ALL CATEGORY

Memikirkan Ulang Periode Jabatan Presiden

by Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Wacana presiden tiga periode kembali muncul. Isu lawas ini mencuat dengan tensi yang seketika meninggi, menjadi bahan diskusi di banyak tempat. Diskursus politik era demokrasi memang memungkinkan membicarakan segala hal. Tetapi tema-tema yang memunggungi konstitusi seharusnya tabu, tidak boleh dibiarkan beranak pinak. Selain membahayakan demokrasi, juga mengancam kelangsungan bangsa. Bagaimana mungkin kita mendiskusikan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi? Konstitusi telah membatasi kepemimpinan nasional hanya dua periode, titik. Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menyuburkan oligarki, melanggengkan korupsi, selain melahirkan diktator baru. Wacana presiden tiga periode tak lebih akal bulus dari pikiran yang dahaga kekuasaan. Memberikan tempat pada diskursus tersebut bukan tidak mungkin justru melecut momentumnya. Dan kita tahu, politik adalah tentang momentum. Kalau momentumnya pas, kalkulasi politik bisa berjalan lancar. Jamak terdengar, menciptakan momentum adalah bagian dari seni berpolitik. Wacana presiden tiga periode telah beberapa kali memburu momentum dalam dinamika politik tanah air. Penghujung 2019 lalu, isu ini mengedepan seiring bergulirnya wacana amandemen UUD NKRI 1945. Untung saja tidak kejadian. Yang menggelontorkannya bukan orang sembarangan. Jejak digital mencatat, yang pertama kali mewacanakan adalah Wakil Ketua MPR Asrul Sani. Kita tahu, MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NKRI 1945. Lebih mengerikan lagi, Ketua DPR Puan Maharani tercatat juga mewacanakan. Walau sempat tenggelam, wacana tiga periode tidaklah mati. Malah diduga menggelinjang di bawah tanah. Dugaan ini disampaikan terbuka oleh Pendiri Partai Umat Amien Rais. Konon, ada usaha pemerintahan Jokowi menguasai seluruh lembaga tinggi negara. Amien Rais rupanya mendeteksi sinyal politik atau skenario yang mengarah agar Presiden Jokowi bisa terpilih lagi hingga tiga periode. Pasca-viralnya pernyataan Amien di kanal youtube, mengalir aneka kritikan tajam kepada tokoh gerakan reformasi 98 ini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Tjahjo Kumolo, misalnya, menilai tudingan Amien Rais sebagai manuver murahan. Tetapi, tak sedikit pula yang bersimpati. Lepas dari kontroversi tersebut, pernyataan Amien Rais ada hikmahnya juga. Paling tidak, pernyataan ini telah menggedor dan mengembalikan sikap kehati-hatian kita terhadap upaya-upaya melawan konstitusi. Soalnya, perhatian rakyat selama ini dibuai atraksi berbagai manuver di panggung politik nasional. Muncul Dukungan Kita mengapresiasi penolakan Presiden Jokowi terhadap wacana presiden tiga periode. Presiden bilang, tidak ada niat dan juga tidak berminat. Presiden juga menegaskan, konstitusi mengamanahkan dua periode dan harus kita jaga bersama. Namun, politik punya banyak wajah. Wajah yang lain, sejumlah elit partai pendukung pemerintah menyatakan dukungannya. Sebutlah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono lebih ekstrim lagi. Dia meminta Presiden Jokowi menerima keinginan rakyat untuk memimpin hingga tiga periode. Alasannya, demi menyelamatkan rakyat dari bencana pandemi dan dampaknya. Kita tidak tahu rakyat mana yang dimaksud Poyuono. Bila yang dimaksud anggota dewan terpilih sebagai representasi rakyat, mungkin logikanya tidak sepenuhnya benar. Sebab, manuver politik penghuni Senayan tidak selalu muncul karena keinginan rakyat. Terkadang manuver itu dipicu oleh inisiatif pribadi atau permintaan partai. Dengan begitu, dukungan elit politik tidak serta merta paralel atau merepresentasikan dukungan akar rumput. Lagi pula, sejarah mencatat bahwa kemunculan wacana presiden tiga preiode telah memperlihatkan penolakan rakyat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, atas dasar dan tujuan apa wacana ini bersemi kembali? Kantor Staf Presiden mencurigai ada pihak yang ingin menjerumuskan Presiden. Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berpendapat ada kemungkinan orang terdekat Jokowilah yang memunculkannya. Untungnya, isu amendemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dibantah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meyakinkan itu. Kita berharap pimpinan MPR konsekuen. Pun dengan Anggota DPR dan DPD yang juga merupakan Anggota MPR RI, agar saling menjaga, menutup peluang sidang istimewa MPR RI. Cukup Satu Periode Jadi, perbincangan soal masa periode jabatan presiden sebaiknya dihentikan saja. Kalau pun ingin membahasnya lebih serius, wacana yang dikedepankan harusnya yang relevan dengan demokrasi dan percepatan pertumbuhan regenerasi kepemimpinan. Dalam perspektif itu, ada baiknya yang dipikirkan secara bersama adalah memangkas periode jabatan presiden, bukan malah menambahnya. Pakar hukum tata negara Refly Harun pernah menggagas ide ini, dengan usulan masa jabatan tujuh tahun atau cukup lima tahun saja. Selebihnya, ia mengusulkan mantan presiden dapat mengajukan diri kembali, tetapi tidak berurutan. Hemat saya, periode presiden dibatasi cukup satu periode atau lima tahun saja. Namun, dengan satu opsi tambahan yakni masa jabatannya dapat diperpanjang hingga dua atau maksimal tiga tahun. Opsi tambahan masa jabatan ini tidak otomatis. Kewenangan diperpanjang atau tidaknya dikembalikan kepada MPR. Dengan begitu, anggota legislatif sebagai pengawas pemerintah punya peran tambahan dalam mengevaluasi hasil kerja presiden. Artinya, opsi itu sekaligus menjadi reward atau punishment bagi presiden. Bila MPR menganggap kinerja presiden selama lima tahun di bawah standar, jatah dua tahun perpanjangan jabatan boleh tidak diberikan. Sebaliknya, jika kinerja presiden terlihat baik atau berhasil, masa jabatan itu dapat diberikan sebagai penghargaan. Ke depan, bila penerapannya memenuhi ekspektasi, keran diskursus selanjutnya dapat dibuka untuk kemungkinan penerapan di level kepemimpinan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Setidaknya, ada tiga hal yang mendasari pikiran tersebut. Pertama, regenerasi kepemimpinan dapat berjalan dengan cepat. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan oligarki kekuasaan sekaligus bisa diminimalisir. Kedua, dua periode jabatan menyita banyak waktu dan konsentrasi presiden pada periode pertama guna menyiapkan diri pada perebutan kekuasaan selanjutnya. Hampir separuh dari periode pertama biasanya dihabiskan untuk konsolidasi menuju tampuk kekuasaan periode kedua. Ketiga, dalam konteks pemilihan presiden, petahana dipandang mempunyai nilai lebih karena menguasai sistem dan pemerintahan. Terbuka potensi menyalahgunakan wewenang dalam perhelatan Pilpres yang melibatkan dirinya. Satu periode jabatan presiden menutup kemungkinan tersebut. Jadi, persoalan periode jabatan presiden bukan sebatas pertimbangan ditambah atau dikurangi. Yang lebih mendasar adalah alasan di balik penambahan atau pengurangan itu. Pemilik gagasan presiden tiga periode perlu ditanya, apa relevansi gagasan itu terhadap demokrasi dan pembangunan bangsa? Penulis adalah Senator DPD RI.

