-buru saya buka lagi PDF Omnibus Law (OBL). Berjam-jam saya “scroll down”. Maklum lebih seribu halaman. Tak sebaris pun saya lewatkan. Penasaran sekali mengapa Moeldoko bisa lancar mengambil alih Partai Demokrat (PD). Begitu mulus proses pembegalan itu. Kumpul sejumlah orang di Sibolangit, Jhoni Allen Marbun membuka “kongres luar biasa” (KLB), dan seketika itu juga diumumkan Moeldoko terpilih sebagai ketua umum. Sewaktu diumumkan, Pak Moel tidak ada di arena KLB. Dia hanya tersambung lewat telefon ke ruangan deklarasi. Dia menanyakan apakah KLB sesuai AD-ART, apakah serius mendukung dirinya menjadi ketum, dst. Terdengar teriakan koor “Sesuai” dan “Serius”. Moeldoko baru hadir di arena KLB malam hari, 5 Maret 2021. Deklarasi itu berlangsung di siang hari pada tanggal yang sama. Dahsyat sekali. KLB Sibolangit itu berjalan singkat, padat, nekat. Tidak ada pihak keamanan yang membubarkan baik dengan alasan keabsahan KLB maupun alasan prokes Covid-19. Kok bisa pengambilalihan parpol dengan kepengurusan yang sah, berjalan mulus? Apakah sudah ada landasan hukum baru yang membolehkan penggantian pimpinan parpol oleh pejabat negara? Saya telusuri terus ke bawah. Jangan-jangan ada pasal-pasal Omnibus Law yang memberikan kemudahan untuk mengganti ketum parpol oleh orang luar. Sebab, UU No. 11/2020 Cipta Kerja ini memang dibuat untuk memudahkan semua urusan. Selagi memudahkan lapangan kerja, pasti ada di OBL. Nah, pengambilalihan PD oleh Moeldoko termasuk menciptakan lapangan kerja. Banyak lowongan baru. Ada waketum 8 orang, sekjen dan wasekjen 5 orang, bendahara 5 orang, ketua bidang 15 orang, ketua DPD 34 orang, ketua DPC 514 orang, satpam kantor seluruh Indonesia 1,100 orang, dlsb. Cukup banyak. Barangkali Pak Moel sudah melihat pasal-pasal yang menjamin kemudahan begal parpol itu. Siapa tahu, ‘kan? Sehingga dia melihat peluang bagus untuk cipta kerja. Kalau memang ada di OBL, pasti Presiden Jokowi senang dengan cara Moeldoko menciptakan lapangan kerja baru itu. Pasti pula pengambilalihan PD akan disahkan oleh Menkum HAM Yasonna Laoly. Sehingga, PD Moeldoko bisa beroperasi segera guna menarik minat investor. Saya telisik terus. Belum juga berjumpa pasal yang dicari. Akhirnya saya istirahat dulu untuk menuliskan ini.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Produksi Melimpah Kok Impor Beras
PEMERINTAH berencana mengimpor satu juta ton beras. Alasannya untuk menjaga ketersediaan pangan, termasuk stabilisasi pasokan dan harga komoditas pangan dalam negeri di tengah pandemi Covid-19. Impor itu dilakukan untuk menjaga ketersediaan stok beras sebesar 1-1,5 juta ton, setelah adanya bantuan sosial beras kepada Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM PKH), dan pandemi Covid-19. Satu juta ton impor itu meliputi 500.000 ton beras untuk cadangan beras pemerintah dan 500.000 ton beras sesuai kebutuhan Badan Urusan Logistik (Bulog). Rencana impor tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto, saat rapat kerja Kementerian Perdagangan, Kamis, 4 Maret 2021. Tidak jelas impor beras itu dilakukan dari negara mana. Sejumlah negara yang selama ini pengekspor beras, seperti Thailand dan Vietnam, tidak mengekspor beras sejak corona mewabah. Alasannya, pemerintahan negara tersebut lebih mengutamakan stok dalam negerinya masing-masing, mengingat pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir. Kabarnya, Indonesia mencoba melakukan lobi ke Republik Rakyat China (RRC). Padahal, negara tersebut juga ikut terpukul akibat corona yang berasal dari Wuhan, awal tahun 2020 lalu. China pun diperkirakan akan mengutamakan kebutuhan dalam negerinya, mengingat jumlah penduduknya yang mencapai 1,4 miliar lebih. Bagi pemerintah komunis China, mengamankan berbagai kebutuhan dalam negeri sangat penting, mengingat perseteruannya dengan Amerika Serikat, baik dalam masalah perdagangan maupun kasus Laut China Selatan masih terus memanas. Lalu apakah tepat pemerintah mencangkan impor beras di saat para petani panen raya? Kenapa pemerintah tidak mengutamakan produksi dalam negeri? Padahal, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi mengalami kenaikan 0,08 persen atau 45,17 ribu ton, dari 54,60 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2019 menjadi 54,65 juta ton tahun 2020. Atau masing-masing setara beras 31,31 juta ton (2019) dan 31,33 juta ton (2020). Nah, tahun 2021 ini BPS juga memperkirakan produksi beras nasional berpotensi naik 4,86 persen dibanding tahun lalu. Kenaikan tersebut, menurut Kepala BPS Suhariyanto, didukung panen raya yang menunjukkan tren positif di awal tahun ini. Meski potensi luas panen sangat bagus dan nenjanjikan, namun tetap waspada. Hal tersebut melihat kenyataan yang terjadi berupa hujan dan banjir yang bisa menyebabkan gagal panen. Kembali ke impor beras satu juta ton. Itu untuk kepentingan siapa dan menguntungkan siapa? Yang jelas, petani menolak hal itu. Sebab, impor tersebut dapat merusak harga padi yang mereka hasilkan. Buat apa impor? Padahal, Bulog dan Kementerian Pertanian senantiasa menyebutkan produksi dan stok beras nasional aman. Apakah kalimat tersebut dimaksudkan untuk membuat ABS (Asal Bapak Senang), dan memghibur rakyat dari ancaman krisis pangan? Menyangkut produksi, lagi-lagi kita melihat angka yang disuguhkan BPS. Meski dilanda banjir di beberapa daerah, dan hujan deras yang dapat menyebabkan gagal panen, ternyata produksi beras periode Januari sampai April 2021 mencapai 14,54 juta ton. Angka tersebut naik 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan produksi beras pada subround yang sama tahun 2020, sebanyak 11,46 juta ton. Buat apa impor satu juta ton beras itu kalau produksi aman? Akan lebih baik, pemerintah menyerap produksi petani. Sebab, hal itu menyangkut kepedulian dan nasionalisme pemerintah kepada petani. Sekali lagi, buat apa impor beras itu Airlangga? Bukankah bos Anda, Presiden Joko Widodo baru saja mengajak seluruh takyat membenci barang-barang impor? Jangan-jangan kepentingan bisnis yang paling menonjol pada impor tersebut. Sebab, biasanya Bulog yang mendapatkan penugasan dari pemerintah akan mensubkannya ke perusahaan swasta sebagaimana yang terjadi selama ini, termasuk dalam urusan impor daging sapi dan kerbau. Satu juta ton impor itu adalah bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan. **
