ALL CATEGORY
Sidang Habib Rizieq Ujian Apakah Hukum Masih Tegak
MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur akhirnya menghadirkan Habib Rizieq Shihab (HRS), di persidangan secara langsung (offline). Keputusan Majelis Hakim diambil setelah melalui perdebatan sengit dan berlarut. Diwarnai pemaksaan ke ruang sidang terhadap HRS. Serta aksi walk out oleh pengacara dan HRS. Alotnya mejelis hakim mengambil keputusan. Ngototnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), agar persidangan dilaksanakan secara daring (online), sangat mengherankan. Argumen hakim dan jaksa, hal itu sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan menegakkan protokol Covid-19, sejak awal dengan mudah dipatahkan. Kehadiran terdakwa sebagai orang bebas, tanpa tekanan di pengadilan, diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Posisi UU jelas lebih tinggi dibandingkan Perma. Tidak bisa sebuah UU dikesampingkan begitu saja oleh Perma. Apalagi Perma tidak masuk dalam hirarki hukum. Hanya berlaku secara intenal. Mengesampingkan UU atas nama penegakan Perma, adalah perbuatan sesat dan menyesatkan. Dalam Perma pun diatur, sidang secara daring bisa dilaksanakan bila mendapat persetujuan terdakwa. HRS sejak awal menolak. Dia menginginkan persidangan secara offline. Sebagai terdakwa yang sangat dirugikan, HRS ingin hadir di persidangan. Mempertahankan haknya. Berhadapan langsung dengan para jaksa, para saksi. Beradu argumen secara terbuka, tanpa dibatasi kendala teknis. Mulai dari jaringan internet yang tidak stabil, suara dan gambar terputus-putus, serta hal-hal teknis yang tidak berkaitan dengan hukum. Keputusan berhadapan, berkonfrontasi langsung dengan para jaksa dan saksi ini tampaknya dipandang sangat perlu oleh HRS. Dasar hukum sampai dia dibawa ke pengadilan ini sangat aneh. Penuh kejanggalan dan rekayasa. HRS diajukan ke persidangan karena melanggar protokol kesehatan (prokes). Kerumunan massa di Petamburan, dan Mega Mendung. Dia juga didakwa menyembunyikan hasil swab di RS UMI, Bogor. Karena ketiga kasus itu, dia harus menghadapi tiga persidangan sekaligus. Sejak awal keputusan polisi menyidik kasus ini, dan kemudian menahan HRS sangat mengejutkan. Pelanggaran prokes konskuensinya adalah pembayaran denda. Kalau toh ada pelanggaran pidana, hal itu sifatnya pidana ringan. Tak perlu sampai ada penahanan. Untuk kasus di Petamburan, dia sudah membayar denda Rp 50 juta ke Pemprof DKI. Sejauh ini, denda itu adalah yang tertinggi. Kasus ini bahkan berubah menjadi tragedi. Pelanggaran HAM. 6 orang pengawal HRS tewas ditembak polisi yang melakukan penguntitan. Publik sesungguhnya bisa melihat dengan mata telanjang. HRS menjadi target. Diperlakukan secara dzolim. Pengadilannya sesat. Kasus pelanggaran prokes banyak dilakukan oleh orang lain. Sejumlah selebritas, tokoh, pejabat publik, politisi, bahkan sampai Presiden, juga melakukan pelanggaran. Soal ini dipersoalkan HRS dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Jumat (26/3). Dia menyoroti pelanggaran prokes yang dilakukan oleh Rafi Ahmad dan Komut PT Pertamina Ahok. Mereka berdua hadir dalam pesta tanpa prokes. Kasus Rafi sangat ironis. Dia diangkat sebagai duta vaksin. Pelanggaran dilakukan setelah pada pagi harinya divaksin bersama Presiden Jokowi di istana. Tidak ada tindakan apapun yang dikenakan kepada mereka. Boro-boro diseret ke depan hakim. Denda seperak pun tidak. Presiden Jokowi juga melakukan pelanggaran. Membuat kerumunan. Bahkan berinteraksi dengan warga di Maumere, NTT. Kasus terbaru terjadi di Sumenep, Madura. Kasusnya persis sama dengan kerumunan warga di Petamburan. Ketua Banggar DPR RI dari F-PDIP Said Abdullah menggelar pesta pernikahan putranya. Dia menyebar 20 ribu undangan. Diperkirakan tamu yang hadir, 30 ribu orang. Jalan-jalan di seputar rumah Said Abdullah sampai harus ditutup. Tidak ada tindakan apapun terhadap para warga negara istimewa ini. Mereka adalah orang-orang yang kebal dan tak tersentuh hukum. Untouchable. Mereka semua adalah pendukung pemerintah. Soal menyembunyikan hasil swab, sejumlah menteri di kabinet Jokowi juga melakukan. Media meyebutkan, setidaknya ada 8 orang positif Covid. Sejauh ini hanya Empat orang yang mengakui secara terbuka, atau setidaknya ada keterangan dari stafnya. Mereka adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mantan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edi Prabowo, Menteri Agama Fachrul Razi, serta Menaker Ida Fauziah. Siapa empat orang lainnya? Tak ada yang mengaku. Belakangan terungkap, salah satunya adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Terungkapnya Airlangga, juga secara tidak sengaja dan terkesan sangat konyol. Nama Airlangga muncul dalam daftar peserta donor plasma convalesen. Namanya muncul karena disebut oleh Menko PMK Muhajir Effendi. Dengan menjadi donor plasma convalesen dapat dipastikan Airlangga pernah terjangkit Covid. Tapi dia tidak pernah mengakui, apalagi mengumumkan ke publik. Airlangga adalah Ketua Komite Penanganan Covid. Dia harus menjadi contoh. Panutan. Mengapa empat orang menteri itu, khususnya Airlangga tak dikenakan hukuman? Tidak diseret ke meja hijau, seperti nasib yang dialami oleh HRS. Dengan fakta-fakta tersebut, sudah seharusnya HRS dibebaskan. Kasusnya batal demi hukum. Sidang harusnya tidak perlu dilanjutkan. Bila hakim masih meneruskan proses pengadilan, apalagi kemudian menjatuhkan hukuman kepada HRS, maka sangat jelas hakim sudah berlaku tidak adil. Dihukum ringan pun HRS tidak pantas. Apalagi dihukum berat. Bila itu yang terjadi, hukum digunakan hanya untuk menghukum kelompok/orang yang berseberangan dengan pemerintah. Sementara kepada para pendukung pemerintah, mulut jaksa kelu. Palu hakim kaku. Melalui forum ini kita kembali mengingatkan, hukum yang disalahgunakan. Hanya tajam kepada oposisi. Tumpul kepada pendukung pemerintah. Akan menimbulkan ketidakpuasan publik. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Percieved in justice. Ini sangat berbahaya. Mengutip ceramah yang pernah disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD di Surabaya, hukum adalah sendi negara. Bila hukum tidak ditegakkan, maka negara itu akan runtuh.**