Haruskah Sumpah Mubahalah Dengan Komnas HAM?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memiliki kewenangan penuh untuk menggali fakta dan menyelidiki kasus pembunuhan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 Jalan tol Jakarta-Cikampek (Japek). Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM berujung pada kesimpulan bahwa telah terjadinya "unlawful killing" oleh aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya Komnas HAM juga menyatakan sebagai pelanggaran HAM, maka selanjutnya mesti diproses secara hukum. Bukan kategori pelanggaran HAM berat. Akibatnya, publik menilai kerja Komnas HAM belum optimal karena ada hal yang tidak terungkap, janggal, bahkan mungkin juga disembunyikan. Atas dasar banyak faktor. Namun paling kurang ada tiga hal yang menjadi pertanyaan mendasar, yang justru tidak diungkap oleh Komnas HAM. Pertama, Komnas sama sekali tidak melihat adanya indikasi penganiayaan oleh aparat terhadap keenam anggota Laskar FPI. Padahal foto-foto dan hasil otopsi dimiliki justru sangat mencurigakan. Saat ini dugaan tersangka aparat kepolisian justru dituduh atas pelanggaran terhadap Pasal 338 Jo 351 KUHP. Nah, Pasal 338 KUHP menyangkut pembunuhan dan Pasal 351 adalah penganiayaan. Kedua, keberadaan mobil Land Cruiser yang datang ke Tempat Kajadian Perkara (TKP ) di Rest Area kilometer 50 tidak terkuak siapa personalnya? Padahal saksi yang ada yang ada TKP melihat bahwa terjadi selebrasi seperti sebuah tim bola voli. Selebrasi yang dipimpin oleh "pejabat" yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut. Pemeriksaan kepada polisi yang bertugas di kilometere 50 tol Japek telah dilakukan oleh Komnas HAM. Apakah seluruh saksi bungkam, termasuk yang berselebrasi atas siapa "komandan" yang memimpin itu? Benarkah Komnas HAM tidak tahu juga siapa yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut? Ketiga, yang menjadi pertanyaan Komnas HAM mengenai mobil yang membuntuti dan menembak saat berkejar-kejaran di jalan menuju gerbang tol Karawang Barat. Ada mobil Avanza hitam nomor polisi B 1739 PWQ dan Avanza silver nomor polisi B 1278 KJD. Aneh bin ajaib jika Komnas HAM tidak dapat menemukan siapa penumpang dua mobil pembuntut dan pengejar tersebut. Semestinya terlalu mudah bagu Komnas HAM untuk mengetahui penumpak di movil Avanza hitam B 1739 PWQ dan avanza silver B 1278 KJD. Mudah karena bisa didapat dari keterangan anggota polisi sendiri. Apalagi dalihnya adalah "tembak-menembak" dengan aparat kepolisian. Atau memang mereka bukan Polisi? Kalau bukan polisi, mereka dari instansi mana? Mungkinkah mereka yang terlibat tembak-menembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal itu di TKP adalah anggota polisi yang Bawah Kendali Operasi (BKO) ke instansi negara lain? Misalnya, di-BKO-kan ke Badan Intelijen Negara (BIN)? Mengapa Komnas HAM begitu berat untuk mengungkapkan pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI tersebut. Tiga hal di atas menjadi sangat penting ,atau bagian dari kunci operasi pembunuhan dan penganiayaan terhadap enam anggota laskar FPI. Tiga hal yang semestinya diketahui Komnas HAM saat melakukan penyelidikannya. Jika ternyata memang mengetahui tetapi tidak mengungkapkan, berarti Komnas HAM telah menyembunyikan fakta atau temuan. Keyakinan Komnas HAM bahwa telah terjadinya tembak-menembak yang menewaskan dua anggota laskar FPI. Sementara Komnas HAM tidak mengetahui siapa pelaku atau aparat penguntit dan pembuntut yang terlibat "tembak menembak". Ini juga sangat aneh dan janggal. Bisa berkesimpulam terjadi tembak-menembak. Tetapi tidak tau siapa pelaku yang terlibat tembak-menembak. Komnas HAM juga menyimpulkan tidak terjadi unlawful killing pada pembunuhan dua anggota Laskar FPI tersebut. Padahal keterangan itu hanya didapat dari pengejar, pembuntut, serta penembak sendiri. Mereka adalah penumpang mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Pihak keluarga meyakini keenam laskar tidak memiliki senjata api. Sementara pihak Kepolisian dan Komnas HAM yakin terjadi tembak-menembak. Artinya, anggota laskar itu memiliki senjata api. Beberapa waktu lalu pihak keluarga korban menantang kepolisian untuk melakukan sumpah mubahalah terkait dengan tuduhan kepemilikan sejata api, namun pihak kepolisian tidak ada yang hadir. Mengingat layak diduga terjadi penyembunyian fakta dan temuan oleh Komnas HAM, apalgi Komnas HAM telah meyakini anggota laskar memiliki senjata api, maka muncul pertanyaan haruskah dilakukan pula sumpah mubahalah dengan Komnas HAM? Ketika tuntutan masyarakat agar dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen tidak dipenuhi, maka Komnas HAM akhirnya diberi kepercayaan untuk melakukan penyelidikan. Dengan demikian, tanggungjawab hukum telah diambil oleh Komnas HAM. Mengingat hal ini menyangkut urusan nyawa manusia, maka Komnas HAM tentu juga bertanggung jawab untuk urusan dunia dan akhirat. Karenanya sumpah mubahalah adalah sarana lain yang bisa digunakan untuk menguak misteri pembunuhan sadis atas enam anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian atau instansi lain yang terlibat. Beranikah Komnas HAM sumpah mubahalah? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Tiga Periode? PKI Yang Jingkrak-Jingrak

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Baru-baru ini seperti dilansir detik.com (14/4), Bapak Reformasi Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Amien Rais melontarkan dugaan bahwa Jokowi akan mengusulkan pasal presiden boleh menjabat selama tiga periode. Keinginan ini jelas nenabrak amanat reformasi 1998, yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua priode. Penulis pernah menulis dengan judul “Waspada Agenda Besar Parlemen Indonesia Periode 2019 – 2024”. Tulisan tersebut viral. Dimuat dibeberapa situs berita online. Tulisan tersebut dirilis pada 15 Juli 2019 atau 12 Dzulqa'dah 1440 di FB. Sekarang akun FB dibanned oleh pihak FB. Dalam tulisan tersebut, penulis menjelaskan tentang adanya skenario dan target yang hendak dicapai dibalik isu amandemen UUD 1945. Sebab UUD 1945 Pasal 7 hasil amandemen tahun 1999 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Isu amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden, yang semula hanya dua periode menjadi kemungkinan tiga periode atau lebih. Tulisan tentang jabatan presiden tiga priode atau lebih itu ditulis dua tahun lalu, ternyata bukan hanya isu belaka. Sekadar mewanti-wanti untuk mewaspadai permainan Pertai Komunis Indonesia (PKI) dan paham China komunis melalui antek-anteknya dalam negeri. Bila lengah, maka amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 kemungkinan berhasil. PKI dan antek-antek komunis pun tepuk tengan dan berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan agenda mereka. Isu tentang rencana amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tampaknya akan menjadi perbincangan hangat dan panas. Diprediksi akan timbul gejolak sosial yang meluas di masyarakat. Bagaimana mungkin saat ekonomi anjlok, angka kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, rakyat hidup susah, eh malah minta tiga periode? Yang benar aja. Isu Jokowi tiga periode ini menguat lagi pasca kisruh Partai Demokrat yang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera. Ditengarai KLB Partai Demokrat tersebut didukung oleh lingkaran istana. Banyak juga pihak menuding kisruh mnimpa Partai Demokrat diduga sekarang “diotaki” para jenderal merah. Disanyalir Moeldoko dan faksi yang tersingkir di Partai Demokrat beberapa tahun silam, hanyalah “pemain figuran” saja. Pengendalinya gank politik jenderal merah yang sangat berpengaruh. Selain kisruh di Partai Demokrat, publik juga mensinyalir “safari politik” Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto ke beberapa ketua umum partai membawa misi khusus. Tahun kemarin, Airlangga Hartarto juga melakukan hal yang sama. Misinya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Adakah safari Airlangga Hartarto tahun ini punya misi tertenti? Khususnya yang terkait dengan isu Jokowi tiga periode? Rumornya Airlangga Hartarto dikenal dekat dengan link jenderal merah. Rakyat sekarang dalam posisi yang sulit. Sementara DPR dan institusi negara lainnya nyaris lumpuh. Mereka dikendalikan oleh segelintir orang dalam genk politik jenderal merah. Wajar saja bila ada kekhawatiran skenario tiga periode, dan pelan-pelan mengarah partai tunggal. Mirip-mirip sistem politik China komunis. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Jokowi-Prabowo 2024 Jadi Puncak Onani Direktur Indo Barometer