Syaikhona Muhammad Kholil: Mengapa Harus Pahlawan? (1)
By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Madura itu memang gudangnya ulama. Salah satu ulama besar yang berperan penting dalam melawan kolonialisme dan konstruksi Islam se-Nusantara itu adalah Syaikhona Muhammad Kholil yang berasal dari Bangkalan Madura, Jawa Timur. Kontribusi Syaikhona Kholil dalam gerakan nasionalisme yaitu dengan aktif memberdayakan masyarakat dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, dan sebagainya. Syaikhona Kholil itu menjadi titik sentral penempaan dan pembibitan para calon pejuang dan pahlawan. Hal ini tidak juga terbantahkan dalam fakta sejarah. Santri-santri binaan Syaikhona Kholil hampir semuanya menjadi pejuang dan gigih. Beberapa diantaranya bahkan telah dinobatkan sebagai pejuang dan Pahlawan Nasional. Satu diantaranya yaitu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari. Dalam sidangnya pada 25 Januari 2021, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, sepakat mengusulkan Syaikhona Muhammad Kholil sebagai calon Pahlawan Nasional. Kemudian dilanjutkan pada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk diproses lebih lanjut ke Kementerian Sosial RI. Untuk itu maka DPD Partai Golkar Jatim mengadakan Seminar dan Webinar Nasional dalam rangka Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional pada Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latif dengan Keynote Speaker Khofifah Indar Parawansa pada Selasa, 9 Maret 2021. Dalam catatan TP2GD, Syaikhona Muhammad Kholil memilih perjuangan kultural melalui jalan pendidikan, sosial, dan agama dalam kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Perjuangan dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil sebagai Guru Pahlawan, Guru Para Alim dan Ulama, Guru Para Pejuang. Riwayat perjuangan ini disusun berdasarkan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Syaikhona Muhammad Kholil lahir di Bangkalan pada 25 Mei 1835 Masehi (9 Shofar 1251 Hijriah). Pada usia anak-anak, Syaikhona Kholil berguru ke Tuan Guru Dawuh, yang lebih dikenal dengan Bujuk Dawuh, di Desa Mlajah, Bangkalan. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang dewasa, putra pasangan KH Abdul Latif-Nyai Siti Khadijah ini belajar pada beberapa pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa: Pondok Pesantren Langitan Tuban, tepatnya di Desa Mandungan, Widang, Tuban, Jatim, Muhammad Kholil mondok di Pondok Pesantren Langitan untuk memperdalam ilmu Nahwu dan Sharraf yang diasuh oleh KH Mohammad Noer (wafat 1870 M). Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim, setelah boyong dari Pondok Pesantren Langitan Tuban, Muhammad Kholil pindah ke Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim yang diasuh oleh KH Asyik untuk memperdalam ilmu alat dan ilmu fiqih. Pondok Pesantren Darussalam, Kebon Candi, Pasuruan. Sepulangnya dari Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim, Muhammad Kholil pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, Kebon Candi, Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Di saat mondok di Pondok Pesantren Kebon Candi, Muhammad Kholil belajar pula kepada KH Noer Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 km dari Kebon Candi. Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Setail, Genteng Banyuwangi. Pesantren terakhir di Pulau Jawa yang dituju Muhammad Kholil adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Setail, Genteng Banyuwangi yang diasuh oleh KH Abdul Bashar (wafat 1915). Pada 1276 H/1859 M, Muhammad Kholil belajar di Makkah. Di Makkah Muhammad Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Mohammad Al-Afifi Al-Makki, Syiekh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Iswmail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Muhammad Kholil belajar kepada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun, kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi'i tidak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi'i. Syaikhona Muhammad Kholil memilih perjuangan kultural melalui jalan pendidikan, sosial, dan agama dalam kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Perjuangan dan kontribusinya sebagai Guru Pahlawan, Guru Para Alim dan Ulama, Guru Para Pejuang bisa dideskripsikan sebagai berikut. Penentu Lahirnya NU Syaikhona Muhammad Kholil memberikan restu pada Kiai Hasyim Asy'ari untuk mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah organisasi dan perjuangan ulama dan pengikut Islam Ahlusunnah wal Jamaa'ah. Dalam kurun waktu awal tahun 1924, di tengah kegelisahan massif kaum pesantren ini, Kiai Hasyim terus berikhtiar, bermunajat dan beristikharoh untuk mendapat petunjuk dan isyarat. Namun, petunjuk dan isyarat yang diharapkan tidak kunjung datang juga. Isyarat dan inspirasi justru datang dari Syaikhona Muhammad Kholil. Syaikhona Kholil memanggil Kiai As'ad Syamsul Arifin mengantarkan tongkat kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad dengan patuh mengantarkan tongkat ini kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Setelah menerima tongkat ini, Kiai Hasyim berujar bahwa beliau mantap untuk mendirikan sebuah organisasi yang dapat mewadahi pemikiran dan gerakan kalangan pesantren. Dalam penghujung akhir 1024 itu juga, Kiai As'ad kembali dipanggil oleh Syaikhona Kholil untuk mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad lalu membungkukkan kepalanya menerima pengalungan tasbih langsung dari Syaikhona Muhammad Kholil, dan