ALL CATEGORY
Jokowi Jilat Ludah Sendiri
TIDAK ada anggaran. Itu menjadi kenyataan, sehingga program Bantuan Sosial Tunai (BST) berakhir pada April 2021. BST yang nilainya Rp 300.000 per kepala keluarga merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 4 April 2021. Total penerimanya mencapai 10 juta kepala keluarga. Jumlah anggaran yang disiapkan selama empat bulan (Januari sampai April) Rp 12 triliun. Tidak ada angin, tiba-tiba Menteri Sosial Tri Rismaharani mengumunkan penghentian BST. Tidak jelas, apakah pengumuman Risma itu sebagai trik agar Kementerian Keuangan iba kepadanya. Tidak hanya trik, tetapi hal itu merupakan manuvernya, sehingga pada akhirnya jika ada masalah, presiden langsung turun tangan. BST merupakan salah satu program yang diluncurkan presiden pada 4 Januari 2021. Lainnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Rencana awal, bantuan hanya disiapkan Rp 200.000 per keluarga selama enam bulan (Januari sampai Juni 2021). Dengan berbagai pertimbangan, BST menjadi Rp 300.000 per kepala keluarga, atau sama dengan nilai yang diterima pada 2020. Hanya saja, jangka waktu diperpendek menjadi Januari sampai April 2021. Sangat ironis dan menyedihkan jika BST berakhir karena alasan anggaran tidak ada. Irinos, karena hal yang sangat dibutuhkan rakyat diiadakan, sementara Jokowi masih jor-joran membangun infrastruktur yang anggarannya jauh berlipat-lipat dibandingkan BST. Apalagi, nafsunya meneruskan pembangunan ibu kota negara, di Kalimantan Timur. Dananya, ratusan triliun. Padahal, pemindahan itu tidak begitu mendesak karena Jakarta masih layak sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ironis, karena pemerintahan Jokowi justru terkesan lebih memanjakan pengusaha besar dan orang-orang kaya, terutama konglomerat aseng. Buktinya, lihat saja anggaran yang disiapkan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 yang mencapai Rp 700 triliun. Coba ditelusuri ke mana saja dana itu mengalir. Menyedihkan, karena Dana PEN begitu besar, tetapi sedikit yang ke rakyat. Jika hanya Rp 12 triliun untuk empat bulan pertama, maka selama 2021 ini cukup dianggarkan Rp 36 triliun atau maksimal Rp 40 triliun. Menyedihkan, karena keberpihakan kepada rakyat yang membutuhkan, semakin jauh. Padahal, April 2021 merupakan bulan yang semakin berat, terutama dalam menghadapi Puasa Ramadhan, dan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah yang jatuh pada 13 Mei 2021. Kebutuhan masyarakat tentu meningkat. Seandainya pun masyarakat melakukan penghematan, pengeluaran tetap naik akibat melonjaknya harga sejumlah kebutuhan pokok. Seminggu menjelang puasa, harga berbagai jenis kebutuhan pokok naik. Misalnya, harga telur, harga ayam potong naik, dan harga daging. Harga telur rata-rata Rp 25.000 per kg. Padahal, dua pekan sebelum puasa, harganya masih berkisar Rp 22.000 sampai Rp 23.000 per kg. Harga daging naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 sampai Rp 140.000 per kg. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tahun ajaran baru dimulai. Ada anak yang baru mau masuk TK, SD, SMP, SLTA dan SMK. Ada yang naik kelas. Ada yang mau masuk perguruan tinggi. Semua membutuhkan biaya. Okelah, untuk SD dan SMP (Negeri), tidak ada uang pangkal, SPP, dan bahkan buku pelajaran gratis semua. "Gratis, tapi mahal," demikian kalimat yang terekam dari kalangan orang tua murid, terutama yang kurang, apalagi yang tidak mampu. Apalagi, anak yang masuk sekolah swasta, lebih berat lagi. Sebab, orang tua dibebani biaya membeli pakaian seragam, sepatu dan tas. Nilainya cukup mahal. Apalagi, jika dalam satu rumah tangga ada tiga anak yang sama-sama membutuhkan. Untuk DKI Jakarta, tidak masalah karena mereka memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang bisa ditukar dengan pakaian seragam sekolah. Akan tetapi, daerah lainnya tidak seperti Jakarta. Nah, kembali ke BST. Apakah pemerintah benar-benar sudah tidak memiliki anggaran atau sekedar gertak sambal dari Rismawati? Atau jangan-jangan ini pencitraan lagi. Caranya, di saat genting atau menjelang batas waktu, Joko Widodo akan tampil menyatakan dana BST tetap ada. Biar sesulit apa pun harus ada. Terserah dananya dari mana. Mau utang atau apa pun namanya, harus ada. Akan tetapi, jika Jokowo memaksakan dana BST harus ada di tengah minimnya anggaran, tentu hal tersebut menjadi bahan cemoohan. Sebab, semua orang juga ingat dan tahu tentang ucapannya sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, ia menegaskan tidak setuju terhadap semua progran bantuan tunai.sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar.minyak (BBM). Ia tidak setuju dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun progran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Alasannya, tidak.mendidik masyarakat. Sebenarnya, tidak hanya BLT, BLSM, BST yang tidak mendidik masyarakat. Bantuan-bantuan lainnya juga tidak mendidik rakyat. Apalagi, Bantuan Lempar Langsung (BLL) yang sering dipertontonkan Jokowi dari.mobil dinas Presiden, saat berkunjung ke daerah. BLT berubah nama menjadi BST. BST pun menjadi BLL. Ya, Jokowi sering tidak konsisten dengan perkataannya. Jika merujuk pada ucapannya pada Juni 2013, saat masih Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah menjilat ludahnya sendiri. Sebab, ia tidak setuju BLT, tetapi menggantinya menjadi BST.
Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillah Kapolri Waras (Bagian -2)
Tranparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis. Kami terbuka untuk diawasi, sehingga pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan, karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karena itu, setiap tindakan Polri harus ditujukan untuk mendukung memajukan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Calon Kapolri Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Depan Komisi III DPR). PRESISI itu bukan dengan cara mempidanakan orang yang menyerukan atau mengajak orang lain hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sejak kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu dinyatakan oleh hukum positif Indonesia sebagai kejahatan? Sejak kapan itu Pak Kapolri? Hukum apa yang mengatur soal itu Pak Kapolri? PRESISI ko seruan kepada orang untuk datang menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallhu Alaihi Wasallam dinyatakan sebagai “hasutan” Pak Kapolri? Ah, itu konyol sekali. Sebaiknya jangan yang seperti begitulah. Sebab pasti disebut masyarakat sebagai arogansi kekuasaan dari institusi kepolisian. Bukan lagi disebut sebagai arogansi anggota atau oknum polisi semata. Kapolri Yang Berkelas PRESISI, tetapi apakah menyedot dan menyadap data pribadinya Jumhur Hidayat secara diam-diam itu dibenarkan oleh hukum? Pastinya itu tindakan ngaco dan ngawur? Kebijakan itu pakai hukum atau UU dari planet mana ya Pak Kapolri? Kalau tidak salah ingat, kebijakan penyedotan dan penyadapan data pribadinya Jumhur Hidayat tersebut dilakukan saat Pak Sigit masih menjabat sebagai Kapala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Kapan dan pada UU apa polisi diberi wewenang untuk menyedot serta menyadap data pribadi warga negara? Ini pasti bukan pekerjaan polisi yang PRESISI Pak Kapolri. Perbuatan ini pasti arogansi namanya. Dibilang arogansi karena tidak ada UU yang memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap dan menyedot data pribadi dan percakapan pribadi orang. Meskipun tidak menggunakan alat canggih penyadapan dan penyedotan, namun pekerjaan yang arogan dan sewenang-wenang dengan mengabaikan UU seperti ini hanya ada pada eranya Polisi GESTAPO Nazi Hitler dulu. Pasti itu bukan pekerjaan polisi yang PRESISI. Itu memalukan betul Pak Kapolri. Masa hari gini polisi bekerja tanpa panduan UU? Masih ada aparatur negara yang berpikir menyembunyikan tingkah lakunya? Kekerasan aparat ko mau disembunyikan? Arogansi aparat ko mau diumpetin? Waraskah itu? Jelas saja itu tidak waras. Untung saja hari ini kita punya Kapolri yang waras. Sehingga TR yang hendak membatasi kebebasan pers memberitakan prilaku arogansi polisi itu dicabut. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam TR yang abal-abal tersebut dicabut Kapolri. Terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda memang Kapolri yang hebat, berkelas, top-markotop dan mengagumkan. Pak Kapolri Sigit sangat responsip dan prediktif terhadap keresahan dan kegalauan masyarakat Pers. Itu baru namanya sikap dan kebijakan yang PRESISI. Sekali lagi, terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda telah menunjukan dengan sangat jelas kelas dan kaulitas anda sebagai Kapolri yang PRESISI. Pastinya tidak ada aparat yang bukan hamba-Nya Allah Subhanau Wata’ala. Sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala tidak ada satupun tindakan aparatur yang berada di luar penglihatan rekaman Allah Subhanahu Wata’ala, Robb yang Haq. Secanggih apapun kekerasan dan arogansi itu diumpetin, tetap saja terekam dengan utuh oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalian boleh saja lolos di dunia. Tetapi tidak di alam Allah Azza wa Jallah. Allah Subhanahu Wata’ala yang maha tau setiap napas hamba-Nya pasti berada dalam genggaman-Nya. Pak Sigit, saran kami, berhentilah untuk mengurus hal-hal yang tidak menjadi tugas pokok anda sebagai Kapolri. Tidak usahlah anda ikut cawe-cawe, mengambil prakarsa sendiri atau apapun namanya menangani urusan-urusan pemerintahan yang menjadi tugas pokok kementerian tertentu. Anda hanya perlu menggunakan semua energi yang serba terbatas, untuk membangun Kepolisian. Itu sudah cukup. Tata Ulang Polisi Benahi saja kultur Kepolisian. Itu jauh lebih penting daripada anda harus menggunakan energi kesana-kemari menangani hal-hal yang telah menjadi tugas Kementerian lain. Kalau anda mencintai kepolisian, sama dengan cinta kami kepada kepolisian. Anda harus tahu juga, kalau arogansi yang terlembagakan dan menjadi kultur suatu organisasi, kelak akan melahirkan energi antipasti. Energi antipati itu akan bertransformasi menjadi undangan dan kebutuhan politik kepada bangsa ini, melakukan “Tata Ulang Kepolisian”. Sebab kalau terus-terusan arogan, dan dinilai polisi selalu andal sebagai tukang pukul politik Presiden, maka tampilan praktis polisi ditengah bangsa ini kelak akan dibuka oleh masyarakat. Akan dicerna dan dievaluasi semua prilaku polisi dengan deteilnya. Bisa dibayangkan kalau semua data itu menyuguhkan kenyataan bahwa polisi selalu saja begitu, yaitu “menjadi tukang pukul politik Presiden”. Selalu mengandalkan hukum di sepanjang sejarah bangsa ini untuk memukul lawan politik. Setidaknya sejak tahun 1959 lalu, sehingga kebutuhan untuk melakukan “Tata Ulang Kepolisian” bakal sulit terhindarkan. Bila data sejarah perilaku arogansi Polisi hadir secara detail di benak warga negara yang membiayai polisi, maka kenyataan itu bisa menghadirkan “Tata Ulang Kepolisian”. Tata ulang sebagai pilihan paling rasional dan mutlak. Itu yang harus diingat-ingat oleh Pak Kapolri. Belajarlah dari sejarah kelam masa lalu TNI yang “menjedi tukang pukul politik terhebat Presiden”. Jangan ulangi lagi kekeliruan TNI itu. Pak Kapolri tidak bileh lupa dengan celah konstitusi terlalu besar untuk bangsa ini memilih pilihan “Tata Ulang Kepolisian”. Coba lihat dan pelajari lagi UUD 1945. Hubungkan kemungkinan “Tata Ulang Kepolisan” itu dengan pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Esensi dari pasal 28I ayat (5) UUD 45 itu sangat sangat dan sangat jelas. Tidak ada penegakan hukum, yang dengan alasan apapun, membatasi hak asasi warga negara atau pribadi orang. Negara hukum mengharuskan pembatasan itu dilakukan, bukan hanya berdasarkan hukum ansich. Tetapi hukum yang selaras dengan panduan etika, moral, kaidah sosial dan politik yang masuk dalam timbangan akal sehat. Bagaimana dengan pasal 30 ayat (4), yang bicara tentang Kepolisian. Pasal ini menyediakan kaidah konstitusional untuk membatasi organisasi Kepolisian. Kadiah “menegakan hukum” itu tidak bersensi “menyelidik dan menyidik” mutlak hanya menjadi fungsi Polisi. Fungsi ini bisa dilakukan oleh organ lain negara di luar Kepolisian. Itu yang mungkin perlu diingat-ingat oleh Pak Kapolri Sigit. Dalam rangka memastikan pelaksanaan fungsi konstitusional Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi serta melayani masyarakat, maka diperlukan organ lain sebagai transformasi konstitusional 28I ayat (5) UUD 1945 itu. Organ ini mutlak disifatkan sebagai organ yang independen. Organ di luar polisi. Namu bukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sekedar saran, Pak Kapolri perlu mengasah kepekaan terhadap lingkungan politik. Kapolri harus pastikan lingkungan politik tidak boleh mengkristal pada kebutuhan untuk “Tata Ulang Kepolisian”. Polisi boleh saja dikenal hebat dan terlatih dalam lobi-lobi politik khusus. Tetapi politik punya cara kerja sendiri yang terkadang aneh-aneh. Sulit untuk diprediksi. Maka belajarlah yang banyak dari kekeliruan saudara tua. Prinsipnya anggota polisi jangan mengorbankan institusi polisi. Misalnya, dengan berusaha berlindung dibalik institusi polisi. Namun sebaliknya, institusi polisi jangan juga sampai digunakan untuk melindungi anggota yang jelas-jelas bersalah dan tidak PRESISI. Sebab kalau keadaan masyarakat menghendaki perubahan, maka dipastikan politisi-politisi akan mengubah haluan. Kalau perubahan itu ada depan mata, maka para politisi akan memilih untuk berlabuh di pelabuhan rakyat. Mereka akan bernyanyi dalam nada dan dan irama yang bersama-sama dengan rakyat. Itu pasti terjadi. Begitu cara politisi mencari jalan dan perahu untuk menyelamatkan diri. Tidak ada jalan yang bisa dipakai untuk dilewati politisi. Ketika itu, semua jalan menjadi buntu dan tertutup. Terimak Pak Kapolri yang sudah bertindak cepat mencabut TR abal-abal itu. Arogansi Polisi akhirnya bisa diberitakan lagi oleh Pers. Jelas sudah kalau Pak Kapolri Sigit menghendaki tampilan polisi yang humanis. Bukan polisi yang arogansi. Bersamaan dengan itu, Pak Kapolri harus pastikan bahwa pencabutan TR abal-abal itu menjadi akhir arogansi Polisi pada semua aspek penegakan hukum negeri ini. Semoga saja. (selesai).
