ALL CATEGORY
Radikalisasi Kaum Sekuler Kiri di Indonesia
by Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD Labuanbajo FNN - Selama lima tahun terakhir ini kaum sekuler kiri di Indonesia mengalami radikalisasi. Mereka yang semakin intoleran dengan kelompok Islam di negeri ini. Namun justru balik menuduh Islam sebagai yang intoleran. Islam anti NKRI, bahkan anti Pancasila segala. Kelompok sekuler kiri ini juga menyebut Islam sebagai agama impor dari Arab. Islam memecah belah bangsa dan tukang bikin ribut. Disamping didorong oleh syahwat politik, perut dan di bawah perut, radikalisasi ini memanfaatkan dua agenda internasional yang membentuk lingkungan geopolitik regional paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini. Pertama, dapat dipastikan bahwa kebangkitan kelompok sekuler kiri ini memanfaatkan agenda “Bush War on Terror”. Agenda ini dalam praktek berarti “War on Islam” yang masih diteruskan oleh Presiden Trump. Hanya para naifun penganut dunguisme yang percaya bahwa ISIS, al-Qaeda dan Gerakan Jihadis itu bukan operasi intelijen kaum sekuler kanan radikal yang berkuasa di Sayap Barat, terutama sejak Obama berkuasa. Wacana Huntingtonian tentang benturan peradaban menjadi menu yang dilahap habis dengan sangat rakus oleh penghuni Sayap Barat ini. Wacana ini diamini dengan suara keras, bahkan penuh dengan kekhusyu'an oleh kaum nasionalis sekuler kiri di negeri ini. Kedua, saat Presiden Trump yang terobsesi dengan agenda nasionalistiknya, sehingga terjadi kekosong kepemimpinan internasional. Siatuasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis China yang sejak Xi Jinping berkuasa, yang semakin menampilkan ambisi politik globalnya. Instrumen ambisi China ini adalah proyek One Belt One Road (OBOR). China tidak lagi puas menjadi manufacturer of the world saja. Tetapi kini ingin juga sekaligus menjadi transporter of the world. China tahu bahwa keuntungan menjadi pabrik dunia tidak terlalu banyak jika sektor transportasi global masih dikuasai Sayap Barat beserta para sekutunya. Kebangkitan China ini dimanfaatkan secara cerdik oleh kaum sekuler kiri di negeri ini yang telah menunggu waktu yang tepat secara lebih terorganisir sejak reformasi dimulai. Sayang sekali, proyek sekulerisasi sekaligus pendunguan massal melalui persekolahan massal paksa sejak Orde Baru telah menyebabkan masyarakat negeri ini buta sejarah. Juga sekaligus tumpul daya kritisnya. Akibatnya, masyarakat menjadi makanan empuk ocehan dusta para influencer bayaran melalui medsos. Bad influencer paling bersemangat justru diperankan oleh elite ormas Islam terbesar di negeri ini. Kini banyak pejabat publik dengan berani mengatakan bahwa kehidupan politik harus dibersihkan dari agama. Bahkan agama dijadikan musuh terbesar Pancasila. Pernyataan itu hanya bisa diucapkan oleh kaum sekuler kiri radikal. Kaum yang ingin menjadikan agama hanya simbol kehidupan bermasyarakat. Bukti terakhir adalah pencopotan seorang direksi sebuah BUMN karena yang bersangkutan mengadakan pengajian dengan mengundang penceramah yang dituding sebagai penceramah radikal. Padahal seorang Ketua MUI yang lalu pernah mengatakan bahwa, jangankan perbedaan khilafiah seperti penampilan wajah dan pakaian tertentu, perbedaan agamapun harus diterima. Perbedaan itu sesuai dengan amanah konstitusi. Bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan setiap penduduk dijamin kemerdekaan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pencopotan direksi ini jelas inkonstitusional sekaligus sebuah kejahatan besar yang bila dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Merusak sendi-sendi kebangsaan negeri yang sangat majemuk ini. Di tengah wacana publik tentang radikalisme Islam, patut dicermati radikalisasi kaum sekuler kiri ini. Mereka menunggangi agenda war on Islam Sayap Barat dan OBOR China. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Umum MUI KH Anwar Abbas, ummat Islam perlu protes sangat keras pada KH Ma'ruf Amin yang diam membisu melihat kesewenang-wenangan dan penyelewengan konsitusi. Bahkan pengamat Islam Radikal Sidney Jones pun heran dengan obsesi Pemerintah saat ini yang berosesi untuk mengkriminalisasi Front Pembela Islam (FPI). Penulis adalah Guru Besar Institut Tekonologi Sepuluh November Surabaya.
Kasus Jiwasraya Menyeret WanaArtha Life, OJK Ngumpet Dimana?
by Andre Vincent Wenas Jakarta FNN - Terpampang jelas di laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kalau lembaga ini yang “Mengatur, Mengawasi, Melindungi Untuk Industri Keuangan yang Sehat”. Sehingga kalau ada prahara di industri asuransi misalnya, maka seyogianya fokus penyelamatan adalah kepentingan para nasabah. Mereka yang setia membayar premi, mereka bukan koruptornya, mereka tidak bersalah apa-apa. Belum kelar soal tuntutan para nasabah PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri dan PT Bumiputera, muncul lagi korban turunan dari kasus Jiwasraya. Kali ini yang lagi ribut adalah para nasabah PT WanaArtha Life. Mengapa mereka sampai ribut? Msalahnya sederhana saja. Bagi para nasabah asuransi, ya lantaran tidak dibayar segala klaim yang dulu dijanjikan dalam akad asuransinya. Gagal bayarlah istilahnya. WanaArtha Life, adalah sebuah perusahaan asuransi swasta yang dimiliki oleh PT Fadent Consolidated Companies (97,2%) sebagai pemegang saham pengendali. Ada Yayasan Sarana Wanajaya (2,8%). Yayasan ini bernaung di bawah Depertemen Kehutanan Republik Indonesia. Sedangkan PT Fadent Consolidated Companies itu sendiri adalah Badan Usaha Milik Swasta yang didirikan oleh Mohammad Fadil Abdullah (almarhum). Sekarang perusahaan ono diwarisi dan dipimpin oleh puteri sulungnya Evelina Fadil Pietruschka sebagai CEO (Presiden Direktur) serta Manfred Armin Pietruschka sebagai Chairman (Presden Komisaris). Sedangkan di PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha, atau yang lebih dikenal sebagai WanaArtha Life ini Evelina bertindak sebagai Presiden Komisaris. Ia bersama Ir. Soebagjo Hadisepoetro (mantan petinggi Kemenhut) dan Dr. Sugiharto, SE. MBA (mantan Menteri BUMN) ada di jajaran Dewan Komisaris. Dewan Direksinya diisi oleh Yanes Matulatuwa sebagai Presiden Direktur, dan Daniel Halim sebagai Direktur. Keduanya profesional yang sudah banyak makan asam garam di bidang asuransi dan keuangan. WanaArtha Life ini sudah cukup lama malang melintang di dunia asuransi, berdiri sejak tahun 1974. Berarti mereka telah hampir setengah abad (47 tahun) melayani masyarakat asuransi Indonesia. Lalu mengapa prahara Jiwasraya bisa menular ke WanaArtha Life? Serta apa saja sih yang selama ini dikerjakan oleh OJK? Padahal kita semua mahfum bahwa selama ini OJK-lah institusi negara yang berwenang serta berkewajiban mengawasi industri keuangan nasional. Bukankah OJK itu dibentuk memang dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan bisa terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel? Juga agar mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat? Dengan demikian, OJK punya fungsi dan tugas untuk selalu menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Baik itu soal perbankan, pasar modal, dan sektor asuransi yang dalam Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Lalu kenapa kasus seperti WanaArtha Life bisa terjadi? Coba kita telusuri sejenak jejaknya. Dalam catatan Warta Ekonomi didapat keterangan, bahwa pada 21 Januari 2020 lalu, WanaArtha Life menerima informasi secara informal mengenai perintah pemblokiran rekening mereka. Manajemen WanaArtha Life pun melakukan klarifikasi kepada KSEI dan OJK. Kenapa rekening mereka diblokir? Lantaran rekeningnya diblokir, WanaArtha Life pun tak bisa memenuhi kewajibannya terhadap para nasabahnya. Lalu jadi kisruh dan ramai. Nasabah pun protes, dan masalahnya naik ke panggung publik. Presdir Yanes Matulatuwa menjelaskan, "berdasarkan hasil klarifikasi dari Kejaksaan Agung, kami mendapat konfirmasi benar bahwa rekening efek perusahaan dikenakan perintah pemblokiran terkait dengan penanganan suatu kasus hukum yang sedang dalam proses Kejagung". Pemblokiran itu terkait kasus hukum Jiwasraya. Bagaimana sampai ada kaitannya antara Jiwasraya dengan WanaArtha Life? Rupanya secara ringkas, manajemen WanaArtha Life ada ikut melakukan investasi di beberapa portofolio saham yang terkait dengan Benny Tjokro (tersangka utama Jiwasraya). Menurut versi Kejaksaan Agung, manajemen WanaArtha Life terkait dalam permainan saham bodong di yang dibeli PT Asuransi Jiwasraya. Konsekuensinya, demi proses penegakan hukum, maka dilakukan pemblokiran terhadap 800 rekening, termasuk milik para nasabah WanaArtha Life. Menurut Kejaksaan Agung, WanaArtha Life tak bisa lari dari tanggung jawab klaim asuransi yang macet sejak Februari 2020.. Menurut Hari Setiyono (Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung) ada ditemukan bukti-bukti transaksi yang tak terbantahkan bahwa pada 11 Feb 2016 WanaArtha Life ikut dalam permainan saham MYRX (milik tersangka utama Benny Tjokro). Juga ada transaksi saham RIMO, BJBR, dan LCGP yang semuanya milik group Benny Tjokro, tersangka utama. Ada pula bukti aliran dana dari WanaArtha Life kepada tersangka Benny Tjokro tertanggal 26 Mei 2016 dan 7 Juni 2016. Masing-masing di kisaran Rp 175 juta dan Rp 69 juta. Akibatnya, Daniel Halim, Direktur Keuangan WanaArtha Life pun ikut diperiksa Kejagung selama dua hari berturut-turut, yaitu pada 29 dan 30 Januari 2020 lalu. Lalu berlanjut pada 11 Maret 2020 dilakukan pemeriksaan terhadap 24 saksi, termasuk 6 orang dari WanaArtha Life, yaitu Tjomo Tjengundoro Tjeng, Febiotesti Valentino, Kernail, Jenifer Handayani, Denny Suriadinata, Tommy Iskandar Widjaja, dan Daniel Halim. Lalu bagaimana cerita menurut versi manajemen WanaArtha Life sendiri? Kabarnya rekening sudah tidak diblokir, namun dananya masih dalam status sita OJK. Menurut Presdir WanaArtha Life, Yanes Matulatuwa, pihaknya berkomitmen menindaklanjuti permasalahan itu dan akan segera membayar kewajiban kepada pemegang polis secara bertahap serta menjamin bahwa seluruh manfaat polis yang merupakan hak pemegang polis yang ada di perusahaan dalam keadaaan aman. WanaArtha Life pun sempat mem-praperadilankan status pemblokiran dan penyitaan dana di rekening mereka. Namun ditolak (digugurkan) oleh pengadilan dengan alasan bahwa pengguguran itu untuk menghindari keputusan pengadilan yang tumpang tindih, dimana saat itu sidang Tipikor kasus korupsi Jiwasraya telah dimulai sejak 3 Juni 2020. Kuasa hukum WanaArtha Life, Erick S. Paat, balik berargumentasi bahwa ada kesewenangan yang dilakukan Kejagung dalam proses pembekuan rekening efek walau pada saat itu surat perintah penyitaan belum keluar. Singkatnya menurut Erick Paat, kliennya tidak ada sangkut pautnya dengan Sidang Tipikor Jiwasraya, lantara kliennya (WanaArtha Life) bukanlah berstatus tersangka. Sampai saat ini kasusnya masing berjalan. Seperti biasa, korbannya adalah para nasabah. Akhirnya para nasabah membentuk Forum Nasabah WanaArtha (Forsawa). Para anggota forum inilah yang akhirnya berteriak kesana-kemari. Seolah mereka yang jadi bumper (sekaligus korban) untuk dibenturkan ke OJK, dibenturkan ke Kejaksaan (pengadilan) dan sekaligus jadi semacam humas ke publik. Kasihan sekali sebetulnya para nasabah. Sudah jadi korban, dan akhirnya dijadikan bumper pula. Dari perspektif nasabah (dan ini yang juga seyogianya jadi fokus OJK serta manajemen WanaArtha Life), seyogianya klaim mereka (para nasabah) inilah yang mesti diutamakan. Bayarlah klaim mereka terlebih dahulu. Entah manajemen (sebagai penanggungjawab operasional perusahaan) mau mengusahakan dana talangan dari mana pun. Entah dari dana pribadi pemegang saham kek, ataupun dari pihak ketiga lainnya. Yang penting jaga kredibilitas di mata nasabah. Sementara itu OJK, iya OJK yang selama ini sudah lebih dulu meng-klaim dirinya sebagai regulator (pengatur rambu) di bisnis keuangan, pengawas jalannya operasi bisnis keuangan nasional dan sebagai pelindung konsumen bisnis keuangan nasional juga mesti ikut bertanggungjawab. Bagaimana tanggungjawab OJK itu? Sederhana saja. Segera perintahkan bayar kepada manajemen WanaArtha Life untuk membayar klaim nasabahnya. Matanya OJK mesti lebih melotot lagi untuk mengawasi tingkah laku manajemen demi melindungi konsumen. Seperti slogan yang terpampang jelas di laman resmi OJK, “Mengatur, Mengawasi, Melindungi Untuk Industri Keuangan yang Sehat”. Bagaimana manajemen WanaArtha Life mendapatkan dananya? Itu urusan manajemen (direksi serta komisaris) WanaArtha Life. Yang jelas, konsumen (nasabah) bukanlah bumper yang bisa dibenturkan kesana-kemari seperti permainan boom-boom-car di Dunia Fantasi. Penulis adalah Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
Faksi Amerika Boikot Indoneia, Masa Nggak Ngerti Sih?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Menteri Agama (Menag) Yaqut Khalil Qaumas mengumumkan bahwa Pemerintah Arab Saudi tidak memberi izin jama'ah Indonesia untuk melaksanakan ibadah umroh meskipun sudah disuntik vaksin. Vaksin Sinovac yang tidak masuk standar yang direkomendasikan WHO. Wajah Menag tentu pucat, betapa buruk nasib bangsa ini di mata Arab Saudi. Coba direnungkan lebih dalam. Benarkah tingkat kesulitan melaksanakan ibadah umroh, sebelumnya haji 2020 untuk jamaah dari Indonesia ini hanya disebabkan oleh faktor vaksin semata? Sepertinya masih banyak faktor lain, sehingga Pemerintah Saudi Arabis cenderung mempersulit. Walaupun demikian, tentu saja alasan sebenarnya tak akan terungkap secara eksplisit. Stempel Pelanggaran HAM Bukti lainnya adalah, rencana pinjaman uang dari pemerintah Saudi Arabia kepada Indonesia yang ditunda. Entah sampai kapan penundaanya. Namun soal menunda pinjaman kepada Indonesia ini, ternyata bukan hanya pemerintah dari Suadi Arabai. Negara-negara faksi Amerika Serikat lainnya juga bersikap untuk menunda pinjaman. Negara-negara yang sudah pasti menunda pinjaman adalah Australia, Jerman, Jepang, Korea Selatan dan Arab saudi. Semuanya faksi Amerika Serikan. Sikap negara-negara faksi Amerika tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia belakangan yang mengabaikan masalah-masalah demokratisasi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi dan lingkungan hidup. Arab Saudi kan faksinya Amerika Serikat di Timur Tengah. Masa masih budeg sih? Jangan-jangan memang tidak mau mengerti. Kenyaan ini jangan juga dipisahkan dari keluhan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang ruwetnya investasi dari luar ke Indonesia. Sebab hampir 90% investasi luar negeri di Indonesia itu masih dari negara-negara faksinya Amerika Serikat. Ditundanya bantuan bilateral dari negara-negara faksi Amerika Serikat, yang ditambah dengan sulitnya investasi dari luar negeri, semakin memperlihatkan kuatnya tekanan Amerika kepada pemerintahan Presiden Jokowi. Kenyataan ini semakin disempurnakan dengan pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat tentang delapan poin pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Kalau sinya-sinyal politik dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya kepada Pemerintahah Presiden Jokowi ini tidak juga mau difahami, maka kemungkinan bakal ada tekanan yung lebih keras. Ciri dan karakter dari kekuasaan Partai Demokrat adalah menciptakan krisis ekonomi. Sebaiknya Jokowi belajar dari kejatuhan mantan Presiden Seokarno dan Seoharto. Peringatan Keras Dari Suadi Dua presiden paling kuat dan terlama berkuasa di Indonesia, Soekarno dan Soeharto jatuh saat Partai Demokrat berkuasa di Amerika. Soekarno jatuh saat Presiden Amerika dijabat Lyndon Johnson, dan Seoharto saat Bill Clinton. Soeharto dan Soeharto itu jatuh melalui krisis ekonomi, yang menumpangi keresahan masyarakat yang meluas. Sementara sikap Saudi Arabia sekarang sebagai peringatan itu, terkait beberapa hal. Pertama, Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi ini kebijakan politiknya cenderung Anti Arab. Lewat kampanye Islam Nusantara, terlihat hendak memusuhi hal-hal berbau Arab. Para buzzer bayaran istana terus memojokkan dengan ustilah Kadal Gurun (Kadrun). Persis masa PKI dulu. Kedua, Menteri Agama bukan prototipe seorang memahami agama secara mendalam, apalagi ulama. Jauh dari yang layak dan pantas. Anti Wahabi dan Salafi yang tentu menyakitkan Saudi Arabia. Koboy sinkretisme dari faham keagamaan. Dari jaga gereja hingga doa campur-campur. Ketiga, pemerintah Indonesia membantai dan membenci ulama. Kasus Habib Rizieq Suhab (HRS) yang sedang berlansung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak lepas dari pemantauan Saudi. HRS yang sangat dihormati di Saudi, ternyata setelah pulang, dinistakan di Indonesia. Bahkan enam pengawalnya dibunuh sercara sadis oleh aparat negara. Keempat, gonjang ganjing calon Dubes Saudi yang ditunjuk Jokowi adalah Zuhairi Misrawi. Tokoh yang mengecam Saudi atas "pemerasan" devisa. Tokoh anti yang umroh dan menganjurkan pilihan ziarah kubur daripada umroh ke Saudi Arabia. Kelima, dalam konteks global, Saudi Arabia lebih dekat dan bersahabat dengan Amerika ketimbang Cina. Sedangkan Indonesia sedang akrab dan bermain-main dengan Cina. Vaksin pun dari Cina, Sinovac yang dianggap masih rentan bagi penularan Covid 19. Kualitas Sinovac yang diragukan dan bermutu rendah. Keenam, di samping HRS dan pimpinan FPI keturunan Arab yang dihabisi secara politik, Gubernur DKI Anies Baswedan pun terus menerus dimusuhi dan ditekan oleh Pemerintah Jokowi. Potensi untuk maju pada Pilpres ke depan dihalang-halangi secara masif. Semestinya Indonesia mengerti bahwa jamaah umroh telah menjadi korban. Sebelumnya jaah haji 2020 yang menjadi korban. Sejak awal lobby Indonesia terhadap Saudi selalu lemah. Apalagi kini di era Covid-19 yang terasa semakin babak belur. Harus ada perubahan kebijakan politik, jika hendak membantu umat Islam agar dapat melaksanakan ibadah umroh dan haji ke Saudi Arabia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
"Lone Wolf" Itu
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Aksi terorisme bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu pagi (28/03/21) menewaskan sepasang suami isteri yang baru menikah enam bulan. Lukman Alfarizi(25) dan isterinya Yogi S. Fortuna (22). Keduanya pedagang roti kebab di Makassar. Di Jakarta Rabu sore (31/03/21) teroris “lone wolf” alias “serigala penyendiri” bernama Zakiah Aini (25), mahasiswi drop out sebuah perguruan tinggi swasta di Depok menyerang kantor Mabes Polri di Jakarta. Teroris perempuan bercadar hitam berbaju ungu itu diberondong peluru aparat keamanan Markas Besar Polri. Zakiah Aini tewas seketika di tempat. Zakiah Aini hanya sempat menembak-nembakanangin enam kali dengan pistol airsoft gun yang dipegangnya. Serangan serempak aksi teroris di dua kota besar, Makassar dan Jakarta yang hanya berselang tiga hari. Dua kejadian ini mendorong publik menyoal kehandalan mekanisme kontrol aparat keamanan terhadap sel-sel hidup teroris. Diketahui di bulan Maret berlangsung agenda rangkaian hari keagamaan kaum Nasrani yang dikenal sebagai “Pekan Suci” bagi pemeluk agama Kristen Katolik. Satu minggu penuh dikhususkan untuk merenungkan penebusan Yesus Kristus di kayu salib. Lima hari untuk ibadah atau misa. Dimulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci atau Malam Paskah, dan Minggu Paskah. Namun, tidak terlihat adanya aparat keamanan yang terlihat sebelum terjadi ledakan di Gereja Katedral Makasar. Ramón Spaaij, Profesor di Victoria University di Melbourne, Australia, dalam bukunya “Understanding Lone Wolf Terrorism: Global Patterns, Motivations and Prevention” (2012) menulis, ada lima elemen pemotivasi “serigala penyendiri” memutuskan untuk menjadi teroris. Disebutkan, cenderung menciptakan ideologi mereka sendiri yang menggabungkan frustrasi pribadi dengan keluhan politik, sosial atau agama yang lebih luas. Menderita beberapa bentuk gangguan psikologis. Menderita ketidakmampuan sosial dalam berbagai tingkat. Mentransfer frustrasi pribadi ke "orang lain" yang transgresif. Cenderung menyiarkan niatnya untuk melakukan kekerasan. Eskalasi radikalisme “serigala penyendiri” menemukan jalan tol di ruang digital di era teknologi yang serba maya sekarang ini. Kehadiran media sosial memberi banyak kemudahan konsolidasi dan komunikasi senyap tanpa perlu kontak fisik. Mengurangi pertemuan di forum pengajian yang sudah mulai disusupi intel. Ada migrasi frontal dari pola institusional beralih ke personal. Kecanggihan teknologi digital menjadi rahmat terselubung. Dunia mendadak berubah dan memberi ruang sangat besar kepada pola aksi terorisme yang berbasis “serigala penyendiri”. Komunikasi sunyi lewat daring menjadi pupuk kesuburan doktrin ideologi radikalisme yang mereka hayati. Berbagai studi menyebutkan, melalui media sosial, emosi dapat terungkapkan jauh lebih ekspresif. Mudah tersebarkan. Sekali kirim pesan yang banyak, dalam sekejap penerimanya juga banyak. Pola komunikasi di ruang digital semakin memantapkan tekad jihad. Timbunan lumpur kemarahan dan kekecewaan mudah terhubung sesama individu frustrasi yang merasa senasib kelam! Ruang digital meminimalisir penggerebekan aparat atau pengintaian intelijen. Dunia digital yang lagi ngetren menjadi bursa pemasaran ide radikalisme di lingkaran generasi milenial. Khususnya yang merasa hilang bentuk. Terpapar kondisi ketidak-pastian hidup keluarga mereka yang serba kekurangan, baik dari segi materi maupun minimnya peluang ke akses pendidikan. Masa depan yang suram sebagai insan tidak berkecukupan di hampir semua bidang. Kondisi ini ikut menggiring generasi milenial memilih jalan radikal. Sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diyakininya bersumber dari ketidak adilan negara atas distribusi hak-hak dasar mereka yang diamanatkan konstitusi. Eksibisi spektakuler keserakahan materi digelar terbuka pemilik modal besar. Menampilkan komposisi kehidupan nyata yang timpang dan menyakitkan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam laporannya menyebutkan 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. TNP2K memberi laporan akhir capaian kinerja mereka di Istana Wakil Presiden Rabu, (9/10/19. “Itu yang perlu dikoreksi,". kata Bambang Widianto,Sekretaris Eksekutif TNP2K Fenomena aksi terorisme belakangan ini di Indonesia menampilkan kemasan baru. Hadirnya generasi milenial perempuan muda menjadi aktor utama. Keperkasaan kaum feminine muda itu menggeser perlahan peran klasik teroris maskulin. Ketimpangan kondisi sosial ekonomi keluarga, dan deritanya lebih memukul kaum perempuan. Posisinya yang lebih banyak di rumah menjadi saksi hidup dan bagian tak terpisahkan penderitaan panjang yang mendera keluarga mereka secara ekonomi maupun sosial. Menurut sebuah riset pada 2020, pelaku teroris adalah generasi milenial, yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan terhadap internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi. Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme. Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas. Unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini. Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga. Ketidakadilan Wajah Terorisme Peneliti Hukum dan Ham LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Perlu langkah untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme. Milda menyontohkan black widow di Rusia usai kejadian Moscow Theater Hostage 2002. Saat itu, banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan tentara dan pelecehan seksual. Mengesankan kurangnya perhatian dalam mengungkap alasan perempuan (muda) bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia, selain konteks jihad. Dalam konteks perempuan tersubordinasi, patut dijadikan sebagai elemen penting, guna mengetahui motivasi perempuan dalam terorisme. "Kalau kita melihat tren yang ada di internasional, salah satu penyebab perempuan gabung jadi teroris itu karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan," kata Mirdal. "Itu harus kita pikirkan bersama. Jika tidak, apa yang terjadi di konteks global juga akan terjadi di Indonesia," ujarnya di media awal April. Kehadiran “serigala penyendiri” menyasar perempuan muda merupakan early warning. Mendesakk perumusan skenario kontra terorisme yang lebih komprehensif. Lebih menyelam dan berkelanjutan. Harus lebih menitik beratkan kepada pembenahan akar masalah. Kepada sektor ketimpangan ekonomi yang akut dan sangat radikal. Elemen radikalisme dalam bentuk aksi terorisme, harus dibaca sebagai perlawanan atas ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi adalah wajah lain dari terorisme. Faktor ini, yang belum terlihat menjadi agenda penting negara. Membiarkan “radikalisme” ketimpangan ekonomi tanpa pembenahan yang masif, akan menjadi lahan subur hadirnya setiap saat radikalisme lain yang diperankan para “lone wolf”. Mereka rela bertekad, meskipun terpaksa harus nekat untuk mengirim pesan kepada negara melalui kematian. Problematika fundamental bangsa ini adalah ketimpangan ekonomi yang sangat “radikal”. Sehebat apapun agenda doktrin-doktrin deradikalisasi yang digagas oleh negara, hampir dipastikan tidak akan merubah apa-apa. Selama peragaan ketimpangan ekonomi dibiarkan menganga lebar oleh negara, maka selama itu pula bibit-bibit terorisme akan bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebab fakta itu melukai jiwa mereka yang terjerat dalam derita lingkaran hidup di kubangan kesengsaraan. Pertanyaanya, apa saja kontribusi konkret konglomerat pemodal kuat hitam, licik, picik dan culas selama ini dalam membantu skenario kontra terorisme? Sehingga memaksa negara harus membunuh setiap saat warganegara dengan peluru yang bersumber dari pajak rakyat? “Lone Wolf” adalah sebuah nyanyian sunyi tentang perlawanan dan kekalahan. Sama bahayanya dengan pandemi apapun, sangat sangat dan sangat memilukan dan mematikan nurani bangsa ini! Teman pengirim pesan via WhatsApp menulis pendek. Mengutip potongan lirik lagu Ebit. G. Ade “Kalian Dengarkan Keluhanku”. “Kemanakah sirnanya nurani embun pagi, yang biasanya ramah kini membakar hati, apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah, tak ada waktu lagi benahi diri, tak ada tempat lagi 'tuk kembali…..!” Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
BRIN dan Kemenriatek Dipisah, Politis?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Tak bisa dipungkiri. Keputusan Presiden Joko Widodo memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) mencerminkan dominannya pertimbangan politik dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Editorial Koran Tempo, Kamis (8/4/2021), menulis Kisruh BRIN ini bermula dari keinginan PDIP untuk ikut mendesain lembaga yang dirancang menjadi payung semua kegiatan riset dan inovasi di Indonesia itu. Di Dewan Perwakilan Rakyat, Fraksi PDIP memang aktif mengawal pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, peraturan yang menjadi dasar pendirian BRIN. Namun, desain BRIN ala Fraksi PDIP itu rupanya tak cocok dengan rencana yang disiapkan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro. Akibat silang pendapat itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 yang menjadi dasar bukum struktur Kemenristek tidak kunjung diperbaharui ketika masa berlakunya berakhir pada 30 Maret 2020. Koran Tempo menilai, penetapan BRIN sebagai lembaga otonom tak bakal serta-merta menjadi solusi atas mandeknya riset dan inovasi di negeri ini. Apalagi jika Kementerian Riset dan Teknologi justru dilebur dalam ementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keputusan Jokowi itu malah bisa menjadi blunder besar bagi dunia penelitian kita. Rencana pemisahan BRIN dari Kemenristek ini jelas lebih didorong syahwat politik PDIP ketimbang motif memajukan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditambah lagi rencana penghapusan Kemenristek dengan meleburkan fungsinya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, keduanya merupakan langkah mundur dalam desain dan strategi kebijakan riset nasional kita. Dalam Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 yang dikirim ke DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan bahwa jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Menurut Dipo Alam, jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di Kabinet, mengapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di Kabinet?! Peneliti Pusat Analisa Perkembangan Iptek LIPI (1990-1993) itu mengungkapkan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar hukum pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, sudah seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk ke Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai otonom di luar kementerian bisa membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Seperti disebut Koran Tempo, PDIP yang aktif mengawal pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu telah dilakukannya dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Memang sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Dipo Alam melihat, ada 5 pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan pasal 49. Misalnya, bunyi Pasal 35 Ayat (2): “Untuk menjamin terlaksananya HIP dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal itu cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU Nomor 11 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP: ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini sangat mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis China (PKC) di China. Mengapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa mengatur badan lain yang mengurusi riset dan inovasi naqsional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktis?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres Nomor 74 Tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Badan Riset Prof. Widi A. Pratikto, guru besar ITS yang pernah menjadi Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) semasa Prof. Rokhmin Dahuri sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan bercerita tentang peran Badan Riset dan Ketangguhan Kementerian. Prof. Rokhmin memberikan misi diantarannya: 1. Pengelolaan KP3K 2. Menbangun Jejaring untuk Pengelolaan 3. Melakukan Jejaring Nasional dan Internasional. Dalam Leadership sebagai Menteri, Prof. Rokhmin memberikan bingkai arahan dan support kepada mereka ini sebagai Pelaksana melakukan hal operasional. Secara Nasional rasanya bisa pula Presiden kepada Para Menko dan Menteri-menterinya. Dalam Giat Kelautan maka Symphoni menjadi menarik dan Ekonomi bergerak bila seluruh Komponen dan Anak Bangsa terlibat. Diagram berikut Skema Program Mitra Bahari (PMB). Dalam Kewilayahan Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Tupoksi Implementasi Operasional KKP terkait Laut dan Pesisir bisa di-support melalui PMB tersebut di atas. Badan Riset di Kementrian adalah Perlu dan Startegis. Banyak hal terkait Future Engagement dan Development maka Badan Riset sangat diperlukan Kementrian. Untuk KKP misalnya, akan menjadi paradigma baru berbagai Kegiatan Kerjasama di luar ZEE yang akan dikelola. Tantangan dan Perumusan terkait Food Security dan Energy, maka Badan Riset amat sangat diperlukan. Dalam Agenda Nasional maka Kemendikbud dan Kemenristek penjaga Future Development dan Competitive Ness Bangsa dan Negara selama dijaga oleh Menteri yang Profesional dan Berpengalaman. Efesiensi dan efektivitas dalam operasionalisasi perlu dicermati. Terutama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), maka peran Kementrian perlu dilihat dengan seksama. Inovasi dari Kemenristek dan Kemendikbud sangatlah erat. Dampak dari dua Kementrian ini dengan Stabilitas Perekonomian Negara amatlah besar. Pendidikan mengandung Investasi di mana Leadership sorang menteri diperlukan, demikian pula Kemenristek. Motivasi adalah perilaku Contoh. Dua Menteri tersebut di atas bukan sekedar Kepala Kantor namun Inspirator, Motivator, dan paham atas kualitas dari proses Pendidikan dan Penelitian. Bebantuan dan Peningkatan Peran Propinsi perlu dilakukan seirama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014. Kemendagri segyonya banyak berkonsentrasi dalam hal ini terutama terkait tantangan baru VUCA (Volatilitas, Unceryainty, Complexity, dan Uncertainty). Seyogyanya Ristek dan Dikbud itu harus diperkuat dan terdepan. Beberapa mata kuliah dari Dikdasmen dan Perguruan Tinggi harus disiapkan. Perubahan dua mata kuliah perlu dilakukan untuk mengantisipasi VUCA tersebut dalam berbagai peri kehidupan. Tugas kita melakukan konsolidasi dan penyiapan operasionalsasi dan membantu Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota dalam Pendidikan, Riset, dan Teknologi menghadapi VUCA. Sehingga patut melihat bahwa Kreativitas – Innovasi terkait dengan Pendidikan, Riset, dan Teknologi dan bukan berarti digabung namun diberdayakan. Dan, penyiapan operasi ke Propinsi mesti di-support. VUCA sudah di sekitar kita. Prof. Widi mengingatkan, jangan coba dan mencoba sebelum berhitung atas konsekwensi dan resiko. Inilah perenungan nasib bangsa ke depan, untuk kembali ke lembaga-lembaga yang memiliki kadar mengawal sunatullah, kita untuk merubah ada akal melalui Pendidikan, Penelitian, dan Teknologi yang dilakukan dan dikerjakan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Kunci Surga Dipegang Gubernur Kalimantan Timur?
MILITANSI dan totalitas pendukung Jokowi layak untuk diacungi jempol. Ada saja ide untuk menempatkan junjungannya di posisi terbaik dan teratas. Ibarat tangga lagu pilihan pendengar, posisi lagunya harus tetap populer dan berada di puncak tangga dalam beberapa bulan. Demikiam juga dengan Jokowi, para pendukungnya terus berupaya agar dia berada di tangga paling atas. Apalagi belakangan ini, ada hasrat dan keinginan kuat yang tersembunyi agar kurun waktu sekarang tetap berada di puncak tangga lebih lama hingga tiga periode. Bahkan bisa jadi seumur hidup. Makanya segala ikhtiar selalu dilakukan tanpa jeda. Mungkinkah itu terjadi? Apa sih yang tidak mungkin di Republik “Emang Gue Pikirin” ini? Adalah Isran Noor, Gubernur Kalimantan Timur yang pagi-pagi sudah ikhlas menjadi bemper kepada Jokowi. Irsan kumandangkan woro-woro ke seluruh jagat Nusantara bahwa Jokowi adalah manusia paling layak masuk surga tanpa beribadah, karena “berhasil” memindahkan ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. “Mas Jokowi, Bapak Presiden, Bapak itu pasti masuk surga. Tidak usah lagi Bapak itu beramal ibadah,” kata Isran dalam Kuliah Umum terkait potensi dan keberlanjutan Ibu Kota Negara di kampus Universitas Indonesia yang dilakukan secara daring Rabu (07/04/2021). Pernyataan Isran ini sungguh mengagetkan. Kapan Irsan punya hak privilese untuk menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Yang lebih mengagetkan lagi, sepertinya Irsan juga memegang kunci surga. Kunci yang kapan saja bisa digembok atau dibuka pintu surga. Ironis dengan kenyataan di lapangan. Perihal kunci surga ini seringkali dilontarkan oleh species pembenci Islam terhadap umat yang mencoba mengamalkan ajaran agama Islam secara konsekuen. Mereka kerap menyebut Kadrun (Kadal Gurun) sebagai pemegang gembok dan penentu kavling surga. Tuduhan yang tak berdasar dan tak bernalar. Kata Rocky Gerung dungu dan dongo. Eh, ternyata yang memegang kunci surga adalah Isran Noor. Entah kapan Isran berdiskusi dengan Tuhan, kok bisa tahu nasib Jokowi? Apakah Isran juga Kadrun? Entahlah. Isran bukanlah satu-satunya orang yang mengagumi Jokowi, sehingga menyentuh langit batas atas. Bukan kali ini saja Jokowi dipuja setinggi Planet Pluto. Sebelumnya pada tahun 2018, Jokowi diibaratkan Khalifah Ustman bin Affan oleh Prof. Dr. Rokhmin Dahuri. Ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), University itu terpesona pada kesederhanaan Jokowi. Rokhmin lantas menjulukinya Ustman Bin Affan karena selalu dekat dengan rakyat. Oleh penggemarnya, sifat-sifat Jokowi disamakan dengan sifat khalifah penerus Nabi. Jokowi lembut mirip Abu Bakar Asshiddiq. Kepemimpinannya tegas mirip Umar Bin Khattab. Sosoknya dermawan mirip Ustman Bin Affan. Otaknya cerdik mirip Ali Bin Abi Tholib. Menurut Rokhmin, gaya kepemimpinan Jokowi memberi pengaruh positif. Kata Rokhmin, rakyat sudah jatuh hati pada Jokowi. Jauh sebelum itu Jokowi juga dianggap ratu adil yang bakal paripurna mengatasi segala keruwetan hidup bangsa. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar dalam buku yang berjudul 'Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru' menyatakan kehadiran Jokowi dan Ahok layaknya Satrio Piningit untuk kota Jakarta. Musni Umar menyatakan, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012 lalu dapat dikatakan telah memunculkan Satrio Piningit. Pemimpin yang berjiwa luhur, membela kebenaran. Peduli kepada masyarakat bawah, serta mengedepankan negara dan bangsanya. Setidaknya ada lima tanda-tanda Jokowi menjadi Satrio Piningit versi Sosiolog Musni Umar. Misalnya, Jokowi mampu mangatasi macet, mengatasi banjir, membangun rumah susun, membikin pasar tradisional, dan menangani masalah sosial. Isu tentang Satrio Piningit ini sering muncul ketika keadaan masyarakat sedang kacau, resah, tertekan, dan krisis kepemimpinan. Masyarakat mengharapkan sekali sosok pemimpin yang ideal, yakni pemimpin yang adil, jujur, merakyat, bersahaja dqan tidak zolim. Gaya, dan praktik memimpinnya pun dilakukan dengan tulus ikhlas, apa adanya, tanpa pencitraan sehingga melahirkan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan. Masyarakat yang mentalnya gersang dan kehidupannya sulit akan girang sekali jika mendengar Satrio Piningit bakal turun gunung, karena mereka berharap kesengsaraannya bakal segera berakhir. Nyatanya puluhan kali ganti rezim puluhan kali pula sosok Satrio Piningit dipasarkan. Namun hasilnya toh sama saja. Tak ada buktinya. Kriteria pemimpin ideal, hanya ada dalam dongeng. Dongeng itu diduga sekarang sedang diperankan oleh Jokowi. Maka alur ceritanya perlu dirawat agar masyarakat kecanduan Satrio Piningit terus-menerus sepanjang masa. Namun aneh, nyatanya, di era Satrio Piningit asli Solo ini, keadaan masyarakat justru semakin waswas, resah, gelisah, dan dalam ketidakpastian. Adu-domba, fitnah, dan pertengkaran selalu terjadi. Masyarakat dibikin penuh prasangka, saling hujat, dan perang dingin. Keadaan makin memburuk saat ekonomi terpuruk, cari makan makin sulit. Pengangguran meningkat, keadilan mati suri, dan utang negara menggunung. Satrio Piningit ternyata tidak memberikan ketentraman, kedamaian, dan keamanan. Tidak punya solusi. Jokowi malah sibuk membuat episode pencitraan demi pencitraan. Tampaknya para pemuja Jokowi salah menafsirkan Satrio Piningit. Jokowi juga mendapatkan pemujaan yang berlebihan. Semakin jauh dari fair dan realistis. Keberhasilannya diangkat setinggi langit, kegagalannya dibenamkan ke dasar lautan. Anehnya, Jokowi pun seperti menikmati posisi ini. Akibatnya banyak hal di luar dugaan Jokowi yang diketahui belakang ini. Tidak mengherankan kalau Jokowi sering bilang',"Saya kaget". Mereka juga kurang tepat menyematkan falsafah Mikul Dhuwur Mendhem Jero pada sosok Jokowi. Konsep Jawa ini sesungguhnya diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Untuk mengurangi muatan fitnah, masyarakat Jawa diharap tidak membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal. Masyarakat diperintahkan untuk membicarakan kebaikan yang sudah meninggal. Mikul dhuwur itu artinya mengangkat tinggi-tinggi jejak kebaikannya. Sementara mendhem jero itu artinya mengubur dalam-dalam keburukan orang yang sudah meninggal. Konsep agung ini diaplikasikan dengan salah oleh pengikut Jokowi. Jokowi belum meninggal. Jejak langkahnya masih berproses. Itupun selalu ada pro-kontra dalam kebijakannya. Bahkan lebih banyak kontranya. Jokowi belum saatnya untuk menerima ganjaran surga. Surga atau neraka itu otoritas Tuhan bukan rekomendasi Isran Noor. Kalaupun ada kelebihan Jokowi, itu kreativitas buzzer semata dalam menyulap informasi. Membela membabi-buta, ugal-ugalan. Memlintir fakta. Tidak elok memuja-muja Jokowi setinggi galaksi. Sementara banyak pihak yang menyoal sepak terjangnya. Belum saatnya Jokowi memanen hasil, apalagi menyiapkan surga. Jangan terlampau boros memberikan pujian buat Jokowi. Ingat, aksara Jawa kalau dipangku pasti akan mati. Itu artinya menurut keyakinan orang Jawa, seseorang tidak boleh terlalu tinggi disanjung dan dipuja. Sanjungan yang melampaui batas akan membunuh yang disanjungnya. Coba saja.
Keutamaan Bulan Ramadhan
by Furqan Jurdi Jakarta FNN - Beberapa hari lagi kita akan menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah merupakan bulan suci yang memiliki keutamaan-keutamaan yang luar biasa. Dengan keutmaan-keutamaan itu, Bulan Ramadhan dapat dijadikan bulan Tarbiyyah dan Madrasah bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam bersabda: لَوْ تَعْلَمُ اُمَّتِيْ مَا في رَمَضَا نَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي اَنْ تَكُوْنَ السَّنََة ُكُلُّهَا رَمَضَانَ Artinya: “Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap setahun penuh Ramadhan”. Begitu mulia dan utamanya bulan Ramadhan, sehingga Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam pun berangan-angan, setahun penuh bulan Ramadhan. Kenapa bulan ini menjadi bulan yang diutamakan? Pertama, karena Bulan Ramadhan adalah bulan nya Al-Quran – Syahru Ramadhan, syahrul Furqan. Bulan Ramadhan itu bulannya al-Quran. Seperti yang difirmankan Allah SWT: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَان “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”. (Qs. Al-Baqarah: 185) Meski dalam ayat ini tidak disebutkan tanggal turunya Al-Quran, namun Para Mufassir (ahli Tafsir) menghubungkan dengan surat Al-Anfal Ayat 41, yang berbicara tentang bertemunya dua Pasukan yaitu dalam Perang Badar, perang yang pertama Kali terjadi dalam sejarah perjuangan Islam. Dalam Surat Al-Anfal ayat 41 Allah berfirman: اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ "Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan". (Qs. Al-Anfal: 41) Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa yaumul Furqan (Hari turunya Al-Quran) itu adalah Yaumul Takaljam’an (hari bertemunya dua pasukan). Maka mufassir menghubungkan dengan surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu Yaumul Furqan. Mufassir menyimpulkan hari turunya Al-Quran adalah hari pertama bertemunya pasukan Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam dengan pasukan musyrik Qurais yang terjadi pada Tanggal 17 Ramadhan, dan itulah hari turunnya Al-Quran. Karena itu kita menetapkan hari nuzulul Quran jatuh pada setiap tanggal 17 Ramadhan. Hari Turunya Al-Quran itu pula lah yang disebut sebagai malam Lailatul Qadar. اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (sesungguhnya Kami telah menurunkannya Al-Qur'an pada malam qadar), atau إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ (sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada suatu malam yang diberkahi). Malam Lailatul Qadar atau malam yang diberkahi itu adalah lebih baik dari seribu bulan. Kenapa Seribu Bulan? Seribu bulan adalah umur umat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Kalau dihitung tahun sekitar 80 atau 82 tahun. Kenapa seribu bulan? Karena itu umur umat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Kalau seorang mendapatkan malam Lailatul Qadar satu kali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi lebih baik, karena akan dibimbing oleh Al-Quran. Itulah kenapa bulan Ramadhan itu menjadi bulan yang memiliki keutamaan. Kedua, bulan untuk meningkatkan etos ibadah. Allah Berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183) Bulan Ramadhan adalah Madrasah atau Universitas untuk melakukan tarbiyyah bagi diri kita masing-masing, yaitu tarbiyyah kedisiplinan dan tarbiyyah-tarbiyyah lainnya. Pada bulan Ramadhan setiap muslim dianjurkan untuk meningkatkan etos ibadahnya. Dimulai dari seringnya membaca Al-Quran hingga meningkatkan ibadah sholat malam. Setiap hari dalam bulan Ramadhan dianjurkan untuk membaca ayat-ayat Al-Quran minimal satu juz dalam satu hari. Selain itu melaksanakan sholat minimal malam 11 rakaat. Dengan etos ibadah itu, kita berharap untuk menjadi pribadi yang taqwa. Ketiga, untuk meningkatkan etos kerja. Ibadah puasa tidak harus menurunkan etos kerja. Sebaliknya, justru harus meningkatkan etos kerja. Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam, ketika berhadapan dengan pasukan musyrikin Mekkah di Badar pada saat puasa Ramadhan. Ketika itu pasukan kaum muslimin mendapatkan kemenangan besar. Banyak sekali perang dan pertempuran yang dilakukan oleh kaum muslimin, kemudian dimenangkan oleh kaum muslim pada saat bulan Ramadhan. Artinya, bulan Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan etos kerja. Sehingga dengan kedisiplinan dan etos kerja Ramadhan itu, kita dapat sukses dalam berbagai tugas tanggungjawab. Keempat, bulan Ramadhan sebagai bulan training. Setiap orang di bulan Ramadhan dituntut untuk bertindak jujur dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Kejujuran adalah kunci kehidupan, karena itu setiap muslim dituntut untuk jujur. Jangan suka berbohong. Misalnya, ketika sedang melaksanakan puasa, Allah Subhaanahu Wata’ala melarang kita untuk tidak makan dan minum di siang hari. Dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Sebenarnya makan saat lapar dan minum saat haus itu hal bagus. Tetapi pada saat bulan Ramadhan, sepanjang siang hari, untuk hal baik itu dilarang. Bayangkan saja, kalau tidak ada kejujuran pada diri kita. Orang bisa saja membohongi dirinya dan orang lain, dengan pura-pura berpuasa. Padahal dia makan dan minum secara sembunyi-sembunyi. Tetapi bagi orang yang beriman, ia menyadari, meskipun luput dari mata manusia dunia. Namun sadar bahwa ada mata penguasa langit dan bumi, yang tidak pernah luput untuk mengawasi setiap tindakannya. Begitu juga dalam bulan Ramadhan. Seorang yang beristri dilarang menggauli istrinya. Padahal itu hal yang baik dan mendapatkan pahala yang yang besar. Tetapi pada bulan Ramadhan, harus menahan nafsunya demi untuk mengabdi pada Allah Subhaanahu Wata’ala. Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan bagi kaum muslimin. Keutamaan untuk melatih diri menjadi pribadi yang memiliki etos ibadah, etos kerja dan bulan tarbiyyah untuk mencapai predikat sebagai orang yang bertaqwa. Predikat Taqwa itu harus terus meningkat setiap kali kita melaksanakan ibadah puasa. Semoga kita semua menjadi hamba Allah yang Muttaqin. Wallahulam bis Shawab. Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Anies Yang Masih Membangun Saja Disalahkan, Apalagi?
by Mang Udin Jakarta FNN - Baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membangun rumah panggung di wilayah langganan banjir. Persisnya di Kampung Melayu. Untuk sementara, ada 40 rumah panggung yang dibangun. Sebagai pilot project dulu. Anggaran setiap rumah Rp. 78 juta. Konsepnya, rumah panggung tiga lantai. Lantai bawah untuk dapur dan ruang interaksi sosial. Lantai dua dan tiga untuk keluarga. Dengan begitu, mereka para penghuni tidak perlu bingung ketika terjadi banjir. Penghuni tetap nyaman tinggal di lantai atas. Ini terobosan ide yang patut didukung. Inovasi baru, karena memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebuah nalar kreatif dalam menghadapi masalah banjir. Namun ada saja yang mencemoh 40 rumah panggung yang baru menjadi pilot project tersebut. Wah, ini proyek nggak bener. Bisa menimbulkan kecemburuan sosial, kata salah seorang anggota DPRD DKI. Yang banjir kan tidak di daerah Kampung Melayu aja. Ada sejumlah wilayah yang menjadi langganan banjir di DKI. Mestinya dibangun serentak, lanjutnya. Nggak apa-apa juga anggota DPRD DKI bilang begitu. Namanya juga kritik. Masukan yang perlu didengar. Hanya sedikit perlu dijelaskan bahwa pembangunan kota itu bertahap. Ini lumrah, wajar, dan bagian dari umumnya perencanaan. Kalau kita memahami ini, maka tidak perlu menyoal kesetaraan, keadilan, apalagi kecemburuan terkait rumah panggung. Kecuali jika ada yang cemburu karena tidak dilibatkan dalam pilot project. Tetapi, cemburu itu alami. Setiap orang butuh duit kok. Istilah serentak tidak lazim ada dalam program pembangunan. Pemilu serentak, nah ini baru popular anggota DPRD yang terhormat. Nikah serentak juga boleh, eh maksudnya kawin massal,. Itu juga ada. Tetapi, pembangunan serentak, ini istilah yang agak asing di telinga. Anggota DPRD belajar tentang perencanangan pembangunan, belajarnya di penggiran jalan mana? Kalau belajarnya di selokan, got atau gorong-gorong, kira-kira dimananya ya? Pelebaran atau pembangunan jalan misalnya, apakah dibangun serentak? Tidak juga. Trotoar, apakah juga dibangun serentak? Tidak juga. Begitu juga LRT/MRY dan normalisasi sungai, apakah dilakukan serentak? Kalau pembangunan ada yang serentak-serentak, tolong tunjukan, kira-kira dimana? Tak serentak itu bukan berarti tak adil. Tak serentak bukan berarti tak merata. Tak serentak bukan berarti tebang pilih. Ini hanya soal perencanaan, tahapan dan anggaran saja. Untuk berpikir sederhana ini, tak perlu harus pinter-pinter amat. Amat aja nggak pinter-pinter juga. Warga mungkin tak cemburu. Tetapi, kalau diprovokasi terus-terus, mereka kemungkinan akan was-was juga. Khawatir program rumah panggung tidak berlanjut. Padahal semua butuh proses. Tidak bisa bim-salabim. Tidak bisa abrak-kedabrak. Ini program berkelanjutan. Maunya, setiap pemimpin ingin menuntaskan semua program dalam semalam. Seperti mitos dalam cerita Roro Jonggrang. Tetapi, kita sekarang hidup di dunia nyata. Tidak hidup di zaman Candi Borobudur ketika didirikan. Mesti anggota DPRD menyadari perlunya proses itu. Tdak semua pembangunan infrastruktur bisa tuntas dalam satu periode Gubernur. Lihat itu LRT/MRT. Dimulai dengan perencanaan pada masa Gubernur Sutiyoso hingga sekarang belum juga selesai-selesai tuh. Ini namanya program yang berkelanjutan. Masa anggota DPRD tidak paham? Jangan-jangan memang tidak mau paham. Ya, terserah saja kalo gitu. Saat pendemi dimana anggaran terbatas, ada pembangunan untuk warga tanpa merogoh kocek APBD, tetapi menggunakan Corporate Social Responsibiloty (CSR), dana Baznas Bazis DKI dan Kerjasama dengan institusi lain. Ini sebagai terobosan yang luar biasa. Apalagi, ini diprogram sebagai solusi untuk mengamankan warga dari banjir yang selama ini menjadi masalah tahunan bagi masyarakat Kampung Melayu dan wilayah lainnya. Sebuah solusi cerdas. Setelah program normalisasi sungai yang berkelanjutan, program naturalisasi sedang berjalan. Penambahan dan perbaikan pompa, serta program penghijauan dan pembuatan sejumlah waduk, rumah panggung adalah solusi tambahan. Meski bersifat lokal, tetapi ini sangat membantu warga untuk keluar dari masalah banjir. Masih juga disalahkan? Kebangetan kau anggota DPRD. Bagaimana program rumah panggung di wilayah lainnya? Kalibata, Condet dan Pesanggrahan misalnya? Masih ada hari, tanggal, bulan dan tahun. Jakarta belum kiamat. Masih bisa dikerjakan di beberapa bulan berikutnya. Kalau pilot project ini berhasil, nantinya bisa juga dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI. Bisa menggandeng semakin banyak perusahaan swasta dengan CSR-nya. Bisa juga melalui donasi dari luar negeri. Yang 40 rumbah ini baru pilot project. Lihat dulu, evaluasi efektifitas dan manfaatnya. Jangan buru-buru kebakaran jenggot. Ntar mukamu bisa gosong. Namun, kalau kritik semata-mata hanya untuk cari panggung, boleh-boleh juga sih. Bisa jadi iklan yang efektif. Tetapi, sesungguhnya ada banyak pilihan cara yang lebih bijak dan elegan untuk manggung. Tidak harus dengan cara menyalahkan apapun yang dilakukan Gubernur Anies. Kecuali ada tugas khusus untuk menyalahkan itu. Jangan-jangan punya spesialisasi disitu. Ya, kita harap maklum saja! Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik.
