ALL CATEGORY
Faktanya, Virus yang Sudah “Mati” Ternyata Bisa “Hidup” Kembali
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Hongkong mencatat kasus pertama paralisa otot wajah setelah vaksinasi Covid-19. Seorang pria berusia 69 tahun dengan riwayat hipertensi dilaporkan mengalami paralisa wajah (gejala Bell’s palsy) 2 jam setelah divaksinasi (pertama) dengan Sinovac pada 6 Maret 2021. Yang pertama kali dirasakan adalah rasa tidak nyaman di mata kiri, dan tidak bisa menutup sempurna segera setelah vaksinasi. Keesokan harinya ngences (drooling) dari mulut sebelah kiri, dan segera pergi ke rumah sakit. Sehari kemudian dia sudah boleh keluar dari rumah sakit. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kondisinya. Bell’s palsy umumnya bersifat temporer, dan akan membaik dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Bell’s palsy Bisa Dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Kasus ini segera dilaporkan sebagai reaksi yang tak diharapkan (adverse reaction), meskipun belum tentu ada kaitan langsung. Hal tersebut diungkapkan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Perihal jumlah laporan reaksi yang tidak diharapkan dalam insiden di Hong Kong ini termasuk rendah: 7,6 laporan per 10.000 dosis. Sementara di negara lain: Inggris 39,9; Singapura 38,2; Australia 23,4. Indonesia? KIPI? Kejadian Ikutan Paska Imunisasi. Namun perlu diingat bahwa di setiap negara program vaksinasi dan kriteria pelaporannya bisa bervariasi, sehingga angka-angka di atas tidak bisa begitu saja diperbandingkan. Hongkong memulai vaksinasi massal pada akhir Februari dan telah ada 93.000 dosis vaksin yang disuntikkan, dengan rincian: 91.818 dosis Sinovac dan 1.207 dosis Pfizer. Dan mencatat 69 jenis reaksi yang tidak diharapkan, diantaranya 30 pria dan 17 wanita usia 30 – 90 tahun, yang terpaksa dikirim ke rumah sakit karena mengeluhkan/mengalami fatigue, pusing dan bahkan stroke. Pada kasus stroke, seorang pria usia 74 tahun dengan riwayat diabetes dan hipertensi, 6 hari setelah divaksinasi dia mengalami kelemahan otot pada sisi tubuh sebelah kiri dan sulit berbicara (slurred speech). Kasus stroke ini juga ditemukan di Garut. Adapun kematian setelah vaksinasi itu tercatat 4 orang: Seorang pria, 63 tahun, dan wanita 55 tahun, keduanya menderita penyakit kronis; Seorang pria, 71 tahun, tanpa catatan penyakit kronis, dan seorang wanita, 70, dengan riwayat hipertensi dan radang sendi osteoarthritis. Wanita itu meninggal 9 hari setelah mendapat vaksinasi. Catatan Arie Karimah itu ditulis dalam akun Facebook-nya pada Sabtu, 20 Maret 2021. Ada yang menarik perhatian dalam tulisan tersebut. Yakni, terkait Bell’s palsy yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya sering menulis bahwa virus yang “dilemahkan atau dimatikan” itu bisa bangun kembali pada suatu suhu tertentu. Sebab, di antara yang mati itu dapat dipastikan masih ada yang pura-pura “tidur atau mati”. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem imun di tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya “sudah mati”, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Tapi, ternyata faktanya di Hongkong dan di Indonesia, tidak sedikit yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin Sinovac. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen ini ke dalam tubuhnya, kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan EUA (Emergency Use of Authorization), monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi utu akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem imun akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus Covid-19 dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Tapi, faktanya virus Covid-19 masih tetap saja bisa menginfeksi seseorang yang divaksin. Berarti, kecepatan Covid-19 tidak bisa diimbangi oleh sel-sel B yang memproduksi antibodi manusia yang sudah divaksin. Bukan tidak mungkin, proses infeksi Covid-19 dalam vaksin itu terjadi beberapa minggu, bulan, atau tahun kemudian. Bahkan, ada yang terjadi dalam hitungan hari seperti yang menimpa Dokter JF di Palembang dan beberapa nakes lainnya di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin. Teranyar adalah yang menimpa dr. Heru Dwiantoro W, SpOG (K) di RSUD Sidoarjo. Meski sudah divaksin, Dokter Heru meninggal karena terinfeksi Covid-19, Sabtu (20/3/2021). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Mereka Pelantang Rezim, Bukan Penegak Hukum
SULIT mendapatkan keadilan pada model sidang seperti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (19/03/202) lalu. Sidang yang seharusnya aman dan tertib justru menjadi ajang teriakan para penegak hukum kepada satu orang terdakwa bernama Habib Rizieq Syihab (HRS). Sontak, medsos melampiaslan kegeramannya pada proses peradilan yang dianggap sesat. Masyarakat menghardik kelakuan polisi, jaksa, dan hakim yang memamerkan arogansi kepada hanya satu terdakwa saja. Mereka menampakkan diri sebagai wakil rezim semata, bukan menjadi aparat negara yang diberi amanah menjaga marwah peradilan yang adil, fair, dan bermartabat. Mereka para pelantang rezim, bukan penegak hukum. Di luar gedung pengadilan, pengacara HRS dibendung oleh barisan polisi yang rapat dan membisu. Onggokan manusia-manusia kekar berwarna coklat begitu istikomah dalam diam. Bagai patung mereka disetel untuk tidak bicara sepatah kata pun. Mereka membisu dan membatu. Padahal pengacara HRS mempertanyakan alasan apa polisi menghalangi-halangi penasihat hukum yang ingin memantau jalannya persidangan. Mereka adalah pengacara sah yang dilindungi oleh undang-undang. Sementara di ruang Bareskrim Polri tempat di mana HRS dihadirkan secara daring mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Ia didorong dan dipaksa untuk duduk di kursi pesakitan oleh petugas berbaju kotak-kotak warna hitam. Ketidaksenonohan itu tampak di channel FNN TV, di mana HRS diperlakukan dengan kasar dan tak beradab. Bersamaan dengan itu, dari gedung PN Jaktim dalam sidang online yang dipaksakan, seorang jaksa perempuan menggunakan pelantang yang keras selalu memotong pernyataan HRS yang ingin menjelaskan dalil hukum alasan penolakan sidang melalui daring. HRS mengatakan,”Saya punya hak untuk hadir di ruang sidang. Saya bukan tidak mau hadir…” Belum sempat melanjutkan pernyataannya, langsung dipotong dengan kasar oleh jaksa wanita itu, "Mohon ijin majelis, karena kita masih sesuai dengan penetapan No. 221 di mana persidangan dilakukan secara online, kami mohon untuk agenda sidang ini tetap dilanjutkan untuk membacakan dakwaan.” Lalu HRS kembali menjelaskan bahwa ia bukan menolak hadir di persidangan. “Saya siap hadiri sidang kapan pun, tapi sidang offline. Saya tidak mau menghadiri sidang online, karena saya dilindungi UU. Ada KUHAP pasal 154 bahwa saya harus dihadirkan di ruang sidang. Kedua