ALL CATEGORY
Dua Kali Vaksin Bukan Jaminan, Faktanya Ibu Cinta Positif Covid19
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Mengutip Detik.com, Minggu (18 Apr 2021 08:51 WIB), Ibu Cinta sapaan karib dari Atalia Praratya, istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Kang Emil) positif COVID-19. Padahal, Atalia sudah menjalani vaksinasi dua kali. “Hari pertama masih kaget, baru dikabari, bingung ketularan di mana. Memang saya ketemu banyak sekali orang dan masyarakat. Tapi, mudah-mudahan saya berharap teman-teman dan juga orang-orang yang dekat dengan saya tidak ada satupun yang tertular ya,” kata Atalia. Dalam video yang diunggah, Sabtu (17/4/2021), Atalia mengungkapkan, ia termasuk orang tanpa gejala (OTG). Atalia mengungkapkan, selama ini ia aktif dalam menerapkan protokol kesehatan. Meski begitu, ia meminta doa untuk kesembuhannya. “Sesungguhnya saya merasa orang yang aktif sekali menggunakan masker, cuci tangan, dan selalu diingatkan menggunakan hand sanitizer. Tapi, Allahualam, kehendak Allah seperti itu. Ya masih kaget aja hari ini, mohon doanya saja dari semua,” ungkapnya. Sebelum dinyatakan positif Covid-19, Atalia menyebut ia sempat merasakan sakit kepala. “Tidak terasa apa-apa, penciuman normal, hanya kemarin, kepala sedikit pening. Saya pikir karena kehujanan,” sebutnya. Atalia menambahkan, kondisi keluarganya khususnya yang berada di area Gedung Pakuan, termasuk suaminya, Kang Emil, non reaktif. “Keluarga besar pakuan alhamdulillah termasuk pak gub, arka, adc, walpri, dll non reaktif semua,” katanya. Atalia diketahui sudah mendapat vaksinasi dua kali. Momen Atalia disuntik vaksin pertama kali diunggah melalui akun Instagramnya pada 5 Maret 2021 lalu. Atalia mengunggah video mengenai proses vaksinasi dirinya. Dalam keterangannya juga Atalia menyebut mendapatkan vaksin sebagai kapasitasnya dalam Satgas Covid-19 Jawa Barat. Vaksinasi pertama pada 4 Maret 2021, dan kedua pada 18 Maret 2021. Sementara itu, Kang Emil menyatakan ia dan anak-anaknya negatif, meski sang istri Atalia terkonfirmasi positif Covid-19. Ia pribadi di test PCR dan hasilnya negatif, juga anak-anak mereka negatif Covid-19. Jadi, apa gunanya divaksin? Berarti vaksin tidak menjamin kekebalan tubuh dari serangan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Begitulah tanggapan netizen terkait dengan Atalia yang akhirnya terpapar Covid-19 meski sudah divaksin dua kali. Sebelumnya, seperti dilansir Kontan.co.id, Senin (07 Desember 2020 / 10:13 WIB), Direktur Eksekutif Program Darurat WHO, Mike Ryan, mengatakan bahwa vaksin bukanlah akhir dari Covid-19. Mike Ryan menilai, perlu adanya sinergi semua pihak agar penyakit tersebut benar-benar bisa dihilangkan. “Vaksin tidak berarti nol Covid-19. Vaksin dan vaksinasi akan menambah alat utama yang ampuh pada kekuatan yang kita miliki,” ujarnya. Tapi mereka tidak akan melakukan pekerjaan itu sendiri. “Kita harus menambahkan vaksin ke dalam strategi kesehatan masyarakat yang ada,” ungkap Ryan yang hadir dalam Majelis Umum PBB, Sabtu (5/12/2020). Dilansir dari Euronews, pandangan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Baginya, belum tepat jika menganggap bahwa pandemi telah berakhir dengan adanya vaksin. Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari buka suara terkait perlukan vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19 saat ini. Hal itu disampaikan saat hadir dalam acara Karni Ilyas Club yang tayang di kanal YouTube milik Karni Ilmya, Kamis, 16 April 2021. “Kita perlu enggak sih vaksin? Sebetulnya dalam sejarah tidak ada yang mengatakan bahwa pandemi itu bisa dihentikan dengan vaksin,” ungkap Siti Fadilah Supari, dikutip Minggu, 18 April 2021. Menurutnya, pandemi tersebut terjadi, karena penyakit yang menyebar di masyarakat belum ditemukan obatnya. Ketua POKJA Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menegaskan, adanya resiko terpapar Covid-19 usai divaksin menandakan, vaksinasi bukan segalanya untuk memutus penularan Covid-19. Masyarakat tetap harus menjalankan protokol 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak) usai vaksinasi. Ini karena resiko terpapar Covid-19 setelah divaksin masih bisa terjadi. Artinya, setelah divaksin, tidak boleh langsung euforia dengan meninggalkan 3M. Resiko terjangkit Covid-19 memang akan tetap ada setelah diberikan vaksin. Tapi resiko dan gejala klinis akan jauh lebih ringan. “Vaksinasi itu belum tentu menjamin 100 persen kebal dari Covid-19. Vaksin memang membantu capai herd immunity (kekebalan kelompok). Namun, yang namanya pandemi Covid-19 tidak hanya soal vaksinasi,” imbuh Erlina. “Vaksinasi bukan segala-galanya selalu. Walaupun sudah divaksinasi, selalu terapkan 3M. Menjauhi keramaian dalam menjalankan aktivitas sehari-hari serta menjaga imunitas. Jangan setelah divaksin, langsung euforia, enggak pakai masker dan pesta-pesta. Itu enggak boleh.” Bagaimana dengan Atalia Praratya, istri Kang Emil yang positif Covid-19. Padahal, Atalia sudah menjalani vaksinasi dua kali. Juga, telah menerapkan prokes yang ketat? Rasanya tak mungkin Atalia terpapar Covid-19 sebelum vaksinasi. Karena, jika Atalia sebelum divaksin ternyata sudah terpapar Covid-19, dapat dipastikan tidak akan mendapatkan vaksinasi. Atalia beruntung. Apalagi, ia istri Kang Emil. Andai bukan seorang istri gubernur, apa beritanya bisa viral seperti sekarang ini? Belum Selesai Apa yang dialami Atalia di atas membuktikan, Covid-19 masih ada dan belum selesai. Meski sudah divaksinasi ternyata terpapar Covid-19 juga. Jangan sampai mengalami seperti di India dan Brazil, yang sulit mengendalikan laju penularan dan jumlah kematiannya. Di kedua negara yang semula dianggap berhasil itu, sekarang sama-sama sulit mencari lokasi makam baru. Persamaannya dengan kita, sama-sama jumlah penduduknya banyak. Sebaiknya kita simak catatan Prof. Dr. dr. Eulis Datau yang penting ini: Kanada, melarang penerbangan masuk dan keluar, dan jumlah kematian harian telah melebihi 1.000; Arab Saudi, diblokir dan tidak ada penerbangan masuk/keluar; Tanzania, sepenuhnya diblokir; Brasil, jatuh ke babak paling mematikan, dengan lebih dari 4.100 kematian hari ini; Spanyol, telah mengumumkan bahwa keadaan darurat dapat diperpanjang; Inggris, mengumumkan penguncian selama satu bulan; Prancis, terkunci selama 2 minggu; Jerman, disegel selama 4 minggu; Italia, juga mengikuti dengan cermat hari ini; Semua negara/kawasan ini telah mengonfirmasi gelombang ketiga Covid-19 lebih mematikan daripada gelombang pertama. Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati dan melakukan semua tindakan pencegahan. Menjadi komunikator yang waspada antara teman dan keluarga. Simpan semua orang dari gelombang ketiga. Jangan menilai dari blokade gelombang kedua tidak ada yang terjadi. Sejarah memberi tahu kita bahwa seperti flu Spanyol pada 1917-1919, gelombang ketiga lebih berbahaya daripada gelombang pertama dan kedua. Jutaan orang tewas. Lindungi diri Anda dan milik Anda Keluarga. Menjaga tindakan keamanan hayati, memakai masker, menjaga jarak sosial, sering mencuci tangan, dan lain-lain. Sejarah tidak akan pernah berbohong, mari kita renungkan. Mestinya kita semua jangan terlena, dan tetap waspada. Kebanyakan, penyebab kematiannya itu, kekentalan darahnya yang tinggi, sehingga gagal jantung. Secara umum, saat ini masih masuk gelombang ketiga. Mutasi virusnya, rekayasa yang mengkombinasikan antara Covid-19 dengan virus Dengue (demam berdarah). Yang terjadi pada manusia yang terinfeksi terjadi kekentalan darah yang amat tinggi yang menyebabkan gagal jantung, sehingga meninggal. Dari semua hal di atas, patut diberikan sebuah kesimpulan: dua kali vaksin Covid-19, apa pun produknya, ternyata bukan merupakan jaminan untuk terbebas dari pandemi ini. Kewaspadaan dalam menjalankan pola hidup bersih dan sehat tetap menjadi kunci utamanya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Berdoa Untuk Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan 6 Pengawal HRS
