ALL CATEGORY
Politik Beras Anti Petani
RITUAL tahunan sedang berlangsung, dimana cadangan beras masih tinggi, ditambah produksi beras meningkat signifikan, tapi Pemerintah memutuskan impor beras 1 juta-1,5 juta ton. Ritual ini adalah wajah politik perberasan nasional, dimana posisi petani tidak dianggap sebagai elemen penting, kalau bisa dinegasika lewat impor beras. Mari kita tengok data perberasan kota. Dirut Bulog Budi Waseso menyatakan stok beras Bulog masih aman di lebel 2,2 juta ton. Angka itu cukup untuk mengamankan pangan nasional selama 8 bulan ke depan. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mengumumkan total produksi beras nasional tahun ini diperkirakan mencapai 14,5 juta ton. Jumlah itu 3,2 juta ton atau 26,84% lebih banyak banyak dibandingkan produksi beras tahun lalu. Jika dikirangi dengan konsumsi pangan nasional, menurut BPS, maka masih ada surplus beras tahun ini sebanyak 12 juta ton. Ini juga mengkonfirmasi bahwa kegiatan produksi beras petani tidak terpengaruh oleh gegap gempitanya pandemi Covid-19 yang menurut banyak pakar menghentikan kegiatan ekonomi. Nyatanya tidak sama sekali, terbukti dari pertumbuhan produksi padi yang mencapai 26,84%. Sungguh berkah dan mulia karya para petani. Namun petaka itu justru datang dari Pemerintah, tepatnya dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Mengingat, ungkap Buwas, dua menteri itulah dibaik kebijakan Pemerintah yang ingjn mengimpor beras 1 juta hingga 1,5 juta ton. Darimana Buwas tahu? Karena sebagai Dirut, Buwas ternyata dapat perintah mengimpor beras sekitat 500 ribu ton. Buwas pun bicara dengan Presiden Jokowi bahwa stok beras Bulog masih aman, ia pun menyarankan agar Pemerintah tidak perlu mengimpor beras. Apa salahnya impor beras? Tentu saja secara kasat mata impor beras disaat stok dan produksi beras sangat besar, tentu akan memukul harga beras perani. Peluang petani menikmati untung dari beras hasil panennya pun hilang. Bahkan peluang petani jadi kaya pun lenyap. Boleh jadi harga beras petani jatuh, karena guyuran beras impor asal Thailand. Lantas siapa yang ambil untung? Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pemburu rente (rent seeker), ada juga yang menyebut para mafia lah yang diuntungkan dalam politik perberasan yang berlangsung saat ini. Memang benar kalau ada yang mengatakan politik perberasan kita beberapa tahun terakhir anti petani, anti anak negeri, anti kemakmuran untuk anak bangsa.
Kalau Sidang HRS Langsung, Apa Sulitnya Mencegah Kerumunan?
by Asyari Usman Medan, FNN - Habib Rizieq Syihab (HRS) mengatakan, dia dihinakan oleh para petugas yang memaksa dirinya masuk ke ruangan Bareskrim Polri untuk mengikuti sidang online (daring alias dalam jaringan). HRS marah. Dia merasa hak asasinya dilanggar kalau dipaksa sidang daring. Tadi siang, 19 Maret 2021, HRS dipaksa mengikuti sidang daring itu setelah hakim memerintahkan petugas untuk menghadirkan Imam Besar FPI tsb di depan kamera di Bareskrim. Perintah inilah yang membuat para petugas memaksa HRS. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak menyetujui permintaan HRS agar dia dhadirkan langsung di ruang sidang. Menurut hakim, permintaan itu tak bisa dikabulkan karena diperkirakan akan menimbulkan kerumunan. Hakim atau majelis hakim punya kuasa penuh di pengadilan. Tapi, sekiranya HRS dihadirkan langsung di ruang sidang, apakah memang sulit menjaga agar tidak terjadi kerumunan? Tampaknya, tidak ruwet. Kalau semua pihak, terutama majelis hakim, berkenan menghadirkan HRS di ruang sidang. Majelis bisa memerintahkan agar kejaksaan dan kepolisian mengamankan komplek PN Jakarta Timur supaya tidak didatangi oleh para simpatisan HRS. Bisa diatur pula agar orang-orang lain yang berurusan ke PN tetap berjalan normal. Petugas bisa mengisolasi gedung PN Jakarta Timur selama sidang berlangsung. Ini bukan bentuk pengistimewaan kepada HRS. Dia berkeberatan sidang online karena sering terganggu sinyal. Suara hilang atau gambar tersendat-sendat. Pengalaman inilah yang membuat HRS tidak nyaman dengan sidang daring. Keberatan HRS sangat wajar. Sebab, dia tidak ingin satu kata pun yang diucapkan oleh semua pihak di ruang sidang, tidak terdengar dengan jelas. Setelah permintaan hadir langsung ditolak, HRS kemudian menyatakan bahwa dia rela sidang dilanjutkan tanpa kehadiran online maupun secara langsung. Dia siap menerima hukuman seberat apa pun yang dijatuhkan pengadilan. Betul bahwa majelis hakim harus mengikuti peraturan Mahkamah Agung (MA) tentang sidang daring di masa pendemi Covid-19. Namun, sangat masuk akal juga permintaan HRS untuk hadir langsung. Dia ingin memastikan agar sidang berjalan ‘clear’ dan ‘clean’ (jelas dan bersih). Para hakim sudah diingatkan bahwa “lebih baik membebaskan 1,000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah”. Adagium ini bermakna bahwa kepentingan seorang terdakwa jaub lebih tinggi dari kepentingan pihak-pihak lain yang berwenang di persidangan. Semoga majelis hakim tidak terlalu kaku. Kalau perlu, sidang HRS bisa saja dilaksanakan di komplek MA. Supaya lebih aman. Semakin tidak mungkin terjadi kerumunan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Konstitusi Yang Disiapkan Oligarkis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Hukum untuk bangsa (law of the nation), begitu sakralisasi politik terhadap UUD atau konstitusi. Untuk tujuan itu, konstitusi dengan sendirinya menyandang sifat “supreme” dalam jajaran hukum pada bangsa itu. Itulah akar konsep konstitusionalisme. Darinya mengalir hukum-hukum lain yang bersifat organik. Berlevel rendah dari konstitusi dalam lingkungan negara bangsa itu. Darinya pula sistem hukum untuk bangsa dan negara tercipta. Bukan sistem, kalau unsur-unsur di dalamnya saling menyangkal. Terbentuklah apa yang disebut tertib hukum. Konstitusionalisme liberal, untuk semua alasan yang sejauh ini telah teridentifikasi, tidak benar-benar terisolasi dari citarasa oligarkis. Sifat itu disandang konstitusi. Bukan karena huruf-huruf konstitusi menulisnya. Sama sekali tidak. Unggul Dalam Deteil Sifat itu tersandang padanya karena konstitusi tidak pernah biacara hal detail. Oligarki mengenal ini. Mereka unggul dengan kecermatannya mengidentifikasi deteil huruf, kata dan kalimat konstitusi. Selain UU tidak menulis jangkauan wewenang pemerintah secara detail, terdapat tiga hal hebat yang mengantarkan oligarki ke puncak kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Ketiga