by Asyari Usman Medan, FNN - Ada yang berkhayal bahwa pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 bisa melenyapkan perpecahan politik rakyat. Yang bermimpi itu adalah Direktur Eksekutif lembaga survei Indo Barometer, Muhammad Qadari. Dia langsung mengklaim “copy rights” sebagai deklarator. Qadari menyampaikan klimaks orgasme siang bolongnya itu seperti dikutip oleh CNNIndonesia dan Kompas hari ini, Selasa, 16 Maret 2021. Qadari mungkin berharap Jokowi dan Prabowo akan menelefon dia untuk membeli hak cipta tag-line deklarasi itu. Soal harga, tentu bisa dibayangkan berapa banyak nolnya. Sebab, tag-line ini merupakan "maha karya" Qadari untuk persatuan bangsa. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Mari kita lihat beberapa hal serius tentang Jokowi-Prabowo 2024 yang diyakini Qadari bisa menghilangkan polarisasi. Namun M. Qadari lupa bahwa sampai hari ini perpecahan yang lebar dan dalam itu masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Qadari ini tidak melihat atau pura-pura tak melihat bahwa jika Jokowi-Prabowo bisa menyatukan rakyat, tentu sejak hari pertama Prabowo menekukkan lututnya di depan Jokowi, polarisasi itu langsung lenyap. Kenyataannya, itu tidak terjadi. Keterbelahan tak berubah. Itu artinya, bukan ikut atau tidak ikutnya Prabowo ke kubu Jokowi yang menjadi masalah. Persaoalannya adalah rakyat tidak menerima cara-cara Jokowi mengelola pemerintahan. Rakyat tidak setuju dengan sebagian besar kebijakan Jokowi. Tidak usah dulu kita bicarakan amandemen UUD 1945 pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua (2) periode. Katakanlah perubahan pasal itu bisa dilakukan dalam satu hari. Kemudian Jokowi-Prabowo mendeklarasikan diri dengan dukungan 8 parpol, misalnya. Rakyat akar rumput tidak akan mendukung. Seperti biasa, mereka tentu bisa saja dipaksakan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029 lewat tangan ketua KPU. Tapi, perpecahan malah akan semakin panjang. Karena, sekali lagi, rakyat tak sudi memberikan mandat kepada Jokowi. Jadi, Mister Qadari, yang menjadi masalah bukan ada-tidaknya Prabowo di kubu Jokowi. Yang menjadi problem adalah keberatan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi. Kalian ciptakan pun 20 kloningan Prabowo untuk dimasukkan ke kubu Jokowi, tidak akan ada pengaruhnya terhadap polarisasi bangsa ini. Anda, Pak Qadari, masih menyangka bahwa Prabowo punya gerbong pengikut seperti di masa kampanye Pilpres 2019. Wake up, Sir! Mr Prabowo had totally been deserted by most of his supporters. Pak Prabowo itu sudah ditinggal pergi oleh sebagian besar pendukungnya tempohari. Segelintir loyalis masih ada. Tapi, sangat tidak signifikan. So, stop your day light dream, Pak Qadari. Berhentilah bermimpin siang bolong. Tapi, silakan terus beronani dan berorgasme dengan terori Jokowi-Prabowo 2024 akan melenyapkan polarisasi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Indonesia Jadi Lahan Uji Coba Vaksin “Sampah”?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seperti halnya obat-obatan, vaksin juga punya masa kadaluarsa. Konsekuensinya, vaksin tersebut seharusnya tidak boleh atau “haram” digunakan untuk tubuh manusia. Termasuk beragam merk vaksin Virus Corona (COVID-19) yang kadaluarsa. Vaksin Sinovac yang sudah datang di Indonesia mencapai 38 juta dosis. Celakanya, ternyata vaksin batch 1 dan batch 2 ini masa kadaluarsanya pada 25 Maret 2021. Sebanyak 1,2 juta itu datang pada 6 Desember 2020 dan 1,8 juta datang pada 31 Desember 2020. Dus, kalau kadaluarsa keduanya pada 25 Maret 2021, berarti Vaksin Sinovac ini datang dalam keadaan hampir kadaluarsa. Kasihan para Dokter dan Nakes, karena mereka ini justru dapat jatah Sinovac yang akan memasuki masa kadaluarsa. Sementara sebagaimana lazimnya, vaksin dan obat-obatan yang dikemas, masa kadaluarsa biasanya 6 sampai 2 tahun. Lalu mengapa Indonesia dikirimi vaksin yang sudah hampir masuk masa kadaluarsa? Dengan menggunakan logika yang sama, lalu bagaimana dengan vaksin batch 3 sebanyak 15 juta dosis yang datang pada 12 Januari 2021? Apakah masa kadaluarsanya juga sama, 3 bulan seperti nasib vaksin batch 1 dan 2? “Kalau begitu, vaksin 15 juta dosis ini terancam kadaluarsa pada sekitar 25 April 2021,” kata dr. Tifauzia Tyassuma. Lalu vaksin Sinovac batch 4 sebanyak 11 juta dosis, yang datang pada 2 Februari 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Mei 2021! Kemudian, Vaksin Sinovac batch 5 sebanyak 10 juta dosis, yang datang pada 2 Maret 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Juni 2021! Apalagi, saat ini 34 juta dosis dari Vaksin Sinovac belum habis, baru terpakai 4 juta dosis. Padahal Projek Vaksinasi ini sudah 3 bulan berlalu. Ditambah lagi, kini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkejut saat tahu bahwa vaksin asal UK, AstraZeneca sebanyak 1,1 juta dosis, akan kadaluarsa pada Mei 2021. Sementara daya serap vaksin ke masyarakat baru 60.000 dosis perhari. Jadi, sampai dengan Mei 2021 sejumlah 41 juta dosis vaksin (dari Sinovac dan AstraZeneca) baru terpakai 12 juta dosis sesuai kalkulasi. Berarti akan ada vaksin kadaluarsa sebanyak 29 juta dosis. Perlu dicatat, Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari BPOM. Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Sebelumnya, di Facebook beredar unggahan yang menyebutkan, vaksin Covid-19 produksi Sinovac itu sudah diproduksi sebelum pandemi virus corona. Persepsi ini muncul ketika ada informasi, vaksin Covid-19 itu akan kedaluwarsa pada 25 Maret 2021. Vaksin memiliki masa kedaluwarsa 2 tahun. Informasi tersebut telah diklarifikasi oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi. Melansir Kompas.com, Minggu (14/3/2021), Nadia mengatakan bahwa vaksin yang akan kedaluwarsa itu merujuk kepada vaksin CoronaVac pengadaan batch pertama. “Vaksin ini telah kita gunakan untuk diberikan kepada 1,45 juta tenaga kesehatan dan 50.000 orang pemberi pelayanan publik. Saat ini, vaksin ini sudah habis kita gunakan,” kata Nadia. Ketua Tim Uji Klinis Nasional Vaksin Covid-19 Prof. Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin Covid-19 memiliki masa kadaluwarsa dua tahun. Oleh karena itu, vaksin Covid-19 yang saat ini siap suntik harus segera dihabiskan. Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk “Memahami Covid-19 dan Mutasi Virus”, Sabtu (13/3/2021). Kusnandi mengatakan, narasi itu tidak benar. Pernyataan yang dia sampaikan di atas, tidak tepat jika diartikan bahwa vaksin Covid-19 telah dibuat sejak dua tahun yang lalu atau sebelum pandemi Covid-19 merebak. Bukan vaksin Sinovac itu dibikin 2 tahun lalu. Kusnandi menjelaskan, setiap jenis vaksin masa kedaluwarsanya berlainan. Biasanya, vaksin bertipe inactivated seperti Covid-19 memiliki masa berlaku antara satu sampai dua tahun. Untuk Sinovac itu juga antara 1 sampai 2 tahun, ada juga yang kurang dari 6 bulan. Ia mengatakan, vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan untuk program vaksinasi, bisa juga dipercepat masa kedaluwarsanya oleh Bio Farma, agar lebih cepat dihabiskan. Mungkin saja dibikin setahun yang lalu, tapi supaya cepat habis, dicepatkan expired date-nya. Karena sekarang Bio Farma sedang bikin vaksin dari bulk yang baru. Karena ini sudah dikirim bulk dari Sinovac ke Bio Farma. “Mungkin bulk yang lama expired date-nya dipercepat, biar habis dulu. Jadi, yang masuk duluan itu dipakai,” ujar Kusnadi. Tunda AstraZeneca Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penggunaan vaksin Covid-19 asal AstraZeneca ditunda sementara di Indonesia. Pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari WHO terkait efek samping dari vaksin AstraZeneca yang terjadi di Eropa. “Sampai saat ini berita yang kami terima dari WHO mereka masih meneliti, kita juga terima dari MHRA itu BPOMnya UK, dan EMA itu European Medical Authority, mereka sekarang belum mengkonfirmasi apakah ini ada korelasinya karena vaksin atau tidak,” kata Budi. Dalam Rapat Kerja di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Senin (15/3/2021) itu, Budi mengatakan, informasi yang diterimanya sejauh ini, pembekuan darah tidak disebabkan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Namun, Kemenkes dan BPOM menunda sementara penggunaannya. Menurut Budi, untuk konservativismenya, BPOM menunda dulu implementasi AstraZenca sambil menunggu konfirmasi dari WHO. Mudah-mudahan dalam waktu singkat dapat keluar, karena memang betul yang AstraZenca ini ada expired period pada akhir Mei 2021. Budi menambahkan, pihaknya juga tengah menunggu fatwa halal vaksin AstraZeneca dari MUI. MUI harusnya ada rapat dalam besok atau lusa, sehingga fatwanya bisa dikeluarkan dalam dua hari kedepan ini. Diberitakan, hingga Kamis (11/3/2021) ada 6 negara Eropa yang menghentikan sementara penyuntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca, menyusul adanya laporan pembekuan darah pasien usai vaksinasi. Denmark adalah negara pertama yang mengumumkan penangguhan ini, melalui pernyataan Otoritas Kesehatan negara itu. Penangguhan dilakukan sebagai tindakan pencegahan, tetapi belum dipastikan ada hubungan antara vaksin dengan pembekuan darah. Badan Obat-obatan Eropa (EMA) mengungkapkan, sampai 9 Maret ada 22 kasus pembekuan darah dari 3 juta orang lebih yang divaksinasi di Wilayah Ekonomi Eropa. Menurut dr.Tifauzia Tyassuma, Indonesia seharusnya tak perlu membeli vaksin sampai 400 juta dosis. Saat ini sudah masuk 180 juta lebih. Alasannya, mengambil patokan data yang dirilis Jhon Hopkins, di mana 60 negara sudah mengalami penurunan penularan Covid-19 karena Herd Emmunity (HE) secara alamiah yang mencapai 40-50%. Sementara, dari 220 negara dikurangi 60 negara atau sekitar 160 negara HE sudah mencapai 15 %, termasuk Indonesia. Untuk sampai tingkat HE 40-50%..di mana dari kekebalan kelompok/populasi yang terpajan virus dapat melindungi 60-50% rakyatnya secara alamiah, maka saat itu masa pandemi menuju endemi. Indonesia bisa mengejar angka ini hingga akhir 2021, sehingga pada 2022 menuju endemi. Indonesia bisa juga mengejar HE buatan lewat vaksinasi. HE alamiah dan HE buatan bisa dikolaborasikan untuk mempercepat HE yang diharapkan. Namun karena kecepatan vaksinasi perhari Indonesia hanya 60.000 populasi, maka butuh beberapa tahun kemudian untuk capai HE buatan lewat vaksinasi. Sementara vaksin yang masuk saat ini, seperti Sinovac pada Maret sampai Juni 2021 nanti masuk kadaluarsa. Bahkan berita terbaru vaksin AstraZeneca yang sudah masuk Indonesia juga kadaluarsa pada Mei 2021. Menakutkan bukan? Haruskah “vaksin sampah” itu dipaksakan diinjeksi ke lengan tangan rakyat? Siapa tanggung jawab jika terjadi efek samping seperti di Eropa? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

KM 50 Tol Japek Memburu Pemilik Ide Kejahatan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi. Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), penutupan organisasi FPI, dan seterusnya. Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek), beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta aparat berwenang untuk menyelidiki lebih lanjut. Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil. Namun argumen polisi itu terasa janggal. Keempat laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan yang dilakukan polisi. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk. Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang "mewah". Bukan pula barang yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam. Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya temuan wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi. Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang sumber yang saat itu berada lokasi kejadian, yang polisi menyebutnya dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Para saksi itu menerangkan tidak melihat ada baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itulah yang diduga menewaskan dua laskar FPI. Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar habis. Diratakan dengan tanah. Tidak ada lagi yang tersisa di TKP Rest Area KM 50 Tol Japek. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami. Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka, meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam Mahfud MD, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP. Artinya, melawan hukum. Sarat Kontroversi Begitu banyak kontroversi dalam kasus ini, hingga sulit diramu satu per satu. Namun satu hal yang pasti, konstitusi memerintahkan “negara melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia”. Melindungi setiap nyawa warga negara adalah kewajiban pemerintah. Sebaliknya, penghilangan nyawa satu rakyat saja tanpa alasan kuat adalah tindakan melawan konstitusi yang juga melanggar HAM. HAM adalah anugerah yang wajib dihormati. Dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan kita semua. HAM seharusnya menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diskriminasi dan intimidasi yang berujung pada hilangnya hak hidup, tentu harus direspon oleh hukum secara adil. Bila tidak, wajah bangsa ini akan semakin kusam dalam pandangan dunia internasional. Karena kejahatan HAM selalu menjadi perhatian masyarakat global. Bangsa ini telah cukup banyak menyimpan problem HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Jangan ditambah lagi. Hari ini ,16 Maret 2021, tepat 100 hari kematian 6 pemuda Laskar Front Pembela Islam. Hingga 100 hari pasca kepergian almarhum, pihak keluarga masih mengejar keadilan. Kita bersimpati kepada keluarga yang ditinggal dan memanjatkan doa terbaik untuk para almarhum. Semestinya, belasungkawa juga datang dari pemerintah. Entah itu dari Presiden Jokowi atau setidaknya salah seorang menteri Kabinet Indonesia Maju. Tetapi kita tidak mendengar ucapan itu. Sangat kering dan gersang negara berbelasungkawa kepada rakyatnya. Apalagi karangan bunga dukacita segala. Konteksnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini tentang soal kemanusiaan. Ikut bersimpati pada duka keluarga korban rasanya tidak akan terlalu memberatkan. Tidak juga mengurangi kehormatan dan waktu para pejabat. Sebaliknya, ucapan dukacita barangkali saja bisa mendinginkan suasana dan menjadi pintu masuk dialog antara keluarga korban dengan pemerintah. Di jegad media sosial, viral orang tua para almarhum laskar FPI yang wafat itu melakukan sumpah mubahalah. Sumpah mubahalah memang dikenal pada mekanisme hukum pembuktian