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Penuntasan kasus pembunuhan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, pada 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak dengan memproses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan hasil peyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel. Bahkan tidak valid dan sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan? Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap. Sebelumnya pada Kamis minggu lalu Rusdi di Mabes Polri mengatakan, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kesimpulan yang didapat dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga anggota polisi tersebut kini dinaikkan menjadi tersangka," (6/4/2021). Namun hal yang paling mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, adalah kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa sampai sekarang mereka tak kunjung ditahan aparat? Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan. Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI sesuai dengan skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut versi Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak. Para pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario inilah dicoba untuk diselaraskan oleh hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu. Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdo’a dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdo’a, siang dan malam, agar Allah mengabulkan do’a-do’a kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban. Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar-benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di kilometer 50 tol Japek. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil, sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja). Namun sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata apapun, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan seluruh keluarga korban pembunuhan juga sama. Bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata atau senjata api. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat yang semula disangka preman, karena tak penah menyatakan identitas sebagai aparat polisi. Karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri. Yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing. Bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM. Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini. Salah satunya dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada tanggal 9 maret 2021 yang lalu. Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Polri melalui surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa kilometer 50 tol Japek. Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebut dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak. Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut “demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di kilometer 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut”. “Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya. Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. “Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan. Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata). Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di kilometer 50 tol Japek, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejaksaan Agung. Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM hanya mengatakan telah terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat. Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3. Atas dasar pula, sehingga TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut. Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam. Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama itu, TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian kilometer 50 tol Japek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan. Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita. Semoga Allah mengabulkan do’a orang-orang yang dizalimi. Mengabulkan do’a para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala kita bertawakkal. Penulis adalah Juru Bicara Badan Pekerja TP3
Stop Tipu-Tipu Politik Atas Nama Covid-19
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Saya merupakan salah seorang dari ratusan juta ummat Islam Indonesia yang paling geram dengan politisasi covid-19. Betapa tidak, saat banyak masjid yang shaff shalat berjamaah berjarak dan tidak berkarpet dengan dalih melaksanakan protokol kesehatan. Nyatanya banyak pengurus masjid tertipu oleh raja tukang tipu. Shalat tarawih dipercepat dengan bacaan surat-surat pendek. Ta'lim atau kajian dilakukan secara online. Sempat dilarang pula atas nama radikal radikul radirel. Lebay dotcom banget. Sementara mall, pasar, terminal, stasiun, bandara bahkan pejabat negara tanpa risih mempertontonkan kerumunan. Beberapa bank plat merah antrian mengular sampai ke area parkir. Kerumunan bagi-bagi bantuan tunai kartu pra kerja. Modus investasi untuk 2024? Sekolah, madrasah dan pesantren ditutup. Belajar daring. Setahun lebih anak-anak kita dilakukan “pembodohan” massal dengan alasan covid-19. Mudik dilarang. Objek wisata dibuka. Aneh bin ajaib. Mana ada tempat wisata tanpa kerumunan. Ratusan, bahkan tenaga kesehatan, perawat dan dokter yang sudah menjadi korban. Sudah ratusan tenaga kesehatan yang meninggal. Tega sekali. HRS ditangkap, dipenjara dan diadili dengan pasal dan dakwaan berlapis. Lain halnya dengan kerumunan yang dihadiri oleh Jokowi. Dua kali kerumunan Jokowi di NTT, satu lagi kali di Kalimantan. Anehnya, Jokowi bebas-bebas saja dari jeratan hukum. Tanpa merasa bersalah lagi. Propaganda covid-19 telah menimbulkan penyakit baru, yaitu paranoid. Demam dikit, takut covid. Batuk-batuk dan sesak napas, takut covid. Lebih takut dengan covid daripada takut kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Syirik besar itu namanya. Padahal, demam dan batuk itu penyakit populer. Patalnya lagi, menurut data per 20 April 2021 seperti dilansir CNN Indonesia, angka kematian covid-19 hanya 2,7% dari jumlah yang positif covid. Sedangkan 90,6% dinyatakan sembuh. Sisanya 6,7% dalam perawatan. Jumlah yang positif covid-19 sekitar 1.604.348 orang. Kalikan saja biaya rapid test Rp 250.000 dan ongkos vaksin Rp 300.000. Berapa? Triliunan. Belum termasuk APD, masker dan yang lainnya. Bisnis baru yang sangat fantastis dengan mengorbankan empat puluh ribu lebih orang yang meninggal. Bisnis menghalalkan segala cara. Yang mengejutkan lagi. Ternyata penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia bukan karena covid-19. Nah lho. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar dan Kementerian Kesehatan, penyakit penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi 34,1% atau sekitar 8 juta orang pada tahun 2018. Sementara yang meninggal karena covid hanya 2,7% atau 43.424 orang. Sedangkan menurut WHO, lima penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia adalah Stroke 21%, Ischemic Heart Disease 9%, Diabetes 7%, Lower Respiratory Infection 5% dan TB 4%. Kenapa angka kematian karena covid yang hanya 2,7%, tapi publik parnonya luar biasa. Propaganda rezim yang berhasil menakut-nakuti rakyat. Saban hari kita disuguhkan dengan data banyak yang terpapar dan meninggal karena covid. Sampai-sampai jenazah covid tidak boleh dilihat keluarga. Shalat jenazah dalam peti mati di area kuburan. Sekali lagi, hanya 2,7% penyebab kematian karena covid. Sekarang kasus covid di India sedang melonjak dijadikan alasan. Sampai kapan publik ditipu atas nama covid-19? Sampai Indonesia jadi bagian dari Indo China Raya? Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Teater Politik Vaksin Nusantara