Anomali dan Ironi Presiden
by Sutoyo Abadi Jogjakarta, FNN - ANOMALI bisa diartikan sebagai suatu keganjilan, keanehan, atau penyimpangan dari keadaan biasa (normal) yang berbeda dari kondisi umum suatu lingkungan. Ironi yang berarti penipuan atau pura-pura, merupakan bahasa kiasan yang mengimplikasikan sesuatu yang berbeda, bahkan ada kalanya bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan tersebut. Hampir semua yang dikatakan Presiden selalu berbeda pada akhirnya dengan yang di katakan sebelum-sebelumnya. Rocky Gerung menilai sikap Jokowi tidak mengerti arah kebijakan yang dicanangkannya. "Presiden betul-betul masuk dalam kategori man of contradiction, kami menangkap beliau tidak mengerti setiap arah kebijakannya akan ke mana," . Sejalan dengan pandangan Prof. Daniel M Rasyid, the crux of the problem permasalahan kepemimpinan Pak Jokowi itu adalah pada kegagalan kepemimpinan atau "leadership failure”. Jokowi tidak memiliki wawasan yang jelas tentang arah pembangunan di Indonesia, pemahaman dan penguasaan pada jiwa dan aksara Pancasila dan UUD 1945 masih kabur, serta wawasan Jokowi tentang globalisasi dan geopolitik pada umumnya juga tidak jelas. “Jadi memang _from the very beginning_ sudah mengusung portofolio kegagalan itu. Tidak tampak Pak Jokowi memiliki wawasan yang jelas tentang arah pembangunan di Indonesia. “Kegagalan kepemimpinannya telah melahirkan kegagalan atau _fiasco multidimensional_. Fiasco itu terjadi hampir di seantero kehidupan nasional bangsa Indonesia.” Kegagalan demokrasi yang telah berubah menjadi oligarki, otoritarianisme, nepotisme dan menjadi rezim pemborong kebenaran. Jadi dalam bahasa teknisnya itu rezim ini menjadi _solipsistik rezim_ yang merasa paling borong kebenaran, yang selain rezim itu keliru. “Di masa krisis seperti sekarang ini terlalu jelas bahwa Pak Jokowi memang tidak punya kompetensi kepemimpinan. Sampai kapan Anomali dan Ironi Presiden akan berahir, seperti tidak akan pernah berahir dan baru akan berakhir dengan berakhirnya Presiden mengahiri masa jabatannya. End. Penulis Sekretaris KAMI se-JAWA
Lembaga Ristek Dalam Bayang-Bayang Indoktrinasi
by Dipo Alam Jakarta, FNN - Setelah bereksperimen mengeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada periode pertamanya dulu, sebuah eksperimen yang terbukti gagal dan kemudian dianulir sendiri setelah lima tahun; di periode keduanya ini Presiden Joko Widodo kembali bereksperimen dengan “membubarkan” Kemenristek dan meleburnya ke Kemendikbud. Memang butuh waktu untuk menilai apakah keputusan ini akan berhasil atau kembali membentur kegagalan. Namun, kita bisa langsung menilai jika dari kacamata kebijakan publik dan manajemen riset, keputusan untuk “membubarkan” Kemenristek adalah sebuah keputusan yang buruk. Ada tiga alasannya. Pertama, mengubah nomenklatur kementerian di tengah jalannya pemerintahan dengan jelas menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki horison perencanaan jangka panjang. Kecuali perubahan pejabat kementerian, susunan lembaga kementerian seharusnya sudah selesai begitu Presiden mengumumkan susunan kabinet. Tidak heran jika publik, terutama yang berkecimpung di dunia riset dan akademik, sulit mempercayai kalau perubahan ini benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki kelembagaan riset dan inovasi teknologi di tanah air. Walaupun, ketika itu diharapkan universitas kita menuju kiat research university. Kedua, riset jenjangnya berbeda dan bahkan jauh lebih tinggi daripada universitas serta lembaga pendidikan lainnya. Itu sebabnya, sejak Kementerian Riset pertama kali dibentuk pada masa Kabinet Kerja III (1962), dan bertahan hingga Kabinet Dwikora II (1966), kementerian ini tidak pernah berada satu kompartemen dengan bidang pendidikan dan pengajaran. Begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru memasukkan kembali Kementerian Riset ke dalam nomenklatur kabinet sejak Kabinet Pembangunan II (1973-1978), posisinya tidak pernah disatukan dengan kompartemen pendidikan. Sehingga, menyatukan dapur riset dengan dapur pendidikan dan pengajaran bukanlah sebuah langkah langkah baru yang menjanjikan berhasil-guna. Ketiga, “pembubaran” Kemenristek terjadi bersamaan dengan munculnya nomenklatur baru bernama Kementerian Investasi di dalam kabinet. Menurut saya, ini sangat tragis. Di satu sisi Pemerintah beralasan pembubaran Kemenristek adalah karena sekarang telah ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tetapi di sisi lain, mereka malah memunculkan kementerian baru dalam bidang investasi, padahal kita sudah memiliki BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Dalam Surat Presiden (Surpres) No. R-14/Pres/03/2021 yang dikirim kepada DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Kita pun jadi bertanya-tanya. Jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di kabinet, kenapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di kabinet?! Sebagai catatan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk kepada Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai organisasi otonom di luar kementerian dapat membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Bayang-bayang Indoktrinasi Ideologi Saya khawatir, keputusan Presiden untuk lebih memenangkan BRIN daripada Kemenristek ini lebih banyak didikte oleh kepentingan politik praktis daripada kepentingan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hari Kamis, 8 April 2021 kemarin, dalam tajuknya, Koran Tempo menulis jika PDI-P, yang aktif mengawal pengesahan UU No. 11/2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu bahkan telah dilakukan dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila itu, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Ada lima pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan 49. Dalam Pasal 35 Ayat (2), misalnya, disebutkan, “Untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal tersebut cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Apa perlunya mengulangi hal itu, apalagi sampai mengandaikan jika perintah pendirian BRIN tersebut ada kaitannya dengan keinginan semacam “penataran” ideologi Pancasila? Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Yang dimaksud sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP adalah ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis Cina (PKC) di Republik Rakyat Tiongkok. Sampai di sini muncul pertanyaan akhir: kenapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa memiliki hasrat yang demikian besar untuk mengatur badan lain yang mengurusi soal riset dan inovasi nasional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktikal?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika kita membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres No. 74/2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Selain itu, semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah menurut RUU HIP tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Saya kira, berbagai pertanyaan di atas perlu segera dijawab oleh Pemerintah, termasuk DPR yang telah menyetujui “pembubaran” Kemenristek. Jangan sampai kita mempertaruhkan masa depan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air untuk kepentingan yang tidak jelas. Kebijakan ristek yang tidak jelas orientasinya tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi, dalam lima belas tahun terakhir kompetensi sains kita, terutama di level pelajar, bisa dikatakan berada pada level yang buruk. Kalau kita merujuk pada peringkat PISA (Programme for International Student Assessment), misalnya, peringkat kita sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, misalnya, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara. Sementara, untuk nilai Matematika, kita berada di peringkat 72 dari 78 negara. Dan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Peringkat kita konsisten buruk sejak penilaian tersebut pertama kali dirilis pada tahun 2000 silam. Bagaimana kompetensi sains kita akan meningkat, jika kebijakan riset dan pendidikan kita dibiarkan tambal sulam tak punya arah semacam itu? Penulis adalah Peneliti PAPIPTEK (Pusat Analisa Perkembangan Iptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1990-1993)
Di Lokasi Bencana, Jokowi Kampanye Tiga Periode
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Dalam sejarah bencana di Indonesia, baru pertama kali badai tropis melanda negeri ini. Badai itu kemudian dinamakan Badai Seroja yang telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa hari lalu. Akibat bencana ini, setidaknya 150 orang meninggal dan puluhan warga lainnya hilang. Banyak pula rumah warga yang rusak, jembatan putus dan hewan ternak yang lenyap terbawa arus banjir bandang. Bencana yang memilukan ini kemudian mengundang Presiden Jokowi untuk datang ke sana. Meski dalam suasana keprihatinan dan rasa duka akibat bencana, tidak mengurangi semangat warga untuk datang menyambutnya. Sayangnya, warga yang antusias menyambut kedatangan Jokowi bergerombol di berbagai lokasi yang didatangi kepala negara. Sementara Presiden Jokowi terlihat suka ria dan menikmati menyaksikan antusias warga yang mendatanginya sambil berkerumun. Pada momen itu, Jokowi, dan para pejabat yang mendampingi serta petugas keamanan memang menggunakan masker, tapi massa yang datang mengabaikan aturan prokes. Bahkan sebagian dari mereka berdesak-desakan agar bisa mendekat ke Jokowi. Ironisnya, Jokowi sendiri datang ke lokasi bencana bagaikan pahlawan perang yang datang ke lokasi yang hancur diluluhlantakkan oleh bencana banjir bandang dan longsor. Raut wajah Jokowi tidak terlihat sedikitpun adanya kekhawatiran terpapar Covid19 saat melihat antuasiasme massa yang bergerombol menyambut kedatangannya. Yang terlihat sibuk hanya petugas keamanan terutama paspampres. Mereka hanya berusaha menghalau massa yang berusaha merangsek agar bisa mendekati Jokowi. Sementara Presiden sendiri tenang saja, seolah tidak merasa bersalah berada ditengah kerumunan di massa pandemi Covid19 ini. Bahkan beliau menikmati suasana tersebut. Hal itu terlihat dari aksi Jokowi yang memberikan jaket kepada seorang pemuda di daerah Adonara bernama Jackson, yang tiba-tiba berteriak: "Lanjutkan 3 Periode !" Mendengar teriakan itu, Jokowi kemudian memanggil Jakcson dan sempat berbincang dengan pemuda yang mengaku pengangguran itu. Setelah beberapa saat berbincang, Jokowi kemudian membuka jaket yang dipakai pada saat itu dan langsung memberikannya kepada Jakcson. Melihat drama itu, secara spontanitas, warga berteriak histeris meminta Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinan periode ke 3. Dari drama tersebut, warga setempat seolah lupa dengan bencana yang telah menderanya. Mereka pun lupa dengan pandemi Covid19 sehingga bebas bergerombol menyambut kedatangan Jokowi. Beda Jokowi & PM Norwegia Saat kunjungan ke Maumere NTT, aturan prokes juga diabaikan oleh Presiden Jokowi. Saat seperti itu, protokol kesehatan seolah tidak berlaku bagi masyarakat maupun bagi Jokowi sendiri. Prokes hanya berlaku untuk masyarakat lain yang melakukan kerumunan namun tidak dihadiri Jokowi. Acara pernikahan Youtuber terkenal Atta Halilintar dengan artis Aurel Hermansyah tidak jadi masalah besar bagi para elite bangsa ini karena dihadiri Presiden Jokowi, Menhan Prabowo dan Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo. Sebaliknya pernikahan putri Habib Rizieq Shihab, dipersoalkan hingga dibawa ke ranah hukum dan saat ini sedang dalam proses persidangan di PN Jakarta Timur. Tidak hanya itu, akibat persoalan prokes itu pula enam anak muda laskar FPI dibunuh secara keji. Belum lagi rekening tabungan keluarga Habib Rizieq dan pengurus FPI dibekukan oleh rezim penguasa melalui PPATK. Tidak cukup sampai disitu, organisasi FPI pun ikut dibubarkan. Itu semua terjadi hanya karena mereka dituduh telah melanggar prokes. Seharusnya kalau Habib Rizieq sudah membayar denda Rp 50 juta, terbebas dari ancaman hukuman pidana. Tapi ternyata realitanya berbeda. Ini tentu kontras dengan pemandangan yang dilihat publik saat menyaksikan Presiden Jokowi berkunjung ke sejumlah daerah dan lokasi bencana di NTT belum lama ini. Dalam kunjungan itu, prokes tidak berlaku terutama tentang aturan menjaga jarak aman. Aturan prokes sebenarnya bukan hanya distancing antara Jokowi dengan massa tapi seharusnya aturan menjaga jarak aman diberlakukan bagi masyarakat yang datang menyambut kedatangan Jokowi. Kalau kemudian alasannya petugas tidak bisa melarang massa yang ingin bertemu dengan Jokowi maka aturan Prokes seharusnya tetap dijalankan. Bukankah massa umat Islam yang ingin menyaksikan sidang Habib Rizieq di PN Jaktim juga sangat banyak ? Bahkan sebenarnya massa dari berbagai daerah ingin datang ke Jakarta, tapi karena petugas di pengadilan menjalankan tugasnya dengan ketat akhirnya hanya sebagian kecil saja massa yang datang ke PN Jaktim. Itupun mereka dihalau petugas agar menjauh dari lingkungan PN Jaktim. Dalihnya, lagi-lagi soal prokes. Sekali lagi, jika melihat rangkaian peristiwa kunjungan Presiden ke berbagai daerah, aturan Prokes ini tidak berlaku bagi Jokowi. Potret perilaku Jokowi kontras dengan Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg. Seperti dilansir kantor berita Reuters, Jumat (9/4/2021), Kepolisian Norwegia menjatuhkan hukuman denda terhadap PM Erna Solberg karena melanggar aturan social distancing yang diberlakukan selama pandemi virus Corona (COVID-19). PM Solberg dihukum denda karena menggelar acara perkumpulan keluarga untuk merayakan ulang tahunnya di saat pandemi Corona merajalela. Kepala Kepolisian Norwegia, Ole Saeverud, dalam konferensi pers mengatakan, hukuman denda untuk PM Solberg ditetapkan sebesar 20 ribu Krone Norwegia, atau setara Rp 34 juta. Bulan lalu, PM Solberg yang menjabat selama dua periode ini meminta maaf kepada publik setelah menggelar acara untuk merayakan ulang tahunnya ke-60 tahun. Kita seperti melihat bumi dan langit. Memang sangat kontras jika kita menyaksikan perilaku Jokowi dengan sikap dan keteladanan yang ditunjukkan PM Norwegia Erna Solberg. Sebenarnya Jokowi bisa menunjukkan rasa peduli kepada masyarakat NTT yang menjadi korban bencana dengan cara elegan tanpa khawatir dicap sebagai kepala pemerintahan yang membuat aturan sekaligus pelanggar aturan prokes Covid19 seperti sekarang ini. Caranya, datang ke Ibu Kota NTT di Kupang. Lalu melalui kewenangannya sebagai Kepala Negara, dia bisa mengumpulkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, para pejabat terkait, dan para kepala daerah di sana. Jangan lupa juga memerintahkan Mensos Tri Rismaharini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimoeljono dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo, untuk hadir. Kemudian adakan rapat secara efektif untuk menentukan tahapan bantuan dalam masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Saya kira, secara umum tahapan dalam menghadapi bencana alam seperti itu. Sayangnya, langkah seperti itu tidak nampak dalam penanganan bencana di era rezim Jokowi. Akhirnya, yang terjadi kita hanya menyaksikan aksi show off seorang Mensos Tri Rismaharini dan atau aksi tebar pesona seperti yang ditunjukkan Jokowi selama ini. Padahal, bencana alam tidak bisa dikerjakan sendirian oleh satu instusi pemerintah. Juga tidak bisa diselesaikan hanya dengan aksi pencitraan dari seorang presiden. Sebaliknya penanganan bencana perlu dilakukan melalui kerja sama-sama. Terkoordinasi diantara instansi pemerintah pusat dan daerah. Perlunya dilakukan kolaborasi dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga bantuan sosial. Kalau cara kerja Presiden Jokowi selama ini masih menonjolkan aspek pencitraan, jangan berharap mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat bangsa Indonesia. Mungkin bagi masyarakat lapisan bawah seperti di NTT sosok dan perilaku Jokowi bisa saja dipuja puji dan dielu-elukan. Tetapi bagi lapisan masyarakat yang berpikiran waras, sosok pemimpin yang lebih mengutamakan pencitraan akan merugikan masyarakat sendiri. Jika Jokowi masih mengutamakan pencitraan demi meraih ambisinya memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode. Maknya maka semua hal bisa dilanggar termasuk aturan soal Prokes Covid19. Oleh karena itu jika sekarang masyarakat dan warga +62 ingin mengadakan hajatan atau keramaian, cara yang paling aman agar terhindar dari jebakan aturan tentang Prokes adalah dengan mengundang Jokowi. Dijamin tidak akan didenda atau dihukum seperti yang dialami Habib Rizieq.* Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillaah Kapolri Waras (Bagian-1)
SOAL kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia menjadi ganjalan utama 13 Negara Bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia (konvensi pembentuan Negara Amerika Serikat) tahun 1787. Empat tahun kemudian, padaamandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 Negara Bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Hasil amandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791 itu, berbunyi begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat Rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Sebagai “the four of state democration”, secara moral Pers diberikan tugas oleh rakyat untuk menguliti dan menelanjangi prilaku aneh dari semua penyelanggara negara yang dibayar gajinya dari pajak rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak memihak kepada rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak untuk menyukseskan cita-cita dan tujuan bernegara. Sebaliknya, malah menyeserakan rakyat. Polisi GESTAPO Nazi Hitler Alhamdulillah, Polri mengatakan pencabutan surat telegram Kapolri Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait larangan media menampilkan “kekerasan aparat” (tanda petik dari kami) lantaran muncul banyak tafsir di masyarakat. Kapolri Pak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, akhirnya menyampaikan permintaan maaf atas terbitnya Telegram Rahasia (TR) larangan media. TR itu kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat yang diartikan media dilarang meliput upaya dan tindakan arogansi anggota polisi. Kapolri dalam keterangan tertulisnya, beredar di Jakarta, Selasa (6/4) malam, mengatakan dicabutnya TR tentang larangan media tersebut sebagai wujud Polri tidak antikritik. Polri bersedia mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. "Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Kapolri. Bagus, hebat, berkelas dan top markotop. Sebab Kapolrinya waras. Punya akal sehat. Sebab untuk dan dengan alasan apapun, pembatasan pemberitaan pers memberitakan hal-ihwal perilaku Polisi, itu jelas arogan. Polisi yang tak bisa dikiritik itu hanya Polisi Gestapo di zaman Nazi Adolf Hitler dulu. Polisi Gestapo itu arogannya minta ampun. Arogannya tak ketulungan. Polisi Gestapo Nazi Hitler itu bisa menguping, mengintersep, menyadap seenak udel mereka terhadap siapa saja yang berbicara di luar garis politik Hitler. Seperti itulah kelakuannya Polisi Gestapo. Polisi itu punya senjata berpeluru tajam. Polisi juga punya senjata hukum. Dua senjata itu membuat mereka menjadi sangat super power. Karena kedua-duanya sama-sama mematikan. Polisi bisa saja menggunakan senjata berpeluru tajam yang mematikan setiap orang hanya dengan alasan-alasan yang direkayasa. Itulah yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran mengatakan mereka melawan dan membahayakan petugas. Belum lama ini, Nurhadi yang sudah mempelihatkan diri sebagai wartawan Tempo dianiaya Polisi. Nurhadi dianiaya saat berupaya mencari informasi tentang mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Orang ini diduga terlibat kasus suap pemeriksaan pajak pada Sabtu, 27 Maret 2021 yang lagi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurhadi dianiaya di Gedung Graha Samudera Bumimoro, kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Surabaya. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, Nurhadi tetap dipukul, dipiting dan sempat disekap selama beberapa jam di hotel. Apakah Pak Kapolri telah mengambil tindakan terhadap ariogansi anak buah yang menganiaya Nurhadi? Apa penanganan kasus ini mau dilambat-lambatkan lagi seperti penanganan kasus pembunuhan laskar FPI di kilometer 50 tol Japek? Kalau memiliki nuansa yang sama dengan kasus kilometer 50 tol Japek, maka sulit untuk menilai bahwa Pak Kapolri punya hasrat menghentikan prilaku arogansi anak buahnya. Kapolri Mengerti UUD 45? Polisi di bawah kepemimpin Pak Kapolri Sigit saat ini, tentu tak mau negara ini diplesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI). Kalaupun mau jadikan Indonesia negara Polisi, maka bukan Polisi yang menentukan arah itu. Pak Kapolri dan jajarannya kan tahu bahwa Polisi itu baru ada setelah negeri ini merdeka. Polisi baru ada setelah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pak Kapolri dan jajarannya pasti tahu bahwa BKR dibentuk tidak untuk “melakukan kekerasan dan arogan” kepada rakyat. BKR itu dibentuk untuk melindungi rakyat dari tindak-tanduk bejat tentara sekutu dan KNIL, tentara Kerajaan Belanda itu. Makanya menjadi tidak logis kalau polisi yang arogan terhadap rakyat. Rakyat itu pemilik bangsa ini. Bukan milik Polisi. Kapolri harus mengerti juga UUD 1945. Rakyat itu bukan musuh polisi. Polisi juga bukan tukang pukul politik dari Presiden. Kapolri harus diberitahu pembatasan pers memberitakan perilaku arogansi polisi dalam menjalankan tugasnya, sama hukumnya dengan membatasi hak warga negara untuk mendapat informasi. Pembatasan hak warga negara hanya sah kalau diatur dengan UU. Begitulah UUD 1945 menggariskannya kepada bangsa ini. Bukan pakai TR kalau membatasi hak warga negara. Terima kasih Pak Kapolri atas pencabutan TR yang abal-abal itu. TR yang sebagian isinya melarang pemberitaan kekerasan dan arogansi aparat polisi. Jangan hanya kejahatan orang saja yang mau diusut. Tetapi giliran kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan. Ini cara berpikir yang abal-abal, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mendekorasi jalan menuju kursi Kapolri dengan konsep “PRESISI” itu hebat, kerkalas, top markotop dan sangat mengagumkan. Tetapi kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan, jelas itu konyol. Sebab PRESISI itu bukan profesional yang sembunyikan kekerasan dan arogansi polisi. PRESISI itu bukan pula profesional berprilaku menyadap atau menyedot data pribadi orang, seperti data pribadinya Jumhur Hidayat, yang disedot secara diam-diam. PRESISI itu bukan memperlakukan hukum yang berbeda pada kasus yang sama. Kerumunan yang dihadiri oleh Presiden, dianggap benar. Tetapi giliran orang lain, misalnya Habib Rizieq Shihab, malah dijadikan tersangka dan dipenjarakan. Itu bukan presisi. Ini namanya arogansi. Cara dan pola seperti itu pernah dipakai oleh Polisi GESTAPO Nazi Hiler dulu. PRESISI, tetapi berbulan-bulan baru menemukan tiga tersangka dalam kasus pembunuhan di kilometer 50 tol Japek? Sudah begitu wajah tiga orang tersangka tidak pernah ditampilkan. Ujug-ujug sudah ada tersangka yang meninggal, karena tabrakan tunggal? Beda betul dengan perlakukan terhadap Habib Rizieq Shihab, Dr Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang diperlihatkan kepada publik dengan baju warna oranye dan tangan diborgol. Nyawa anak bangsa, enam anggota Laskar FPI ternyata lebih rendah dari kritik terhadap Presiden. Tersangka pembunuh enam laskar FPI diumpetin. Tetapi mereka yang mengeritik terhadap Presiden dan DPR yang sedang membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah ditampilkan secara demonstratif kepada publik. Betul-betul itu prilaku yang arogan. Dimana itu PRESISI diumpetin? (bersambung).
Musim Reshuffle, Menristek Pamit di Kunjungan Daerah Terakhir
KONSEKUENSI disetujuinya usulan Presiden Jokowi terkait penggabungan Kemendikbud dan Kemenristek yang telah disetujui oleh DPR RI, membuat Menristek Bambang Brodjonegoro merasa harus pamit dari kabinet. Ya, asumsinya yang akan dipakai adalah Mendikbud Nadiem Makarim yang akan duduk menjadi menteri hasil penggabungan dua kementerian tersebut. Tak ayal membuat Menristek merasa dirinya sudah tak lagi dibutuhkan, padahal bisa saja Bambang Brodjo yang dijadikan Mendikbud atau setidaknya Wakil Mendikbud. Saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Sulawesi Selatan, Bambang mengatakan kegiatannya hari itu merupakan kunjungan kerjanya yang terakhir sebagai Menristek. "Kunjungan daerah pertama saya sebagai Menristek itu adalah ke Unhas. Waktu itu saya membuka joint working group meeting Indonesia-Prancis dalam bidang penelitian didampingi Rektor, dan hari ini mungkin kunjungan saya yang terakhir ke daerah sebagai Menristek," kata Bambang saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin, Jumat (9/4). Alasannya, sesuai dengan rapat paripurna DPR RI, maka tak ada lagi Kemenristek. Karena sesuai dengan hasil sidang paripurna DPR tadi, Kemenristek akan dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi artinya tak ada lagi Kemenristek dan tak ada lagi kunjungan daerah dari Menristek ke mana pun. Bambang menjabat sebagai Menristek/Kepala BRIN sejak 20 Oktober 2019. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas sejak 27 Juli 2016 sampai 20 Oktober 2019. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 27 Oktober 2014-27 Juli 2016. Dengan demikian, jabatan Bambang telah berganti sebanyak tiga kali selama pemerintahan Jokowi. Penggabungan Kemenristek ke Kemendikbud yang telah disetujui DPR RI disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemarin. Sesuai hasil rapat konsultasi pengganti rapat Bamus 8 April 2021 yang telah bahas surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian dan menyepakati penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kemenristek ke Kemendikbud sehingga menjadi Kemendikbud dan Ristek, pembentukan Kementerian Investasi untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan. Rupanya, hasil keputusan rapat Bamus pengganti rapat konsultasi terhadap pertimbangan penggabungan dan pembentukan kementerian disetujui Rapat Paripurna. Untuk memperkuat kebijakannya, Presiden Jokowi pun menyambangi kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Seperti biasa, PDIP pun menyambut baik usulan penggabungan Kemendikbud dan Kementistek. Satu lagi usulan yang mencuat adalah disetujuinya keberadaan Menteri Investasi. Selama ini urusan investasi ditangani oleh Badan Kooordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang diketuai oleh Bahlil Lahadalia. Memang agak aneh ada Menko Kemaritiman dan Investasi tapi tidak ada Menteri Investasi, bisa saja Bahlil naik menjadi menterinya. Tapi melihat kinerja investasi yang di bawah target, boleh jadi akan ada figur baru yang akan menduduki jabatan itu. Ada figur seperti Sandiaga Salahudin Uno, ada Gita Wirjawan, ada juga Yuliot Tanjung, ada Mahendra Siregar, Ignasius Jonan, Silmy Karim, hingga Ito Warsito. Pendek kata, musim reshuffle mekar kembali. Ada kekhawatiran, ada harapan. Tapi jangan sampai ini adalah bagian dari pengalihan isu, karena masalah sesungguhnya adalah utang yang menggunung, pengangguran bertambah, korupsi yang merajalela, dan demokrasi yang sedang terhempas. Kalau sudah begini yang diperlukan bukan sekadar reshuffle kabinet, melainkan reshuffle presiden.
Bahaya Efek Simpang Vaksin AstraZeneca, Indonesia Harus Waspada!
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Indonesia wajib waspada terkait efek simpang Vaksin AstraZeneca. Pasalnya, selain Vaksin Sinovac, Indonesia kini juga melakukan vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca. Peringatan ini mengacu pada catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB. Meskipun MHRA (The Medicines and Healthcare Produsts Regulatory Agency) baru akan mengumumkan hasil kaji ulangnya pada Rabu atau Kamis pekan depan, tapi hampir pasti ada kaitan antara terbentuknya gumpalan darah di otak dengan AstraZeneca. AstraZeneca itu dibuat dengan teknologi viral vector menggunakan adenovirus chimpanzee. MHRA menerima laporan 30 kasus penggumpalan darah, dengan 7 diantaranya meninggal, setelah dilakukan vaksinasi terhadap lebih dari 18 juta orang di UK. Pihak EMA (The European Medicines Agency) juga tengah menyelidiki laporan 44 kasus penggumpalan darah di otak, dan bersifat sangat langka, disebut sebagai CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis). Kasus itu terjadi setelah dilakukan vaksinasi terhadap 9,2 juta orang di European Economic Area, yang meliputi negara-negara Uni Eropa, Islandia, Liechtenstein, Norwegia, Perancis, Jerman, dan Belanda menghentikan sementara vaksinasi pada orang muda. Penghentian vaksinasi dengan vaksn AstraZeneca ini, karena kasus penggumpalan darah itu banyak terjadi pada wanita muda atau setengah baya. Meski demikian kelompok ini belum dianggap sebagai kelompok berisiko. Dugaan sementara, menurut Arie Karimah, vaksin memicu produksi antibodi yang tidak biasa. Namun, asumsi ini dibantah, mengapa tidak terjadi pada vaksin lain, yang sama-sama menjadikan spike protein virus sebagai target vaksin. Ada kemungkinan lainnya berkaitan dengan penggunaan pil KB. Tapi, belum ada data yang diungkap: berapa persen pengguna pil KB yang disuntik vaksin AstraZeneca dan mengalami kasus CVST? Sebelumnya, Arie Karimah menulis tentang Breakthrough Infection at Michigan, Amerika Serikat. Negara bagian Michigan, yang telah selesai memvaksinasi lebih dari 1,8 juta warganya, kini tengah menyelidiki kasus “breakthrough” infection. “Breakthrough” infection itu terinfeksi setelah divaksinasi. Mereka mencatat: 246 orang masih bisa terinfeksi, 2 minggu atau lebih setelah suntikan kedua vaksin Pfizer atau Moderna, atau setelah suntikan vaksin Johnson & Johnson, yang memang cukup sekali suntik. Dari 1,8 juta hanya 100.000 orang yang mendapat vaksin J&J. Ada 11 orang perlu dirawat di rumah sakit. Artinya, ini “melawan pakem” bahwa kalau sudah divaksinasi jika pun terinfeksi maka infeksinya ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Tiga orang meninggal, 2 di antaranya dalam waktu 3 minggu setelah vaksinasi penuh. Mesk angka-angka ini kecil bila dibandingkan jumlah yang sudah divaksinasi, namun hal itu menguatkan 2 hal yang selalu perlu diingatkan kepada publik: Pertama, vaksin tidak memberikan garansi mutlak (risiko nol persen) tidak akan terinfeksi. Kedua, memakai masker dan protokol kesehatan lainnya masih tetap penting selama musim pandemik masih berlangsung. Kasus “breakthrough” infection ini tidak terlalu mengejutkan, karena pada mereka yang telah berusia lanjut atau memiliki sistem immune yang lemah bisa jadi tidak mampu membentuk antibodi yang cukup untuk melawan infeksi, meski sudah “dilatih” oleh pemberian vaksin. Dan sekalipun vaksinnya memiliki efikasi yang nyaris sempurna: Pfizer 95% dan Moderna 94%. Tapi Johnson & Johnson “hanya”: 66% untuk mencegah infeksi sedang, dan 85% untuk mencegah infeksi parah. Di samping itu, kluster sekolah di Michigan meningkat hingga 47% hanya dalam waktu 2 minggu, sehingga sebagian sekolah memutuskan untuk belajar dari rumah kembali. Menurut Arie Karimah, pengetahuan tentang infeksi Covid-19 terus berkembang. Apa yang dianggap benar sebulan yang lalu belum tentu masih terjaga kebenarannya bulan ini. Perlu dipahami terlebih dahulu istilah yang benar tentang reinfeksi Covid-19, yang berbeda dengan infeksi saluran pernafasan lainnya, juga perbedaannya dengan istilah lain: Reinfeksi: terjadi jika seseorang terinfeksi Covid-19, kemudian sembuh dan virusnya tidak terdeteksi lagi oleh PCR, tapi kemudian terinfeksi kembali dengan strain virus yang berbeda. Jadi dibutuhkan genetic sequencing untuk memastikan terjadinya reinfeksi. Bukan sekedar munculnya kembali gejala yang sama/mirip. Di seluruh dunia baru tercatat kurang dari 50 orang yang mengalami reinfeksi, sehingga kasusnya dianggap jarang/langka. Di AS hanya tercatat 5 kasus. Jadi, reinfeksi hanya bisa dipastikan setelah diketahui genome virus di infeksi pertama dan kedua berbeda. Perlu dilakukan 2 kali sampling pada satu orang: di infeksi pertama dan kedua. Dan pada masing-masing sampel itu dilakukan genome sequencing. Genetic sequencing adalah proses untuk mengidentifikasi sidik jari sebuah virus yang spesifik, sehingga bisa dibandingkan dengan strain virus yang lain. Contoh genetic sequencing. Sebagai ilustrasi kemampuan genomic sequencing AS: 10 Jan: 252 sequences per minggu; 24 Jan: 2.238 sequences per minggu; Pertengahan Feb: 6.000 sequences per minggu. UK melakukan sequencing terhadap 5-10% dari sampel yang mereka miliki. Bagaimana dengan kita? Berapa per bulan? Seorang epidemiologist di state of Washington mengatakan, mereka berusaha melakukan genetic sequencing untuk genotyping 5% dari seluruh sampel yang sudah terkumpul. Dengan cara ini baru memungkinkan untuk menyortir 700 sampel yang berpotensi reinfeksi. Genotyping juga akan membantu menandai keberadaan hasil mutasi genetik (varian), yang bisa mempengaruhi seberapa mudahnya virus menyebar dan seberapa parah infeksi yang ditimbulkannya. Long-Haul Covid: infeksi pertama memicu gejala yang sangat melemahkan tubuh, yang bisa bertahan hingga berbulan-bulan, dan partikel virusnya bisa terus terdeteksi oleh PCR. Reaktivasi Virus Dormant. Seperti halnya bakteri, sebagian virus juga bisa mengalami kondisi tidur (dormant), yaitu virus tetap ada di dalam tubuh namun tidak aktif dan tidak menunjukkan gejala penyakit. Mirip dengan OTG, namun bedanya kasus dormant ini yang bersangkutan pernah terinfeksi dan menunjukkan gejala. Virus dormant ini load-nya sangat rendah, dan bisa berada di bagian lain di luar saluran pernafasan, sehingga tidak terdeteksi oleh PCR. Baik karena lokasi keberadaannya yang tidak terjangkau oleh swab, atau memerlukan CT (cycle threshold) yang sangat tinggi untuk bisa terdeteksi. Tapi mereka bisa menyerang kembali suatu hari nanti. Rendahnya viral load. Ini jugalah yang bisa menjelaskan kenapa penderita bisa mengalami kehilangan indra penciuman (anosmia) dan rasa (dysgeusia) begitu lama, karena virusnya masih berada di dalam tubuh dan melakukan replikasi (perkembangbiakan) dalam jumlah yang sangat kecil dalam jangka waktu yang lama. Berbulan-bulan. Arie Karimah khawatir yang dianggap reinfeksi di Indonesia adalah reaktivasi virus dormant. Contoh yang sudah sangat dikenal tentang reaktivasi virus dormant adalah pada kasus herpes genital, yang disebabkan oleh virus Herpes Simplex tipe 2. Berapa lamakah perlindungan alamiah yang diberikan oleh infeksi Covid-19 yang pertama? Penelitian terbaru menunjukkan, antibodi dan memory T-cells dan B-cells, yang berfungsi mengingat bentuk virus dan bagaimana cara memproduksi antibodinya, bisa bertahan lebih dari 8 bulan. Apakah mereka yang sudah pernah terinfeksi perlu waspada terhadap reinfeksi? Jawabannya: Iya. Mereka mungkin tidak perlu khawatir selama beberapa minggu, atau bahkan beberapa bulan setelah sembuh. Namun setelah itu tidak ada jaminan tidak akan mengalami reinfeksi. Dua faktor yang akan menentukan apakah akan terjadi reinfeksi, dan berapa cepat reinfeksi bisa terjadi: Faktor internal: berapa banyak produksi (titer) antibodi yang terbentuk saat infeksi yang pertama. Makin rendah berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi. Jadi mereka yang mengalami infeksi ringan juga lebih berpeluang mengalami reinfeksi, karena diduga titer antibodinya masih rendah. Faktor eksternal: berapa sering bertemu dengan virus. Hal ini mencakup: berapa orang penular yang ditemui, berapa sering, dan berapa lama pertemuannya. Makin sering berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi. Apakah gejala yang muncul pada reinfeksi lebih ringan atau lebih parah? Sebagian besar lebih ringan, karena tubuh sudah menghasilkan antibodinya. namun gejala juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti disebutkan di atas. Dalam studi di Qatar, Inggris, dan AS menyebutkan peluang reinfeksi hanya 0,1 - 0,2%, dan reinfeksi terjadi pada sekitar waktu 16 – 20 minggu setelah infeksi pertama. Jadi, seringan apapun infeksinya, long-haul Covid-19 akan menyebabkan gejalanya terus ada selama beberapa bulan di organ-organ tubuh yang terpengaruh. Virusnya masih ada dan tidur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Sabar, Ada Saatnya Nanti Jokowi Urus Rakyat Kecil
by Asyari Usman Medan, FNN - Semakin banyak yang kecewa. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga hanya melayani sebagian orang-orang besar. Besar partai, besar duit, besar mulut (buzzer), besar follower (Youtuber), besar khianat, dlsb. Sejumlah pendukung loyal Jokowi ikut kecewa terhadap perlakuan istimewa dari Presiden kepada Youtuber 26 juta follower: Atta Halilintar. Entah mengharapkan apa, Jokowi menghadiri acara akad nikah Atta dan Aurel pada 3 April 2021. Kepada yang kecewa, jangan berkecil hati. Bersabarlah. Ada saatnya nanti Jokowi melayani orang-orang kecil. Pada waktu yang tepat. Yaitu, ketika rakyat kecil diperlukan untuk melegitimasikan kekuasaan beliau, atau para pewarisnya, lewat kotak suara. Dan itu tak lama lagi –-2022 dan 2024. Jokowi akan keliling kampung sambil lempar-lempar hadiah. Akan terlihatlah nanti pemandangan yang sangat merakyat. Dan itu pasti akan diunggah di akun-akun medsos resmi presiden dan instansi-instansi lain. Sama seperti ketika Jokowi menyaksikan pernikahan Atta-Aurel. Meriah di akun Sekretariat Negara. Tunggu saja giliran Pak Jokowi merapat ke rakyat kecil. Untuk waktu ini, mohoh pengertian. Prioritas harus diberikan kepada rakyat besar. Lagi pula, dengan menghadiri pernikahan super-mewah itu berarti Presiden Jokowi mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pesta mahal. Sehingga nantinya hotel-hotel kelas mewah bisa bangkit kembali. Kalau ekonomi perpestaan mewah marak di mana-mana, maka investasi perhotelan akan masuk deras. Sukur-sukur investasi dari China yang masuk. Supaya rakyat kecil bisa ongkang-ongkang, tak perlu bekerja. Ada tenaga kerja China yang selalu dibawa untuk melaksanan proyek yang mereka modali. Jadi, Jokowi hadir ke pesta mewah Youtuber besar itu bukan tanpa strategi komprehensif. Semuanya sudah dipikirkan oleh Jokowi dan para penasihat senior beliau. Atta adalah pelopor ekonomi kreatif. Dia bisa dapat duit banyak dari kanal Youtube. Jokowi senang ekonomi seperti ini. Jika, misalnya, ada 10 juta Youtubers milenial dengan follower 25 juta, berarti akan berlangsung 10 juta pernikahan super mewah di hotel bintang lima. Akan tumbuh ribuan hotel lagi yang sekelas dengan Raffles. Nah, berapa itu nilai investasinya? Berapa juta pula tenaga kerja China yang bisa dibawa masuk? Itu maksud Jokowi mempromosikan Atta. Jangan curiga dulu. Jangan berprasangka Jokowi merangkul Atta untuk membantu sosialisasi amandemen UUD agar Jokowi bisa tiga periode. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Pak Jokowi Mau Husnul Khatimah atau Su'ul Khatimah
PERNYATAAN Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tentang Presiden Joko Widodo mengundang kehebohan. Dalam kuliah umum di Universitas Indonesia, Isran menyatakan berani menjamin Jokowi pasti masuk surga. Tak perlu ibadah lagi. Luar biasa! Isran berani memberi garansi ilahiah itu karena Jokowi dinilainya telah mengambil langkah dan kebijakan besar. Membangun dan memindahkan ibukota negara ke Pasir Penajam, Kaltim. Isran tidak hanya memuji Jokowi setinggi langit. Dia mejamin langsung tembus ke surga. Tanpa perlu dihisab lagi. Tak ada lagi perhitungan dosa dan pahala. Dalam urusan akhirat, Jokowi mengalahkan para ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh sufi yang sudah berada dalam taraf ma’rifat. Jokowi, dalam pandangan Isran, levelnya sudah ma’shum. Terbebas dari dosa. Levelnya sama dengan 10 orang sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW yang dijamin pasti masuk surga. Jokowi menurut Isran, lebih hebat dari semua Presiden Indonesia yang pernah ada. Termasuk dibandingkan dengan Sang Proklamator Bung Karno, dan Soeharto. Apalagi dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jauh. Tidak ada apa-apanya. Bung Karno, dan Pak Harto, kata Isran juga ingin memindahkan ibukota. Sampai keduanya mati —kata mati ini perlu diberi tanda petik “mati” — karena iu kalimat langsung Isran, tak berhasil mewujudkan mimpi itu. Sementara SBY yang masih hidup,—dalam kalimat langsung Isran “belum mati” — juga tidak berhasil memindahkan ibukota, walau juga punya keinginan. Jika menggunakan bahasa para pendukung Jokowi garis keras, “hanya Jokowi yang bisa. Presiden lain ngapain aja.” Pernyataan Isran ini, walau kemudian coba diluruskan oleh Humas Pemerintah Provinsi Kaltim, levelnya sudah kelewatan. Keblinger. Dia telah berani mengambil otoritas ilahiah. Masuk surga atau neraka, dalam pandangan Islam, dan juga agama-agama lain, merupakan hak prerogatif Tuhan, Allah SWT. Karena itu para sufi menggambarkan dalam sebuah syair “Aku tak berhak masuk surgamu. Tapi aku juga takut masuk nerakamu.” Syair itu menunjukkan, orang-orang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia saja bersikap sangat rendah hati. Di hadapan Allah SWT mereka merendahkan diri, serendah mungkin. Sikap Isran ini sungguh sangat berbahaya. Ada tanda-tanda yang sangat jelas bahwa Jokowi telah dikultuskan. Menjadi manusia suci yang tak tersentuh dosa. Apa yang disampaikan Isran super kacau. Jauh lebih kacau dari wacana mendorong Jokowi menjadi presiden tiga periode. Ini menunjukkan sebuah kegilaan para pendukung Jokowi sudah menyentuh ubun-ubun. Melalui forum ini kita perlu mengingatkan Jokowi, jangan sampai tergoda. Apalagi sampai terlena oleh pujian, dan sanjungan yang menyesatkan. Jokowi perlu belajar dari para presiden terdahulu. Termasuk yang disebut oleh Isran. Bung Karno, Pak Harto, dan SBY. Bung Karno melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 menjadi Presiden Seumur Hidup. Ingat ya seumur hidup. Bukan hanya tiga periode. Apa yang terjadi? Hanya empat tahun berselang, melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 dia diberhentikan sebagai presiden. Semua kekuasaannya dicabut. Selesailah sudah masa jabatannya selama 22 tahun. Begitu juga dengan Pak Harto. Dia ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan melalui TAP MPR No V Tahun 1983. Pada tanggal 11 Maret 1998 dia pilih dan ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden Indonesia untuk periode ke-7. Hanya dua bulan berselang, karena desakan publik pada tanggal 21 Mei 1998 dia terpaksa meletakkan jabatannya. Kita pasti sepakat, dari sisi _legacy_ tak bisa membandingkan Jokowi dengan Bung Karno dan Pak Harto. Tidak apple to apple. Kalau tetap dipaksakan, perbandingannya seperti apel dengan durian. Lepas dari berbagai kekurangannya, Bung Karno adalah Bapak Proklamator. Dia juga punya peran besar dalam geo politik global. Pendiri Gerakan Non Blok. Demikian juga dengan Pak Harto. Dia berhasil membangun ekonomi Indonesia. Menjadi negara yang mampu berswasembada pangan. Di tataran global juga disegani. Menjadi big brother di negara-negara ASEAN. Dua-duanya, dengan segala warisan besarnya untuk bangsa dan negara, harus turun dari jabatannya dengan cara yang tidak menyenangkan. Dalam bahasa agama disebut su’ul khatimah. Akhir yang buruk. Bagaimana dengan SBY? Lepas dari berbagai kekurangannya, SBY turun dari jabatannya selama dua periode dengan mulus. Berakhir baik. Husnul khatimah. SBY dikenang sebagai seorang demokrat. Dia tidak pernah campur tangan urusan parpol lain. Dia tak pernah memenjarakan lawan politiknya. Masyarakat juga guyub. Tak ada pembelahan dalam masyarakat. Kalau Jokowi? Anda bisa menilai sendiri. Apa warisannya? Utang yang menggunung? Proyek-proyek mangkrak? Dan yang sangat parah adalah pembelahan dalam masyarakat. Silakan Jokowi mau memilih turun dari jabatan dengan cara yang mana? Cara Bung Karno dan Pak Harto? Atau cara SBY? Sejarah telah mengajarkan. Mau husnul khatimah atau su’ul khatimah. **