ALL CATEGORY
Hakim PN Jakarta Timur Buang Heurestika Hukum di Tumpukan Sampah Mana?
“Suatu perkara akan berakhir setelah dijatuhkan putusan. Namun tanggung jawab seorang hakim atas putusan itu sesungguhnya barulah dimulai. Oleh sebab itu, berhati-hatilah sebelum menjatuhkan putusan, karena hakim tidak akan bisa mencegah malapetaka yang ditimbulkan oleh putusannya, ketika apa yang diputuskan mengandung kekeliruan”. (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.) by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Adillah kepada lawan sekalipun. Begitu alam semesta berbisik indah ke setiap telinga yang terdidik. Bisikan nan indah itu, bagi yang berilmu dengan telinga terdidiknya, akan membuat mata hatinya terbimbing oleh mozaik keadilan. Tetapkanlah hukum dengan seadilan-adilnya pada perkara apapun, itulah sabda alam. Alam meminta hakim berseru dengan seruan kebijaksanaan. Jangan bawa benci masuk kedalam pengetahuanmu kala kamu menetapkan hukum atas perkara apapun. Begitu para bijak bicara kepada murid-muridnya. Hakim, siapapun dia, termasuk dan tak terbatas pada Ketua Majelis Perkara Habib Rizieq Sihab Yang Mulia Suparman Nyompa, diminta alam untuk tak boleh mendekorasi pengetahuannya dengan teks hukum semata. Hakim harus tahu tingkatan hukum dan rahasia dibalik teks hukum itu apa? Hakikat Hak Alam memuliakan para hakim. Allah Suhaanahu Wata’ala yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua mahluk, dengan Kemahatahuan-Nya tahu siapa anda, detik demi detik. Kemahatahuan-Nya tahu kadar keadilan dan ketidakadilan dalam hukum yang ditetapkan setiap hakim pada setiap perkara. Pengetahuan itu absolut. Tidakkah tuan-tuan hakim yang mulia tahu kemahatahuan Allah ajja wa zallah bekerja pada putusan Nabi Daud Alaihissalam? Hukum yang ditetapkan oleh Nabi Daud Alaihissalam dalam perselisihan antara pemilik hewan dengan pemilik kebun, yang tanamannya dimakan hewan piaraan pemilik hewan itu, dikoreksi oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dia yang Maha Tahu menghadirkan Nabi Soleman Alaihissalam, putranya Nabi Daud Alaihissalam, untuk mengoreksi putusan ayahanda tercinta. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quranul Karim. Kisah itu diabadikan, tepatnya pada surat Al-Anbiya. Hakim harus pintar, itu pinta Allah untuk mereka yang menjadi hakim. Bersidang dan memutuskan atau menetapkan hukum atas perkara yang disidangkan, harus oleh hakim yang berilmu. Harus berilmu, itu tidak lain dari hakim yang arif. Kearifan menjadi napas pengetahuannya. Kearifan yang membawanya kekeadilan. Kearifan menjauhkannya dari culas, sombong, benci, ketakutan pada bos, istri, anak dan sahabat karib. Semua tertelah, sirna seketika oleh keasrifan. Hakim berilmu disambut semesta dengan pelukan kasih. Hakim akan selalu dipeluk rindu penuh cinta oleh Pencipta alam semesta ini. Sebaliknya hakim berilmu, tetapi memutus perkara tidak dengan ilmunya, justru dibenci, direndahkan dan dihinakan sehina-hinya oleh alam semesta. Begitu juga dengan Hakim bodoh. Yang dengan kebodohannya menetapkan hukum pada perkara disidangkannya, disambut semesta dengan cibiran merendahkan. Semesta membawa dan melemparkannya kekubangan sampah yang busuk. Orang busuk memang adanya di tempat busuk. Orang baik adanya ditaman nan indah dengan harum kembang semerbak. Hanya hakim berilmu tahu apa itu hak dan hakikatnya. Hakim berilmu tahu bagaimana hak berawal dan berakhir. Tahu semua yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Semua yang terlihat, pasti sirna, dimakan akhir yang pasti. Hak bukan padanan kewajiban. Hak kebalikan dari kewajiban. Tetapi keduanya saling berkait. Bukan karena ditetapkan hukum bentukan politisi konyol, tetapi karena begitulah fitrahnya. Tidak ada artinya hak, tanpa ada kewajiban di seberangnya. Tidak ada artinya kewajiban, bila tak ada hak di seberangnya. Dalam hakikat, keduanya sama. Sama-sama didedikasikan kepada pemegang hak itu. Tetapi tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama.Tidak ada hak dan kewajiban yang mengalir dari semesta. Itulah hakikat hak. Itulah hakikat dari pernyataan semesta bahwa di dalam hakmu, terdapat hak mahluk lainnya. Dari situ lahirlah aksioma “gunakanlah hak” sejauh tepat menurut kaidah kehidupan bersama. Pada level praktis, hak memberi kepada pemegang kekuasaan melakukan atau tiak melakukan sesuatu yang terkait dengan hak itu. Hak menjadi dasar sahnya tidakan. Semesta menghormatinya dengan cara menyerahkan sipemegang hak itu untuk digunakan atau tidak digunakan haknya itu. Semesta tahu batas hak dan awal dimulai kewajiban. Tak mencampurkan keduanya. Itu karena semesta tidak punya bakat berupa sombong, bodoh, menindas, dan menyesatkan. Hanya penguasa otoriter yang menjadikan bodoh dan angkuh sebagai nafasnya. Penguasa otoriter mengandalkan penindasan, pembodohan dan penyesatan membuat orang tunduk dan membuat dirinya terlihat hebat. Itulah cara Fir’aun, dengan semua penguasa bajingan sesudahnya. Semesta tak menghadiahi hakim dengan sikap “bijaksana” sejauh hakimnya tidak memberatkan nafas mencahayai dirinya dengan ilmu menit ke menit, disepanjang nafasnya berdetak. Semesta menggariskan pada dirinya, keadilan bekerja melalui ilmu sang pengadil. Ilmu yang membawa dan mendekatkan kebijaksanaan kepada Nabi Daud Alaihissalam. Ilmu menghidupkan kebijaksanaan Nabi Daud, sehingga tak sudi bertengkar dengan Nabi Soleman, anaknya yang masih kecil, yang mengoreksi putusannya. Pembaca FNN yang budiman. Ilmu yang mencayahayai Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu membuat setiap kebijaksanaan, sehingga mulutnya terkunci, tatkala seorang wanita biasa-biasa saja menyanggah pernyataannya tentang mahalnya mahar kawin. Ilmu membawa Sayidina Umar untuk adil pada Yahudi sekalipun, yang tanahnya diambil Gubernur Mesir Amru Bin Ash untuk dibangun masjid. Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu tahu hak si Yahudi atas tanahnya. Tahu hak ya hak. Bukan tak bisa dilepaskan, tetapi cara melepaskan hak itu harus sama kadarnya. Harus dengan cara yang hak pula. Itu pula yang dilakukan Sayidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Amirulmukminin gagal menemukan cara yang hak untuk mengambil haknya (baju perang). Padahal cara yang hak itulah yang dinyatakan oleh Yang Mulia Hakim Syuraih. Sekalipun yang dihadapi adalah Sayidina Ali, Amirulmukminin, Syuraih mengalahkan Sayidina Ali Radiallaahu Anhu. Jernihkan Dengan Keadilan Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH.MH, Ketua Mahkamah, apa pendapat Yang Mulia terhadap hilangnya hak terdakwa untuk hadir di persidangan? Tidak hadir di ruangan sidang pengadilan sebagai akibat dari lahirnya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik? Apa kabar dengan gagasan besar dan sangat mengagumkan dari Yang Mulia tentang “Heurestika Hukum”? Dibaca dan difahami tidak para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu? Tulisan itu bagus dan bermutu tinggi dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern, Pendekatan Heurestika Hukum”? Tulisan “Heurestika Hukum” yang sangat bermutu tinggi itu mau ditaruh atau dibuang di tumpukan sampah yang mana oleh para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Meski awalnya terkesan dilecehkan, semoga saja tulisan berkelas dan mengagungkan tentang “Heurestika Hukum” itu tetap menjadi panduan ilmu hukum untuk para hakim. Karena gagasan tentang “Heurestika Hukum” itu muncul dari pengalaman dan pendalaman Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. selama 32 tahun menjadi hakim. Bagaimana jadinya kalau permintaan jaksa ditolak oleh terdakwa? Bagimana kalau permintaan terdakwa untuk disidangkan secara elektronik ditolak oleh JPU? Hakim, karena jabatannya, harus memutuskan sendiri permintaan