kalau alasanya Perma, di dalam Perma ada dua pilihan, bisa offline, bisa online. Dan saya tidak mau online. Lagi pula Perma posisinya ada di bawah UU. Pada sidang yang pertama, semua bisa hadir di ruang sidang dengan protokol kesehatan.” Lagi-lagi jaksa perempuan kembali memotong pembicaran dengan arogan, jumawa, dan ketus mengatakan, "Mohon ijin majelis kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari terdakwa. Kami mohon sidang tetap dilanjutkan. Sidang yang terhormat ini tanpa mendengarkan omongan dari terdakwa." Jaksa wanita itu tampaknya pikirannya sudah dirasuki virus kebencian. Bagaimana mungkin seorang terdakwa tidak boleh berargumen di ruang sidang? Jaksa itu lupa bahwa saat itu adalah suasana sidang yang terhormat, bukan sidang jalanan, bukan orasi pelaku demonstrasi, bukan mimbar bebas, dan bukan aksi teatrikal. Proses hukum yang diamanatkan untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kepala dingin, tak dihargai oleh para penegak hukum itu sendiri. Polisi, jaksa, dan hakim koor manyanyikan lagu yang sama mengobok-obok hati dan perasaan HRS agar emosinya terpancing. Mereka seenaknya melaksanakan sidang, mereka semaunya melecehkan terdakwa. Nyatanya yang emosi bukan HRS, tetapi masyarakat luas yang masih punya nurani, harga diri, dan iman. Mereka melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya melalui media sosial. Profil jaksa dan hakim dibedah. Mereka menghardik proses peradilan yang sangat tidak pantas. Jauh dari teladan baik. Proses peradilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para penegak hukum, justru direbahkan begitu rendah. Proses peradilan yang seharusnya menggunakan otak, pikiran, dan argumen yang tepat, malah dihadapi dengan kekuatan fisik yang penuh intrik. Tak ada kearifan, apalagi kebijaksanaan. Yang tampak hanyalah kebencian yang terus membuncah. Siapapun tak kuasa melawan peradilan sesat seperti ini. HRS hanya didakwa bersalah melakukan kerumunan. Ia harus bertanggung jawab atas kerumunan yang terjadi di acara pernikahan di Petamburan, Maulid Nabi di Tebet, dan sholat Jumat di Megamendung. Hal mana, hari ini hampir semua orang melakukan kerumunan serupa. Lihat saja di pasar, di terminal, di mal, di hotel, di balai-balai pertemuan, tempat ibadah, bahkan Presiden sendiri mengundang kerumunan di NTT. Toh mereka tidak disidik dan dibenci oleh polisi, jaksa, dan hakim. Belakangan, pasca-ketiga acara HRS ternyata tidak meninggalkan jejak kasus Covid19 yang berarti. Hanya ada 23 kasus positif, tetapi tidak tahu sampel dari mana. Panitia pernikahan tidak ada yang positif, panitia maulid tidak ada yang demam dan sesak nafas, dan peserta sholat Jumat di Megamendung tidak ada yang mati. Ketiga acara itu dilaksanakan di ruang terbuka yang memungkinkan penularan virus Corona menjadi sulit. Di Petamburan HRS sudah taat membayar denda. Di Megamendung, sholat dilakukan di Pondok Pesantren yang luas. Arealnya mencapai 30 HA, di atas bukit yang sejuk dan terbuka. Pasca sholat Jumat juga tidak ada yang mati. Ada 6 laskar FPI yang sengaja dimatikan oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Inilah tumbal yang mahal harganya yang harus dipersembahkan oleh HRS. Meski demikian, 6 nyawa sebagai tumbal itu tampaknya belum bisa memuaskan rezim. Libido kekuasaannya terus ON sampai orgasme dengan cara memburu HRS sampai lumpuh dan tuntas. Tak perlu butuh waktu lama untuk mewujudkan hajat itu. Kurang dari sebulan ritual tumbal 6 nyawa anak muda tak berdosa, Pondok Pesantren Markaz Syariah dibekukan, santrinya dipulangkan, organisasinya dibubarkan, rekening diblokir, keluarga dan orang dekat HRS dipenjara. Sungguh biadab rezim ini. Kini proses pengadilan untuk para terdakwa sedang dimulai dengan cara dipaksakan, karena dalam kasus yang sama, di luar HRS, tidak ada satu pun yang diproses ke pengadilan. Proses penzoliman terhadap HRS dilakukan secara berjilid-jilid. Tak hanya polisi, jaksa, dan hakim, kini Komisi Yudisial (KY) juga ambil peran. Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua KY mengatakan akan mengambil beberapa langkah hukum terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab karena dianggap telah merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Ingat. HRS bukan ISIS, bukan pemberontak bersenjata, bukan penilep APBN, bukan penggerogot subsidi rakyat, bukan koruptor, bukan pemburu rente impor, bukan makelar kasus, bukan begal partai, bukan produsen narkoba, bukan penyeleweng dana desa, bukan penggarong dana bansos, bukan pemicu kemiskinan di Indonesia. Ia cuma melanggar kerumunan di musim pandemi dan atas perbuatan itu ia sudah membayar denda. Ada jutaan manusia melakukan pelanggaran kerumunan, mengapa HRS diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi? Sampai kapan umat akan dijejali tontonan sadis seperti itu. Sampai kapan kita dipaksa menyaksikan cucu Nabi Muhammad dilecehkan dan direndahkan? Para pelantang rezim, teruslah berulah dan beraksi, tetapi ingat, ada deadline. Jangankan cucu Rasulullah yang memohonkan pembalasan dan laknat Allah atas polisi, jaksa, dan hakim yang menzaliminya. Doa orang biasa saja bisa diijabah. Sekadar mengingatkan, dulu ada cerita yang patut dikenang. Ketika Amrozi dan Imam Samudra cs divonis mati pada tahun 2003, mereka tidak terima karena menganggap banyak bukti yang direkayasa. Salah satu dari mereka berujar setelah vonis dibacakan di persidangan, "Sebelum saya dihukum mati maka bapak hakim duluan yang akan mati." Dan benar. Matilah Ketua Majelis Hakim Made Karna Parna pada tahun 2007, jauh lebih awal dari waktu eksekusi mati Amrozi cs. Begitu juga dengan nasib Urip Tri Gunawan, jaksa penuntut Amrozi. Ketika jaksa Urip akan memberikan sepatu baru agar terdakwa dapat tampil wajar saat hadir di persidangan, terdakwa mengatakan, "Saya tidak mau dibelikan sepatu dari hasil korupsi." Apa yang terjadi? Pada tahun 2008, jaksa Urip Tri Gunawan yang sangat populer itu, ditangkap atas kasus korupsi. Dia kedapatan menerima suap dalam kasus BLBI dan diganjar hukum 20 tahun penjara. Ada juga orang sepanjang hidupnya benci terhadap Islam. Ia adalah Musakkir Sarira, Ketua DPRD Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara tewas ditikam istrinya sendiri, pada 2017. Semasa hidup ia sangat aktif membenci umat Islam di media sosial. Yang ini lebih miris lagi. Seorang warga keturunan bernama Kiky Wilisata tewas karena kecelakaan saat mengendarai mobilnya di Jakarta Barat tahun 2017. Semasa hidup, Kiky sering menghina ulama di akun facebooknya. Ia juga mengolok-olok kalimat Takbir dan memplesetkannya menjadi "Take Beer". Dua bulan setelah pelecehan tersebut, ia tewas mengenaskan dalam mobil yang ia kendarai sendiri. Mobilnya jatuh ke Kali Sekretaris, Jakarta Barat yang airnya keruh kecoklatan, mirip warna minuman beralkohol, bir hitam.