Islam di zaman Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam. Sumpah ini bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallaahu Alaihi Wasallam sendiri. Hukum Indonesia tidak mengenal sumpah mubahalah. Kalau toh dilakukan, agaknya tidak akan meringankan atau memberatkan dalam konteks hukum positif Indonesia. Tetapi sumpah itu toh tetap saja menjadi pilihan. Boleh jadi karena orang tua korban merasa kepentingan hukumnya tidak bakalan sepenuhnya diayomi penegak hukum. Memasuki Babak Baru Kini, insiden wafatnya enam laskar FPI memasuki babak baru. Tiga anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrok dengan enam laskar FPI, tengah diperiksa. Sinyal yang diberikan Kabareskrim Polri, tidak menutup kemungkinan ketiganya menjadi tersangka. Bila benar tiga Anggota Polda Metro Jaya melakukan pembunuhan itu, harus dipastikan apakah tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasan? Yang kita tahu, garis komando itu begitu mendarah daging dalam diri aparat kepolisian dan personel TNI. Seorang petugas lapangan umumnya tidak akan berani mengambil keputusan berdampak besar bila tidak ada perintah atasan. Jika benar didasari atas perintah atasan, maka kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada petugas di lapangan. Pemilik ide kejahatan dan pemberi komando harus dikejar. Meski begitu, harus diakui pula bahwa kemungkinan inisiatif sendiri tetap ada, meski potensinya sangat kecil. Itu bisa terjadi jika situasi lapangan mengharuskan. Pada sisi lain, lagi-lagi muncul kontroversi baru. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Km 50 Tol Japek, 7 Desember 2020. Dugaan ini disinyalir Ketua TP3 Abdullah Hehamahua berdasarkan penuturan saksi mata di sekitar lokasi. Dugaan Hehamahua sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Terlebih, dugaan ini punya kecocokan dengan temuan investigasi Komnas HAM. Komnas menyebut ada sejumlah pria yang membawa senjata laras panjang di sekitar KM 50, yakni aparat penjaga jalur pengiriman vaksin Covid-19. Meski begitu, selalu terbuka alternatif lain yang dapat terjadi. Belajar dari kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnain, misalnya. Faktanya, di persidangan terungkap bahwa eksekutor yang disewa Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ternyata gagal menunaikan tugas. Pistol sang eksekutor macet. Tetapi Nasrudin Zulkarnain toh tetap tewas dengan peluru bersarang di kepala. Peristiwa sejenis itu pula yang dikhawatirkan oleh Hehamahua. Menurut dia, peluru yang menyasar di kepala Nasrudin Zulkarnain berasal dari senapan sniper, penembak jarak jauh. Baik Komnas HAM maupun penyidik di Kepolisian seharusnya memikirkan alternatif semacam ini, agar penanganan dan pengembangan perkara tepat sasaran dan berkeadilan. Jangan sampai yang salah dibuat menjadi soelah-olah benar, dan yang benar jangan sampai disalahkan. TP3 bersama Amien Rais telah menemui presiden. Segala harapan, unek-unek, dan bahkan ancaman siksa api neraka telah disampaikan. Kita menunggu sejauh mana langkah bijak Presiden Joko Widodo. Penulis Adalah Senator DPD RI

Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi Lalu Lihat Kebalikannya

Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - AKHIR-AKHIR Ini ribut perdebatan soal rencana perpanjangan jabatan Presiden Jokowi hingga tiga periode. Melalui akun Youtube Sekretariat Presiden yang diunggah, Senin (15/3/2021), Jokowi menegaskan dirinya tidak berminat menjadi Presiden untuk tiga periode. Ia juga meminta untuk tidak membuat kegaduhan baru karena kini sedang fokus pada penanganan pandemi. "Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah. jangan membuat kegaduhan baru, kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," ujar Jokowi. Pernyataan tersebut hampir mirip dengan ucapan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, bulan September 2012. Ketika itu, Jokowi mengaku tidak pernah memikirkan jadi calon Presiden (Capres). "Copras-capres, copras-capres. Gak mikir. Mikir banjir, mikir macet saja pusing," ujar Jokowi kepada para wartawan ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Nah, sekarang pernyataan yang hampir sama terulang kembali terkait dengan jabatan Presiden tiga periode. Menurut para netizen di media sosial, untuk membuktikan pernyataan Jokowi cukup dengarkan pernyataannya kemudian lihat kebalikannya. Apa yang dikatakannya terbalik dengan apa yang dilakukannya alias tidak sinkron antara pernyataan dengan perbuatan. Antara janji-janjinya dengan realitanya. Misalnya, dalam kampanye Pilpres 2014 berjanji untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi 7 persen per tàhun, tapi kenyataannya hanya mampu tumbuh sekitar 5 persen. Lalu dia juga berjanji untuk tidak melakukan impor kebutuhan pangan, sekarang malah pemerintah merencanakan untuk mengimpor 1.000.000 ton beras. Padahal, para petani sekarang sedang melakukan panen raya. Masih banyak janji-janji Jokowi lainnya yang kalau diurut satu per satu hanya akan menyesakkan dada saja. Ruwet bos. Oleh karena itu, sekarang masyarakat umumnya sudah apatis dan tidak peduli lagi dengan apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah karena mereka melihat banyak inkonsistensi dari pernyataan dan langkah yang dilakukan pemimpinnya dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden RI. Apalagi saat ini, pemimpin dan para elite partai politik juga asyik berebut kepentingan mereka masing-masing. Sedangkan masyarakat berkutat dengan berbagai permasalahan hidup mereka sehari-hari mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga naiknya biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini terjadi di tengah kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Antara pribumi dan non pribumi. Tidak hanya itu, para taipan bahkan mampu bersekongkol dengan oknum pejabat dan aparat untuk melakukan korupsi uang negara. Jika memperhatikan perdebatan para elite politik dan pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan tentang perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, sesungguhnya komentar mereka sarat dengan kepentingan politik. Saya lebih mengapresiasi komentar dan penilaian yang diungkapkan para netizen di media sosial. Mereka lebih jujur dan objektif dalam menilai kinerja pemerintahan sekarang, khususnya Presiden Jokowi. Untuk membuktikan pernyataan Jokowi, cukup dengarkan kemudian lihat kebalikannya. Tidak berlebihan jika Jokowi dijuluki presiden terbalik. Publik umumnya sudah maklum dan terbiasa dengan berbagai pernyataan presiden yang kerap berbohong. Oleh Karena itu, apa pun bantahan yang disampaikan Jokowi tentang perpanjangan jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode, publik justru meyakini sebaliknya. Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. Betapa tidak, sebelumnya mantan Wali Kota Solo tersebut berhasil membuat sandiwara politik yang memukau sekaligus menipu rakyat Indonesia. Saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi selalu mengaku tidak memikirkan urusan capres, meski realitanya dia menyatakan diri siap menjadi capres dari partainya yakni PDIP. Dalih yang disampaikan Jokowi berikutnya, "Saya kan petugas partai, jadi harus tunduk pada putusan partai". Sekarang pun dia menyatakan tidak berminat jadi presiden tiga periode. Akan tetapi, jika pada.akhirnya PDIP memutuskan mengubah UUD 1945 yang isinya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, kalimat yang diucapkan Jokowi bisa berubah. Nah, lalu Jokowi mau apa ? Sebelumnya isu tentang jabatan Presiden 3 Periode, diungkapkan tokoh nasional yang juga pendiri Partai Ummat, Amien Rais, yang diunggah melalui kanal berbagai video YouTube, Sabtu (13/3/2021). Amien Rais menyebutkan, akan ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk mengubah atau mengamendemen UUD 1945. "Jadi, mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR yang mungkin 1-2 pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu," kata Amien Rais. Menurut Amien, skenario ini muncul karena ada opini publik yang menunjukkan ke arah mana pemerintahan Presiden Jokowi melihat masa depannya. "Kalau ini betul-betul keinginan mereka, maka saya kira kita sudah segera bisa mengatakan ya Innaillaihi Wa Innailaihi Ro'jiun," ujarnya. Isu perpanjangan masa jabatan presiden di era pemerintahan Jokowi bukan saja muncul sekali ini saja. Sebelumnya, pada akhir 2019, isu serupa ramai diperdebatkan soal ini seiring dengan wacana amandemen terbatas UUD 1945. Jadi kalau para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan mewanti-wanti Amien Rais agar tidak melontarkan pernyataan yang menjurus ke arah fitnah, maka seharusnya mereka juga mendorong Jokowi untuk melaporkan Amien Rais ke polisi. Sebelumnya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian meminta Amien Rais berhati-hati atas isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang ditudingkan kepada pemerintah. Sebelum Jokowi menyampaikan bantahannya, para pejabat di sekitar Istana Kepresidenan kompak membantah Jokowi berkeinginan untuk menjabat presiden selama tiga periode. Juru bicara Kepresidenan Fadjroel Rahman di akun Instagramnya menyebutkan Presiden @Jokowi tegak lurus UUD 1945, masa jabatan presiden dua periode. Ingin Mencari Muka Hal senada disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. "Presiden Jokowi tak setuju adanya amendemen lagi," ungkap Mahfud melalui akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Senin (15/3). Presiden Jokowi, ujar Mahfud, tidak setuju terhadap rencana amendemen kembali UUD1945. Mengutip apa yang dikatakan Jokowi kepada Mahfud, ada tiga kemungkinan jika ada pihak yang menghendaki Jokowi menjadi presiden tiga periode. "Satu, ingin menjerumuskan. Dua, ingin menampar muka. Tiga, ingin mencari muka. Kita konsisten saja, batasi jabatan presiden dua periode," jelas Mahfud. Nah, ternyata Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid secara pribadi mengaku mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden Indonesia hingga tiga periode. Padahal, UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden hanya boleh dua periode. "Secara pribadi saya setuju adanya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode sepanjang atas dasar kehendak rakyat yang tercermin dari fraksi dan kelompok DPD," kata Jazilul dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Minggu (14/3) malam. Jika mengacu pada kriteria yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, apakah pernyataan Wakil Ketua Umum PKB ini termasuk kedalam orang yang hendak menjerumuskan, menampar muka atau mencari muka kepada Jokowi ? Silahkan disimpulkan sendiri. Yang jelas kita semua mengetahui, PKB bagian dari partai pendukung pemerintah. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi Jadi Pembela Petani Asing

PANEN padi di beberapa daerah sudah memasuki puncaknya. Di sisi lain, pemerintah bersikeras akan mengimpor 1.000.000 (satu juta) ton beras. Sesuatu kegiatan yang sangat kontraproduktif, sangat menyakitkan, merendahkan, dan bahkan sangat melecehkan para petani. Sungguh ironis. Pada saat petani padi bersemangat meningkatkan produksi, pemerintahan Joko Widodo malah berencana mengimpor beras. Padahal, beras impor tahun 2018 masih ada yang belum disalurkan, sebagaimana disampaikan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso. Jumlahnya cukup banyak. Dari total pengadaan 1.785.450 ton beras masih tersisa 275.811 ton beras belum tersalurkan. Dari jumlah yang belum tersalurkan itu, 106.642 ton menjadi beras turun mutu. Bisa jadi, semua beras impor yang tidak laku itu menjadi turun mutu karena disimpan di gudang Bulog sejak 2018 yang lalu. Sangat ironis. Pada saat memasuki panen raya, pemerintahan Joko Widodo malah tidak peduli dengan hasil rakyatnya. Pemerintahan Joko Widodo tidak peduli kepada para petani. Sangat ironis, karena pemerintahan Joko Widodo ikut menghancurkan harga padi. Pemerintahan Jokowi lebih peduli pada petani asing. Lebih peduli pada pengusaha yang akan mengimpor beras. Berdasarkan pengalaman selama ini, walaupun impor itu ditugaskan kepada Badan Bulog, namun perusahaan plat merah tersebut biasanya akan menjalin kerjasama dengan pengusaha swasta. Ya, perusahaan swasta yang berpengalaman dalam impor beras, dan pengusaha yang sudah memiliki kedekatan dengan Bulog. Kok pemerintah Jokowi menghancurkan petani dan harga padi? Itu bisa berita bohong atau hoax. Pemerintah Jokowi adalah pembela petani, pembela rakyat, dan pembela wong cilik. Faktanya, pembangunan bendungan terus dilakukan. Pemerintahan Jokowi juga sangat getol dan bersemangat membangun food estate atau lumbung pangan di beberapa daerah. Luas yang dibangun tidak tanggung-tanggung. Arealnya pun tidak hanya diperuntukkan tanaman padi, tetapi juga singkong. Hebat kan. Penerintahan Jokowi sangat berpihak kepada petani. Hebat sekali keinginan pemerintah untuk memanjakan mereka, menghibur rakyat. Ya, bukan sinetron, melainkan kenyataan yang menghibur. Akan tetapi, di balik itu semua, sekarang ini pemerintah secara nyata dan perlahan ingin membunuh para petani dengan mengimpor beras dalam jumlah yang sangat fantastis atau tidak nasuk akal. Sudah angkanya besar, impor pun diumumkan pada saat petani bergembira karena panen raya telah tiba. Secara psikologis, rencana pemerintah mengimpor beras satu juta ton itu sangat melukai perasaan para petani. Jokowi benar-benar meruntuhkan semangat mereka. Mestinya, pemerintah Jokowi membeli padi dari petani, berapa pun jumlahnya dengan harga minimal sesuai harga dasar. Syukur-syukur pemerintah berani membeli gabah di atas harga dasar, atau sesuai harga pasar. Rencana pemerintah mengimpor beras satu juta ton telah menyebabkan harga gabah kering giling (GKG) anjlok hingga Rp1.400 per kilogram. Harga yang diterima petani berkisar Rp3.300 per kg. Padahal, sebelumnya harganya Rp4.500 sampai Rp4.700. Menjelang panen raya, Badan Pusat Statistik menyebutkan harga rata-rata gabah nasional turun. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Februari 2021 turun 3,31 persen menjadi Rp4.758 per kilogram. Itu baru Februari, dan diperkirakan turun lagi pada Maret dan April, saat puncak panen padi. Setidaknya, ada dua penyebab turunnya harga GKP itu. Pertama, karena pasokan gabah mulai naik seiring semakin banyaknya daerah sentra padi yang panen. “Beberapa wilayah sudah mulai panen dan kami perkirakan panen raya mulai Maret dan April. Observasi menunjukkan, pasokan gabah yang dipantau juga naik seiring banyaknya daerah yang panen,” kata Kepala BPS Suhariyanto, kepada wartawan, di Jakarta, Senin (1/3/2021). Kedua, harga merosot karena kualitas gabah turun. Kadar air GKP pada Februari 2021 cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan Januari. Hal tersebut terjadi karena curah hujan yang tinggi. Kadar air pada Februari 2021 mencapai 19,17 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2021 sebesar 17,56 persen. Dua alasan tersebut sangat masuk akal. Akan tetapi, harga gabah juga terus merosot setelah Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengumumkan rencana impor beras satu juta ton. Tentu, ini menyangkut psikologis petani. Tidak menutup kemungkinan petani didatangi para tengkulak dengan nada mengancam. "Kalau tidak mau jual harga murah, nanti beras impor akan membanjiri pasar." Demikian kira-kira kalimat ancamannya. Tengkulak, tidak hanya mereka yang berupaya mengeruk keuntungan dari petani, alias pedagang yang sudah malang-melintang dalam urusan gabah dan beras. Tengkulak juga bisa berasal dari kaki-tangan Bulog, misalnya koperasi dan lainnya. Melihat fakta yang terjadi, sebaiknya pemerintah berhenti merencanakan impor beras. Semestinya, Jokowi berpihak kepada petani Indonesia, ketimbang petani asing. Apalagi, Jokowi adalah petugas partai wong cilik. Jika impor beras tetap dilakukan pemerintah, maka jangan salahkan rakyat jika menyebut Jokowi sebagai, "Presiden wong edan." Sebab, impor beras di tengah produksi melimpah berarti sama saja Jokowi pembela petani asing. **