Jaksa? Kepada Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, hukum apa yang harus dijadikan dasar oleh hakim dalam memutuskan perselisihan itu? Perma Nomor 4 Tahun 2020 atau UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman? Kebodohan merupakan hal yang ditakuti, lebih dari pada perang oleh Sayidina Ali Abi Thalib, sang Amirulmukminin ini. Itu karena kebodohan selalu ditemani keangkuhan, suka ngeyel, mengada-ada, cari-cari alasan kepanpun sibodoh itu pergi dan berada. Benar-benar bahaya orang ini. Yang Mulia Profesor. Dr. Muhammad Syarifuddin, SH. MH , Ketua Mahkamah Agung, tolong alirkan mozaik “Heuristika Hukum” yang bermutu tinggi kepada para hakim-hakimmu. Ketuklah mata hati anak buahmu dengan cara sesekali mengelus-elus mereka untuk memasuki dunia hebat “Heuristika Hukum”. Hidupkanlah mata hati hakim-hakimmu dengan konsepmu yang sangat hebat, top dan mengagungkan tersebut. Dunia peradilan dan keadilan tidak pernah bisa, dengan alasan apapun, menjadi dunia mekanistik. Menjadi dunia teks dan teks semata. Tidak ada teks yang tak memiliki jiwa, dan tidak diabdikan pada impian memperbesar keindahan semesta. Keindahan yang tertangkap dalam impian besar “Heuristika Hukum”, yang menggema mengantar Yang Mulia ke dunia keprofesoran. Dunia keprofesoran tidak pernah jauh dari dunia nilai-nilai filsafati, untuk tak menyebut epistemologis. Ini dunia yang indah, mengasyikan, sekaligus melelahkan. Kehancuran fatal yang melanda sidang kedua Habib Rizieq Shihab (HRS). Sungguh tak enak untuk ditulis, apalagi dikenang. Karena sangat memalukan dan menjijikan peradilan kita. Tak ada lagi cat alam yang tersedia untuk menghapusnya dari setiap memori. Koreksi Ketua majelis Hakim, dengan penetapannya memerintahkan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan terdakwa HRS di sidang pengadilan, itu bagus. Sebagus itu sekalipun, kehancuran fatal yang terjadi sebelumnya, telah meninggalkan pilu di sana-sini. Keadilan terluka sudah, dan itu fatal. Dari kejauhan seolah tak ada lagi cara menghilangkannya dari benak ummat Muhammad, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, dia yang Rahmat dan Rahim Allah Subhanahu berawal dan berakhir. Samar-samar terlihat peristiwa pilu itu, memahat benak anak manusia yang penuh hafalan huruf demi huruf Al Quran dan hadist, sebagai ketidakdilan sudah terpahat untuk Habib Rizieq Shihab. Itu soalnya. Semoga saja salah, dan tidak benar. Sekali lagi semoga begitu. Tetapi memang semesta terlalu kaya dengan kerifan. Semesta pasti menyukai orang yang merenung, mengenal diri, menimbang nafas sekadar menggapai tobat seasli-asli-aslinya. Tapakilah jalan “Heuristika Hukum” dari Yang Mulia Profesor Dr. Muhammad Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung. Tenang dan fokuslah, agar anda terperangkap dalam substansinya. Biarkan substansi membimbing, menuntun dan membawamu pada cinta keadilan, yang Allah Maha Tahu merestuinya. Pembaca FNN yang budiman. “Heurestikan Hukum” dari Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. telah membangkitkan kembali ingatan kita pada hakim-hakim top kelas dunia seperti John Marshal, Ketua Mahkamah Agung Amerika, William P. Chase, Louise Brandies, Oliver W. Holmes, Earl Warren, O. Connors, dan Antonio Scalia. Yang Mulia Prof. Dr. Muahmmad Syarifuddin dan para hakim top kelas dunia itu tak bisa menyediakan obat untuk hati terdakwa yang terlanjur terluka. Tidak, dengan teori keadilan dan hukum apapun. Tidak ada hakim di dunia ini yang memilik obat untuk luka hati terdakwa, yang tergilas oleh ketidakadilan proses sidang. Entah kemanapun kau mengadu, aduanmu tetap saja menggantung sejauh luka hati terdakwa menganga menanti perhitunghan akhir yang otentik oleh Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Adil, kelak disuatu hari nanti. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Kudeta Demokrat, Harga Diri Keluarga SBY Dipertaruhkan
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banyak kader Partai Demokrat yang kecewa. Terutama mereka yang tak lagi diakomodir di struktur kepengurusan partai dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY bin Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah nama tokoh ada di dalam kelompok yang kecewa itu. Selain Marzuki Ali, ada Jhoni Allen Marbun dan Max Sopacua. Mereka berontak. Ingin melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam rangka mendongkel dominasi keluarga SBY, bahkan mengambil alih Demokrat. Merasa tak mampu untuk menjatuhkan dominasi SBY, mereka lalu gandeng Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Berharap, dengan langkah ini akan dapat dukungan istana. Berharap dengan mendapat dukungan istana itu, KLB akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Ibarat "tumbu ketemu tutup". Moeldoko menyambutnya dengan sangat antusias. KLB pun diselenggarakan. Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal bukan kader, tetapi Moeldoko orang istana. Apapun penilaian rakyat, KLB sudah terjadi di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara pada (6/3/2021). Saatnya sekarang bertarung di Kemenkumham untuk mendapatkan legalitas. Apakah Kemenkumham akan melegalkan Demokrat versi KLB Moeldoko? Kalau langsung dilegalkan, tentu saja akan muncul stigma negatif, kasar, dan dianggap super tega. Rakyat "sebagai pemilik suara dalam pemilu" tak akan simpati model permainan kasar yang seperti ini. Tetapi, kalau tidak dilegalkan, maka Mooldoko akan dikorbankan. Moeldoko akan jadi tumbal. Tumbal siapa? Setidaknya tumbal dari mereka yang memberi ijin, juga yang punya kepentingan dan ikut mendesign kudeta Partai Demokrat. Seandainya pun Moeldoko "dimenangkan", kemungkinan akan ada proses yang sedikit memakan waktu. Diayun dulu, agar lebih menarik. Supaya tidak terlihat vulgar. Perlu ulur waktu untuk meredakan "keriuahan publik yang suah terlanjur tak simpati". Boleh jadi kalah dulu di Kemenkumham. Lalu ke pengadilan, dan menang. Ini akan terkesan lebih manis. Seolah Moeldoko berjuang sendiri, tak ada intervensi siapapun dari kekuasaan. Tak ada yang tak mungkin. Politik itu bagaimana menggerkan irama permainan. Termasuk permainan isu, dan cara bagaimana mempengaruhi persepsi publik. Siapa yang memenangkan opini publik, dia yang akan jadi juaranya. KLB Partai Demokrat berupaya untuk mendapat dukungan publik. Lalu, bagaimana dengan nasib SBY? Bagaimana pula nasib karir politik putra-putranya? Apakah SBY akan membuat partai baru? Partai Demokrat Perjuangan, misalnya. Atau justru SBY akan membuat perhitungan-perhitungan lain? Yang pasti, tidak hanya nasib, tetapi harga diri SBY dan keluarga sedang dipertaruhkan. Selama sepuluh tahun menjadi presiden, lalu "dipermalukan" dengan kudeta partai yang dirintis dan dibesarkannya. Yang pasti, ini tak mudah bagi SBY dan masa depan politik bagi kedu putranya. Yang SBY perlu ingat, politik tak selebar konstitusi dan AD/ART Partai Demokrat. Politik memiliki dinamikanya sendiri. Seringkali tak bisa dikendalikan oleh pasal-pasal di dalam konstitusi partai. Apalagi cuma AD/ART partai. Sekarang lagi musimnya melanggar konstitusi. "Konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat", kata Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Apakah Kudeta di Partai Demokrat bagian dari tafsir konstitusional Mahfud itu? Kita akan lihat nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jaksa Ketakutan Menghadapi Habib Rizieq Dalam Sidang Offline
