ALL CATEGORY
Menggugat Penjajahan Negara & TKA China di Industri Nikel (Bag-2)
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Ironi dan nestapa seputar industri nikel nasional terlalu banyak untuk ditulis. Umumnya membuat perut mual. Ada eksploitasi cadangan tanpa kontrol, larangan ekspor mineral mentah yang pro asing, kebijakan harga patokan mineral (HPM) pro smelter China, manipulasi pajak, dan manipulasi tenaga kerja asing (TKA) China. Jika anda mual, jangan diam. Mari kita advokasi bersama-sama. Kali ini IRESS menulis seputar TKA China yang sangat banyak melanggar hukum. Merugikan negara dan merampas hak rakyat untuk bekerja. Meski sudah banyak digugat berbagai lembaga atau perorangan, termasuk Ombudsman, anggota DPR, serikat-serikat Pekerja, pakar-pakar, serta pimpinan partai dan ormas, masalah TKA China tetap saja berjalan lancar tanpa perbaikan atau tersentuh hukum. Mengapa demikian? Karena ada oligarki penguasa yang melindungi dan ikut investasi dengan para konglomerat dan investor China. Mereka mendapat berbagai pengecualian dengan dalih sebagai penarik investasi/PMA, penggerak ekonomi nasional dan daerah, serta status sebagai proyek strategis nasional (PSN). Namun di sisi lain, dengan berbagai perlindungan dan status tersebut, investasi oligarki dan China ini seolah berjalan di bebas hambatan. Bebas dari rambu-rambu hukum, bahkan kebal hukum. Mari kita cermati lebih seksama. Jumlah TKA China yang masuk Indonesia, terutama pada industri nikel dan bauksit (menghasilkan alumina) telah mencapai ratusan ribu orang. Wilayah yang menjadi tujuan minimal Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Riau. Untuk kasus TKA China ini, perhatikan bebagai pelanggaran yang terjadi sejak 2019 hingga sekarang. Pertama, mereka bebas masuk saat larangan kedatangan orang asing berlaku selama pandemi Covid-19. Ada 10.482 TKA yang masuk selama pandemi-19. Padahal Menaker telah mengeluarkan Surat Edaran M.1.HK.04/II/2020 pelarangan sementara penggunaan TKA asal China akibat wabah Covid-19 sejak Februari 2020. Antara Januari-Februari 2021, ada 1.460 TKA China yang masuk. Ini jelas bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi sendiri yang melarang masuknya warga asing mulai Januari 2021. Presiden hanya basa-basi? Kedua, sebagian besar mereka masuk Indonesia menggunakan visa 211 dan 212, yaitu visa kunjungan yang tidak bersifat komersial. Bukan visa untuk bekerja. Masa berlaku Visa 211 dan 212 maksimum 60 hari. Visa kunjungan tersebut telah disalahgunakan untuk berkeja berbulan-bulan atau tahunan, dan jumlah penggunanya bisa sampai puluhan ribuan TKA China. Ketiga, TKA China yang akan bekerja di Indonesia perlu mendapat visa 311 dan 312. Namun hal ini sengaja dihindari karena perlu memenuhi berbagai syarat seperti skill, waktu dan biaya pengurusan, serta pengenaan pajak. Ternyata para pemberi kerja, pemerintah dan para TKA sengaja menghindari penggunaan visa 311 dan 312. Rekayasa dan konspirasi ini jelas pelanggaran hukum yang serius. Keempat, mayoritas TKA China yang dipekerjakan hanyalah lulusan SD, SMP dan SMA, serta bukan tenaga terampil sesuai aturan pemerintah.T tetapi pekerja kasar. Ini jelas-jelas melanggar aturan dan merampok hak tenaga kerja pribumi mendapat pekerjaan. Padahal Permenaker No.10/2018 antara lain mengatur syarat TKA. 1). Memiliki pendidikan sesuai kualifikasi. 2). Memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja 5 tahun. 3). Mengalihkan keahlian kepada Tenaga Kerja Pendamping. 4). Memiliki NPWP bagi TKA. 5). memiliki ITAS (Izin Tinggal Terbatas) untuk bekerja, diterbitkan instansi berwenang. 6). Memiliki kontrak kerja untuk waktu tertentu dan jabatan tertentu. Pada smelter milik PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dipekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Lulusan D3/S1 hanya 2% dan berlisensi khusus 7%. Kondisi lebih parah terjadi pada perusahaan smelter milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang mempekerjakan TKA lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%. Lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus 4%. Para TKA China di VDNI dan OSS, Morosi Sulawesi Tengah ini, sejak awal tidak jelas tentang jenis visa yang digunakan, fungsi dan jabatan pemegang visa. Hal ini melanggar Pasal 38 UU No.6/2011 tentang Keimigrasian. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pernah berdalih TKA China perlu didatangkan karena tenaga kerja lokal tidak memenuhi syarat. Kata LBP lebih lanjut, "kita lihat banyak daerah-daerah (penghasil) mineral kita pendidikannya tidak ada yang bagus. Jadi kalau ada banyak yang berteriak tidak pakai (tenaga kerja) kita, lah penduduk lokalnya saja pendidikannya enggak ada yang bagus. Misalnya saja matematika rendah" Selasa (15/9/2020). Dalih LBP yang membela perusahaan China yang didukung oligarki di atas sangat sumir, manipulatif sekaligus menyakitkan. Tenaga lokal lulusan SMA, D3 dan S1 tersedia melimpah di Sulawesi dan Jawa. Apalagi sekedar lulusan SD, SMP dan SMA. Padahal faktanya VDNI mempekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Sedang di OSS, TKA lulusan SD mencapai 23% dan SMP 31%. Inilah salah satu bentuk perlindungan pejabat negara kepada perusahaan asing China, sekaligus fakta perendahan martabat dan kemampuan bangsa sendiri. Kelima, meskipun bekerja di Indonesia, gaji TKA China lebih besar signifikan dibanding gaji pekerja pribumi. Hal ini mengusik rasa keadilan, sekaligus penghinaan terhadap rakyat sendiri. Pada smelter VDNI, persebaran gaji bulanan sekitar 27% TKA menerima Rp 15 juta - Rp 20 juta; 47% menerima Rp 21 juta - Rp 25 juta; 16% menerima Rp 26 juta - Rp 30 juta; 5% menerima Rp 31 juta - Rp 35 juta, dan 4% menerima 36 juta-Rp 40 juta. Hal hampir sama terjadi pada smelter OSS. Mayoritas TKA lulusan SD, SMP dan SMA. Namun memperoleh gaji BESAR dengan sebaran antara Rp 15 juta hingga Rp 35 juta. Untuk jenis pekerjaan yang sama, gaji TKA China ini jauh di atas gaji pekerja pribumi lulusan SD-SMA, yang hanya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 15 juta. Jumlha tersebut sudah termasuk lembur. Nasib pekerja lokal dan nasional di smelter-smelter milik China dan sahabatnya konglomerat oligarkis Indoneia memang tragis. Sudahlah kesempatan kerjanya dibatasi atau dirampok TKA China, gaji pun umumnya super rendah dibanding gaji TKA China. Kita terjajah di negeri sendiri. Keenam, pembayaran gaji para TKA China dilakukan oleh sebagian investor di China daratan. Uang dari gaji tersebut tidak beredar di Indonesia. Tidak ada uang masuk ke Indonesia. Hal ini jelas merugikan ekonomi nasional dan daerah yang mengharapkan adanya perputaran ekonomi, peningkatan PDRB dan nilai tambah dari kegiatan industri nikel nasional ini. Mengharap nilai tambah apa, jika kesempatan kerja kasar bagi lulusan SD-SMA pribumi saja dirampok TKA China? Ketujuh, dengan pembayaran sebagian gaji TKA dilakukan di China, maka negara potensial kehilangan penerimaan pajak. Tidak ada jaminan VDNI, OSS dan sejumlah perusahaan smelter China lain di Indonesia, khususnya pada industri nikel dan bauksit membayar pajak. Negara berpotensi kehilangan pendapatan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) yang harus dibayar investor kepada pemerintah, yang akan tercatat sebagai PNBP. Apakah pemerintah dan lembaga terkait memahami potensi manipulasi dan kejahatan sistemik ini. Apakah pemerinrtah berani bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku? Jika masalah visa, pajak, DKPTKA dan tak jelasnya kontribusi bagi daerah penghasil ini terus berlangsung dan mendapat perlindungan pemerintah atas nama investasi (FDI), pertumbuhan ekonomi dan proyek strategis nasional, lalu negara dapat apa? Rakyat sendiri dipajaki, sementara sebagian perusahaan China dan konglomerat oligarkis bebas bayar pajak dan mendapat pula berbagai fasilitas yang melanggar aturan. Kapan ketidakadilan ini diakhiri? Di tengah terjadinya banyak PHK dan bertambahnya pengangguran yang memiskinkan puluhan juta rakyat Indoensia akibat pandemi, ratusan atau mungkin ribuan TKA China terus masuk setiap bulan. Terlepas dari berbagai pelanggaran yang terjadi pada industri tambang mineral, khusus isu TKA China, minimal kita menemukan tujuh masalah yang melanggar aturan, merampok hak pribumi dan merugikan keuangan negara seperti diurai di atas. Pelanggaran tersebut bukan saja direkayasa dan disengaja. Tetapi juga berjalan dengan sangat aman. Terkesan mendapat dukungan atau minimal perlindungan pemerintah. Karena itu, wajar jika rakyat menuntut agar perusahaan PMA seperti VDNI dan OSS diproses secara hukum dan siberi sanksi atas semua pelanggaran dan manipulasi yang dilakukan. Hal ini juga sekaligus untuk membuktikan pemerintah mampu bersikap adil, serta tidak pro investor China dan konglomerat oligarkis. Berbagai pelanggaran di atas berdampak pada hilangnya kesempatan bagi sebagian rakyat untuk bekerja di negara sendiri. Bahkan negara kehilangan kesempatan memperoleh penerimaan pajak dan PNBP triliunan rupiah. Kondisi ini merupakan hal yang harus dibuka terang-benderang dan diselesaikan sesuai hukum secara transparan, bermartabat dan berdaulat. Jika pelanggaran ini terus berlangsung, berhentilah meneriakkan kata “MERDEKA”. Karena faktanya NKRI sedang dijajah di negeri sendiri oleh China Bejing dan anteknya di Indonesia. Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.