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa menyepakati riset berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas dari SARS-CoV-2 yang memicu Covid 19. Dengan demikian Uji klinik Vaksin Nusantara dihentikan. Kesepakatan ditanda tangani Senin (19/04/21) di Markas Besar TNI AD di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Disaksikan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendy. Penelitiannya dipusatkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Penelitian akan memedomani kaidah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan juga bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri. Sebelumnya, kalangan TNI menegaskan vaksin Nusantara bukanlah program TNI, kata Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad pada jumpa pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur , Senin (19/4/21). Dua keputusan besar dari markas besar TNI itu yang dikeluarkan pada hari yang sama, namun dari tempat yang berbeda, mengakhiri hidup vaksin Nusantara! Sejak awal TNI terlibat aktif dalam upaya penanganan Covid-19. Skenario Pelibatan Militer Secara teoritis, operasi selain perang merupakan pemanfaatan “kapasitas tak terpakai” (idle capacity) organisasi militer di masa damai. Secara umum, pelibatan TNI termasuk ke dalam mekanisme tugas perbantuan dalam kerangka OMSP (Operasi Militer Selain Perang). OMSP adalah serangkaian operasi militer di luar peperangan dalam skema perbantuan terhadap otoritas sipil berdasarkan kompleksitas ancaman yang diatur secara ketat melalui legislasi. Pelaksanaan OMSP merupakan respons organisasi militer terhadap situasi kritis atau darurat ketika otoritas sipil memiliki keterbatasan dalam penanganannya. Jagad politik Indonesia telah dihebohkan dengan narasi patriotisme Vaksin Nusantara. Sejumlah tokoh bersama anggota DPR rela menjadi relawan Vaksin Nusantara besutan mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Proses pengambilan sampel darah dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/04/21) itu, sifatnya bukanlah suntikan vaksin. Dari relawan tercatat nama Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR RI), Melki Laka Lena, Saleh Daulay, Adian Napitupulu, Nihayatul Wafiroh. Arzetty Bilbina. Dalihnya atas nama kedaulatan kesehatan dan dukungan kepada karya anak bangsa. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan mantan Ketum Golkar, Aburizal Bakrie juga bergabung. Wakil rakyat dan tokoh bangsa itu mengaku mendukung proses pengadaan Vaksin Nusantara sebagai kebanggaan anak bangsa dan agar dapat berjalan lebih awal. Diharapkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia dapat terjamin dalam bidang kesehatan dan pengobatan. Kesiapan produksi skala besar vaksin dalam negeri menjadi opsi, guna menunjang kesinambungan stok apabila terjadi embargo oleh negara produsen. Gejala embargo mulai terlihat ketika India menghentikan pengiriman vaksin AstraZeneca ke Indonesia. Vaksin produk India itu dikerjasamakan dengan The Global Alliance for Vaccines and Immunisation (GAVI). Indonesia rencananya akan mendapatkan vaksin AstraZeneca gratis sebanyak 54 juta dosis. Melonjaknya secara mendadak penularan Covid-19 secara drastis di India saat ini, menghambat pengiriman vaksin, karena akan diprioritaskan bagi warga India sendiri. Menurut Kepala Badan POM Penny K. Lukita, proses pembuatan Vaksin Nusantara belum memenuhi beberapa prosedur ilmiah yang diwajibkan dilakukan sesuai dengan kaidah saintifik yang mutlak sifatnya. Penny menilai banyak kelemahan pada pengembangan Vaksin Nusantara yang dibela DPR. Salah satunya adalah banyak komponennya yang masih impor dari Amerika Serikat. Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik diimpor dari Amerika. Seperti antigen, GMCSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor), medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan. Transfer teknologi butuh waktu 2-5 tahun untuk mengembangkannya di Indonesia. Aivita Biomedical Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi. CEO Aivita Indonesia mengakui akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia. Hasil uji klinis tahap I yang telah dilakukan kepada hewan di Amerika. Bukan dengan hewan Indonesia. Lagi pula, Vaksin Nusantara yang berbasis sel denritik hanya boleh disuntikkan kembali kepada pemilik darah itu sendiri. Tidak mudah menjadi vaksin massal karena memerlukan biaya prosesing yang sangat mahal. Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam Electronic Case Report Form (ECRF), dengan menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan Aivita Biomedical Inc. Servernya hanya tersimpan di Amerika. Kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian. Tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan Aivita Biomedical Inc USA. Badan POM juga mencatat keterlibatan peneliti asing dalam riset Vaksin Nusantara, sehingga dalam dengar pendapat dengan Komnas Penilai Obat, ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh peneliti utama dari Indonesia, demikian Penny K Lukito dalam rilisnya, Rabu (14/04/21). Melki Laka Lena mengeritik pernyataan Penny K Lukito yang tak mengizinkan uji klinis tahap II. Sebab menurut Melki, Penny telah membohongi publik dan peneliti dengan pernyataannya. Legislator dapil NTT itu menuduh Penny telah berdusta. Penny dituduh mendramatisasi seolah-olah Vaksin Nusantara berbahaya, dengan 71 persen dia gambarkan itu berisiko. Semua sudah dibahas di DPR RI dan tidak ada masalah, kata Melki Laka Lena dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/04/21). Mengacu pada hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX dengan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro, dan Terawan, dan sejumlah peneliti pada Rabu (10/3) disimpulkan roleh rapat itu bahwa Badan POM diminta untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II paling lambat 17 Maret 2021. Namun, manuver wakil rakyat dan tokoh nasional itu mendapat tantangan oleh 105 tokoh dari berbagai kalangan masyarakat sipil (civil society)). Termasuk mantan Wapres dan beberapa mantan menteri mengeluarkan pernyataan dan merebak di publik, Sabtu (17/04/21). Tercantum nama Boediono, Christine Hakim, Goenawan Mohamad serta dua orang putri almarhum Presiden Gus Dur. Ada juga mantan menteri Emil Salim, Sarwono Kusumatmaja berikut Lukman Hakim Saefuddin untuk menyebut beberapa nama beken Charles Honoris anggota DPR RI Komisi IX fraksi PDIP menegaskan tidak pernah ada rapat Komisi itu mendukung Vaksin Nusantara. Dampak dramatisasi Vaksin Nusantara itu melahirkan teater politik yang penuh sensasi. Menjadi pertanyaan publik, apa penyebab utama pemantik patriotisme anggota Komisi IX DPR membela vaksin Nusantara? Apakah ada kaitan memanasnya diskursus pengadaan vaksin itu dengan dana besar puluhan triliun itu? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan anggaran untuk pelaksanaan vaksinasi gratis tersedia dan akan menjadi anggaran belanja prioritas di tahun ini. Taksasi anggaran awal untuk program vaksinasi gratis sebesar Rp 73 triliun, kata Sri Mulyani dalam konperensi pers virtual, Rabu (06/01/21). Dalam acara Rosi Show di Kompas TV, Kamis malam (15/04/21), Rosi Silalahi berdiskusi dengan narasumber, diantaranya, Melki Laka Lena, bersama tiga pakar kesehatan, Ahmad Ruslan Utomo Ph.D dari Universitas Yarsi, Jakarta, Prof. Chairul Anwar Nidom dari Univeristas Airlangga dan Prof. Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid 19 IDI. Menurut Rosi, anggota DPR RI yang ramai-ramai mempertontonkan keberpihakannya bukan contoh yang baik. Kepada Melki Laka Lena yang menjabat Wakil Ketua Komisi IX DPR, Pemimpin Redaksi Kompas TV tersebut menanyakan, apa motivasi anggota DPR RI ngotot mendukung Vaksin Nusantara? Tentang sainskah? Tentang bisnis besar puluhan triliun, duitkah? Atau ini tentang politikkah? Gonjang ganjing Vaksin Nusantara mengingatkan publik kepada cerita teater absurd “Menunggu Godot” (Waiting For Godot) karya Samuel Beckett (1952). Teater yang derjemahan oleh W.S. Rendra, yang sekaligus mementaskannya bersama “Bengkel Teater” Yogyakarta, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1970. Kehadiran Godot adalah in- absentia, keberadaan dari ketiadaan. Dibicarakan terus menerus, namun ia pernah tidak muncul. Polusi absurditas sepertinya menjadi subur di dalam peradaban yang serba virtual di era new normal ini. Tumbangnya kubu pendukung Vaksin Nusantara yang didukung sejumlah politisi beken dari parpol papan atas, membantu menjelaskan di dalam tubuh masyarakat telah tumbuh sebuah imunitas non medis yang berhasil menumbangkan keangkuhan politis. Wartawan senior itu masih setia mengirim pesan WhatsApp, dan menulis begini, “Imunitas alamiah itu melahirkan kekebalan tubuh terhadap polusi politik yang menyesatkan”! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Chevron Licik, Mau Rampok Pertamina Rp 4,2 Triliun di Listrik
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Presiden Jokowi dituntut segera membatalkan proses tender pembangkit listrik Rp 4,2 triliun milik Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang sedianya akan digunakan untuk operasi Blok Rokan oleh Pertamina sejak 8 Agustus 2021. Penghentian ini harus segera dilakukan karena melanggar hukum. Berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Merendahkan kedaulatan NKRI di hadapan asing dan para oligarki pemburu rente. DPR dan KPK dituntut segera menyelidiki Chevron Pacifik Indonesia (CPI) dan Chevron Standard Ltd (CSL) atas sikap dan pelanggaran yang dilakukan. KPK juga perlu segera menyelidiki keterlibatan konspiratif oligarki dan oknum-oknum pemerintah pada lembaga terkait, terutama Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, yang membiarkan proses tender yang melanggar hukum dan Kontrak KKS tetap berlangsung. Pengelolaan Blok Rokan akan beralih kepada Pertamina pada 8 Agustus 2021 nanti setelah dioperasikan CPI sejak 8 Agustus 1970. CPI (dulu bernama Caltex) telah menambang minyak di Blok Rokan (lapangan-lapangan Minas, Duri dan Bekasap) sejak 1924. Cadangan Blok Rokan saat ditemukan sekitar 6 miliar barel. Namun sebagian besar sudah terkuras. Untuk mengeluarkan minyak yang tersisa dari sumur-sumur perlu suntikan air atau uap (secondary recovery) atau zat kimia (tertiary recovery, EOR). Listrik adalah fasilitas utama untuk operasi lapangan dan penyuntikan uap ke sumur-sumur Blok Rokan. Untuk itu Blok Rokan ditopang Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) North Duri Cogeneration (NDC) berkapasitas 300 Megawatt (MW), yang menghasilkan output berupa daya listrik 300 MW dan uap 3.140 MMBTU sekaligus. PLTG ini dikelola oleh MCTN dengan komposisi saham CSL sebesar 95% dan PT Nusa Galih Nusantara (NGN) sebesar 5%. CLS sendiri terafiliasi dengan Chevron Corporation. Belakangan diketahui, saat alih kelola Blok Rokan 8 Agustus 2021 yang akan datang, PLTG milik MCTN tidak termasuk bagian aset yang ditransfer dari CPI kepada Pertamina. Chevron tidak ingin mentransfer aset PLTG tersebut secara cuma-cuma dengan menyatakan bahwa aset tersebut tidak masuk dalam aset hulu migas yang dialih-kelola ke Pertamina. Karena itu CPI menyatakan berhak melelang pembangkit tersebut kepada penawar tertinggi. Padahal, jika pasokan listrik dan uap PLTG NDC tidak tersedia, maka produksi minyak Blok Rokan akan terhenti. Dengan asumsi rata-rata produksi Blok Rokan 165.000 barel per hari, harga crude rata-rata pada April 2021 USS 60 per barel dan kurs US$/Rp=14.000, maka potensi kehilangan penerimaan Pertamina sejak 8 Agustus 2021 mencapai Rp (165.000 x 60 x 14.000) = Rp 138,6 miliar per hari. Dalam tiga tahun penerimaan yang akan hilang sekitar Rp 5 triliun. PLN dan Pertamina Hulu Rokan (PHR) memang sudah menandatangani kontrak jual-beli listrik dan uap. Kontrak berjangka pendek selama masa transisi, dan berjangka panjang, setelah PLN selesai membangun jaringan transmisi penghubung ke sistem jaringan listrik Sumatera. Karena itu, selama masa transisi mau tidak mau PLTG yang dikelola MCTN harus tetap menyuplai listrik dan uap Blok Rokan, sampai PLN mampu menyuplai kebutuhan 3 tahun mendatang. Kasus listrik MCTN yang muncul saat alih-kelola dari CPI ke Pertamina tinggal beberapa bulan ini telah menyandera kelangsungan operasi Blok Rokan. Hal ini sekaligus akan mengancam pendapatan negara. Merugikan Pertamina dam menurunkan lifting nasional, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan impor crude/BBM. Menambah defisit neraca perdagangan dan menurunkan kurs kupiah. Karena itu Pemerintah dituntut untuk segera bertindak membatalkan proses tender pembelian MTCN Blok Rokan dari Chevron. Patut diguga ada mafia yang ikut memainkan listrik Blok Rokan ini sejak awal, sehingga tidak dimamasukan dalam aset yang harus diserahkan Cheron kepada Pertamina. Ada unsur kesengajaan Untuk itu, kasus ini agar segera dibawa ke rana hukum, karena hal-hal berikut. Pertama, sarana listrik NDC milik MCTN telah dibayar oleh negara melalui mekanisme cost recovery. sehingga tidak ada alasan bagi Chevron atau MCTN mengklaim tetap memiliki aset negara tersebut. Apalagi, selama beroperasi, pembangkit NDC berada di atas tanah negara dan MCTN tidak pernah membayar biaya sewa sesuai perjanjian. Kedua, saat ini Chevron masih terikat kontrak PSC Blok Rokan dengan Pemerintah atau SKK Migas. Sehingga Chevron tidak berhak secara hukum mentenderkan PLTG NDC secara sepihak kepada pihak manapun tanpa persetujuan Pemerintah. Mengapa Pemerintah dan SKK diam saja? Dicurigai ada oknum penguasa atau pengurus partai yang terlibat perburuan rente listrik Blok Rokan. Ketiga, sesuai konstitusi, PLN merupakan pemegang hak monopoli penjualan listrik domestik. Karena itu tidak ada hak bagi perusahaan swasta untuk menyuplai listrik (dan uap) Blok Rokan, termasuk swasta calon pemenang tender. Mengundang swasta untuk mengikuti tender listrik MCTN pada dasarnya sudah merupakan pelanggaran hukum yang fatal. Keempat, seandainya lelang tetap terjadi, nilai tender pembangkit NDC sebesar US$ 300 juta (sekitar 4,2 triliun) ini sangat tidak wajar. Sebab saat dibangun nilai NDC hanya US$ 190 juta (sekitar Rp 2,66 triliun) dan pembangkit ini sudah beroperasi selama 20 tahun. Sehingga nilai bukunya saat ini hanya tinggal beberapa juta dollar saja. Kelima, Chevron sengaja tidak membangun pembangkit sendiri, tetapi membiarkan pembangunan oleh perusahaan terafiliasi CPI, yakni MCTN. Sehingga hal ini memudahkan terjadinya transfer pricing guna memperoleh keuntungan besar. Tagihan listrik dari MCTN ke Chevron dapat mencapai US$ 80 juta per tahun. Negara telah dikadali dan dirugikan. Keenam, tender listrik MCTN sengaja dilakukan last minute, menjelang saat alih-kelola terjadi. Hal ini menunjukkan adanya iktikad buruk dari Chevron perburuan rente ditengah ketidak-berdayaan Pertamina untuk tetap mempertahankan produski migas Rokan. Prilaku yang sarat moral hazard ini merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara dan martabat bangsa. Ketujuh, proses tender berlangsung tertutup. Sarat konspiratif dan ditutup-tutupi guna memperoleh penawaran tinggi. Sementara itu, lembaga-lembaga terkait, terutama KESDM dan SKK Migas, tidak menjalankan tugas dan fungsi pengendalian dan pengawasan sesuai aturan, sehingga tender pembangkit NDC tetap berlangsung. Sikap pembiaran yang melanggar hukum ini perlu diselidiki dan diusut DPR dan KPK. Hal ini akan dibahas dalam tulisan terpisah. Memperhatikan hal-hal di atas, IRESS kembali mengingatkan dan menuntut Pemerintah, terutama Presiden Jokowi, untuk segera membatalkan proses tender PLTG milik Chevron MCTN. Karena melecehkan kedaulatan, merugikan keuangan BUMN/negara dan mengancam lifting nasional yang berujung pada defisit neraca perdagangan dan gangguan ekonomi nasional. Untuk itu, proses tender PLTG MDC yang sedang berlangsung saat ini harus dinyatakan tidak berlaku. Selain itu Presiden dituntut menjamin alih-kelola Blok Rokan dari CPI ke Pertamina secara mulus, lancar dan prudent. Termasuk menjamin penyerahan PLTG NDC dari MCTN kepada PLN secara cuma-cuma sesuai aturan berlaku. Alih-kelola harus bebas dari intervensi oknum-oknum pejabat Kemnetrian ESDM dan SKK Migas, serta oknum-oknum Partai Politik yang terlibat perburuan rente yang merugikan negara. Pemerintah pun harus bersikap tegas menghadapi setiap upaya licik, culas dan picik oligarki, termasuk pihak asing untuk memanfaatkan situasi ketidak-berdayaan BUMN (Pertamina dan PLN). Mereka berdalih atas nama mempertahankan lifting migas. Padahal misi utama berburu rente. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif IRESS.
Apakah Mereka Masih Memikirkan Pancasila
TINDAKAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menghapus Pancasila dari kurikulum pendidikan menengah dan tinggi, memunculkan kembali pertanyaan apakah Pancasila itu tidak sekadar basa-basi saja. Masih adakah pejabat tinggi negara yang sungguh-sungguh memikirkan nilai-nilai Pancasila? Apakah para elite kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) memiliki kepedulian pada Pancasila? Apakah mereka itu hidup dengan landasan Pancasila? Apakah Presiden Jokowi bisa disebut seorang pancasilais? Apakah Megawati Soekarnoputri bisa dikatakan penegak nilai-nilai Pancasila? Apakah elit politik lainnya yang selama ini mengaku berpancasila bisa dipercaya? Apakah elit bisnis, khususnya para taipan, memahami Pancasila dan menerapkannya? Banyak sekali pertanyaan tentang Pancasila itu. Semua indikator empiris menunjuk ke jawaban negatif untuk semua pertanyaan di atas. Tidak, tidak, tidak! Kalau Jokowi menjalankan kekuasaan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, pastilah dengan cepat dia memerintahkan penyelesaian yang adil dan transparan kasus pembunuhan sadis KM-50. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Semua yang terlibat pembunuhan itu harus dihukum dengan asas keadilan. Itulah pancasilais. Adil itu perintah Tuhan. Pancasila itu intinya Ketuhanan. Nah, dalam hal KM-50, apakah Jokowi menegakkan keadilan yang dituntut oleh Pancasila? Seterusnya, kalaulah Jokowi itu menegakkan Pancasila tentu dia akan melawan kekuatan para taipan yang hanya memikirkan penumpukan kekayaan pribadi dengan segala cara. Yang terjadi, jangankan melawan kekuatan oligarkhi taipan, Presiden Jokowi malah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk menguras Indonesia. Kekayaan negara ini mereka tumpuk di luar negeri. Jokowi pasti tahu itu. Dia punya mata dan telinga yang banyak untuk mengetahui kelakuan para taipan. Tetapi, Jokowi tidak melakukan apa-apa. Apakah ini bisa disebut pancasilais? Kalau Jokowi berpegang pada Pancasila, maka dia akan menghentikan semua kebijakan pemerintah yang menyusahkan rakyat kecil. Yang menyusahkan petani, nelayan, pedagang asongan. Tapi, Jokowi menjalankan kebijakan yang mematikan petani melalui impor beras dan produk pertanian lainnya. Lantas, bagaimana dengan Megawati? Pancasilaiskah dia? Malah lebih parah. Mega dan PDIP mengagendakan penghapusan Pancasila menjadi satu sila: yaitu gotong royong. Dia tidak suka konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Megawati juga bukan orang yang suka bermusyawarah kecuali untuk tujuan kamuflase. Dia menjalankan kekuasaan otoriter di tubuh PDIP. Kemudian, dari segi harta kekayaan, Mega pun tak cocok disebut hidup pancasilais. Definisinya? Memang tidak ada. Namun, lebih kurang hidup pancasilais selalu berkonotasi sederhana dan tidak menumpuk harta. Menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan Megawati ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 12 Sepember 2019, kekayaan (termasuk aset) Ketum PDIP itu tercatat sebesar Rp 213 miliar. Ada 29 bidang tanah dan bangunan milik Megawati. Nilai totalnya Rp 201 miliar. Nah, bagaimana cara mencocokkan pemilikan 29 properti dengan nilai-nilai Pancasila? Kita teruskan dengan Puan Maharani (Ketua DPR RI). Berdasarkan LHKPN 2018, Puan memiliki total kekayaan Rp 363 miliar. Ini termasuk 74 bidang tanah dan bangunan. Banyak sekali. Pada 2014, LHKPN Puan hanya Rp 162 miliar. Jadi, ada penambahan Rp 201 miliar dalam 5 tahun. Bertambah Rp 40 miliar per tahun. Pantaskah disebut pancasilais? Anda nilai sendiri saja. Memang kekayaan yang besar belum tentu tidak pancasilais. Tapi, lagi-lagi, repot untuk mencocokkan pemilikan 74 bidang tanah dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang antara lain mengajarkan kesederhanaan, keadilan, dan kepedulian. Pada 2018, Ketua MPR Bambang Soesatyo melaporakn harta sebesar Rp 98 miliar. Dalam bentuk tanah dan bangunan bernilai Rp 71 miliar. Bamsoet punya hobi mengoleksi mobil mahal. Pancasilais? Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto punya total kekayaan sebesar Rp 542 miliar. Ini menurut LHKPN 2018, ketika dia dilantik menjadi Ketua Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada 56 aset tanah-bangunan senilai Rp 276 miliar di Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Gorontalo. Uang tunai Wiranto ada Rp 114 miliar sesuai laporan. Pertambahan kekayaan Wiranto sangat fantastik. Pada 2004, ketika ikut Pilpres, mantan panglima ABRI ini melaporkan kekayaan hanya Rp 46 miliar. Jadi, dalam 15 tahun, Wiranto menambah kekayaan hampir Rp 500 miliar. Pancasilais? Mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) melaporkan kekayaan sebesar Rp 900 miliar pada 2019. Beliau adalah seorang pengusaha sebelum menjadi petinggi pemerintahan. Mungking tidak terlalu mengherankan dia kaya. Sepanjang semua itu diperoleh dengan cara yang bersih. Tapi, banyak orang percaya JK belakangan ini menambah kekayaan berkat posisi sebagai Wapres dua periode. Pejabat yang tak kalah kaya raya adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Dalam LHKPN per 13 Mei 2018, kekayaan Luhut mencapai Rp 665 miliar. Ada banyak properti dan bentuk lainnya. Uang tunai saja dilaporkan sebesar Rp 151 miliar. Kekayaan LBP juga tidak mengherankan. Dia adalah penguasa dan pengusaha tambang batubara. Selanjutnya, kita lihat kekayaan para taipan. Majalah Forbes, media yang khusus mengamati kekayaan para taipan, belum lama ini menebitkan klasemen orang terkaya di dunia. Ada 15 taipan Indonesia yang memiliki total kekayaan hampir US$ 72 miliar atau setara Rp 1,041 (seribu empat puluh satu) triliun. Abang-beradik Budi Hartono dan Michael Hartono (Group Djarum) punya kombinasi kekayaan sebesar US$ 40 miliar atau setara dengan Rp 580 triliun. Mereka ini terkaya nomor 1 dan nomor 2 di Indonesia. Prajogo Pangestu orang terkaya nomor 3 dengan nilai US$6.5 miliar (Rp 94 triliun). Kemudian ada Chairul Tanjung di nomor 5 dengan kekayaan US$ 4.8 miliar (Rp 70 triliun). Mengapa angka-angka ini harus dituliskan di sini? Tidak lain karena jumlah kekayaan adalah cara yang paling mudah untuk mengukur kepancasilaan seseorang. Misalnya, dari sini kita bisa bertanya apakah orang-orang yang superkaya itu sempat memikirkan nilai-nilai luhur Pancasila? Apakah ketika mereka membicarakan efisiensi usaha, peningkatan laba, cara memperkecil pajak, cara merebut lahan rakyat, cara mendapatkan konsesi tambang, akan teringat pada nilai-nilai Pancasila? Apakah nilai-nilai Pancasila akan menghalangi ketamakan, kerakusan, dan kesewenangan mereka? Hampir pasti omong kosong. Ini yang pertama. Yang kedua, dengan menyebutkan jumlah kekayaan para elit kekuasaan dan para taipan tersebut, kita menjadi semakin mengerti tentang jurang kaya-miskin. Kita bisa paham bahwa distribusi kekayaan masih sangat jauh dari garis keadilan. Kita pun menjadi tahu bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (sila ke-5) hanyalah untuk “make-up” pidato para penguasa. Sebagai basa-basi ketika moncong mereka menyampakan kata sambutan. Yang ketiga, angka-angka fantastis kekayaan para elit kekuasaan dan para taipan itu menunjukkan bahwa yang sesungguhnya yang berpancasila adalah rakyat di tingkat grass-root (akar rumput). Tidak diragukan lagi. Bukan mereka, para penguasa dan taipan yang menumpuk harta kekayaan. Yang keempat, angka-angka edan itu memberikan isyarat kepada Anda --rakyat pemilik negara ini-- bahwa kerakusan elit kekuasaan dan elit bisnis tidak akan pernah berubah. Rakyatlah yang harus mengubah itu. Rakyatlah yang harus bangkit mengoreksi kesewenangan dan ketidakadilan itu. Tinggal Anda pilih bagaimana cara mengoreksi. Ada cara pelan, ada cara cepat. Sepotong-sepotong atau komprehensif. Jangan harapkan mereka akan berlaku adil sesuai amanat Pancasila. **
Vaksin Nusantara, TNI Itu Bernafas Saja Mikirin Rakyat (Bagian-2)
Apakah tim dokter Kepresidenan akan membunuh saya? Saya yakin tim dokter Kepresidenan tidak akan membunuh saya. Selain karena etika kedoteran, juga nasionalisme dokter Indonesia saya yakini sangat tinngi. Kalau begitu, apapun hasilnya, silahkan tim dokter Indonesia saja yang merawat saya di dalam negeri. Kalau saya sebagai Presiden tak percaya dengan kehebatan dokter Indonesia, lalu siapa yang diharapkan percaya dengan kemampuan dan kehebatan dokter kita? (Presiden Soehato menjawab tim dokter Kepresidenan yang menyarankan agar berobat ke luar negeri). Berpikir dan bertindak itu berbeda. Itu juga yang ditujukan oleh Chuina. Ben Chu dalam bukunya “Chines Whispers”. Buku yang bercerita tentang “Membongkar Mitos Tentang China” yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2013. Buku ini menyajikan isu-isu kunci dalam kisah sukses China mutakhir. Chu menulis ruang pesta Dorchester yang dipenuhi oleh para eksekutif bisnis, bankir dan politikus, tulis Ben Chu, editor ekonomi harian independen. Ben Chu melanjutkan, Duta besar China untuk Court of St. James (di Inngris) Liu Xiaoming hadir. Begitu dengan rekan Amerikanya, Louise Susman. Acara tersebut adalah makan malam resmi di tempat ternama Park Lane Hotel untuk merayakan tahun imlek tahun 2011. Tuan rumahnya adalah 48 Group, sebuabn organisasi yang membantu perkembangan perdaganan China. Stephen Perry, pemimpin dari Group 48 naik ke podium. Perry memuji kemajuan perekonomian China setinggi langit. Itu memang benar adanya. Perry juga menyampaikan kalau para pemimpin China adalah pengatur ekonomi paling bijaksana. Masyarakat China adalah werga paling giat di planet ini. Sekarang, ucapnya, kita memasuki era China sebagai pemimpin. Lebih jauh Ben Chu menulis seraya mengutip penilaian para bankir. Kata Chu menurut Stephen Roach, mantan pemimpin raksasa perbankan Wall Street, Morgan Stanley untuk wilayah Asia, China bisa berhasil karena membuat kebijakan memperhitungkan efek jangka panjang. China, katanya, menempuh jalur berbeda dari perekonomian Barat yang sudah maju. Dani Rodrich dari Universitas Harvard disisi lain mengatakan China makmur karena para pemimpinnya memiliki “kepercayaan diri untuk tidak ikut-ikutan cetak biru negara lain. Tidak mengekor dengan cara kerja negara lain. Tampil percaya diri dengan kemampuan sendiri. Bangga dengan produk-produk yang dihasilkan sendiri. Sedangkan Kishore Mahbubani, dekan dan professor dalam Practice of Public Policy dari Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore, yang juga mantan duta Besar Singapura untuk PBB, dalam bukunya Asia Hemisfer Baru Dunia diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2011, berbicara tentang para pembaru China mutahkhir, dan sikap pemerintah terhadap mereka. Edwar Tiam, tulis Kishore, merupakan salah satu contoh terbaik pengaruh peran eksekutif China didikan Amerika. Setelah meraih gelar PhD di bidang ekologi di Texas University, Edwar Tiam mulai mencari pengalaman di perusahaan berteknologi tinggi di Texas. Tiam sukses belajar teknologi di Texas. Keberhasilan Tiam diketahui oleh pemerintah Cina. Pemerintah China mulai merekrut Tiam untuk menjadi CEO dari China Netcom. Perusahaan kecil telekomunikasi yang baru mulai, dan berbasis di Beijing. Pada tahun 2002, China Netcom merger dengan perusahaaan besar China Telcom, sebuah perusahaan milik negara, untuk kemudian menjadi perusahaan berskala raksasa. Tiam dipercaya sebagai Presiden Direkturnya. Tiam lalu mengonstruksi tulang belakang jaringan maya China modern. Baik itu untuk perushaan-perusahaan tingkat nasional, maupun pemerintah-pemerintah provinsi. Tiam dan timnya berhasil membangun lebih dari 1.000 jaringan. Tiam kemudian diakui sebagai enterpreneur berkelas dunia di acara World Economic Forum. Masih terdapat begitu banyak kisah sukses yang dihadirkan oleh Kishor. Semuanya menggambarkan kesuksesan itu digerakan oleh orang-orang yang memiliki cara pandang berbeda. Memiliki keberanian mengambil langkah lain yang tidak biasa. Bukan mengekor bebek kepada produk negara lain. Mereka inilah yang menarik China berjaya di percaturan Internasional hari ini. Sayangnya semua itu tidak dapat disajikan secara detail pada ruang terbatas ini. Kita hanya dapat berkata secara sederhana tentang semua itu, bahwa kemajuan itu pekerjaan asli orang berotak cerdas. Memiliki keberanian melihat dunia secara berbeda. Mengambil langkah berani, yang orang-orang bodoh dan tolol menganggap konyol”. Persis seperti hari-hari ini, sebagian dari kita menganggap remeh kehebatan dokter-dokter di RSPAD Gatot Subroto. Perwira-perwira TNI yang hebat, top markotop berani memprakarsai Vaksin Nusantara. Mereka yang sama seperti TNI yang lain, selalu resah, karena setiap denyut nafasnya itu mikirin rakyat. Namun dianggap skeptis oleh sebagian anak bangsa. Ini benar-benar aneh, konyol, tolol dan bodoh. Di atas itu yang paling patut untuk disalahkan adalah Yang Mulia Presiden Joko Widodo. Mengapa anda diam saja tuan Presiden soal Vaksin Nusantara ini? Tidakkah anda tuan Presiden telah begitu sering merangsang rakyat mencintai produk Indonesia? Bukankah anda tuan Presiden juga yang mendorong rakyat untuk membenci produk luar negeri? Sekali lagi, mengapa anda diam saja dalam kasus ini? Apakah anda tuan Presiden tidak tahu kalau bangsa-bangsa di dunia berlomba menguasai dunia dengan temuan-temuan baru? Lupakah kalau tuan Presiden yang menyarankan anak bangsa ini untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan tekonogi for foint jero? Tuan Presiden Jokowi, mohon maaf, anda payah, dan kelas rendahan dalam soal ini. Apa anda tuan Presiden tidak tahu Vaksin Nusantara itu dikembangkan oleh dokter-dokter di RSPAD Gatot Subroto? Mengapa anda tidak bersuara? Apakah mereka dokter-dokter itu salah? Apakah anda tidak mampu untuk menyalahkan mereka? Atau sebaliknya mendukung mereka? Mengapa anda tuan Presiden membiarkan mereka sendiri untuk berjibaku menghadapi sanggahan sebagian masyarakat? Apakah anda tuan Presiden tidak tahu bahwa kebersilan dan kesucian jiwa mereka justru ikut mengangkat derajat bangsa yang anda pimpin ini? Ada alasan yang cukup untuk mengatakan Vaksin Nusantara, yang prakarsanya datang dari dokter-dokter TNI itu, mendapat otorisasi oleh atasan mereka.. Apa anda tuan Presiden sengaja membiarkan atau memojokan TNI atas masalah ini? Kalau begitu sikap anda, mengapa anda Tuan Presiden tidak memerintahkan Kapolri Sigit, yang pernah jadi ajudan anda itu memeriksa para dokter itu? Anda tuan Presiden dapat menggunakan alasan bahwa dokter-dokter itu mengembangkan obat illegal? Sehingga ada cukup alasan Polisi, melalui Bareskrim Polri meminta tanggung jawab pidana kepada mereka? Kalau tidak memiliki keberanian itu, sebaiknya anda segera mengeluarkan pernyataan jelas dan tegas bahwa anda sepenuhnya berada dibelakang dokter-dokter TNI itu. Jangan biarkan mereka dokter-dokter TNI sendirian saat bernafar saja memikirkan nasib rakyat yang menjadi ibu kandungnya. Bergandengan tangan dengan mereka. Berjalanlah bersama-sama dengan dokter-dokter TNI itu melanjutkan Vaksin Nusantara. Insya Allaah bisa memghemat devisa negara U$ 3,5 milir dollar hanya untuk mengekspor Vaksin Sinovac Cina senilai Rp. 50 trilun dari APBN. Caranya sederhana saja tuan Presiden. Datangi itu RSPAD Gatot Subroto, dan minta agar dokter-dokter TNI itu mengambil sampel darah anda untuk kelanjutan proses penuntasan vakasin ini. Anda tidak boleh plin-plan dalam soal ini. Itu saja yang harus anda lakukan bila anda benar-benar jujur soal mencintai produk-produk Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia. (selesai).