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Alhamdulillah, dalam sidang hari Selasa (23/3/2021), majelis hakim PN Jakarta Timur akhirnya mulai berpikir waras dan mau menerima usulan serta argumentasi hukum yang disampaikan Habib Rizieq Sihab (HRS) selaku terdakwa agar persidangan kasus kerumunan yang dituduhkan kepadanya bisa dilaksanakan secara offline. Sebelum memutuskan, Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa sempat menskors sidang cukup lama. Argumentasi yang disampaikan Habib Rizieq dan tim pengacaranya memang lebih kuat dan masuk akal sehingga mampu meyakinkan majelis hakim. Padahal dalam sidang sebelumnya, majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum bersikukuh untuk melaksanakan sidang secara online. Sebelum sidang diskors, Jaksa Penuntut Umum Diah Yuliastuti sempat dibentak oleh Munarman sebagai Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq. Jaksa Diah berusaha memotong pembicaraan Munarman yang tengah menyampaikan pertimbangan hukum kepada majelis hakim. Ketika jaksa berusaha memotong, Munarman dalam nada tinggi menyatakan, "Saudara Jaksa, Saudara diam, Saudara diam ya ! Ini giliran saya, ini giliran saya !.Coba tertib ya dalam persidangan ini". Tidak lama kemudian majelis hakim segera menengahinya. Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Diah Yuliastuti juga beberapa kali memotong pembicaraan Habib Rizieq ketika menyampaikan argumentasi hukum tentang perlunya terdakwa hadir secara fisik dalam persidangan di pengadilan. Namun ketika itu Habib tidak terpancing dengan provokasi yang dilancarkan jaksa. Setelah mengamati beberapa kali sidang, strategi jaksa sudah mulai terbaca. Ketika argumentasi dan posisinya mulai terdesak dan terpojok, Jaksa kemudian menyerang lawan dengan memotong pembicaraan terdakwa maupun pengacara. Provokasi Jaksa Diah Yuliastuti terhadap Habib Rizieq dalam sidang sebelumnya, telah menimbulkan kemarahan publik. Kemudian masyarakat melampiaskan kekesalannya kepada jaksa melalui media sosial. Bahkan para netizen menyerang jaksa melalui dunia maya dengan menyerbu dan membully Jaksa Diah Yuliastuti melalui akun Instagramnya. Tidak kuat menghadapi bullyian netizen, IG Diah Yuliastuti akhirnya digembok sehingga tidak bisa lagi diliat publik. Tapi foto-foto pribadi dan aktivitas senang-senangnya yang terpampang di IG sudah terlanjur menyebar ke sejumlah grup WA. Kemenangan sementara Perubahan penetapan majelis hakim tentang pelaksanaan sidang dari online menjadi offline, boleh dikatakan sebagai "kemenangan sementara" kubu Habib Rizieq. Sebab argumentasi Habib dinilai tepat dan benar secara hukum. Oleh karena itu, pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan Jumat (26/3/2021), majelis hakim PN Jaktim akan melaksanakan sidang secara offline. Agenda sidang lanjutan pada hari Jumat nanti adalah pembacaan nota pembelaan atau eksepsi dari Habib Rizieq sebagai terdakwa. Berbarengan dengan itu, Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa juga menyatakan kelima terdakwa lainnya yang terkait dengan kasus kerumunan yakni A. Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Andi Alwi Al-Athas, Idrus Al-Habsyi, dan Maman Suryadi juga dihadirkan secara langsung di sidang offline. Suparman Nyompa mengakui, sidang online mengalami banyak hambatan. Seperti kita ketahui bersama, pada pelaksanaan sidang pertama terhambat gangguan audio. Oleh karena itu kalau sidang online ini tetap dilanjutkan berpotensi terjadi lagi gangguan teknis seperti itu. Selain itu, dasar hukum pelaksanaan sidang online yang hanya pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 dinilai sangat lemah. Kekuatan hukumnya kalah dengan aturan hukum diatasnya yakni KUHAP yang menjamin hak-hak terdakwa untuk hadir secara fisik dalam persidangan. Atas dasar pertimbangan itu pula, majelis hakim kemudian menetapkan sidang selanjutnya dilakukan secara offline. Selama ini Habib Rizieq dikenal sebagai Singa Podium bahkan para netizen menjulukinya sebagai Singa Petamburan. Pengaruh Singa Podium ini mulai terlihat dari adanya perubahan sikap majelis hakim PN Jaktim dalam pelaksanaan sidang ini. Kini giliran Jaksa Penuntut Umum yang mulai ketakutan menghadapi aksi Habib Rizieq yang akan tampil menyampaikan pembelaan atau eksepsi dalam sidang offline pada hari Jumat nanti. Masyarakat terutama Umat Islam sudah rindu dengan penampilan dan orasi Habib Rizieq Shihab di depan publik. Semoga kerinduan tersebut terobati dengan penampilannya nanti dalam sidang lanjutan Hari Jumat. Untuk mengikuti sidang ini, masyarakat bisa menyaksikan secara online melalui akun YouTube Forum News Network (FNN TV). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Cicilan Informasi Pembunuhan di KM 50 Tol Japek
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Rilis berita dari Badan Reserse kriminal (Bareskrim) Polri soal peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI disamping sedikit-sedikit, juga minim informasi. Peristiwa besar yang dikecil-kecilkan. Kemarin rilis baru menyebut ditemukan dua alat bukti. Sebelumnya menyebut tiga anggota Polri dari Polda Metro Jaya yang menjadi calon tersangka. Mereka tiga anggota Polda tero Jaya tersebut diumumkan sebagai terlapor. Hingga kini nama-nama ketiganya masih saja disembunyikan. Ironi dalam sebuah tragedi kemanusiaan. Seperti sedang mencari cara dan strategi untuk mengumumkan nama-nama. Khawatir kalau diumumkan nanti bisa merembet komandan yang lebih tinggi. Kemungkinan bisa jendral polisi bintang satu, dua atau lebih. Sedikit-demi sedikit disebut tentang aturan yang bakal disangkakan, yaitu Pasal 338 KUHP Jo Pasal 351 pembunuhan dan penganiayaan. Ketika ditanya oleh wartawan tentang inisial ketiga calon tersangka tersebut, Brigjen Polisi Rusdi Hartono setelah terdiam agak lama, akhirnya menjawab "nanti kita akan cek lagi". Memang nampaknya penyidikan ini agak istimewa. Mengubah skenario dari tersangka enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) yang disiksa dan dibunuh menjadi tiga anggota Polri dari Polda Mtero Jaya tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sejak awal sebenarnya dugaan bahwa ada anggota Polri yang bersalah sudah semestinya diperhitungkan. Namun kini masalahnya menjadi babaliut. Bingung dan bingung untuk mengumumkan. Yang kini menjadi pertanyaan krusial adalah, apakah pembunuhan di lapangan tersebut berdiri sendiri? Ataukah atas dasar koordinasi lebih dulu dan instruksi dari atasan pelaku? Inilah persoalan paling ruwet. Harus dicari dalil pembenaran, sebab bisa saja berantakan di pengadilan nanti. Kesulitan pengumuman nama ketiga calon tersangka bermodal "dua alat bukti" itu mungkin disebabkan pertimbangan. Pertama, apakah tiga calon tersangka tersebut adalah benar-benar pelaku penembakan di mobil yang membawa keempat anggota laskar yang masih hidup? Atau mereka bertiga hanya sebagai figur yang minim pengetahuan tentang duduk persoalan yang sebenarnya? Apa yang terjadi jika pelaku sebenarnya adalah "Harun Masiku" yang hilang itu? Kedua, bagaimana membuat konstruksi hukum untuk perbuatan yang melibatkan lebih dari tiga anggota Polda Mtero Jaya itu sebagai pelaku di lapangan? Dugaan bahwa hal ini bukan semata insiden, tetapi "by design" perlu dijawab oleh keterangan yang digali atau dicecar penggaliannya terhadap tiga tersangka di depan pengadilan nanti. Pembunuhan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) menjadi menarik. Ketiga, rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan siapa penumpang mobil Land Cruiser yang diduga menjadi "komandan" operasi lapangan harus terjawab dalam proses hukum terhadap tiga calon tersangka anggota Polri dari Polda Metro Jaya itu. Mata rantai peristiwa yang tidak boleh terputus. Keempat, unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI tidak bisa dipisahkan dari pembuktian penembakan kepada dua anggota laskar FPI lainnya. Ada dua mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang berisi sejumlah aparat menjadi eksekutor. Dari kesatuan mana dan siapa mereka? Mabes Polri tidak bisa mengabaikan hal ini. Fakta yang terbunuh adalah enam anggota laskar FPI, bukan empat. Kelima, pembunuhan ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP yang tentu saja menimbulkan pertanyaan publik, dimana dan bagaimana anggota laskar ini disiksa? Mungkinkah dilakukan di mobil selama perjalanan? Dengan melihat luka-luka yang dialami korban, wajar jika publik menduga kuat ada lokasi tertentu yang menjadi tempat penyiksaan. Soal dugaan lokasi penyiksaan ini menjadi bagian penting dari pengungkapan peristiwa yang semestinya sudah terkuak pada tahap penyidikan. Jika tidak terbuka di penyidikan, maka kemungkinan akan terbuka nanti di persidangan. Sementara persidangan bakal diikuti dan dipantau oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Termasuk tentu saja dari Komnas HAM. Mengingat dampak ikutan yang meluas, maka hal yang mudah dalam pandangan publik menjadi sulit pada proses hukum. Kasus penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang melibatkan dua anggota polisi menjadi cermin dan pelajaran yang berharga. Hal ini sekaligus menjadi ujian bagi profesionalitas kepolisian dan keadilan Majelis Hakim di ruang Pengadilan. Peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI terkait dengan "perburuan" Habib Rizieq Shihab (HRS). Sebagai pembunuhan politik, diduga proses hukum akan berjalan berbelit-belit sebagaimana rumit dan berbelitnya kasus-kasus politik lain. Meskipun demikian, kita yakin bahwa ada hakim yang punya hati nurani dan keadilan hakiki yang akan ditunjukkan oleh Ilahi Robbi. Ketika proses berjalan lambat dan miskin akan informasi, ketahuilah bahwa rakyat itu sebenarnya lebih cerdas dan berpengetahuan. Proses yang berjalan hanya tahapan pencocokan-pencocokan saja. Jika cocok, maka dinilai nurani kejujuran itu masih ada dan jika tidak, maka dipastikan akan ada hukuman berat yang menunggu di depan. Wallahu a'lam. Panulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Unjuk Rasa Thailand Dan Myanmar
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah tiga bulan aksi unjuk rasa di Thailand berlangsung tanpa ada tanda-tanda mereda. Aspirasi yang dituntut adalah reformasi monarkhi dan desakan mundur Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha. Meskipun korban berjatuhan dan banyak aktivis yang ditangkap, tetapi pengunjuk rasa tetap gigih memperjuangkan tuntutannya. Unjuk rasa dipicu oleh pembubaran terhadap partai oposisi Partai Maju Masa Depan Thailand. Sementara itu, demonstrasi besar-besaran terjadi juga di Myanmar. Rakyat pro demokrasi memprotes kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan penahanan pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi beserta petinggi pemerintahan lainnya. Partai Liga Nasional pimpinan Aung Suu Kyi baru saja memenangkan Pemilu bulan Februari lalu. Tercatat sudah 149 pengunjuk rasa tewas. Terdapat tiga catatan penting terkait dengan aksi unjuk rasa di Thailand dan Myanmar tersebut. Pertama, protes rakyat ditujukan kepada penguasa yang potensial berprilaku otoriter. Misalnya, di Thailand ditandai dengan sikap sewenang-wenang membubarkan partai oposisi. Monarkhi semakin tidak disukai, Prayuth Cha O Cha berlindung dan memperalat Raja. Sementara di Myanmar, dipastikan pemerintahan junta militer Aung Hlaing bertindak otoriter untuk mengamankan kudeta. Menghadapi pengunjuk rasa dengan tindakan yang represif. Kedua, kedaulatan rakyat sebagai substansi atau prinsip utama demokrasi yang terus menerus mengalami penggerusan, senantiasa menemukan momentum penggalangan dan perlawanan. Gerakan pro demokrasi selalu menarik dukungan dunia. Sikap otoritarian domestik akan goyah oleh kekuatan mondial yang pro demokrasi. Kejatuhan hanya masalah waktu saja. Ketiga, pengunjuk rasa di Bangkok maupun Yangoon dan kota lain tidak peduli dengan pandemi Covid 19, yang biasa dipakai penguasa untuk menghalangi kerumunan massa. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan menjadi prioritas dengan menembus risiko pandemi. Faktanya, ternyata kelompok aksi itu tidak terdengar menjadi klaster penyebaran Covid 19 juga. Apa yang dilakukan rakyat di Thailand dan Myanmar mengingatkan para penguasa oligarkhis dan otoriter dimanapun untuk menyadari bahwa rakyat tidak selamanya bisa diiming-imingi. Rakyat tidak mempan untuk ditakut-takuti. Rakyat tidak takut ditekan dengan alat kekuasaan apapun. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan dengan membangun keberanian untuk mengambil risiko. Penguasa otoriter yang sering memperalat pandemi Covid 19 untuk menipu atau menindas rakyat, akan mengalami serangan balik dari rakyatnya sendiri. Tidak peduli dengan pandemi, jika aksi turun ke jalan menjadi pilihan. Mungkin rakyat memahami bahwa ada saat virus Corona pun jengkel dengan perilaku para penguasa yang korup dan zalim itu. Lalu virus corona itupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa akan ikut bersama-sama dengan rakyat berunjuk rasa menumbangkan kebodohan dan keangkuhan kekuasaan. Sehingga unjuk rasa di Thailand dan Myanmar memberi pelajaran. Meskipun lucunya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kita di Yangon, ibu kota Myanmar turut didemo oleh para pengunjuk rasa. Rakyat Myanmar mendemo KBRI di Yangon gara-gara sikap Indonesia yang seolah-olah berpihak kepada kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Pemerintah Pressiden Jokowi perlu belajar banyak dari kejadian Thailand dan Myanmar tersebut. Jika tidak berubah, sehingga masih tetap represip kepada para aktivis pro demokrasi, maka tunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengan kekuatan rakyat. Memborgol demokrasi dengan menahan dan mengadili aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Pront Pembela Inslam (FPI), membunuh enam laskar, serta memaksakan dengan segala cara untuk membungkam dan menghukum HRS, merupakan wujud dari perilaku mepertontonkan "abuse of power" yang nyata kepada rakyat. Prilaku pemerintah yang “abuse of power” dinilai rakyat sangat menjengkelkan. Remember Thailand and Myanmar ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perlu Dialog Jakarta-Papua Seperti Tawaran Jokowi Untuk Myanmar
by Marthen Goo Jayapura FNN - “…Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?...” jika merujuk pada kata-kata Yesus Kristus yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai Tuhan, dan jika bisa direfleksikan kembali dengan pernyataan Kristus tersebut, barang kali ini yang dimaksudkan. Adakah praktek hal yang sama? Dimana masalah Papua di dalam negara sendiri diabaikan. Bahkan aspek kemanusiaan tidak diperhatikan, dan dilakukan pendekatan yang sama berulang-ulang. Sementara di Myanmar, aspek kemanusiaan dianggap jauh lebih prioritas dan penting. Aneh bin ajaib. Tentu sebagai manusia yang beradab, patut kita kutuk semua kejahatan dan kekerasan yang melukai, merendahkan dan menghancurkan martabat manusia dimana saja manusia berada. Bahkan semangat deklarasi universal hak asasi manusia di dunia adalah semangat yang mengedepankan kemanusiaan sebagai hak hidup yang wajib dihormati oleh siapapun. Deklarasi universal hak asasi manusia yang lahir pada 10 Desember 1948 adalah deklarasi yang menghormati hak asasi manusia di dunia tanpa perbedaan kelas, rumpun, ataupun agama. Dalam semangat itu kemudian di Indonesia, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia (HAM) dirumuskan secara utuh dalam konstitusi negara secara tertulis. Bahkan dipertegas dengan ketat setelah dilakukan amandemen yang ke-4 UUD 1945. Setelah itu, dirumuskan juga dalam Undang-Undang baik Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Walau demikian, apakah kejahatan terhadap HAM di Papua berhenti? Tentu saja tidak. Masih tetap saja terus kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua. Bahkan kejahatan rasisme pun tetap dilakukan. Menurut Raga Kogoya, Tim Relawan Kemanusiaan Nduga,“…kalau kami bicara tentang Nduga, orang banyak yang meninggal, dan suku