ALL CATEGORY
Sudah Divaksin Kok Masih di-Swab
"SAYA sudah dua kali divaksin. Tetapi, tetap saja di-swab," kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam perbincangan dengan wartawan FNN.co.id, Sabtu, 3 April 2021. Dalam pandangan senator asal Jawa Timur itu, kalau sudah divaksin, mestinya tidak perlu di-swab lagi. Akan tetapi, kenyaataannya berbeda. Sebagai pejabat tinggi negara, hampir setiap hari ia tetap di swab, terlebih lagi jika berkunjung ke daerah. Secara berkelakar ia menyebut, swab itu tetap harus dilakukan sampai anggarannya habis. Sebab, tes swab itu juga bisnis yang menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit. Ya, apa yang disampaikan dan dirasakan LaNyalla itu merupakan salah satu bukti, vaksinasi tidak menjamin setiap orang aman dari Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Nyatanya, jumlah yang terpapar corona masih terus bertambah setiap hari. Vaksinasi yang diperkirakan menghabiskan dana Rp74 triliun (anggaran tahun 2021) tidak menjamin seseorang tidak tertular Covid-19. Bahkan, berdasarkan berita, beberapa orang yang baru selesai divaksin sakit, dan kemudian meninggal dunia. Pandemi corona adalah sebuah ladang bisnis yang menguntungkan. Anda bisa bayangkan, untuk setahun saja dana vaksin mencapai Rp74 triliun lebih. Angka tersebut diperkirakan masih kurang. Nilai Rp74 triliun baru dana vaksin yang digratiskan kepada 182 juta orang atau 70 persen dari total penduduk Indonesia. "Sesudah Presiden menetapkan vaksinasi gratis, anggaran bisa mencapai Rp74 triliun untuk vaksinasi, belum bicara tentang masalah kesehatan lainnya," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Jakarta awal Januari 2021 yang lalu. Total anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp409,9 triliun masih bisa berubah. Alasannya, tantangan penanganan Covid-19 dan usaha pemulihan ekonomi masih sangat dinamis. Pandemi corona telah menjadi malapetaka bagi dunia. Virus yang berasal dari Wuhan, RR China itu telah membunuh jutaan manusia di dunia. Perekonomian hancur-hancuran karena resesi. Pergaulan sosial kemasyarakatan menjadi renggang karena terbatasnya saling mengunjungi. Anak-anak usia sekokah, terutama di daerah terpencil yang tidak terjangkau jaringan internet menjadi bodoh. Akan tetapi, masih ada usaha yang dapat meraup keuntungan, yaitu industri atau bisnis yang bersentuhan dengan kesehatan. Industri yang membuat vaksin salah satunya. Apalagi, industri vaksin tersebut mendapatkan order dari pemerintah. Berdasarkan hitungan kasar atau orang awam saja, jika 2,5 persen saja menjadi keuntungan dari anggaran Rp74 triliun, Anda bisa bayangkan nilainnya berapa. Itu angka minimal. Dalam dunia bisnis, keuntungan itu bisa 10 sampai 20 persen. Jadi, wajar saja vaksinasi itu diwajibkan.secara paksa kepada rakyat. Padahal, sebenarnya tidak harus semua divaksin dari total 182 juta jiwa itu. Akan tetapi, karena pemerintah sudah terlalu dini.memesannya, maka tidak ada cara.lain, vaksin harus dihabiskan. Oleh karena itu, keheranan LaNyalla yang sudah divaksin dua kali, tetapi tetap di swab test masuk akal. Mestinya, orang yang sudah divaksin mestinya lebih merdeka dari Covid-19. Nyatanya, jauh panggang dari api. Entah hal itu karena harus menghabiskan dana yang digunakan untuk membeli peralatan swab, atau tenaga kesehatan juga ragu akan hasil vaksin itu. Semua masih menunggu kepastian dari serba keraguan. **
Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?
by Tony Rosyid Jakarta FNN - "Jangan pilih calon yang nggak qunut". Ini politik identitas bukan? "Jangan pilih calon yang nggak ziarah kubur?". Ini jelas-jelas narasi politik identitas. Hal yang seperti ini lumrah terjadi di kampung saya Jawa Tengah, dan tempat saya pernah kos di Jawa Timur. Lucunya, para politisi yang teriak seperti inilah yang sering mempersoalkan politik identitas. Satu sisi mereka mempraktekkan politik identitas. Sementara disisi lain mereka mengutuknya. Semacam ada kemunafikan ganda dalam diri para politisi ini. Preferenai sosiologis adalah fakta yang ada dalam masyarakat. Dan seringkali gaungnya membesar ketika musim pemilihan umum. Ini natural, dan berlaku di sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Orang Nahdlatul Ulama (NU) pilih calon dari NU. Disini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu dapat limpahan suara terbanyak dari warga NU. Orang Muhammadiyah pilih calon dari Muhammadiyah. Partai Amanat Nasional (PAN) yang paling banyak menikmatinya. Orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pilih kader HMI. Orang Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) pilih kader GMNI. Begitu juga dengan Ansor dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). "Al-ijtima' dharuriyun linauil insan", kata Ibnu Khaldun. Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik. Solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim. Lalu apa masalahnya? Itu baru bicara ormas. Belum lagi bicara etnis. Terutama saat pilkada, "putra daerah" seringkali menjadi isu utama dalam ritual demokrasi lima tahunan. Setiap daerah merasa nyaman dengan dipilih oleh putra daerahnya. Satu etnis, satu budaya dan satu bahasa. Nggak usah heran jika Umat Islam pilih calon muslim seperti yang terjadi di wilayah Jawa. Umat Kristiani pilih calon Kristen, seperti yang terjadi di Papua dan Menado, Umat Hindu pilih calon dari Hindu sebagaimana yang terjadi di Bali. Selama ini, pilihan politik semacam ini dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kewajaran sosiologis. Solidaritas sosial akan selalu ada, dan terbentuk secara natural sesuai ikatan dan kekuatan hubungan yang terjadi di kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Tanpa disuruh sekalipun, sudah terjadi secara alami. Sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan lagi. Solidaritas sosial itu bisa agama, bisa etnis, bisa daerah, bisa organisasi atau profesi. Mereka yang menyoal politik identitas umumnya karena tak memiliki identitas yang kuat. Atau berada dalam kelompok minoritas yang tak bisa memberi dukungan suara signifikan untuk menang dalam pemilihan. Cara efektif untuk meruntuhkan kekuatan lawan adalah dengan mengutuk politik identitas, agar solidaritas kelompok pendukung lawan bisa beralih suaranya. Disini, isu politik identitas dimainkan. Dan yang paling sensitif dari isu identitas itu adalah agama, kemudian etnis. Politik identitas bukan harga mati, kemutlakan politik, dan satu-satunya penjamin kemenangan. Banyak kasus dimana calon dari kubu