Larangan Mudik dan Logika yang Jungkir Balik
LARANGAN umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman sudah final. Umat Islam dilarang pulang kampung pada periode 6-17 Mei 2021. Ini pelarangan kedua kalinya menimpa umat Islam setelah tahun lalu terjadi hal yang sama. Impian menyambut Hari Kemenangan bersama keluarga tercinta harus sirna. Mudik, sebuah budaya silaturahmi tahunan yang dilakukan secara massal. Ritual ini begitu menyenangkan bagi umat Islam khususnya para perantau yang puluhan tahun merindukan kampung halaman. Momen pertemuan keluarga yang lama tak bersua, terjadi sangat mengharukan, tak bisa ditukar dengan apa pun. Oleh karena itu, besarnya biaya, lamanya perjalanan dan betapa sulitnya aktivitas mudik, tetap mereka tempuh dengan sabar. Bagi sebagian muslim, mudik bahkan merupakan keharusan karena mereka tidak bisa pulang kampung setiap saat sebagaimana orang lain. Sungguh tega, jika mudik pun dilarang. Pelarangan ini juga menunjukkan ketidakadilan pemerintah bagi pemeluk Islam. Libur panjang Hari Raya Paskah bulan lalu nyatanya tidak ada larangan, demikin juga mudik untuk Hari Raya Galungam dan Kuningan, semua berjalan lancar tanpa larangan. Apa sesungguhnya yang ditakuti pemerinitah dari aktivitas mudik? Lihatlah pemudik lokal yang terjadi setiap hari di KRL Jabodetabek. Mereka berdesak-desakan setiap hari. Toh tidak ada kluster corona di KRL. Jika dibandingkan dengan aktivitas keseharian, jumlah pemudik Lebaran lebih sedikit ketimbang lalu lalang KRL setiap hari. Data PT KAI Commuter mencatat jumlah penumpang KRL Jabodetabek mencapai 1 juta penumpang setiap hari. Sejak musim pandemi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ketat di Jakarta, turun menjadi 400 ribu orang per hari. Sementara pergerakan aktivitas mudik hanya berkisar 2 jutaan. Pada masa liburan lebaran 15 hari, nanti bakal ada 7 juta pergerakan manusia melalui KRL. Belum lagi yang lewat motor, mobil, dan angkutan umum lainnya. Pemerintah membolehkan mudik sebelum tanggal 6 Mei dan setelah tanggal 17 Mei 2021. Tetapi apa bedanya mudik sebelum tanggal 6 Mei 2021 dengan mudik pada kurun 6-17 Mei 2021. Apakah pemerintah bisa mendeteksi virus akan bergerak pada kurun itu? Bukankah orang mudik, mereka menyebar ke kampung halaman masing-masing hingga ke pelosok desa yang minim kerumunan? Menjadi pertanyaan, apakah yang dilarang itu kerumunan di jalan raya atau kerumunan di desa-desa, di masjid dan surau? Bukankah pada Hari Raya Idul Fitri, baik yang mudik sebelum atau sesudah tanggal 6 Mei 2021 akan berkumpul di waktu yang sama, yakni 13 Mei 2021 saat Idul Fitri? Umat Islam sungguh terteror dengan kebijakam pemerintah yang tidak adil dan tidak logis ini. Maka tak heran jika KH. Múh. Najih Maimoen dari Rembang dan Habib Abu Bakar Assegaf dari Pasuruan mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi agar mencabut larangan mudik dan menegur Menteri Agama yang pernyataannya selalu konbtroversial. Pengusaha transportasi juga menjerit atas kebijakan larangan mudik. Pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) meminta agar kebijakan tersebut bisa dicabut. Larangan mudik hanya bagian kecil dari sikap tak adil pemerintah terhadap Islam. Tiga rentetan kejadian di Kemendikbud dalam satu bulan ini, patut diduga direncanakan dengan matang. Penghapusan agama dari peta jalan pendidikan nasional, penghapusan Pancasila dan Bahasa Indonesia di kurikulum perguruan tinggi dan hilangnya nama KH Hasyim Asy’ar dalam Kamus Sejarah Indonesia menunjukkan upaya penenggelaman Islam dari NKRI makin massif dan radikal. Pemerintah melindungi penghina Islam tetapi malah memenjarakan pembela Islam. Terlalu banyak contoh untuk diungkapkan. Tetapi yang paling anyar adalah penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh pemuda Cina bernama Jozeph Paul Zhang. Paul mengaku nabi ke-26 dan dengan arogan menantang siapa pun untuk menangkapnya. Videonya telah viral di semua platform media sosial. Di saat yang sama, ikon pembela Islam, Habib Rizieq Shihab masih dikurung di penjara untuk kasus yang tak ada hubungan dengan perjuangan Islam, yang kelak bisa ditebak akan disangkutpautkan dengan perjuangan Islam. Urusan pasal sangkaan urusan mudah. Kurung dulu, cari pasal kemudian. Sebagai pemegang saham mayoritas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak selayaknya Islam diperlakukan demikian jahat. Hanya sedikit umat Islam yang daya sadar dan nalarnya berfungsi dengan baik. Mayoritas umat Islam, tidak tahu, apatis, atau cari selamat. Para pembenci Islam semakin berani dan terang-terangan melecehkan Islam seiring dengan sikap pemerintah yang terkesan lemah menghadapi minoritas radikal itu. Terbaca dengan jelas bagaimana pemerintah menampakkan keberpihakannya pada kelompok yang ingin mengobok-obok Islam. Dimulai dari bebasnya buzzer melecehkan Islam, upaya penghapusan pelajaran agama di sekolah, upaya mengganti Ketuhanan Yang Mahaesa dengan Ketuhanan Yang Bekebudayaan, upaya mengganti Assamualaikum dengan Salam Pancasila, memilah-milah penganut Islam di BUMN dan ASN, serta selalu mengaitkan terorisme dengan Islam. Di kalangan anak muda sekarang banyak yang suka berteori bahwa Islam tidak perlu dibela. Doktrin ini menunjukkan suksesnya kaum pembenci Islam menjauhkan anak muda dari agamanya. Ini bukti pendangkalan akidah telah suskes menyerang generasi penerus bangsa. Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab dan ikut menjaga akhlak generasi muda, terkesan abai dan melakukan pembiaran. Pemerintah membiarkan Menteri Agama berakrobat menyentil isu isu sensitif Islam. Menteri Agama bukan berada di pihak yang netral dalam menjalankan tugas, tetapi justru menjadi pembela utama minoritas. Demikian juga dengan Mendikbud Nadiem Makarim yang sejak awal ditunjuknya telah menimbulkan polemik, terus saja melakukan uji coba untuk menjauhkan Islam dari pendidikan nasional. Dalam waktu yang hampir bersamaan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyebut PKB mempunyai kesamaan dengan Partai Komunis China. Hal ini Cak Imin sampaikan saat menerima kunjungan Dubes Cina untuk Indonesia Xiao Qian di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat Senin (19/04/2021). Umat Islam diserang dan digencet dari segala arah. Dari medsos, dari internal pemerintah, dari partai politik, dan dari buzzer. Serangan mereka lakukan dengan pola yang hampir sama, terstruktur, masif dan radikal. Di luar mereka, hanya sedikit yang berani melawan, sebab yang berani protes langsung dicap anti-NKRI, kadrun dan pejuang khilafah. Akhirnya yang tersisa manusia-manusia munafik, apatis, dan cari selamat di dunia. Situasi ini dimanfaatkan komunis untuk menguasainya.
