ALL CATEGORY

Sisyphus dan Pemimpin Pembohong

by Sutoyo Abadi Jogjakarta, FNN - Kisah legenda Sisyphus atau sisifus dalam mitologi Yunani menjadi sebuah pembelajaran akan kesia-siaan, sesuatu yang tak masuk akal, mustahil atau disebut absurdity. Sisyphus bahkan telah dipandang sebagai simbol dari paham absurdisme, ini adalah paham dimana usaha untuk mencari arti dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan, kesia-siaan, perbuatannya selalu konyol absurd., Sudah konyol perbuatan licik, pembohongan dan penipu. Akhirnya dewa menyeret paksa Sisyphus dan Zeus yang muak dengan trik dan kelicikannya memberikan ia hukuman, karena turus mengulangi tugas yang sia-sia, dimana ia harus mendorong bongkahan batu besar ke puncak gunung. Namun, begitu dia mencapai puncak bukit, batu besar itu akan berguling dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Mitologi Sisyphus, memberi pesan / mengajarkan tentang manusia bergumul dengan absurdisme. "Oleh Bung Rocky Gerung saat berceloteh bersama Bung Harsubeno Arif, ditempelkan ke Om Jokowi dengan apik dan menarik yang selalu berbuat konyol, negara dikelola dengan absurd - management gorong gorong, licik dan statemennya selalu bersayap - ujungnya menipu" Jokowi bukan hanya absurd karena super lemah kemampuan akalnya dalam mengelola negara berpotensi membawa kerusakan di mana-mana. Kerusakan yang nyata dihilangkan atau dimatikannya kritik dr masyarakat (under current) dan oposisi, negara berubah menjadi otoriter dan represif. Presiden atau istana kehilangan kemampuan memproduksi pikiran yang sehat sekalipun hanya untuk menyapa rakyat. Pengalaman sebagai bakul mebel apalannya hanya transaksi, gawatnya yang ditransaksikan adalah kedaulatan negara, stempel kesan masyarakat hanya berperan sebagai boneka sudah sulit untuk disetip (dihapus). Seperti tidak tahu apa apa dalam mengelola negara ini, yang terjadi reaksi kasar terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan oligarki. Narasi ini sebenarnya konyol juga di karena sudah menjadi menu setiap hari. Hanya karena Jokowi dianalogkan dengan kutukan Sisiphus menjadi benar - dari kutukan ini negara terus berjalan di lorong-lorong gelap. Hanya Rocky Gerung juga pernah mengatakan cuaca paling gelap adalah menjelang fajar. Maknanya dari gelap itu akan muncul matahari dari ufuk timur menghalau memusnahkan suasana gelap. Sekalipun pintunya hanya lahirnya "People power atau Revolusi". Kapan ia muncul tidak bisa di paksa dan tidak akan bisa di mundurkan. End. Penulis adalah Sekretaris KAMI se-Jateng

Mungkinkah Jokowi Lengser Sebelum Tàhun 2024?

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Belakangan ini berbagai kalangan masyarakat sudah banyak yang kecewa dan menginginkan adanya perubahan di negeri ini. Kekecewaan itu terjadi karena diantara mereka banyak yang menderita akibat krisis ekonomi. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada pula yang jatuh miskin. Sebelum Pandemi Covid19 melanda Indonesia bulan Maret 2020, sebenarnya negara kita sudah dilanda krisis ekonomi. Itu antara lain ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, selain itu angka kemiskinan dan pengangguran juga meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya. BPS juga mencatat sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran di tàhun 2020 atau naik 14,28% dibandingkan tàhun sebelumnya. Indikator makro ekonomi juga sangat tidak menggembirakan. Mulai dari utang yang terus membengkak hingga melebarnya defisit APBN. Kini utang Indonesia sudah mendekati angka Rp 7.000 triliun. Sementara pertumbuhan ekonomi yang meroket hingga 7 persen per tàhun, hanya tinggal cerita lama Jokowi sangat mengumbar janjinya pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Selain persoalan ekonomi, kita juga banyak melihat praktek ketidakadilan yang dipertontonkan oleh rezim penguasa saat ini. Praktek korupsi terjadi hampir di semua lapisan elite kekuasaan baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Penjarahan duit negara ini terjadi d itengah kekuasaan yang dikendalikan oleh oligarki yakni para konglomerat yang memiliki aset dan kekayaan yang sangat besar. Para konglomerat hitam ini selain mampu mengendalikan penguasa juga bisa mempengaruhi sejumlah partai politik pro pemerintah. Sehingga tidak heran kalau produk undang-undang yang dihasilkan DPR menguntungkan para konglomerat hitam seperti diantaranya UU tentang Minerba yang telah disahkan parlemen beberapa waktu lalu. Selain persoalan korupsi, masyarakat juga menyaksikan praktek dinasti politik yang diperlihatkan secara kasat mata oleh pemimpin negeri ini. Anak dan mantu Presiden Jokowi yang kini menjadi Walikota di Solo dan Medan, merupakan contoh konkret dinasti politik itu. Dinasti politik d bawah kendali oligarki Lengkap sudah kondisi politik Indonesia saat ini, yakni sebuah kekuasaan yang didasarkan pada dinasti politik dan dikendalikan oleh oligarki. Itulah potret buram wajah politik Indonesia terkini. Disatu sisi penguasa bisa berbuat semaunya, di sisi lain kehidupan masyarakat semakin menderita. Pada saat yang sama, para tokoh masyarakat yang kritis dan para ulama yang lantang menentang kedzoliman di negeri ini dipersekusi, diadili dan dipenjarakan oleh rezim penguasa. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan ngobrol santai dengan Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, mantan Menko Perekonomian yang juga salah satu tokoh pergerakan nasional. Kata dia, krisis ekonomi bisa menjadi pemicu jatuhnya seorang pemimpin. Kemudian Rizal Ramli, mengungkapkan rangkaian peristiwa dan kronologi kejatuhan Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada bulan Mei 1998. Sampai April 1998, semua orang di Indonesia percaya bahwa Pak Harto tidak mungkin jatuh, beliau sangat kuat sekali dan baru terpilih kembali sebagai Presiden pada 11 Maret 1998. Ketika itu, hampir semua kalangan baik para pengusaha, kalangan akademisi , para tokoh dan pimpinan media masa, tetap percaya bahwa Pak Harto sangat kuat dan tidak mungkin ada perubahan. "Tetapi pada waktu itu mereka lupa bahwa tàhun 1998 itu ada krisis ekonomi. Ditambah lagi ada perubahan peta politik di Amerika Serikat, dimana Presiden AS Bill Clinton waktu itu tidak mau Pak Harto jadi presiden lagi," ungkap Rizal Ramli yang mengaku terlibat dalam proses politik di tàhun 1998. Krisis ekonomi tàhun 1998 merupakan lanjutan dari krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997, yang ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, bangkrutnya sejumlah perbankan nasional akibat kesulitan likuiditas, dan gelombang PHK di sejumlah perusahaan swasta yang berhenti mendadak karena terhentinya aliran pinjaman kredit dari dunia perbankan. Selain karena faktor ekonomi, para tokoh pergerakan Indonesia juga sudah bosen dengan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Dengan kata lain, semua pihak waktu itu menginginkan perubahan. Dan hanya butuh waktu 22 hari saja untuk bisa menurunkan Soeharto dari kursi Presiden RI. Awal pergerakan dimulai pada 1 Mei 1998, dimana waktu itu pemerintah menaikkan BBM 74%, dan minyak tanah 44%. Kenaikan BBM tersebut merupakan saran dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk dijalankan pemerintah Indonesia. Sejak dihantam