hal itu adalah “equality before the law” dan “liberty” serta “freedom”. Ketiga konsep itu tidak dapat diisolasi, sehingga jangkauannya meliputi semua orang. Tetapi konsep hebat itu, untuk semua alasan inetelektual apapun, mengandung konsekuensi tak terlihat. Tentu tak dikehendaki, uninteded consequences. Hebatnya kalangan oligarki melihatnya dengan mudah. Berbekal pengetahuan teknis itu, oligarki merancang jalan menuju puncak kehidupan ekonomi, sosial, politik dan hukum. Jalan ini, karena lika-liku di dalamnya tak mampu didaki orang-orang miskin. Orang miskin justru menggunakan konsep itu sebagai barometer penilaian atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembaca FNN yang budiman, kaum oligarkis tahu detail konsekuensi konsep supremacy of law. Mereka berbeda sudut pandan dan jalan dengan Ilmuan konvensional di dunia hukum. Kalau ilmuan konvensional menyambut konsep “supremacy of law” sebagai benteng atas kesewenang-wenangan, oligarki lain lagi melihatnya. Kalangan oligarkis tahu UUD tidak pernah rigid, deteil mengatur batas jangkauan wewenang presiden atau perdana menteri. Di kepala kaum oligarkis, UUD itu dokumen telajang, setelanjang kehidupan rakyat yang tak terdefenisikan, dinamis dan harus diurus. Tindakan mengurus, suka atau tidak haru berdasar hukum, karena diwajibkan oleh konsep “supremacy of law”. Ini hebatnya oligarki. Karena harus berdasarkan hukum, dan hukum harus dibuat. Oligarki tahu itu, dan tahu apa yang harus dilakukan. Cara termudah adalah kuasai pembentukan UU, sehingga huruf-huruf dalam UU itu mengakomodasi kepentingan mereka. Mengapa harus menulisnya? Oligarki tahu, tidak ada aktifitas ekonomi, apapun itu yang tidak berawal dari dan berkait dengan hak. Hak, suka atau tidak, tidak bersumber dari apapun, selain hukum. Pembentukan UU, tidak pernah lain selain sebagai penegasan hak, kewajiban dan prosedur. Begitulah sebagian dari cara berpikir oligarki. Salahkah ini? Oligarki dapat dengan mudah mengatakan tidak. Anda juga dipersilahkan menempuh cara yang sama. Oligarki bisa dapat meyakinkan pembentuk UU untuk membentuk UU tentang lobby agar tersedia rule of the game yang sama bagi semua orang. Pembaca FNN yang budiman. Tahukah anda bahwa UUD Amerika Serikat tidak menulis tentang Bank Sentral yang sekarang terkenal dengan nama “The Federal Reserve”? Tidakkah pembaca FNN yang budiman juga tahu bahwa UUD Amerika tidak mengatur corporasi sebagai subyek hukum? Kenyataannya Amerika memiliki The Federal Reserve. Amerika juga memiliki “corporation” sebagai subyek hukum. Pemerintah yang memiliki sikap anti trust sekalipun, dalam kenyataannya tidak dapat berkelit dari, kalau bukan tekanan dari panduan oligarki keuangan dan korporasi. Thedore Rosevelt, Presiden Amerika 1901-1908, dikenal dengan kebijakan Trust Busting-nya, sempat kelimpungan menghadapi korporasi. JP Morgan misalnya, menghadap Tedy begitu Theodore Rosevelt sang Presiden disapa. Kepada Teddy, JP Morgan mengatakan “bila ada yang salah dari kami, kirimkan orang anda ketemu orang kami, dan kita bicara”. Indonesia disepanjang paruh kedua tahun 1980-an dan sepajang tahun 1990-an sebelum reformasi, ramai dengan kritikan kaum intelektual soal politik dan ekonomi soal dominasi dan sepak terjang konglomerat. Begitu nadanya sangat negatif. Kelompok ini besar dan dibesarkan dengan fasilitas pemerintah. Begitulah nadanya. Konglomerat, dalam nada negative disamakan dengan predator dan monster politik ekonomi. Mereka tumbuh menjulang di tenghn kemiskinan yang terus menggunung. Akhirnya UUD 1945 yang sebelum diubah, untuk sebagian, ditunjuk sebagai penyebabnya. Pilihannya UUD 1945 harus diubah. Saatnya pun tiba dan UUD 1945 benar-benar diubah. Menariknya, perubahan itu dilakukan dengan cara yang satu dan lainnya sama sekali tidak direncanakan. Tak pernah diproyeksikan dalam kerangka pemikiran hukum “unintended consequenses”. Masa jabatan presiden memang dibatasi. Presiden tidak lagi dipilih MPR. Rakyat diberi hak memilih langsung presiden dan wakil presiden. Kepala daerah juga begitu. Bank Indonesia dan Hak Asasi Manusia diatur dalam dalam UUD reformasi ini. Prinsip ekonomi digariskan dalam pasal 33. Terlihat top untuk sejenak bagi orang miskin. Apakah begitu kebnyataannya? Itu soalnya. UUD reformasi ini tidak dapat menjinakan korporasi. Mereka tidak terjauhkan dari dunia politik pilpres, pileg, ekonomi dan hukum. Tidak sama sekali. Mereka masih tetap bercokol, bahkan semakin kuat dan menguasai. Tak Terhalang Oligarki tidak pernah surut, atau mengambil posisi belakang. Bagai buih, oligarki selalu berada di depan dan di permukaan gelombang semua lautan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Untuk yang di permukaan, mengarahkan dan memberi bobot terhadap kehidupan politik dan ekonomi pada tatanan politik dua partai, itulah mereka. Di politik bersistem multi partai juga sama. Malah semakin banyak partai, semakin menyenangkan oligarki bercokol dan mengatur. Oligarki tahu dunia tidak berubah. Dunia dan hidup diciptakan untuk diubah. Perubahan tidak pernah datang dengan sendirinya. Perubahan harus direncakanakan. Perubahan yang direncanakan sama dengan perubahan yang dikendalikan. Postur politik dan hukum, suka atau tidak, harus direncanakan dan dikendalikan. Ini pekerjaan besar dalam semua aspeknya. Pekerjaan ini, suka atau tidak, terlalu jauh jaraknya dari jangkauan tangan para kaum reformasi. Sepanjang sejarah yang naik turun, gelap dan terang, pekerjaan besar itu selalu menjadi pekerjaan para oligarkis. Kaum yang kokoh dengan harapan, dan tangguh menyusuri lika-liku ekonomi, politik dan hukum, dengan cara yang begitu kaya, selalu menjadi pengarah perubahan. Memang terdapat sekelompok presiden yang teridentifikasi mengambil jalan berseberangan dengan kaum ini. Tetapi waktu berlalu bersama kesuksesan demi kesuksesan kaum oligarki. Teddy Rosevelt yang kukuh membatasi korporasi berkarakter trust, tak dapat benar-benar mengentikan mereka. William Howard Taft, Presiden yang profesor tata negara ini, juga sama. Berkelahi dengan korporasi, tetapi ketika ujung jabatannya tiba, dia menemukan diri, oligarki keuangan telah menentukan peluit untuk dia harus minggir dari kursi Presiden Amerika. Turky Usmaniah, harus tenggelam untuk selamanya segera setelah Woodrow Wilson, presiden yang dibiayai pencalonannya oleh oligarki keuangan ini, mencanangkan “Internationalization of Freedom”. Dengan konsep