Nduga itu akan hilang akibat operasi militer. Anak-anak jadi korban tidak sekolah, ibu-ibu banyak meninggal saat melahirkan. Masyarakat 11 distrik sudah kosong. Terjadi pengungsian besar-besaran sampai ke Jayapura dan Wamena,Timika, Ilaga, ada juga yang sampai ke Asmat dan Merauke”. Masih kata Raga Kogoya,,, “semua itu akibat asap bom yang diturunkan. Banyak masyarakat Nduga yang meninggal. Banyak yang ditembak. Kami kemudian tidak mendata lagi karena kami diancam, terus kami dikejar. Pengungsi tidak bahwa KTP dan KK. Jadi saat mengungsi di Wamena kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan”. “,,,kami membangun sekolah untuk pengungsi dalam pengunsian, tetapi kami ditekan. Kami beribadah juga. Mobil tentara masuk ke-arah tempat ibadah dan keliling. Anak-anak ditekan. Anak-anak kemudian terlantar sampai tidak sekolah sejak 2017 hingga sekarang, sudah 4 tahun lamanya”. Keterangan Raga Kogoya sebagai tim relawan memberikan gambaran tentang situasi Nduga saat ini. Sudah berjalan mencapai 4 tahun, dimana rakyat menjadi ancaman serius. Kasus yang sama juga sedang terjadi di Intan Jaya. Bahkan ada pengungsian juga di Timika. Negara yang mestinya hadir untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat pengungsi. Sayangnya itu belum terlihat. Kenyataan yang berbeda dengan kasus Wamena, dimana ketika warga non-Papua hendak mengungsi, kekuatan negara langsung hadir dan memfasilitasi pengungsian. Bahkan untuk diberangkatkan keluar Papua pun difasilitasi negara. Perbedaan perlakuan yang dipertontonkan negara kepada publik. Tentu saja semangat kita adalah melawan kejahatan kemanusiaan dan praktek-praktek rasisme yang merendahkan martabat kamanusiaan. Agar kedamaian bisa terwujud diantara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sama tanpa perbedaan dan tampa kelas. Semangatnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semoga semangat itu bisa diwujudkan Presiden. Myanmar harus dibantu demi kemanusiaan, begitu juga dengan Papua. Presiden Dorong Dialog Myanmar Presiden menyampaikan keprihatinan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar dengan berkata, “…atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan dukacita dan simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar”. Indonesia kata Presiden Jokowi, “mendesak agar penggunaan kekersan di Myanmar segera dihentikan. Sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Indonesia juga mendesak agar dialog, agar rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, untuk memulihkan perdamaian dan untuk memulihkan stabilitas…” Atas pernyataan Presiden terhadap Myanmar tersebut, patut diberiapresiasi sebagai penghormatan kepada kamanusiaan sebagai cita-cita bangsa, dan tujuan nasional yakni “mewujudkan perdamaian dunia”. Bahkan sebagai perwujudan sila kedua walau lintas negara. Untuk Myanmar, Presiden tidak hanya menyampaikan keprihatin atas nama pribadi dan kepala negara. Presiden juga mendesak dilakukannya dialog dan rekonsiliasi sebagai jalan untuk mencapai solusi damai. Terus, bagimana dengan Papua Pak Presiden? Bukankah untuk hal yang sama, seharusnya sudah dilakukan terhadap Papua Pak Presiden? Jika ucapan dukacita bisa disampaikan kepada Myanmar, mestinya yang sama juga disampaikan kepada rakyat Papua yang selalu mendapat kekerasan berkali-kali sampai saat ini. Jika kekerasan di Myanmar dihentikan, mestinya kekerasan di Papua juga dihentikan, dengan melakukan pendekatan kemanusiaan. Hentikan pengiriman pasukan berlebihan ke Papua. Seharusnya diganti dengan pengiriman dokter dan tim medis, apalagi dalam situasi Covid. Perlu pengiriman guru untuk anak-anak yang dipengungsian. Kembali lagi soal dialog dan rekonsiliasi, bukankah bijaksana jika Papua sudah dilakukan dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai? Itu sebagai contoh pernyataan Presiden ke publik Indonesia dan dunia tersebut? Bagimana jika orang menyoroti pernyataan Presiden, bahwa Presiden Indonesia menunjukan prihatin kemanusiaan kepada Myanmar, tetapi di dalam negaranya sendiri, soal Papua bermasalah. Sejak Papua dimasukan ke Indonesia sampai saat ini terus terjadi kejahatan kemanusiaan. Negara terus melakukan pendekatan keamanan dengan berbagai operasi keamanan yang melahirkan pelanggaran HAM ? Semoga tulisan ini dibaca Pak Presiden. Jangan sampai tibah pada kesimpulan dalam bahasa pasaran yang selalu disampaikan anak milenial bahwa “Papua latihan lain, main lain”. Artinya, bicara lain, perbuatan lain. Pak Presiden jika merasa penting, lakukan dialog dan rekonsiliasi. Cobalah Pak Presiden lakukan terhadap Papua, agar pernyataan Presiden bisa dihargai. Perlu lakukan pendekatan di Papua untuk menyelesaikan masalah-masala di Papua secara menyeluruh. Hindari “latihan lain, main lain”. Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Mendengar pernyataan Presiden terhadap kasus Myanmar, tentu ada publik yang merasa bangga. Ada juga publik yang merasa heran, apalagi orang Papua, karena Presiden menunjukan kepedulian terhadap kemanusiaan rakyat Myanmar. Tetapi mengabaikan kemanusiaan rakyat Papua. Alm. Pastor Dr. Neles Tebai Pr. yang adalah koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden dan menyampaikan konsep dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai Papua. Namun sampai saat ini, dialog Jakarta-Papua belum juga dilakukan. Dalam semangat menghormati hak asasi manusia, Komisi Tinggi HAM PBB hendak ke Papua. Namun sampai saat ini, mereka masih kesulitan untuk masuk ke Papua. Mestinya Presiden bisa menjamin kelancaran mereka mengunjungi Papua dan berjumpa dengan korban dan keluarga korban. Setidaknya pernyataan Presiden untuk Myanmar itu dibuktikan juga terhadap kehadiran Komisi Tinggi HAM PBB. Sekali lagi, ini dalam konteks kemanusiaan, karena itu juga yang disampaikan Presiden. Menurut Theo Esegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua “…Saya harap bapak Presiden dan jajarannya coba buka diri dan ruang, agar dari Komisi Tinggi HAM di PBB dapat melakukan kunjungan ke Papua. Sehingga dapat membuktikan desakan 83 negara terkait isu pelanggaran HAM di Papua. Apa artinya kepala negara tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua? Namun menunjukan sikap terkait konflik kekerasan di Nyianmar? …” Sebanyak 83 negara telah memberikan pandangan saat merespon kasus pelanggaran HAM di Papua. Negara-negara itu menyimpulkan masalah pelangaran HAM di Papua adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Untuk itu mendesak Komisi tinggi Ham PBB untuk melakukan kunjungan ke Papua Barat. Terhadap hal ini, atas nama kemanusiaan, Presiden harus membuka akses, mempraktekan dialog dan rekonsiliasi tersebut untuk Papua. Kita harus sepakat bahwa cara-cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Setiap kekerasan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihapuskan. Cara menghapusnya adalah dengan memperbanyak dialog dan rekonsiliasi sebagai perwujudan pernghormatan terhadap kemanusiaan. Tentu yang namanya damai itu indah dan damai itu impian setiap insan manusia, apalagi rakyat. Atas dasar dan semangat penghormatan terhadap kemanusiaan sila kedua Pacasila itu, dan didorong oleh keinginan yang luhur untuk mewujudkan tujuan nasional, prinsip konstitusional dan kemanusiaan, Presiden Jokowi diharapkan untuk segera menggelar Dialog Jakarta-Papua. Presiden harus menunjuk Wakil Presiden sebagai penganggungjawab Politik, dan menunjuk Special Envoy untuk mempersiapkan dialog. Kecuali kalau mau berhenti pada “latihan lain, main lain”. Pak Presiden yang terhormat, mari selesaikan masalah Papua dengan cara yang bermartabat, terhormat dengan digelarnya Dialog Jakarta-Papua. Buktikan kalau bisa bicara untuk Myanmar, bisa juga dilakukan untuk Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Dari Papua.