krismon tahun 1997, pemerintah Indonesia menandatangi Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Penandatangan LoI dilakukan Presiden Soeharto waktu itu dengan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus. Momen bersejarah ini ramai menjadi perbincangan publik karena saat Soeharto membubuhkan tandatangan di LoI, Michel Camdessus berdiri sambil berlipat tangan. Camdessus terlihat mengawasi Presiden Soeharto meneken surat berisi janji mereformasi ekonomi atas desakan IMF. LoI merupakan matriks rencana aksi yang bersifat mengikat. Isi LoI diantaranya menghapuskan program mobil nasional dan melumatkan monopoli cengkeh. Sebelum BBM dinaikkan, jelas Rizal Ramli, dirinya pernah diminta pendapatnya oleh Direktur Pelaksana IMF wilayah Asia Dr Hubert Neiss. Rizal menyatakan momentum kenaikan BBM tidak tepat karena banyak masyarakat yang menderita akibat krismon. Namun, IMF tidak mau tahu dan tetap meminta pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM. Betul saja, sehari setelah kenaikan BBM terjadi gelombang aksi mahasiswa yang diawali dari Kampus Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar. Kemudian diikuti oleh para mahasiswa Unhas, seminggu kemudian para mahasiswa di Medan rusuh. Gelombang aksi mahasiswa ini dengan cepat menjalar ke Solo yang diwarnai kerusuhan dan kebakaran di sejumlah gedung dan toko-toko disana. Aksi demo mahasiswa dan kerusuhan kemudian melanda Jakarta. Akhirnya Soeharto jatuh dan hanya butuh waktu 22 hari. "Waktu itu tidak ada yang menduga Presiden Soeharto yang sangat kuat sekali bisa jatuh dalam waktu 22 hari," ungkap Rizal Ramli. Nah, kalau melihat konteks sekarang, krisis ekonomi lebih parah ketimbang tàhun 1998. Tingkat kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat kita hari ini jauh lebih susah dan akan lebih berat dibandingkan krisis ekonomi 1998. Oleh karena itu, Rizal Ramli merasa optimis akan terjadi perubahan sebelum tàhun 2024. Ketika ditanya lebih rinci tentang perubahan dan proses pergantian Presiden Jokowi, Rizal Ramli hanya menjelaskan secara off the record. Semoga harapan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini bisa segera terwujud. * Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Masih Soal Ancaman Politik Uang

By Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Saya mulai tulisan ini dengan mengutip penggalan catatan PBNU dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018, ikhwal residu demokrasi bahwa “mekanisme demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak, yaitu politik uang dan politik identitas. Jika politik uang merusak legitimasi, politik identitas merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan.” Pada saat yang sama, seorang politikus senior PDIP dalam sebuah dialog di TV One menyatakan dampak negatif politik uang bersifat terbatas dan jangka pendek. Sedangkan politik identitas menyebabkan kerusakan yang sangat luas dalam jangka panjang. Baik PBNU maupun politikus PDIP cenderung menyederhanakan dampak negatif politik uang. Sebaliknya, melebih lebihkan dan “mendemonisasi” politik identitas. Saya menduga pernyataan tersebut terlontar karena tidak memahami seluk beluk politik uang dengan segala daya rusaknya. Mungkin juga terselip agenda stigmatisasi Islam politik. Di lain pihak, menyepelekan praktek kotor politik transaksional berbasis pertukaran materi dan jasa, yang membusuki dunia politik Indonesia. Pun, politik gentong babi (pork-barrel politics) dianggap biasa, di mana para politikus menghambur-hamburkan uang negara demi dukungan politik, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Gagal paham tentang daya rusak politik uang yang berhimpitan dengan fobia Islam politik, juga merasuki kalangan dengan sebutan pengamat politik, yang sebagiannya merangkap sebagai “industrialis survei” atau buzzerp kekuasaan. Bagi mereka, ancaman politik identitas lebih berbahaya daripada politik uang, karena tiga sebab. Pertama, politik uang bersifat temporal, hanya berlaku pada waktu tertentu. Kedua, malpraktik politik ini bersifat lokal, terjadi di daerah pemilihan saja. Terakhir, menurut mereka, berbeda dari politik identitas, politik uang tidak memicu keterbelahan di tengah masyarakat. Tentu saja, pendapat tersebut sangat menyesatkan, jauh dari kaidah ilmiah dan fakta. Minus basis teoritik, dan bertolak belakang dengan begitu banyak hasil riset tentang politik elektoral, khususnya politik uang, di berbagai belahan dunia. Sebagaimana saya kutip dalam tulisan bertajuk “Politik uang memicu ketegangan politik identitas” (fnn.co.id, 27 Maret 2021). Laporan Pembangunan Dunia 2017 oleh World Bank mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah. Amerika Serikat, yang dijuluki “kampiun demokrasi”, tidak luput dari hantaman politik uang. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi. Bahkan menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di AS, akhir akhir ini, disebut sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari demokrasi one-dollar one-vote. Tidak lepas dari peran negatif komersialisasi politik ini, Noam Chomsky dan Francis Fukuyama, dua pemikir terkemuka rekan senegara Stiglitz, mendakwa negara mereka sebagai negara gagal. Dalam buku “Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia” (2019), Edward Aspinall dan Ward Berencshot dari the Australian National University (ANU) mengonfirmasi bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, mulai dari kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial yang persisten, perencanaan tata ruang yang buruk hingga layanan publik yang tidak memadai, dan korupsi. Memang, sejak reformasi bergulir, terutama pasca pemilu langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Naik tiga kali lipat, dari sekitar 11 persen pada pemilu 2009 menjadi sepertiga pemilih, masing-masing, pada pemilu 2014 dan 2019. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, seperti terungkap dalam riset politik Aspinall dan Berenschot di atas. Dan daftar masalah selama enam tahun terakhir masih panjang, termasuk demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan dan otoritarianisme, menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta meluasnya friksi dan ketegangan sosial. Mengapa politik uang sangat berbahaya? Politik uang mendatangkan ancaman serius terhadap berbagai sektor pembangunan melalui berbagai jalur, langsung maupun tidak langsung, dengan dampak negatif sistemik dan luas. Secara ringkas, berikut penjelasan logis dibalik ancaman politik uang. Politik uang merupakan wujud ketimpangan politik antara rakyat dan elit politik. Rakyat diposisikan tidak berdaya (powerless), dengan pilihan yang nyaris tidak ada, kecuali mempertukarkan aspirasi dan hak politik mereka dengan imbalan materi atau jasa. Ketimpangan politik, yang saling mempengaruhi secara negatif dengan ketimpangan ekonomi (lihat Joseph Stiglitz dalam the Great Divide 2015, Amartya Sen dalam Development as Freedom 1999), menghambat mobilitas sosial, terutama masyarakat lapisan bawah. Pada gilirannya, mobilitas sosial yang rendah memicu makin parahnya ketimpangan ekonomi dan politik, seperti lingkaran setan. Politik uang menegasikan kewajiban negara untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang rasional, inklusif