itu, bergemalah di seluruh dunia “kemerdekaan”. Teritori-teritori Turki Usmaniah menyambutnya. Pecahlah integrasi bangsa itu. Turky Usmaniah pun tamat. Hanya presiden pintar, dan punya hati yang pada batas tertentu, dapat menjinakan kelompok yang hanya tahu untung pada semua tampilannya itu. Profesor Soepomo, arsitek UUD 1945 menyatakan “hal terpenting dalam penyeleggaraan negara adalah semangat penyelenggara negara”. Woodrow Wilson juga mengakui itu. Presiden ini diketahui pernah berkata dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan UUD yang terpenting, tetapi “who behind the bussinis”. Puluhan tahun kemudian, Dwig H. Eisenhower, Presiden Amerika sesudah Truman bilahg, “konstitusi boleh saja menulis begitu banyak kewenangan presiden, tetapi dalam kenyataan tergantung siapa presiden dibalik konstitusi itu. Hanya oligarki bodoh yang memimpikan seseorang menjadi presiden berkali-kali. Sejarah telah jelas dalam soal ini. Berapapun lamanya masa jabatan presiden, oligarki selalu berada di hulu dan hilir semua aspek kehidupan. Suka atau tidak, konstitusionalisme selalu didekorasi oleh kaum oligarkis. Apakah Indonesia mirip-mirip itu, kalau tidak dibilang sama persis? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Komite III DPD RI Mendukung Guru Honorer Menjadi PNS Tanpa Tes
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Konon, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi teramat sulit melihat relasi yang menjembatani dua ungkapan itu pada persoalan guru honorer. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Problem guru honorer justru terasa lekat dengan pribahasa yang sangat ini. Mereka punya kewajiban besar dengan hak yang super minimalis. Mereka diharapkan profesional, namun tidak diberikan kepastian kerja. Dan mereka telah mengabdi puluhan tahun, namun tak kunjung menerima apresiasi layak dari negara. Sebagian guru honorer, bahkan telah menghabiskan separuh hidupnya mencetak generasi penerus bangsa. Mereka, yang seluruhnya telah berumur di atas 35 tahun ini, membentuk wadah Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Melalui wadah itu, para pahlawan tanpa tanda jasa ini memperjuangkan dirinya. Meraka bukan sedang melawan penjajah Asing, tetapi mereka melawan arogansi pengelola negerinya sendiri. Saya sebut arogan karena negara seperti menutup mata pada jasa panjang pengabdian mereka sebagai guru honorer non kategori 35 tahun ke atas. Untuk guru, pemerintah sepertinya sangat kekurangan anggaran. Tetapi tidak untuk yang lain. Lekat diingatan, pemerintah pernah begitu bersemangat "menggaji" pengangguran melalui kartu pra kerja. Program yang sempat menyebarkan bau anyir kerugian negara itu. Ini sebuah kebijakan yang anomali. Dalam kacamata pemerintah, perekrutan guru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dipoles sedemikian rupa, seolah menjadi jalan keluar terbaik. Padahal, bagi guru honorer, konsep ini secara sederhana tak lebih dari perpindahan satu area ketidakpastian kerja menuju wilayah ketidakpastian kerja yang lain. Substansinya, sama-sama tenaga kontrak. Kebijakan PPPK tidak menunjukkan keberpihakan negara kepada guru honorer, khususnya GTKHNK 35+. Rekrutmen PPPK didesain mempertemukan persaingan antara GTKHNK 35+ dengan guru baru Non PNS lulusan sekolah guru. Padahal, sebagian dari mereka adalah mantan murid GTKHNK 35+. Maklum, tidak sedikit GTKHNK 35+ telah berusia 40 hingga 50 tahun dan telah mengabdi selama 20 tahun. Cara itu sungguh terlihat tidak adil dan zalim. Pertama, karena kegiatan pelatihan peningkatan kualitas guru cenderung tidak memprioritaskan, bahkan bisa disebut mengabaikan GTKHNK 35+. Kedua, pengabdian puluhan tahun mengajar seolah tidak dipandang dan diapresiasi oleh pemerintah. Usia produktif GTKHNK 35+ selama ini telah dikuras habis oleh negara melalui pengabdian panjang. Mereka berhasil mencetak generasi bangsa, anak cucu kita. Ketiadaan perlindungan negara adalah cara tak langsung pemerintah mencampakkan guru honorer senior GTKHNK 35+. Sementara itu, guru honorer GTKHNK 35+ tak punya banyak pilihan. Mereka pada dasarnya cinta pada profesi yang mulia ini. Tidak ada yang ingin lepas darinya. Lagi pula, kalau pun ingin lompat pagar ke lain profesi, kita tahu ketersediaan lapangan kerja semakin sulit, terlebih dalam usia 35 tahun ke atas. Kemanakah empati pemerintah? Kebutuhan Guru Saat ini, kebutuhan guru di Indonesia sebesar 2,2 juta PNS. Namun, yang baru terisi baru 1,1 juta guru PNS. Inilah alasan pemerintah mengadakan perekrutan guru. Semakin mendesak karena tahun ini saja sebanyak 69.000 guru PNS akan memasuki masa pensiun. Perekrutan guru adalah langkah baik. Namun, terlebih dahulu membenahi problem akut guru honorer semestinya menjadi prioritas pula. Jangan mengambil solusi baru sebelum menyelesaikan problem yang telah mengakar lama. Toh keduanya bisa berjalan paralel. Sementara PPPK yang dianggap solusi, faktanya tidak menyelesaikan masalah. Jumlah guru honorer 742.000. Sebanyak 59 persen atau 437 ribu di antaranya berusia 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Mereka inilah yang sedang berpacu dengan waktu, berjuang di antara dilema usia non produktif dengan kepastian kerja dan jaminan masa depan. Bila ke-437 ribu GTKHNK 35+ tersebut diharuskan mengikuti seleksi, bisa dipastikan beberapa diantaranya tidak akan lulus. Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah dibiarkan menunggu tes tahun berikutnya? Sampai kapan? Kita tentu saja sangat mengapresiasi solidaritas GTKHNK 35+ yang telah dibangun diantara mereka. Mereka tidak ingin saling meninggalkan, sehingga bertekad bersama-sama tidak mengikuti jalur PPPK yang diadakan pemerintah. Semestinya sikap itu telah cukup memberi sinyal kuat kepada pemerintah untuk menyadari bahwa ada problem besar yang tidak dapat dijangkau oleh PPPK. Tetapi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap memaksakan program ini sebagai solusi bagi keseluruhan tenaga pengajar honorer. Apa boleh buat. demi memperjuangkan haknya, pengurus dan anggota GTKHNK 35+ terpaksa mengonsolidasi perjuangnnya dari bawah, meminta dukungan kesana-kemari. Mereka menyambangi pemerintah daerah masing-masing, mengunjungi Kantor DPRD setempat, dan juga bergerilya di Pusat dengan mendatangi gedung DPD RI dan DPR RI. Kepada institusi-institusi itu, mereka memohon dukungan ketika kemendikbud yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan kepentingan GTKHNK 35+ justru memalingkan muka. Dukungan Komite III DPD GTKHNK 35+ beberapa saat lalu (Rabu sore 17 Maret) juga telah melakukan audiensi dengan kami, Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI. Banyak cerita haru terdengar. Dari mereka, kami menjadi lebih paham betapa sulitnya memperjuangkan hak di negeri ini. Dari Audiensi tersebut, Komite III DPD RI sepakat mendukung sepenuhnya pengangkatan GTKHNK 35+ menjadi PNS tanpa harus melalui tes. Mereka, bagaimana pun juga, telah berkontribusi membangun sektor pendidikan karena kecintaannya pada profesi ini. Kini saatnya negara membalas pengabdian itu dengan status PNS. Ini bukanlah permintaan yang berlebihan. Dalam konteks itu, kami meminta salah satu dari dua hal berikut: pertama, agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Presiden (Peppres) tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS, khususnya guru honorer usia 35 tahun ke atas. Dengan Peppres ini, percepatan penyelesaian problem guru honorer Secara menyeluruh dapat disegerakan. Tuntutan penerbitan Peppres juga telah disuarakan oleh GTKHNK 35+ saat menggelar rapat koordinasi nasional di ICC Kemayoran, beberapa saat lalu. Kedua, agar pengangkatan guru honorer usia 35 tahun ke atas dapat dimasukkan dalam RUU perubahan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini tengah digodok di DPR. Insya Allah, dalam kapasitas dan kewenangannya yang serba terbatas, Komite III DPD RI ikut bergerak untuk tujuan ini. Negara harus memahami, usia guru honorer GTKHNK 35+ tidak lagi produktif menjajal profesi baru. Pemerintah harus memahami itu, tidak justru abai mengelola SDM-nya, terlebih SDM yang tugas pokoknya melahirkan SDM baru. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, semua guru harus masuk dalam kategori dihargai itu, tanpa kecuali. Penulis adalah Senator DPD RI.
Jokowi Dihadapkan Pada Pilihan Sulit
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Cara kudeta kasar dan melabrak hukum yang dilakukan Kepala Kantor Staf Presiden (KPS) Moeldoko menempatkan Presiden Jokowi serba salah. Kelakuan Moeldoko sekarang berdampak pada pilihan sulit bagi Jokowi. Sebagai Presiden, Jokowi harus berpura-pura netral. Terpaksa berujar bahwa soal Konres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara adalah masalah intern Demokrat. Tuntutan agar menegur, bahkan memecat Moeldoko bukan hal mudah. Sebab sukses Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat dipastikan menguntungkan kepentingan politik Jokowi. Moeldoko bisa dipakai Jokowi untuk merealisaskan kepentingan politik jangka pendek, maupun jangka. Itu pun dengan catatan kalau Mooldoko diberikan SK Menkumham sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memecat dan mengganti dengan pejabat lain sama saja dengan mengorbankan salah satu benteng Istana. Moeldoko adalah jagoan yang berani atau nekat dalam melangkah. Mantan Panglima TNI ini meski berambisi, tetapi tetap loyal kepada Jokowi. Trium Virat benteng kekuasaan bersama Hendro Priyono dan Luhut Binsar Panjaitan menjadi andalan Jokowi. Pada sisi lain, bila Jokowi mendukung langkah brutal Moeldoko melalui KLB, itu sama saja dengan melegalisasi pelanggaran hukum. Sama dengan membenarkan politik menghalalkan segala cara pada demokrasi kita yang berwajah buram di masa komunitas internasional. Menkumham Yasona Laoly ditempatkan di garda tedepan penguatan status kepemimpinan Moeldoko hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. Terhitung sejak Moeldoko mendaftarkan hasil KLB ke Kemenkumham, maka telah terjadi dualisme kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko dapat bebas mengacak-acak Partai demokrat dengan bantuan penyandang dana dari oligarki dan konglomerat hitam, licik, culas dan picik. Gerombolan konglomeret yang tidak pernah puas menghisap darah. Berbeda dengan pola devide et impera pada partai-partai politik lainnya, Moeldoko yang menjadi pengurus sah di Partai Hanura mampu menjadi Ketum di Partai Demokrat. Padahal Moledoko adalah kepala KSP. Moeldoko orang dekat Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, sorotan keras ini membuat posisinya menjadi sulit. Bagai harus makan buah simalakama. Simalakama nama latinnya adalah phaleria macrocarpa yang mengandung zat anti oksidan seperti alkaloid, flavonoid, polifenol, saponin, dan terpenoid yang berguna untuk menurunkan kadar gula darah, anti kanker, anti radang, juga anti alergi. Tetapi racun simalakama ini juga bisa menyebabkan sariawan, mabuk, dan kejang-kejang, berbahaya bagi ibu hamil. Memakan buah simalakama adalah pilihan sulit. Racun yang dapat menjadi obat, dan racun yang menimbulkan penyakit. Jadi, kaitan dengan politik kini apa yang dilakukan oleh Moeldoko dalam kudeta Partai Demokrat via KLB menjadi bagai makan buah simalakama bagi Jokowi. Pilihan yang tidak mudah. Pilihan yang serba salah. Di tengah kesulitan Jokwi itu, prinsip "bukan urusan saya" atau "sudah ditugaskan kepada Menteri" menyebabkan Jokowi sebenarnya melempar kesulitan itu justru kepada rakyat. Menciptakan kegaduhan untuk rakyat. Sikap itu yang sekaligus mengukuhkan predikat sebagai rezim sarat kegaduhan. Suka dan hobby memproduksi kegaduhan politik. Banyak yang merenung, apakah Presiden memang sedang memikirkan rakyat? Atau rakyat ini yang selalu dan selalu dibuat pusing untuk memikirkan prilaku Presiden? Pilihan Jokowi untuk menentukan kebijakan melegalisasi hasil KLB, yang berarti membunuh SBY atau menolak pengesahan KLB yang bermakna membunuh Moeldoko adalah kondisi berat sebagai ujian bagi masa depan dirinya. Ataukah seperti biasa, biarkan diambangkan saja lalu mengikuti instink untuk melompat ke tempat lain lagi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jaksa Terkejut, Uang Bulanan Istri 50 Juta