Pertunjukan Slaughter House?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Munarman mempertanyakan keganjilan dakwaan dari Jaksa Penutut Umum (JPU) yang meminta penghapusan atau pencabutan hak politik atas diri HRS. Meski belum sampai pada tahap penuntutan. akan tetapi dakwaan ini berlebihan. Dakwan yang penuh kebencian kepada terdakwa. Dakwaan bukan untuk mau menegakkan keadilan. Jaksa memerkan dan mempetontonkan keangkuhan pada peradilan sesat. Peradilan suka-suka, bahkan peradilan yang penuh dengan dagelan menjadi pantas disematkan untuk proses pengadilan HRS di PN Jakarta Timur. Soal persidangan "online" dan "offline" saja telah membuat gaduh dunia peradilan Indonesia.. Kasus kerumunan walimahan pernikahan, pengajian dan test Swab yang didakwakan sebenarnya pidana samar dan tergolong sederhana. Akan tetapi diolah menjadi pidana yang terkesan raksasa dan sangat menggemparkan. Maklum saja, karena ini kasus politik. JPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah di bidang penuntutan telah menggap kalau HRS sebagai orang yang sangat berbahaya. Diposisikan sebagai musuh negara. Kalau bisa tank, pesawat tempur, bahkan kapal induk dikerahkan untuk menyerang sorban seorang ulama. Semua kekuatan negara hraus dikerahkan untuk melumpuhkan HRS. Suara dakwah kebenaran, keadilan dan melawan kezoliman terdengar bising di telinga pendosa. Bagai dengung nyamuk, lalat, atau lebah yang membuat panik, marah, jengkel, dan takut. Sambil berlari menepis dengan satu pilihan "pites, libas" atau matikan. Hal ini menjadi wujud dari radikalisme negara dan intoleransi terhadap keragaman dan sikap keagamaan. Nampaknya benar pandangan bahwa ini bukan ruang pengadilan. Bukan juga keadilan yang ingin digapai dari sebuah proses persidangan. Tetapi hanya persidangan untuk bisa mendapatkan pembenaran hukum untuk penghukum anak bangsa yang bernama HRS. Berusaha untuk menggorok dengan pisau hukum dan kekuasaan negara atas pesakitan yang selama ini menjadi lawan politik. Pengadilan yang berubah menjadi slaughter house (rumah jagal). Ada target atau harapan yang ingin dicapai bahwa HRS bukan saja dihukum pidana penjara. Tetapi juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politik. Targetnya, HRS jangan melakukan kegiatan politik apapun, karena terlalu berbahaya untuk keselamatan dan kenyamanan penguasa. Pencabutan hak politik, baik hak untuk dipilih atau hak untuk menjadi pejabat publik sebagai hukuman tambahan jauh lebih layak bagi para koruptor penggarong uang rakyat di tengah bencana pandemi covid-19. Sebab mereka adalah para penghianat negara yang menjual kedaulatan negara. Bukan untuk mereka yang mengadakan acara walimahan, pengajian, atau sekedar test Swab. Pembantaian pendahuluan telah dilakukan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal keluarga HRS di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) sebagai "road map to the slaughter house". Sebelumnya adalah penurunan baliho HRS oleh pasukan TNI. Setelah itu, "penyerangan" oleh gabungan pasukan khusus dari AL, AU, dan AD (Koopssus) ke markas FPI di Petamburan. Paska pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI, dilanjutkan dengan pembubaran dan pelarangan FPI serta pemblokiran 92 rekening, termasuk rekening keluarga HRS yang kemudian dinilai "unlawful". Setelah dipersoalkan oleh anggota Komisi II DPR, Asrul Sani dan Habuburrahman, sekarang saling lempar tanggung jawa terjadi antara Pusat Pelaporan Analisa dan Transksi Keuangan (PPATK) dengan Polisi. Kini proses hukum di "slaughter house" sedang berlangsung dengan sangat rapih. Sayangnya, upaya buruk terhadap warga negara ini, mudah untuk dibaca oleh masyarakat sipil (civil society). Perlawanan keras dari HRS mampu mengubah sidang "online" menjadi "offline". Mampukah HRS dengan para pengacaranya lolos dari upaya "slaughtering" ketukan palu di meja hijau atau akhirnya semua berjalan sesuai skenario? Rakyat sedang menonton dengan serius pertunjukan panggung lelucon yang tidak lucu. Panggung arogansi melawan ketidak adilan dan kezoliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Anies, Idola Baru Bagi Kaum Milenial
by R. Kholis Majdi Jakarta FNN - Anak muda butuh sosok idola. Mulai dari artis, hingga pemain sepakbola. Bagi kaum milenial, ini bisa jadi motivasi. Ketika seseorang punya idola, ia ingin hidup dan sukses seperti sosok yang diidolakan itu. Tentu, ini dibutuhkan sebagai daya ungkit dan pembangkit semangat. Di era digital, para politisi memiliki panggung media yang semakin luas. Mereka nggak kalah populer dengan para artis dan publik pigur lain pada umumnya. Anak-anak muda mulai melirik. Sebagian politisi mulai digandrungi dan jadi idolanya. Kalau dulu ada Budi Utomo, Bung Karno, Bung Hatta dan Tan Malaka yang pernah menghipnotis pikiran anak-anak muda, kini ada Anies Baswedan. Mantan rektor Paramadina, mantan Mneteri Pendidikan, dan penggagas Indonesia Mengajar yang sekarang menjadi Gubernur Ibu Kota Jakarta. Anies menjadi salah satu tokoh dan kepala daerah terpopuler hari ini. Anies adalah Gubernur DKI Jakarta. Malah banyak yang menyebut Gubernur Indonesia. Nama dan sosoknya hari-hari menghiasi media massa. Publik, termasuk kelompok milenial, melihat, mambaca dan menilai. Lalu, tertarik dan terpengaruh oleh pikirannya, kemudian mengidolakannya. Ada pergeseran positif. Dari cara kaum milenial yang hanya mengidolakan fisik dan penampilan, kini bergeser ke idola berbasis gagasan dan kecerdasan. Ini tugas orang tua, agamawan dan akademisi untuk terus menyuburkannya. Dengan pergeseran ini kita berharap Indonesia akan diisi oleh anak-anak muda yang punya masa depan