Ramadan Jadi Pertaruhan Ekonomi
BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya kenaikan harga beberapa komoditas pada April 2021. Hal itu.menyebabkan inflasi sebesar 0,13 persen. Angka tersebut, meleset dari perkiraan yang dikeluarkan Bank Indonesìa sebesar 0,18 persen. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto dalam konferensi vidio, Senin, 3 Mei 2021 menyebutkan, komoditas daging ayam ras memberikan andil sebesar 0,06 persen. Komoditas lainnya adalah minyak goreng, jeruk, bahan bakar rumah tangga, emas perhiasan, anggur, pepaya, rokok kretek filter, ikan segar dan ayam hidup memberi andil terhadap inflasi sebesar 0,01 persen. Ada beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga (deflasi).sehingga menghambat laju inflasi. Cabai rawit memberi andil deflasi 0,05 persen, bawang merah 0,02 persen, beras, bayam, kangkung dengan andil masing-masing 0,01 persen. Belum ada yang menggembirakan dengan angka inflasi yang hanya 0,13 persen pada bulan April 2021. Juga dengan angka April 2021 sebesar 1,42 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sebab, rendahnya laju inflasi itu tidak mencerminkan telah terjadinya pemulihan ekonomi. Angka inflasi yang diumumkan BPS itu justru menunjukkan betapa perekonomian masih jalan di tempat. Sebab, pertengahan April 2011, sudah memasuki bulan Ramadan. Semestinya, permintaan mulai bergerak. Biasanya, bulan Ramadan inflasi cukup tinggi akibat harga barang naik yang diikuti dengan meningkatnya permintaan konsumen. Akan tetapi, bulan April tanda-tanda permintaan membaik belum terlalu kelihatan. Justru yang terjadi adalah kenaikan harga beberapa komoditas. Hal ini sudah terbiasa terjadi pada bulan Ramadan dan Idulfitri. Akan tetapi, dalam situasi perekonomian tumbuh positif, katakanlah lima persen, biasanya kenaikan harga masih diikuti dengan peningkatan permintaan dari konsumen. Akan tetapi, Ramadan tahun ini tidak seperti itu. Hari Raya Idulfitri yang tinggal sepekan lagi, juga belum menunjukkan adanya peningkatan permintaan. Kalau dibandingkan dengan Ramadan dan Idulfitri 2020 yang.lalu, tentu ada sedikit perubahan. Sebab, tahun lalu adalah awal Covid-19, dan memaksa sejumlah pasar dan mal ditutup. Tidak jelas, apakah stagnannya permintaan itu karena rakyat tidak punya uang untuk belanja. Akankah dalam sepekan menjelang Idulfitri akan meningkat karena Tunjangan Hari Raya (THR), baik pekerja swasta maupun pegawai pemerintah sudah cair. Anggaran THR tahun 2021 yang dikeluarkan pemerintah meliputi kementerian/lembaga, ASN, TNI, dan Polri melalui DIPA sebesar Rp 7 triliun, sedangkan untuk ASN daerah dan P3K dialokasikan Rp 14,8 triliun. THR yang diberikan kepada para pensiunan dialokasikan sebesar Rp 9 triliun. Nah, andaikan THR itu dibelanjakan, tentu sedikit akan mendongkrak permintaan. Apakah semua THR itu dibelanjakan oleh si penerima? Belum tentu. Ajakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar masyarakat yang tidak mudik belanja baju baru, malah menjadi bahan olok-olokan di media sosial. "Mudik dilarang. Akan tetapi Sri (Mulyani Indrawati) ajak masyarakat belanja baju baru. Mau dipake ke mana? Ternyata saat ngomong, otaknya masuk keranjang sampah." Demikian antara lain olok-olokan yang dapat dibaca di medsos. Harus diakui, perekonomian masih berat. Daya beli masyarakat masih lemah. Kalaupun ada kegiatan ekonomi mulai membaik, itu masih sangat sedikit, dan pengaruhnya masih kecil terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu, tidak salah jika banyak yang sinis terhadap rencana pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah pada kisaran 4,5 sampai 5,3 persen. Angkanya sangat ambisius di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah. Sementara pendapatan dari ekspor masih sulit meningkat akibat pandemi Covid-19. Nah, kalau mau melihat, salah satu indikator daya beli itu terjadi pada bulan Ramadhan dan Idulfitri. Sebab, di bulan yang sangat mulia itu, banyak masyarakat yang membelanjakan uangnya, baik untuk keperluan pribadi dan keluarga, serta keperluan kepada saudara lainnya. **
Over Borrowing dan Keretakan Kabinet
BELAKANGAN ini ada beberapa fenomena lonjakan utang yang mengerikan, pada saat yang sama terjadi keretakan koalisi di kabinet. Apakah ada kaitan lonjakan utang sehingga anggota koalisi sudah mulai berani mengambil jalan politik sendiri-sendiri? Menurut ekonomi Rizal Ramli, kondisi krisis hari ini jauh lebih berat daripada krisis 1998. Faktornya sangat banyak, antara lain, pertama, jumlah utang yang terlalu banyak. Sampai-sampai untuk membayar bunga utang Pemerintah harus menerbitkan utang baru (defisit keseimbangan primer). Pada 2021, Pemerintah harus menyiapkan Rp373,26 triliun. Sementara kas negara kosong, sehingga Pemerintah terpaksa harus menerbitkan surat utang baru karena terjadi negative flow. Kedua, uang yang ada di masyarakat disedot untuk membayar utang lewat mekanisme pembelian Surat Utang Negara (SUN) ataupun Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini yang memukul daya beli ekonomi masyarakat, selain terkena Covid-19, masyarakat kehilangan pekerjaan, atau yang masih bekerja daya belinya semakin turun, karena uangnya tersedot untuk membayar utang. “Dan pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengurangi beban utang ini, kecuali menambah dan menambahnya. Untuk bayar bunga utang harus berutang lagi,” jelasnya. Rektor Universitas Ibnu Khaldun, Musni Umar, mengungkapkan jika dijumlahkan utang publik saat ini diperkirakan sudah menembus angka Rp13.500 triilun. Yang dimaksud utang publik itu adalah utang yang