Habib Rizieq Dihina di Pengadilan, Netizen Melawan di Dunia Maya
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Sidang kedua yang mengadili Imam Besar Habib Rizieq Shihab hari Jumat (19/3), berlangsung dengan brutal. Pada proses sidang tersebut, Habib Rizieq dipaksa bahkan sampai didorong agar mau mengikuti sidang secara online. "Saya dipaksa, didorong, dihinakan," kata Habib Rizieq dalam nada suara lantang dari Rutan Mabes Polri. Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim, M. Suparman Nyompa dengan anggota M. Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin. Bukan hanya itu, pada sidang kedua itu, pengacara Habib Rizieq dilarang masuk ke Pengadilan Jakarta Timur. Sehingga praktis yang bersidang hanya majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum namun mereka ingin memaksakan agar terdakwa bisa hadir secara online. Padahal sejak sidang pertama, Habib Rizieq dan para pengacaranya sudah menyatakan dengan tegas akan mengikuti dan mentaati persidangan di PN Jakarta Timur kalau dilakukan secara off line. Jika hakim dan jaksa bersikukuh untuk menjalankan sidang secara online, Habib Rizieq pun mempersilahkan. "Silahkan majelis hakim dan jaksa sidang sendiri dan memutuskan semaunya sendiri tanpa dihadiri saya dan pengacara," ungkap Habib Rizieq. Namun, pada sidang kedua justru ada pemaksaan terhadap terdakwa agar mau mengikuti sidang secara online. Praktek ketidakadilan dan kebrutalan telah dipertontonkan dengan kasat mata dalam persidangan tersebut. Siapapun manusia yang memiliki hati dan akal waras niscaya akan merasa prihatin dan gemas ketika menyaksikan persidangan yang penuh rekayasa itu. Oleh karena itu wajar kalau kemudian masyarakat di dunia maya (netizen) melampiaskan kekesalannya di media sosial. Tidak hanya itu, netizen mampu membongkar identitas pribadi Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa. Demikian juga Diah Yuliastuti SH, seorang jaksa yang kerap memotong pembicaraan Habib Rizieq dan majelis hakim dengan kalimat bernada provokasi, identitasnya berhasil diungkap netizen beberapa jam setelah usai persidangan hari Jumat lalu. Instagram Jaksa Penuntut Umum Diah Yuliastuti, diburu dan dibully netizen. Merasa tidak tahan dengan bullyian, akhirnya akun IG jaksa tersebut diubah menjadi private. Seorang netizen @ciotsidoker berkomentar di IG Diah Yuliastuti : "Halal banget sama ulama si mak...?? Emang emak ga ngerasa mendzolimi..??? Komentar netizen lainnya @noviadeniz: "Wahai netizen, mohon yg sopan komentar2nya. Aku capek nge-like-nya" @samsudinfahrezy berkomentar: "Semoga sadar dan tobat bu....inget Keluarga mu... jangan kasih uang haram...jangan kau sakiti ulama apalagi cucu nabi... cepat minta maaf sebelum telat. Ingat daging ulama beracun klo rumah tangga anda ingin selamat" Beberapa komentar netizen memang terkesan kasar namun aksi mereka di dunia maya tersebut sebagai balasan atas sikap Jaksa di persidangan yang terus menekan dan menghina Habib Rizieq. Dalam persidangan itu, Jaksa Diah Yuliastuti sempat melontarkan kalimat provokasi dalam percakapan dengan majelis Hakim. Di sidang itu Jaksa Penuntut Umum berkomentar: "Mohon izin, Majelis, kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari Terdakwa. Kami mohon untuk melanjutkan sidang yang terhormat ini, Majelis, tanpa mendengarkan omongan dari Terdakwa". Jadi, wajar kalau kemudian menyerbu IG jaksa Diah Yuliastuti. Setelah Gerakan Serbu IG, foto-foto jaksa Diah Yuliastuti yang terpampang di IG menyebar ke berbagai Grup WA. Tidak lama kemudian, IG jaksa ini dirubah ke private tetapi netizen lain sudah sempat screen shot akun IG jaksa Diah Yuliastuti termasuk komentar netizen yang unik dan menarik. Publik merasa kesal dengan jaksa ini karena selain sering memotong pembicaraan terdakwa, jaksa Diah ini sempat meminta hakim untuk menjerat Habib Rizieq dengan pasal 216 karena dinilai menghina jalannya persidangan. Namun, permintaan jaksa tersebut ditolak majelis hakim. Dalam persidangan tersebut, Habib Rizieq merasa hak asasinya sebagai terdakwa telah dirampas. Padahal, kehadiran terdakwa di ruang sidang dijamin UU yakni KUHAP Pasal 154, Pasal 152. Sementara sidang online hanya didasarkan pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 Tàhun 2020 tentang administrasi dan persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik. Di dalam Perma itu disebutkan alternatif proses persidangan pidana yakni secara online dan offline. "Jika majelis hakim ingin mengambil online, harus dengan persetujuan terdakwa. Nggak bisa mengambil sepihak. Kita kembali kepada KUHAP Pasal 154, Pasal 152, saya punya hak untuk hadir di dalam ruang sidang. Saya bukan nggak mau ikut sidang, saya siap," tegas Habib Rizieq. Jika membandingkan dengan persidangan kasus pidana lainnya, ada yang dilakukan secara offline. Misalnya, persidangan kasus red notice Djoko Tjandra dilakukan secara offline. Bahka pada sidang tersebut petinggi Polisi Irjen Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara karena terlibat dalam kasus tersebut. Sementara sidang pidana yang melibatkan Habib Rizieq dilakukan secara online dengan dalih khawatir adanya kerumunan dalam suasana pandemi Covid19. Padahal, sebenarnya posisi duduk majelis hakim, JPU, pengacara serta terdakwa kalau dihadirkan di ruang persidangan juga duduknya berjauhan. Sebenarnya jika Habib Rizieq dihadirkan dalam persidangan, majelis hakim maupun jaksa bisa lebih mudah menjalin komunikasi. Sebaliknya jika sidang dilakukan secara online, terkendala dengan jaringan komunikasi seperti pada sidang sebelumnya. Habib sudah menyatakan dirinya sangat menghormati hukum karena itu dia menyatakan siap datang ke pengadilan jika persidangan dilakukan secara offline sebagai bentuk ketaatan pada UU. Kita semua mengetahui bahwa pengadilan adalah jalan terakhir untuk mencari keadilan. Namun, kalau UU yang memberikan hak kepada terdakwa dilanggar seperti pada kasus peradilan Habib Rizieq ini, bagaimana seorang terdakwa bisa mendapatkan keadilan. Oleh karena itu Habib Rizieq tidak peduli dengan dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum. Meski Habib Rizieq menghormati putusan Majelis Hakim tetapi dia menyatakan keberatan jika sidang dilakukan secara online. "Sekali lagi, saya sampaikan dengan berat hati, saya tidak ridho untuk sidang secara online. Dan kalau dipaksakan, saya mohon izin saya akan walk out, saya akan keluar dari ruang sidang ini. Kalau Majelis Hakim dan para jaksa ingin melanjutkan sidang, saya ridho. Anda semua melakukan sidang tanpa kehadiran saya dan tanpa kehadiran pengacara, saya siap tunggu di dalam sel berapa vonis yang akan dikemukakan. Saya ridho, saya tidak mau berdebat lagi, saya tidak mau menghina pengadilan ini, Majelis Hakim yang terhormat. Saya minta izin, saya ingin meninggalkan ruang ini supaya tidak ribut terus, ini samping kiri-kanan saya ada polisi dan Brimob," ungkap Habib Rizieq mengakhiri perdebatan dengan majelis hakim. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Buruh Menunggu Keberpihakan Pemerintah
BULAN Ramadhan segera tiba. Berbagai persoalan ekonomi, semakin dirasakan rakyat, terutama buruh. Tidak ada yang salah dengan datangnya bulan suci bagi umat Islam itu. Bagi kaum muslimin, bulan penuh keberkahan itu disambut dengan gegap gempita, dengan meningkatkan amal-ibadah kepada Sang Pencipta. Seperti biasa, bulan Ramadhan juga merupakan bulan penuh keberkahan bagi buruh. Sebab, di bulan ini, mereka akan menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dari masing-masing perusahaan mereka bekerja. Berdasarkan peraturan pemerintah, THR minimal dibayar dua pekan sebelum Hari Raya Idul Fitri. Besaran THR pun biasanya satu bulan gaji, tergantung kemampuan pengusaha dan lamanya buruh bekerja. Menjelang Ramadhan tahun 2021 ini, masalah THR sudah mulai diotak-atik. Buruh mengancam akan melakukan demo jika pengusaha tidak membayar THR tepat waktu dan nilainya tidak sesuai harapan mereka. Pengusaha pun sudah siap ancang-ancang menghadapi ancaman buruh itu. Para pengusaha berharap tidak ada demo karena akan merugikan semua pihak. Pengusaha akan membayar THR sesuai dengan kemampuan mereka pada saat kegiatan bisnis masih lesu di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang belum bisa diprediksi kapan berakhir. Hingga kini pemerintah masih menggodok aturan tentang THR tahun 2021. Berbagai masukan, baik dari pekerja maupun pengusaha sangat diharapkan pemerintah Seban, persoalan THR itu sudah berbeda dengan aturan tahun lalu. Sebab, pemerintah sudah mengatakan terjadinya geliat ekonomi awal tahun ini dibandingkan awal tahun lalu. Artinya, ada sebagian pengusaha yang sudah mulai kembali meraup untung. Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Anwar Sanusi mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan pilihan seperti apa yang tepat untuk pembayaran THR 2021. Yang jelas, pemberi kerja harus menunaikan kewajiban itu. Sebagaimana dikutip dari Detikcom, Sabtu (20/3/2021, Anwar menyebutkan, pihaknya masih menggodok opsi yang paling bagus terkait dengan THR. Pada prinsipnya THR adalah hak pekerja atau buruh yang harus ditunaikan pengusaha. Aturan apa pun akan yang keluar tentang pembayaran THR 2021, pasti telah melalui pertimbangan yang masukannya diperoleh dari Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan forum Tripartit atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pihak ketiga. Aturan mengenai THR 2021 diharapkan keluar pada awal puasa yang akan mulai pertengahan April. Dengan demikian, pengusaha memiliki waktu untuk mempersiapkan kewajibannya membayar THR itu. Pemerintah diharapkan lebih adil dalam keputusannya. Adil dalam arti lebih membela kepentingan buruh. Sebab, selama ini ada kecenderungan pemerintah lebih membela kepentinhan pengusaha dalam menetapkan keputusannya, baik dalam hal THR maupun hak-hak buruh lainnya, terutama jika terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja). Hak-hak buruh semakin tertekan, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Tjipta Kerja. Apalagi UU tersebut berlaku hampir bersamaan dengan Covid-19. Buruh menunggu keberpihakan dari pemerintah. **
Diskriminasi Hukum Nyata di Peradilan HRS
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Hukum itu tak bernyawa. Hanya berisi teks tertulis yang kita sepakati menjadi rambu-rambu kehidupan sebagai warga negara. Di tangan manusialah, hukum itu menjadi hidup. Lembaga yudikatif diharapkan konsisten menjamin implementasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Manusia tidak ditakdirkan menjadi makhluk ajeg seperti iblis atau malaikat. Manusia punya kehendak bebas, bisa memilih bersifat iblis atau malaikat. Terkadang, sifat iblis manusia malah dikemas seolah kebajikan malaikat. Wajah hukum kita ikut diwarnai oleh jiwa penegak hukum dengan kehendak bebas itu. Kita berharap lembaga peradilan dapat konsisten menegakkan hukum yang berkeadilan. Namun, faktanya sejumlah kasus hukum tak sedikit terasa memunggungi keadilan. Terhadap persidangan kasus Habib Rizieq Sihab (HRS), muncul fenomena serupa. Aparat berwenang terlihat begitu sinis memandang hak-hak hukum HRS. Itu terlihat di sepanjang perjalanan kasus mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) ini, sejak penetapan sebagai tersangka, penahanan, hingga saat persidangan yang heboh sepekan belakangan. Untuk menetapkan sidang berjalan online atau offline saja, debat panjang harus terjadi. Padahal, memilih salah satu pilihan ini seharusnya mudah dan tak perlu menguras begitu banyak waktu dan energi. Majelis hakim menetapkan sidang HRS dilaksanakan online, sedangkan HRS menginginkan hadir di ruang sidang. HRS mengaku bukan bermaksud melawan hukum. HRS hanya memperjuangkan hak hukumnya saja, sebagaimana dijamin Undang-Undang (UU) untuk hadir di ruang sidang. Adapun Majelis Hakim berpijak pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur sidang online dalam masa pandemi covid-19. Masalahnya, keputusan Majelis Hakim melaksanakan sidang online ternyata "tidak online-online amat". Buktinya, Majelis Hakim lengkap berada di ruang sidang, begitu pula dengan para jaksa, para pengacara, juga pengunjung sidang. Yang online hanya HRS, seolah sengaja dipisahkan. Padahal, seorang terdakwa tentu sangat berkepentingan hadir di ruang sidang agar bisa membela dirinya secara maksimal. Baik itu ketika menjawab tuduhan jaksa, menjawab pertanyaan majelis, juga berkonsultasi langsung dengan pengacara yang mendampinginya di ruang sidang, dan seterusnya. Menurut MA, sepanjang 2020 sudah digelar 115.455 sidang online karena adanya Perma No. 4/2020. Meski begitu, kewenangan pelaksanaan sidang online dan offline agaknya dikembalikan kepada keputusan Majelis Hakim. Pasalnya, dalam beberapa kasus yang melibatkan nama-nama besar, kita melihat kehadiran terdakwa di ruang sidang di tengah pandemic Covid-19 pasca terbitnya Perma itu. Sebut saja persidangan kasus suap Irjen Napoleon Bonaparte. Yang relatif punya kemiripan dengan pelaksanaan sidang HRS adalah sidang kasus IDI Kacung WHO dengan terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx. Seperti HRS, Jerinx juga walkout dari ruang sidang. Sementara itu, massa pendukung Jerinx berdemo di depan Pengadilan Negeri Bali. Setelah beberapa kali sidang online, akhirnya sidang offline terdakwa Jerinx diadakan pada 13 Oktober 2020. Laman radarbali.id lalu memuat berita dengan judul "(Akhirnya) Pendemo Menang, Hakim Putuskan Sidang JRX Digelar Offline". Perma No.4/2020 sendiri ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 25 September 2020 dan diundangkan pada 29 September 2020. Seperti Jerinx, HRS juga walkout dalam sidang. Juga masih seperti Jerinx, pengacara HRS juga telah memohonkan sidang dilakukan secara tatap muka. Bukannya dapat dispensasi sebanding, yang ada malah ancaman tambahan kasus. Walkout yang dilakukan HRS berbuah ancaman lain. Jaksa menuding HRS telah menghina dan melakukan kegaduhan di dalam persidangan dan meminta hakim menjerat Rizieq melanggar Pasal 216 KUHP. Mungkin saja niat Majelis Hakim menjauhkan HRS dari ruang sidang karena menghindari kerumunan massa pendukung. Namun, kekhawatiran ini hanya soal teknis yang mudah saja dikoordinasikan. Pertama, HRS telah menyatakan siap meminta pendukungnya agar tidak perlu mendatangi PN bila diizinkan ikut dalam ruang sidang. Kedua, mencegah kerumunan adalah tugas aparat keamanan. Majelis Hakim tentu dimungkinkan meminta dukungan Polri, kalau perlu berikut bantuan personel TNI. Sinisme lembaga peradilan terhadap hak-hak hukum HRS semakin terasa ketika pengacara HRS bahkan sempat mendapat kesulitan memasuki ruang sidang. Dengan surat kuasa di tangan, seharusnya tidak menemui kendala memasuki ruang sidang. Toh para pengacar itu telah mengikuti sidang sebelumnya. Meski lembaga yudikatif terlihat menyudutkan posisi hukum HRS, namun para penghuni lembaga eksekutif dan legislatif hening komentar. Trias politika ini mungkin sepaham, perlakuan itu adalah sesuatu yang "pas" untuk HRS. Tidak satu pun dari pihak eksekutif yang membela hak-hak hukum HRS. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tadinya dinilai punya kedekatan dengan HRS, membeku dalam diamnya. Padahal, saking dekatnya, Prabowo pernah berjanji hendak menjemput langsung HRS dan memulangkannya ke Tanah Air dengan jet pribadi. Luar biasa janji itu. Sementara itu, respon dari lembaga legislatif hanya dibunyikan satu dua orang. Sebagai oposisi, sejumlah kader Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera telah memberi pernyataan membela dengan porsi yang semestinya. Dari partai pendukung pemerintah, yang terlihat gregetnya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadly Zon. Fadly bahkan menjaminkan dirinya demi pembebasan HRS. Kita bersuara bukan semata tentang HRS. Ini tentang perlakuan lembaga peradilan terhadap seorang warga negara yang kebetulan bernama Habib Rizieq Shihab. Yang menjadi fokus kita adalah proses pemenuhan hak-hak hukumnya. Seorang warga negara dengan warga negara lainnya seharusnya sama dan sederajat di hadapan hukum. Tetapi entah kenapa di hadapan HRS, hukum terasa begitu antagonis. Beberapa pihak menengarai, kasus HRS menjadi diskriminatif karena intervensi politik. Salah satunya Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Abdullah Hehamahua. Saat menanggapi kematian enam laskar FPI tempo hari, dia mengaitkan penembakan 6 laskar FPI bermula dari Pilkada DKI. Secara teoritik, Ahok harus menang. Tetapi nyatanya kalah. Salah satu sebabnya, menurut Hehamahua karena HRS dan 212 ikut bergerilya. Dari sanalah dia melihat persoalan bermula, yang kemudian menyebabkan HRS harus ke Saudi Arabia, hingga kembali ke Tanah Air dan menjalani proses demi proses sampai akhirnya terjadi pembunuhan di luar hukum terhadap 6 laskar FPI. Apakah relasi politik itu juga punya kaitan dengan diskrimanasi hukum HRS saat ini? Wallahu a'lam. Penulis adalah Senator DPD RI.
Cak Jancuk Mengaku Tidak Minat Tiga Periode, Temen Tah?