dan responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin dan marjinal. Dengan kata lain, penyelenggara negara merasa lepas dari tanggungjawab untuk merespon aspirasi dan kepentingan rakyat karena telah dipertukarkan dengan materi/jasa. Pada saat yang sama, pertukaran hak politik dengan materi/jasa menyebabkan rakyat merasa tidak berhak ikut serta mewarnai dan memastikan kebijakan/program pembangunan berpihak pada kepentingan mereka. Dalam hal ini, kesempatan rakyat untuk meraih kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik, dengan sendirinya tersingkir. Politik uang merusak prinsip dan kaidah demokrasi elektoral yang menjunjung tinggi “fair play” bagi kontestan politik kekuasaan, guna menjamin terpilihnya pemimpin berkualitas yang mampu mengelola potensi dan tantangan pembangunan. Sebaliknya, politik uang berpotensi memenangkan calon berkantong tebal atau yang didukung para pemodal sehingga melahirkan pemimpin defisit kualitas dan integritas. Lebih jauh, pemimpin cacat legitimasi dan moral, sehingga tidak mampu memimpin jalannya roda pemerintahan secara efektif. Politikus berbasis politik uang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jual beli jabatan dan obral proyek negara kepada para pemodal menjadi pilihan para politikus ini. Dengan pola seperti ini, korupsi makin merajalela (lihat Syebubakar dalam Vote-buying breeds Indonesia’s ubiquitous corruption, observerid.com 19/03/2021), dan oligarki bebas mengendalikan kebijakan negara. Politik uang mendorong parpol memainkan politik dagang sapi dalam merekrut anggota, caleg dan calon pemimpin di pusat dan daerah. Akibatnya, parpol disesaki politikus pemburu rente. Niatnya hanya menumpuk uang dan meraih kekuasaan. Setelah itu, uang dan kekuasaan lagi, begitu seterusnya. Sebagai penutup, saya berharap tulisan ini dapat membantu meluruskan klaim yang tidak berdasar dan “bias sentimen politik identitas” dari sejumlah kalangan, yang cenderung meremehkan bahaya politik uang. Penulis Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) dan Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-korupsi

Rakyat Wajib Konstitusional Penguasa Boleh Seenaknya

YANG menjadi masalah besar di negeri ini ialah rakyat senantiasa wajib konstitusional dalam bertindak, baik itu dalam memprotes sesuatu atau ingin melawan kezaliman. Di pihak lain, para penguasa bertindak sesuka hati, seenaknya saja. Mereka terangan-terangan mengakali rakyat dengan bertopengkan langkah-langkah yang kelihatan konstitusional, tetapi sesungguhkan dikatorial. Inilah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun hingga hari ini. Semakin blak-blakan. Para penguasa tidak segan-segan melakukan segala macam muslihat untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Mereka “pintar” sekali. Pintar mencari dukungan politik dari para elit. Dari semua elit: elit politik, elit sosial-budaya, dan terutama dari elit bisnis. Akal-akalan dalam penetapan ‘presidential threshold’ (PT) 20% adalah salah satu contoh tindakan semena-mena penguasa yang diloloskan sebagai langkah konstitusional. Padahal, semua orang paham bahwa PT digulirkan, dibahas, dan disahkan oleh parlemen melalui tekanan, penyanderaan, iming-iming atau cara-cara kotor lainnya. Revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh yang faktual tentang “playing with constitutional look like maneuvers” (bermain dengan manuver yang mirip konstitusional). Pemerintah bersama DPR menyetujui revisi (perubahan). Perubahan UU KPK antara lain menetapkan bahwa para pegawai KPK tidak independen lagi. Mereka menjadi bagian dari organ pemerintah. Bukan penegak hukum lagi. Lain lagi penambahan organ KPK berupa Dewan Pengawas (Dewas). Kehadiran Dewas membuat KPK tidak bisa lagi bebas melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Revisi ini juga menetapkan bahwa KPK boleh menghentikan penyidikan. Mereka bisa mengeluarkan SP3 untuk kasus-kasus lama. Belum lama ini, KPK langsung menggunakan hak SP3 itu. Sjamsul Nursalim dan istrinya yang selama ini menjadi buron, adalah tersangka pertama yang mendapat “berkah” dari revisi UU KPK. Koruptor besar yang menyalahgunakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) semasa krisis moneter 1997-1998 itu, kini dihentikan penyidikan kasusnya. Mereka sekarang bisa bebas lagi masuk ke Indonesia dari luar negeri. Revisi UU KPK adalah proses yang terlihat berlangsung secara konstitusional, padahal tidak. Semua itu berlangsung dalam kerangka kerjasama busuk antara orang-orang yang ingin terus melakukan kejahatan, menggerogoti uang negara. Revisi tersebut didukung oleh mayoritas anggota DPR. Disambut baik oleh pemerintah. Revisi ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Begitu juga dengan pemberlakuan secara paksa Omnibus Law UU Ciptaker Nomor 11 tahun 2020 oleh pemerintah bersama DPR. Seluruh proses, mulai dari penyerapan aspirasi rakyat, perumusan pasal-pasal, pembahasan hingga penetapan, berlangsung dengan banyak kejanggalan. Tetapi, dengan kekuasaan yang mereka miliki, proses ini bisa kelihatan konstitusional. Padahal, ada sejumlah tindakan yang melanggar peraturan. Misalnya saja, setelah Presiden Jokowi menandatangani Omnibus Law itu, berbagai perbaikan dilakukan. Ada yang ditambah, ada yang dikurangi. Bahkan ada halaman yang hilang atau disisipkan. Namun, karena kekuasaan lagi-lagi ada di tangan para elit politik yang sangat menentukan, UU Ciptaker itu pun seolah diproduksi secara konstitusional. Dalam penegakan hukum pun, manuver-manuver mirip konstitusional juga dilakukan. Misalnya, operasi kepolisian dan intelijen yang ditujukan kepada kegiatan terbuka yang dilakukan oleh Habib Rzieq Syihab (HRS) dan FPI (Front Pembela Islam). Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa ada pembunuhan melawan hukum (unlawful killing) terhadap 6 pengawal HRS. Dalam temuan lain, Komnas meminta agar diungkap identias dua mobil yang tidak diakui oleh kepolisian dalam operasi mereka terhadap rombongan HRS pada 7 Desember 2020. Begitu juga keberadaan mobil Land Cruiser yang diduga kuat ikut mengatur operasi yang diyakini ingin menghabisi HRS itu. Ada pula tindakan penguasa yang patut diduga sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Yaitu, penghancuran komplek ‘rest area’ di KM-50 Jalak Tol Jakarta-Cilkampek. Sekarang ini, pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan operasi terhadap HRS, seolah akan dibuat sebagai tindakan yang konstitusional. Ada usaha penguasa untuk menggiring opini publik bahwa tindakan tim operasi yang melakukan kejahatan pidana itu merupakan langkah untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Sangat menyolok adalah tindakan hukum terhadap HRS dengan tuduhan menimbulkan kerumunan. Bahkan ditambah dengan tuduhan penghasutan untuk berkerumun. HRS sudah membayar denda kerumunan sesuai aturan. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa langkah hukum yang diberlakukan terhadap HRS saat ini bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, ada saja cara para penguasa untuk menjelaskan bahwa yang mereka lakukan itu adalah langkah yang sesuai konstitusi. Jadi, sekali lagi, yang berlangsung saat ini adalah bahwa rakyat wajib senantiasa konstitusional sedangkan para penguasa bisa seenak mereka saja.