apabila terjadi kegagalan maka Pemerintah sebagai penyelenggara negara akan mengambil alih pembayarannya. Utang publik terdiri dari tiga komponen, pertama, utang Pemerintah. Sampai dengan triwulan I-2021 total utang Pemerintah sudah mencapai Rp6.445,07 triliun. Jumlah itu setara dengan 41,64% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kedua, utang Bank Indonesia (BI). Utang Pemerintah termasuk di dalamnya adalah utang Bank Indonesia. Ketiga, utang BUMN. Sampai September 2020 total utang BUMN mencapai Rp1.682 triliun. Jika diproyeksikan hingga kuartal I-2021 total utang BUMN bisa mencapai Rp1.800 triliun. Sehingga menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini total utang Pemerintah dan BUMN sampai saat ini berkisar Rp8.300 triliun. Sampai dengan Presiden Jokowi menyelesaikan tugasnya pada 2024 diperkirakan Jokowi akan mewariskan utang sedikitnya Rp10.000 triliun. Apakah total utang tersebut masih aman? Masih well managable? Atau sudah sampai tahap over borrowing? Tentu saja Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut total utang tersebut masih aman, masih di bawah 60% dari PDB. Musni Umar sebaliknya sudah tembus 80% dari PDB. Tapi Rizal Ramli menyebut sudah over borrowing. Paling tidak ada tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu, pertama, DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%. Kedua, DER (Debt Export Ratio), rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%. Ketiga, DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total utang luar negeri terhadap PDB dengan batas aman 40%. Jika mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020. Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur. Di sinilah letak titik krusial, dimana anggota koalisi kabinet menyadari bahwa kondisi utang Indonesia yang sudah over borrowing dan belum ada tanda-tanda solusi yang kongkrit, sehingga masing-masing anggota koalisi di kabinet mulai berbicara sumbang. Menkeu Sri Mulyani sudah mulai minta nasihat World Bank dan Monetary International Fund (IMF). Ini adalah bahasa isyarat karena sang penguasa pemerintahannya sudah di luar kendali, sehingga Menkeu harus pinjam mulut World Bank atau IMF untuk mengingatkan sang penguasa. Dikabarkan Sri Mulyani akan menerbitkan utang baru dengan target Rp1.200 triliun, dimana Rp600 triliun untuk dibagikan kepada rakyat berupa financial safety net (FSN) dan Rp600 triliun untuk supply kepada sektor perbankan. Namun rencana itu ditolak Bank Dunia. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mulai berbicara lantang dengan mengatakan indeks demokrasi Indonesia di bawah indeks demokrasi Timor Leste. Ma’ruf yang merupakan representasi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga minta dispensasi agar santri dibolehkan mudik lebaran di tengah kebijakan Pemerintah melarang mudik. Kepala Bappenas/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Manoarfa meminta Menkeu Sri Mulyani mencek perusahaan Indonesia yang berinvestasi besar-besaran ke China di tengah Indonesia butuh investasi. Ini merupakan sinyal orkestra keretakan di dalam tubuh kabinet, khususnya wakil dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat yang sama Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dari Fraksi Golkar tengah ditarget Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diperkirakan akan merambat kepada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, sehingga Airlangga pun melakukan manuver politik bertemu dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra), Surya Paloh (Ketua Umum Nasdem), Achmad Syaikhu (Presiden PKS), Suharso (Ketua Umum PPP), dan entah dengan siapa lagi. Mungkin saja setelah Golkar, Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) akan digoyang sehingga keutuhan kabinet semakin rapuh. Belum lagi manuver PDI Perjuangan sebagai pimpinan koalisi, yang kesemuanya memberi isyarat bahwa keutuhan kabinet mulai goyah. Kalau semua itu terjadi, tentu saja akan terjadi tsunami politik. Dan itu membahayakan posisi Presiden Jokowi, dikhawatirkan beliau tidak sampai menyudahi kepemimpinannya hingga 2024. Alih-alih ingin memimpin Indonesia tiga periode, malah terjungkal di jalan. Kita tentu tidak mengharapkan hal itu terjadi, semoga saja analisis di atas tidak terjadi.
Polisi Semakin Arogan, Sudah Waktunya Direstrukturisasi (Bagian-1)
Reformasi dan demokrasi, yang menjadi faktor kunci perubahan fundamental eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam tatanan ketatanegaraan kita, ternyata jauh dari cita-cita dan tujuan berbangsa Indonesia. Kepolisian justru semakin tampil mencekik reformasi dan demokrasi itu sendiri. Kepolisian benar-benar gagal mengenal, memahami dan mengaktualisasikan dirinya dalam nilai-nilai reformasi dan demokrasi yang memisahkannya dari TNI. by Luqman Ibrahim Soemay Gorontalo FNN - Kepolisin sekarang semakin memantapkan diri untuk menjadi lawan dan musuh utama dari reformasi dan demokrasi. Citra buruk TNI selama 32 tahun sebagai penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru sekarang diambil-alih dengan sempurna Kepolisin. Prilaku buruk yang sudah ditinggalkan oleh TNI dengan senang hati (legowo). TNI sadar betul kalau menjadi musuh reformasi dan demokrasi, maka akan selalu dikenang sebagai catatan buruk perjalanan negeri ini. Dari waktu ke waktu, hari ke hari disepanjang rute reformasi dan demokrasi gelombang kedua (1998-hinga sekarang) setelah gelombang pertama 1950-1959, Kepolisian terlihat semakin menakutkan dan menyeramkan untuk rakyat negeri ini. Arogansinya Kepolisian tak kunjung menemui titik