Peradilan Sesat Kasus Habib Rizieq
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Proses peradilan Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi menarik akibat dijalankan dalam situasi yang tidak normal. Persidangan yaitu dilaksanakan secara online. Terdakwa tidak hadir di ruang persidangan. Cara ini meski bukan hanya berlaku untuk HRS tetapi "kena batunya" di saat peradilan untuk HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Baru dalam sejarah pelaksanaan peradilan online berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 ini mendapat perlawanan sengit dari terdakwa HRS. Istilah peradilan sesat bukannya diksi baru. Tetapi menjadi populer di kancah hukum yang intinya adalah terjadi kesalahan dalam vonis maupun proses peradilan. Kesalahan yang membahayakan atau merugikan seorang terdakwa. Peradilan sesat atau rechterlijke dwaling atau miscarriage of justice harusnya dicegah atau ditiadakan. Karena peradilan sesat akan menggagalkan maksud dan tujuan peradilan tersebut, yang menurut Gustav Radburg disamping untuk kepastian juga keadilan dan manfaat hukum. Kasus yang menimpa HRS yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini dipastikan akan menjadi peradilan sesat. Fenomenanya sudah mulai terasa sejak awal-awal proses penyidikan di Polda Metro Jaya. Begitu juga dengan perilaku pemaksaan oleh pihak Penuntut Umum. Kejadian ini mengingatkan kembali bahwa dahulu ada pandangan Komite KUHAP. Komite yang yang menyatakan bahwa tindakan aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum itu sangat minim pengawasan. Itu karena diskresi yang dipunyai penyidik dan penuntut umum memang terlalu besar. Beberapa faktor yang mengindikasikan bahwa kasus HRS ini menjadi indikasi peradilan nyata sesat. Pertama, meski tuduhan pelanggaran adalah pidana biasa berkaitan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan maupun aturan KUHP, akan tetapi masyarakat sangat memahami bahwa HRS ini diseret ke ruang pengadilan atas peristiwa politik. Sangat kental dengan nuansa bertarget penghukuman politik. Domein kekuasaan yang masuk di dalam ruang pengadilan, sangat potensial untuk menjadikan ruang itu sebagai peradilan sesat. Kedua, kasus HRS merupakan kasus yang dipaksakan. Perkara atas peristiwa kecil yang digelembungkan untuk menjadi besar. Soal pernikahan, pengajian, dan test SWAB bukan hal yang istimewa. Namun faktanya dapat menjadi jalan bagi pemaksaan kehendak. Jaksa maupun Hakim berat untuk mampu menegakkan hukum secara independen. Ada potensi pemaksaan, penyanderaan, pengancaman jabatan, mungkin juga iming-iming. Ketiga, peradilan online yang sangat tidak adil dengan dalih pandemi. Untuk kasus dan terdakwa lain dapat dilakukan peradilan offline. Namun tidak untuk HRS. Sekedar dapat hadir saja di depan sidang pengadilan sebagai hak seorang terdakwa membutuhkan perjuangan keras. Itupun tidak bisa. Ditambah dengan para Pengacara yang tidak dapat memasuki ruang sidang. Menurut pakar hukum, Jaksa dan Hakim yang seperti ini sebenarnya dapat diadukan ke Mahkamah Agung. Dalam peradilan sesat yang tidak sehat seperti ini, sudah dipastikan tujuan hukum melalui proses peradilan tak akan tercapai. Mencegah masyarakat menjadi korban, apa yang mesti dicegah? Masyarakat yang puas atas tegaknya keadilan, faktanya masyarakat kecewa atas ketidakadilan. Lalu agar pelaku tidak mengulangi kejahatan, nah apa yang jahat dari walimahan, pengajian, serta test SWAB? Masyarakat disuguhi pertunjukan hukum di panggung suka-suka dan penindasan. Pengadilan yang bukan untuk mengadili, tetapi sarana untuk melegalisasi hukuman politik yang jauh sebelumnya telah ditetapkan. Peradilan sesat yang akan menjadi sorotan dan cemohan masyarakat dunia. Menjadi bahan tertawaan sejarah hukum. Di negeri yang tidak merdeka, negeri yang dijajah oleh bangsanya sendiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Hakim Itu Kuncinya Keadilan
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Ternate FNN - Ketika hakim bermurah hati, berkordinasi atau menanti salam manis dari kaki tangan penguasa, maka kemanusiaan pasti melayang. Kala kemanusiaan melayang, keadilan menjadi urusan suka dan tidak suka, senang dan benci. Tidak lebih dari itu. Manakala suka dan tidak suka, benci dan rindu, berpadu memandu hakim, maka peradilan menjadi proses penyesatan hukumm paling ampuh. Begitu hukum tersesatkan di pengadilan, maka keadilan tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu penguasa ekonomi dan politik, siapapun mereka. Pengadilan tidak lagi bisa menjadi benteng keadilan untuk pencari keadilan. Pengadilan berubah jadi legitimator penguasa atas kebijakan-kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat. Pahami & Jiwai Keadilan Mengapa semua peradaban memuliakan keadilan dan pengadilan? Bagaimana peradaban-peradaban itu menemukan “inspirasi” keadilan? Akal budi manusiakah yang menginspirasi keadilan? Dari mana akal budi manusia memperoleh rangsangan tentang keadilan itu? Keadilan tidak terpaku pada hal yang statis. Keadilan juga tidak selalu terhubung dengan hal yang berubah-ubah, dinamis. Panas matahari yang terus-terusan, mengakibatkan air sungai surut, bahkan bisa mengering. Tumbuhan juga sama, bisa mengering. Hujan terus-terusan juga tidak selalu baik. Keseimbangan menjadi hal yang darinya inspirasi tentang keadilan memiliki pijakan. Tidak diluar itu. Bagaimana ceritanya orang menyerahkan urusan yang diperselisihkan kepada hakim untuk ditetapkan atau dinyatakan hukumnya? Untuk waktu yang lama, Raja identik dengan negara, dan negara identik dengan raja. Raja juga identik dengan hukum dan pengadilan.Konsekuensinya peradilan-peradilan yang diselenggarakan oleh raja dan atas namanya sendiri. Menghianati raja sama dengan menghianati kerajaan, negara. Inilah akar konsep “penghianatan terhadap negara” sebagai salah satu alasan impeachment. Tetapi impeachment ala Inggris ironi hanya ditujukan pada pembantu raja, termasuk hakim yang menyelenggarakan persidangan atas nama raja. Praktis keadaan kehidupan direkayasa. Tadinya melalui titah raja, beralih menjadi direkayasa melalui hukum. Postur keadaan masyarakat menjadi postur kebijakan pemerintah. Postur masyarakat sepenuhnya menjadi cermin kebijakan pemerintah yang dilegalisasi dengan hukum. John Rawls, hakim top pada Mahkamah Agung Amerika, terilhami oleh keadaan itu. Baginya keadaan itu merupakan cerminan matinya fairness. Disisi lain fairnes, diyakini Rawls sebagai inti keadilan. Keadilan baginya merupakan nilai fundamental yang menggerakan masyarakat. Kebijakan-kebiakan politiklah menjadi sebagian besar sebab terjadinya ketidakadilan. Ini digambarkan sebagai tidak fair. Rawls, seperti Cicero dan Lon. L Fuller, mengerti fungsi dasar hukum. Bagi Cicero, juga Fuller, hukum itu cerminan derajat akal budi dan kemanusiaan. lmuan-ilmuan ini tahu keadilan selalu mengalir dari hasrat pemuliaan terhadap kemanusiaan. Keadilan tak bisa ditimbang dan dibaca secara terbalik dari konsep. Keadilan tidak bisa juga ditimbang dan dibaca semata-mata berdasarkan teks hukum. Tidak begitu. Bagi mereka, teks harus dipertalikan dengan keharusan memuliakan manusia. Teks tak abadi. Yang abadi dan melekat pada setiap diri manusia adalah kemanusiaannya. Konsekuensinya keadilan bagi setiap orang yang berselisih tidak bisa ditangguhkan, sekalipun hanya sementara, apapun alasannya, terutama politik. Menangguhkan keadilan, sama dengan menangguhkan “kemualiaan” manusia. Padahal dalam sifatnya, kemuliaan itu abadi pada setiap diri manusia. Alam semesta menertawakan setiap pikiran anak zaman, yang mengagungkan tujuan menghalalkan semua cara. Semesta tidak dibentuk dengan cara kotor. Tidak sama sekali. Seimbang dalam semua apek, itulah alam semesta. Itulah keadilan. Hakim Yang Dirindukan Hakim tipe John Rawls, tidak bakal menjadi mata, telinga dan mulut UU. Hakim tipe ini eksis sebagai mata, telinga dan mulut keadilan. Dia tahu teks hukum menjadi basis interpretasi. Tetapi dia akan pergi sejauh mungkin memeriksa pesan yang tak terlihat. Yang dilegalisasi oleh teks itu. Sebab tidak ada keadilan yang tak mengalir dari dan terikat pada hak. Betul hak didefenisikan hanya dalam hukum. Itu cara pandang positivis dalam lautan ilmu hukum. Cara pandang ini digunakan semua kaum oligarki. Hakim berotak bening, berhati mulia, yang tahu malu, karena mengenal dirinya sendiri sesempurna yang bisa sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, tidak bakal menelan begitu saja konsep positivistik itu. Bagaimana hukum dibuat pasti menjadi arena pemeriksaannya. Menjadi hakim sungguh tak mudah. Pekerjaan ini terlihat sulit. Hanya orang pintar dan terdidik jiwanya, yang dapat memasuki arena berbahaya ini. Hakim bertolak encer, dengan hati bening, memaksa dirinya melihat atasannya sebagai hal kecil. Menyepelekan kemauan politisi besar, akan terasa ringan baginya. Personal hakimlah penentu ada tidaknya keadilan. Kepintaran dan hikmahnya terlihat pada argumentasi yang disajikan dalam pertimbangan putusan. Pertimbangan itulah mahkota hakim. Tidak diluar itu. Hakim pintar dan berotak bening tidak berlindung dibalik contemp of court. Hakim pintar, dengan hati terbimbing sabda-sabda alam, tahu pengadilan itu tempat adu penjelasan, dan argumentasi. Contempt of Court, yang dikenal sebagai benteng pelindung independensi pengadilan, khususnya hakim, hanya punya satu tujuan. Tujuannya memberi jaminan kepada hakim untuk bebas menggunakan semua kemampuan intelektualnya yang terbimbing. Menemukan keadilan dalam perkara yang diperiksanya. Senjata itu, contempt of court dan independensi sebagai temuan hebat demokrasi, dalam praktek acap terlihat berwajah ganda. Terlihat sebagai singa lapar yang penyendiri pada satu waktu, dan di lain waktu terlihat ompong seompong-ompongnya. Pemerintah demokratis, selalu memilki sumberdaya melumpuhkan mereka. Gaji, fasilitas dan lainnya, adalah cara pemerintahan demokrasi menertawakan, membuat independensi pengadilan menjadi singa ompong seompong-ompongnya. Bukan pengadilan yang dikenang orang. Bukan, sekali lagi bukan. Yang dikenang orang dari pengadilan adalah hakim-hakimnya. Yang dikenang dari hakim adalah jalan pikiran yang tertuang dalam putusan dan sikap-sikapnya dalam sidang. Pembaca FNN yang budiman. Earl Warren, yang disingkirkan oleh Dwigh H. Eishenhower pada konvensi capres partai Republik, tetapi Warren diangkat oleh Eishenhower jadi Ketua Mahkamah Agung. Dia akhirnya ditulis dan dikenang sejarah sebagai hakim top karena putusan-putusannya. Putusannya dalam perkara Brown v. Board of Education (1954), Earl Warren menyatakan segregasi rasial di sekolah umum inconstitutional. Putusan the Warren Court itu juga dipakai menghentikan segreasi rasial yang dilembagakan dalam Jim Crow Laws, diseluruh negara bagian Selatan Amerika. Waren keluar dari sikap dan tindakan ketika masih menjadi kepala Depertamen Kehakiman California. Pada jabatan ini dia memimpin pemindahan orang Jepang-Amerika di California ke kamp penampungan. Ketika menjadi Chief of Justice di Supreme Court, Warren menjadi figur besar. Dengan kedudukannya sebagai Chief Justice, menghimpun seluruh koleganya menyudahi diskriminasi rasial yang jorok itu. Hebat. Amerika beruntung ada Earl Warren (Ketua Mahkamah Agung) dan Dwigh H. Eishenhower, Presiden. Ketika Orval Faubus, Gubernur Arkansas, menolak mematuhi putusan itu, Eishenhower mengirim National Guard ke Arkansas. Dia memaksa Gubernur Faubus mematuhi putusan itu. Hebat Eishenhower. Keduanya berhak atas penghormatan. Penghormatan yang samakah yang akan mendatangi Ketua Mahkamah Agung Kita, Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH? Untuk sementara simpan saja dulu soal itu. Satu hal pasti dunia peradilan Indonesia mutakhir sedang diperbincangkan dalam konteks persidangan perkara Habib Rizieq. Pada satu sidang terlihat terjadi debat menarik antara habib dengan hakim. Habib Rizieq kukuh ingin menggunakan “haknya” yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Hak itu adalah hadir dalam ruang sidang pengadilan. Betrdasarkan hak itu, Habib keberatan terhadap sidang atas perkaranya dilakukan secara online. Andai persidangan Habib terus dilakukan tanpa dirinya hadir dalam persidangan, maka soalnya logiskah keadaan itu diletakan semata dibatas putaran untung dan rugi menurut timbangan sistem hukum? Menariknya, kini gema contemp of court atas sikap habib membahana dengan citarasa menggelikan. Hak terdakwa yang diperoleh melalui UU ditangguhkan dengan Perma tidak bergema. Apa kata dunia? Kalau saja hak tak lagi penting, dikalahkan oleh keadaan, termasuk keadaan pandemic covid-19, alam semesta tak bakal menuntut semua mahluk patuh pada kaidahnya. Kala kaidah tentang hak tak lagi penting, maka kehidupan akan didatangi doktrin Thomas Hobes, ilmuan Inggris ini. Doktrinya adalah “bellum omnium contra omnes”. Ini anarchi condition. Yang kuat menerkam, menelan, memakan dan mengunyah yang lemah. Ini barbarian society. Tidak ada kemanusiaan, dan keadilan. Tragis dan memalukan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Sidang HRS Yang Tanpa Beban, Tawakkal, dan Cerdas
by Asyari Usman Medan, FNN - Peribahasa Inggeris menyebutnya “nothing to lose”. Lebih-kurang bermakna “tanpa beban”. Jika seseorang berurusan dengan pihak lain tanpa beban, dia siap menerima apa pun hasilnya. Dapat ok, tak dapat juga ok. Adil ok, tak adil pun diterima. Begitulah kira-kira posisi Habib Rizieq Syihab (HRS) dalam menghadapi kasus yang diyakini oleh dia dan banyak orang lain sebagai perkara rekayasa. Perkara yang dibuat-buat. Diada-adakan. Nah, perasaan tanpa beban itu membuat HRS bisa ceplas-ceplos. Dia akan menyampaikan pendapat apa adanya. Tapi tidak berarti asal bunyi. Habib selalu mantap berargumentasi. Dia artikulat dan runtun. Mampu menguraikan alasan-asalan yang logis. Dari adu argumentasi antara Habib Rizieq versus ketua majelis hakim plus jaksa yang menyidangkan tuduhan kerumunan Petamburan, Megamendung, dan tes swab RS Ummi Bogor, dalam sidang online (daring) Jumat (19 Maret 2021), tampak jelas bahwa mengadili perkara rekayasa itu tidak mudah. Personel pengadilan dan penuntut umum terlihat kesulitan melaksanakan sidang. Begitulah perkara yang dipercaya publik sebagai rekayasa. Tidak punya ruh. Ada terdeteksi seolah penyidang tak punya pijakan hukum yang kuat. Sebaliknya, HRS tampak lebih meyakinkan sejak sidang pertama pada Selasa, 16 Maret 2021. Dia bisa mengajukan alasan bahwa sidang daring akan merugikan dirinya. Majelis hakim mengatakan sidang daring harus dilaksanakan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2020. Tetapi, HRS menyampaikan dalih bahwa ada contoh-contoh sidang pengadilan yang bisa dihadiri langsung oleh terdakwa di ruang sidang. Termasuk terdakwa Joko Tjandra, Pinangki, Irjen Napoleon Bonaparte. Jaksa penuntut umum berkali-kali menyela ketika HRS menyampaikan “eksepsi” spontannya. Dia jelas “menguasai lapangan”. Ini sesungguhnya tak terlepas dari sikap HRS yang tidak takut kepada manusia. Dia memiliki basis “hanya takut kepada Allah” yang sangat kuat. Selain itu, tentu saja tingkat kecerdasan berpikir beliau juga berperan penting ketika silat lidah terjadi. Jadi, ada tiga faktor penting yang membuat HRS sukses menghadapi sidang kerumunan ini, yaitu: tanpa beban, tawakkal, dan cerdas.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Epidemiolog UI Pandu Riono: "Kematian di Eropa Tidak Terkait dengan AstraZeneca"