cemerlang. Hasil Survei Indikator, Anies menempati posisi elektabilitas tertinggi di kalangan milenial. Kalau hari ini ada Pemilihan Presidsen (Pilpres), maka Anies menempati urutan pertama yang banyak dipilih oleh para pemilih dari kalangan milenial. Kenapa Anies digandrungi kelompok milenial? Pertama, karena Anies masih muda, dengan berpenampilan yang juga muda. Anak muda lebih sreg dan cocok jika dipimpin oleh tokoh muda dan berpenampilan muda. Usianya sekitar 50 tahun. Berpakaian rapi, dan selalu tampil bersahaja. Apalagi tampilannnya tidak dibuat-buat. Apa adanya. Kedua, Anies merangkul, bukan memukul. Cara komunikasi Anies menyejukkan. Nggak baperan juga. Nggak mudah tersinggung. Segala bentuk kritik, bahkan caci maki, dihadapi dengan senyum. Kaum milenial nggak suka dengan pemimpin yang pemarah, apalagi senang gebrak meja segala. Anak milenial ngga suka dengan semua aksi yang bikin suasana nggak nyaman. Ketiga, Anies satu kata dan perbuatan. Punya komitmen. Kalau bicara ada data, kalau janji ditepati. Anak-anak muda gak demen sama pemimpin yang mencla mencle, suka bohong dan ingkar janji. Keempat, banyak program Anies yang langsung menyentuh kebutuhan anak-anak muda. Mulai perluasan trotoar, jalur sepeda, taman terbuka, food court untuk semua strata, kenyamanan transportasi, hingga Stadion Bestandar internasional (JIS). Program-program ramah lingkungan macam ini secara natural digandrungi anak-anak muda. Kelima, udara yang semakin segar di wilayah Jakarta. Polusi udara semakin berkurang. Dan Jakarta menjadi kota urutan ke 20 terbersih udaranya di dunia. Aspek lingkungan ini menjanjikan masa depan yang sehat bagi anak-anak muda Jakarta. Fakta, bahwa langit Jakarta semakin membiru. Udara yang juga semakin bersih dan terang membuka perbukitan dan pegunungan di wilayah Bogor dan sekitarnya mulai jadi panorama yang indah dan sejuk di mata masyarakat Jakarta. Dari daerah Senin anda bisa melihat indahnya gunung Pangrango. Sedangkan dari Celilitan, Gunung Salak tampak semakin terang, dan dari Jalan Antasari, Gunung Gede kelihatan begitu dekat. Jakarta tak lagi pekat dengan asap, tetapi mulai dikelilingi pemandangan hijau dari pegunungan. Keenam, Anies pemimpin yang menjaga dedikasi dan integrity. Meski banyak fitnah dan tuduhan macam-macam, segala upaya menjatuhkan nama baik Anies justru menaikkan gelombang empati dan simpati publik. Terutama kaum milenial. Di tengah para pejabat yang mayoritas korup dan rakus, cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini hadir dengan mengikuti jejak integritas dan kepahlawanan kakeknya. Inilah jiwa dan spirit anak muda yang sesungguhnya. Tidak mudah terkontaminasi. Sebuah trend anak muda masa kini. Punya kemandirian dan kedaulatan diri. Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik.
Mahfud MD "The Wrong Man On The Wrong Place"
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Terdengar seperti fantasi. Tiba-tiba saja mencuat wacana pemerintah boleh melanggar konstitusi. Katanya, sah-sah saja bila dilakukan untuk keselamatan rakyat. Banyak yang terkaget-kaget dengan argumentasi Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD ini. Tetapi, oleh Mahfud, yang kaget dianggap tidak belajar hukum tata negara. Sekali lagi, Menkopolhukam menyulut kontroversi. Sebagian pihak menganggap narasinya rawan bagi demokrasi. Sebagian lainnya menganggap cara sepihak pemerintah menafsirkan hukum. Memang tujuan utama sebuah negara adalah menjamin keselamatan rakyatnya. Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, sebagaimana ucapan filsuf Romawi Kuno Cicero, Salus Populi Suprema Lex Esto. Asas hukum Cicero ini lalu banyak diadopsi negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Konstitusi alinea keempat menyebut, Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jadi, menjaga dan melindungi keselamatan rakyat pada urutan pertama tujuan bernegara. Sepanjang menyangkut keselamatan rakyat, Menkopolhukam berpendapat pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang sifatnya bertentangan dengan konstitusi. Persoalannya, sejauh mana "jualan" keselamatan rakyat dapat melegalisasi pemerintah menabrak konstitusi? Sulit menakarnya, karena kita tidak lagi berbicara teori, tetapi praktik pengelolaan negara dan politik. Celakanya, politik punya banyak aroma, warna, dan tipe. Dalam sebuah wawancara di Kompas TV, Mahfud menjelaskan panjang lebar tentang teori Salus Populi Suprema Lex Esto. Menkopolhukam sampai memberi contoh hingga dekrit presiden 5 Juli 1959, Surat Perintah 11 Maret, hingga penggulingan rezim Soeharto. Menurutnya, semua itu adalah pelanggaran konstitusi yang tidak perlu mendapat persetujuan hukum. Teks Versus Konteks Narasi Menkopolhukam Mahfud MD banyak direspon secara terpisah menjadi perdebatan hukum. Fahri Hamzah misalnya, mengatakan "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi", tidak berarti "pemerintah boleh melanggar konstitusi bila dilakukan untuk keselamatan rakyat". Mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang kini Anggota DPD RI Prof. Jimly Asshiddiqie, mengatakan negara dilarang keras melanggar UUD 1945. Jika pun ada situasi bahaya yang berkembang, pemerintah bisa memberlakukan situasi darurat atau menetapkan keadaan bahaya. Di luar perdebatan hukum tersebut, kita yang bukan pakar hukum tata negara pun merasa memang ada yang aneh pada argumen Menkopolhukam. Karena yang disampaikan dalam konteks penanganan Covid, maka tidaklah salah bila pikiran yang meresponnya juga berangkat dari perspektif penanggulangan Covid-19. Faktanya, penanganan Covid-19 mengundang pertanyaan di sana-sini. Menteri Sosial Juliari Batubara sendiri dijerat dalam kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid-19. Belum lagi kebijakan penanganan pandemi yang seringkali memantik polemik. Di tengah situasi itu, tiba-tiba disebutkan pemerintah bisa melanggar konstitusi demi menyelematkan rakyat dari