by Asyari Usman Medan, FNN - Kemarin, 17 Maret 2021, istri Edhy Prabowo (EP) yaitu Iis Rosita Dewi (IRD) membuat jaksa KPK terkejut. Pasalnya, IRD mengaku bahwa dia mendapat uang bulanan 50 juta rupiah dari suaminya. IRD diperiksa sebagai saksi dalam sidang pengadilan di Jakarta dengan terdakwa Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama. Suharjito didakwa menyuap Edhy Prabowo agar izin ekspor benur (bibit lobster) bisa dipercepat penerbitannya. Pak Jaksa bertanya dari mana sumber uang EP. IRD menjawab, “Saya tidak tahu.” Tentu saja harus jawab begini. Kalau dia tahu sumbernya, bisa-bisa terjerat pula. Di persidangan, jaksa bisa menanyakan apa saja. Tapi, kalau jaksa sampai terkejut mendengar uang bulanan 50 juta tiap bulan untuk istri seorang menteri, terus terang saya balik terkejut mendengar Pak Jaksa terkejut. Hehe! Mengapa kita semua pantas terkejut? Karena ‘kan Pak Jaksa sedang menangani perkara korupsi terkait izin ekspor benur. Artinya, pantas diduga banyak “buner” (benih duit) yang mondar-mandir di sekitar benur. Bukan ratusan juta, tapi ratusan miliar. IRD adalah anggota DPR RI (fraksi Gerindra). Gaji beliau tentu cukup besar –sekitar 66 juta total semuanya. Tunjangan yang beliau terima banyak sekali jenisnya. Gaji pokok memang 4.2 juta saja. Tapi, tunjang sana, tunjang sini, menjadi lebih 65 juta. Cuma, Pak Jaksa barangkali merasa gaji seorang menteri tak mungkin bisa menyediakan bulanan 50 juta untuk istri. Pak Jaksa agaknya tahu gaji menteri tak sampai 20 juta per bulan. Memang ada dana taktis yang bisa mencapai 100 juta hingga 150 juta sebulan. Nah, ini dia. Semasa menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak EP tentu bisa mengambil langkah taktis untuk menyuplai 50 juta tiap bulan kepada istri. Lagi pula, lautan Indonesia itu sangat luas. Rezeki pun pasti juga luas. Apalagi semua yang ada di laut, termasuk lobster dan benurnya, harus sowan ke Pak Edhy. Sehingga, tidaklah mengherankan amat kalau istri dibulani 50 juta. Tak perlu kaget. Namanya juga “menteri lobster”. Jadi, biarkan dan maklumi saja kalau Pak Jaksa terkejut.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Dokter Tifauzia, “Izinkan Saya Bicara (Vaksin)”
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama dr. Tifauzia Tyassuma, MSc pernah mencuat dan menghiasi media massa dan halaman media sosial pertengahan Maret 2020. Dokter, ahli penyebaran penyakit (epidemiologi klinis) itu menuliskan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Setidaknya ada empat surat yang ditulis dalam akun Facebook-nya yang menuntut Presiden Jokowi bersama jajarannya untuk bergerak cepat dalam menangani pandemi Virus Corona yang semakin mengkhawatirkan. Dalam salah satu tulisannya, Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi Kardiometabolik yang akrab dipanggil Dokter Tifa ini bahkan menulis dengan nada keras. Dia menyayangkan keterlambatan pemerintah dalam membuat kebijakan penutupan total (lockdown) semua wilayah di Tanah Air. Gara-gara keterlambatan itu, pemerintah harus menyiapkan kuburan massal. Genap setahun kemudian (Maret 2021), Dokter Tifa kembali mengkritisi kebijakan pemerintah. Terutama terkait dengan impor “Vaksin Kadaluarsa”. Banyak yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang mencibur Dokter Tifa. Berikut ini wawancara Mochamad Toha, wartawan FNN dengan Presiden Ahlina Institute itu yang aktif terjun di lapangan untuk melakukan pelatihan, penelitian, dan observasi ini. Anda masih tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kali ini terkait Vaksin Corona yang ternyata expired (kadaluarsa). Luar biasa. Semua postingan saya tentang expired candy already been take down. Postingan dianggap fake. Jadi sekarang yang truth adalah fake, until the truth will no longer exist! Tidak ada lagi tempat buat kebenaran! Emangnya apa yang Anda tulis dalam akun Facebook Anda? Sekarang ini banyak bermunculan “Ilmuwan” dan “Dokter” Pembela Vaksin kadaluarsa. Sederhana saja kok. Bisa Anda jelaskan maksudnya? Vaksin yang datang tanggal 12 Desember 2020 berjumlah 1,2 juta dosis dan tanggal 31 Desember 2020 berjumlah 1,8 juta dosis, Masa kadaluarsanya 25 Maret 2021. Bukankah semuanya habis disuntikkan? Memang, menurut Jubir Kemenkes telah habis disuntikkan kepada Para Dokter dan Nakes (Oh My God, semoga mereka semua selamat). Kemudian pengiriman vaksin berikutnya, adalah tanggal 6 Januari 2011, 2 Februari 2021, dan 2 Maret 2021 total sebanyak 35 juta dosis, sementara dikabarkan Masa Kadaluarsanya tahun 2023. Jadi, menurut Anda? Artinya: Masa kadaluarsa Vaksin ini adalah 2 tahun. Dengan mengikuti Logika yang sama, maka artinya, vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret 2021 itu adalah vaksin yang dibikin tahun 2019. Bukannya pandemi itu mulai melanda China akhir 2019 dan mulai mewabah lintas negara itu mulai awal Januari 2020? Kemungkinannya menjadi banyak: Satu. Negara penghasil vaksin sudah tahu bakal ada Pandemi pada tahun 2020. Maka dia sudah buat duluan dan selesai produksi tahun 2019. Dua. Vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret tahun 2021 pasti bukan vaksin yang menjalani Uji Klinis Fase 1,2, dan 3 yang baru dinyatakan berjalan pada tahun 2020. Artinya isi vaksin ini jadinya apa? Tiga. Kenapa sih Pemerintah cq Kemenkes ini begok banget? Akibat kebegokan kalian sekarang hari-hari kalian sibuk klarifikasi akibat salah beli barang hampir basi. Abis malah tambah begok lagi dengan Vaksin Astra Zeneca datang, termyata masa kadaluarsa pada Mei 2021. Berarti sama saja dong Vaksin Astra Zeneca juga dibikin tahun 2019? Berarti ini pada udah tahu ya negara produsen vaksin, ngga China, ngga Inggris, bahwa bakal terjadi Pandemi tahun 2020 dong? Mengapa tidak ada Dokter dan Nakes yang bersuara? Nah! Empat. Kenapa sih Dokter-Dokter dan Nakes tak ada suara sedikitpun sampai hari ini, diam seribu bahasa, tidak berkutik, tidak bernyali sedikitpun padahal mereka tahu kalau disuntik barang yang hampir mendekati masa kadaluarsa, dan itu artinya barang produksi tahun 2019. Sementara Uji Klinis terhadap vaksin ini baru dilaksanakan pada tahun 2020. Saya bingung saja. Ke mana kecerdasan Anda para Dokter dan Nakes? Hal ini sangat sederhana. Tidak harus pakai IQ full juga paham. Bukankah ada juga sebagian dokter yang terkesan mendukung vaksin “sampah” itu? Bukan hanya itu. Sekarang ini malah diantara para Dokter tersebut sibuk bikin framing membenar-benarkan, merasionalisasi vaksin itu, dan malah membenturkan bahwa siapapun yang menyalahkan vaksin kadaluarsa, dia yang salah! Saran Anda? Ayolah... Qulil haq walau kaana murron, kata Rasul SAW. Katakanlah kebenaran sekalipun itu pahit. Apa artinya? Artinya, Dunia ini masih jauh dari aman. Saat ini juga, dunia dibayang-bayangi oleh Virus B117. Satu varian yang memiliki perbedaan 21 genome dengan Wuhan Coronavirus. Artinya, penduduk Dunia berhadapan dengan Mutan baru Coronavirus 2021: yang sementara namanya disebut sebagai B117. Saya sebut saja Covid-21. Apakah Varian Mutan B117 sangat berbahaya? Begini. Kemampuan menginfeksi B117 berkali-kali lipat dibanding Covid-19. Daya jelajah 4 