Cintai Produk Lokal, Amandemen UUD ‘45 Lahirkan Politik Dinasti (Bagian-3).
Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Kita telah bicarakan keelokan dan kecantikan Sistem Pemerintahan Pancasila dibanding Sistem Pemerintahan Presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktek Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan bangsa Indonesia. Baca: https://rmol.id/read/2021/04/09/482760/boleh-kaget-tapi-jangan-masa-bodoh-1-cintai-produk-lokal-kenapa-import-presidensial Baca: https://fnn.co.id/2021/4/16/cintai-produk-lokal-kenapa-import-demokrasi-individual-bagian-2/ Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, yang pakar HTN dan mantan pejabat negara itu berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini? Penulis ragu dengan pendapat JA. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya “politik dinasti”. Penulis menangkap penjelasan JA, stigma itu harus dikikis, direformasi melalui Sistem Presidensial dengan Demokrasi Liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi. Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak dan profesionalisme yang jelas. Memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat. tidak muncul tiba-tiba. Tanpa polesan dari lembaga survei. Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra. Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara paska reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki dua sinyalemen. Pertama, pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak setelah reformasi. Calon-calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat. Kedua, akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen. Penulis sependapat dengan dua sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain. Pertama, adanya krisis etika para elite, walau tidak semua. Kedua, adanya krisis hukum. Ketiga, adanya krisis ketidakpercyaan antar elite. Keempat, adanya krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Semua persoalan kepemimpinan di atas, tidak bisa lepas dari persoalan rekrutmen yang didasari oleh Demokrasi Liberal. Demokrasi dengan pemilihan secara langsung yang individualistis. Siapa yang kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang. Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya. Hati dan pikiran penulis berkata, tampaknya pemodal tidak mengutamakan keunggulan kompetensi leadership dan menajerial. Mereka mengutamakan orang yang bisa dipengaruhi atau diajak kerja sama. Karena itulah, banyak tokoh yang mengatakan, orang yang mumpuni dalam segala hal sulit menjadi pemimpin, karena umumnya mereka sulit dipengaruhi, sehingga pemodal tidak tertarik memilihnya sebagai “ayam jago”. Akibatnya, menjamurlah politik dinasti paska amandemen UUD 1945. Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik tidak saja terjadi di pemerintahan, tampaknya juga terjadi di Partai Politik. Apakah para kandidat keluar biaya yang sangat besar tersebut? Tidak. Patut diduga para cukong atau pemodal yang mengongkosi. Apa akibatnya? Kandidat yang terpilih, jelas berhutang budi. Menjamurnya politik dinasti tersebut ditengarai oleh kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Wenas, yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020) Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal. Sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut. Namun dalam kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur seperti jamur tumbuh di musim hujan. Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja. Tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabaniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan, berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak. Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui “saringan” yang sesuai kebutuhan. Sumber calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan? Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme. Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri. Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan dan kesemaptaan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya. Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas. Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode “Assessment Center dengan Psychological Assessment”. Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi “underlying factors” seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra. Mia Syabarniati Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, Pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam merekrut calon Kepala Daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020). Gambaran tentang dampak buruk Sistem Permerintahan Presidensial dan Demokrasi Liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia. Menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang sangat memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita tetap pertahankan? Apa dasar MPR melakukan amandemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945? Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh “Founding fathers” saat menyusun dan menetapkan UUD 1945? Selamat membaca, semoga paham. Insya Allah, aamiin. (bersambung). Panulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Masih Pentingkah Pancasila Itu Untuk Jokowi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Gonjang-ganjing soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikanyang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari kurikulum dasar menengah dan tinggi menyengat Menteri Nadiem dan Jokowi. Sejak awal Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memang gagal memimpin Kementrian Pendidikan dengan baik. Nadiem memang sangat inkompeten dengan dunia pendidikan. Suksesnya usaha gojek Nadiem tidak serta-merta bisa ditransformasikan pada dunia akademik berdimensi panjang untuk mencetak dan memproduksi orang-orang cerdas. Ada soal-soal yang sangat bersentuhan ideologi, nasionalisme, dan agama di sana. Ternyata disinilah titik lemahny Nadiem. Presiden Jokowi sejak diramaikan Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP) yang dilanjutkan dengan RUU Badan Pembinaan Idelogi Pancasila (RUU BPIP) juga mingkem. Padahal dalam RUU ini, pposisi Pancasila sangat terancam. Penggerusan dari nilai-nilai Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945 mendapat kritik dan perlawanan tajam dari rakyat. Penggantian dengan dari RUU HIP menjadi RUU BPIP belum menjawab keraguan masyarakat tentang ancaman terhadap esksistensi Pancasila 18 Agustus 1945. Kelembagaan BPIP sendiri terkaget-kaget saat diterbitkan PP Nomor 57 Tahun 20221 yang mengeliminir mata kuliah utama Pancasila tersebut. Di sisi lain RUU BPIP menyimpan misteri yang diduga masih mengandung "hidden agenda". Kepekaan ideologis Presiden Jokowi memang terlihat lemah. Hanya bisanya “teriak sana, teiak sini saya Pancasila”. Jadinya wajar jika publik ragu dengan pandangan Jokowi tentang penting atau tidak Pancasila. Lebih banyak basa-basi. Rezimnya Jokowi materialistik dan pragmatik. Terlalu berorientasi pada investasi dan hutang luar negeri. Pada era pandemi paradigma ini mengalami kemandegan serius. Beban negara sangat berat sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negara gagal. Tinda-tanda Indonesia mengarah ke arah negara gagal itu menganga di depan mata. Yang paling menonjol adalah persatuan kebangsaan kita yang rapuh. Akibat dari adanya upaya-upaya tersembunyi untuk mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 dengan Pancasila 1 Juni 1945, yaitu Trisila dan Ekasila. Semestinya disaat genting, Presiden memacu keyakinan ideologis secara lebih terbuka dan partisipatif. Pancasila harus didinamisasi sebagai katalisator berbangsa dan bernegara. Sebenarnya tak perlu diajari lagi soal ini. Kecuali kalau Presiden Jokowi memang tidak paham soal ini. Namun lagi-lagi ini blunder untuk ke sekian kalinya. Nampaknya kepekaan yang lemah ini menyebabkan sorotan tajam pada produk PP Nomor 57 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi. Setelah diketahui, barulah ribut soal revisi yang tentu tak bisa sekedar berargumen "salah ketik atau lupa". Bisa juga "i don't read what i sign" terhadap sebuah Peraturan sepenting ini. Banyak ahli bergaji besar di lingkaran Presiden. Ataukah istana telah berubah menjadi tempat kongkow-kongkow warung kopi yang tak mampu memproduk kebijakan bermutu dan disukai rakyat? Di tengah misi menuju Pancasila Trisila dan Ekasila pun masih dibenturkan dengan soal-soal Agama. Akibatnya rakyat, khusunya umat Islam kini semakin waspada. Ada tafsir mendewakan budaya tanpa berbasis moral dan historika. Kasus PP Nomor 57 Tahun 2021 mungkin hanya tes politik saja untuk mengukur reaksi publik. Toh Presiden tetap memegang kendali. Pak Jokowi, berdiri dan pidatolah di mimbar Istana Negara itu tentang masih pentingnya Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut. Ingatkan rakyat bahwa radikalisme paling nyata kini adalah sekularisasi, ideologi orde lama, serta komunisme yang terus bergerak dan menyusup ke semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan senyap. Paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada. Jangan biarkan mereka mengisi fikiran para buzzer di istana. Sebab kelak Presiden semakin tersandera. Lalu, Pancasila dalam bahaya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.