akhir. Arogansi mereka terhadap Buya Hamka dulu, terus saja terlihat dalam berbagai bentuk dan sifat, yang pada sejumlah aspek memiliki kemiripan. Buya Hamka dituduh (dengan direkayasa) Kepolisian kalau Buya Hamka terlibat dalam rapat gelap untuk menggulingkan Bung Karno. Rapat itu, begitu yang dikarang para polisi dari Departemen Kepolisian (Depak), berlangsung disebuah rumah di daerah Tengerang. Tidak itu saja, Buya Hamka juga dituduh (dengan rekayasa) Polisi tergabung dalam Gerakan Anti Soekarno ( GAS). Bejat betul polisi-polisi ketika itu, yang mungkin saja telah almarhum, semoga Allaah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa mereka. Mereka polisi-polisi bejat tersebut tahu betul bahwa kasus yang dikenakan kepada Buya Hamka itu full dengan rekayasa. Tetapi polisi-polisi itu malah dengan gagah dan membanggakan berani menyuruh Buya Hakmka untuk berbicara dengan jujur. Kurangajar dan tak punya hati memang. Sudah merekayasa kasus, tetapi meminta untuk Buya Hamka jujur. Pembaca FNN yang budiman. Untuk mengetahui selengkap-lengkapnya kasus rekayasa Polisi-polisi bejat itu terhadap Buya Hamka, kami persilahkan untuk baca sampai tamat buku dengan judul “Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi”. Penulisnya adalah Haidar Mustafa. Penyunting adalah Farid Wijan. Penerbitnya adalah Imania. Cetatakan pertama tahun 2018. Sekali lagi bacalah baik-baik buku ini, karena kami percaya, dari sana pembaca FNN yang budiman memproleh hikmah apa yang terjadi dengan Kepolisian kita hari ini. Dengan demikian, pembaca FNN akan terbentuk perspektif yang masuk akal tentang bagaimana cara yang tepat dalam mengontrol dan mengendalikan arogansi Kepolisian ke depan. Oke, pembaca FNN yang budiman. Boleh saja ada yang mengatakan kalau arogansi Kepolisian terhadap Buya Hamka itu bisa terjadi oleh satu sebab yang mendasar. Sebab itu adalah mungkin saja kala itu belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur cara-cara kerja polisi yang bermartabat, berdasarkan hukum dan berkemanusiaan. Kala itu hukum acara masih didasarkan pada HIR peninggalan penjajah Belanda. Okelah kalau begitu. Tetapi apakah arogansi Kepolisian itu berhenti setelah KUHAP terbentuk pada tahun 1981 lalu? Masih ingatkah pembaca FNN kasus Karta dan Singkong? Setelah dua anak manusia ini dipenjara bertahun-tahun, muncul fakta baru yang menyangkal keduanya sebagai pembunuh korban. Masih ingatkah kasus Udin, jurnalis di Jogyakarta yang hilang, entah kemana? Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 20 Tahun V, tangga 13 Januari 1997 menulis kasus ini dengan sangat menarik. Dwi Sumadji, tersangka pembunuh wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudin dibebaskan dari tahanan. Polisi dianjurkan mencari terasangka lain. Lebih lanjut Majalah FORUM Keadilan menulis, penahanan terhadap Dwi Sumadji alias Iwik, tersangka kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudfin, sudah ditangguhkan. Tidak urung, penangguhan tersebut mengesankan kalau polisi akhirnya kebingungan sendiri. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa Iwik hanya korban dari rekayasa penyelidikan dan penyidikan Polisi bejat ketika itu. Untuk mengukap kasus ini, banyak pihak ketika itu yang menyarankan agar polisi mulai menyidik tersangka alternatif. Oke itu urusan rekayasa kasus. Sekarang mari melihat penambahan jumlah Polda yang terjadi pada tahun 1996. Polda yang semala jumlahnya hanya 17, sejak tahun 1976 itu dimekarkan. Begitu istilahnya sesuai dengan jumlah provinsi. Praktis setiap provinsi ada Polda. Ini diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1996. Lagi-lagi Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 14 Tahun V, tanggal 21 Oktober 1996 mempertanyakan efekfitas kehadiran Polda-Polda baru tersebut. Pertanyaan Majalah FORUM Keadilan itu berbunyi begini, “apakah penambahan Polda-Polda baru akan menjamin kinerja Polisi semakin baik dalam menangani kriminalitas? Majalah FORUM Keadilan tidak memiliki jawaban yang kongklusif. Majalah FORUM Keadilan hanya menyatakan masih harus menunggu kenyataan. Disisi lain Kapolri Jendral Polisi Drs. Dibyo Widodo menyatakan tujuannya adalah untuk memang meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Empat tahun setelah itu, gagasan pemekaran Polda-Polda tersebut direalisasikan. Namun tragisnya, publik Indonesia digemparkan dengan perilaku buruk seorang Wakapolres. Publik terhentak dengan pemberitaan Majalah FORUM Keadilan esisi nomor 39, tanggal 29 Oktober 2000 menurunkan berita dengan judul “Polisi Beking Itu Babak Belur”. Wakapolres Sinjai, Senior Inspektur Sapewali dan ajudannya Kopral Ahmad Patudani, keduanya diamuk masa masyarakat di daerah tersebut. Dua gigi sang Wakapolres sampai copot dibuatnya. Lalu, apa penyebabnya? Warga menduga Wakapolres Supewali adalah beking dari perjudian, pencurian ternak dan penjualan ballo (tuak) di Kabupaten Sinjai. Menggunakan judul “Pak Polisi”, Pemimpin Redaksi Karni Ilyas dalam catatan hukuk Majalah FORUM Keadilan edisi nomor 16, tanggal 25 Juli 1998 menulis begini, “penegakan hukum di hiruk-pikuk reformasi ini bukan semakin baik, malah membingungkan. Berbagai aparat hukum lebih terkesan meriah, tetapi tidak memberikan kepastian hukum apa-apa”. Karni Ilyas selanjutnya menulis, “ketika masyakarat mengharapkan Polisi melakukan tindakan-tindakan untuk memberi rasa aman, Polisi justru melakukan tindakan sepele yang mengundang perdebatan luas. Misalnya, pekan-pekan ini, tiba-tiba saja polisi memperkarakan media cetak yang menyiarkan tulisan dan gambar-gambar yang dianggap porno”. (bersambung). Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