bahaya pandemi. Teks melekat pada konteks, lalu melahirkan wacana. Tetapi soal di atas, agak sulit kita menemukan relasi antara kesesuaian teks dan konteks, sehingga timpang dalam menumbuhkan wacana. Yang terjadi kemudian, pemaksaan wacana tersebut berpotensi memicu pikiran liar berkembang lebih jauh lagi. Tempo hari, Arief Poyuono mengatakan Presiden Joko Widodo harus legowo menjadi presiden tiga periode demi menyelamatkan rakyat dari bencana dampak pandemi. Lalu, bagaimana jika atas nama menyelematkan rakyat dari pandemi, lantas usulan yang menabrak konstitusi itu diamini Pemerintah? Atau sebaliknya, bagaimana jika nalar rakyat menghubungkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Supersemar, penggulingan rezim Soeharto, dengan potensi jatuhnya rezim Jokowi di tengah jalan? Tentu kita tidak menginginkan keduanya. Kita mendukung pemerintahan berjalan hingga akhir, tetapi juga mendorong agar pengelolaan negara menjadi semakin baik, bukan sebaliknya. Maka narasi pejabat seharusnya relevan dengan situasi. Bukan sekadar teori yang memunggungi realitas. Sebuah tulisan singkat Tony Rosyid beredar secara berantai di WhatsApp. Tulisan ini merespon kudeta Partai Demokrat (PD) dengan sejumlah varian skenario. Di akhir tulisan, Tony bertanya-tanya, apakah kudeta PD adalah bagian dari tafsir "konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat"? Lagi-lagi, narasi Menkopolhukam disematkan dalam konteks yang lain. Sebuah bukti tambahan, bahwa teori yang tidak memijak kokoh pada konteks atau situasi yang digambarkan, selain gagal memunculkan wacana tertentu, juga berpotensi memunculkan wacana lain oleh pihak lain. Tidak Membumi Bukan kali ini saja Menkopolhukam menelurkan argumen beraroma positif, tetapi berakhir kontroversial karena dianggap tidak menapak pada realitas. Jejak digitalnya mudah ditemukan. Pada 18 Maret 2021 misalnya, Mahfud MD meminta agar masyarakat yang berbeda keyakinan tak saling membenci dan memusuhi karena perbedaan agama. Padahal, kita tahu bahwa sentimen keagamaan semakin menguat, seiring dengan menguatnya labelisasi radikal, intoleran, yang tak jarang justru berasal dari pejabat pemerintahan. Belum lagi dengungan para buzzer politik yang menambah runyam situasi politik nasional. Mahfud MD menyerukan rakyat agar memerangi ketidakadilan. Padahal ketidakadilan dipertontonkan aparat penegak hukum melalui penangkapan sejumlah aktivis oposisi. Sementara laporan terhadap sejumlah aktivis media sosial pendukung pemerintah jarang yang diproses lebih lanjut. Jadi, ada kesan pemerintah punya dan mementingkan pendapatnya sendiri. Tanpa mau tahu apa yang dirasakan masyarakat. Mungkin ada benarnya juga pendapat Pendiri Partai Umat Amien Rais. Dalam sebuah kesempatan, politisi senior ini menilai Mahfud telah berubah dan saat ini lebih sebagai representasi ungkapan the wrong man on the wrong place. Dulu, kita mengenal Mahfud dengan pikirannya yang kritis, tajam, dan dalam. Sekarang pun sebenarnya begitu. Pak Mahfud masih tetap dengan keilmuannya. Yang berbeda adalah situasinya. Saat ini beliau menjadi bagian dari pemerintahaan yang punya banyak problem dalam pengelolaan negara, sehingga komentar-komentar idealisnya terkesan tidak bermutu, tidak membumi atau tidak memijak kenyataan. Tentu tidak sedang mengadili sosok beliau secara pribadi. Kita sedang membicarakan cara pemerintah membangun argumentasi atas kebijakan-kebijakannya. Kebetulan yang sering merespon situasi dan gejolak sosial politik adalah Mahfud MD selaku Menkopolhukam di Kabinet Indonesia Maju. Tidaklah keliru cuitan lawas Mahfud MD saat merespon politik uang dalam Pemilihan Kepala daerah. "Malaikat saja kalau masuk ke dalam sistem Indonesia, akan berubah menjadi Iblis". Penulis adalah Senator DPD RI.
TP3 Menjawab Menko Polhukam Mahfud MD
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Audiensi Presiden Jokowi dengan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam anggora Laskar Fron Pembela Islam (FPI) telah berlangsung Selasa, 9 Maret 2021 di Istana Negara. Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. TP3 yang dipimpin oleh M. Amien Rais datang bersama Abdullah Hehamahua, Muhyiddin Junaidi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan dan Ansufri Sambo. Setelah audiensi, pada hari yang sama, Mahfud MD menggelar konferensi pers, menyebar link YouTube dan wawancara eksklusif (TVOne) secara sepihak. Selain itu, ada kalangan yang coba menggiring opini ke arah isu bernuansa politik pencitraan. Hasil pemilu 2019 yang diduga banyak masalah dan memakan korban ratusan orang tewas, perlu di-endorse semua pihak. Karena itu, perlu ada yang bersuara. Pesannya, karena Amien datang ke istana, telah terjadi rekonsiliasi antara Jokowi dengan Amien Rais. Kedatangan Amien Rais bersama anggota TP3 tidak ada urusan dengan rekonsiliasi. Pemilu 2019 yang diduga sarat kecurangan dan pengorbanan petugas KPPS biarlah jadi catatan sejarah kelam. Kelak harus dipertanggungjawab pelakunya di hari kemudian. Bagi TP3 kejahatan kemanusiaan yang menewaskan enam anak bangsa secara brutal dan sarat penyiksaan oleh aparat negara adalah masalah yang sangat besar untuk ditumpangi isu rekonsiliasi. TP3 paham, siapa saja sebetulnya pihak yang mendambakan pengakuan dan endorsement! Pemerintah berhak melakukan konprensi pers secara sepihak. Namun sesuai kebiasaan dan etika moral, pihak-pihak yang terlibat di satu pertemuan wajar mengadakan konprensi pers bersama. Terutama untuk menunjukkan kebersamaan, mencegah misinformasi, menghilangkan disinformasi, menghidari penggiringan opini sesuai kepentingan sepihak. Konprensi pers bersama juga layak dilakukan untuk mencegah agar tidak ada pihak yang merasa lebih unggul atau mendominasi kebenaran. Terkait konpres Mahfud itu, TP3 perlu memberi catatan. Bagi TP3, sepanjang yang diungkap itu objektif, faktual dan fair, tentu tidak ada masalah. Namun faktanya ada hal-hal yang TP3 anggap tidak lengkap, distortif, tidak objektif, tendensius atau spekulatif, untuk tidak mengatakan manipulatif. Karenanya perlu diklarifikasi atau dijawab. Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut ini. Kata Mahfud, “TP3 datang tanpa bukti, karena pada dasarnya memang tidak punya bukti. Sejak awal kami tahu mereka tidak punya data gitu. Dan betul tadi tidak ada data yang disampaikan, bukti yang disampaikan tidak ada. Cuma pernyataan”. Padahal, sebagaimana dimuat dalam Surat TP3 4 Februari 2021, tujuan TP3 beraudiensi adalah guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya. TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang tidak objektif. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses pengadilan objektif, transparan dan adil. Dengan terwujudnya audiensi 9 Maret 2021, TP3 berhasil mendapatkan dua komitmen penting dari Presdien Jokowi yang perlu dicatat. Pertama, pemerintah siap menerima masukan dan bukti-bukti yang akan diserahkan TP3. Kedua, pemerintah akan terlibat aktif, sesuai wewenang, menuntaskan kasus pembunuhan enam laskar secara transparan dan berkeadilan. Karena itu, mari kita catat dua janji Presiden Jokowi tersebut. Mari kita tunggu realisasi janji tersebut dalam proses hukum yang kelak berlangsung. Bahwa itu tersebut bukan cuma omong-kosong atau basa-basi. Selain itu, publik diharap tidak tergiring dengan penjelasan Mahfud yang distortif dan misleading. Kata Mahfud, "namun jika ada yang mengungkapkan hal tersebut mengalami kejadian HAM berat, maka mana buktinya. Mana bukti pelanggaran HAM berat, mana bukti ya, bukan kenyakinan. Jika ada, Pemerintah menunggu, secuil apapun buktinya. Terkait bukti, TP3 menyatakan akan menyampaikan pada waktunya. Bukti-bukti milik TP3 kelak berupa data dan informasi yang telah beredar di publik. Sudah dipublikasi Komnas HAM, maupun sama sekali baru (karena selama ini tersembunyi, disembunyikan atau dimanipulasi). Bukti-bukti TP3 bisa sama dengan Komnas HAM. Namun diyakini sebagian bukti telah direkayasa atau tak dimanfaatkan seutuhnya oleh Komnas HAM, sehingga diperoleh laporan dan rekomendasi yang tidak kredibel dan manipulatif. TP3 paham yang berfungsi mencari alat-alat bukti adalah negara. Bukan perorangan, keluarga korban atau kelompok masyarakat seperti TP3. Tapi karena sudah committed mengawal kasus pembunuhan, dan berjanji akan menyampaikan, TP3 akan menyerahkan bukti-bukti dan hasil analisisnya segera. Esensi jawaban TP3 atas komentar Mahfud, Tujuan TP3 beraudiensi adalah untuk menyatakan sikap dan meminta komitmen Presiden Jokowi. TP3 datang beraudiensi sesuai surat 4 Februari 2021, bukan untuk menyerahkan dan membahas bukti-bukti, karena sadar itu bukan forum yang tepat. Namun bukan berarti TP3 tidak punya bukti seperti diklaim Mahfud. Pada waktunya bukti-bukti itu diserahkan. Karena itu sepanjang bukti-bukti yang akan diserahkan objektif, faktual dan valid, TP3 meminta agar tak dicarikan alasan-alasan untuk mengabaikan atau menolak. Kita minta Mahfud dan pemerintah bersikap konsisten, fair dan ksatria. Kata Mahfud, “kalau bicara pengadilan HAM itu, satu tidak bisa Presiden. Pak Amien Rais dulu yang buat undang-undang itu tahun 2000 ketika beliau ketua MPR. Yang menentukan pengadilan HAM atau bukan, itu Komnas HAM. Disitu disebutkan Komnas HAM yang menyelidiki, Komnas HAM yang menentukan sesuatu itu melewati pengadilan HAM atau tidak”. Persepsi TP3, intinya Mahfud membangun opini dan menggiring pemahaman masyarakat ke arah yang sesat dan meyesatkan. Penjelasannya sebagai berikut. Komnas HAM dibentuk sesuai UU. UU tersebut dibuat tahun 2000 di eranya oleh Amien Rais dan kawan-kawan. Era Amien jadi anggota DPR. Lalu Presiden memerintahkan Komnas HAM mengusut kasus sesuai UU tersebut. Kalau TP3 permasalahkan sikap pemerintah yang percaya hasil Komnas HAM, dan menjalankan pula rekomendasinya, maka salahkanlah siapa pembuat UU, dan itu salah satunya Amien Rais. Jawaban TP3 sebagai berikut. Pertama, ada dua UU terkait HAM yang dibentuk periode Amien Rais jadi Anggota DPR/MPR, yaitu UU HAM No.39/1999 dan UU Pengadilan HAM No.26/2000. Untuk kasus pembunuhan enam laskar berkategori kejahatan kemanusiaan itu, Komnas HAM yang menerima “Perintah” Presiden, mestinya menggunakan UU No.26/2000. Tapi justru Komnas HAM dengan sengaja memilih menggunakan UU No.39/1999. Maka jelas kesimpulan dan rekomendasi tidak valid, bermasalah dan tidak berlaku untuk penuntasan kasus sesuai proses hukum selanjutnya. Kedua, penyimpangan atas penerapan berbagai ketentuan UU sudah kerap terjadi. Meskipun ketentuan dalam UU itu sudah sesuai UUD 1945, kepentingan publik dan berbagai azas pembentukan UU. Hal itu terjadi pula dalam pengusutan kasus pembunuhan enam laskar FPI. UU yang disebutkankan Mahfud sudah berisi berbagai ketentuan yang sesuai konstitusi dan azas-azas yang dipersyaratkan. Masalahnya, pengguna UU, terutama pemerintah dan Komnas HAM menyimpangkan implementasinya. Lalu penyimpangan ini ditutupi dengan menyalahkan para pembuat UU. Maka sesuai keinginan dan rekayasa Mahfud, terjerat dan terseretlah Amien Rais yang saat itu menjadi Angota DPR/MPR. Ketiga, kegiatan yang telah dilakukan Komnas HAM dalam mengusut kasus, dan membuat rekomendasi adalah pemantauan, bukan penyelidikan. Bagaimana bisa proses hukum lanjutan berstatus penyidikan atau penuntututan? Selain itu, sudahlah menggunakan UU yang salah, Komnas HAM pun membuat rekomendasi yang melampaui kewenangan. Bagaimana bisa rakyat mempercayai penyelenggara negara dan Komnas HAM, jika proses hukum yang dijalankan bermasalah sejak awal, in the first place? Keempat, ada hal-hal mengapa TP3 menganggap Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM bermasalah dan tidak kredibel. Salah satunya persetujuan pengadilan sebelum Komnas HAM lakukan pemantauan, seperti diatur dalam Pasal 89 Ayat 3 UU No.39/2009. Kalau belum memperoleh persetujuan Pengadilan, maka Komnas HAM sangat nyata telah melanggar ketentuan UU. Jika proses “pemantauan” Komnas HAM saja sudah bermasalah, bagaimana publik percaya dengan hasil dan rekomendasinya? Karena itu, agar konsisten dengan Pembukaan UUD 1945, dimana negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dituntut konsisten menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pancasila, konstitusi dan UU yang berlaku. Rakyat harus diberi informasi dan penjelasan yang objektif, transparan dan mencerdaskan. Jauh dari konten yang distortif, spekulatif, tendesius dan sarat rekayasa. UU yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan azas penegakan hukum terhadap kasus yang sedang diusut. Jauh dari direkayasa guna memenuhi kepentingan sempit oknum-oknum penguasa! TP3 menuntut agar rekayasa dan manipulasi proses hukum, termasuk “memanfaatkan” Komnas HAM secara melanggar hukum dalam penuntasan kasus pembunuhan ini harus dicegah. Sebaliknya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang dibentuk sesuai perintah UU dan amanat konstitusi, mestinya berfungsi melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat. Komnas HAM bukan justru terlibat atau tunduk pada kepentingan oknum-oknum kekuasaan. Kepada Mahfud, TP3 berharap bisa membuat pernyataan yang akurat, objektif, fair, serta tidak distortif dan tendensius. Langkah ini minimal bisa dimulai dengan konprensi yang tidak sepihak. Penulis adalah Badan Pekerja TP3 Enam Laskar FPI
Sidang Offline HRS: Penyusup Bisa Buat Onar dan Kembali Online
by Asyari Usman Medan, FNN - Hari ini, 26 Maret 2021, adalah hari pertama sidang offline (hadir langsung di ruang sidang) yang akan dijalani oleh Habib Rizieq Syihab (HRS). Di persidangan sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Timur mengabulkan permohonan HRS agar sidang-sidang selanjutnya bisa dia hadiri langsung. HRS sangat berkepentingan hadir langsung. Di samping perjuangan yang pasti all-out dari tim pembelanya, HRS sendiri ingin memastikan agar dia mendengarkan langsung tanpa hambatan teknis dan psikologis apa-apa yang diucapkan oleh semua pihak di ruang pengadilan. Mengapa ada hambatan teknis dan psikologis di persidangan online (daring)? Hambatan teknis tentu saja sudah sama-sama dipahami. Bagi HRS, tampaknya ada hambatan psikologis kalau dia tetap mengikuti sidang daring. Pertama, bisa saja ada perasaan bahwa sidang itu tidak serius, padahal dia sangat serius. HRS tentu telah menyiapkan diri secara maksimum. Dia pasti sudah tahu kekuatan dirinya dan sudah paham pula tentang pihak-pihak yang dihadapinya. Kedua, HRS adalah orang yang sudah terbiasa beradu argumentasi dengan cerdas, tegas, tapi santun di ruang sidang. Berbicara lewat daring pastilah terasa “kosong”. Terasa seperti seminar daring, barangkali. Ketiga, berada di ruang sidang dan langsung menghadapi hakim, jaksa dan tim hukum, akan membuat HRS bisa menatap langsung orang-orang yang betul-betul hadir untuk menegakkan keadilan atau yang hanya hadir sebagai “perpanjangan tangan”. Untuk mendapatkan persetujuan sidang offline ini bukan perjuangan yang ringan. HRS dan tim hukum sudah menyampaikan jaminan bahwa para pendukung Imam Besar itu tidak akan menimbulkan masalah kalau mereka datang ke PN Jakarta Timur. Ketika dia berusaha meyakinkan majelis hakim tentang sidang offline, HRS mengatakan dia akan mengeluarkan imbauan kepada para pendukung agar tertib dan mengikuti protokol kesehatan Covid-19. Di sini, para pendukung HRS perlu sangat berhati-hati jika mereka memutuskan untuk datang ke lokasi sidang. Sebab, bisa saja ada orang-orang tak dikenal yang sengaja disseludupkan ke kawasan di sekitar PN Jakarta Timur untuk menimbulkan keonaran. Kalau nanti terjadi keributan, maka sangat mungkin pihak yang berwenang akan mengembalikan persidangan ke sistem daring (online) dengan alasan keamanan dan ketertiban (kamtib). Ini sangat mungkin terjadi. Sangat mungkin. Bisa di sidang hari ini atau di sidang-sidang selanjutnya. Jadi, untuk kepentingan agar HRS tetap bisa sidang offline sampai selesai, para pendukung sebaiknya memikirkan dengan matang perlu-tidaknya hadir di lokasi sidang. Atau, kalau pun merasa perlu hadir, hendaknya memahami betul aspek-aspek negatif yang bisa muncul di lapangan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Waduh, Polisi Terduga Pembunuh Laskar FPI Tewas
by Asyari Usman Medan, FNN - Salah satu polisi terlapor pembunuh 4 laskar FPI dikatakan tewas dalam kecelakaan. Sewaktu mengikuti gelar perkara pembunuhan itu. Dari berbagai pemberitaan, tak jelas kapan gelar perkara dilaksanakan dan di mana. Tiba-tiba saja Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono kemarin (25/3/2021) muncul dengan pengumuman tewas karena kecelakaan. Polri harus transparan soal ini. Tewas karena apa? Kalau sakit, apa sakitnya? Siapa nama polisi itu? Apa pangkatnya? Publik harus diberitahu secara lengkap. Tidak bisa hanya bilang, “Terlapor meninggal dunia,” tanpa menguraikan kronologi lengkap. Semua pihak menuntut agar semua orang di jajaran Polri tidak menutupi peristiwa apa pun. Kepolisian adalah lambaga publik yang dibiayai oleh dana publik. Karena itu, publik berhak mengetahui apa saja yang melibatkan personel kepolisian. Janganlah lagi menyangka publik akan diam saja. Atau menerima begitu saja penjelasan pimpinan Polri. Era itu sudah jauh ditinggalkan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jaksa Kebingungan, Sidang Tuntutan Syahganda Nainggolan Ditunda
DEPOK, FNN -- Sidang lanjutan terhadap mantan aktivis mahasiswa ITB Dr Syahganda Nainggolan, Kamis (26/3/2021), terpaksa ditunda hanya karena Jaksa Penuntut Umum belum siap dengan tuntutan hukumnya. Syahganda Nainggolan ditangkap, ditahan dan diadili atas tuduhan penyebaran berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak UU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus law). Akhirnya Ramon Wahyudi, Ketua Majelis Hakim PN Depok, Jabar, memutuskan sidang ditunda hingga 1 April 2021. Seperti pada sidang sebelumnya, proses persidangan terhadap Syahganda Nainggolan ini dilakukan secara virtual. "Kami belum ada tuntutan karena belum siap, Yang Mulia. Mohon diberi kesempatan untuk selanjutnya," kata jaksa Ivan Rinaldi dalam sidang di PN Depok, Jabar. Penasihat hukum Syahganda Nainggolan, Abdullah Al Katiri, yang ditanya wartawan seusai sidang mengatakab tidak heran kalau Jaksa Penuntut Umum menyatakan belum siap membacakan tuntutan. "Jaksa Kebingungan harus menuntut apa kepada terdakwa. Sebab di persidangan tidak ada fakta hukum yang membuktikan Syahganda telah melakukan perbuatan pidana," ungkap Alkatiri. Bahkan, lanjut Alkatiri, saksi yang dihadirkan jaksa pun justru meringankan terdakwa. Oleh karena itu, pihaknya merasa yakin kliennya Syahganda Nainggolan bisa bebas dari tuntutan hukum. Alkatiri meyakini majelis hakim yang mengadili Syahganda Nainggolan bisa bersikap profesional dan objektif. Dalam kasus ini, Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak omnibus law yang berujung ricuh di Jakarta akhir tàhun 2020 lalu. Syahganda didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal ini, Syahganda terancam pidana penjara 10 tahun. Sidang yang semula dijadwalkan jam 10 pagi, molor hingga jam 1 siang. Sidang ini juga dihadiri para aktivis Pro Demokrasi. Setelah sidang, mereka memberikan semangat kepada Syahganda yang berada di Bareskrim Mabes Polri. (TG)
Rakyat Boleh, Eh Bisa Dong Melanggar Konstitusi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Meski dijelaskan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Kemannan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa dalam beberapa kasus ketatanegaraan ada perbuatan yang di luar, bahkan melanggar konstitusi. Namun narasi ini menimbulkan banyak interpretasi di masyarakat. Ada yang pro. Tetapi lebih banyak yang mengecam. Masalah utamanya adalah Mahfud MD itu sekarang menjabat sebagai Menko Polhukam. Bukan sebagai Profesor Doktor atau seorang dosen yang sedang mengajar Ilmu Hukum Tata Negara di kampus. Apa jadinya kalau semua pejabat negara bicara tentang kebolehan melanggar konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya. Bisa semakin ruwet dan awut-awutan tata kelola negara. Presiden ketika dilantik oleh Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR) menyampaikan sumpah yang disaksikan Ketua Mahkamah Agung dan seluruh rakyat Indonesia. Salah poin sumpah Presiden adalah taat kepada suluruh peraturan perundang-undang yang berlaku. Nah, di atas perundang-undangan itu ada yang konstitusi negara. Ngerti nggak ya Mahfud MD? Sebagai "embah" nya politik di pemerintahan Jokowi, maka bahasa demi menyelamatkan rakyat boleh melanggar Konstitusi ini bisa sangat berbahaya. Apalagi dicontohkan kebolehan melanggar Konstitusi yang dihubungkan dengan pandemi Covid 19. Masyarakat mulai berfikir pantas saja jika Presiden mengeluarkan Perppu No 1 tahun 2020 yang membebaskan penggunaan dana APBN untuk penanggulangan pandemi Covid 19 tanpa sanksi hukum. Ini melabrak konstitusi. Fungsi konstitusi, baik dalam sejarah maupun aktualnya, tiada lain dan tida bukan adalah untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara. Penguasa maupun rakyat diatur hak dan kewajiban serta pembatasannya oleh Konstitusi. Konstitusi dibuat bukan untuk dilanggar. Penguasa yang melanggar Konstitusi bisa di-impeachment. Demikian Hukum Tata Negara atau Constitutional Law mengaturnya. Ketika Mahfud MD dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa dibenarkan melanggar Konstitusi demi rakyat, tentu menjadi kontroversial. Apalagi dengan mengecilkan pihak yang melakukan penolakan atas pandangan ini sebagai "tidak belajar Hukum Tata Negara". Padahal yang mempertanyakan pernyataan Mahfud MD mungkin juga pakar Hukum Tata Negara. Bila beralasan "demi rakyat" bisa melanggar Konstitusi, maka pertanyaannya siapa yang berhak untuk menyatakan demi menyelamatkan rakyat? Penguasa, wakil rakyat, atau rakyat itu sendiri ? Lalu jika ia mencontohkan turunnya Soekarno, Soeharto, Gus Dur itu melanggar Konstitusi, apakah yang dibilah oleh Mahfud MD itu benar? Faktanya Soekarno diturunkan berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967. Sementara Suharto dengan mengundurkan diri (menyatakan berhenti sebagai presiden sejak dibacakan). Begitu juga dengan Gus Dur, yang dilengserkan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001. Jadi jelas bahwa seluruhnya berdasarkan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Ngaco dan ngawur saja Mahfudz. Ungkapan Mahfud di depan Silaturahmi Forkominda dan Tokoh masyarakat di Markas Kodam Brawijaya dinilai lebih pada mencari pembenaran atas kebijakan Pemerintah. Padahal kebijakan tersebut jelas-jelas melanggar Konstitusi. Alibi melanggar konstitusi untuk menyelamatkan rakyat adalah dalil subyektif dalam pengambilan kebijakan karena panik. Jika pengambil kebijakan boleh melanggar konstitusi dengan alasan menyelamatkan rakyat, maka bolehkah rakyat berjuang untuk menyelamatkan dirinya dengan melanggar Konstitusi? Jika ya tentu menjadi semangatlah rakyat untuk segera menumbangkan rezim dengan berbagai cara termasuk revolusi. Toh menurut Mahfud MD itu bisa saja. Sebenarnya pidato Mahfud MD yang kontroversial itu justru telah mencemarkan mereka yang belajar Hukum Tata Negara. Pelajaran dasar mahasiswa hukum adalah segala langkah dan kebijakan harus berdasar hukum. Perubahan politik mesti disandarkan pada konstitusi. Melanggar konstitusi adalah melanggar hukum. Ini pelajaran paling dasar yang diajarkan dosen. Tidak harus seorang Professor. Akhirnya, kita harus maklum pada pendapat apapun yang keluar dari Bapak Mahfud MD, sang punggawa politik Istana. Tidak perlu pusing membahasnya, sebab baginya melanggar HAM itu bukan melanggar HAM. Yang penting tidak menyesarakan, eh menyesengrakyat, eh menyesengrasan rakyat. Menjatuhkan pemerintah bisa menyesengra rakyat ya pak Mahfud,,, he he he. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kasus All England Itu Masalah Prokes, Bukan Diskriminasi
Mau boikot All England? Ini makin ngawur. Digelar sejak 1899, All England menjadi turnamen bulutangkis tertua dunia dan kerap disebut sebagai Kejuaraan Dunia tidak resmi. Semua pemain mendambakan tampil di sini. Turnamen ini juga cuma bisa dihentikan oleh perang dunia, dan tahun ini menjadi penyelengaraan yang ke-111 kali. by Rahmi Aries Nova Jakarta FNN - Kecewa tidak bisa tampil di ajang sebergengsi All England boleh-boleh saja. Marah karena kehilangan kesempatan meraih prize money yang besar pun masih dalam batas wajar. Tapi merasa didikriminasi, menuduh Badminton World Federation (BWF) dan All England tidak profesional, bahkan memprovokasi untuk memboikotnya, rasanya lucu juga. Gilanya Presiden BWF pun mau dilengserkan. Bahkan mau diadukan ke Court of Arbitration for Sport (CAS) yang bermarkas di Lausanne, Swiss. Tanpa dilengserkan Presiden BWF asal Denmark Poul-Erik Hoyer Larsen memang akan habis masa jabatannya pada Mei mendatang. Ia dikabarkan akan fokus mengobati penyakit Parkinson yang dideritanya sejak lima tahun lalu. Poul-Erik sendiri adalah sosok yang sangat menginspirasi bagi banyak pemain bulutangkis di seluruh dunia. Ia bukan cuma sukses sebagai pemain, tampil dalam tiga Olimpiade dan meraih medali emas tunggal putra Olimpiade pada Olimpiade Atlanta 1996 di usia 31. Tapi juga sukses memimpin organisasi bulutangkis dari level negara hingga dunia. Pensiun sebagai pemain, Poul-Erik berkiprah di DBF (PBSI-nya Denmark) pada 2007, kemudian menjadi Presiden Bulutangkis Eropa pada 2010, dan memenangi perebutan kursi Presiden BWF pada 2013 dan 2017. Jejak yang sampai saat ini belum bisa diikuti bahkan oleh pemain sebesar Susi Susanti. Jadi, harusnya Poul-Erik Hoyer Larsen menjadi inspirasi bagi pemain-pemain Indonesia, bukan dimaki-maki. Adalah Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang juga ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Agung Firman Sampurna yang menyebut Tim Indonesia mengalami diskriminasi di Birmingham, Inggris. Agung dan jajarannya yang mengurusi PBSI saat ini, termasuk dua nama kondang Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Sekjen) dan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Muhammad Fadil Imran (Staf Khusus Ketua Umum), juga Ketua Harian Alex Tirta (pemilik Hotel Alexis yang ditutup Gubernur DKI) sepertinya memang 'orang baru' di olahraga. Karena mereka tidak tahu bahwa diskriminasi adalah suatu yang diharamkan di dunia olahraga termasuk bulutangkis. Mereka tidak tahu kalau Poul-Erik adalah pemain yang sangat 'mencintai Indonesia' dan tergila-gila pada atmosfer Istora Senayan. "Istora ini adalah rumah kedua saya," katanya dalam setiap kesempatan saat berbincang dengan penulis. Mau boikot All England? Ini makin ngawur. Digelar sejak 1899, All England menjadi turnamen bulutangkis tertua dunia dan kerap disebut sebagai Kejuaraan Dunia tidak resmi. Semua pemain mendambakan tampil di sini. Turnamen ini juga cuma bisa dihentikan oleh perang dunia, dan tahun ini menjadi penyelengaraan yang ke-111 kalinya. Penulis dua kali meliput ajang ini, salah satunya pada perayaan 100 tahun All England, yang digelar tahun 2010. Penyelenggaraannya sangat profesional dengan aturan yang baku dari tahun ke tahun. Di ajang tersebut, para pemain Indonesia juga mencetak sejarah cemerlang dari masa ke masa. Para legenda bulutangkis Indonesia lahir dari ajang tersebut. Pemain sehebat Taufik Hidayat yang sudah meraih medali emas Olimpiade, Juara Dunia, dan puluhan gelar lain pun merasa karirnya kurang lengkap karena tak pernah meraih gelar juara All England. Pemain terbaik Malaysia Lee Chong Wei, mengaku setiap kali kalah di All England, yang selalu terbersit di hatinya adalah bahwa tahun depan ia akan datang lagi. Meski kecewa, 12 pemain Indonesia yang gagal tampil tahun ini, pasti tetap ingin datang lagi tahun depan. Jadi sebaiknya PBSI, Kemenpora, Kemenlu, KOI dan pihak-pihak lain menghentikan hujatan pada BWF juga panitia All England. Apalagi Poul-Erik sendiri sudah mengirim surat permintaan maafnya kepada Kemenpora. Tak perlu cari muka kepada Presiden Joko Widodo dengan menuntut ke CAS karena selain biayanya mahal, KOI juga tak punya legal standing untuk mendaftarkan gugatan. Lebih baik KOI fokus ke Olimpiade Tokyo yang akan digelar kurang dari tiga bulan lagi. Kejadian tidak mengenakkan ini adalah murni masalah protokol kesehatan (prokes) ala Inggris (National Health Service) yang tidak bisa diantisipasi BWF juga PBSI (kenapa tidak datang 10 hari sebelum pertandingan?) PBSI di masa pandemi ini belum bisa memastikan kapan menggelar ajang Indonesia Open, turnamen kebanggaan Indonesia yang diminati bukan saja karena hadiahnya besar, tetapi fans bulutangkis Indonesia yang hangat dan friendly pada semua pemain asing. Jadi, tak mudah menggelar event di masa-masa sekarang ini. Saudara Kapolri dan Kapolda pasti tahu aturan prokes yang menjerat pemain dan ofisial mereka, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan aturan prokes yang mereka jeratkan pada Habib Rizieq Shihab (HRS). "Masalah prokes yang saya hadapi ini telah menyebabkan saya saat ini bukan hanya menghadapi sidang ini saja, saya menghadapi tiga sidang dengan 11 dakwaan dan 18 pasal berlapis. Ada pasal yang ancamannya 6 tahun, ada pasal yang ancamannya 10 tahun penjara," ungkap Habib Rizieq di sidang Selasa, 23 Maret 2021. Bukan cuma masalah prokes yang dihadapi HRS, tetapi enam pengawalnya juga dibunuh dengan keji dan kejam, organisasinya (Front Pembela Islam) dibubarkan dan rekening bank keluarganya dibekukan PPATK. Serentetan perlakuan yang sangat kejam dari pemerintahan zalim. Bagaimana Saudara Kapolri, dan Kapolda? ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.