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Cak Jancuk mengaku tidak berminat menjabat Presiden Republik Indonesia selama tiga periode. Alasannya Indonesia banget. Dia tetap mematuhi Undang Undang Dasar 1945 yang mengatur masa jabatan presiden selama dua periode. "Cak Jancuk" adalah gelar beradab Suroboyoan untuk Jokowi yang disematkan oleh para pendukungnya. Gelar itu diterima Jokowi saat dia menyapa para pendukungnya dalam kampanye Pilpres di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya dua tahun silam. Seperti tertulis di banyak media, serempak kompak publik pun berteriak keras, "Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk.....!!!". Dari atas panggung, Jokowi yang mendengar langsung melebarkan bibirnya, yang dalam bahasa jawa disebut mringis (tersenyum) sambil me_nyungir_kan hidungnya. Namun tidak ada yang tahu, apa arti mringisnya Jokowi. Yang jelas, Ernawan selaku pimpinan deklarasi dukungan menjelaskan, gelar tersebut bukan umpatan. Melainkan singkatan tertentu yang mengandung arti positif. Penghormatan kepada Jokowi. Mengenai ramainya rumor kalau Jokowi akan berupaya menjabat presiden tiga periode, telah dibantah Jokowi sendiri. "Saya tegaskan, Saya tidak ada niat. Tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama sama," kata Jokowi dikutip CNN Indonesia, Senin (15/03). Tetapi harap diingat. Itu kata Jokowi saat ini. Bukan untuk dua atau tiga tahun mendatang. Memang bisa saja lidah tak bertulang. Tak terbatas kata kata semata. “Tinggi gunung, seribu janji. Lain di bibir, lain di hati”, urai Bob Tutupoly dalam syair lagu lawas "Tinggi Gunung Seribu Janji". Nah, kemudian manakala Arek Suroboyo bertanya kepada Cak Jancuk dengan dialek Suroboyoan, boleh ya? Misalnya begini tanyanya, “Temen tah, Cak Jancuk omonganmu gak gelem njabat maneh? Lek sampek mbujuk, koen tak gantung nang Tugu Pahlawan yak opo? Curiga atau tidak percaya kepada manusia itu boleh-boleh saja. Lebih-lebih bila sang manusia tersebut sudah terbukti bolak-balik bohong. Itulah juga karena sifat manusianya. Pastinya dia bukanlah malaikat yang selalu dan tetap konsisten. Lupakah ucapan Anas Urbaningrum, mantan Ketum Partai Demokrat (PD) waktu itu dalam menepis dugaan korupsi atas dirinya? Dia mengaku, serupiah pun tidak dikorupsi. Jika terbukti korupsi, maka Anas sanggup untuk digantung di pucuk Tugu Monas. Berulang-ulang sosoknya tayang di layar televisi, menampilkan propaganda anti korupsi. "Katakan Tidak Pada Korupsi". Begitu bunyi iklannya di berbagai televisi nasional. Bagaimana kenyataannya? Tidak lama setelah iklan itu, Anas dibui terkait kasus korupsi. Itu bukti bahwa kata hati tak sama dengan kata mulut. Satu lagi bukti inkonsisten seseorang, yang dalam bahasa jawa disebut mbujuki. Bahkan masih gres. Moeldoko mengaku cuma ngobrol sambil ngopi biasa dengan beberapa kader dan pecatan Partai Demokrat. Bukan rembugan mengenai politik. Itu ditegaskan Moeldoko untuk menolak tudingan rencana kudeta Moledoko atas Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kenyataannya, Moeldoko dimungkinkan bersekongkol dengan beberapa orang pecatan Partai Demokrat. Lalu menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Moeldoko pun keluar sebagai pemenang. Sebagai Ketum PD Palsu. Jika Moeldoko berat dibilang berbohong. Tetapi mengapa harus membuat pernyataan berbeda dari kenyataan yang dia lakukan. Mestinya, kalau mau KLB ya bilang saja akan menggelar KLB. Bukan ngobrol sambil ngopi. Kan mbulet namanya. Dalam logika main bola, Moeldoko adalah orang yang tercatat sebagai pemain saja tidak. Apalagi duduk di bangku cadangan, lebih tidak lagi. La kok mbedudug dinobatkan sebagai juara pertama. Sikembar gundul Upin-Ipin pun lantas tertawa kekeh-kekeh. Lepas dari misalnya, Kemenkumham nantinya mensahkan kepengurusan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat. Namun pengakuan Moeldoko hanya ngobrol dan ngopi, tanpa embel-embel politik pada pertemuan sebelumnya, bisa disebut bohong. Beberapa hari usai acara KLB Deli Serdang, Jhoni Allen, dokter hewan pecatan Partai Demokrat yang juga bekas pegawai Kebun Binatang Ragunan, mengaku telah mendaftarkan hasil KLB nya ke Kemenkumham. Dia yakin berkas laporan hasil KLB akan diterima dan disahkankan. Mengapa harus pakai kata “yakin” bahwa hasil KLB akan diterima dan disahkan Kemenkumham, setelah didaftarkan beberapa waktu lalu. Jika memang merasa benar dan tidak bersalah, tidak perlu harus yakin atau tidak yakin. Mau mendaftar, ya mendaftar gitu saja. Misalnya jika dalam keadaan normal, A pergi ke rumah B untuk mengambil mobil miliknya yang dipinjam B. Dalam perjalanan ke rumah B, si A tidak perlu punya pikiran “yakin” bisa mengambil mobilnya. Wong mau mengambil mobilnya sendiri kok pakai “yakin”? Tentu saja perasaan atau psikologis A dalam kondisi safe. Karena A adalah pihak pemilik mobil. Sehingga situasi kejiwaannya dirasakan seakan akan masuk ke domain “pasti” bisa mengambil mobilnya. Kata “pasti” disini bukan dimaksudkan sebagai bentuk melawan kehendak Allah Subhanahu Wa ta'ala, melainkan sekedar sebagai penegas batas psikologis antara jujur dan bohong. Pada jaman dulu. Katakanlah periode kepemimpinan Pak Harto. Sifat pembohong, kurang ajar, tidak punya malu, amoral dan perilaku buruk lainnya itu cuma dimiliki kelompok tidak terdidik. Atau preman, yang dalam bahasa kasarnya katakanlah maaf “bajingan”. Sehingga waktu itu, pengenalan sosialnya di tengah bermasyarakat antara mana yang bajingan dengan yang terpelajar, itu menjadi jelas dan nyata. Sekarang telah terjadi kekaburan. Hal itu bukan saja akibat dari terjadinya dekadensi moral. Melainkan akibat dari terjadinya multi kemerosotan sosial. Semua luntur, sehingga sulit membedakan antara manusia dan hewan. Wujudnya saja mungkin yang tidak sama. Namun, moral, akhlak, budi pekerti, tindak tanduk, perilaku, adat, adab serta berbagai norma dan nilai nilai cerminan Indonesia telah tiada. Nyaris semua lini kehidupan rancu. Terlebih bagi pihak yang bernalar pas-pasan. Mereka pasti kebingungan menilai dan membedakan. Misalnya, Amien Rais itu lurus atau bengkok? Habieb Rizieq Shihab (HRS)itu bajingan atau justru sosok yang mati-matian mempertahankan NKRI? Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zein itu tokoh PKI atau penumpas PKI? Sebaliknya ,dua orang saja lagi seperti Harun Masiku dan Djoko Tjandra itu bajingan ataukah sosok pahlawan yang selalu menyerahkan jiwa raganya demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia? Bagi para gobloger akan merasa kesulitan membedakan hal tersebut. Bila dimisalkan ke dunia medis, mereka dalam kondisi disleksia, gangguan intelegensia. Gagal paham. Salah satu penampakan gangguan kesehatan tersebut, adalah sulit membedakan sisi kiri dan kanan. Orang macam ini biasanya keliru mengenakan sepatu sisi kiri di kaki kanannya. Namun bagi para cerdaser yang otaknya waras-wiris gangguan itu tidak berlaku. Mereka selalu jernih melihat. Mana yang kiri, mana kanan? Mana yang bajingan, mana pahlawan? Laksana memandang awan putih di langit biru. Jelas dilihatnya sebagai gumpalan awan putih yang mengambang diantara langit biru. Kebingungan dan kejenuhan publik akibat munculnya bermacam persoalan yang nyaris tak berkesudahan, mengakibatkan sikap apatis dan apriori. Disaat seperti itulah publik mulai berada pada kondisi post truth, kesulitan membedakan antara baik dengan buruk, benar dengan salah. Malah bisa-bisa bertukar tempat. Yang salah dibilang benar. Yang buruk dikatakan baik. Itu akibat tumpukan demi tumpukan kebohongan yang diolah sebegitu rupa, sehingga menghasilkan wujud yang seolah olah sebuah kebenaran. Jika dilakukan secara kontinyu, muncullah logical fallacies di tengah masyarakat. Akhirnya rakyat diajak berpikir, kesalahan itu logis. Misalnya kelak Cak Jancuk jebulnya mencalonkan kembali di periode ke tiga, tentu dengan perubahan UUD 1945, yang tidak sesuai dengan janjinya saat ini, maka itu menjadi logis. Pembaca FNN.co.id budiman. Dimana pun saudara tinggal, kita berharap bukan saja segera mendapat vaksin Covid-19 yang benar benar mujarab. Melainkan, tak kalah penting, juga selekasnya menemukan vaksin untuk mengobati kedunguan. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.