mayoritas dikalahkan dalam pemilihan oleh calon dari kelompok yang minoritas. Faktor kekuatannya ada pada prestasi. Idealnya, calon terpilih adalah yang paling berprestasi. Jika prestasinya bagus, dan sudah mendapat pengakuan masyarakat, maka politik identitas tidak terlalu efektif lagi pengaruhnya. Politik identitas hanya berpengaruh jika para calon yang beekompetisi tidak mampu menunjukkan prestasi yang kuat dan menonjol. Secara teoritis, politik identitas hanya bisa dinetralisir pengaruhnya dengan kekuatan prestasi. Jika anda punya prestasi yang diterima publik, maka akan banyak kelompok yang memberikan simpati. Tanpa menyoal identitas, anda akan mendapatkan dukungan dari banyak kelompok tersebut. Lintas agama, lintas etnis, lintas profesi dan lintas golongan. Sekat-sekat identitas itu hanya akan terbuka pintunya dengan prestasi. Kasus kekalahan Ahok di pilgub DKI, jangan kambinghitamkan politik identitas. Sebab, dua gubernur sebelumnya yaitu Fauzi Bowo dan Jokowi terpilih menjadi Gubernur di DKI tak bisa lepas dari faktor identitas. Seandainya Fauzi Bowo bukan Betawi dan Jokowi bukan Jawa, mungkinkah terpilih jadi gubernur? Berat juga! Di Pilgub DKI 2009, Fauzi Bowo menang. Saat itu basis analisis saya tertumpu pada preferensi sosiologis, dimana Fauzi Bowo Betawi-Jawa dan NU. Selain faktor incumbent (Wagub) dengan dana dan jejaring yang lebih kuat. Begitu juga dengan Jokowi. Jawa dan didukung PDIP (partai terbesar di DKI), selain ada heroisme Mobil Esemka dan punya profil antitesa incumbent. Jadi, bukan karena prestasi spektakuler yang membuat mereka menang. Jadi, tak perlu menyoal dan mempermasalahkan politik identitas. Soal ini justru memicu kegaduhan. Menciptakan keterbelahan dan konflik di masyarakat. Kasihan rakyat yang sudah menderita akibat pandemi covid-19. Selalu menjadi obyek adu-domba para perebut kekuasaan. Kalau anda selalu sibuk menyoal politik identitas, boleh jadi, selain identitas anda tidak kuat, mungkin karena prestasi anda juga tidak bisa diandalkan. Minimnya prestasi mendorong para calon bertumpu dan mengandalkan politik identitas, atau mengutuk politik identitas bagi-bagi reziki yang tidak memiliki kekuatan identitas. Cukup tunjukkan prestasi diri, kerja yang bagus, program yang menyentuh dan bisa dirasakan langsung. Setidaknya dianggap mampu menjadi solusi oleh rakyat, maka secara alamiah, rakyat (lintas sektoral) akan memberi dukungan. Jika anda punya prestasi cemerlang, bersikap tidak sektarian, nggak terikat dengan fanatisme kelompok, maka batas-batas identitas akan dengan sendirinya terbuka untuk anda. Cukup dengan prestasi begitu saja, rakyat tidak lagi melihat anda dari kelompok mana? Dari agama dan etnis apa? Yang rakyat lihat hanya prestasi anda. Bukan yang lainnya. Makanya bekerja yang baik-baik. Perlihatkan keberpihakan kepada rakyat. Hilangkan pemikiran mengadu-domba rakyat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Sebab bisa kualat lho. Emha Ainun Najib, Arif Budiman, Anies Baswedan adalah beberapa nama yang tidak memerlukan identitas kelompok. Tetapi mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi, sibuk dengan berkontribusi dan memberikan prestasinya untuk bangsa ini. Tidak terus bermimpi menjadi orang besar dengan memperkosa identitas kelompok, atau sebaliknya. Tidak juga sibuk dengan mengutuk sana kutuk sini politik identitas. Karena itu yang biasa-biasa saja hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
PKI Itu Bencinya Kepada Wahabi dan Salafi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pluralisme pemahaman keagamaan adalah hal yang wajar sepanjang berbasis pada sumber nilai Al-Qur'an dan Al-Hadits. Bila sudah keluar dari kedua nilai tersebut, maka berlaku interelasi antar agama. Dalam beragama, yang sama tetapi meyakini dan mendakwahkan bahwa Al Qur'an tidak orisinil seperti faham Syi'ah atau ada nabi setelah Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam seperti Ahmadiyah, maka itu dikategorikan menyimpang atau sesat. Syi’ah dan Ahmadiyah bisa juga disebut menodai agama. Wahabi adalah pengikut Syekh Abdul Wahab yang menjadi dasar pemahaman keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia. Bersumber dari madzhab Hambali. Salah satu pijakan madzhab utama selain Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Sementara Salafi itu adalah pengikut ulama-ulama terdahulu, para ulama Salaf. Seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An Nasa-i. Mereka para Imam ini adalah sebagian dari ulama salaf. Tentu Salafi memiliki cabang pemahaman yang tidak satu pula. Benci pada Wahabi dan Salafi sama saja dengan benci pada yang berbau Arab. Itu juga artinya benci kepada daerah dimana Islam lahir dan tumbuh. Tempat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat mengembangkan agama Islam. Dimulai di masa awal hingga agama yang hanif ini diterima dan dijalankan di Indonesia. Benci kepada Arab atas nama nasionalisme, kulturisme, atau etnosentrisme sesungguh adalah kebencian yang bukan saja tidak berdasar. Tetapi juga sebagai wujud dari kejahilan yang radikal. Adalah partai Komunis Indonesia (PKI) yang anti Arab dan pro Cina atau Rusia. Anti terhadap agama. Namun pro kepada komunisme-materialisme. PKI yang menyebut hal-hal berbau Arab dan Islami sebagai Kadrun. Sebutan sinis untuk Kadal Gurun. Bahkan PKI itu lebih dalamnya dipastikan sangat anti kepada Wahabi dan Salafi. PKI yang menuduh dan memfitnah agama sebagai candu, sehingga agaman harus dijauhi. Inilah perjuangan revolusi mental PKI yang hakekatnya mengindikasi adanya gangguan mental. Jika ada sebagian kaum Wahabi atau Salafi yang menyimpang, maka itu adalah prilaku oknum. Demikian juga dengan yang mengklaim Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun juga menyimpang. Kalau ada, maka itu juga oknum. Kalau ada yang menyimpang, maka harus diluruskan. Bukannya dibenci. Apalagi sampai mau dibasmi segala. Dimusuhi dan dituduh ini dan itu. Berlebihan jika menyebut Wahabi atau Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Sebab terorisme bisa masuk dari tradisionalisme, konservativisme, modernisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung, ketidakadilan dan kezoliman juga menjadi faktor tumbuh dan suburnya terorisme. Banyak faktor penyebab tumbuh dan suburnya terorisme. Baik itu yang bekaitan dengan masalah ekonomi, doktrin keagamaan, hingga permainan politik jahat yang merekayasa dalam rangka adu domba antar masyarakat. Stigmatisasi yang dibangun untuk meracuni fikiran jernih dan