Prof Subowo, “Vaksin Masuk Tidak Ada Gunanya Untuk Kita”

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Dalam Diskusi Grup Probiotik, Prof. dr. Subowo, MSc. PhD mengatakan, vaksinasi terhadap patogen apa saja, tujuannya bukan menaikkan antibodi, sebab jika yang diinginkan antibodi tujuannya terapi, artinya ingin segera mengatasi infeksi.Maka vaksinasi terhadap hepatitis (apapun jenis virusnya) bertujuan untuk profilaksis, artinya tidak segera dibutuhkan. Pada setiap kali vaksinasi maka tubuh ini akan merespons terhadap vaksin tersebut. Respons imun dimulai dengan pengenalan oleh sel pengenal, yaitu limfosit B menghasilkan antibodi (humoral) atau limfosit T (selular). Proses responsnya sama yang dimulai dengan pengenalan melalui molekul reseptor yang diikuti proses proliferasi (reseptor tak diperlukan lagi) dalam proses proliferasi ini dilanjutkan dengan diferensiasi menjadi 2 jenis sel, yaitu: Sel efektor (B menjadi plasma cell, T menjadi sel Tc (sitotoksik), plasma cell menghasilkan antibodi terhadap vaksin. Selain itu, menurut Prof Subowo, diferensiasi menjadi sel memor yang dilengkapi dengan reseptor. Mengapa disebut sel memori, karena di kemudian hari jika terpapar oleh vaksin yang sama atau virus patogen yang sama akan merespons mengganti fungsi limfosit yang pertama kali mengenal vaksin. Dalam imunologi disebut “virgin cell”. Virgin cell diganti oleh memory Cell. Vaksinasi yang bertujuan profilaksis tidak memerlukan antibodi, tetapi yang diperlukan memory cell karena hidupnya lama. Jika yang bersangkutan di kemudian hari orang tersebut terpapar hepatitis virus, sel memori yang banyak inilah yang akan menghadapi virus tersebut seperti yang dilakukan oleh “virgin cell”, tetapi antibodinya merupakan antibodi terhadap virus bukan terhadap vaksin. Yang penting sekarang, apa arti vaksinasi itu? Benar antibodi ketika vaksin masuk memang ada tetapi tidak ada gunanya untuk kita, karena tidak cukup jumlahnya untuk menghadapi virus yang proliferasinya cepat, lagipula vasinasi bukan untuk terapi tetapi profilaksis. Hal ini yang harus dipahami, vaksinasi tujuannya membuat sel memori sebanyak-banyaknya yang umurnya panjang. Jika pada uji klinik diukur antibodi terhadap vaksin, bertujuan untuk menguji apakah vaksin dapat merangsang respons imun. Itu yang pertama. Kedua, kapan antibodi itu habis dalam serum? Untuk menentukan waktu yang menguntungkan vaksinasi kedua. Jika masih ada antibodi maka antibodi itu akan mengikat vaksin yang berdampak mengurangi dosis vaksin kedua. Sebenarnya 2 minggu itu terlalu pendek. Efektivitas vaksin tidak diukur oleh kemampuanya menghasilkan antibodi. Khasiat vaksin dan efektivitas vaksin mengukur penurunan proporsional dalam kasus diantara orang yang telah divaksinasi. Khasiat vaksin digunakan saat ketika dilaksanakan dalam kondisi ideal, misalnya saat uji klinis. Efektivitas vaksin digunakan saat studi dilakukan di bawah lapangan khas (kondisi kurang dari sempurna). Khasiat atau efektivitas vaksin (VE) diukur dengan menghitung risiko penyakit diantara orang yang divaksinasi dan tidak divaksinasi serta menentukan persentase reduksi risiko penyakit antara orang yang divaksinasi relatif terhadap orang yang tidak divaksin. Semakin besar pengurangan persentase penyakit pada kelompok yang divaksinasi, semakin besar khasiat atau efektivitas vaksin. Memantau efektivitas vaksin sangat penting untuk: Optimalkan penggunaan sumber daya terbatas; Menunjukkan dampak vaksin pada hasil kesehatan (membenarkan biaya); Optimalkan vaksin uptake; Merangsang pengembangan vaksin yang meningkat. Prof Subowo mengingatkan, vaksinasi itu bukan terapi, maka harus tetap prokes walaupun antobodi tinggi tetap tidak melindungi diri, karena virus cepat proliferasi. Menjaga Mikrobioma Dr Widya Murni MARS, Dipl of IHS, seorang dokter umum yang praktek dalam bidang ilmu integrative dan functional medicine, lebih khusus lagi di bidang anti-aging medicine berbasis hormon mengungkap pentingnya peningkatan Vitamin D. Dalam ilmu ini, dr. Murni senantiasa mencari root of cause (akar penyebab) untuk memberi pengobatan bukan sekedar penurun gejala. Setiap terapi yang diberikan harus berasal dari root of cause-nya, seperti halnya kekurangan vitamin D. “Saya terpaksa membuat tulisan ini dengan niat baik untuk menyebarkan paradigma baru penggunaan dosis tinggi vitamin D untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19,” tulis dr. Murni. Memang vitamin D bukan satu-satunya pendukung innate dan adaptive immune system, tapi jika kita memiliki kadar vitamin D yang rendah dan terkena Covid-19, maka akan terjadi sulit sembuh, dan bahkan sering terjadi gagal napas sehingga harus dirawat di ICU. Ada juga terjadi kegagalan multiorgan dan kematian. No one should be die with corona virus. Kata seorang ahli, harusnya tidak ada seorangpun meninggal dengan Covid-19, jika tertangani dengan baik tentunya. Dr. Murni sempat menghadiri satu acara di Kuala Lumpur yang diselenggarakan MAAFIM, organisasi Malaysia Asociation of Functional & Interdisiplinary Medicine, yang juga dihadiri semua bintang ilmu Integrative & Functional Medicine dari Malaysia dan kelas dunia. Salah satu topik penting yang ditampilkan adalah The Miracle Of Vitamin D yang dibawakan oleh Dr. Renu Mahtani dari India, murid langsung Dr. Cicero Coimbra dari Brazil. Keduanya adalah pakar dalam pengobatan autoimmune dengan menggunakan dosis tinggi vitamin D. Menurut Dr. Renu Mahtani, the real global pandemi saat ini adalah (karena) low vitamin D. Ini terjadi sebelum pandemi Covid-19 datang. Tidak hanya di negara Barat semata orang jarang berjemur, tapi di sejumlah negara tropis pun di mana sinar matahari gratis, orang tidak pernah membiasakan diri berjemur untuk menjaga kadar vitamin D yang optimal. Walaupun range normal vitamin D yang dipakai oleh sebagian besar negara di dunia sekitar 30-100 ng/mL, jika kita ingin memiliki sistem imun optimal, jangan biarkan tingkat vitamin D hanya berkisar di 30 saja. Kadar vitamin D yang kurang dari 30 ng/mL ini membuat kita dengan mudah kena influenza epidemik (dan pasti Covid-19). Karena sebenarnya batas bawah kadar 20 ng/mL itu hanya dimaksud untuk mencegah penyakit Rickets yang mungkin saat ini sudah sukar ditemukan. Dr Coimbra bahkan mengatakan, jika kita menginginkan sistem imun kita optimal, kita harus memiliki kadar vitamin D 100 ng/mL. Dan untuk mencapai kadar ini, tidak akan cukup jika kita hanya mengkonsumsi vitamin D dengan dosis 1000 iu per hari. Setidaknya, kita harus mengkonsumsi vitamin D dosis 10.000 iu per hari. Penggunaan dosis 1000 iu tersebut tak ubahnya seperti UMR, sangat susah bertahan hidup. Apalagi jika kita sudah menderita Covid-19, jangan gunakan dosis 1000 iu ini, akan lebih lama sembuhnya. Berbekal ilmu dari Dr Coimbra dan Dr Renu Mahtani tersebut, dengan penuh percaya diri, ia mencegah covid dengan dosis 10.000 iu, dan bahkan ada protokol Dr Brownstein membantu