dengan cara membungkukkan kepalanya pula Kiai As'ad menyerahkan untuk diambil langsung oleh Kiai Hasyim Asy'ari. Lalu Kiai Hasyim Asy'ari berujar, siapa saja yang melawan ulama (dalam organisasi ini) akan hancur. KH Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan wadah perjuangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah dengan nama Nahdlatul Ulama. Menjadi Embrio Lahirnya Pergerakan Nasional dan Nasionalisme di Kalangan Pesantren. Syaikhona Muhammad Kholil memberikan pencerahan kebangkitan pergerakan nasional, nasionalisme melalui jalan pendidikan. Pergerakan ini kiranya menjadi strategi tersendiri setelah melihat gurunya, Syaikh Nawawi Banten harus rela pondok dan langgarnya dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena terlalu lantang menggelorakan perjuangan melawan penjajahan. Tempat penempaan dan pencerahan para santri untuk melahirkan kecintaan pada bangsanya dan melepaskan diri dari berbagai ketidakadilan akibat kolonialisme. Gerakan Politik Etik di Eropa dilaksanakan juga di Nusantara dengan maksud ingin membalas jasa rakyat. Para pemimpin pergerakan melakukan upaya pendidikan dan mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Dalam konteks pendidikan, Syaikhona Muhammad Kholil memberikan pendidikan Islam sebagai jalan utama untuk memberdayakan umat dan membangkitkan semangat egaliter untuk bersama. Pemberdayaan melalui pendidikan Islam, memberikan pencerahan luar biasa kepada para santri untuk proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Selanjutnya menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Syaikhona Muhammad Kholil menjadi titik sentral penempaan dan pembibitan para calon pejuang dan pahlawan. Hal ini tidak terbantahkan dalam fakta sejarah. Santri-santri binaan Syaikhona Muhammad Kholil telah banyak menjadi pejuang yang gigih, beberapa diantaranya bahkan telah dinobatkan sebagai pejuang dan pahlawan nasional. Sebut saja santri-santri Beliau diantaranya, KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, Kiai As'ad Syamsul Arifin, KH Manaf Abdul Karim, KH Mohammad Shiddiq, KH Bisri Syansuri, Kiai Munawwir Krapyak, Kiai Maksum, KH Abdullah Mubarok, dan lainnya. Para santri Syaikhona Muhammad Kholil inilah yang kemudian terangkai sebagai jejaring penebar pemikiran dan gerakan Syaikhona Muhammad Kholil, yang secara aktif menguatkan perjuangan agama dari kalangan pesantren. Santri-santri alumni didikan Syaikhona Muhammad Kholil yang menerjemahkan pemikiran dan gerakan sang guru. Pemerintah Hindia-Belanda mengakai jika perlawanan-perlawanan yang muncul di seantero Jawa, dan Nusantara berasal dari kaum santri. (Bersambung) ***
Permainan Kasar & Primitif Moeldoko
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara (Sumut) disebut-sebut sebagai kongres yang abal-abal karena sudah dipastikan melabrak Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Tetapi peduli apa, karena ini bukan misi kader untuk memperbaiki citra Partai Demokrat. Melainkan ada misi lain yang lebih besar. KLB Partai Demokrat Jum’at (05/06/2021) lalu, di Kabupaten Deli Serdang tersebut, misinya hanya untuk mengacak-acak partai. Selain itu, mengambilalih kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa. Dimulai dengan pembelahan dua kepengurusan. Ujungnya adalah keluarnya SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang mengesahkan kepengurusan KLB. Rakyat sudah dapat membaca dengan mudah kalau langkah ini adalah permainan kasar Moeldoko yang menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Bukan hanya kepentingan pribadi semata. Moeldoko adalah Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang bermukim di Istana. Muncul pernyataan bahwa Polisi tidak mengizinkan, tetapi tidak membubarkan. Masalah internal katanya. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sang Ketum yang diruntuhkan mengancam untuk melawan. Sementara Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) minta Menkumham agar tidak mengesahkan hasil KLB. Ketua Bidang bapilu serta Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPP Partai Demokrat, Andi Arief berkoar kalau bakal Istana digeruduk. Tentu semua akan melihat bukti-bukti nyata untuk membuat Istana gentar. Jika tidak, ya nasib bakalan berbicara lain. Menkumham kemungkinan saja bakal mengesahkan hasil KLB di Deli Serdang. Artinya, matilah SBY dan AHY. Demokrat abal-abal berubah menjadi Demokrat baru di bawah genggaman Istana, koalisi hasil kooptasi atau aneksasi. Persetan dengan demokrasi, katanya. Demokrasi akhirnya dipersetankan dan diplesetkan menjadi democrazy. Kekuasaan orang-orang gila. Gila kekuasaan dan gila kejumawaan. Dalam era transaksional, menjadi gila kekayaan juga. Aapakah itu memalukan? Sudah terlalu banyak kasus hingga kebal dengan peristiwa memalukan atau memilukan. Yang penting tujuan dapat tercapai, dan rakyat aman aman atau diam-diam saja. Sebenarnya sinyal gerakan kudeta sudah tercium beberapa waktu lalu. Sinyal tersebut sudah menjadi pembahasan publik. Akan tetapi AHY dan SBY tak nampu menahan gerakan hingga terlaksana KLB di Deli Serdang. Gerakan gaya Orde Baru dijalankan oleh rezim berbau Orde Lama. Membuldoser reformasi yang goyah dan hampir mati di serang pandemi. Virus politik suka-suka. Permainan kasar atau radikalisme Moeldoko untuk satu tahap telah berhasil membuat pembelahan nyata-nyata terjadi di Partai Demokrat. SBY tengah mengurut dada sambil berdendang "sakitnya tuh disini". Sementara itu, mungkin Jokowi menyanyi "kau yang mulai, kau yang mengakhiri". Lalu Moeldoko menimpali dengan lagu Queen "we are the champions" walaupun mungkin lirik pendek "we can be heroes, just for one day" David Bowie. Akhirnya permainan kasar Moeldoko tidak akan mendapat peluit pelanggaran dari wasit. Karena wasit mengatakan permainan itu adalah Aku. Aku ada di dalamnya. Aku wasit bersama dengan Moeldoko. Jangan tanggung kalau mau melawan Moeldoko. Karena yang dilawan adalah wasit yang merangkap sebagai pemain utama dan pemain cadangan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ring Tinju Moelkowi VS Beyehaye