kohesivitas. PKI dahulu dan kelompok "PKI" kini memainkan siasat memecah belah umat Islam dengan memojokkan faham keagamaan tertentu. Serangan pada Wahabi dan Salafi menjadi arus utama propaganda tersebut. Isu ini menjadi bola mainan PKI yang sangat digemari dan dinikmati demi menciptakan hantu bernama radikalisme, ekstrimisme, maupun fundamentalisme. Wahabi dan Salafi bukan pintu masuk terorisme. Pengikutnya yakin seperti pengikut faham keagamaan lain dalam Islam , bahwa memahami agama seperti ini menjadi jalan untuk masuk Surga. Keyakinan itu karena menjalankan Al Qur'an dan Sunnah Rosul. Pintu masuk terorisme dapat juga dari dogmatisme, aroganisme, sinisme dan fulusisme. Yang terakhir ini adalah makna bahwa teror yang dilakukan itu sangat berhubungan dengan bantuan keuangan untuk diri dan keluarga. Atau paket proposal untuk proyek strategis. Termasuk biaya-biaya untuk mengarang cerita. Fulusisme dapat berskala nasional atau internasional. PKI yang berprinsip menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai, akan menjadikan aspek keagamaan sebagai permainan. PKI telah membuktikan dalam sejarahnya sebagai partai teroris. Baginya Wahabi dan Salafi ringan saja dapat dijadikan bahan semburan fitnah. Demi sukses mencapai tujuan. Sukses klaim kebenaran. Sukses membuat hantu. Sukses untuk memperoleh dana operasional dan fee kesuksesan. Fulusisme adalah terorisme yang paling berbahaya dan berdaya ledak tinggi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gawat, JPU Dr. Syahganda Diduga Buta Sejarah UU No. 1/1946
AKAL sehat kita terseret jatuh terjerambab ke dalam tumpukan sampah. Apalagi mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus Dr. Syahganda Nainggolan. Tuntutan itu benar-benar menggelikan. Bobot kekonyolannya benar-benar mampu membuat kerbau ikut merendahkan kita. Kerbau, andai bisa berbicara, mungkin akan mengatakan “memang kalian bangsa manusia, bisa berperilaku lebih hina dibanding aku yang tak berakal”. Coba wahai bangsa manusia, gunakan saja sedikit akal kalian. Buka saja sedikit mata hati kalian lalu bandingkan kasus Syahganda itu dengan kasus Ahok, Wakil Gubernur Jokowi sebelum Jokowi jadi Presiden itu. Dia menistakan agama Islam. Agama yang Allah Subhanahu Wata’ala ridhoi untuk dianut umat manusia. Penistaan itu Ahok melakukan dengan terang-terangan. Namun hebatnya Ahok mampu menyangkal bahwa yang dilakukan bukan hal nista. Ahok Dituntut 2 Tahun Percobaan Tuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kalian jangan pura-pura lupa. Karena jejak kasus penistaan Agama Islam oleh Ahok itu masih segar untuk diingat ummat Islam hingga kini. Ummat Islam harus menyingsingkan lengan baju ketika itu untuk mendatangi Presiden, dan mendesaknya menegakan hukum untuk Ahok. Itulah yang dilakukan ummat Islam melalui peristiawa 411 dan peristiwa 212. Hanya untuk menegakan hukum kepada Ahok. Semua rakyat negeri ini tau kalau Ahok itu temannya Presiden Jokowi. Untuk itu, 5-7 jutaan ummat Islam harus turun ke jalan mendesak Jokowi melepaskan belengggu diskriminasi hukum untuk ummat Islam, yang berseberangan dengan Presiden. Berhasil desakan ummat Islam? Hanya sebagian yang berhasil. Sebab dinding diskriminasi begitu kuat. Kokoh sekokoh Gunung Lawu. Diskriminasi itu bekerja melalui tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ahok hanya dituntut oleh JPU dengan hukuman perjara percobaan selama dua tahun. Pemerintah, entah apa yang menyebabkan,bersedia mempertontonkan diskriminasi hukum dengan sangat telanjang, setelanjang-telanjangnya usai majelis hakim mengetuk palu vonis. Ahok dihukum penjara dua tahun. Tetapi masya Allah, untuk membawa Ahoik ke penjara saja susahnya minta ampun. Kita tahu diskriminasi hukum yang diperagakan dengan telanjang oleh pemerintahan Jokowi adalah membawa Ahok ke Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Ahok tidak ditaruh menjalani hukuman penjara selama dua tahun di pejara Cipinang sampai masa tahanannya selesai. Ini diskriminasi, keangkuhan dan kekonyolan hukum pemerintahan Presiden Jokowi. Berhentikah dengan bersikap diskriminasi itu. Sialkah itu? Tidak juga. Pemerintahan Jokowi seolah-olah memberi pesan kepada bangsa ini bahwa “saya ini Presiden”. Saya yang memegang kendali penuh atas hukum. Terserah saya. Jadi jangan coba-coba main politik kasar dengan saya. Kalau anda kasar, bisa saja saya penjarakan. Saya tak peduli dengan ini dan itu. Kalau mau kritik silahkan kritik. Tetapi kalau saya tersinggung, anda bisa habis. Jangan macam-macam sama saya. Kira-kira begitulah pesan penting dibalik tuntutan Jaksa terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Jokowi Tidak Berkeringat Dr. Syahganda Nainggolan, salah satu pejuang terdepan melawan kekuasaan Orde Baru, yang pernah dijebloskan rezim Soeharto ke penjara ketika masih mahasiswa Intitut Teknologi Bandung (ITB) kini dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa. Waraskah itu? Ya kita hanya bisa mengasihani JPU itu, karena mendapat tugas “harus memastikan Dr. Syahganda Nainggolan dituntut seberat-beratnya”. Presiden Jokowi silahkan menuntut Dr. Syahganda dengan tuntutan yang seberat-beratnya. Itu dapat dipahami, karena Pak Jokowi tidak berkeringat sebagai pejuang melawan kesewenang-wenangan Orde Baru. Pak Jokowi itu hanya menjadi penikmat kekuasaan Orde Baru yang diperjuangan Dr. Syahganda dan teman-teman aktivis pro demokrasi lainnya, dimulai sejak Malari 1974 sampai Reformasi 1998. Perjuangan kekuasaan otoriter dari tahun 1974-1998 itu, tidak ada jejak keringat Pak Jokowi. Mungkin malah Pak Jokowi sedang menikamati kediktatoran Orde Baru. Misalnya, sedang menjadi karyawan di BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Yang ditempatkan di area Hutan Pinus Merkusi di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Atau lagi menjadi karyawan CV Roda Jati, milik paman Pak Jokowi, Pak Miyono. Mungkin Pak Jokowi lagi asyik-asyiknya menikmati dan membangun usaha mebel sendiri, CV Rakabu. JPU pasti tak berdaya untuk menuliskan lain dari yang sudah ditulis dalam tuntutan mereka. Coba anda bayangkan, DR. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong, yang menimbulkan keonaran. Tuduhan ini mengacu pada pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Tetapi lucu, aneh bin ajaib, kalau perbuatan Dr. Syahganda dinilai memiliki bobot merobohkan kekuasaan. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang dituduhkan kepada Dr. Syahganda itu, tidak ada satu kata pun yang bicara roboh-merobohkan kekuasaan. Tidak ada itu. Jangan menghayal dan ngigau tuan. Hanya orang ngawur, tolol, bodoh, dengki, picik, culas, sombong, angkuh saja yang mampu bilang ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Hanya orang-orang yang berpredikat hukum picisan, kerdil, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng saja yang kebetulan belajar ilmu hukum di pinggir jalan, got dan gorong-gorong yang berbau busuk saja yang bilang pasal 14 dan 15 itu ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 itu isinya begini, “barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”. Coba jelaskan, mana kata-kata yang bilang roboh-merobohkan kekuasaan wahai tuan-tuan JPU? Pasal 15 hanya berisi satu ayat. Isinya begini, “barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”. Keonaran Itu Harus Nyata Tuan JPU, coba tolong tuan jelaskan sekali lagi, mana kata-kata roboh-merobohkan kekuasaan dalam pasal ini? Konyol bangat dong tuan, kalau ada kata-kata dalam pasal-pasal itu dinyatakan mengandung maksud roboh-merobohkan kekuasaan. Sesat dan kerdil sekali model pemahaman hukum seperti tuan ini. Kalau boleh tau, kira-kira tuan belajar ilmu hukum di planet mana ya? Unsur delik dalam pasal-pasal itu, salah satunya adalah “menimbulkan keonaran” di kalangan rakyat. Keonaran itu, kalau tuan benar-benar belajar ilmu hukum pidana, harus nyata-nyata ada. Itu present. Bukan prediksi, mimpi dan hayalan dari tuan JPU. Onar itu harus nyata-nyata membahayakan. Bahasa kerennya itu “present danger” ada dan nyata di kehidupan rakyat. Masa harus diajarin lagi tuan JPU? Tidak bemaksud menggurui tuan JPU, cuma onar itu harus nyata-nyata merupakan akibat langsung, atau keadaan yang dihasilkan langsung dari berita bohong atau berlebihan. Pasal 14 ayat (1) itu benar-benar bersifat delik materil. Ini bukan delik formil tuan JPU. Delik materil itu adalah delik yang bertumpu pada akibat. Logikanya begini “kalaupun ada perbuatan, tetapi akibat dari perbuatan itu tidak timbul atau tidak terjadi, maka tidak ada itu pidana”. Begitu cara memahaminya tuan. Ah, masa seperti begitu harus diajarin lagi? Kaya tuan masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum. Jangan-jangan mahasiswa lebih capat faham dari tuan. Tuan JPU, gaduh itu sudah sifat bawaan, tabiat asli dari demokrasi. Kalau mau demokrasi, anda harus terima kegaduhan sebagai ciri yang melekat di dalamnya. Tetapi mengapa pasal 14 dan 15 itu memuat “keonaran” sebagai hal yang terlarang? Masa yang kaya gitu saja tuan JPU tidak paham? Kasian amat negara ini. Menggaji orang yang kemungkinan saja tak terlalu paham sejarah dan sebab-musabab dari lahirnya sebuah UU, yang melekat di dalamnya karakter dan ciri dasar demokrasi. Apa tuan JPU, dan mungkin juga hakim yang menyidangkan perkara ini tahu asbab al wurudz lahirnya pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu? Mengapa hal alamiah dalam demokrasi, dilarang oleh UU Nomor 1 Taun 1946? Mikir dong tuan-tuan. Pakai otak dikit dong tuan-tuan. Jangan dungu dong tuan-tuan. Belajar dan baca mengapa UU itu dibuat dong tuan-tuan. Jangan asal main bilang onar-onar saja dong tuan-tuan. Wahai banga Indonesia, ingatkah berita bahwa Presiden Jokowi pada tahun 2016 pernah mengatakan ada uang miliki masyarakat yang disimpan di luar negara sebesar “ Rp. 11.000 trilun”? Datanya sudah di kantong saya. Uangnya masyarakat yang mana? Dimana saja uang itu ditaruh? Bagaimana rinciannya? Sudah dibawa kembali ke Indonesia uang Rp. 11.000 triliun itu? Kalau sudah, lalu bagaimana pembukuannya? Mau tanya tuan JPU, ini kualifikasi berita benar, bohong atau berlebihan? Apapun itu, Jokowi tidak bisa dituntut dengan pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Mengapa? Karena tidak menimbulkan kegaduhan apa-apa. Keagaduhan akibat dari perbuatan itu tidak terjadi, sehingga secara pidana tidak bisa dituntut. Kalau menjadi Jaksa, harusnya pahami itu dong. Tan Malaka Yang Berbohong “Merdeka atau mati” itulah suasana bathin rakyat Indonesia pada waktu UU Nomor 1 Tahun 1946 itu dibentuk. Tahu kapan UU itu diundangkan? UU itu diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis 3 (tiga) hari setelah Kabinet Sjahrir I demisioner atau dua hari sebelum kabinet Sjahrir dua memulai proses pembentukannya. Baca, kenali dan pelajari itu tuan Jaksa. Jangan asal saja. Apa tuan JPU tahu kalau pemerintah Indonesia ketika itu tidak hanya menghadapi keculasan sekutu? Indonesia menghadapi NICA sebagai kepanjangan tangan Pemerintahan Belanda, plus KNIL pasukan bersenjatanya. NICA dan KNIL, dari ke hari, siang-malam memburu siapa saja yang bela kemerdekaan, lalu rakyat dicecekoki NICA dan KNIL dengan berita bohong itu? Apa jadinya kalau begitu? Apa tidak logis pemerintah saat itu membuat larangan yang tercantum dalam pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut? Jangan main bilang terbukti saja dong. Sekutu waktu itu tidak pernah mau menyebut “Jakarta.” NICA dan KNIL hanya mau menyebut “Batavia”. Pakai otak sedikit dong untuk mikir dan belajar tuan. Jangan kelihatan ooon gitu dong. Malu ah tauuuu. Kalau tuan JPU mau sedikit membaca lembaran sejarah kehadiran NICA dan KNIL, maka ditemukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Perdana Menteri Bung Sjahrir, diberitakan oleh Tan Malaka ke mana-mana di Jawa bahwa mereka bertiga telah ditawan Sekutu. Perbuatan Tan Malaka ini jelas bohong yang menimbulkan keonaran. Bohong yang seperti inilah yang dimakud oleh pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Bukan menyebarkan hasil analisis tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai hal bohong. Presiden Jokowi boleh saja membenci Dr. Syahganda yang terkenal sebagai aktifis kritis terhadap pemerintahan anda. Namun Presiden tidak boleh membiarkan dirinya ditandai rakyatnya dalam sejarah sebagai orang yang kerdil. Hanya karena rakyat negeri ini menemukan nuansa diskriminasi yang telanjang dalam penegakan hukum terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Hanya kebencian dan kekerdilan yang menjadi justifikasi terbesar untuk mengatakan perbuatan Dr. Syahganda Nainggolan itu salah. Hanya itu saja. Tidak ada yang lain. Secanggih apapun argumen dibalik alasan, tidak cukup untuk mengatakan Dr. Syahganda bersalah. Pak Presiden Jokowi, cukup sudah praktek-praktek diskrminasi hukum di negeri tercinta ini. Pak Presiden sudilah untuk berbesar hati, tampil megambil langkah terhebat menghentikan diskriminasi ini. Sebab di ujungnya, anda bakal dikenang sebagai orang hebat, top markotop dan mengagumkan.