Negeri Fitnah Yang Menerapkan "Summum Ius Summa Iniuria"

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme "abal-abal" dikait-kaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan mau dipakai untuk menutupi-nutupi kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut diduga melibatkan anggota polisi dari Polda Metro Jaya. Perbuatan kejahatan yang tak bisa dihindari mengarah pada keterlibatan aparat keamanan. Dampknya pelakukan pmebunuhan terdahap enam anggota laskar FPI tidak diumumkan. Adapun nama-nama pelaku yang terus-terusan disembunyikan, dan hingga kini tidak diumumkan oleh oleh Bareskrim Polri, menjadi keanehan tersendiri. Keanehan yang membuka peluang bagi terjadinya rekayasa lanjutan perkara ini. Wajar kalaui publik bertany-tanya, mengapa belom juga diumumkan para tersangka? Siapa saja nama-nama mereka? Penangkapan orang-orang "jaringan terorisme" yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah dugaan dari fitnah yang direkayasa. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Bahkan mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian memuji-muji FPI setinggi langit, sebagia organisasi yang sangat nasional, dan peduli terhadap persoalan kebangsaan. Sepak terjang FPI, baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya yang selalu mengecam terorisme semua yang berbau terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal. Hanya karena dipersulit pendaftaran badan hukumnya, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah. Itupun sampai sekarang tanpa ada perlawanan, apalagi kekerasan dari FPI. Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil setiap pelaku "teroris" yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Padahal pernah ada pelaku perencanaan bom atas gereja beragama Katolik yang ditangkap oleh polisi. Sayangnya polisi tidak pernah mau memberikan stigma dan status sebagai pelaku teroris. Apa penyebab? Hanya polisi yang tau. Namun tidak bagi umat Islam. Ini tentu saja sangat menyakitkan. Jika pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar itu benar anggota Jaah Ansorul Daulah (JAD), maka bukalah sudah sejelas-jelasnya siapa dan apa organisasi ini? Jangan dipelihara lagi, sehingga semua harus dikait-kaitkan dengan Islam. Langsung saja umumkan pembubaran organisasi JAD. Selesai dan habisi itu JAD. Yakinkan kepada rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme. Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal. Sebab betapa bodohnya pelaku datang ke Gereja berbusana muslimah. Bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati itu. Sebaiknya Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang pelaku yang menembak mati ZA di Mabes Polri tersebut. Mengapa harus ditembak mati? Mengapa bukan dilakukan tembakan untuk melumpuhkan ZA saja. Apakah lawful atau unlawful killing? Publik jangan disuguhkan informasi hanya dari polisi. Kasus kilometer 50 tol Japek cukup menjadi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa tidak cukup masyarakat mendapat indormasi dari polisi saja. Untung masih ada Komnas HAM yang menemukan penembakan terhadap empat anggota laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Selain itu, ada mobil Land Cuiser di lokasi kejadin kilometer 50 tol Japek. Ada juga mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang publik tidak tau keberadaannya. Sebab sebelumnya tidak diumumkan oleh polisi. Saat enam anggota laskar FPI yang dibunuh, disiksa dan dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan saat walimahan anaknya dan maulidan. Mengapa kerumunan "wedding" Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan. Tontonan ketidakadilan juga semakin menjijikan diperlihatkan dengan dihentikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidikan terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kakap Syamsul Nursalim, yang buron bertahun-tahun. Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang. Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah. Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden. KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan "dapat". Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini. Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas "equality before the law" dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum "summum ius summa iniuria", yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan? Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah "firehose of falsehood". Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa. Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kapolri Anulir Telegram Berpolemik, Demi Citra Polisi?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengapresiasi keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah mencabut Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. Meski Surat Telegram tersebut akhirnya dicabut, namun KKJ berharap preseden serupa tidak lagi terjadi ke depan. Sebagai catatan, KKJ dideklarasikan di Jakarta, Jum’at, 5 April 2019. Anggota KKJ organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI); Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebelumnya, Jenderal Listyo menerbitkan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik pada Senin, 5 April 2021. Telegram yang ditujukan kepada para Kapolda Up Kabid Humas tersebut dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, penerbitan Surat Telegram Kapolri tersebut juga menutup masuknya kritik-kritik membangun dari media selaku representasi publik terhadap Lembaga Kepolisian. Dalam Surat Telegram huruf B poin 1 disebutkan, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanistik. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan ini berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4 UU Pers: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Selain itu, ayat (3) Pasal 4 UU Pers juga menyebutkan, “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Tentu, dalam menyajikan pemberitaan, pers juga memiliki koridor tersendiri yang telah jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Penerbitan Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani Kepala Divis Humas Polri Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono atas nama Kapolri ditujukan dalam pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik (huruf B) dan bukan semata-mata mengatur program kehumasan Polri. Oleh karena itu, Surat Telegram tersebut dikhawatirkan juga akan diterapkan pada peliputan-peliputan media massa/pers pada umumnya yang melakukan peliputan kegiatan-kegiatan Kepolisian. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian dikhawatirkan justru akan menutup upaya bersama untuk mewujudkan reformasi di tubuh Kepolisian. Padahal, transparansi menjadi salah satu syarat utama dalam proses perbaikan kinerja dan profesionalitas Kepolisian. Adapun, untuk poin-poin isi Surat Telegram Kapolri Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 lainnya, KKJ menilai isi materinya telah sesuai dengan UU Pers dan P3SPS. Jika dirinci, setidaknya ada 11 poin dari telegram Kapolri yang mengatur aktivitas jurnalistik terkait peliputan media: Pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis; Kedua, tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana; Ketiga, ]tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian; Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan; Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual; Keenam, menyamarkan gambar wajah dan indentitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya; Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur; Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku; Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detil dan berulang-ulang; Kesepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten; Kesebelas, tidak menampilkan gambaran secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. Seorang wartawan menyebut, poin no 1-4 itu juga sudah masuk wilayah kerja jurnalistik. Polisi tidak semestinya membuat keputusan sepihak seperti itu. Pers bukan anak buah atau humas polisi. Kecuali no 10, poin no 5-11 itu secara umum sudah termaktub di kode etik jurnalistik, UU Pers, serta peraturan terkait di bawahnya. Untuk yang nomor 10, bagaimana kalau insan