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah penantang Moelkowi dengan cara tidak etis berhasil didaulat menjadi penantang juara betahan Beyehaye untuk kelas nggak berat-berat’s amat, maka pertarungan kini disiapkan oleh petinju kedua kubu. Kubu Moelkowi berlatih keras di “Sasana Merdeka". Sedangkan Beyehaye berlatih di “Sasana Chike AS". Saat timbang badan, kedua petinju adu mulut. Untung saja keduanya pakai masker, jadi agak aman-aman saja. Nggak bau-bau amat. Moelkowi bercelana merah sesumbar dengan suara keras akan menjatuhkan Beyehaye di ronde ketiga. Sementara Beyehaye yang bercelana biru meyakinkan bisa menjatuhkan di ronde keempat. Mengukur kekuatan diri, minimal TKO, katanya. Pertarungan akan dilaksanakan besok di Mahkamah Square Garden. Di tengah persiapan pertarungan tersebut, para cukong petaruh mulai berhitung dan menyiapkan dana taruhan. Petaruh yang ingin memenangkan Moelkowi jauh lebih siap dana, maklum mereka adalah para Taipan. Beyehaye harus kalah. Apapun caranya dan berapapun biayanya. Pikiran curang memenuhi fikiran. Juri lalu diamat-amati keadaan kehidupan pribadinya. Dicari-cari sana-sini kelemahan dan aibnya. Lalu disiapkan pendekatan-pendekatan yang pas dan jitu. Cukong petaruh Moelkowi intens dan teliti hingga yakin dua dari tiga juri telah seratus persen dipegang. Yang ketiga pun masih digarap hingga waktu pertandingan nanti. Berapapun dana yang dibutuhkan, siap untuk dibayarkan. Juri dan wasit memihak adalah jaminan kesuksesan. Beyehaye berlatih serius menajamkan jab-jab, hook kiri kanan, upper cut, dan straight untuk melakukan serangan. Target Knock Out atau minimal TKO. Sementara Moelkowi disamping menajamkan pukulan serangan, juga memperkuat pertahanan weaving, elbow block, slipping, ducking atau rope a dope. Yang penting jangan KO atau TKO, dengan bertahan hingga akhir ronde, dijamin unggul angka. Juri adalah penentu dan itu telah diamankan Moelkowi. Kemungkinan Moelkowi akan keluar menjadi pemenang. Beyehaye harus menyerahkan sabuk kejuaraan. Sangat terasa sakit hati jika dibegal oleh perampok kawakan dan pembunuh bayaran yang bertopeng wasit dan juri pertarungan. Strategi Moelkowi yang dirancang adalah memancing emosi Beyehaye agar hilang konsentrasi dan memukul tanpa kendali. Bila habis enerji, maka kelak mudah untuk didikte. Diprediksi Tim Beyehaye akan melempar handuk. Wasit pun dipastikan memihak pada Moelkowi yang didukung cukong petaruh dengan finansial tak terbatas. Wasit dan juri adalah manusia. Ada takut ada pula butuh duit. Ring tinju akan menjadi saksi dari pertarungan yang memang tidak adil dan tidak jujur. Pertaurangn yang penuh dengan intik, kelicikan dan kecurangan. Kemenangan yang sudah direncankan dengan kecurangan. Seperti pemilihan presiden yang baru berlalu. Keangkuhan melawan keterpurukan. Keputusasaan yang ditekan oleh kekuasaan. Kejahatan dari rekayasa permainan yang membuang rasa malu atau dosa. Ring politik Moelkowi yang menghalalkan segala cara. Ia adalah cold blooded killer. Penulis Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Samakah Jokowi Dengan Richard Nixon Soal Partai Demokrat?
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat, sejauh ini sah secara hukum. Memang Kongres Luar Biasa (KLB) telah terselenggara di Deli Serdang. Pak Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum dan Dr. Marzuki Ali sebagai Ketua Dewan Pembina. Sayangnya KLB itu tak menggunakan AD/ART terakhir sebagai dasar. Konsekuensinya KLB itu tidak sah. Itu sebabnya layak dipertimbangkan skema playing victim. Bagaimanapun Pak Moeldoko pernah memiliki relasi manis dengan Pak SBY. Tetapi andai bukan playing victim, maka AHY dan Pak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden dua periode sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai ini, telah didatangi masalah besar. Hal Tak Terlihat Pembaca FNN yang budiman. Pak SBY telah kumadangkan perang menegakan keadilan dalam kasus ini. Masalahnya siapa yang mau diperangi? Aapakah SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Pak Moeldoko atau Presiden Jokowi yang mau diperangi? Apa target terdekatnya? Bagaimana amunisi, strategi dan taktik, dan siapa saja yang sebarisan dengan AHY dan Pak SBY? Tetapi sebelum lebih jauh menyusuri koridor itu, saya ingin mengajak Pembaca FNN yang budiman untuk mengenal penilaian negarawan-negarawan Amerika terhadap partai politik. Partai politik dalam penilaian mereka, terlihat buruk. John Kenneth White, dalam Handbook of Party Politics, diedit oleh Richard S Katz dan William Corothy (ed) mengungkap pandangan berkelas dari tiga negarawan Amerika. Mereka adalah mantan Presiden George Wahington, John Adam dan Thomas Jefferson. George Washington, orang pertama yang mengawali praktek pemerintahan presidensial di dunia, seperti ditulis White, menilai buruk partai politik. Washington, tulis White menyatakan “dalam satu pemerintahan monarki, patriotisme mungkin memandang dengan toleran, jika tidak dengan mendukung semangat partai. Tetapi dalam pemerintahan rakyat, pemerintah yang murni pilihan, semangat partai tidak perlu didorong”. Lain Washington, lain pula John Adam, yang menjadi penerusnya sebagai presiden kedua Amerika Serikat. Kata Adam “tidak ada yang aku takuti selain terbelahnya republik menjadi dua partai besar. masing-masing diatur dibawah pimpinannya dan mengambil langkah-langkah yang bertentangan satu sama lain”. Abigail Adam, istri Jhon Adam, memang bukan politikus. Tetapi penilaiannya juga menarik. Katanya “roh partai itu buta, jahat, tertutup, tidak jujur, dan tidak kenal ampun.” Mirip dalam substansinya dengan Abigail, Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat ini mengatakan pada tahun 1789 “jika saya tak bisa masuk surga kecuali dengan partai, maka saya rela untuk tak masuk surga“. Amerika, dalam kenyataan sejauh ini, benar-benar terbelah ke dalam dua partai. Partai Republik dan Partai Demokrat. Garis politik keduanya berbeda dalam sejumlah aspek substansial dan tampilan praktisnya. Tetapi apakah kedua partai inilah, yang melukis secara independen wajah sosial, politik, ekonomi dan hukum Amerika? Tak selalu juga. Pelukis sesungguhnya bukan mereka. Mereka tidak selalu bisa menampilkan garis dan keyakinan politiknya secara independen. Hampir tidak ada dari mereka yang mampu menggunakan energinya secara independen untuk menantang ide-ide financial oligarky. Tetapi sudahlah, simpan dulu soal-soal itu. Mari, sejauh yang bisa meraba langkah lanjutan AHY dan SBY, anak dan ayah ini. Akankah SBY yang terlihat mengerti nilai etika dan martabat sebagai orang beradab menjadikan Pak Moeldoko sebagai target? Bila itu dilakukan, jelas Pak ABY menentukan target, sekaligus terlihat kalah level sama Pak Moeldoko. Mengapa begitu? Pak Moeldoko tak bakal bisa berstatus Ketua Umum Partai Demokrat, kalau Presiden Jokowi melalui Menteri Hukum dan Ham, tidak mengesahkan komposisi kepenggurusan Demokrat hasil KLB itu. Sebaliknya, kalau Pak Yasona mengesahkannya, maka Pak Moeldoko resmi berstatus sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sejauh belum ada SK Menkumham, maka untuk alasan hukum, AHY dan SBY sah dalam status saat ini. Konsekuensinya, tidak tepat menjadikan Pak Moeldoko sebagai sasaran perlawanan. Lalu siapa yang mau dilawan? Presiden Jokowi? Apa argumentasinya? Terlihat sepadan bila Pak SBY melawan Pak Presiden Jokowi. Pak SBY menjadi Presiden dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) dan Pak Jokowi juga Presiden dua periode (2014-2019, dan 2019-2024). Jadi, sepadan mereka. Tapi apa argumentasinya? Andai Pak SBY mengidentifikasi Pak Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), sehingga secara silogistik Pak SBY menyatakan terdapat hubungan hukum langsung antara Pak Moeldoko dengan Pak Presiden Jokowi, jelas itu logis. Masalahnya, apakah kenyataan itu beralasan hukum dikonstruksi sebagai hal hukum yang menjadi dasar Presiden Jokowi memikul tanggung jawab atas tindakan Pak Moeldoko? Begitulah penalaran hukum atas kasus ini, suka atau tidak. Lain lagi kalau politik. Dalam politik, tidak ada norma yang bersifat imperatif. Pak SBY, tak mungkin tak tahu itu. Pada spekterum ini, Pak SBY harus sangat produktif dan cermat menemukan langkah. Pak SBY meminta, dengan nada apapun kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi untuk berpegang teguh pada etika politik, bahkan etika personal, jelas sangat beralasan. Tetapi cukupkah itu? Tidak cukup sama sekali. Pak SBY telah berkali-kali menyatakan itu secara terbuka. Kenyataannya, KLB tetap berlangsung dan berakhir dengan hasil yang sejauh ini disangkal AHY dan SBY sebagai abal-abal. Itu sebabnya Pak SBY harus menemukan cara yang mampu membawa Presiden Jokowi ke koridor yang dikehendakinya. Untuk sampai dititk itu, terasa layak membayangkan Pak SBY memperhitungkan hal-hal yang sejauh ini tak terlihat. Bagaimanapun Pak SBY tak mungkin tidak tahu bahwa kehidupan politik nyata selalu dililit dengan ide-ide dan target tak terlihat. Diksi salah pilih Pak Moeldoko dulu, dan meminta ampun kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas kesalahannya, itu bagus. Tetapi sebaiknya diksi itu dihentikan. Sebab orang dapat membalik nalar diksi itu menjadi “AHY dimungkinkan jadi Ketum Demokrat” boleh jadi salah juga. Harus Cerdas Bila KLB itu bukan formula playing cictim, maka Pak SBY, harus menggali semua hal tak terlihat pada persitiwa KLB Partai Golkar dan PPP. KLB yang mendatangi kedua partai tersebut, dengan sebab-sebab organisasi yang satu dan lainnya terlihat memiliki kemiripan dengan apa yang dialami Demokrat kini. Demokrat, partai yang netral pada putaran kedua Pligub DKI Jakarta, dan biasa-biasa saja pada Pilres 2015 dan 2019 kemarin, memang terlihat tak pro pemerintah. Tetapi tidak juga oposan, apalagi ekstrim menyediakan ide alternative terhadap kebijakan Pak Jokowi. Kenyataan ini bisa menyulitkan Pak SBY menemukan argumen logis melebel Pak Jokowi gunakan tangan Pak Moeldoko “mencaplok” Demokrat. Walau begitu, apakah Pak SBY dengan semua keterampilan dan koneksi politik internasionalnya tidak memetakan keuntungan politik, yang mungkin diperoleh Pak Jokowi dalam peristiwa ini? Bila iya, bagaimana Pak SBY mendemonstrasikannya? Suka atau tidak, satu-satu kenyataan yang tak bisa disangkal oleh Pak Jokowi adalah status Pak Moeldoko dalam pemerintahan ini. Status officialnya adalah pejabat negara, berada langsung di bawah Presiden. Ini poin utama tata negara. Bukan politik. Berstatus sejelas itu dalam hukum tata negara, memungkinkan Pak SBY mempertimbankan cara partai Demokrat Amerika membongkar keterlibatan Presiden Richard Nixon dalam kasus Watergate tahun 1973 dulu. Bukan karena kebetulan sama-sama mempunyai nama “Partai Demokrat”. Untuk waktu yang lama, Presiden Nixon menyangkal semua tuduhan Partai Demokrat Amerika bahwa dirinya terlibat dalam skandal Watergate. Tetapi langkah-langkah tata negara Partai Demokrat di DPR Amerika berhasil membuat semua sangkalan Nixon, terbukti bohong, bohong dan bohong. Menariknya lagi, sejauh ini argumen Demokrat terlihat begitu terbatas. Sampai dengan artikel ini ditulis minggu siang, Demokrat AHY dan SBY terlihat sangat landai. Spektrum argumennya terlihat terisolasi sebatas politik, dalam balutan prinsip etis demokrasi dan rule of law penyelenggaraan pemerintahan. Apa Pak SBY sengaja membuat landai agar lawan terlena? Kalau KLB sekadar replica playing victim, ya tak bakal ada hal heboh. Bila tidak, maka AHY dan Pak SBY tak boleh gagal menghalau SK pengesahan Kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang. SK Menkumham itu, andai terbit, juga mungkin disambut orang sebagai cara rasa sakit, merendahkan, bahkan penghinaan mendatangi dan menyapa AHY dan Pak SBY. Untuk alasan hukum, SK Menkumham, andai terbit, memiliki dua konsekuensi. Pertama, sejak SK itu terbit, maka AHY dan SBY tidak lagi sah menjadi ketua Umum Demokrat dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Semua kewenangan Ketua Umum beralih ke Pak Moeldoko. Dengan demikian, Pak Moeldoko memiliki wewenang melakukan tindakan hukum positif dan negatif terhadap seluruh anggota DPR dan DPRD dari Fraksi Partai Demokrat. Kedua, Pak Moeldoko dan kawan-kawan berhak menggunakan Sekretariat Partai Demokrat di dekat Tugu Proklamasi, berikut seluruh property lainnya. Tak ada alasan untuk tak menyerahkan property-property ini kepada mereka. Semoga saja tak terjadi. Memang itu dapat dihentikan sementara. Tetapi penghentian sementara hanya dapat dinyatakan oleh pengadilan melalui putusan sela. Apakah Pak SBY telah memetakan soal ini? Apakah Pak SBY cukup yakin bahwa keadilan tak bisa dikoordinasikan? Pembaca FNN yang budiman, partai memang telah menjadi entitas penting dalam demokrasi dan rule of law. Tetapi Woodrow Wilson, Presiden Amerika ke-28, tak melihat partai sebagai hal penting. Baginya tanggung jawab partai tak lebih dari sekadar fiksi oleh kawanan gerombolan gembala yang kebingunan. “Saya tidak percaya pada partai. Saya percaya pada orang. Saya tidak menuntut tanggung jawab partai. Saya menuntut tanggung jawab orang. Saya tidak mendapat ekspresi pendapat yang tunggal dari partai. Saya mendapatkannya dari orang”, begitu kata William Graham Summer yang dikutip White. Pembaca FNN yang budiman, sembari waspada pada Covid-19, mari menantikan AHY dan SBY menemukan cara mencegah terbitnya SK Menkumham. Bagaimana cara Pak SBY, dan bukan AHY yang membawa Presiden Jokowi, masuk ke dalam penyelesaian kasus ini, jelas mengasyikan untuk dinantikan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Saat Direktur Pajak Menjadi Perampok Pajak
MENURUT teori kejahatan finansial, 90% pelaku kejahatan itu adalah orang dalam. Teori ini benar adanya, dan bahkan akurat ketika kita menyaksikan betapa brutalnya Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Angin Prayitno Aji merampok uang pajak. Sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjulukinya sebagai penghianat. Karena itu Sri menyayangkan hari gini masih ada pegawai Kementerian Keuangan yang terlibat korupsi. "Jelas ini pengkhianatan dan telah melukai perasaan baik di Direktorat Jendral Pajak maupun seluruh jajaran Kementerian Keuangan di seluruh Indonesia", kata Sri Mulyani dalam jumpa pers virtual di Jakarta Rabu (3/3) lalu. Curhatan dan makian Menkeu bukan tanpa alasan. Betapa ia berusaha menata birokrasi di Kementerian Keuangan begitu ketat, dengan aturan yang juga ketat, bahkan aparat pajak dibayar jauh lebih mahal dibandingkan aparat birokrasi kementerian lainnya, namun disayangkan tetap kebobolan juga. Kita patut menyayangkan munculnya makelar kasus Gayus Tambunan yang hanya pegawai III A DJP Kementerian Keuangan yang berhasil menjebol uang negara. Bisa dibayangkan Gayus yang pegawai rendahan bisa menjadi makelar atas kasus sengketa pajak senilai Rp10,5 triliun, berapa besar kasus yang digondol Angin? Adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menduga penyimpangan penagihan pajak senilai Rp1,7 triliun yang melibatkan Angin Prayitno. Mungkin saja rilnya lebih besar. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, dugaan tersebut sudah dilaporkan beserta alat buktinya kepada KPK pada Jumat siang (5/3). "Saya datang ke KPK melaporkan proses yang diduga terkait dengan inisial AP yang saat ini dicekal oleh KPK yang saat ini diduga menerima suap berkaitan dengan pengurusan pajak dengan wajib pajak," demikian ujar Boyamin. Lantas bagaimana kronologi Angin Prayitno Aji bisa menjebol uang pajak? Bagaimana kronologi sehingga Angin bisa dijuluki sebagai penghianat? Begini ceritanya. Berdasarkan surat Menteri Keuangan (Menkeu) No.SR-383/MK.03/2017, memberikan izin penyanderaan terhadap DS (Dedy Sutanto), AT dan WW selaku Komisaris dan Direksi PT Industri Pulp Lestari dikarenakan menunggak pembayaran pajak sebesar Rp1,7 triliun. Atas surat izin itu, Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Jakarta Pluit telah melakukan penyanderaan terhadap DS yang dititipkan di Lapas Klas II A Salemba. Selanjutnya, DS berupaya lepas dari penyanderaan dengan cara membayar Rp15 miliar pada 20 Desember 2017, satu minggu setelah disandera dan membuat surat pernyataan akan membayar dengan seluruh harta kekayaannya sesuai dengan nilai di SPT pribadi. Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER/03/PJ/2018 tanggal 23 Januari 2018, DS lepas dari sandera pada 24 Januari 2018, atau sehari sejak terbitnya Peraturan Dirjen Pajak pada tanggal 23 Januari 2018. Hal itu pun dinilai tidak wajar jika merujuk syarat-syarat pembebasan sandera pajak, salah satunya pertimbangan Menkeu yang membutuhkan waktu 39 hari. Hingga saat ini tagihan pajak senilai Rp1,7 triliun dari PT Industri Pulp Lestari diduga belum tertagih sepenuhnya. Diduga baru terbayar Rp15 miliar dari DS dan diduga tidak dilakukan penyanderaan terhadap AT dan WW sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana korupsi atas peristiwa tersebut. Adanya dugaan penyimpangan penagihan pajak Rp1,7 triliun itu diduga terkait dengan Angin yang saat itu menduduki jabatan eselon II setingkat Direktur pada DJP. Saat Angin ini telah dicegah ke luar negeri oleh KPK terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pajak. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Angin hanya mendapat fee atas makelar kasus yang dilakoninya, sementara Gayus bisa mendapat ratusan miliar? Sudah sesulit itukah membobol uang pajak? Atau suap Rp15 miliar itu hanyalah puncak dari gunung es yang sesungguhnya? Semoga tindakan penghianatan yang memalukan ini tidak terulang lagi di kemudian hari.
Pemerintah Jokowi Terlihat Bingung
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor. Namun di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet. Terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Terlihat panik soal kebijakan-kebijakan ekonomi di dalam negeri. Kesana salah ke sini keliru. Sebelumnya soal investasi industri minuman keras (miras) yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun yang dicabut hanya lampiran. Juga soal pernyataan Direktur Pidana Umum Badan Reserse Keriminal (Bareskrim) Polri terkait status tersangka enam syuhada, anggota laskar Pront Pembela Islam (FPI). Setelah berselang tiga jam diumumkan penghentiannya oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. Plan A yang gagal. Pemerintah sudah "confuse" dalam segala hal. Pemerintah juga kehilangan "wisdom", berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak sana-sini. Pemerintah sudah kaya orang bingung. Tidak tau lagi harus berbuat apa. Akibat dari yang pemerintah bingung, maka rakyat juga beingung. Maka, mari bungung rame-rame, berjamaah. Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat sekarang. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk, dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali gowa. Menyelesaikan masalah dengan memproduksi masalah baru. Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah sikap naif dari seorang presiden yang berlebihan. Hanya mempertontonkan kebungungan kepada rakyat. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu, maka sudah pasti buzzer segera menuduh "hate speech", lalu dilaporkan ke polisi. Katanya tidak bisa gaul global. Hanya karena sumber “hote speech” itu presiden, karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Mambangun nasionalisme hanya bermodalkan benci terhadap produk-produkl luar negeri. Tragisnya, hampir 80% kebutuhan pangan kita hari ini adalah Impor, termasuk impor garam dan ayam. Pemerintah seperti terus dibayangi oleh hantu. Hantu dari kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) terus mengganggu pemerintah. Ketakutan yang luar biasa menghantui pemerintah, hingga tempat Kejadian Perkara (TKP) pun dihancurleburkan. Diratakan dengan tanah. Tidak lagi ada jejak yang ditinggalkan. Penanganan kasusnya dilambat-lambatkan, serta opini yang coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini giliran Partai Demokrat yang diobrak-abrik. Kudeta lewat Rongres Luar Biasa (KLB) akhirnya jadi juga. Moeldoko, sang brutus tersebut terang-terangan membunuh SBY yang telah membesarkannya. Moeldoko yang dibesarkan SBY, mulai dari kolonel samai jendral bintang empat, dan berakhir dengan jabatan Panglima TNI. Kini Moeldoko telah menjadi Ketua Umum hasil KLB. Mungkin tidak lama lagi, Surat Keputusan Menkumham tentang pengesaham kepungurusan Moledoko segera terbit. Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri kini telah bertumpuk-tumpuk, mencapai Rp. 6.233 triliun. Sementara hutang tambahan yang baru, sangat sulit, bahkan setengah mati untuk bisa mendapatkan. Investasi asing juga tidak kunjung tiba, dan terus masih dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti dalam kebijakan. Hanya pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Faksi Anas Dibalik Kudeta Partai Demokrat Oleh Moeldoko
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Disinyalir tokoh senior mantan kader Partai Demokrat yang hadir di Kongres Luar Biasa (KLB) abal-abal Partai Demokrat di Hotel The Hill Deli Serdang, Jum'at 5 Maret 2021. Mayoritas dari mereka adalah orang-orangnya dari Faksi Anas Urbaningrum (AU). Mereka yang dikenal gigih memperjuangkan AU di Kongres 2010. Mereka juga yang mengantarkan AU menjadi orang nomor satu di Partai Demokrat. Bahkan santer terdengar ketika itu, AU telah disiapkan menjadi Calon Presiden 2014. Sayangnya, menurut info yang beredar ketika itu. Niat AU untu menjadi calon presiden pada 2024 tercium oleh SBY. Singkat cerita, Skandal Hambalang dijadikan jembatan untuk “mengubur” impian besar AU dan faksinya untuk bersinar hingga 2014. Impian AU tenggelam pada medio 2012, dan terkubur melalui KLB Partai Demokrat tahun 2013. Jika dicari celah, maka pejabat politik mana yang tidak korupsi di zaman now. Namun kasus Hambalang dijadikan alasan oleh SBY untuk membunuh Anas. Aroma adanya balas dendam politik antara gabungan Faksi AU dan Moeldoko dengan “saling meminjam tangan”, yang kebetulan lagi mencari kendaraan politik untuk tahun 2024 terbaca dengan cerdik oleh Moeldoko dan istana. Memanfaatkan Faksi AU untuk tujuan politik Moeldoko dan istana. Faksi AU tentu saja mempunyai dendam politik politik yang besar kepada ABY. Karena digusur oleh SBY melalui Kongres Partai Demokrat tahun 2013. Kongres yang dilakukan setahun menjelang SBY lengser dari kursi Presiden. Hasilnya, semua gerbong UU dihabisi oleh SBY Adanya konspirasi politik antara Faksi AU dengan Moeldoko, walaupun berbeda tujuan politik, namun memiliki target yang sama, yaitu SBY. Target politik Faksi AU tentu 'menghabisi' politik dinasti SBY di Partai Demokrat. Sementara, target politik Moeldoko untuk kepentingan politik tahun 2024. Soal legal atau ilegal, itu soal belakangan. Yang penting, rebut dulu kembali Partai Demokrat. Politik jahiliyah memang kejam dan tak bermoral. Pertarungan Faksi AU dan SBY memasuki babak kedua pasca KLB Partai Demokrat tahun 2013. Nyaris semua orang-orang AU disingkirkan. Setelag KBL Deli Serdang, sekarang kemungkinan giliran semua orang-orang SBY yang disingkirkan. Serangan balik terjadi setelah 7 tahun Faksi AU tersingkir dari Partai Demokrat. Kini, mereka faksi AU telah menemukan celah balik untuk menghabisi'SBY melalui kudeta Partai Demokrat oleh Moeldoko. Peluang kepengurusan Moeldoko cs untuk disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM sangat besar. Bila tidak ada MLB (Manuver Luar Biasa) dari SBY untuk menggagalkan pengesahan kepengurusan Moeldoko oleh Menteri Hukum dan HAM. Beginilah bila keserakahan dan ambisi politik tidak dibarengi dengan agama. Politik menghalakan segala cara bisa terjadi setiap saat. Politik ala orang-orang tidak beragama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَة “Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no. 7148) Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.
Fatamorgana Indonesia, Penduduk Miskin Naik Menjadi 27,5 Juta
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Semua bangsa punya masalah, tanpa kecuali. Tetapi persoalannya bukan pada masalah yang menimpa, melainkan cara sebuah bangsa merespon masalah tersebut. Respon yang tepat berujung pada solusi. Namun respon yang keliru menambah berat persoalan. Pandemi global Covid-19 adalah cermin yang tepat buat kita mengaca perbedaan negara-bangsa merespon situasi. Ketika pandemi melanda dunia setahun lalu, negara lain sibuk membatasi akses lalu lalang dan pergerakan orang. Menutup batas wilayah negara dan memblokade akses antar provinsi. Bangsa kita malah mempromosikan pariwisata atau mempromosikan jamu. Saat itu, untuk tahun anggaran 2019, pemerintah menganggarkan Rp 72 Miliar untuk mebayar influencer dan promosi wisata. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 miliar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara. Bukannya menyadari kekeliruan itu, sejumlah kebijakan dan ucapan pejabat malah menjadi sumber kontroversi. Lekat diingatan kalimat "corona masih jauh, masker hanya untuk orang yang sakit, mudik versus pulang kampung," dan seterusnya. Selain jamu, seorang menteri bahkan pernah perkenalkan kalung anti corona. Hasilnya? Indonesia sempat mencatat rekor negara pertama di Asia Tenggara dengan satu juta kasus covid-19. Negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Menempati urutan ketiga di Asia setelah India dan Iran. Bukan Tentang Covid Sekali lagi, ini bukan tentang Covid-19. Ini tentang cara kita merespon masalah yang berpengaruh pada disorientasi perumusan keputusan. Ya ada koreksi, ada introspeksi pada setiap kebijakan yang keliru. Bila perlu sebuah permintaan maaf kepada publik, setiap kali kebijakan yang merugikan rakyat. Itu tidak buruk. Itu sehat demi perbaikan negeri. Penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga ekonomi. Masalahnya, dua sektor ini saling overlapping. Titik balik perbaikan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Sementara penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, solusi yang dipandang paling jitu sepertinya hanya mengutang. Sudah begitu, bunganya tinggi pula. Tadinya, utang menumpuk demi infrastruktur. Sekarang, utang menggunung demi memenuhi pembiayaan penanganan Covid-19. Hingga akhir Januari 2021, jumlah utang Indonesia mencapai 6.233,14 triliun rupiah. Seiring menggunungnya pokok utang, bunganya pun terus membengkak. Tahun ini saja, beban bunga utang naik lagi 18,8 persen, atau sekitar dari Rp. 314,1 triliun pada 2020 triliun. Sekarang bunga utang naik menjadi Rp 373,26 triliun pada 2021. Ironisnya, kebijakan utang pemerintah yang dulu dikonsentrasikan untuk pembangunan infrastruktur, justru terancam mangkrak di beberapa tempat. Sebutlah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai U$ 5,5 miliar dolar atau jalur kereta api Makassar-Parepare sepanjang 145 kilometer di Sulawesi Selatan. Perencanaan proyek yang ambisius berubah menjadi mimpi buruk. Rumah rakyat tergusur, lahan pertanian beralih fungsi, belum lagi dampak banjir akibat pembangunan rel dengan perhitungan drainase yang minim. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah manargetkan pembangunan proyek rel kereta api di Sulsel selesai Juni 2021. Namun, tak kunjung terlihat pergerakan di lapangan. Belakangan, sang gubernur malah terjerat Operasi Tangkap Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Upaya pencegahan dan pemberatasan korupsi semestinya dilakukan dari pucuk tertinggi pemerintahan. Namun, dari sana pula catatan buruk korupsi juga banyak ditemukan. Belum genap dua periode Jokowi menjabat presiden, empat menterinya sudah tersandung korupsi. Sebanyak dua menteri di periode pertama yakni Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dua menteri lagi di periode kedua, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Presiden Jokowi gagal dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ketika jajaran kabinet yang dipilih dan disusunnya sendiri justru tersandera korupsi. Seharusnya pengalaman dua menteri terciduk KPK di periode pertama memberi pelajaran untuk ekstra hati-hati menyusun kabinet di periode kedua. Namun, reputasi yang sama kembali terulang. Bahkan catatannya menjadi lebih buruk sebab penangkapan dua menteri terjadi dalam tempo belum satu setengah tahun periode kedua berjalan. Kemiskinan Merebak Pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung. Kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan pandemi yang berkepanjangan menambah berat bobot persoalan menyusul robohnya sejumlah usaha dalam sektor industri dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Alhasil, persentase kemiskinan menembus dua digit. Data ini berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 oleh Badan Pusat Statistik ( BPS). BPS mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta atau 10,19 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut naik 2,76 juta jiwa dibandingkan September 2019 atau bertambah 0,97 persen secara tahunan. Tingkat kemiskinan terakhir kali menembus dua digit pada September 2017 dengan jumlah 26,58 juta jiwa. Alasan yang selalu dipakai pemerintah, kenaikan penduduk miskin itu karena faktor Covid-19. Namun, kalau kita menelisik data BPS sebelumnya, tren angka kemiskinan sesungguhnya telah menanjak sebelum musim Covid-19 . Faktanya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, lalu bertambah menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Relevan dengan data tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam laporan catatan awal 2021 menyatakan, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan naik hampir dua kali lipat sebesar 7,8 persen atau sebanyak 10,4 juta jiwa. Angka pengangguran itu belum termasuk pengangguran terselubung yang jumlahnya dua kali lipat dari pengangguran terbuka. Praktis, pelebaran angka kemiskinan mengakibatkan kehidupan kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pasalnya, kemiskinan cenderung diikuti oleh permasalahan lain, seperti rendahnya kualitas hidup masyarakat. Juga kurangnya asupan gizi, kecukupan nutrisi serta kualitas pangan, dan lain-lain. Padahal, di musim pandemi begini, daya tahan tubuh harus selalu ditingkatkan. Salah satunya melalui suplai nutrisi yang baik dan berkualitas. Di tengah situasi demikian, iuran BPJS kesehatan justru naik sejak Januari 2021 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini rasanya berbanding terbalik dengan relaksasi pajak penjualan mobil, meski terbatas dalam kategori produk low cost green car (LCGC). Yang miskin semakin miskin. Sebaliknya, yang kaya semakin kaya. Alhasil, jurang kesenjangan sosial semakin terbuka lebar. Jangankan saat ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda saja, kesenjangan sosial sudah terlihat nyata dan telanjang di masyarakat. Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96 : 4. Pertanyaannya, dengan fakta-fakta di atas, lalu apa yang akan diwariskan Pemerintah saat ini kepada anak cucu kita kelak? Kita tunggu seperti apa perjalanan republik 3,5 tahun ke depan, hingga akhir masa Jabatan Presiden Jokowi. Jangan biarkan Presiden Jokowi bekerja sendiri. Kita dukung beliau dengan kerja-kerja produktif dan kritik yang argumentatif, agar Indonesia tidak menyimpang lebih jauh. Presiden Jokowi menyebut tahun 2021 ini dapat menjadi momentum Indonesia menjadi negara maju, jika mampu keluar dari krisis akibat Covid-19 dengan baik. Penulis Adalah Senator DPD RI.