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca mengandung unsur haram dalam proses pembuatannya. Meski begitu, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan bahwa vaksin yang diproduksi di Korea Selatan itu boleh digunakan. Pertama, vaksin AstraZeneca ini hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya itu memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi. Namun, “Kedua, penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada saat ini hukumnya dibolehkan,” kata Asrorun Niam. Dalam konferensi pers daring, Jumat, 19 Maret 2021, tersebut Ketua MUI Bidang Fatwa itu mengatakan ada lima pertimbangan utama MUI memutuskan hal ini. Pertama, adalah adanya kondisi kebutuhan yang mendesak (hajjah asy'ariyah) dalam fiqih, yang menduduki kedudukan darurat syar'i. Kedua, adanya keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau resiko fatal jika tak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Sebelum memutuskan fatwa ini, MUI telah mengundang Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produsen AstraZeneca, hingga pihak Bio Farma untuk mendapat masukan. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci, tak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Keempat, adanya jaminan keamanan penggunaanya untuk pemerintah sesuai dengan penggunaannya. Terkait keamanan ini, telah dibahas oleh BPOM dalam rapat komisi fatwa sebelumnya. Kelima, pemerintah yang tak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin. “Mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun di tingkat global,” kata Asrorun. Ia mengatakan kebolehan penggunaan Vaksin AstraZeneca tidak akan berlaku lagi, jika lima alasan itu hilang. MUI terus meminta pemerintah untuk terus mengikhtiarkan ketersedian vaksin Covid-19 yang halal dan suci, khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sebelumnya, MUI juga telah menghasilkan fatwa tentang pengunaan human diploid cell (sel berasal dari bagian tubuh manusia) sebagai bahan produksi obat dan vaksin yang ditetapkan pada Munas X MUI, Kamis (26/11/2020) malam. Salah satu isi fatwa berisikan ketentuan hukum penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh bila terjadi kondisi kedaruratan atau kebutuhan mendesak. Alasannya pun sama dengan AstraZeneca. Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh. PWNU Jawa Timur membuat fatwa yang lebih tegas lagi: “Halal karena unsur babi tak nyata lagi dalam produk akhir vaksin”. Jadi, manfaat vaksin dalam penanganan Covid-19 lebih besar daripada risiko efek samping masalah pembekuan darah atau reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Apalagi, BPOM sudah memberikan izin penggunaan vaksin AstraZeneca yang sebelumnya mendapat sorotan. Juru Bicara vaksinasi Coronavirus Disease 2019 BPOM, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan izin diberikan dengan merujuk pada hasil pertemuan European Medicines Agencu (EMA) bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dilaksanakan pada 18 Maret lalu. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan terkait penggunaan Vaksin AstraZeneca itu, berikut ini petikan wawancara Mochamad Toha dari FNN.co.id dengan Epidemiolog Universitas Indonesia dr. Pandu Riono, MPH, PhD. Meski haram karena mengandung babi, fatwa MUI membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan dengan alasan keadaan darurat. Apa bedanya dengan Sinovac? Hanya di Indonesia saja ada penilaian kehalalan yg dilakukan oleh lembaga non pemerintah. Ada beberapa kasus kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes, juga ada guru, terakhir ada guru di Garut yang lumpuh. Melihat fakta ini, di mana letak amannya? Vaksin itu yang perlu menjadi penilaian sebaiknya dibatasi pada keamanan dan manfaatnya. Monitor KIPI di semua negara dan Indonesia sama prosedurnya pada setiap layanan vaksinasi itu untuk evaluasi keamanan, sampai sekarang semua vaksin aman dan efektif. Di Eropa ada 6 negara yang hentikan vaksinasi AstraZeneca karena ada beberapa kasus kematian karena terjadi pembekuan darah pasca divaksin. Komentar Anda? Kejadian yang ditemukan tidak ada kaitan dengan vaksin AstraZeneca, sekarang semua lanjut dengan kecepatan tinggi agar bisa kendalikan pandemi. Gimana kabar Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara? Kita sekarang sedang dalam proses belajar mengembangkan vaksin, yang jelas dasar ilmiah dan keterbukaan hanya vaksin merah-putih. Vaksin Nusantara? Itu lupakan saja, metodenya berdasarkan saintifik tidak logis untuk atasi pandemi infeksi Covid-19. Maksudnya? Karena itu hanya stimulasi imunitas seluler, padahal butuh keduanya, imunitas humoral dan seluler. Tidak praktis, lebih pas untuk terapi. Itu bukan penelitian peneliti Indonesia murni, lebih banyak peneliti dari Amerika, Aivita Biomedical Inc. (Mereka) itu yang punya lisensi dan pengetahuan sel dendritik untuk terapi kanker. Semua langkah uji klinis fase 1 banyak ketidapatuhan pada kaidah riset yang baik. Uji Klinis fase 3 AstraZeneca tidak pernah dilakukan di Indonesia, seperti Sinovac. Mengapa? Tidak semua vaksin harus diuji di negara masing-masing, selama uji klinis baik dan valid, ini berlaku sama di semua negara Apakah Vaksin AstraZeneca bisa imbangi kecepatan mutasi corona yang begitu cepat dengan berbagai varian? Kecepatan mutasi tidak tergantung jenis vaksin. Semua vaksin masih bermanfaat untuk cegah kematian dan sakit berat, walaupun sudah bermutasi. Yang pernah saya baca, sudah ada 48 varian pasca B117 yang masuk ke Indonesia. Bukan masuk, mutasi virus itu alamiah itu jenis Sars-Cov-2 ini, di Indonesia juga bermutasi terus, tapi yang di dunia ini baru ada 3 jenis varian yang dapat berpengaruh pada penanganan pandemi. Boleh disebutkan 3 jenis varian itu apa saja, supaya kalangan medis dan masyarakat tahu? B117, B1351, dan P1. (Sebenarnya) masyarakat tidak perlu tahu. Ok, mungkin tanda-tanda atau gejala medisnya kalau seseorang kena tiga varian itu apa saja? Juga tidak bisa dibedakan, tetap sebagian besar tidak bergejala. Berarti berbahaya juga dan ganas, karena tidak ada gejala? Yang lama juga sama 85% lebih juga tidak bergejala, OTG (orang tanpa gejala). B117 sudah diketahui lebih mudah menular dan kematian lebih tinggi. Kembali ke soal AstraZeneca yang dihentikan penggunaannya di Eropa. Apa karena ditemukan kematian pasca divaksin AstraZeneca yang menyebabkan penggumpalan darah? Tidak dihentikan, lanjut kok! Memang, ada kasus tersebut tetapi tak terkait dengan vaksin, lanjut diberikan. Terakhir, di Indonesia ini apa tidak ada ilmuwan yang bisa buat vaksin atau formula herbal yang bisa atasi virus semacam Covid-19? Vaksin Merah-Putih itu adalah ilmuwan Indonesia, risetnya mahal dan sekarang belajar saja. Pencegahan lebih penting dan mudah, bukan pengobatan tidak ada manfaatnya karena virus tersebut hanya 1 minggu aktif lalu inaktif. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Jangankan Tiga Periode, Dua Saja Rakyat Sudah Jenuh