pengobatan banyak pasien covid hanya dengan vitamin D oral dosis tinggi 50.000 iu. Bahkan, tidak jarang dr. Murni menginjeksikan vitamin D dosis 600.000 iu, cara yang dulu hanya digunakan untuk boosting kadar vitamin D pada pasien kanker semata. Prinsipnya jika tidak gunakan injeksi, akan sangat lama perbaikan kadar vitamin D mendekati nilai 100 ng/mL. Namun, pandemi saat ini membuat kita harus dihadapkan pada pilihan sekaligus mengejar waktu dalam dua minggu pasien harus sembuh atau meninggal. Dengan ilmu dosis tinggi vitamin D dan vitamin C, kita bisa menyembuhkan pasien Covid dalam 3 hari hingga 1 minggu saja tanpa penyulit. Lebih dari itu, pasien cukup isoman di rumah, tidak usah berebutan masuk RS yang juga sudah habis kapasitasnya, serta tak perlu ketakutan yang selalu meliputi setiap pasien maupun keluarga. Banyak dokter takut memberikan dosis tinggi karena vitamin D ini harus diaktivasi di hati dan ginjal, sehingga konon bisa memicu gagal ginjal. Ini info hoax yang dipercaya oleh sebagian dokter yang kurang memahami dan memiliki pengalaman dalam pengobatan dengan ilmu vitamin D. Ketakutan penggunaan dosis tinggi vitamin D tersebut adalah terjadinya hiperkalsemia, atau kelebihan penyerapan kalsium yang mungkin dianggap bisa menyumbat pembuluh darah. Karenanya untuk atasi hal ini, pada mereka dengan resiko thrombosis atau pengentalan darah, itu bisa disertai vitamin K2, atau nattokinase dan serrapeptase sebagai anti kekentalan darah alami. Beberapa individu yang sudah maintain gut microbiome (menjaga mikrobioma usus) dengan baik, mengonsumsi probiotik multistrain (komunitas, atau probiotik siklus) tentu saja tidak membutuhkan tambahan vitamin K2 atau pengencer darah alami ini. Jadi, benar kata Profesor Subowo bahwa vaksin masuk memang ada, tapi tidak ada gunanya untuk kita! Klarifikasi Prof. Subowo Judul yang dibuat itu bukan merupakan kesimpulan dari seluruh uraian, tetapi diambil dari penggal kalimat agar bernada negantif. Maksud kalimat yang menyatakan: vaksin masuk tidak ada gunanya, memang pada saat itu tidak ada gunanya, tetapi dikemudian hari baru ada perlidungan, maka vaksinasi bukan untuk terapi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Kader PDI-P Samosir Melawan Megawati Soekarnoputri

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - DI tengah kisruh yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, ternyata juga ada konflik di tubuh PDI-P. Hanya saja pemberitaannya tidak riuh seperti kudeta yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jend (Purn) TNI Moeldoko terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Seperti diberitakan portal Kompas tanggal10 Maret 2021, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri digugat oleh mantan kader partai banteng ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu dilayangkan oleh Rismawati Simarmata yang belum lama ini dipecat dari PDI-P. Namanya ada kemiripan dengan Tri Rismaharani, mantan Walikota Surabaya yang sekarang menjadi Menteri Sosial. Sama-sama bernama Risma, keduanya juga kader PDIP, tetapi berbeda peran dan posisi. Rismawati Simarmata ini berani menggugat Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri setelah dirinya dipecat dari Partai Banteng Moncong Putih itu. Selain Megawati, gugatan tersebut juga ditujukan kepada Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua DPD PDI-P Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat, dan Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Ertaty Siahaan. Dalam petitum gugatannya, Rismawati meminta majelis hakim membatalkan pemecatannya, baik sebagai kader PDI-P maupun sebagai anggota DPRD Kabupaten Samosir. Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Siahaan menyebutkan, pemecatan itu karena Rismawati mendukung calon kepala daerah di luar PDI-P pada Pilkada 2020. Pemecatan terhadap kader PDIP Rismawati menggambarkan aturan di organisasi partai tersebut bersifat feodal dan otoriter. Gugatan yang diajukan kader PDIP Samosir tersebut, menunjukkan bahwa penerapan aturan di internal PDI-P itu dilakukan secara sewenang-wenang. Sehingga wajar kalau kemudian Rismawati menggugat Megawati Soekarnoputri selaku pimpinan tertinggi di PDIP. Dia mengajukan gugatan ke pengadilan karena diyakini Rismawati memiliki argumentasi hukum yang kuat. Saya mengapreasiasi keberanian Rismawati yang berani melayangkan gugatan kepada Megawati, sebagai pimpinan partai penguasa saat ini. Di atas kertas, memang kecil kemungkinan bagi kader PDI-P Samosir tersebut untuk bisa memenangkan gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun, di tengah kultur feodal di tubuh PDI-P serta kuatnya kekuatan oligarki partai saat ini, keberanian Risma menggugat Megawati perlu diacungi jempol. Bagi kader partai seperti Rismawati Simarmata pemecatan dirinya dari keanggotaan partai boleh jadi merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat dirinya. Oleh karena itu, gugatan yang diajukan Risma kepada para petinggi PDIP merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap perlakuan sewenang-wenang di tubuh partai tersebut. Jangankan kasus pemecatan kader partai, ada kasus penyalahgunaan organisasi parpol yang dilakukan pimpinan tertinggi partai bisa kok digugat ke pengadilan. Ini menunjukkan bahwa parpol bukan milik perseorangan atau miliki keturunan dari tokoh tertentu. Dua tàhun lalu, salah seorang kader Partai NasDem, Kisman Latumakulita, menggugat keabsahan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Nasdem . Kisman menyebut masa jabatan Surya Paloh seharusnya berakhir pada 6 Maret 2018. "Mengguggat keabsahan Pak Surya Paloh sebagai ketum. Periodisasi jabatan ketum untuk 5 tahun," kata Kisman setelah mendaftarkan gugatan perdata selisih internal parpol ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 6 Februari 2019. Kisman berpatokan pada Surat Keputusan Kemenkum HAM tentang pengesahan kepengurusan Nasdem yang diteken MenkumHAM saat itu Amir Syamsuddin pada 6 Maret 2013. Sedangkan pada Pasal 21 Anggaran Dasar Nasdem, diatur periodisasi kepengurusan selama 5 tahun. Kasus tersebut sempat disidangkan di PN Jakpus. Namun dalam sidang tersebut majelis hakim menolak gugatan yang diajukan kader Partai Nasdem, Kisman Latumakulita. Kemudian Kisman mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA pun gugatan yang diajukan Kisman ditolak. Meski gugatan tersebut ditolak lembaga peradilan, namun kader partai seperti Kisman Latumakulita telah menggunakan hak politiknya secara tepat dan proporsional. Di alam demokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang ini, sah-sah saja seorang kader partai menggugat pimpinan partai yang dianggap menyimpang dari ketentuan hukum dan aturan organisasi. Jangankan kasus pemecatan seperti yang dialami Rismawati Simarmata dari keanggotaan PDIP, pimpinan tertinggi partai yang melampaui masa jabatannya seperti pada kasus Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, bisa dipersoalkan dan digugat secara hukum oleh kader partainya. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus diatas, dalam sistem demokrasi pimpinan parpol tidak bisa bertindak seenaknya sendiri. Mereka harus taat dan patuh pada ketentuan internal organisasi (AD/ART Parpol) serta mematuhi aturan hukum yang ada. Semua warga negara Indonesia memang memiliki hak dan kedudukan yang sama didepan hukum, namun realita hukum menunjukkan pada kita bahwa putusan hukum kerap lebih berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik uang. Apakah Rismawati Simarmata bisa memenangkan gugatannya di PN Jakarta Pusat ? Kita lihat saja nanti. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.