kali lipat. Terutama ketika Dunia mulai longgarkan 3M. Penduduk mulai lelah di rumah. Dan Masker mulai ditanggalkan. Bahkan orang-orang bodoh yang mengaku-ngaku Ilmuwan, masih sibuk mengkampanyekan Gerakan Lepas Masker. Maksudnya? Masih banyak “Ilmuwan palsu” yang tidak henti-hentinya bicara di sosial media bahwa Pandemi Coronavirus ini Pandemi bikinan media. Terakhir, Anda juga menulis lagi Surat Terbuka kepada Pemerintah? Masih tetap. Kalau Dokter Tifa, dan semua orang yang memberikan masukan dan kritik yang tajam, tepat, dan lurus, dilarang memberikan pendapat tentang vaksin, dan setiap pendapat, yang tidak sejalan, dilabeli dengan false information. Itu kan sama saja dengan “kekang suara” Anda? Benar! Itu artinya pelita dilarang menyala. Kita semua akan ada di masa kegelapan. Tidak ada check and balance. Tidak ada kritik yang menjadi alat pemandu kalau ada yang melenceng keluar dari garis lurus. Dan rakyat menjadi korban. Dibuat buta dalam kegelapan yang pekat, tanpa tahu dibawa ke mana. Apa yang Anda sampaikan dalam tulisan itu? Soal Vaksin. Anda Pemerintah, sepertinya sangat perlu dibantu dengan pendapat dari orang di luar arena, yang punya pandangan lurus, jujur, dan mulia, tanpa kepentingan, dan dalam pikirannya hanya penuh dengan kebaikan bagi umat, tidak punya tujuan apapun selain dari menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab bila tidak, percayalah, sebagaimana juga banyak korban jatuh karena virus, akan banyak korban jatuh karena vaksin, dan ini adalah rakyat. Mengapa Anda harus menyampaikan hal itu? Begini. Tugas Pemerintah yang utama adalah menjaga Rakyat. Rakyat yang harus dilindungi nyawanya, dilindungi kesehatan dan kesejahteraannya. Tugas saya sebagai Ilmuwan dan Warganegara yang baik, adalah menjaga agar Pemerintah menunaikan tugasnya, tidak saja dengan baik, tetapi dengan luhur dan mulia. Saya menuliskan ini, dengan penuh keprihatinan, kekhawatiran, dan cintakasih kepada bangsa ini. Izinkan saya bicara. Orang yang menganjurkan Buka Masker dan meremehkan Coronavirus, bahkan berani bilang Pandemi ini cuma bikinan, malah dibiarkan berkeliaran di sosial media cari pengikut. Apalagi, mengaku-ngaku ahli virus, berhasil jadi pujaan orang-orang bodoh dan bebal! Dia itulah kriminal yang sesungguhnya! Apa yang Anda harapkan? Kita ini berhadapan dengan musuh yang tak kasat mata, yang cerdas luar biasa. Dibutuhkan kecerdasan luar biasa, kebaikan hati yang luar biasa, kemuliaan hati yang luar biasa, secara serempak, agar Coronavirus bisa segera kita taklukkan. Siapapun juga, yang mengajak-ajak orang untuk Buka Masker, membuat orang percaya bahwa Coronavirus tidak ada, meremehkan Pandemi ini, dia layak ditangkap! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co id.
Umat Digiring ke Jalan Buntu
SUKA atau tidak suka, persepsi publik tentang prosekusi (prosecution atau tindakan hukum) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah kebijakan politik yang sengaja ditempuh oleh para penguasa untuk membungkam umat Islam. Singkatnya, prosekusi terhadap Habib kemudian berubah menjadi persekusi (persecution atau pengejaran alias penggencetan alias penindasan). Mengapa prosekusi terhadap HRS dilihat sebagai persekusi terhadap umat Islam? Tak lain karena HRS belakangan ini dianggap mewakili umat dan merepresentasikan kalangan ulama garis lurus. Kalau ada yang membantah, silakan saja buka catatan tentang kemampuan HRS mengajak umat masuk ke barisan oposisi terhadap kekuasaan. Para penguasa perlu diingatkan bahwa prosekusi terhadap HRS bisa bergulir menjadi pemicu diskonten yang meluas. Sebab, prosekusi yang kini berubah menjadi persekusi itu bermula dari masalah yang lebih banyak berbentuk “cari-cari perkara” ketimbang proses penegakan hukum murni. HRS ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka dan kemudian didudukkan sebagai terdakwa hanya gara-gara kerumunan Covid-19 yang sebenarnya terjadi di mana-mana dan berulang-ulang. Termasuk kerumunan yang dipicu oleh kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, NTT, belum lama berselang. Banyak kerumunan besar lainnya yang berlangsung tanpa prosekusi –apalagi persekusi. Kemudian, penguasa mencarikan kasus lain supaya tuduhan dan dakwaan terhadap HRS bisa berlapis-lapis. Beliau dijadikan tersangka swab test di RS Ummi Bogor. Seterusnya, HRS didakwa melakukan penghasutan. Terkesan pasal-pasal pidana untuk HRS diolah sebanyak mungkin. Dengan tujuan agar pemimpin umat yang didengar oleh puluhan juta orang itu bisa didelegitimasikan. Tidak hanya dicari-carikan pasal pidana untuk beliau. Para penguasa malah membuka kembali sejumlah kasus yang sudah dihentikan, termasuk kasus chat mesum. Pokoknya, karisma dan wibawa HRS harus direduksi. Dengan segala cara. Tak cukup sampai di situ, ormas yang dibina HRS, dibubarkan. Hingga entitas pendidikan agama yang berada di bawah arahan Habib pun ikut dijadikan sasaran. Semua ini bertujuan untuk mengerdilkan HRS dan mengamputasi hubungan antara beliau dengan umat yang merasa sejalan dengan sikap kritis Habib yang selalu berpendirian “benar, katakan benar; salah, katakan salah”. Tindak-tanduk kotor para pemegang kekuasaan terhadap HRS sangat mungkin akan menambah keyakinan bahwa umat garis lurus memang sengaja digencet. Sengaja ditindas. Ini sangat berbahaya. Sebab, anggapan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa itu berbanding terbalik dengan perlakuan ramah dan akomodatif terhadap orang atau kelompok yang jelas-jelas melanggar hukum. Kita sudah lelah menyebutkan contoh-contoh perlakuan diskriminatif itu. Daftarnya terlampau panjang. Yang mengherankan, para penguasa terlihat menikmati anggapan publik bahwa mereka melakukan penindasan. Menjadi ingin bertanya: mengapa mereka begitu percaya diri melakukan semua itu? Apa sebenarnya yang sedang mereka kerjakan? Para penguasa pastilah menolak dikatakan melakukan penindasan. Meskipun itulah yang mereka programkan. Tapi, ada satu hal yang mungkin saja mereka sadari. Atau, bisa jadi juga tidak mereka sadari. Bahwa tindakan mereka memojokkan, membungkam atau menindas itu akan menggiring umat ke jalan buntu. Ini yang perlu dicermati. Sebab, berada di jalan buntu berarti berada dalam situasi “no choice” (tidak ada pilihan). Di jalan buntu, duduk atau berdiri tegak, sama saja. Diam atau bergerak, tidak berbeda. Bahwa Anda akan menghadapi situasi hidup-mati.[]
Ini Baru Halaman Pertama, Bagaimana Lembar Berikutnya?
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Ada yang mengait ngaitkan ucapan Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan napi kasus korupsi proyek Hambalang (Pembangunan Pusat Pendidikan, Latihan dan Olah Raga Nasional) waktu itu. Tentu dikaitkan dengan malapetaka aktual masa kini, kudeta Partai Demokrat oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Publik memberi arti kudeta itu sebagai “halaman pertama” dari sejumlah lembaran sebuah buku politik. Buku yang akan dibuka di waktu-waktu setelah tuntas membaca “halaman pertama”. Lebih asyik dan mboys membacanya sambil duduk mengangkat kaki, ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi biasa. "Saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah besar. Baru halaman pertama. Masih banyak halaman halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan bersama", ucap Anas Urbaningrum seperti dikutip oleh merdeka.com (23/02/2013). Menyambung itu, sementara pihak berspekulasi kalau Moeldoko yang “disuruh” menjadi Ketum Partai Demokrat hasil Konres Luar Biasa Deli Serdang kemarin, untuk segera bergerak ke Senayan. Wakil rakyat asal Partai Demokrat disana signifikan jumlahnya. Bisa menggalang kekuatan dan pengaruh dengan target-taget tertentu. Diilustrasikan, orientasi politik Moeldoko, bila merasa dirinya telah sah secara defacto, akan segera menggalang pengaruh anggota DPR di. Konsentrasi jangka pendek adalah mengupayakan adanya Bab, atau Pasal atau Ayat dalam UUD 1945 yang membolehkan tiga kali jabatan Jokowi sebagai Presiden. Dalam jangka menengah atau pun panjang, dimungkinkan Moeldoko akan mengaku “dipaksa rakyat, bila tidak malu dibilang mencalonkan diri, untuk ambil bagian di Pilpres mendatang. Menjadi calon presiden tahun 2024. Otak-atik politik tersebut merujuk pada pandangan tokoh sentral reformasi '98, Amien Rais, yang mencurigai pihak-pihak selain oposan tengah berjuang untuk tiga kali Jokowi sebagai presiden. Sekali pun kalkulasi Amien Rais tersebut dibantah mentah Wakil Ketua MPR (Fraksi PDIP), Ahmad Basarah, namun rasa was-was dan tidak percaya tak mudah hilang dari mata hati dan pikiran. Sudah kadung tidak bisa dipercaya. Mungkin juga itu sebab-musababnya. "Sejauh ini kami belum pernah memikirkan. Apalagi mengambil langkah langkah politik untuk merubah konstitusi hanya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut, dan mengubahnya menjadi tiga periode," kata Ahmad Basarah. Ungkapan Ahmad Basarah sebagai upaya meyakinkan itu, boleh jadi dibaca kaum oposan sebagai lembutnya lidah tanpa tulang-belulang. Ibarat lagi "kau yang berjanji, kau yang mengingkari," kata Raja dangdut Rhoma Irama dalam syair lagunya. Masih ragu juga? Atau belum mau percaya? Bolehlah kita putar ulang alasan Moeldoko yang baru kemarin sore diucapkannya. Moeldoko membantah kalau bertemu dengan beberapa kader dan bekas orang Partai Demokrat, sebagai rencana kudeta atas Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagaimana kecurigaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partai Demokrat yang sah. Moeldoko, seperti ditirukan SBY, mengaku "hanya ngopi-ngopi biasa. Hanya ngobrol-ngobrol biasa". Ngobrol sambil ngopi antara Moeldoko dengan beberapa orang kader dan pecatan Partai Demokrat itu, diakui Moeldoko tidak membahas rencana jahat politik. Namun apa lacur. Beberapa waktu sesudah itu, yang dilakukan Moeldoko dari hasil ngobrol dan ngopi itu membuahkan hasil? Meletuslah malpraktek politik di Deli Serdang Sumatera Utara. Moeldoko diangkat menjadi Ketum PD dengan cara bermain sulap. Malahan, menurut gelora.co (15/03), Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, secara pribadi mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Itulah sebabnya anak bangsa yang menaruh peduli atas keselamatan NKRI, bahu-membahu berteriak keras. Mereka berdiri atas nama kebenaran dan keselamatan demokrasi. Deretan nama yang berani mengambil posisi di zona oposan diantaranya Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadli Zon serta kaum melek bernegara lainnya. Kecuali para tokoh tersebut, terdapat jurnalis yang tergabung di media massa kritis. Diantaranya TEMPO.co, FNN.co.id, Gelora.co, indonesialeaks dan TV One. Memang sedikit jumlahnya dibanding cacah media massa yang beredar. Para pengkritik maunya diminta diam oleh para buzzeRp. Inginnya mereka para buzzerRp, bernegara seperti yang kini kita rasa dan alami bersama saat ini. Jadi teringat filosofi, "kalau sekedar hidup, babi di belantara itu juga hidup. Kalau sekedar kerja, kerja, kerja, kera yang joget ikut pengamen jalanan itu juga kerja". (Buya Hamka, Tokoh Muhammadiyah). Sulit dibayangkan, seandainya perjalanan negeri ini tanpa diimbangi campur tangan pengkritik. Ibarat penanganan suatu penyakit oleh tenaga medis. Negara ini dalam kondisi illness akibat sepsis yang telah menyeluruh menjangkit organ tubuh. Yang prognosisnya adalah kematian. Nah, keberadaan Amien Rais dan sejumlah pihak yang memiliki selera politik sama, berperan sebagai obat yang bekerja secara paliatif. Mengulur ulur umur. Sambil menunggu mukjizat Allah Subhaanahu Wata’ala untuk sembuh dari penyakit. Akhirnya, seperti apa rupa dan warna dalam gambar serta bacaan di halaman-halaman berikutnya. Kita tunggu saja bersama. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
Teriak Benci Asing Tapi Ketagihan Impor
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Malam teriak benci produk asing. Namun pagin atau siang sudah sarapan beras impor. Itulah ilustrasi yang paling tepat untuk menggambarkan ambivalensi sikap pemerintah. Terutama dalam isu-isu ekonomi dan perdagangan. Baru kemarin Presiden Joko Widodo melantunkan kumandang “cintai produk lokal dan benci produk asing”. Masih hangat-hangat tahi ayam kampanye itu. Eh, tiba-tiba mencuat rencana impor beras satu juta ton. Wajau saja kalau republik ini terperanjat. Rencana impor satu juta ton beras datang dari meja kerja Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Perdagangan M. Luthfi. Pihak yang sama, juga menyuplai informasi kepada Presiden sehingga terlontar kampanye untuk “membenci produk asing”. Rencana impor beras kontan menjawab keraguan publik. Ketika Presiden Jokowi mengajak “benci produk asing” masyarakat memang merespons dengan nada skeptis. Menduga jika ajakan yang tampak heroik itu cuma sebatas gimik saja. Kecurigaan tersebut akhirnya terbukti juga. Alih-alih benci, menahan diri dan memprioritaskan produk lokal milik petani lokal saja bahkan tidak mampu. Maka wajar bila kampanye benci produk asing dinilai cuma basa-basi. Hanya lips service. Sebab Rencana impor beras, menyeret kembali ingatan publik ke titik kemarahan pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) terhadap aksi pedagang asing yang mendominasi ecommerce di pasar lokal. Kemarahan UMKM itu kini meluas. Kemarahan yang merambah kepada para petani di kampung. Impor beras itu, jelas menghianati kerja keras petani di desa-desa. Implikasi lainnya, para pelaku ekonomi dalam rantai ekosistem perberasan bakal terkena pukulan telak dengan banjirnya beras impor. Persoalan impor beras ini akan terus bergulir. Isu ini kabal terus membesar, dan menjadi atensi di seantero negeri agraris. Apalagi panen raya petani lokal sudah di depan mata. Maka wajar bila ekonom senior Faisal Basri menyebut aroma tajam perburuan rente menyengat kuat dari balik agenda impor beras. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menyatakan Bulog belum tentu mengamini rencana yang dirancang oleh Menkoperekonomian dan Mendag tersebut. Impor beras bukan cuma merefleksikan inkonsistensi terhadap seruan benci produk asing. Namun juga membuktikan bila banjir produk asing adalah kontribusi pemerintah. Frasa ekonomi gotong royong, ekonomi berdikari dan kedaulatan ekonomi yang selama ini seolah menghipnotis kesadaran publik, cuma isapan jempol belaka. Salah Arah Arah yang melenceng juga terjadi dalam agenda pembangunan ekonomi digital. Sektor ekonomi yang menjadi trend, bahkan diadopsi sebagai mainstream ekonomi masyarakat global. OECD menyebut digitalisasi adalah satu dari 10 megatrend yang dipicu oleh Covid-19. Indikasi salah arah pembangunan ekonomi digital terlihat dari banjir produk asing. Persis seperti impor beras dan aneka jenis pangan yang saban tahun dilakukan oleh pemerintah. Keresahan soal dominasi asing tidak mengada-ada. Produk asing kadung menguasai pasar daring ecommerce. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menyebut, cuma 7% produk lokal yang listing di ecommerce. Jika digali lebih dalam, muncul pertanyaannya, mengapa terjadi dominasi produk asing? Mengapa situasi ini menjadi sulit dikendalikan? Pertama, ini adalah kontribusi pemerintah. Kegenitan membuka kran impor jadi gerbang utama. Kebijakan impor bukan diteken oleh pedagang di Glodok atau pengecer di Pasar Senen. Tetapi oleh menteri terkait. Maka sejak awal, ajakan “benci produk asing” dari pemerintah diduga sebagai bentuk cuci tangan semata. Kedua, di luar persoalan kebijakan importasi, banjir produk asing juga dipicu oleh dinamika ekonomi internal. Indonesia memasuki momentum konsumsi. Terdongkrak oleh pendapatan perkapita. Tahun 2020 yang lalu, Indonesia bahkan dinobatkan oleh Bank Dunia sebagai upper middle income country. Negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan perkapita Rp58 juta pertahun. Predikat itu adalah lampu hijau. Magnet bagi para investor. Di luar isu pemerataan yang masih jauh panggang dari api, kenaikan pendapatan perkapita adalah indikator jika ekonomi Indonesia tumbuh. Bertabur potensi untuk digali. Terutama di sektor konsumsi. Sayangnya, kenaikan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia tidak diimbangi dengan kemampuan produksi dalam negeri. Industri manufaktur bahkan memasuki masa-masa suram. Kontribusi manufaktur terhadap PDB melorot. Dari 28,83% pada tahun 2003, kini tersisa sekitar 19%. Konsekuensinya, ledakan permintaan harus disuplai impor. Aneka jenis produk, dari pangan, mainan anak, busana harian hingga printilan perkantoran dipasok dari China. Baik itu di pasar daring maupun di pasar tradisional. Ketiga, transmisi digitalisasi mengakselerasi penetrasi asing di pasar dalam negeri. Sudah sejak lama Indonesia diincar. Pendekatan diplomasi atar negara (diplomacy approach) yang ditempuh untuk menikmati pasar terbesar di ASEAN ini. Termasuk melalui jalur investasi. Lusinan perusahaan berbasis teknologi informasi mengguyurkan modal jumbo. Menancapkan eksistensi. Berselancar di pasar digital yang tumbuh secara akseleratif yang . Ekonomi digital Indonesia tahun 2020 tercatat Rp 630 triliun. Tetapi kue jumbo itu, cuma numpang lewat di dompet pelaku ekonomi lokal. Dominasi produk asing di ecommerce menimbulkan impikasi berantai. Ekosistem UMKM dan sektor ril paling kena getahnya. Tidak hanya merugikan mereka yang mencoba peruntungan di platform-platform digital. UMKM yang tak memahami bagaimana cara kerja ekonomi berbasis aplikasi itu, ikut terpapar. Terancam tereliminasi dari rumah sendiri. Ini sangat tragis. Makanya sorotan terhadap impor beras, mestinya menjadi momentum menata kembali tata niaga Indonesia. Bukan cuma di sektor perberasan, dan pangan. Tetapi di seluruh sektor perdagangan yang terindikasi kuat disetir oleh kepentingan pepmburu rente. Persis seperti perburuan rente yang juga terjadi di ecommerce. Bila ditelusuri, ternyata ada keluarga dekat pejabat penting di republik ini yang jadi komisaris di platform digital asing. Platform yang jadi surga bagi arus impor, yang mengancam UMKM lokal. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Fondation dan Praktisi Ekonomi Digital.