pers mengetahui (bukan pemberitahuan dari polisi) ada penangkapan terhadap pelaku kejahatan? Apa wartawan dilarang melakukan peliputan? Tentu tidak tepat bila polisi menghalangi tugas jurnalistik. Karena ini jelas bertentangan dengan UU Pers. Apakah telegram Kapolri tersebut ada kaitannya dengan terungkapnya kekejian polisi ketika menembak mati 6 laskar FPI, penembakan hingga tewas wanita “teroris” di Mabes Polri, dan penyiksaa wartawan TEMPO Nurhadi di Surabaya? Tapi, sehari setelah terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram tersebut dengan menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 pada 6 April 2021. Yang berisi: menyatakan pencabutan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pernah mencatat, Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran HAM sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. “Selama satu tahun periode Juli 2019 sampai Juni 2020, tercatat ada 921 peristiwa kekerasan oleh kepolisian,” kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, Selasa (30/6/2020) Jakarta, seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (01/07/2020 07:36 WIB). Sepanjang 2020, personel polisi kerap menggebuki dan mengintimidasi demonstran. Bukan hanya terhadap mereka yang vandalis, tapi juga pada orang-orang yang sudah tidak melawan, warga biasa, atau bahkan wartawan yang meliput demonstrasi. Lembaga pengawas Kepolisian yang seharusnya menjadi evaluator juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak semua dugaan kasus itu berujung pada penyelidikan tuntas dan memberikan sanksi pada polisi. Salah satu yang benar-benar diusut tuntas adalah penembakan berujung kematian kepada mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Immawan Randi. Remaja usia 21 tahun itu meninggal setelah ditembak saat demontrasi #ReformasiDikorupsi. Selain Randi, satu mahasiswa lain yang meninggal adalah Muhammad Yusuf (19). Enam anggota polisi divonis bersalah berdasar pertimbangan dari Divisi Propam Polda Sultra yang merupakan pengawas internal kepolisian. Mereka tak dikenakan pasal pembunuhan. Tapi, hanya dianggap melanggar disiplin karena membawa dan menembakkan senjata tajam. Hukuman untuk 6 anggota Polres Kendari itu berupa teguran lisan, penundaan satu tahun kenaikan pangkat, dan dikurung selama 21 hari. Harus diakui, semua tindak kekerasan aparat kepolisian itu terungkap berkat jari-jemari para jurnalis. Itulah masalah yang kini dihadapi Jenderal Listyo! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Rakyat Hari Ini, Seperti Anak Ayam Kehilangan Induknya

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Pembaca FNN dimana pun yang bisa mengakses situs ini, bisakah membayangkan situasi dan kondisi sosial rakyat dari Sabang menuju Merauke saat ini? Jika peka, maka ilustrasi yang muncul adalah laksana anak ayam kehilangan induknya. Masyarakat luas, yang katanya memiliki presiden sebagai pemimpin negara, namun serasa seperti tidak adanya kehadiran seorang pemimpin. Saat ini masyarakat tengah merasakan situasi penuh kebingunan. Galau dan kacau. Tidak mengerti harus bagaimana? Mesti harus berbuat apa? Sebab segala permasalahan yang membuatnya sedemikian pelik yang tengah ditanggung masyarakat, tidak lain adalah bab perekonomian. Gampangnya kalau ngomong, rakyat sulit mencari uang (rezeki). Kesulitan yang belom pernah dirasakan rakyat sebelum ini. Ekonomi itu adalah hal utama. Persoalan yang sangat pokok. Kesulitan perekonomian bukan saja dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan, juga dirasakan bos-bos besar papan atas. Hari-hari ini merasakan seperti pecah kepalanya. Memikirkan buruknya neraca perdagangan yang dikendalikannya. Biaya-biaya tetap seperti gaji, listrik, iuran BJS Kesehatan dan BPS Tenaga Kerja dan lain-lain. Seorang pemilik warung di Madiun, Jawa Timur, belum lama ini terpaksa menumpahkan kemarahannya kepada petugas bank titil (Bank Perkreditan Rakyat) yang datang menagih hutang. Pemilik warung marah sejadi-jadinya, sampai-sampai penagih hutang lari ketakutan. Kalau bicara dari sisi salah-benar sesuai hukum formal, seperti yang disukai Menkopolhukam Mahfud MD kalau berkomentar, maka pemilik warung tentu dinilai sebagai pihak yang salah. Sebab telah memarahi petugas BPR. Padahal dia berkewajiban melunasi pinjaman hingga tuntas. Namun secara kondisional, bukannya soal-salah, atau tidak salah. Melainkan pemilik warung tidak punya uang untuk mengangsur pinjaman. Dagangannya pun juga tidak ada yang laku. Semisal diambil tindakan hukum pun, pemilik warung pasrah. "Awalnya kita dirayu rayu supaya mau pinjam ke BPR. Setelah pinjam, eehhh....nagihnya utang minta ampun," bentak pemilik warung, ketus. Keadaan yang menyentuh perasaan seperti itu terjadi, dan dialami masyarakat di semua tingkat lapisan. Dari ujung Sumatera sampai pucuk Papua. Boleh jadi ada yang kondisinya lebih parah lagi. Mungkin jenis persoalannya saja yang berbeda. Namun intinya sama, sulit sulit dan sulit cari duit. Masih di kota yang sama, seorang kontraktor kondang juga dalam kondisi "sekarat". Mati nggak sekalian mati, namun hidup, nggak hidup bener juga. Betapa tidak, belasan alat berat dan dum truck sebagai penopang utama usahanya masuk gadai. Sebagai jaminan hutang, dan macet. Ruwet, ribet dan mumet. Beginilah gambaran yang lebih luas tentang gelapnya perekonomian masyarakat negeri ini. Setiap kali bertemu kawan, baik di warung atau dimana saja, selalu menyampaikan keluhan seragam. Tersumbat memikirkan ekonomi rumah tangga, sebagai topiknya. Bila kontak sahabat atau saudara yang tinggal di luar kota, atau di luar pulau. Pengakuannya sama. Sulit cari duit. Tak terkecuali pegawai negeri sipil. Seorang Kepala Dinas di pemerintahan daerah menunjukkan chat WA bab kewajiban mengangsur pinjaman BPR yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Bayangkan sekelas Kepala Dinas diuber-uber utang. Baru di era Jokowi ini terjadi. "Mau apalagi, aku cuma bisa bilang ya nanti tak bayar," katanya. Ibarat anak ayam yang terserakh di seluruh muka bumi. Saling teriak tanpa jelas apa yang diteriakkan. Lari kesana-kemari sembari menjerit pilu, terdengar seakan beradu merdu. Terjatuh, bangkit, terinjak, berdarah darah, tumpang tindih tak karu-karuan. Semua itu berlangsung demi memperoleh sumber kehidupan. Survival lah. Agar tetap bisa bertahan hidup. Meskipun sebenarnya yang ditemui cuma ke muleg an. Sebab satu dengan lainnya tak beda jauh persoalannya. Ibarat pelanduk dicerang rimba. Mau kemana? Akan berbuat apa? Mengadu kepada siapa? Semua jalan gelap dan buntu. Rasanya, disaat ketidak-berdayaan mencapai batas, yang dimiliki cuma pasrah dan keputusasaan. Seolah telah hilang garis batas mana saudara, adik, kakak, mertua, menantu, ipar, besan, teman, musuh, kawan, lawan dan sebagainya. Semua bingung. Mulai gelap-gulita. Kepelikan ekonomi bukan dominasi kaum proletar. Kaum optimat pun merasakan hal sama. Pengusaha paling besar dan kaya pun tak luput dari badai ekonomi. Menurut kompas.com (23/06/2020), selama sepekan harta bos Grup Djarum, Robert Budi dan Michael Hartono, merosot U$ 1,3 miliar atau setara dengan Rp. 18,4 triliun. Wuuhhh....ngeri-ngeri tidak sedap kan? Menjadi logis hangusnya triliunan rupiah harta bos Djarum, bila dikaitkan dengan ulasan cnn Indonesia (05/02/21), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI minus -2,07 persen pada tahun lalu. Sementara, BPS dalam situsnya yang dilansir pada 15/07/2020 mengumumkan bahwa indeks gini rasio pada Maret 2020 sebesar 0,381. Jika angka koefisien yang digunakan sebagai alat ukur gini rasio adalah antara 0 (sangat kaya raya/ amat sangat hidup) sampai 1 (mati), maka angka gini rasio tersebut (0,381) berada nyaris diantara hidup dan mati. Padahal, masih ingat janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Dia bilang, “akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 7%”. Janji yang sama diulang lagi Jokowi di kampanye Pilpres berikutnya (2019), juga 7%. Apakah Jokowi sanggup buktikan ucapannya 7%? Alih-alih 7%. Malah hancur di angka minus -2,07%. Padahal, sepeninggal SBY dari kursi presiden 20 Oktober 2024, angka pertumbuhan ekonomi masih lumayan 6%. Seumpama angka nilai rapor sekolah masih tergolong naik kelas. Melihat kenyataan ini, para buzzer dan gobloger melakukan advokasi dengan mengatakan hancurnya ekonomi sebagai dampak dari Covid-19. Nah, virus jadi wedus ireng. Padahal, sebelum kehadiran virus dari cina tersebut pertumbuhan ekonomi selama dipimpin Jokowi tak lepas dari angka 5 persen. Jadi, perekonomian negara ini bukan soal virusnya, melainkan Jokowinya. Lagi pula, secara global Covid-19 meletus dari Wuhan Cina, pada akhir Desember 2019 (jika tidak salah 23 Desember). Hampir semua negara di belahan dunia telah terpandemi virus haram tersebut. Meski semua negara telah tercemar, kala itu Indonesia masih aman. Celakanya, diwaktu negara ini masih aman, lha kok pemerintah malah memasukkan ribuan warga asing dari Cina. Lebih sinting lagi "virus" tersebut didominasi berasal dari negara produsen Covid-19. Wuhhh... ini namanya ngeri-ngeri kurang ajar. Karena Indonesia ini ibarat negara seribu pintu, maka ribuan "virus" tersebut bisa leluasa masuk melalui Sulawesi, Papua, Bali, Semarang, Surabaya, Halmahera serta pintu-pintu lainnya. Walhasil, pemerintah hingga lebih setahun bingung menangani Covid-19. Berbagai cara dilakukan. Masyarakat malah lebih dari sekedar bingung, yakni entah nggak bisa lagi mikir. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan tutup pintu masuk warga asing. Tetapi sudah terlambat. Ibarat sebuah kampung lagi musim maling, malingnya sudah masuk rumah, baru pintunya ditutup. Ini kan seperti epilog komedian di panggung tonil hiburan. Ketawa ampe mencret. Soal kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, tenteram pun menjadi sesuatu yang mahal sekarang ini. Bayangkan, ekonom sekelas Kwik Kian Gie sampai menyatakan keluhannya, "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternative". Kwik menyambung, "(Pada) zaman Pak Harto yang otoriter saja, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah". (Pikiran Rakyat, 06/02/2021). Sebenranya, masih banyak permasalahan berbangsa dan bernegara yang ingin dituliskan disini. Namun, saking banyaknya permasalahan sosial kemasyarakatan sampai bingung mengingat ingatnya. Sejak Orde Baru berkuasa, belom bangsa Indonesia sesulit ini di bidang ekonomi. Pecinta FNN yang budiman. Media digital, escort the state goal di penjuru dunia. Tumpukan campur aduk permasalahan, baik ekonomi, hukum, sosial, budaya, keamanan serta deretan aspek hidup lainnya secara umum dapat membuat kebingungan. Yah, laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Atau pelanduk di cerang rimba. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Secara Yuridis Kematian Pasca Vaksin Bisa Digugat

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Kabar duka datang dari Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol. Muhammad Roem Ohoirat yang membenarkan informasi mengenai salah satu komandan kompi di satuan Brimob Polda Maluku, yakni Iptu LT meninggal dunia pada Minggu 4 April 2021. Iptu LT meninggal dunia usai divaksin AstraZeneca. “Benar, almarhum meninggal dunia. Almarhum meninggal setelah divaksin pada tanggal 30 Maret 2021, namun pada tanggal 31 meriang dan sesak napas,” ujar Roem. Roem mengatakan, setelah mengalami gejala tersebut, Iptu LT diantar istrinya ke rumah sakit namun saat diperiksa dokter tidak ada penyakit yang menyebabkan korban mengalami gejala seperti itu. Akhirnya, Iptu LT diberi obat. Setelah itu beraktivitas seperti biasa. Tidak lama dari situ, Iptu LT mengalami gejala sesak napas hingga meninggal dunia. Roem belum bisa menjelaskan apakah meninggalnya karena divaksin atau tidak. Setelah dinyatakan meninggal, tim Satgas Covid1-9 melakukan pemeriksaan terhadap jenazah Iptu LT. Dari sana didapatkan ternyata Iptu LT positif Covid-19. Melansir VIVA.co.id, Minggu (4 April 2021 | 18:16 WIB), menurut Roem, pihaknya tak tahu apakah sebelumnya almarhum sudah positif lalu divaksin atau bagaimana. Akhirnya jenazah Iptu LT langsung dimakamkan dengan protokol Covid-19. Dokter masih menelusuri riwayat penyakit Iptu LT. Roem belum bisa sepenuhnya menyebut, korban menginggal akibat divaksin. “Yang jelas kita tidak bisa katakan itu meninggal karena divaksin,” ujarnya. Sebelumnya, kasus serupa menimpa Sulaiman Daeng Tika (50). Warga Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini meninggal dunia di RS Haji Kota Makassar, Senin (22/3/2021) malam. Seminggu atau tujuh hari sebelumnya, ia sempat disuntik vaksin Sinovac tahap pertama. Daeng Tika dibawa ke RS karena demam tinggi dan nyeri di seluruh persendian. Namun, ia tak tertolong meski telah mendapat penanganan. Di rumah duka Desa Batu-Batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, suasana kesedihan tampak dirasakan keluarga almarhum. Mereka tak menyangka, almarhum yang sebelumnya sehat, tiba-tiba mengeluh sakit dan meninggal dunia. “Bapak sebelumnya sehat-sehat aja, gak punya sakit kronis atau sakit-sakitan,” ujar Mahmud, anak almarhum, Selasa (23/3/2021). Mahmud menceritakan, ayahnya divaksin pada 15 Maret silam di tempat kerjanya. Beberapa hari kemudian mengeluh sakit, tapi tetap masuk kerja. Dua hari setelah vaksin kemudian ada gejala panas tinggi. Demam dan nyeri seluruh badannya. Peristiwa serupa terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Salah satu lansia merupakan wanita yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 pada Senin, 8 Maret 2021. Perempuan berusia 75 tahun itu divaksin pada Senin, 8 Maret 2021. Hari itu ada 2.500 lansia yang mendapatkan vaksinasi Covid-19. Menurut Bupati Banyumas Achmad Husein, lansia tersebut sudah lolos skrining, sehingga dia dinilai layak mendapatkan vaksinasi Covid-19. Namun beberapa jam kemudian setelah lansia itu kembali ke rumah sekitar pukul 11.30 WIB, tak lama sore harinya pukul 17.00 WIB dia jatuh terduduk di lantai dan dibawa ke RS hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Kejadian tersebut membuat Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hindra Irawan Satari buka suara. Hendra menyebut, kedua lansia tersebut meninggal bukan karena vaksinasi Covid-19. “Penyebab meninggal bukan disebabkan vaksinasi Covid-19,” ujar Hindra kepada Merdeka.com, Senin, 15 Maret 2021. Kasus ini diungkap kembali oleh Bupati Husein kepada wartawan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa, 9 April 2021. Di Kabupaten Cilacap, Jateng, seorang nakes diketahui meninggal dunia usai beberapa hari divaksin Covid-19. Nakes itu meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Tapi, Kepala Dinkes Cilacap dr Pramesti Griana Dewi mengatakan, nakes berjenis kelamin laki-laki itu meninggal bukan karena disuntik vaksin Covid-19, melainkan demam berdarah. “Dokter penanggung jawabnya menyatakan, nakes itu meninggal akibat Dengue Shock Syndrome (DSS) atau demam berdarah,” kata dr Pramesti Griana Dewi seperti dilansir Hestek.id, Sabtu (2021-02-06,15:34).Ia membenarkan jika sang nakes sempat menjalani vaksinasi Covid-19 di RSUD Cilacap, tempatnya bertugas, 27 Januari 2021. Kondisi nakes, disebut Pramesti tak mengalami efek dari vaksin dan bekerja seperti biasa. Bahkan, nakes itu juga bertugas merujuk pasien ke RSUD Sardjito Jogjakarta. “Sepulang dari Jogjakarta, badannya nggreges dan Minggu (31/1/2021) yang bersangkutan izin tidak masuk kerja,” paparnya. Kemudian Rabu (3/2/2021) yang bersangkutan masuk IGD RSUD Cilacap karena lemas dan BAB berwarna hitam. Saat itu juga langsung masuk ICU, trombositnya jauh di bawah normal dan langsung dilakukan transfusi trombosit. Nakes tersebut meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Kasus serupa menimpa Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar dan juga Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Dr Eha Soemantri SKM, MKes. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, setelah salat subuh. Kabar yang beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel, 14 Januari 2021. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoninya. Setelah divaksin beberapa waktu lalu. Ia mengimbau masyarakat untuk tak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh Pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. Setelah divaksin Eha mengaku tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, ia mengajak mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19. Dokter Tifauzia Tyassuma mengatakan, dua orang senior dan gurunya wafat pasca suntikan pertama vaksin. Begitu suntik ke-1 langsung masuk ICU dan saturasi oksigen 60%. “Ngga ada satupun Dokter yang boleh bilang kalau beliau berdua kena KIPVI,” ujarnya. Keduanya Lansia dengan Comorbid. Menurutnya, kalau disebutkan Institusi mana pasti ia di-bully lagi lahir bathin. Dan semua bungkam diam seribu bahasa. Sebetulmya ini adalah tamparan bagi Seluruh Dokter di Indonesia. “Ayo dong bicaralah jujur sesuai hati nurani Anda semua. Saya tidak mau memusuhi kalian dan apalagi dimusuhi kalian. Saya cinta kalian semua dan sangat mengkhawatirkan keadaan ini,” pesan Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi ini. Sayangnya, kasus-kasus kematian dokter dan nakes lainnya yang terjadi di Indonesia paska vaksinasi Covid-19, selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Mungkinkah kasus-kasus kematian pasca vaksinasi ini bisa dilakukan gugatan terhadap Pemerintah? Menurut Advokat Subagyo, gugatan pada Pemerintah terkait kematian pasca vaksinasi bisa saja dilakukan. “Asalkan ada keterangan ahli yang menerangkan bahwa itu termasuk kesalahan,” katanya. Apakah otopsi masih perlu dilakukan atas jazadnya? Otopsi itu kalau ada proses pidananya. Jadi, pertama harus menanyakan kepada ahli kesehatan dulu. Hukum akan mengikuti fakta. Jika fakta itu menurut ahli adalah malpraktik, maka hukum baru bisa bertindak. Kesalahan atau malpraktik ini apa termasuk jika menurut aturan, yang punya komorbid itu tidak bolah divaksin, tetapi tetap saja divaksin, sehingga menyebabkan kematian? “Ya bisa seperti itu. Yang penting ada analisis ahli tentang risiko, seberapa besar risikonya,” ujarnya. Pernyataan senada disampaikan Advokat Sumarso. Bisa digugat, tapi metodanya Citizen Lawsuit. “Gugatan oleh warga negara. Hanya saja, proses pembuktiannya harus akurat. Nda gampang juga untuk otopsi. Yang bisa minta otopsi hanya penyidik, kecuali kasus pembunuhan,” katanya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Tumbal Ambisi, Bandara Kertajati Beralih Fungsi

PLINTAT -plintut tak hanya menyerang makhluk bernyawa. Benda mati pun bisa terpapar pandemi "esuk dhele sore tempe", sebuah perumpamaan Jawa yang mendeskripsikan sikap tak konsisten dan semaunya. Wabah itu kini menimpa Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Bandara yang dibangga-banggakan sebagai Airport Kelas Wahid setelah Bandara Soetta itu kini berubah fungsi sebagai tempat penampungan pesawat rusak alias bengkel. Di tempat ini kelak berbagai aktivitas seperti mencopot baut, mengelas besi, menambal ban, dan mengecat body akan menggeliat. Tak ada lagi lalu lalang turis lokal maupun internasional seperti yang diimpikan sebelumnya. Yang ada hanya para pekerja berlumuran oli yang sigap memperbaiki pesawat bekas. Tumpukan besi tua berkarat juga akan tampak di sudut-sudut yang lain Bandara terluas di Indonesia itu. Alih fungsi Bandara yang digadang-gadang sebagai bandara termegah di Asia itu diputuskan menjadi bengkel oleh Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Istana Negara Senin (29/03/2021) yang dihadiri Menhub Budi Karya Sumadi dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pemerintah menyatakan Bandara Kertajati akan menjadi tempat Maintenance, Repair, Overhaul (MRO) alias bengkel pesawat. Presiden meminta agar PTDI dan PT Pindad dipindahkan juga ke kawasan Aero City Kertajati. Selanjutnya kawasan PTDI dan PT Pindad di Bandung bisa diubah menjadi daerah pariwisata. Keputusan ini diambil lantaran sejak diresmikan, lapangan terbang ini cenderung sepi peminat, khususnya untuk penerbangan komersil. Maskapai terakhir yang bertahan beroperasi di Kertajati, adalah Citilink. Secara kumulatif antara Januari-September 2020 jumlah penumpang Bandara Kertajati hanya 42.400 orang atau 26,41 persen dari total penumpang domestik Jawa Barat. Bahkan pada bulan Agustus – September 2020, taka da satu pun peunmang di Bandara Kertajati. Ada sedikit keramaian yang menarik perhatian publik yakni banyaknya calon-calon pengantin baru yang memanfaatkan sepinya bandara. Mereka mengambil foto prewedding di lokasi yang luasnya mencapai 1.800 Ha tersebut. Ibarat bunga, Bandara Kertajati layu sebelum berkembang. Padahal, ide dan gagasannya sudah ditelorkan sejak 15 tahun lalu era Presiden Megawati, dimatangkan era SBY, dan diresmikan pada era Jokowi. Peresmiannya cukup meriah dan heroik. Wajah-wajah penuh optimistis menghiasai tamu undangan yang memenuhi upacara seremonial di pelataran Kertajati. Disambut tradisi water salute, pesawat Kepresidenan yang ditumpangi Presiden Joko Widodo mendarat di Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Kamis (24/05/2018). Pendaratan perdana pesawat Kepresidenan ini sekaligus menandai beroperasinya Bandara kebanggaan masyarakat Jawa Barat tersebut. Saking girangnya Jokowi datang lebih awal 1 jam, yakni pukul 09.27 yang seharusnya pukul 10.30 WIB. Kedatangan Jokowi disambut dengan meriah sekaligus ditunjukkannya historical landing oleh Maskapai Garuda Indonesia dan Batik Air dengan penumpang VVIP sebagai pertanda operasional Bandara Internasional Kertajati dimulai. Momen itu juga menunjukkan Bandara ini telah mengantongi izin penerbangan internasional. Proses kelahiran Bandara ini cukup menyita waktu. Sejak 15 tahun sebelumnya sudah diwacanakan. Lalu dimulai pembangunan pada 2014 dengan pembangunan runway (landas pacu) sepanjang 2.500 meter x 60 meter dan paralel taxiway sepanjang 2.750 meter x 25 meter yang sudah selesai dibangun pada akhir 2017. Landas pacu kemudian dipanjangkan hingga 3.200 meter x 60 meter agar bisa melayani operasional pesawat sipil terbesar di dunia seperti Airbus A380, Boeing B 747, maupun B 777. Bandara ini memiliki kapasitas 5 juta penumpang per tahun serta bisa dikembangkan menjadi sekitar 29,3 juta penumpang per tahun. Namun semua itu sirna lantaran sepinya penumpang. Selain itu, Bandara Kertajati mempunyai apron seluas 397.890 meter persegi yang dapat menampung 10 parking stand pesawat jet narrow body. Nama Bandara Kertajati sendiri sempat mau diubah menjadi Bandara BJ Habibie, namun batal. Bandara Kertajati adalah korban kebijakan ambisius tanpa memikirkan dampak dan kelanjutannya. Yang terjadi adalah tambal sulam kebijakan untuk menutupi kegagalan pembangunan yang nyata. Alih fungsi Bandara menjadi tempat service pesawat bobrok merupakan bukti minimnya perencanaan proyek infrastruktur pemerintah. Ia menjadi korban ambisius program pencitraan sang presiden. Hasrat untuk meraih predikat Bapak Infrastruktur, tak semulus yang dibayangkan. Dana pembangunan yang mencapai Rp 2,6 triliun bukan jumlah yang sedikit. Uang sebanyak itu jika disalurkan untuk membantu UMKM jelas sangat bermanfaat. Pedagang mangga Indramayu akan terbantu, penjual jeruk nipis Kuningan akan senang, dan perajin Jalakotek Majalengka akan bahagia. Keraguan akan suksesnya Bandara ini sebetulnya pernah disentil oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Saat itu, Jonan sempat menolak untuk melanjutkan pembangunannya. Tapi kemudian dipaksakan oleh Menhub yang baru, Budi Karya Sumadi. Tak hanya Jonan, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo juga pernah mengingatkan agar pemerintah berpikir ulang tentang pembangunan bandara ini. Kata Agus, Kertajati jauh dari mana-mana, nggak cocok dijadikan bandara. Jarak Bandung-Kertajati sekitar 100 kilometer atau kurang lebih 2 jam perjalanan, mereka lebih memilih ke Bandara Soetta di Cengkareng. Agus menyatakan Bandara Kertajati adalah contoh infrastruktur yang dibangun dengan unsur politis yang lebih kental dibanding unsur studi kelayakannya. Adapun keinginan pemerintah untuk tetap melayani penumpang, kargo, dan jamaah umrah serta haji di samping bengkel, menurut Agus, semua rencana itu tidak ada yang berprospek bagus. “Membuat MRO harus ada lisence pabrikan, memangnya bikin pabrik bajaj. Lalu yang kedua, siapa yang mau modalin jadi MRO? Jadi pabrik (kue) klepon saja mahal saat ini. Lalu pesawat mana yang mau ke MRO di Kertajati? Boeing, Airbus, dan lain-lain pasti menolak secara ekonomis," ujar Agus. (SWS)

Stagnasi Pembangunan Manusia Indonesia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual

by Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Dalam pidato 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat, Presiden Jokowi menyampaikan Visi Indonesia 2020-2024, yang diklaim mengandung perubahan paradigma, model, cara dan nilai baru. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu di antara lima sasaran prioritas dalam visi tersebut. Pidato kenegaraan Presiden Jokowi menyambut HUT ke-74 RI juga sesak dengan pesan tentang maha pentingnya pembangunan SDM. Moto “SDM Unggul, Indonesia Maju” menjadi tagline peringatan HUT RI tahun 2019. Pada 2020, di tengah situasi multi krisis akibat akumulasi masalah di periode pertama dan pandemi Covid-19, peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia masih mengambil tema besar “Indonesia Maju”. Sepintas, tidak ada yang aneh dengan moto dan tekad Presiden Jokowi. “Membangun SDM” merupakan salah satu kunci dalam setiap tahapan pembangunan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran bangsa. SDM yang unggul juga menjadi pilar utama persaingan antar negara di kancah global. Segenap komponen bangsa termasuk para cendekiawan menyambut dengan antusias tekad untuk membangun manusia Indonesia. “Mahabenar menjadikan pembangunan manusia pusat perhatian” tulis Yudi Latif dalam kolom Opini Kompas, Agustus 2019. Namun, tidak disadari terselip kekeliruan paradigma yang sangat mendasar dalam visi Presiden Jokowi. Pembangunan SDM (human resource development) dipertukarkan secara literal dengan pembangunan manusia (human development). Dengan kata lain, visi Presiden Jokowi gagal memahami perbedaan antara pembangunan SDM dan pembangunan manusia. Pembangunan Manusia vs SDM Kendati saling terkait dan beririsan pada tataran praksis, pembangunan SDM dan pembangunan manusia, secara paradigmatik, berbeda. Pembangunan SDM memandang manusia sebagai faktor produksi semata dan bertujuan memaksimalkan produktivitas (maximizing human productivity). Indikatornya kecerdasan instrumental dan keterampilan teknis yang bermuara pada produktifitas tenaga kerja. Di samping itu, motif dan orientasinya bersifat ekonomistik utilitarian. Dengan demikian, pembangunan SDM berjarak cukup jauh dari motivasi kecerdasan dan keberdayaan politik yang berlandaskan rasionalitas substantif (substantive rationality) untuk menembus perkara pokok pembangunan. Mulai dari isu demokrasi substansial, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, kerentanan dan ketimpangan, sistem ekonomi politik dan kepemimpinan, rule of law, hingga oligarki dan korupsi dengan segala daya rusaknya. Rasionalitas substantif inilah yang mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat marjinal dan lapisan bawah. Sementara, pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuannya, seperti yang diformulasikan Mahbub ul-Haq (1990), menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan dan kreatif. Amartya Sen (1999), rekan ul-Haq, yang meletakkan landasan konseptual pembangunan manusia mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, “kebebasan” tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya. Perbedaan pembangunan SDM dan pembangunan manusia mensyaratkan strategi, pilihan kebijakan, pendekatan dan langkah langkah berbeda. Hasilnya pun berbeda, bahkan bisa berbanding terbalik secara diametral jika penekanan strategi dan pilihan kebijakan tertukar diantara keduanya. Kegagalan memahami kedua pendekatan ini, tercermin dalam pilihan sistem dan kebijakan negara yang jauh dari semangat pemberdayaan dan pembebasan (empowerment and liberation) di berbagai bidang - ekonomi, politik, hukum, pendidikan, lingkungan dlsb. Agenda pembangunan neo-liberal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik di bawah kendali para oligark, makin mendominasi. Sementara, sektor-sektor lain tersubordinasi kedua agenda ekstraktif ini. Sistem dan kebijakan pendidikan, misalnya, mengabaikan materi berpikir kritis (critical thinking) dan pembangunan karakter (character building). Namun, lebih diarahkan untuk mencetak SDM sebagai faktor produksi – subordinat pertumbuhan ekonomi. Sekadar menjadi manusia robot (pelaksana) dari kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha. Pengkhianatan Intelektual Dus, alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan katalis perubahan, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971). Intelektual antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara. Kiprah mereka, jauh dari nubuah Julien Benda, dalam karya klasiknya “The Treason of the Intellectuals” atau Edward Said dalam “Representations of the Intellectual” (1996), bahwa kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Dosa terbesar seorang intelektual tidak dilihat dari kesalahannya, tetapi dari ketakutan dan kebohongannya dalam menyampaikan kebenaran. Jalan ketiga peran intelektual yang ditawarkan mendiang Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik UGM (Februari 2019), dimana intelektual bisa keluar masuk kekuasaan berdasarkan penilaian matang dan menyeluruh, jauh panggang dari api. Tawaran ini memiliki pijakan teoritik yang lemah, jika tidak dikatakan rapuh, dan berjarak cukup jauh dari realitas. Faktanya, terlalu banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa. Hadiah jabatan, entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan penting di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan. Seketika atau lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan. Bagi mereka, “the king can do no wrong, no matter what!” Pada saat yang sama, tidak sedikit kaum intelektual di lingkungan perguruan tinggi, lembaga think-tank/riset dan kelompok masyarakat sipil, yang belum mendapat jabatan dan uang, berlomba lomba memuji dan membela agenda kekuasaan. Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya. Sebagian bertindak sebagai pollster atau industrialis survei, merangkap buzzerrp, yang dibayar dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar status quo kekuasaan. Sementara, segelintir intelektual, yang tidak mau mengompromikan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi uang dan jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi tangan-tangan kekuasaan. Seperti yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi “manusia merdeka” dan bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik” nya Gramsci atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky. Stagnasi IPM & Kemerosotan Dengan pemahaman keliru tentang pembangunan manusia, diikuti kebijakan tidak tepat, serta absennya peran organik dan transformatif kaum intelektual, sulit dihindari terjadinya stagnasi pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia. Meskipun bergabung dalam IPM kategori tinggi, Indonesia masih berada di tangga-bawah kategori ini. Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam dan Malaysia. IPM Indonesia juga jauh lebih rendah dari rerata IPM kawasan Asia-Timur dan Pasifik, yang mencapai 0.747. IPM merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia, yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Perlu digarisbawahi, IPM beserta indeks turunannya seperti indeks pembangunan gender, indeks ketimpangan gender, dan indeks kemiskinan multidimensi, hanya penggalan dari keseluruhan “cerita” pembangunan manusia. Dirancang untuk menyederhanakan konsep besar pembangunan manusia dan memastikan aplikabilitasnya sebagai panduan, target dan instrumen monev pembangunan. Di luar IPM, namun, masih dalam kerangka pembangunan manusia, Indonesia mengalami kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, demokrasi yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Menyebabkan negara besar ini tertinggal dari negara-negara miskin seperti Etiopia dalam indeks persepsi korupsi dan keberlanjutan pangan, dan Timor Leste dalam indeks demokrasi dan kebebasan. Sekarang, Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa. Tapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari amanat Pancasila dan konstitusi. Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip hasil riset Ahmet T. Kuru (2019), profesor ilmu politik San Diego State University, asal Turki, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam, sejak abad 12, seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, spiral kekerasan dan otoritarianisme. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru. Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi