ALL CATEGORY

Apa Sebab Jurubicara Prabowo Melecehkan Habib Rizieq

by Asyari Usman Medan, FNN - Ramai di Twitter. Tiba-tiba saja, tak ada angin tak ada petir, Dahnil Anzar Simanjuntak (DAS) melecehkan Habib Rizieq Syihab (HRS). Entah apa sebabnya, belum tahu. Jurubicara Menhan Prabowo Subianto (PS) ini menulis komentar balasan di linimasa Facebook-nya yang bernada sangat arogan. Kepada pemilik akun “Sugeng” di FB, Dahnil mengatakan bahwa HRS bukan siapa-siapa. DAS menggunakan kata-kata yang menunjukkan bahwa dia telah berjasa besar terhadap HRS. Meskipun kalimat-kalimat DAS tak menghiraukan kadiah bahasa Indonesia, tapi untaian komentarnya bisa dipahami sebagai ucapan yang mengerdilkan Habib. Begini Dahnil berbahasa: “Sugeng, dia siapa? Bukan2 siapa (maksudnya Bukan siapa-siapa, red) bagi sy justru sy yg bantu dan bela imam mu dulu, tapi sebaliknya dia tak pernah berkontribusi untuk membantu saya. persamaanya sy pernah lawan Ahok sama dg dia, dan dia pernah dukung PS sama dg saya. selebihnya sy bantu hak2 dia, tapi dia tak pernah bantu hak2 saya. itu terang. jelas ya.” Komentar inilah yang dibawah ke Twitter. Intinya, DAS ingin mengatakan beberapa poin. Pertama, dia sekarang menganggap HRS tidak ada apa-apanya. Kedua, dia pernah membantu dan membela Habib. Ketiga, Habib tidak pernah membantu dia. Untuk poin pertama, tentu sikap anggap enteng kepada HRS ini adalah hak Dahnil sepenuhnya. Orang hanya bisa geleng kepala mengapa begitu drastis perubahan jalan pikiran DAS. Kita semua pantas merasa kasihan melihat transfromasi Dahnil yang pasti banyak menggerogoti pikiran jernih dan akal sehatnya. Tidak terlalu mengherankan, sebetulnya. Sebab, Dahnil harus melecehkan Habib untuk menunjukkan dirinya lebih radikal dari para pendukung Jokowi. Dia harus bisa meyakinkan para pengawal senior Jokowi bahwa dia benar-benar telah masuk secara ‘kaffah’ (sempurna) ke kolam re-edukasi kubu Jokowi. DAS juga wajib ikut ‘vaksinasi ideologi’ agar dia utuh menjadi seorang Jokower. Sekarang ini efek vaksinasi itu telah menampakkan bentuknya. Dia mulai memusuhi ulama. Ini adalah ‘trade mark’ para Jokower. Poin kedua. Dahnil mengatakan dia pernah membantu HRS. Tak jelas bantuan apa yang dia maksud. Dan tak jelas pula kapan itu terjadi. Tampaknya lebih tepat disebut bahwa Dahnil merasa dirinya sudah sangat besar sehingga Habib memerlukan bantuan dari dia. Poin ketiga. DAS mengatakan Habib tak pernah membantu dia. Kalau ini memang benar. Soalnya, HRS mau bantu apa untuk Dahnil yang sudah menjadi orang besar. Yang agak berlebihan adalah pernyataan DAS bahwa suara besar yang diperoleh Prabowo dan Gerindra tidak ada kaitannya dengan dukungan umat Islam yang dikerahkan oleh HRS dan para ulama. Untuk menyikapi pernyataan seperti ini, orang tidak perlu reaktif. Biarkan saja. Arogansi macam ini akan terjawab dengan sendirinya nanti. Jadi, untuk menjawab pertanyaan di judul tulisan ini: apa sebab jurubicara Prabowo melecehkan Habib Rizieq, kita semua sudah paham. Dahnil Anzar merasa suara para ulama tidak diperlukan. Dan para ulama pun sudah tahu jauh sebelum Dahnil merasakan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ibarat Menghadapi Orang Gila Yang Menghunus Golok

KEKUASAAN yang cenderung dilaksanakan secara otoriter dan serba “error” sekarang ini, membuat rakyat tercekam tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada ruang untuk memprotes apalagi melawan. Apa saja yang dilakukan oleh para penguasa, terpaksa harus diterima. Situasi yang berlangsung mirip dengan drama penyanderaan yang dilakukan gerombolan orang yang tak waras. Orang-orang gila. Seramnya, kepada gerombolan itu telah diserahkan semua senjata yang tadinya dipegang oleh rakyat yang kini menjadi sandera. Mereka gila tapi memegang senjata lengkap dan siap digunakan. Salah bergerak, banyak korban nyawa. Berteriak sedikit, senapan mesin para penyandera akan memuntahkan ribuan peluru. Ada yang coba-coba melakukan manuver yang mencurigakan, bakal mati kena granat. Tak ubah seperti orang gila yang memegang golok dan berada di tengah keramaian. Pastilah semua orang senyap. Tak berani memancing perhatian orang gila itu. Semua tiarap. Begitulah sekarang rakyat Indonesia di bawah kekuasaan otoriter yang dikendalikan oleh orang-orang “error”. Bagaikan sedang berlayar di samudera, kapal NV Indonesia bisa hancur dan tenggelam kalau ada yang coba-coba melawan. Pada mulanya rakyat merasa senang karena mereka menyerahkan kendali dan persenjataan kepada orang-orang waras yang kelihatan baik dan akan membela yang lemah. Ternyata, rakyat tertipu. Para penguasa adalah orang-orang yang pandai bersandiwara ketika ingin mendapatkan mandat dan senjata lengkap. Malangnya nasib, para penguasa bukannya bertindak melindungi dan menyenangkan rakyat. Mereka sebaliknya menodongkan senjata kepada rakyat dan membebani rakyat dengan segala macam kecerobohan. Para penguasa juga berlaku semena-mena. Sewenang-wenang. Untuk saat ini, rakyat tidak punya pilihan lain. Mereka harus sangat berhati-hati menghadapi para penguasa yang setiap waktu mengacungkan senjata. Salah langkah bisa berujung tragis atau mendekam di penjara. Sejak awal, rakyat percaya orang-orang ini akan bertindak untuk melindungi dan menjaga keselamatan mereka dan hak milik mereka. Rakyat juga yakin orang-orang yang diberi sejata lengkap itu akan mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan. Semua itu tak terjadi. Janji menjaga rakyat berubah menjadi persekusi. Janji perlindungan jiwa dan hak milik, berubah menjadi pengejaran dan prosekusi. Para penyandera sibuk merampok dan menumpuk kekayaan di atas kapal NV Indonesia. Sebagian besar awak kapal mencari kesempatan dalam kesempitan. Sementara para penyandera sibuk berpesta pora dan menyantap yang enak-enak, para awak kapal yang jahat ikut hura-hura. Kini, para penumpang kapal harus rela menjalani kesewenangan para penyandera. Mereka tetap memilih hidup meskipun di bawah todongan senjat. Para penyamun yang berasal dari rakyat kini semakin mengganas. Rakyat hanya bisa menunggu para penyandera mabuk setelah pesta. Menunggu mereka lelah dan tertidur. Barangkali saja senjata dapat direbut kembali. Dan pada waktu itu nanti para penyandera bisa dilumpuhkan. Namun, sejauh ini belum lagi terlihat tanda-tanda ke arah itu. Para penyandera masih sangat kuat. Mungkin karena dibantu oleh orang-orang yang sudah malang-melintang di dunia rampok-merampok. Tidak ada pilihan lain. Rakyat harus terus bersabar. Bersabar sampai, barangkali, muncul seseorang yang sangat kuat dan memiliki kapasitas untuk menekuk gerombolan orang gila yang terlanjur menguasai senjata lengkap itu.

Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Demokrasi Individual? (Bagian-2)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Awal tahun 2021, bertiup angin santer wacana keinginan tentang Presiden tiga periode. Sifat wacana masih perorangan, belum ada organisasi yang menyatakan. Namun, bisa jadi dia corong depan organisasi. Tetapi bisa juga pribadi yang sedang “Nggege Mongso” mengharap jabatan. Semoga saja tidak demikian. Apapun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan Presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA). Singkat cerita, penulis (P) melakukan chatting melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespon, salah satunya, tokoh berinisial (JA) mantan pejabat negara, yang komunikasinya kami lakukan 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sebagai berikut : P​: Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di UUD, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk katagori persoalan tehnis atau persoalan esensial ketatanegaraan? ​Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden? JA​: Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. ​Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada Pilpres, tetapi Presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen di Kamboja, juga sampai mati. Meski selalu ada Pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik. P​: Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa “Presiden harus gantian”? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat? JA​: Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana. P​: Bung Karno punya Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup. Pak Harto dipilih rakyat berkali-kali. Tetapi, tatkala rakyat sudah tidak suka, ya henti di tengah jalan. Jadi ukurannya, menurut saya, demokrasi itu ya bagaimana kedaulatan atau kehendak rakyat. Ukurannya bukan harus gantian. JA​: Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen. Ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul juga Mahkamah Konstitusi (MK), sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil, tetapi ada mekanisme impeachment, dan sebagainya. Semua butuh pelembagaan. Namun tantangan yang bakal dihadapi adalah tradisi budaya. Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktek malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal. Bukan peduli, menyumbang, berbagi untuk transformasi pelembagaan politik dan peradaban bangsa dalam jangka panjang. P​: Apalagi dengan dasar Demokrasi Liberal. Siapa kuat segalanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari. Dari chating di atas, kita ambil 3 (tiga) pendapat JA yang menarik untuk dibahas. Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. Kedua, dalam esensi demokrasi itu, harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Ketiga, setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti. Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan Presiden itu bukan urusan tehnis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan Presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana “founding fathers” telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya. Penulis yakin, hitungan “founding fathers” tak ada faktor faktor emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik. Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi Demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang “fixed term”? Menilik arti kata dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L. Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, C.F. Strong, Hannry B. Mayo dan lain-lain. Tidak satupun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya “giliran kekuasaan”. Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa. Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb. Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamandemen UUD 1945 dan memilih Sistem Presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu, dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amandemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar. Kalau hanya ingin Presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila disamping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat. Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie tidak diterima rakyat melalui para wakil rakyat di MPR. ​Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekedar ingin Presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila. Bukan menurut UUD sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 2002. ​Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu “Staatsfundamentalnorm” yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau “Staatsgrundgesetz”. Dengan demikian Pasal 1 ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Soal Demokrasi Liberal dalam Pilpres dan Pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi import ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak, penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia. Jadi menjawab pertanyaan, mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk “menguasai”. Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan dengan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita import, yakni Demokrasi Liberal yang individualistis tersebut. Tetapi setelah tahu, jangan masa bodoh. Apalagi jika kita semua mengakui Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan bangsa dan negara bersama-sama, sebelum pecah, dengan kembali ke “Demokrasi Pancasila”. Apakah benar setelah 75 tahun, politik dinasti bangkrut? Sebagaimana yang disampaikan kawan penulis JA di atas? Untuk mengetahui jawabannya, apakah politik dinasti bangkrut atau justru menjamur, silakan baca pada artikel lanjutan bagian ke-3. (bersambung). Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Mungkin Presiden Yang Perlu Reshuffle? Bukan Menterinya

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Akhir-akhir ini isu reshuffle kabinet kembali merebak. Meskipun tidak ada harapan perubahan signifikan dari pergantian para menteri Presiden Jokowi tersebut. Sebab rakyat sebenarnya tidak butuh perubahan parsial kementrian. Yang sebenarnya ditunggu rakyat adalah kapan Presiden Jokowi mundur atau diganti. Selama menjabat sebagai Presiden sejak 2014, sudah empat kali Jokowi melakukan reshuffle kebinet. Pada periode pertama, tiga kali melakukan reshuffle. Sementara di preode kedua ini, sebentar lagi mungkin reshuffle yang kedua. Sehingga totalnya nan menjadi lima kali reshuffle. Ceritra menjabat tiga periode jangan hanya dianggap sebuah parodi. Jika obyektif, dengan keseringan melakukan reshuffle kabinet, maka Presiden dinilai memang sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan. Syangnya, syahwat untuk tiga periode tersebut diduga semakin menggebu-gebu. Meskipun gagal, namun niat besar menuju tiga priode tetap disebunyikan hingga kini. Bahkan sebaliknya mengatakan, “tak pernah berniat untuk tiga priode”. Reshuffle kabinet sebelumnya telah menghasilkan Menteri Agama (Menag) baru, Menteri Perdagangan (Mendag) baru, Menteri Kesehatan (Menkes) serta Menteri pariwisata dan Ekonomi Kreatif baru. Namun sama sekali tidak mengubah kinerja Pemerintahan Jokowi. Risma Menteri Sosial (Mensos) baru juga masih dominan akting daripada bukti kemampuan. Masyarakat sulit berharap banyak pada Menteri-Menteri yang baru. Disamping tidak adanya visi dan misi menteri, juga sistem kabinet sendiri berjalan dengan manajemen tidak visioner. Tidak jelas arah mau kemana. Sangat tergantung siapa yang terakhir datang memberikan masukan kepada Preside. Isu reshuffle adalah isu politik yang hanya untuk kepentingan istana dalam tiga hal. Pertama, Jokowi ingin mencitrakan kepada masyarakat dirinya masih sebagai Presiden yang masih kuat dan dominan. Tampil dan menunjukkan kepada lingkaran istana bahwa siapa yang mencoba melawan atau mengganggu akan diganti. Makanya jangan coba-coba melawan kemauan dan keinginan Presiden kalau memang tidak siap untuk diganti dari jebatan menteri. Kedua, koalisi dipancing agar semakin mendekat kepada Presiden. Karena umumnya koalisi takut kalau kehilangan menteri. Makanya PHP (Pemeberian Harapan Palsu) pun berjalan. Jangan-jangan Partai Demokrat yang masuk dalam jajaran kebinet hasil reshuffle pula. Untuk bargaining ke depan, terutama mendukung agenda tiga priode. Isu reshuffle selalu membuat semut berkumpul. Ketiga, isu reshuffle ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menutupi diri dari kelemahan-kelemahan yang sekaligus memperpanjang nafas politik. Tiga periode juga merupakan bagian dari upaya-upaya tersebut. Meskipun dengan bahasa kepada rakyat bahwa tidak berminat atau tidak akan mempengaruhi Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR). Meskipun demikian, sebenarnya rakyat sudah tidak peduli dengan isu reshuffle yang dihembuskan belakangan ini. Rakyat lebih berfikir tentang bahaya menghadapi krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis hukum. Permainan hukum untuk kepentingan politik yang semakin mencolok dan telanjang. Intervensi dan diskriminasi hukum sangat terbuka untu dilakukan penguasa. Jika semakin sering isu reshuffle digulirkan, maka semakin terbukti dan terkonfirmasi bahwa sebenarnya Presiden tidak mampu memilih pembantu yang baik. Menteri itu kan anak buahnya Presiden, karena Presiden yang pilih dan lantik mereka. Namun dengan keseringan reshuffle, maka sebenarnya menjadi cermin dari ketidakmampuan rakyat memilih Presiden yang baik pula. Memang yang selalu saja menjadi pertanyaan adalah, apakah "telur dulu atau ayam dulu”? Namun yang repot kalau ayamnya sakit, dipastikan telurnya juga ikut busuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Industri Otomotif Bangkit. Mimpi Siang Bolong Presiden Jokowi

PRESIDEN Jokowi menyampaikan kabar mengejutkan. Industri otomotif Indonesia sudah bangkit kembali. “Saya dapat laporan dari Menteri Perindustrian, ada kenaikan untuk purchase order-nya 190 persen. Artinya harus inden. Artinya yang memproduksi ini kewalahan, artinya lagi, industri otomotif sudah bangkit kembali,” kata Jokowi, dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) Hybrid 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis 15 April 2021. Bagi yang belum kenal, dan hafal dengan retorika Presiden Jokowi, apa yang disampaikan merupakan kabar yang sangat baik dan menggembirakan. Namun meminjam olok-olok yang sering digunakan oleh netizen, “sayangnya kabar baik itu yang menyampaikan Jokowi.” Begitulah public distrust yang sudah sangat meluas di kalangan masyarakat. Apapun yang disampaikan oleh pemerintah, khususnya Presiden, publik telanjur apriori. Tidak mempercayainya. Agar tak terjebak dalam sikap apriori. Sikap buruk sangka terhadap Jokowi, mari kita cek datanya. Benarkah dengan kenaikan pemesanan naik 190 persen, berarti industri otomotif sudah bangkit kembali? Berdasarkan data yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan mobil tahun 2020 merosot sangat tajam. Pada 2020, total volume wholesales anjlok 48,3 persen dari tahun sebelumnya, sedangkan ritel minus 44,5 persen. Distribusi mobil baru dari pabrik ke diler (wholesales) selama periode tersebut hanya mencapai 532.027 unit. Sementara dari sisi ritel, capaiannya terhenti di angka 578.327 unit. Titik terendah pada kuartal II/2020 atau April-Juni. Saat itu, pasar otomotif nasional hanya tersisa sekitar 10 persen dari keadaan normal Trend penurunan itu terus berlanjut pada awal tahun 2021. Gaikindo mencatat penjualan wholesales Januari 2021 berjumlah 52.910 unit. Angka itu turun 8,7 persen dibanding Desember 2020. Sementara dibandingkan Januari 2020 penurunan mencapai 52 persen. Untuk penjualan retail, penurunan lebih dalam. Penjualan Januari 2021 turun 28 persen dibanding Desember 2020. Sementara dibanding angka Januari 2020, penurunan retail mencapai 50,1 persen. Pada bulan Februari 2020 angkanya kembali turun, 15 persen dari penjualan bulan Januari. Angka penjualan mana yang digunakan oleh Jokowi sebagai pembanding. Tahun 2020, atau 2021? Kalau menggunakan angka tahun 2020, ada penurunan hampir 50 persen dibandingkan dengan tahun 2019 sebelum Covid. Sementara angka penjualan pada bulan Januari dan Februari turun di atas 50 persen dibandingkan tahun 2020. Atau angka penjualan bulan April-Juni 2020? Saat angka penjualan tinggal 10 persen? Pak Jokowi barangkali lupa. Atau jangan-jangan tidak tahu menahu, mulai bulan Maret 2021 pemerintah secara mengejutkan memberikan stimulus gila-gilaan untuk industri otomotif. Untuk pembelian mobil baru di bawah 1.500 CC diberi insentif PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) sampai 100 persen. Pembebasan pajak sampai 100 persen berlaku selama tiga bulan. Kemudian secara bertahap turun 50 dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya. Insentif pajak itu diajukan oleh Menteri Perindustrian. Namun pada bulan Oktober 2020 ditolak Menkeu Sri Mulyani. Alasannya akan memberatkan ekonomi, karena berdampak terhadap penurunan pendapatan negara. Sri Mulyani kala itu lebih memilih memberi stimulus fiskal yang bisa dinikmati oleh semua golongan. Bukan hanya industri otomotif. Namun tiba-tiba pada bulan Februari 2021 pemerintah memutuskan memberi insentif pajak untuk industri otomotif. Tidak hanya berhenti sampai disitu. Pada bulan Maret pemerintah memperluas insentif PPnBM. Jika semula hanya berlaku untuk kendaraan di bawah 1.500 cc 4X2, termasuk sedan dengan kandungan lokal 70 persen. Sekarang diperluas dengan kendaraan di bawah 2.500 cc 4X4 dengan kandungan lokal 60 persen. Dengan fakta ini sudah bisa diduga penjualan mobil baru pasti sangat menggiurkan. Pembeli bela-belain membobol tabungan, mumpung ada obral pajak besar-besaran. Apakah eforia pembelian mobil itu akan terus berlanjut ketika insentif dicabut? Tidak usah menunggu sampai habis masa pemberian insentif. Setelah insentif turun menjadi 50, apalagi 25 persen, dipastikan penjualan akan anjlok kembali. Tidak perlu kaget bila kebijakan pemerintah akan kembali berubah. Insentif PPnBM 100 persen diberikan sepanjang tahun. Demi mendongkrak penjualan otomotif. Jadi sesungguhnya klaim Jokowi bahwa industri otomotif telah bangkit kembali, bisa dipastikan adalah MIMPI DI SIANG BOLONG. Yang terjadi justu pendapatan negara kian tergerus, karena membeli stimulus industri otomotif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,99 triliun untuk penghapusan PPnBM mobil baru. Kebijakan insentif PPnBM mobil baru ini sekali lagi menunjukkan, betapa pemerintah sangat berpihak pada korporasi, termasuk korporasi multinasional. Dengan membeli mobil baru, maka sebenarnya dana tabungan masyarakat tersedot dan terbang ke pabrikan mobil asing. Sementara rakyat kembali coba dininabobokkan bahwa industri otomotif nasional sudah kembali bangkit. Mohon maaf Pak Jokowi. Kami sudah hafal dengan retorika semu semacam itu. Kami tak akan terlena. End

Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Presidensial? (Bagian-1)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Jokowi Kaget. Tak Percaya Ada Guru Bergaji Rp. 300 Ribu (CNN Indonesia, 11/1/2019). Wapres Ma’ruf Amin juga kaget dengan Ijin Investasi Miras Jokowi (CNN Indonesia, 2/3/2021). Menko PMK kaget Tenaga Tracing Covid-19 Tak Sampai 5.000 orang (DetikNews, 11/2/2021). Luhut kaget, tambahan kasus Covid-19 Capai 6.000 Per Hari (Bisnis.com, 16/12/2020). Risma kaget, duit Rp.1,3 T untuk data. Mati Kita Kalau Tak Hati-hati (CNN Indonesia, 23/12/2020). Sri Mulyani kaget ada uang WNI di Swiss susah masuk ke Indonesia (liputan6.com, 18/10/2016). Nadiem kaget, kami tak akan pernah hilangkan pengajaran agama (DetikNews, 10/3/2021). Pembaca “kaget’, karena membaca berita para pejabat kaget? Padahal tak perlu kaget. Sebab kaget itu bisa beneran kaget, bisa tidak kaget, tetapi dikaget-kagetkan. Sebab ada adagium kepemimpinan , “apa yang dilakukan dan tidak dilakukan bawahan, merupakan tanggung jawab pimpinan”. Penulis tidak bermaksud membahas berita di atas. Penulis suka judulnya. Logatnya, memberi inspirasi. Penulis ingin menyajikan sesuatu, yang mungkin orang bisa kaget, tidak kaget atau masa bodoh. Namun penulis berharap, demi orang banyak janganlah masa bodoh. Kita hendaknya berani mengambil langkah positip demi bangsa dan negara. Pembatasan. Dalam artikel bersambung ini, karena ada perbedaan yang mendasar, agar mudah membedakan, maka Undang-Undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini, ditulis dengan sebutan UUD 2002. Sebelum import sistem Presidensial, sistem pemerintahan kita dikenal dengan sistem pemerintahan sendiri atau sistem pemerintahan MPR. Penulis berpendapat, dan lebih suka menyebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”, karena landasannya Pancasila. Para politisi sepakat mengganti menjadi sistem presidensial saat mengamandemen UUD 1945. Seperti apa sistem Presidensial itu? Seperti yang kita pakai dalam bernegara pasca amandemen UUD 1945. Sistem presidensial jauh berbeda dengan produk lokal yang disusun oleh “founding fathers” yang penulis sebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”. Sistem Pemerintahan Pancasila merupakan karya besar bapak bangsa untuk Indonesia merdeka. Sistem ini tertuang dalam UUD 1945. Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan penjabaran dari pokok-pokok pikiran dalam “Pembukaan UUD 1945”. Sistem pemerintahan yang tidak ikut sana sini, tidak menganut Parlementer ataupun Presidensial. Bahwasannya, kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Pancasila. Kedaulatan rakyat seperti apa? Kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di dalam MPR duduk wakil-wakil rakyat, sebagai representasi atau penjelmaan rakyat Indonesia. Ada perwakilan Parpol, ada Utusan Daerah dan Utusan golongan. Tidak ada satupun yang tidak terwakili. Karena itulah MPR sebagai Lembaga Negara tertinggi, yang memegang kekuasaan negara tertinggi. Sehingga MPR memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kedudukan ini berimplikasi, MPR memiliki kewenangan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar yang bersifat tehnis. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, para wakil rakyat di MPR membuat garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Untuk melaksanakan GBHN, para wakil rakyat memberikan mandatnya kepada Presiden yang dipilihnya. Dengan demikian, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawahnya MPR. Presiden sebagai mandataris MPR adalah subsistem dari Sistem Pemerintahan Pancasila. Setiap tahun melaporkan pelaksanaan progam pembangunan, di hadapan sidang tahunan MPR. Di akhir jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ di hadapan MPR yang telah memberi mandat. Sampai disini, sebagai produk lokal, tampak keelokan Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem yang runtut dan mengalir dengan mantik. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, sebagai cerminan negara demokrasi, yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebuah majelis tempat para wakil seluruh rakyat Indonesia bermusyawarah. Etika birokrasi bernegara pun tampak cantik. Rakyat membuat rencana pembangunan untuk negara, dalam hal ini diwakili para wakilnya di MPR. Presiden menerima mandat untuk dilaksanakan. Ada mandat, ada pula laporan pertanggungjawaban dari penerima mandat. Rakyat hidup tenang menjalankan kehidupannya, karena sudah mewakilkan hak dan kepentingannya. Apakah Sistem Pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam UUD 2002 juga seelok dan secantik Sistem Pemerintahan Pancasila? Mari kita uji dengan memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah MPR saat ini representatif atau penjelmaan rakyat Indonesia? Tidak. MPR bukan penjelmaan rakyat Indonesia, karena anggota MPR hanya anggota DPR dan DPD. Anggota DPD hasil pemilu inipun nyaris orang-orang Parpol. Lalu dimana posisi dan dikemanakan hak komponen rakyat non Parpol, yakni golongan fungsional dan daerah dalam bernegara? Tidak ada tempat, bahkan haknya hilang. Contoh, salah satunya haknya anggota TNI dan Polri. Dengan demikian menjadi logislah MPR bukan Lembaga Negara tertinggi. Di sisi lain, juga menjadi logis kalau MPR tidak memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih rakyat secara langsung, sehingga patut kita nilai bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Apakah Presiden melaksanakan amanat pembangunan bangsa dan negara atau GBHN dari rakyat seperti pada Sistem Pemerintahan Pancasila? Pasti tidak. Presiden membawa visi dan misinya sendiri. Bahkan di era Presiden Jokowi, para menteri yang memiliki bidang khusus pun dilarang membuat visi dan misi. Semua harus melaksanakan visi dan misi Presiden. Apakah selesai periode masa jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ kepada rakyat yang memilihnya? Pasti tidak ada. Bahkan, apakah Presiden bekerja sesuai janji saat kampanye atau tidak? Tidak ada konsekuensi yang mengatur. Apakah Presiden berhasil atau tidak di periode pertama, tergantung opini yang dibangun. Opini yang dibangun tergantung pemilik modal. Sejauhmana mereka mempengaruhi Ketum Parpol dan berbagai pihak yang terkait dengan perkandidatan Capres sebelumnya. Kiprah lembaga survei, pemilik modal dan media ikut mempengaruhi. Perilaku para buzzer politik, dan besarnya penggelontoran duit, sangat menentukan hasil pembangunan opini. Sistem Presidensial memang membikin enak posisi Presiden. Bagaimana tidak? Selesai menjabat Presiden bisa pergi ‘lenggang kangkung’ tanpa memberikan laporan pertanggungjawaban. Bahkan, andaikan sebelum akhir masa jabatan, bisa “menguasai” atau “menggandeng” DPR, DPD, MPR, MK dan MA maka bisa dipastikan “check and balances” tidak jalan. Walaupun banyak Parpol, pemerintahan bisa mirip atau akan menjadi pemerintahan yang totaliter. Bagaimana bisa terjadi? Presiden punya kekuatan apa? Jangan kaget, dan tak perlu kaget. Sistem Presidensial yang didukung demokrasi liberal, di lapangan akan menunjukkan bahwa pemilik “kekuatan” itu pemilik modal atau kaum kapitalis. Kedaulatan di tangan rakyat hanyalah sesaat dan sebagai tontonan, ketika coblosan di Pemilu. Setelah itu patut dinilai kedaulatan bukan lagi milik rakyat. Sebuah Gurindam Melayu yang mengatakan ‘Uang adalah Raja Dunia’ memang menjadi kenyataan. Baik itu positip maupun negatip. Tanpa akhlak mulia, uang bisa menghancurkan dan membawa kehancuran. Dengan uang, bisa membuat banyak orang silau yang berujung terciptanya konflik membelah persatuan. Kaum kapitalis pemilik “Raja Dunia” bisa menciptakan siapa Presiden yang bisa mereka kendalikan. Gambaran faktual secara sederhana antara Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk lokal dengan Sistem Pemerintahan Presidensial sabagai barang import di atas, kiranya bisa membuka mata hati kita. Cintailah produk lokal kata Presiden, hendaknya termasuk cintailah Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk “founding fathers”. Insya Allah, aamiin. Silakan kaget bila belum tahu sebelumnya. Namun yang terpenting janganlah masa bodoh. Produk lokal lain yang perlu dicintai adalah demokrasi. Demokrasi yang bersumber dan tumbuh dari budaya bangsa, serta sejarah perjalanan bangsa merupakan kekuatan bangsa. Apakah kita punya demokrasi produk lokal yang harus kita cintai? Jawabannya, silakan baca lanjutan artikel bersambung ini, tentang demokrasi. Semoga memahami. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Prabowo-Puan, Capres-Cawapres 2024?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Parbowo hampir dipastikan nyapres lagi. Gerindra nggak akan beri tiket kepada Capres selain Prabowo. Bagi Gerindra, Prabowo menjadi faktor utama elektoral partai. Dengan posisi Prabowo sebagai Capres, efek elektabilitas ke Gerindra sangat besar. Soal menang kalah, itu urusan nanti. Itu punya pertimbangan yang lain. Apalagi elektabilitas Prabowo juga tidak buruk-buruk bangat. Artinya, Prabowo memenuhi instrumen elektoral ketika didorong maju ke Pemilihan Presiden (Pilpres ) tahun 2024 nanti. Suara Gerindra yang ada di DPR sekarang 12,57%. Itu artinya Prabowo sudah punya modal Presidential Threshold 12,57%. persen. Tentu saja itu tak cukup maju sendirian. Sebab, Presidential Threshold 20%. Dengan demikian, Prabowo mesti menggandeng partai lain. Yang paling mungkin digandeng Gerindra adalah PDIP. Apalagi PDIP punya suara 19,33%. Gabungan Gerindra-PDIP sudah 31,90%. Angka itu lebih dari cukup untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres pada 2024 nanti. Lantas, siapa calon dari PDIP? Puan Maharani. Megawati, Ketua Umum PDIP kecil kemungkinan akan melepas dukungan kepada selain Puan Maharani. Secara pengalaman, Puan memenuhi syarat. Pernah jadi Menko PMK dan sekarang menjadi ketua DPR. Soal elektabilitas, nampaknya Puan Maharani belum digarap secara serius. Saat ini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih populer dari Puan. Ini lantaran, Ganjar sangat rajin melakukan self branding. Kabarnya, tim media Ganjar sangat efektif kerjanya. Sederhana dsaja membacanya. Jika ada kepala daerah, siapapun itu, di luar ibu kota, tanpa kerja dan prestasi spektakuler, tapi popularitas tinggi, patut diduga kalau ada tim media yang bekerja efektif. Ada baiknya, anda tidak hanya baca survei yang dipublish. Cari akses untuk membaca juga survei yang tidak dipublish. Anda akan paham bagaimana permainan tim media. Beda dengan kepala daerah di ibu kota. Apapun yang dilakukan, media meliputnya. Ibu Kota jadi pusaran media. Anies Baswedan terpopuler diantaranya karena menjadi kepala daerah di ibu kota. Selain faktor prestasi yang diperoleh melalui berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Anies memenuhi syarat logis untuk populer dan tertinggi elektabilitasnya diantara kepala daerah lain. Kembali soal Ganjar Pranowo, apakah Gubernur Jawa Tengah ini akan mampu menyalip Puan Maharani? Kalau secara elektoral, mungkin saja. Tetapi, tak mudah bagi Ganjar Pranowo untuk menggeser posisi Puan Maharani. Di usia senja, Megawati, Ketua umum PDIP pasti ingin melihat anaknya berada di puncak karir terbaiknya. Dan itu adalah wakil presiden, lalu presiden. Yang paling realistis bagi Megawati adalah memasangkan Puan Maharani dengan Prabowo. Formasinya “Prabowo-Puan”. Prabowo tetap menjadi Capres mengingat pertama, elektoral Prabowo lebih tinggi. Kedua, Prabowo itu senior yang sudah dua kali nyapres. Ketiga, ini mungkin bagian dari upaya Megawati memenuhi janjinya di Batu Tulis yang sempat tertunda, bahwa Prabowo giliran menjadi Capres atas dukungan PDIP. Sementara Ganjar Pranowo? Jika elektabilitasnya membaik, Gubernur Jawa Tengah ini bisa nyeberang ke kubu lain. Artinya? Keluar dari PDIP. Misalnya, jadi cawapresnya Anies Baswedan. Untuk ini, Ganjar mesti bersaing dengan tokoh-tokoh lain seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, Tito Karnavian, Muhaimin Iskandar, Khofifah, Moeldoko, Agus Harmukti Yudhoyono (AHY), bahkan Budi Gunawan yang potensial dan juga berpeluang. Bagaimana jika Prabowo urung maju, dan mendorong Anies Baswedan sebagai Capres yang didukung Jokowi dan PKS? Apakah ini akan jadi pintu rekonsiliasi bangsa? Jika ini terjadi, maka akan merubah semua peta politik selama ini. Penulis adalah Pmerhati Politik dan Bangsa.

Benih Terorisme Itu Dari Syi'ah

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. Said Agil Siradj bahwa benih terorisme adalah Wahabi dan Salafi adalah ngawur dan ngaco. Pernyataan yang sangat sentimentil, dan berbahaya. Said tak pernah berterimakasih kepada Negara Saudi Arabia yang membuatnya memperoleh gelar Doktor di Universitas Ummul Quro Makkah. Negara yang telah menolong keilmuannya Said Agil. Kemudian sekarang berkhianat habis kepada Suadi Arabia dengan mencaci maki secara tak beradab. Orang menilai tak pantas dilontarkan oleh seorang Professor doktor atau ulama. Prilaku seperti itu hanya dan biasa dilakukan oleh mereka berpredikat sebagai ulama-ulaman. Itu bukan ulama benaran. Wahabi dan Salafi tidak pernah memusuhi negara manapun, termasuk Indonesia. Bahkan Salafi yang di Indonesia malah menyerukan untuk patuh kepada penguasa yang sah. Kaum salafi sangat jauh dari watak-watak radikal. Apalagi menjadi teroris. Aksi-aksi unjuk rasa atau demontrasi kepada penguasa saja dihukumkan sebagai barang haram. Salafi melawan Pemerintah tidak boleh. Demikian juga dengan Wahabi yang bersumber dari Saudi Arabia. Wahabi itu dimusuhi dengan snagat keras oleh kaum Syi'ah. Mereka dinyatakan sebagai nawashib, kafir oleh Syi'ah. Aneh bin ajaib saja, kalau Said Agil menyatakan salah satu sumber teroris di Indonesia itu berasal dari Salafi dan Wahabi Akar faham Syi'ah adalah radikalisme dan terorisme. Konsep imamah menciptakan permusuhan dan perlawanan terhadap ideologi negara di manapun. Spirit balas dendam dengan kekerasan ditarik dari pembantaian Karbala yang sebenarnya akibat dari watak khianat pengikut Syi'ah sendiri. Misalnya, menyakiti diri (tathbir) dengan senjata tajam adalah ajaran kekerasan dan terorisme Syi'ah. Sekedar mengingatkan lagi kalau gembong dan bapaknya terorisme di Indonesia adalah aktivis Syi'ah yang tiba dari pembinaan ilmu di Qom Teheran. Namanya adalah Muhammad Ibrahim Djawad. Orang ini yang melangkah dengan timnya yang terkenal melakukan peledakan bom Candi Borobudur pada tahun 1985 lalu. Ketika itu sembilan bom meledak sekaligus. Setelah meledakan Candi Brobudur yang menghebokan itu, Muhammad Ibrahim Djawad lantas kabur, dan lari kembali berlindung ke Iran. Sampai sekarang mungkin saja tidak berani kembali ke Indonesia. Kemungkinan dia masih menetap di Iran. Sementara anak buah Syi'ahnya meledakan bom bis Pemudi dan Seminari Alkitab Malang, Jawa Timur. Jadi pintu masuk radikalisme dan terorisme jelas bukan Wahabi atau Salafi. Melainkan asal-muasalnya dari Syi'ah. Said Agil yang sedemikian banyak memuji-muji Syi'ah, justru membahayakan eksistensi NKRI. Inkonsisten dukungan soal pluralisme. Dengan Kristen, Syiah, Ahmadiyah bisa berbaik baik. Tetapi giliran dengan Salafi dan Wahabi justru menonjok-nonjok. Bahaya global yang tidak disadari ole Said Agil adalah memusuhi Saudi Arabia, dan bersahabat dengan Iran. Padahal Saudi Arabia adalah negara di mana terdapat dua kota sucinya ummat Islam. Ada Makkah Al-Mukarromah yang menjadi kiblatnya ummat Islam di muka bumi ini. Selain itu, ada juga Madinah Al-Munawwarah, Kotanya Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Islam lahir di negeri Saudi Arabia ini. Islam bukan lahirnya di Qom atau Teheran. Apalagi di Karbala. Jangan salah mengarahkan kiblat bangsa dan negara ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Vaksin Nusantara Dijamin Unggul vs Sinovac Cina

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dahlan Iskan, Menteri BUMN semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam tulisan di DisWay, 13 April 2021, menulis, kemarin pagi orang antre di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta: menjalani vaksinasi mandiri lewat Vaksin Nusantara. Salah satu yang kelihatan di situ adalah tokoh ini: Sudi Silalahi. Bersama istri. Mantan Sekab itu percaya betul pada keahlian Dr. Dr. Terawan Agus Putranto, SpRad – Letnan Jenderal dan baru saja berhenti dari jabatan menteri kesehatan. Kemarin pagi itu tahapnya baru untuk pengambilan darah. Sekitar 20 cc. Tepatnya 8 ampul kecil. Darah tersebut diberi antigen. Lalu disimpan di lab Selama 2 minggu. Setelah muncul antibodi di darah itu, Sudi harus kembali ke RSPAD lagi. Darah tersebut akan dimasukkan kembali ke tubuhnya. “Saya tadi diberi tahu untuk datang lagi tanggal 28 April,” ujar Sudi Silalahi. Itulah cara yang disebut menimbulkan antibodi Covid-19 melalui sistem sel dendritik. Sel dendritik itu kemudian '”mengajar”' sel-sel darah kita. Yakni bagaimana cara memunculkan antibodi – yang lebih awet bertahan di dalam badan, bahkan bisa jadi seumur hidup. Minggu ini tiap hari 40 orang dulu. Ia mengetahui bahwa yang antre untuk divaksinasi lewat Vaksin Nusantara begitu banyak. Mulai minggu depan satu hari sudah bisa 80 orang. Rupanya Terawan – sebagai inisiator Vaksin Nusantara – akan menempuh jalan mirip sukses DSA (Digital Substraction Angiography). Yang dulunya juga ditentang begitu hebat – sampai ia diberhentikan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia – tapi akhirnya diterima secara luas. Sampai saat ini sudah lebih 40.000 orang yang menjalani DSA – termasuk Dahlan dan istri. Itulah terapi untuk membersihkan saluran darah di dalam otak. Yang secara populer lantas disebut “brain wash”' – cuci otak dalam arti harfiah. Terapi “cuci otak” Terawan dengan menggunakan alat DSA banyak dipakai masyarakat Indonesia, baik dari kalangan pejabat hingga masyarakat biasa yang menikmati terapi ini. Biaya terapi “cuci otak” dengan alat DSA ini pada 2018 kisaran Rp 23 juta atau Rp 25 juta. “Sebenarnya untuk DSA-nya sendiri cuma 23 juta atau 25 juta (rupiah), sekitar itu,” ungkap Terawan saat ditemui di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Senin (12/11/2018). Yang membuat biayanya membengkak, menurutnya, justru disebabkan biaya pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Seperti pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit lain. Itulah yang membuat membengkak. Sebenarnya DSA sendiri murah. Sampai saat ini, Terawan pun tak membedakan biaya terapi DSA pada masyarakat Indonesia dan warga negara asing. Menurut Terawan, semua orang harus diperlakukan sama dalam hal pelayanan maupun biaya. Sebelumnya, banyak orang yang telah melakukan dan disembuhkan oleh terapi DSA itu. Sebut saja beberapa nama besar diantaranya seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana dengan Vaksin Nusantara yang sedang dikembangkan Terawan? Apakah juga ada antusiasme masyarakat untuk disuntik Vaksin Nusantara? Sejak adanya penolakan untuk uji coba fase II Vaksin Nusantara, Terawan langsung memindahkan peralatan laboratorium dendritiknya dari Semarang, dibawa kembali lagi ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, dan pengamat politik senior Fahri Ali tampak mengantri di RSPAD Gatot Subroto sebagai peserta Vaksin Nusantara. Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan sejumlah anggota Komisi IX DPR RI mendatangi RSPAD, juga tampak ada di RSPAD Gatot Subroto. Mereka itu untuk sementara diambil sampel darahnya. Sehingga, pengambilan sampel darah bagian dari proses vaksinasi. “Jangan dianggap tadi vaksin. Itu bagian dari prosesnya. Jadi, ngambil darah bagian dari proses,” kata Melkiades, Rabu (14/4/2021). “Kamis depan itu disuntik ke masing-masing orang sesuai dengan pengambilan darah tadi,” lanjut politisi Partai Golkar yang akrab disapa Melki itu. Vaksin Nusantara merupakan produk perusahaan obat asal Amerika Serikat (AS), AIVITA Biomedical yang dikembangkan oleh perusahaan Indonesia PT Rama Emerald Multi Sukses. Vaksin ini hanya digunakan bagi orang yang diambil komponen sel darah putihnya dan disuntikkan kembali. Saat sel diambil terjadi proses inkubasi dengan antigen protein S virus SARS-CoV-2. Lantas usai tujuh hari, sel itu dimasukkan lagi ke tubuh orang yang diambil selnya. Cara ini diklaim bisa bentuk pertahanan terhadap Covid-19. Penelitian klinis fase I melibatkan 28 relawan di RSUP Dr Kariadi. BPOM menyatakan penelitian Vaksin Nusantara belum memenuhi syarat, sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2. BPOM merilis hasil uji klinis fase I atas Vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember – 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi Semarang atas 28 subjek. Hasilnya sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat. “Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, dilansir Tirto.id, Selasa (13/4/2021). Efek samping yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Bandingkan dengan efek samping pada Vaksin Sinovac yang hanya dilaporkan sekitar 0,1-1 persen pada uji klinis fase 3. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek samping derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Menurut Penny, KTD grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, ternyata tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut. Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara. Terawan dan Vaksin Nusantara harus bisa menunjukkan efikasi tinggi dibanding Sinovac yang diakui pejabat China memang rendah! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ada “Malin Kundang” di Tlatah Pakuan

TIDAK ada satu manusia di belahan dunia mana pun yang diperlakukan sekasar Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia terus dikuntit rezim untuk menyerah dan mengalah atas pelanggaran ringan protokol kesehatan Covid-19. Siapa pun yang menyimak persidangan HRS dalam kasus tes swab di RS Ummi Bogor, membuat dada tiba-tiba tersesak. Sidang pelanggaran prokes yang auranya mirip dengan sidang kasus terorisme itu menghadirkan saksi Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto. Sidang yang cukup melelahkan itu mendalami keterangan saksi yang berubah-ubah. Saksi yang awalnya mau mencabut laporan kepolisian tiba-tiba batal, lantaran, kata Bima ada perintah dari Kapolda Jawa Barat untuk tetap memproses kasus ecek-ecek tersebut. Oleh karena itu, HRS menyebut Bima Arya pembohong. HRS tentu saja kecewa terhadap sikap Bima Arya yang tidak konsisten, apalagi sebelumnya hubungan Bima-HRS cukup harmonis. Di persidangan ini terbongkar sisi lain Bima Arya. Alih-alih mau menjadi saksi memberatkan bagi HRS, yang terjadi justru masa lalu Bima saat mencalonkan diri menjadi wali kota juga terbongkar. Tahun 2013 Bima Arya bukan siapa-siapa. Ia hanya pengamat politik dari lembaga riset Charta Politika. Atas desakan teman-teman dekatnya ia didapuk untuk coba-coba ikut Pilkada Kota Bogor. Ketika itu tingkat popularitas Bima cuma 8 persen, jauh di bawah angka petahana. Maka strategi disusun, pencitraan dikemas, dan pasukan buzzer dikerahkan. Tema pun dikumandangkan, BIMA (Bageur, Pinter, Idaman, Sadaya). Atas saran teman-teman Bima yang memang ahli komunikasi, calon wali kota yang tampak polos itu patuh dan mengikuti kemauan konsultan politiknya. Bima disetting seperti Jokowi saat mau jadi presiden. Pada kumpulan ibu-ibu majelis taklim ia memerankan orang yang hormat dan takzim kepada perempuan. Di kalangan pedagang kaki lima ia tampil sebagai rakyat bawah dengan makan bubur ayam di emper toko. Di kalangan seniman ia juga dipaksa lincah ngibing ala Sunda. Memakai sandal jepit adalah salah satu ritual yang Bima tunaikan. Upaya merebut hati masyarakat Kota Bogor mulai menampakkan hasil. Dua bulan kampanye, survei menunjukkan popularitas dia semakin naik menjadi 15 persen. Akan tetapi, kenaikan ini belum mampu mengalahkan rivalnya yang cukup kuat. Bima kemudian diarahkan untuk mendekati ulama. Maka adegan berikutnya pun ia lakukan dengan penuh semangat dan total. Ia berkunjung ke ulama- ulama sepuh di Kota Bogor. Tak lupa pakai kopiah hitam dan adegan cium tangan pun diviralkan. Belakangan diketahui ulama-ulama yang diminta Bima Arya untuk mendukungnya adalah guru Habib Rizieq Shihab. Ini terungkap saat Bima menjadi saki bagi HRS di PN Jakarta Timur, Rabu (14/04/2021). Habib menyinggung soal restunya kepada Bima Arya saat ingin menjadi Wali Kota Bogor, pada awal 2014. Habib Rizieq mempertegas peran dirinya dalam mendukung Bima Arya menjadi Wali Kota Bogor. Habib Rizieq tahu bahwa Habib Mahdi Assegaf sangat dekat dengan Bima bahkan menjadi pendukung utama Bima. Ketika itu Habib Rizieq sebagai guru, merestuinya. Selain Habib Mahdi Assegaf, Habib Rizieq juga menyinggung bahwa Bima dekat dengan ulama Muhammad Husni Thamrin. "Itu juga pendukung Anda luar biasa. Habib Tham itu orang tua saya. Kalau Anda dekati Habib Tham, (kemudian) Habib Tham suruh saya temui Anda, jangankan saya lagi sehat, lagi sakit pun saya akan datang ke kantor Anda," kata Habib Rizieq. Singkatnya, atas dukungan ulama dan habiblah, Bima Arya Sugiarto akhirnya menjadi Wali Kota Bogor pada 2014. Namun, ibarat cerita Malin Kundang di Sumatera Barat, ada anak durhaka kepada orang tuanya yang kemudian dikutuk menjadi batu. Ini terjadi Bumi Pakuan, tepatnya di Kota Bogor. Orang yang telah berjasa mendukung menjadi wali kota, malah dijebloskan ke penjara. Dimasukkannya HRS ke penjara salah satunya karena ada laporan kepolisian yang dibuat oleh sang wali kota dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan covid-19 di wilayah Bogor. Habib mempertanyakan mengapa Bima tak menggunakan cara-cara kekeluargaan ketika menyelesaikan persoalan tes swab di RS Ummi Kota Bogor. Ia menyayangkan Bima yang langsung melaporkan polemik tersebut ke pihak berwajib. Padahal, hubungan HRS – Bima selama ini begitu baik. Bima tak hanya menyakiti Habib Rizieq Shihab. Teman-teman dekatnya yang dulu all out mendukungnya pun banyak yang kecewa. Belum genap satu tahun memimpin Bogor, ia terlibat korupsi lahan di Pasar Jambu Dua. Empat orang sudah dipenjara, tetapi dia selamat, padahal namanya sudah disebut dalam dakwaan jaksa sebagai orang yang melakukan (pleger). Kasus lain adalah soal pembangunan Hotel Ammarrossa yang menyalahi tata ruang. Di bawah kepemimpinannya, kemiskinan meningkat, dan kemacetan yang tak pernah terurai. Kota Bogor hanya terkesan indah di seputar Istana Kepresiden dan Kebun Raya. Bima dianggap kacang lupa kulitnya. Bima memang pernah menyesal atas dijebloskannya HRS dan menantunya, Habib Hanif ke penjara. “Saya sesalkan kenapa bisa menyeret nama Habib Rizieq Shihab dan Habib Hanif. Padahal, yang dilaporkan adalah RS UMMI Bogor,” ujar Bima Arya seperti yang disampaikan oleh Penasihat Hukum HRS, Aziz Yanuar. Tapi, apakah penyesalan itu ada manfaatnya? HRS hanya minta Bima menggunakan hati nuraninya dalam memimpin kota Bogor. Tes Swab di RS Ummi Bogor adalah kasus hukum dagelan karena ada ribuan orang di belahan republik ini yang tak melakukan tes swab. HRS juga menyesalkan sikap Bima yang tak berdaya mencabut laporan polisi, padahal diperbolehkan secara hukum. Ini membuat HRS sangat terpukul. Yang lebih menyebalkan lagi, tidak ada jejak penularan Corona pasca HRS dirawat di rumah sakit tersebut. Jadi, kalau dikatakan Bima berkewajiban memutus mata rantai Covid-19, rantai mana yang akan diputus? Pengadilan ini adalah contoh nyata ketidakadilan. Para penegak hukum seyogyanya menggunakan hati nurani dan moralitas dalam mengadili HRS. Keadilan macam apa yang bakal diraih. Penegakan hukum macam apa yang bakal diperjuangkan. Penghentian penularan Covid-19 macam apa yang hendak disetop. Ingat, apa yang dituduhkan kepada HRS sesungguhnya dilakukan pula oleh orang lain. Bahkan presiden dan para pejabat tinggi lainnya melakukan hal yang sama. Di mana letak equality before the law? Lebih menohok lagi ada biduan muda yang sengaja mengadakan acara pernikahan mewah malah dihadiri tiga pejabat negara yakni presiden, menhan dan Ketua MPR. Toh tidak dipenjara. Oleh karena itu, penegak hukum siuman dan sadarlah. Apakah proses persidangan HRS ini semata-mata untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan atau memenuhi target mengurung HRS hingga tahun 2026 sebagaimana Twitter yang diduga milik Diaz Hendropriyono?