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Belum ada alasan logis dan ilmiah wacana presiden tiga periode. Jalan periode kedua saja, rakyat sudah tidak kuat menanggung tekanan hidup sehar-hari. Beban untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyat sehari-hari sudah semakin memberatkan. Kondisi ini sebagai akibat dari tata kelola negara yang amburadul, suka-suka hati dan tidak paham apa yang dikerjakan. Negara diurus tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan benar. Adakah yang bisa menjelaskan keberhasilan rezim ini selama Jokowi menjadi presdiden secara ilmiah? Misalnya, ekonomi mengalami lompatan pertumbuhan yang spektarkuler. Dari 5% yang ditinggaalkan Soesilo Bambang Yudhoyono di Oktober 2014, naik menjadi 6% atau 7%? Faktanya pertumbuhan ekonomi bukannya bertambah baik, namun malah terjun bebas, dengan angla pertumbuhan ekonomi minus. Selama tahun 2020 saja, Indonesia telah mengalami pertumbuhan minus -2,07%, demikian ditulis (Binis Indonesia.com 07/02/2021). Dengan demikian, selama Jokowi menjabat telah mengalami pertumbuhan eknomi minus -7,07% dari sebelumnya pertumbuhan ekonomi 5,6% ketika ditinggal SBY pada 20 Oktober 2014 lalu. Ketergantungan negara terhadap utang luar negeri bukannya semakin berkurang. Malah semakin ugal-ugalan di eranya Jokowi menjadi presiden. Utang pemerintah sejak Presiden Soekarno sampai SBY akhir 2014 hanya sebesar Rp. 2.982 triliun. Jumlah itu, terdiri dari utang luar negeri pemerintah Rp 1.881 triliun, dan utang dalam negeri yang berbentuk Surat Utang Negara (SUN) Rp. 1.101 trliun. Sekarang total hutang pemerintah sampai akhir Februari 2021 adalah Rp. 6.390 triliun. Jumlah tersebut, terdiri dari utang luar negeri pemerintah Rp. 3.034 triliun, dan utang dalam negeri yang berbentuk SUN Rp. 3.356 triliun Dengan demikian, hanya dalam enam setengah tahun pemerintahan, Jokowi telah sukses dan berhasil membuat hutang pemerintah Rp. 3.408 trliun. Pemerintahan Jokowi telah berhasil menyapu bersih prestasi seluruh utang pemerintah yang dibuat sejak Republik Indonesia berdiri 17 agustus 1945 lalu, yang hanya Rp 2.982 triliun. Hebat sekali Jokowi. Prestasinya yang sangat luar biasa dan spektakuler adalah menciptakan utang pemerintah yang melampaui enam presiden sebelumnya. Patut mendapatkan rekor dari Mesium Muri dari Jaya Suprana. Sekarang Parlemen lemah. DPR berhasil dikangkangi dengan UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Corona yang namanya sangat panjang itu. Akibatnya, penegakan pukum parah. Tajam ke oposisi, dan tumpul ke koalisi. Diskriminasi dan kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) ditangkap. FPI juga dibubarkan. Laskarnya enam orang dibunuh. Sidang pengadilan dengan online. Kenapa takut dengan sidang offline? Kedzaliman yang bagaimana lagi yang hendak kalian sembunyikan? Menguatkan asumsi bahwa hukum hanya ditegakan berdasarkan pesanan cukong dan penista agama. Korupsi juga semakin menggurita. BUMN berguguran dan collapse, terjerat oleh utang, dan core business terancam diambil alih swasta. Sistem ekonomi kapitalistik dan liberalistik merajalela. Sistem multi partai mengarah ke eksisnya partai tunggal. Partai dan ketua umum telah terkooptasi oleh oligarki politik bercitarasa RRC komunis. Politik penuh dengan rasa dendam, kebencian dan permusuhan terhadap pemeluk agama mayoritas. Petugas partai hanya melaksanakan skenario sesuai agenda pemodal dan operator. Komandan operator lapangan adalah geng jenderal merah. Kalau ada rakyat yang mau agar Jokowi tiga periode. Pertanyaanya adalah, itu rakyat yang mana ya? Jangan tiga periode, dua saja rakyat sudah jenuh dan sumpek. Jangan-jangan yang punya gagasan tiga periode, hanya mempolitisasi “keluguan rakyat” dengan janji-janji palsu, dan penggiringan opini melalui lembaga survei, politisi dan pengamat partisan. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 saja rakyat meragukan kalau dilaksanakan dengan jujur dan adil. Bagaimana mungkin minta tiga periode ketika Pilpres ditengarai penuh kecurangan dan banyak pemilih siluman? Ketiadaan prestasi dan reputasi kecuali hanya menjalankan agenda politik mafia taipan cukong dan jenderal merah. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Hati-Hatilah Kalian, Habib Rizieq Itu Bukan Penjahat
by Asyari Usman Medan, FNN - Tuan-tuan yang terhormat, para penguasa Indonesia. Tuan-tuan yang mulia, yang bisa melakukan apa saja sesuka hati. Kemarin, banyak orang yang meneteskan air mata. Mereka sedih. Terhenyak. Mereka juga marah. Perasaan mereka tertusuk. Karena kalian perlakukan Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan semena-mena. Dengan hina. Dengan angkuh. Dengan sombong. Ingatlah, wahai para penguasa! HRS bukan meminta perlakuan istimewa. Dia tidak meminta apa-apa dari kalian. Dia hanya meminta agar dihadirkan langsung di ruang sidang PN Jakarta Timur untuk mengikuti persidangan atas dirinya. Dia meminta itu bukan karena gagah-gagahan. Bukan karena ingin menghambat. Beliau meminta hadir langsung disebabkan rasa tak nyaman mengikuti sidang online (daring). Mengenai peraturan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan sidang daring, Habib menyebutkan beberapa contoh terdakwa bisa hadir di ruang sidang langsung. Termasuk Joko Tjandra, Pinangki, dan Irjen Napoleon Bonaparte. HRS tegas menolak sidang daring. Beliau mempersilakan majelis hakim melanjutkan sidang tanpa kehadiran dirinya lewat kamera. Mempersilakan hakim menjatuhkan vonis apa saja. Beliau rela. Belian akan terima. Asalkan dia tidak dipaksa sidang daring. Beliau digiring dengan paksa untuk duduk di depan kamera yang tersambung ke ruang sidang. Proses pemaksaan inilah yang membuat Habib Rizieq merasa dihinakan. Beliau tidak merasa tinggi dari siapa pun. Tapi, cara dia dipaksa ke depan kamera telah menyinggung perasaan beliau. Tuan-tuan yang terhormat. Hati-hatilah kalian. HRS itu bukan penjahat seperti yang kalian persepsikan lewat penangkapan, penahanan, pendakwaan dan penyidangan. Dia hanya berusaha memperjuangkan keadilan. Dia berjuang agar bangsa dan negara ini bebas dari berbagai kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Lihatlah, tuan-tuan yang mulia. HRS tidak melakukan perbuatan yang merugikan rakyat dan negara. Kalian semua tahu itu. Dia hanya didakwa melakukan tindak pidana kerumunan. Tentu kalian masih ingat ketika Presiden Joko Widodo memicu kerumunan di Maumere, NTT, sewaktu dia melakukan kunjungan pencitraan di sana pada 23 Februari 2021. Dia tidak disentuh hukum. Ada saja alasan yang kalian kemukakan. Padahal, jelas-jelas Jokowi dikerumuni ratusan atau mungkin ribuan orang tanpa protokol kesehatan. Ingat, tuan-tuan yang terhormat! Habib Rizieq tidak melakukan kejahatan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Yang melakukan kejahatan di Indonesia ini adalah mereka yang rakus, sadis, bengis. Bukan HRS. Mereka yang menggarong kekayaan rakyat di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dlsb. Bukan HRS. Mereka yang menilap dana Covid-19 sampai triliunan rupiah. Bukan HRS. Mereka pula yang melakukan korupsi lobster, Jiwasraya, Asabri, Bumiputra, Pertamina, BLBI, Century, dll. Bukan HRS. Mereka yang membangkrutkan maskapai Garuda Indonesia. Bukan HRS. Mereka yang membuat PLN tumpur-lebur. Bukan HRS. Mereka yang mencuri uang e-KTP. Bukan HRS. Mereka yang melindungi Tuan Joko Tjandra (JK). Bukan HRS. Mereka yang membuatkan surat jalan untuk JT ketika dia menyeludup masuk dari pelarian di luar negeri. Bukan HRS. Mereka yang mengusahakan penghapusan “red notice” Interpol Joko Tjandra dengan cara menyogok. Bukan HRS. Mereka yang mau membuatkan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk JT dengan proposal 150 miliar. Bukan HRS. Mereka yang menerima sogok Buku Merah. Bukan HRS. Mereka yang sedang menumpuk kakayaan ilegal. Bukan HRS. Mereka yang mejerumuskan negara ini ke jurang utang besar. Bukan HRS. Mereka juga yang menggerogoti uang pinjaman ribuan triliun itu. Bukan HRS. Mereka pula yang merusak lingkungan dan hutan di mana-mana. Bukan HRS. Tapi, mengapa HRS yang dizalimi? Yang dikejar-kejar sampai ke lubang cacing? Yang, konon, diskenariokan akan mendekam di penjara sampai usai Pilpres 2024? Hati-hatilah kawan. Jangan kalian hinakan Habib Rizieq. Dunia ini berputar. Semua orang memperhatikan kezaliman kalian. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Presiden Tiga Priode Bukan Ilusi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Wacana tiga periode masa jabatan Presiden terus menggelinding. Gagasan ini sejalan dengan agenda Amandemen UUD yang ingin menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Publik melihat ini sebagai agenda tersembunyi. Berbagai elemen masyarakat mewacanakan melalui berbagai spanduk dan pandangan kalangan politisi. Misaslnya, seperti yang diungkapkan oleh mantan politisi Partai Gerindra Arief Poyouno atau Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, Saan Mustofa. Arief yakin 85% rakyat mendukung gagasan tiga periode. Pandangan Amien Rais untuk mewaspadai kemungkinan amandemen UUD 1945 dipakai sebagai pintu masuk untuk penambahan periode jabatan Presiden mengingatkan dirinya bahwa saat memimpin sidang-sidang MPR. Ketika itu MPR justru mengamandemen dari tidak terbatasnya masa jabatan Presiden yang dipraktekkan rezim Orla dan Orba menjadi hanya dua periode saja. Reaksi Presiden Jokowi yang menolak atas usulan tiga periode yang dinilai menampar, mencari muka, dan menjerumuskan itu belum mampu meyakinkan publik. Masalahnya adalah kepentingan koalisi yang dapat mendaulat dengan dalih dukungan rakyat. Disamping tentunya tingkat kepercayaan publik yang rendah pada ucapan dan kebijakan Presiden Jokowi. Buku karya Ben Bland yang berjudul "Man of Contradictions : Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia" cukup menggelitik. Profil Jokowi digambarkan penuh dengan kontradiksi. Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal, tetapi prakteknya adalah proteksionisme. Presiden mencitrakan diri sebagai rakyat, namun dikelilingi oleh elite oliganki dan konglomerasi busuk, picik, licik dan culas. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tetapi dia berlindung dibalik kelompok konservatif". Jokowi memang tak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Maunya pemerintahan tanpa oposisi. Menurutnya demokrasi liberal tak cocok dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yaitu gotong royong. Arahnya adalah otoritarianisme. Partai Politik dan Parlemen yang dikuasai. Bland menyebut Jokowi sebagai "orang partai Soekarno yang berfikir layaknya Soeharto". Dari aspek Hukum Tata Negara semangat PDIP dan partai lain yang ingin mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN atau kini PPHN sebagai pedoman bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan, membawa konsekuensi pada kedudukan Presiden sebagai Mandataris. Dengan demikian, Presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN atau PPHN kepada MPR. Artinya, terbuka untuk Presiden dipilih oleh MPR kembali. Adapun arah wacana dari perpanjangan jabatan hingga tiga periode, memiliki beberapa target politik. Pertama, untuk meng-upgrade wibawa Presiden yang semakin ambruk. Predikat Presiden tanpa prestasi, tukang hutang, spesialis ingkar janji, atau tidak kapabel menunjukkan kerendahan wibawa. Dengan wacana tiga periode, beserta penolakannya, maka dicitrakan bahwa sebagai Presiden itu hebat, sehingga masih dibutuhkan lagi. Kedua, politik dialektika yang sedang dimainkan. Tesisnya dukungan tiga periode, anti tesis Jokowi menolak. Sintesisnya adalah proteksi keamanan dan kepentingan pasca turun di 2024 bersama dengan para dinastinya. Ada jaminan dari partai koalisi, termasuk Partai Demokrat yang baru dilumpuhkan atau dibajak oleh Moeldoko. Ketiga, memastikan untuk berakhir sampai 2024. Desakan untuk mundur sebelum 2024 semakin menguat sejalan dengan rontoknya ekonomi, persoalan hak asasi, gonjang ganjing ideologi. Begitu juga dengan indeks demokrasi yang anjlok serta rapat merat penegakan Hak Asasi Manusia (HAM ) dari Kominasi Nasional (Komnas HAM). Penanganan pandemi covid-19 yang juga membuat frustasi. Wacana tiga periode adalah melompat dalam optimisme untuk membungkus pesimisme. Jokowi lebih pantas mundur sebelum 2024. Langkah ini sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara dari keterpurukan. Mundur sebelum 2024 jauh lebih baik untuk upaya pemulihan ekonomi, politik dan sosial budaya. Teriakan palsu menolak atau menganggap ilusi jabatan Presiden tiga periode adalah permainan politik. Begitu masif, terstruktur, dan sistematik upaya pembodohan rakyat yang sedang terjadi. Karenanya, untuk membuktikan bahwa benar Jokowi tak berminat untuk jabatan tiga periode, berilah pelajaran berharga bagi masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia untuk lengser dengan terhormat sebelum 2025. Jika dengan sukarela Jokowi mengundurkan diri sebelum selesai jabatan tahun 2024. Dampak positif adalah, pasti Jokowi akan dikenang sebagai pemimpin yang tahu diri. Dengan besar hati mau pemberi kesempatan kepada generasi mendatang yang jauh lebih baik darinya. Jika Arief Poyouno yakin 85% rakyat dukung tiga periode untuk Jokowi, nampaknya keyakinan lain adalah 85% rakyat Indonesia dukung Pak Jokowi selesai sebelum 2024. Apakah untuk pembuktian ini perlu Referendum? Boleh juga rasanya dicoba. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
"Polisi Pikiran"
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Kepolisian Republik Indonesia menginisiasi pembentukan polisi yang bukan polisi sebagaimana yang senyata-nyatanya atau sehari-hari. Bukan polisi seperti yang kita jumpai selama ini. Rabu, 24 Februari 2021 lalu, Polri meluncurkan program ”Virtual Police”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), virtual memiliki tiga arti atau makna. Pertama, disebut secara nyata. Kedua, adalah mirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan. Sederhananya, virtual adalah mirip dengan sesuatu yang dijelaskan melalui perantara internet. Jika berpegang kepada pengertian “mirip dengan sesuatu”, maka sederhananya “Virtual Police” dapat dianalogikan dengan “Polisi Buatan atau Polisi Tiruan”. Virtual adalah segala komunikasi yang dilakukan secara maya untuk terhubung dengan lawan bicara. Disebutkan, tugas “Polisi Tiruan” itu adalah langkah preventif memotong penggunaan pasal karet UU ITE. Bertujuan menahan laju korban yang mungkin berjatuhan akibat pengaduan sepihak kepada polisi. Juru bicara Polri mengatakan, diharapkan hal itu sebagai bagian dari upaya menjaga Kamtibmas di dunia digital agar tetap bersih, sehat dan produktif. Kebijakan Polri membentuk “Polisi Tiruan” dapat dianalogikan sebagai upaya negara menata kehidupan masyarakat. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari penyimpangan peraturan yang dapat berakibat kasus hukum. Intensitas tingginya kepedulian negara kepada warga masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menginisiasi terbentuknya “Kementerian Kesepian” (Ministry of Loneliness). Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menunjuk Tetsushi Sakamoto untuk menjabat sebagai Menteri Kesepian. Penunjukan itu dilakukan pada Jumat, 12 Februari 2021. Pemerintah Jepang menunjukkan keseriusan melindungi warganya dari dampak pandemi Covid-19. Meskipun isolasi mandiri diberlakukan, angka kematian semakin meningkat. Bukan karena Covid-19. Akan tetapi akibat bunuh diri. Banyak warga Jepang diduga merasa kesepian, stres, depresi hingga berujung nekat mengakhiri hidupnya. Antara lain disebabkan isolasi yang sangat panjang. Mantan reporter surat kabar Tetsushi Sakamoto yang terpilih. Dia adalah politisi dan anggota “House of Representatives in the Diet” (Badan Legislatif Nasional), mewakili Partai Demokrat Liberal. Alumni Universitas Chuo kelahiran 1950. “Saya ingin anda mengendalikan masalah itu dan membuat strategi yang komprehensif”, kata Suga kepada Sakamoto, seperti diberitakan Nikkei Asia, Sabtu (20/02/2021). Penggunaan alat bantu yang “extraordinary” oleh Polri di Indonesia dan yang diperbuat juga pemerintah Jepang sendiri, pernah diimajinasikan sastrawan Inggris, George Orwell di novelnya yang berjudul “Nineteen Eighty-Four”, yang disingkat “1984”. Diterbitkan 1949. Orwell mencoba memprediksi kehidupan dan akibat yang ditimbulkan kemajuan teknologi 35 tahun ke depan, pada tahun 1984. Tokoh utamanya Winston Smith. Wiston menjadi anggota partai Sosing yang berkuasa di negara Oceania (Britania Raya). Winston adalah pengabdi setia yang sangat taat kepada sang pengendali partai bernama Bung Besar (Big Brother). Ia bekerja di “Kementerian Kebenaran” (Ministry of Truth). Khusus bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan visi partai. Winston dengan suka cita melakukan tugas-tugasnya setiap hari. Kemudian ia menyadari, akibat kerajinannya itu, masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan. Hidup berputar begitu saja dari masa lalu menuju masa sekarang. Sejarah tidak mereka ketahui lagi dengan jelas. Itu memang target utama partai untuk membolak-balik realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai. Dunia dalam novel “1984” sangat kejam, penuh pertentangan, konflik akibat peperangan yang telah menjadi kebiasaan-tanpa henti, membuat dunia dalam kegelapan panjang. Pada saat yang sama kebebasan Winston yang ditemukannya dalam kenikmatan menulis dan mendiskusikannya dengan sang pacar Julia, namun tidak berlangsung lama. Harapan Winston tentang dunia yang damai, bebas, tenang tanpa intervensi sistem atau struktur kekuasaan lainnya nampaknya tidak pernah terwujud. Kebahagiaan Winston dengan Julia dan kebebasan berpikirnya terendus oleh “Polisi-Pikiran” (Thought-Police) yang dibentuk khusus, sebagai penindak lanjut segala bentuk isi kebijakan dan garis pikiran yang telah ditetapkan oleh Bung Besar. Celakanya, partai menuduh Winston dan sang pacar telah melakukan kejahatan seks dan kejahatan pikiran. Mereka diciduk saat sedang bercinta.Winston dan Julia dikriminalisasi. Dipidana melakukan kejahatan seksual. Dunia Winston berputar-putar tak menentu. Realitas menjadi kabur. Masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar mana yang salah. Mana yang nyata mana yang bohong. Poster “Bung Besar Sedang Mengawasi Saudara” ada di mana-mana. Seolah-olah mengawasi gerak-gerik setiap orang. Tersebar alat teleskrin yang sengaja dipasang di banyak tempat. Tugasnya selalu memberitakan tentang kemenangan pasukan militer partai. Juga tentang kestabilan ekonomi, dan tentang taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Namun pada kenyataannya, sekedar untuk menemukan barang seperti pisau cukur saja, Winston harus membohongi beberapa orang untuk menyimpan stok pisau cukur. itu pertanda langkanya barang tersebut. Alur cerita novel satiris yang ditulis Owell pada 1949 terasa ada pantulan pada kondisi sosial politik Indonesia hari ini. Ada getaran keresahan masyarakat secara nasional. Apatisme menyebar ke mana-mana. Kecemasan menjalar dan melebar. Lembaga survei Indikator Politik, 25 Oktober 2020 merilis hasil penelitian terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Salah satu hasil survei menyebutkan, mayoritas responden saat ini ada ketakutan untuk mengeluarkan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, survei ini diawali dengan pertanyaan ”setuju atau tidak warga makin takut menyatakan pendapat”?. Burhanuddin mengatakan, masyarakat cenderung takut mengeluarkan pendapat saat ini. Hasil survey menunjukkan, ”sangat setuju 21,9 persen”. Yang menyatakan agak “cenderung setuju dengan pernyataan ini 47,7 persen”. Yang “kurang setuju 22,0 persen”. Dan yang “tidak setuju sama sekali 3,6 persen”, katanya dalam rilis survei terbaru bertajuk ”Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi” secara daring. Menurut Muhtadi, hasil survei ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan suara masyarakat yang tidak pro, apa pun pendapatnya. Ini alarm, kata Muhtadi, lagi-lagi kami ingatkan, ada situasi di bawah alam sadar masyarakat mulai takut ngomong. Padahal dalam konteks demokrasi partisipatoris, warga justru harus didorong berbicara apa pun isinya, terlepas berkualitas atau tidak berkualitas. “Apa pun pendapat mereka, pro atau kontra dalam demokrasi harus mendapat tempat yang sama,” tegas Muhtadi. Sampai hari ini, residu pemilu 2019 di Indonesia masih menyisakan keterbelahan. Perang konten kasar di medsos masih berlanjut. Debat kusir yang kasar di televisi tetap marak. Tidak ada kesembuhan. Hasil Pemilu tidak mampu mengubah apa-apa. Meskipun kabinet sudah diisi menteri representasi tokoh oposisi. Namun kompromi politik yang instan itu nampaknya seperti tidak mampu memadamkan api dalam sekam. Sikap kritis masyarakat terus bergejolak di bawah permukaan oleh berbagai kebijakan yang kontroversial. Pada saat yang sama korban berjatuhan dalam jeratan perangkap UU ITE,yang diakui presiden Jokowi mengandung banyak pasal karet. Pasal karetnya itulah yang memberi wewenang kepada siapa saja dengan mudahnya menjadi pelapor. Ramai diberitakan, Kwik Kian Gie dan mantan menteri Susi Pujiastuti pun mendadak takut berpendapat. Banyak yang cemas dan berdoa semoga “Virtual Police” bukanlah semacam “Polisi Pikiran” yang berganti casing, yang tetap bertugas secara senyap mengekang kebebasan berpendapat, memiliki kekebalan hukum dan kebebasan mengintervensi rongga alat komunikasi yang paling pribadi seseorang, semacam telepon genggam sekalipun. Sasarannya, sekedar pikiran senyap belaka. Lalu, bagaimana caranya memastikan kalau percakapan virtual seseorang tidak ditafsir sesuai kepentingan kekuasaan oleh sang “Polisi Tiruan” tersebut? Diwilayah manakah posisi “Virtual Police” alias “Polisi Tiruan” akan menempatkan diri? Rekan wartawan senior kembali mengirim pesan WhatsApp yang sendu pada dinihari yang dingin karena hujan semalaman, “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mengutip bait lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebit.G.Ade yang ditulis setelah bencana gas beracun di Dataran Tinggi Dieng, Juni 1978. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.