Ketika Media Mainstream Menjadi Terorisme Masyarakat
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Terorisme menjadi isu paling hangat saat ini. Terutama setelah tanda kutip saya, terjadinya bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, serangan teroris di Markas Besar Polri, dan temuan bom buku di Melawai. Entah besok atau kapsan saja kemungkinan ada lagi temuan terhadap aksi-aksi teror yang dikutuk oleh manusia berakal sekat dan semua anak bangsa. Persoalan yang muncul adalah ketidakjelasan atas kasus yang sebenarnya terjadi. Ketidakjelasan ini bisa terjadi akibat ulah dari pemberitaan media yang tidak obyektif. Tidak melakukan investigatif atas fakta dari berbagai aspek di lapangan. Namun ikut-ikutan menghakimi dengan framing yang subyektif. Benarkah itu adalah bom bunuh diri? Atau mungkin karena ketidaktahuan terhadap barang bawaan yang sedang dibawa. Kemudian barang bawaan tersebut diledakkan melalui remote control oleh orang yang memegang kontrol dari jarak jauh? Benarkah itu wanita yang berbusana muslimah itu beraksi untuk membunuh para polisi di Mabes Polri? Jangan-jangan wanita tersebut sedang linglung, terhipnotis, dan terjebak dalam permainan airsoft gun? Benarkah pula buku teror intelijen bertuliskan “Majalah Sabili” yang ditemukan di kawasan Melawai tersebut diletakkan oleh teroris atau oleh intel, bahkan mungkin saja intel jadi-jadian ? Semua butuh investigasi yang obyektif dalam pemberitaan, investigative news. Tulisan lama dari saudara Usep Asroel tahun 2018 berjudul "Framing Media" sangat menarik untuk dibaca, ditelaah, dan diviralkan ulang kembali. Usep Asroel menulis tentang seorang laki-laki di Amerika melihat seekor harimau hendak menyerang wanita. Lak-laki tersebut bergerak menolong dan membunuh harimau itu. Esoknya media ramai-marai menulis dan memberitakan "Pahlawan Amerika menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Laki-laki itu meralat pemberitaan media, "saya bukan orang Amerika". Hari berikut media menulis, "pahlawan asing menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Besok lagi, laki-laki yang terlanjur dibilang pahlawan itu berkata, "sebenarnya saya seorang muslim". Hari betikutnya, Breaking News di media ramai. Isianya "seorang teroris menyerang harimau yang tak bersalah, karena sedang bermain dengan seorang wanita". Begitulah framing media yang bukan saja terjadi di Amerika, namun di Indonesia pun sama. Umat Islam yang dicitrakan radikalis, intoleran dan teroris. Pada dua kasus belakangan ini juga serupa. Bagaimana diedarkan seorang lelaki bersorban dan wanita berhijab berboncengan menuju Gereja dan meledakkan diri. Sebutan media adalah teroris bom bunuh diri. Dikait-kaitkan dengan organisasi teroris Jamaah Ansarul Daulah (JAD) yang tak jelas juntrung organisasinya seperti apa. Demikian pula dengan kasus wanita berjilbab yang menerobos Mabes Polri lalu mengacungkan pistol, lalu diembak mati. Media arus utama dengan cepat menyebut dan memberitakan kalau teroris menyerang Mabes Polri. Telah terjadi baku tembak antara polisi dengan teroris di Mabes Polri. Teroris berhasil ditembak mati oleh polisi. Kalau hanya membaca berita arus utama media, maka terkesan hebat sekali. Padahal dengan melihat tayangan CCTV yang sengaja dipublikasi di media sosial (medsos), wanita berjilbab tersebut seperti bingung. Bolak-balik tak jelas tujuannya. Media pada hari berikut menulis tentang teroris lonewolf. Bahaya teroris perorangan. Seram sekali framing media. Secara tidak langsung sebenarnya media telah ikut melakukan teror kepada publik tentang "pesan palsu" yang dikandung dari misi aksi-aksi tersebut. Media yang diduga telah terkooptasi oleh kekuasaan, pastinya sangat sulit untuk bersikap independen. Menjadi corong kepentingan yang bisa jadi jauh dari obyektivitas pemberitaan. Cantoh media yang objektif terjadi pada “Skandal Watergate”. Meskpun Gedung Putih dan Presiden Richard Nixon telah berkali-kali membantah dugaan keterlibatannya dengan penyadapan terhadap “Gedung Watergate”. Namun dua wartawan The Washinton Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein tetap gigih melakukan investigasi fakta lapangan. Sampai akhirnya menemukan keterlibatan Gedung Putih dan Presiden Nixon. Pucaknya Presiden Nixon mengundurkan diri sebelum voting pemakzulan oleh Senat Amerika. Begitulah tugas dan kewajiban media arus utama. Bukan hanya menerima dan menelan mentah-mentah informasi yang diterima dari satu pihak. Apa jadinya kalau Bob Woodward dan Carl Bernstein hanya menalan penjelasan dari pihak Gedung Putih dan Presiden Nixon? Karikatur bagus tiga anggota keluarga yang beredar di medsos. Sang Ayah bertopi haji bebaju ghamis membawa payung dan tasbih. Sementara istrinya berpakaian muslimah membawa bungkus berisi roti-roti. Anaknya membawa bola dan permen. Karikatur ini menimbulkan masalah atau salah paham bila tidak dilakukan infestigasi secara mendalam. Sebab bila dilihat dari layar kamera media, sang ayah payungnya bisa menjadi senjata laras panjang. Tasbihnya bisa menjadi peluru. Bungkus roti istrinya bisa menjadi bom dinamit yang melekat di tubuh. Adapun pada si anak yang membawa bola, bisa berubah menjadi bom bersumbu siap diledakkan, dengan pemantik yang asalnya dari permen. Wajah ceria dibalik kamera media berubah menjadi marah. Begitulah media mainstream membaca muslim selalu dalam wajah radikalis, intoleran dan teroris. Medianya kaum penjahat. Media yang seperti itu tak sadar bahwa telah menjadi bagian dari terorisme kepada masyarakat. Mungkin ada benarnya, “modern terrorism is media terrorism”? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ponpes Amanatul Ummah Terima Vaksin, Asal Jangan AstraZeneca!