Penyembah Galon Baiknya Dilarung Saja ke Laut
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Masyarakat sebaiknya mulai mewaspadai agama baru di Indonesia. Bukan Agama Islam. Bukan juga Agama Kristen Protestan, dan bukan Agama Katolik. Agama baru tersebut bukan untuk menyembah Allah Subhaanahu Wata’ala. Bukan juga penyembah api. Tetapi penyembah galon yang masih serumpun dengan penyembah balon. Adalah Kristia Dede Budhyarto, yang diangkat oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir sebagai Komisaris Independen di PT Pelni (buzzer istana), yang menjawab pertanyaan tentang agama yang bersangkutan. Jawaban Kristia Dede Budhyarto itu ditemukan pada akun twitter miliknya tanggal 9 April 2021 lalu. Menuduh da’I dan penceramah radikalis, sekaligus membatalkan acara Ramadhan adalah perilaku sombong, angkuh dan arogan. Aneh, komisaris perseroan dengan kekuasaan mengambil alih porsi Direktur Utama dan jajaran Direksi. Posisinya cuma Komisaris hadiah lagi. Komisaris "abal-abal". Biar dianggap keren, dibilang komisaris independen. Penyembah Galon tidak boleh hidup di Indonesia. Tidak pantas untuk menjadi komisaris BUMN di negara Pancasila. Sebab tidak mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu apa bedanya dengan mereka yang menjadi penyembah batu, kayu, dan arwah. Atau memang penyembah dewa laut karena menjadi Komisaris Pelni ? Dewa laut yang sudah berada dalam gallon maksudnya. Bongkar-bongkar riwayat hidup, Kristia Dede Budhyarto bukan "good man" ada Alexis ada Siska yang mampir-mampir. Dede Budhyarto adalah radikalis sekuler. Komisaris perusak akhlak bangsa yang harus diberhentikan oleh Menteri BUMN. Kepada ulama MUI dia songong dan maki-maki, wajar kalau dia pernah dimaki-maki oleh teman kencannya. Penyembah Galon harus dibuang saja ke laut. Menteri BUMN jangan biarkan penyembah Galon berada di PT Pelni. Keselamatan penumpang bisa terancam. Bisa menjadi penyebab datangnya musibah untuk kapal-kapal penumpang PT Pelni. Kasian para penumpang yang berlayar ke seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan kapal-kapal PT Pelni. Agama tidak boleh dimainkan-mainkan. Penyembah Galon diduga lebih brengsek daripada Lia Eden yang baru meninggal. Lia Eden yang mengaku sebagai Malaikat Jibril, ternyata bisa sakit dan mati juga. Lalu dibakar jenazahnya. Sebaiknya Penyembah Galon seperti Kristia Dede Budhyarto segera saja dilarung ke laut. Semoga kapal-kapal PT Pelni dan para penumpangnya selama, dan terhidar dari musibah. Sampah ya harusnya dibuang saja. Jangan dipertahankan. Bisa menjadi beban PT Pelni dunia akhirat. Pelni akan selamat. Sebab buzzer istana itu musuh agama. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Puasa Yuk, Biar Bangsa Ini Jadi Bener
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ramadhan tiba. Marhaban ya Ramadhan, sebuah kata yang beredar di group-group medsos. Diiringi ucapan maaf dan ditutup doa semoga dapat menjalankan ibadah Ramadhan sampai akhir, dan meraih kemenangan. Satu dengan yang lain saling menyapa setiap jelang Ramadhan. Mengucapkan kata selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Tidak hanya Islam, tidak hanya Kristen, tidak hanya Hindhu, tidak hanya Budha, tidak hanya Konghucu. Semua ramai-ramai mengucapkan selamat kepada saudara-saudaranya yang muslim. Belum lagi kalau lebaran nanti. Rukun, guyup, dan hidup harmonis. Agama tak lagi menjadi sekat kehidupan masyarakat. Iman bukan lagi tembok penghalang untuk membangun harmoni sosial. Indonesia ini ditakdirkan menjadi negeri penuh dengan keragaman. Terdiri dari keragaman etnis, suku, bahasa, budaya dan agama. Dari dulu, satu sama lain membaur dalam komunitas yang beragam. Saling Asih dan Saling Asuh. Saling hormat dan menghargai. Jika datang bencana alam, tak lagi bertanya apa agamanya? Apa sukunya? Apa budayanya? Yang ditanya adalah perlu bantuan apa? Apa yang dibutuhkan di lokasi bencana? Disinilah persaudaraan itu menjadi warisan turun-temurun dalam ragam solidaritas yang terus menguat. Ramadhan, dengan banjirnya ucapan dari lintas iman, ini bukti betapa damainya Indonesia. Hanya saja, suasana damai tak disukai semua orang. Terutama mereka yang tak mau berpuasa. Puasa saja tidak mau, apalagi menjiwai nilai-nilai besar Ramadhan? Jadi pejabat, tetapi nyolong uang Negara, atau uang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nggak bisa puasa juga. Punya suara, tetapi dijual. Nggak tahan lihat uang dan jabatan di depan mata. Kalau nggak dapat jabatan, lalu adu-domba masyarakat. Orang-orang ini biasanya nggak kenal puasa. Ada lagi yang suka lempar-lemparan bom, lalu teriak teroris. Ngeri ah..., Coba kalau saja pejabatnya puasa, lalu nggak akan nyolong lagi. Para politisi juga puasa, dan nggak adu-domba masyarakat lagi. Para pengusaha juga berpuasa, sehingga nggak sogok sana sogok sini. Anggota DPR juga puasa, sehingga nggak budek lagi untuk mendengar aspirasi dan kemauan rakyat. Ayuk mari berpuasa. Puasa nyolong, puasa korupsi, puasa nyuap, puasa adu-domba rakyat sendiri. Kalau semua pada berpuasa, Indonesia akan seperti surga. Tetapi, kapan? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.