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Meski akhirnya PWNU dan MUI Jawa Timur membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan untuk vaksinasi Covid-19, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah KH Asep Saifuddin Chalim terang-terangan menolak vaksin AstraZeneca. Ia melarang keras 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1000 lebih tenaga pengajar di lembaga pendidikannya disuntik vaksin Covid-19 dari Inggris tersebut. “Amanatul Ummah sangat mendukung vaksinasi, asalkan jangan vaksin AstraZeneca,” tegas Kiai Asep. Jika vaksin AstraZeneca haram mutlak bagi Amanatul Ummah. “Jadi, tidak ada halal mubah itu tidak ada,” katanya kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Sabtu (27/3/2021). Kiai Asep menyebut, karena sesuai fatwa MUI Pusat yang mengatakan vaksin AstraZeneca itu mengandung (tripsin) pankreas babi dan hukumnya haram. Menurut MUI pusat hukumnya haram, tapi diperbolehkan ketika darurat. “Namun, di Amanatul Ummah tidak yang ada darurat. Karena selama satu tahun di Amanatul Ummah ini tidak ada yang terkena Covid-19,” terangnya. Menurutnya, Ponpes Amanatul Ummah bisa bebas Covid-19 karena selama ini menerapkan protokol yang ketat. Setiap santri yang baru datang, wajib lolos pemeriksaan rapid test, foto toraks dan pemeriksaan darah lengkap. Kiai Asep juga mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban). Ia menilai fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran. MUI Jatim yakin tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk. Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya. Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin karena ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tak akan jadi vaksin. “Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” lanjut Kiai Asep. Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal. Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mati. Menurutnya, itu berbahaya sekali. “Itulah kenapa saya ngotot ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat Jatim bahkan Indonesia,” tegasnya. Ketika MUI Jatim hasil fatwanya tidak segera dicabut, dan MUI Pusat tidak memanggilnya, bahayanya ini menjadi pintu masuk lebar-lebar untuk semua produk (olahan) babi dihalalkan karena istihalah. “Karena semua produk babi pasti dengan Istihalah semua, tak mungkin gelondongan berupa babi,” terang Kiai Asep. Kiai Asep berharap pemerintah tak menggunakan vaksin AstraZeneca untuk vaksinasi Covid-19 di Jatim. Apalagi disuntikkan ke pesantren-pesantren. Sebab, ia berpendapat, kondisi saat ini tidaklah darurat. Masyarakat masih bisa menunggu pemerintah membeli vaksin yang dipastikan halal. Ia pun memberikan solusi ke pemerintah yang terlanjur membeli vaksin AstraZeneca dalam jumlah besar. “Solusinya agar digunakan di daerah-daerah nonmuslim yang tidak mempermasalahkan tubuhnya kemasukan unsur-unsur babi,” jelas Kiai Asep. Sementara untuk umat Muslim di Indonesia, Kiai Asep berharap pemerintah menggunakan vaksin jenis lain yang dipastikan halal. Terhadap para ulama Jatim yang terlanjut divaksin AstraZeneca, dia menyarankan agar memperbanyak istighfar. Harus mendatangkan lagi selain vaksin AstraZeneca. Masih banyak vaksin lain. Menunggu tidak masalah, tiga bulan, setahun tidak akan mati. Bukan darurat kalau seperti itu. Yang terlanjur divaksin? Istighfar saja yang banyak. Ia menjelaskan, kandungan babi dalam vaksin AstraZeneca akan berdampak negatif jika disuntikkan ke umat Islam. Muslim yang mengonsumsi zat-zat dari babi akan sulit diterima doanya oleh Allah SWT. Selain itu, proses kematian mereka saat sekarat juga akan sulit. Mohon maaf, banyak orang yang mengatakan Zionis dan Orientalis ingin makanan yang dikonsumsi orang-orang mukmin mengandung babi agar doanya tidak dikabulkan oleh Allah SWT. “Kan kasihan mereka adalah bangsa Indonesia, sebagai potensi Indonesia. Mohon kalimat saya ini didengar oleh Gubernur, Presiden oleh siapa saja. Kemudian MUI Pusat berbuat,” pesan Kiai Asep. Gumpal Darah Kalau Kiai Asep menolak vaksin AstraZeneca karena haram, lain halnya beberapa negara di Eropa yang menghentikan vaksin AstraZeneca karena terjadi kematian akibat penggumpalan darah. Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB menulis 7 kematian akibat penggumpalan darah setelah vaksinasi AstraZeneca. Dari 18 juta orang yang sudah divaksinasi dengan produk AstraZeneca di UK, ditemukan ada 30 orang yang mengalami masalah dengan penggumpalan darah yang tidak biasa. Data dari The Medicines and Helathcare Produsts Regulatory Agency (MHRA), BPOM UK menunjukkan: Ada 22 kasus adalah CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis), yaitu munculnya gumpalan darah di otak. Kondisi ini disertai dengan rendahnya kadar platelet (trombosit). Dalam keadaan normal kadar platelet yang rendah justru akan memicu terjadinya pendarahan, bukan terbentulnya gumpalan darah. Ada 8 lainnya mengalami penggumpalan darah (terjadi) bukan di otak, juga disertai dengan kadar platelet yang rendah. Dari 30 orang itu akhirnya dilaporkan 7 orang meninggal. Tapi, belum diketahui dengan pasti apakah ini suatu kebetulan atau memang efek samping dari vaksin itu. Namun, negara-negara lain mulai berhati-hati: Jerman, Perancis dan Belanda mulai membatasi penggunaan vaksin ini hanya untuk orang tua. Dalam penelitian dan pengembangan produknya AstraZeneca bekerja sama dengan University of Oxford. Di Eropa kini tengah melakukan penelitian atas: Sifat penggumpalan darah yang tidak biasa, karena terjadi dalam keadaan kadar platelet yang rendah, yang harusnya justru menyebabkan pendarahan; Adanya antibodi langka yang menyebabkan gangguan pembekuan darah. Vaksin Pfizer juga tengah diteliti karena dari 10 juta orang yang telah divaksinasi ditemukan 2 yang mengalami CVST setelah vaksinasi. Namun tidak disertai dengan kadar platelet yang rendah sebagaimana kasus AstraZeneca. Kejadian penggumpalan darah sendiri masih menjadi tanda tanya: berapa sering sebenarnya dalam keadaan normal, tanpa vaksinasi. Diestimasikan bahwa dari 1 juta orang akan muncul 2 hingga 16 kasus dalam setahun. Dan infeksi Covid-19 berkaitan dengan penggumpalan darah yang abnormal, sehingga angka kejadian per sejuta orang ini tentu akan meningkat. Dari Jerman dilaporkan adanya 31 CVST dan 9 kematian setelah vaksinasi dilakukan pada 2,7 juta orang. Sebagian besarnya adalah usia muda atau wanita setengah baya. Berbagai analisa telah dicoba dilakukan terhadap masalah ini. Seandainya pun kematian itu berkaitan dengan vaksin, maka perlu dilakukan perbandingan sebagai berikut berdasarkan data di UK: dari 2,5 juta orang: 🥕1 kematian akibat vaksinasi. 🥕2.500 orang usia 40 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 🥕50.000 orang usia 60 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 Maka tetap saja manfaat vaksin jauh lebih besar dibandingkan risikonya. Rasio manfaat dan risiko vaksin akan terus dievaluasi mengingat program vaksinasi di Eropa mulai bergeser dari usia lanjut ke orang-orang muda, yang memiliki risiko kematian akibat infeksi lebih rendah. Sementara, seorang medical biologist mengatakan: adalah hal “biasa” jika secara tak sengaja ditemukan kluster efek samping yang langka. Namun, jika kluster itu ditemukan pada beberapa populasi, misal: kasus AstraZeneca ini di Jerman dan Inggris, maka sulit mengatakan bahwa ini kejadian acak. Jadi lebih cenderung dikatakan ada hubungan. Namun, tidak seorang pun berani mengambil kesimpulan bahwa keduanya berhubungan: kematian akibat penggumpalan darah dan vaksin AstraZeneca. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
FNN Lahir, Bertahan Membela Keadilan dan Kebenaran
by Sutoyo Abadi Jogjakarta, FNN - Kita bersyukur lahirnya FNN yang mampu memberikan informasi dan pencerahan komprehensif info selalu hasil cross chek dari berbagai sumber dan analisa tajam yang objektif atas kejadian yang sebenarnya. Saat ini banyak media hanya menyiarkan informasi yang berasal dari satu sumber. Wartawan mulai takut untuk terjun ke lapangan dan menggali serta memperkaya informasinya lebih lanjut. Analisa, alur kejadian, dan struktur pemberitaan tampak kehilangan spirit jurnalisme benar dan baku. Tidak bermaksud menghakimi bahwa jurnalis Indonesia makin tumpul cara berpikirnya. Saya hanya menangkap bahwa jurnalis Indonesia makin tertekan. Makin harus banyak berkompromi, dan makin tidak bebas mengeksplorasi peristiwa. Lebih berbahaya info hasil olahan buzzer muncul dengan bebagai ragam corak dan versinya. Buzzer beda dengan jurnalis. Buzzer jelas bukan jurnalis. Buzzer hanya menulis, berteriak, berdasarkan perintah kakak pembina atau majikannya. Peristiwa apa harus disikapi bagaimana? Sudah di-setting secara terstruktur dan sistematis. Contoh kasus penembakan di Mabes Polri. Info yang spontan kita terima kering dari info yang dalam. Misalnya, dengan siapa perempuan itu datang? Siapa yang mengantar? Mengapa KTP tidak ditinggal di pos depan pintu masuk? Mengapa aparat tidak menangkapnya? Siapa keluarganya? Mengapa dia baru membuat Instagram sehari sebelumnya? Apakah dia melek digital? Sehingga baru bisa membuat Instagram dan lain-lain? Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran (Kovach & Rosenthiel, 2002). Itu bisa dilakukan dengan menelusuri jejak sebelum dan sesudah insiden terjadi. Karya jurnalistik tak cukup hanya dengan menjawab 5W+1H. Karena siaran pers polisi isinya sudah memenuhi syarat itu. Hadirnya FNN saat ini seperti menjadi OASE satu-satunya sumber terbaik, akurasi berita dan informasinya menjadi rujukan masyarakat. Memang ada konsekuensinya kalau istana tiba-tiba marah pasti akan muncul rekayasa memaksa FNN harus membubarkan diri. FNN bukan hanya menyampaikan informasi atas setiap peristiwa, tetapi hadirnya Bung Hersubeno Arif berwawancara khusus dengan Bung Rocky Gerung, menjadi salah satu media pencerahan yang luar biasa elegan, faktual, dan terpercaya mendasari diri pada analisa dan kajian akal sehat. Selamat berjuang : Bung Hersubeno Arif, Bung Rocky Gerung, Bung Said Didu, Bung Edy Mulyadi dan kawan-kawan... Doa kami menyertai menyertai anda semua. Selamat berjuang. Perjuangan tuan-tuan yang penuh resiko tidak akan sia-sia. Aamiin Ya Robbal Alamin. End. Penulis adalah Sekretaris KAMI se-Jawa.
April Mop
APRIL Mop dirayakan setiap tanggal 1 April. April Mop tahun ini jatuh pada Kamis (1/4/2021). April Mop adalah hari di mana Anda bebas untuk mengerjai teman, kerabat, keluarga, kekasih, dan orang-orang terdekat. Kali ini siapa yang dikerjai dan siapa yang mengerjai. Yang dikerjai adalah Bank Indonesia dan Pemerintah, yang mengerjai adalah pasar. Loh kok, bagaimana bisa? Ihwal ini dapat dilihat pada tiga kinerja Bank Indoneisa dan Pemerintah, yakni cadangan devisa, keuangan dan investasi. Begini penjelasannya. Meski cadangan devisa meningkat pada Februari 2021, namun ke depan berpotensi tergerus karena dipicu kecenderungan keluarnya aliran modal dari dalam negeri (capital outflow). Hal ini perlu diwaspadai mengingat normalisasi imbal hasil obligasi dan suku bunga acuan global tengah terjadi di tengah tren suku bunga domestik yang rendah. BI melaporkan, cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2021 sebesar US$138,8 miliar (Rp1.988 triliun), jumlah itu cukup untuk 9,7 bulan impor. Jumlah ini meningkat dari posisi pada akhir Januari 2021 yang sebesar USS$138 miliar (Rp 1.977 triliun). Namun hanya dalam waktu 9 hari terjadi pelarian modal yang signifikan, sehingga cadangan devisa anjlog tersisa hanya US$118 miliar. Karena itu BI sedang pusing tujuh keliling, memutar otak untuk menggenjot kembali cadangan devisa. Kedua, soal keuangan negara yang menonjol adalah cicilan utang pokok dan bunga dari China yang konon harus dipenuhi sebesar Rp730 triliun pada bulan April ini. Cilakanya Pemerintah harus menyiapkan dana tunai untuk kebutuhan membayar utang tersebut. Sepanjang 2020 China masih memberi toleransi pada Pemerintah Indonesia karena adanya Covid-19. Tapi pada April 2021 ini China tidak ada toleransi mengingat jika tidak dibayar maka vaksin asal China taruhannya. Ketiga, yang harusnya menjadi pemanis kinerja ekonomi adalah soal investasi. Khususnya rencana investasi produsen mobil buatan AS Tesla. Padahal pada November 2020 Pemerintah Jokowi sudah sangat percaya diri bahwa Tesla akan berinvestasi di Indonesia, bahkan para pejabat Indonesia sudah empat kali berkunjung ke markas Tesla di Amerika. Oleh karena faktor non teknis, kabarnya terkait take and give, akhirnya Tesla memutuskan berinvestasi ke India, keputusan ini disebabkan tingginya ketidakpastian. Tesla adalah potensi energy storage system (ESS) yang merupakan bagian dari proyek rantai pasok ekosistem industri baterai di Indonesia. Dalam potensi ESS ini, Tesla menawarkan solusi teknologi yang dapat menggantikan pembangkit listrik peaker. Apalagi Indonesia kaya akan nikel sebagai bahan baku baterai. Praktis, tiga masalah tersebut di atas--cadangan devisa, keuangan dan investasi--telah berubah menjadi April Mop. Pukulan telak atas kinerja Bank Indonesia maupun Pemerintah dengan pelaku utamanya adalah pasar. Semoga segera teratasi, atau justru makin menjadi benang kusut?
Ketika Negara Dikuasai Kaum Pandir
REZIM ini menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan uang hanya untuk membunuh aktivitas Habib Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam. Entah apa yang merasukinya, rezim tampaknya yakin mampu mewujudkannya karena merasa negara ini kaya raya tanpa batas. HRS dan FPI dikesankan sebagai musuh negara yang membahayakan. Padahal ia cuma dipaksa melanggar protokol kesehatan. Ada peristiwa yang luput dari perhatian publik yakni eksepsi HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur Jumat, 19 Maret 2021. Maklum, pembacaan eksepsi itu sengaja tidak disiarkan oleh pengadilan. Satu tindakan yang tidak adil dalam proses pengadilan HRS, sementara dalam sesi sidang yang lain semua disiarkan melalui media massa. Eksepsi itu berjudul "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Tegakkan Keadilan". Ini bukan eksepsi HRS semata, tetapi ini eksepsi seluruh rakyat Indonesia, sebab sebagian isinya adalah menyuarakan perjuangan melawan kezaliman. Tidak hanya soal kerumunan. Di situ HRS juga membongkar adanya operasi intelijen berskala besar yang targetnya adalah menguasai NKRI. Ancaman yang bakal menimpa seluruh rakyat Indonesia, tak hanya HRS. Eksepsi HRS sebagian lainnya berisi soal kerumunan karena memang dakwaan jaksa adalah soal kerumunan. Ada 10 poin pelanggaran kerumunan yang dituduhkan oleh Jaksa dalam sidang pertama dan langsung dimentahkan oleh eksepsi. Contoh paragraf eksepsi yang tidak berisi soal kerumunan dan menyuarakan visi perjuangan melawan kezaliman rezim, terdapat pada alinea ini: "Habib Rizieq Shihab dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan berbagai cara agar para antek 'aseng' dan asing tetap nyaman menjajah dan menjarah harta kekayaan NKRI. Oleh karena itu, bagi pribumi Indonesia yang sadar akan hal ini, gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya. Gerakan ini muncul setelah melihat aset-aset strategis NKRI telah jatuh kembali ke tangan para VOC Gaya Baru. VOC yang direpresentasikan oleh kaum oligarki dan konglomet picik, licik, busuk dan tamak yang bekerjasama dengan rezim zalim, dungu, dan pandir di NKRI." (Eksepsi dalam sidang di PN Jaktim, Jakarta Timur, Jumat, 19/3/2021). Bila dilihat dari apa yang diperjuangkan oleh Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir Sukarno seperti riwayat yang kami kutipkan di atas, jelas bahwa kriminalisasi Habib Rizieq Shihab dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar (OIBB) oleh rezim zalim, dungu, dan pandir. Operasi intelijen berskala besar ini nelewati beberapa tahapan. Pertama, operasi black propaganda terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kedua, operasi kontra narasi terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Ketiga, operasi pencegahan kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Walau gagal mencegah Habib Rizieq Shihab pulang, tetapi berhasil menghambat dan mengganggu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 2,5 tahun baru Habib Rizieq Shihab bisa pulang. Keempat, operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama di berbagai provinsi untuk menolak keberadaan Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kelima, operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yang bukan tupoksinya. Keenam, operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekadar untuk membunyikan sirene di Petamburan. Ketujuh, operasi pembantaian pengawal Habib Rizieq Shihab. Kedelapan, operasi surveillance dan penjejakan terhadap Habib Rizieq Shihab sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari. Bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari operasi intelijen berskala besar adalah persidangan tidak dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan. Pasal-pasal yang didakwakan mengarah pada pasal-pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan Pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal-pasal selundupan lainnya. Persidangan dilakukan melalui sidang elektronik. Padahal tidak ada satu pun UU yang membolehkan. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya. Penambahan pasal-pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman. Pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar Habib Rizieq Shihab bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki. Pandir radikal itu telah menguasai bangsa ini. Mereka tak mampu berpikir jernih. Kebencian dan permusuhan terus digelorakan untuk menutupi kepandirannya. (SWS)
Bom Bunuh Diri, Teror, dan Peristiwa Yang Serba Kebetulan
INDONESIA dalam sepekan terakhir diguncang berbagai peristiwa mengejutkan. Ahad (28/3) sebuah aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral, Makassar. Dua orang pelaku bom bunuh diri tewas. 20 orang jemaat gereja terluka. Belakangan diketahui pelaku adalah pasangan suami istri. Setelah ledakan di Makassar, polisi melakukan sejumlah penangkapan di Bekasi dan Jakarta. Polisi mengklaim menemukan 100 bom berdaya ledak tinggi. Uniknya di beberapa lokasi penangkapan, polisi mengaku menemukan poster Habib Rizieq Shihab, pakaian dengan atribut, dan kartu anggota FPI. Polisi juga menyebutkan bahwa dua diantara terduga teroris sempat hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tempat persidangan Habib Rizieq Shihab. Saat kehebohan di Makassar belum reda, tiba-tiba kita dikejutkan dengan peristiwa yang oleh hampir semua media mainstream disebutkan sebagai “Mabes Polri Diserang Teroris.” “Terjadi tembak-tembak menembak, teroris ditembak mati,” begitu media menggambarkan peristiwa yang terjadi Rabu (31/3). Video “aksi teroris” di Mabes Polri segera beredar di dunia maya. Tampaknya video itu berasal dari CCTV di Mabes Polri. Berkat CCTV inilah publik bisa mendapat gambaran sesungguhnya. Dari video tersebut publik jadi bertanya-tanya. Benarkah Mabes Polri diserang teroris? Di dalam video itu yang terlihat seorang wanita seperti berjalan kebingungan. Sesekali dia seperti menunjukkan gerakan orang menembak. Tak lama kemudian kita bisa menyaksikan dia roboh. Dari suara di dalam video kita mengetahui, wanita itu sudah ditembak mati. Reaksi netizen hampir seragam. Mereka mempertanyakan narasi yang coba dibangun oleh media, bahwa Mabes Polri diserang teroris. Terjadi tembak-menembak. Penjelasan dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa pelaku adalah teroris lone wolf beridiologi ISIS, tidak dipercaya publik. Apalagi kemudian tersebar sebuah surat yang disebut sebagai wasiat ditulis oleh Zakiah Aini. Begitu nama perempuan nahas yang ditembak mati itu. Perihal surat inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan. Netizen menemukan banyak kemiripan dengan “surat wasiat” yang ditulis oleh pelaku bom bunuh diri di Makassar. Bom di Makassar, dan aksi teroris bingung di Mabes Polri ini, secara kebetulan muncul bersamaan dengan persidangan Habib Rizieq. Secara kebetulan pula, pada saat itu Mabes Polri sedang kelimpungan menjelaskan kepada publik soal pelaku penembakan enam laskar FPI. Polisi sebelumnya mengaku akan menuntaskan kasus penembakan itu. Tiga orang polisi dinyatakan menjadi tersangka. Siapa saja mereka? Tidak pernah dijelaskan. Namun melalui akun anonim dan juga pemberitaan media, nama ketiganya beredar. Polisi rendahan dengan pangkat Brigadir. Tidak ada satupun yang berpangkat perwira. Padahal dari investigasi Komnas HAM disebutkan ada sebuah mobil Land Cruiser di lokasi KM-50. Tidak mungkin seorang polisi berpangkat Brigadir mengendarai mobil mewah tersebut. Jelas dia seorang perwira. Paling jelek perwira menengah, atau bahkan perwira tinggi. Tiba-tiba saja Mabes Polri mengumumkan salah satu pelaku penembakan tewas karena kecelakaan. Ihwal pengumuman tewasnya satu pelaku penembakan ini sangat mencurigakan. Namanya sama sekali tidak pernah disebut sebelumnya. Hal lain yang kian mencurigakan, warga, bahkan Kapolsek Setu, Tangerang Selatan yang disebut sebagai lokasi kejadian, mengaku tidak tahu menahu. Agak sulit menghindarkan persepsi, bahwa semua rangkaian kejadian secara kebetulan berhubungan. Banyak yang curiga hal itu merupakan pengalihan isu. Ada juga dugaan, semua rangkaian peristiwa dengan tujuan menjadikan Habib Rizieq sebagai target. Pengamat teroris Sydney Jones misalnya, secara terbuka menyatakan, sangat tampak penguasa ingin menjadikan FPI sebagai teroris. Dalam bahasa Jones, polisi sangat obsesif. Berbagai kejanggalan, keanehan, serta serba kebetulan ini harus dijelaskan kepada publik. Publik sudah telanjur tidak percaya kepada pemerintah dan apapun informasi yang disampaikan polisi. Public distrust semacam ini sangat berbahaya. Perlu kerja keras, dan sikap tulus untuk merebut kembali kepercayaan publik. Itu kalau pemerintah masih menganggap perlu. Lain halnya kalau pemerintah menganggap semua itu tidak penting. Tidak perlu. Toh mereka sekarang yang berkuasa. Rakyat mau apa? end