Mengapa Penguasa Kesulitan Meneroriskan Munarman
by Asyari Usman Medan, FNN - Para penguasa mengalami kesulitan besar untuk meneroriskan Munarman dan FPI secara keseluruhan. Sudah dilakukan berbagai cara untuk mengaitkan mereka dengan kegiatan terorisme, tapi tidak juga dipercaya oleh publik. Masyarakat melancarkan gempuran narasi yang melawan upaya para penguasa untuk melabelisasi Munarman dan FPI sebagai pelaku teror. Bahkan, para vokalis non-muslim yang ‘seharusnya’ mendukung labelisasi teroris itu, balik menolak. Ambil contoh Roy Pakpahan, seorang aktivis sekaligus pengacara. Roy marah Munarman disebut teroris. Begini kata Roy Pakpahan begitu mendengar Munarman ditangkap. “I stand with Maman. Teroris pala lu. gereja hkbp di Cinere tempat bapak sy beribadah awalnya tidak bisa berdiri. Orang takut beribadah. Maman bilang klu mmg srt ijin sudah ada dan lkp, ya bangun sj. Klu ada yg ganggu kabarin gue, kata Maman. Skrg gereja hkbp cinere, salah satu rumah ibadah terbesar di cinere.” Ada lagi aktivis Katolik. Namanya Aloysius Hartono. Dalam tulisan bertanggal 29 April 2021 yang beredar di grup-grup WA, Aloysius mengatakan, “Walaupun eFPeI sudah sedemikian pasif, sudah tiarap sejak akhir Desember 2020 lalu, tetapi sebaliknya polisi justru semakin beringas untuk membunuh karakter eFPeI dengan narasi ‘teroris, ISIS, bom, dan sejenisnya.” Banyak orang non-Muslim yang membela Munarman dan juga FPI. Tak mungkin diuraikan satu per satu di sini. Mereka mengimbau agar cara-cara kotor terhadap FPI dihentikan. Di kalangan publik secara keseluruhan, kecuali segelintir orang yang anti-Islam dan islamofobis, reaksi terhadap penangkapan Munarman juga sinis. Di media sosial (medsos), netizen mencibiri tindakan polisi menangkap pengacara HRS itu. Mereka pun mencecar habis penemuan “serbuk bom” ketika polisi menggeledah bekas kantor Front di Petamburan. Ada beberapa hal yang menyebabkan publik tak percaya Munarman dan FPI terkait teroris. Pertama, sejak awal berdiri hingga pembunuhan KM-50, tidak pernah ada tindakan FPI yang berindikasi terorisme. Baru setelah ada masalah besar yang memojokkan Polri –dan juga lembaga keamanan lain— terkait pembunuhan 6 pengawal HRS, 7 Desember 2020, muncullah tiba-tiba sejumlah peristiwa kekerasan yang terkesan sengaja dikaitkan dengan FPI. Kedua, publik sejak lama mengenal FPI sebagai organisasi sosial yang sangat ringan tulang dengan aksi tanggap darurat ketika terjadi bencana alam di berbagai pelosok. Seringkali bantuan FPI tiba paling duluan. Catatan ini menyebabkan publik sulit percaya ketika sekarang Munarman dan FPI dikaitkan dengan tindakan terorisme. Ketiga, pihak-pihak yang bernafsu mengaitkan FPI, Munarman, dll, dengan aksi teror, sudah sangat terlambat. Seharusnya mereka lakukan belasan tahun yang lalu. Misalnya, ketika terjadi aksi ledakan bom besar di Bali, Jakarta, dan tempat-tempat lain. Kalau pada waktu itu “disusupkan” orang untuk mendemonisasi (menjelekkan) FPI, ada kemungkinan sukses. Tetapi, itu pun belum tentu bisa. Karena memang FPI, HRS, Munarman tidak punya misi terorisme. Mereka memang keras dalam mencegah kemungkaran tetapi tidak dengan teror. Jadi, masyarakat tidak percaya kalau orang-orang FPI disebut teroris. Selama ini, aksi-aksi cegah dengan tangan tidak pernah mereka lakukan secara “coward” (pengecut). Mereka langsung menghadapi para pelanggar aturan secara jantan. Tindakan keras baru dilakukan oleh FPI setelah pelanggar aturan (khususnya aturan moralitas terkait tempat pelacuran, tempat hiburan ilegal, minuman keras, dlsb) tidak menggubris peringatan tertulis yang mereka sampaikan. Bahkan, sebelum mereka melakukan apa-apa, FPI biasanya melaporkan kepada aparat penegak hukum kalau ada pelanggaran yang mereka jumpai. Baru setelah aparat tidak bertindak, personel FPI turun tangan. Terorisme jauh dari konsep ‘nahi munkar’ (cegah kejahatan) yang dilakukan oleh FPI, HRS, Munarman, dan jemaah mereka. Mereka bukan orang liar dan bukan pula orang bodoh yang melakukan tindakan teror dengan alamat lengkap organisasi. Pelanggaran HAM berat KM-50 benar-benar menggelisahkan para penguasa. Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. Sebagai pengacara yang handal dan punya banyak jaringan, Munarman sangat berpotensi untuk menggali kebenaran KM-50. Satu-satunya cara cepat bagi penguasa untuk mencegah itu adalah meneroriskan Munarman. Namun, sekali lagi, publik tidak percaya Munarman teroris. Yang percaya hanya para buzzer penguasa seperti Denny Siregar, Abu Janda dan gerombolan mereka.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Syahganda Dihukum 10 Bulan, Haruskah Disyukuri
By Asyari Usman Medan, FNN - Kalau tak salah memahami berita, sebagian orang cenderung mensyukuri hukuman 10 bulan penjara untuk aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Dr Syahganda Nainggolan. Artinya, hukuman itu mungkin saja dilihat sebagai ‘kemenangan’. Hukuman atas aktivis 1998 itu dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok pada 29 April 2021. Syahganda dinyatakan bersalah menyebarkan berita yang tidak utuh atau dianggap berlebihan terkait Onnibus Law. Bisa jadi hukuman 10 bulan itu dianggap ‘sangat ringan’ dibanding tuntutan Jaksa yang meminta agar Syahganda divonis 6 tahun penjara. Kalau dilihat dari tuntutan Jaksa, ada betulnya hukuman 10 bulan adalah kemenangan besar. Selesai vonis dibacakan, para pendukung Syahganda meneriakkan takbir di ruang sidang. Melihat suasana yang ada, pekikan “Allahu Akbar” lebih cocok ditafsirkan sebagai pertanda kesyukuran bahwa hukuman itu jauh lebih ringan. Tentu tafsiran lain bisa juga. Jika dilihat dari konteks yang ada, memang wajar jika ada yang ‘bersyukur’. Memang faktanya hukuman itu sangat ringan dibandingkan nafsu Jaksa. Cuma, kalau dipandang dari sisi lain, vonis itu seharusnya dilihat sebagai ketidakadilan. Sebab, Syahganda tidak pantas dihukum berdasarkan dakwaan Jaksa. Dia seharusnya dibebaskan. Dan penahanan atas dirinya, dan juga orang-orang lain yang didakwa dalam kasus yang sama, seharusnya dianggap melanggar asas penegakan hukum. Sebab, aktivis KAMI itu hanya menyampaikan pendapat poltik yang dijamin oleh konstitusi negara. Dia bukan menyebar berita sepotong apalagi memprovokasi. Artinya, para penguasa menggunakan instrumen hukum untuk memenjarakan orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah. Syahganda hanya menyuarakan perbedaan pendapat tentang Omnibus Law. Jadi, Syahganda tidak melakukan tindak pidana. Dia tidak menghasut publik. Tidak pula menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara dan masyarakat. Itulah sebabnya hukuman 10 bulan itu bukanlah kemenangan yang biasanya disyukuri. Hukuman itu adalah bentuk kezaliman, ketidakadilan. Sangat aneh kalau ada yang bersyukur.[] (Penulis, wartawan senior FNN.co.id)
Bachtiar Chamsyah Kasihan Sama Jokowi
Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. by Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - PERJUANGAN Koalisi Aksi Mnyelamatkan Indonesia (KAMI) sungguh tak mudah. Sejak dideklarasikan di Tugu Proklamasi 18 Agustus tahun lalu, kehadiran KAMI langsung dianggap 'musuh negara' oleh pemerintah. Bukan hanya deklarasi-deklarasi di daerah-daerah yang dihalangi, pentolan-pentolan KAMI pun ditangkapi dan diadili. Beberapa di antara mereka adalah Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, serta salah satu deklarator KAMI Anton Permana. Total 8 orang ditangkap pada 12-13 Oktober 2020. "Terus terang, reaksi pemerintah yang demikian membuat sebagian dari anggota KAMI mundur teratur. Tapi sebagian besar memilih terus berjalan," kata Bachtiar Chamsyah pada FNN, Jumat (30/4). Bachtiar yang mantan menteri sosial dan politis kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengaku terkadang mereka harus kucing-kucingan dengan aparat untuk suatu yang sebenarnya kegiatan pertemuan yang biasa saja. "Asal deklarasi atau pertemuannya tidak dihadiri Pak Gatot (Gatot Nurmantyo, satu dari tiga presidium KAMI) pasti acaranya lancar. Sebaliknya kalau ada, pasti akan dihalang-halangi. Baik dengan pendemo bayaran atau aparat," ujar Bachtiar lagi. Di lain waktu mereka juga harus selalu siap untuk berpindah-pindah lokasi deklarasi karena ada pihak-pihak yang sengaja melemparkan berita hoax. Misalnya, di tempat yang akan mereka jadikan tempat deklarasi akan ada pembagian sembako atau tabligh akbar yang akan memancing masyarakat untuk datang berkerumun. "Kami pernah berganti lokasi sampai tiga hingga empat kali," katanya dengan nada kegelian. Meski lumayan melelahkan, tapi Bachtiar mengaku justru banyak yang mereka dapatkan dari perjalanan ke berbagai daerah. "Masyarakat resah dan lelah. Tingkat kepercayaan pada pemerintah melorot drastis. Sebagai orang yang pernah sembilan tahun di pemerintahan (jadi Mensos). Ini sangat berbahaya," jelas pria kelahiran Aceh itu. Ia mengaku belum pernah melihat bagaimana tidak hormatnya masyarakat menyebut kepala negaranya seperti saat ini. Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. "Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya ingin baik saat menjabat atau pun nanti sesudahnya ia tetap dipanggil dengan penuh rasa hormat," ujarnya. Tentu bukan maksud Bachtiar dan KAMI untuk menakut-nakuti. Karena sesungguhnya keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada Jokowi dan pemerintah justru sangat gamblang dan terlihat jelas di media sosial yang saat ini menjadi media mainstream alias media arus utama. Media yang amat mempengaruhi banyak orang dan menjadi refleksi keadaan yang tengah terjadi. Pemerintah sendiri saat ini suka tidak suka juga mengakui kalau media sosial adalah media mainstream, terbukti dengan dikeluarkannya dana 'unlimited' bagi buzzer-buzzer yang mereka kerahkan di medsos untuk memuji-muji kinerja Jokowi dan pemerintah. Pujian berbayar yang sangat berbahaya, mengaburkan fakta, dan bisa menggiring ke tepi jurang bencana. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Kami Bersama Munarman
SAMPAI saat ini apa status mantan Sekretaris Umum .Front Pembela Islam .(Sekum FPI), Munarman belum jelas. Munarman ditangkap oleh pasukan Detasemen Khusus (Densus) Polri, Selasa (27/4). Pengacara dan keluarga mengaku belum bisa bertemu. Mereka mengaku disodori surat penangkapan saat mencoba menemui Munarman di Polda Metro Jaya. Namun surat tersebut ditolak. Karena tidak sesuai prosedur. Sejauh ini terdapat dua versi keterangan dari polisi, mengapa mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu ditangkap. Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Hengki Haryadi mengatakan, penangkapan itu berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Sebaliknya Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Munarman belum ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu tentu saja sangat aneh. Seorang warga negara ditangkap tidak dengan status yang jelas. Tangkap dulu urusan status menyusul kemudian. Sungguh mengkhawatirkan sekaligus menakutkan. Hal itu bisa terjadi di negara yang mengaku menjunjung tinggi hukum, dan menghormati hak konstitusional seorang warga negara. Lepas dari berbagai kontroversi tadi, sesungguhnya tanda-tanda Munarman menjadi target, sudah terbaca dengan jelas. Sejak beberapa waktu lalu isu kehadiran Munarman dalam bai’at sejumlah anggota FPI di Makassar berhembus kembali cukup kencang. Polanya juga sangat baku. Isu itu digoreng oleh para buzzer pro pemerintah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2015. Sudah lama berselang. Kalau memang sudah ada bukti, mengapa Munarman tidak ditangkap sejak dulu. Peristiwa itu dimunculkan kembali bersamaan dengan proses pengadilan terhadap mantan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab. Di antara para mantan petinggi FPI, tinggal Munarman yang tidak ditangkap. Dia masih bebas di luar penjara. Ketua Umum FPI Ahmad Shobri Lubis dan para petinggi lainnya juga ditahan dalam peristiwa kerumunan di Petamburan. Sebagai Pengacara Habib Rizieq, Munarman tampil garang di pengadilan. Dia bahkan sempat memimpin aksi walk out ketika hakim menolak permohonan agar persidangan dilakukan secara off line. Tak lama kemudian muncul kembali pengakuan seorang mantan anggota FPI yang ditangkap oleh Densus 88, bahwa mereka telah berbai’at dengan ISIS. Dalam bai’at itu Munarman hadir. Video pengakuan ini disebar secara massif di media sosial. Polisi kemudian melakukan penangkapan sejumlah mantan anggota FPI menyusul terjadinya ledakan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. Tidak lama kemudian publik dikejutkan dengan temuan sebuah bungkusan di kawasan Limo, Depok, Jabar. Bungkusan yang ditemukan di belakang sebuah warung itu bertuliskan “Munarman FPI.” Tim gegana diturunkan, dan menurut kesaksian media, benda tersebut berupa sebuah magazin dengan beberapa butir peluru. Tidak ada kelanjutan kasus temuan benda mencurigakan dengan nama Munarman itu. Namun dari berbagai peristiwa itu kita bisa membuat sebuah rangkaian, Munarman menjadi target. Di tengah ketidakjelasan itu kini tiba-tiba beredar video CCTV Munarman sedang check in di sebuah hotel bersama wanita. Video itu disebar sebuah akun dengan narasi seolah Munarman, Sekum FPI, pembela HAM itu tak lebih seorang durjana yang senang berselingkuh. Pola ini mengingatkan kita pada kasus skandal chat mesum yang seolah dilakukan oleh Habib Rizieq Shihab. Ada upaya pembunuhan karakter terhadap Munarman. Belakangan terungkap, ternyata wanita yang bersama Munarman itu adalah istri yang dinikahinya secara sah. Akan tetapi, para buzzer dan para pendengki sudah menggoreng habis sampai gosong. Mereka tak peduli bahwa saat ini tengah bulan Ramadhan. Umat Islam diminta mengendalikan diri, dan memperbanyak amal perbuatan baik. Mereka malah menyebar fitnah secara membabi buta. Seluruh rangkaian peristiwa tadi menyadarkan kita, ada skenario besar menghabisi Munarman. Bahkan menghabisi FPI. Bisa jadi Munarman hanya target antara. Target utamanya adalah Habib Rizieq Shihab. Sebagaimana dikatakan pengamat terorisme Sidney Jones, penguasa saat ini terobsesi menjadikan FPI sebagai teroris. Apapun dan bagaimanapun caranya, harus terwujud. Situasi ini sungguh sangat berbahaya. Negara dan aparat keamanan sudah berubah menjadi sebuah organized crime. Kejahatan terorganisir dengan sasaran para warga negaranya sendiri. Kendati begitu, kita masih bersyukur di tengah situasi semacam ini masih banyak akal sehat yang bekerja. Seorang aktivis, pemimpin redaksi Law and justice.co Dr. Roy T Pakpahan secara berani memberi testimoni. Dia tidak yakin figur seperti Munarman terlibat dalam aksi terorisme. Roy mengaku Munarman pernah membantunya mendukung pembangunan gereja HKBP di Cinere, Depok. Roy Pakpahan bahkan secara tegas menyatakan akan berdiri bersama Munarman. "We Stand With Munarman!” tegasnya. Sejumlah aktivis LBH di Makassar, termasuk 4 orang mantan Direktur LBH Makassar juga menyatakan sikap yang sama. Mereka membela Munarman dalam sebuah gerakan yang disebut sebagai “Korsa Munarman.” Salah seorang di antara mereka adalah mantan Bupati Sinjai Andi Rudianto Asapa yang juga pernah menjadi Direktur LBH Makassar. Mereka akan membela Munarman dan menilai Densus 88 telah berlaku sewenang-wenang. Melalui editorial ini FNN juga mengingatkan, agar pemerintah dalam hal ini Polri kembali ke jati dirinya sebagai pengayom dan pelindung.masyarakat. Polri jangan menjadi alat penguasa. Menangkap seorang warga negara secara sewenang-wenang, tanpa mengindahkan kaidah hukum dan due process of law. Sebuah proses hukum, peradilan pidana yang benar, dengan memenuhi prosedur yang ada, adil dan tidak memihak. Pemerintah juga harus menghentikan kebiasaan buruk menggunakan para buzzer, melakukan pembunuhan karakter terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah. Sadarlah! Anda semua sedang berpesta merayakan perpecahan. Pada gilirannya menghancurkan NKRI, sebuah slogan kosong yang sering Anda ucapkan, tanpa tahu maknanya. We Stand With Munarman!
Polisi Sedang Memanen Istidraj
APA yang tidak bisa dilakukan polisi hari ini? Disokong dana yang besar, peralatan canggih, dan sumber daya manusia yang terlatih mereka bisa melakukan apa saja, sesukanya, bahkan melanggar hukum pun, tidak jadi soal. Di mata mereka tidak ada yang tak mungkin. Semua halal demi ambisi mereka. Padahal, sesungguhnya polisi sedang menumpuk dosa. Mereka sedang menikmati gelimang istidraj. Mereka tidak sadar bahwa saat ini mereka tengah dihadiahi azab berbentuk kenikmatan oleh Allah. Maka mereka bebas berbuat zalim, tetapi tetap diagungkan. Semena-mena tetapi tetap berkuasa. Leluasa mempertontonkan ketidakadilan kepada si lemah, tanpa sadar bahwa wajah Allah terletak pada orang-orang miskin dan rakyat yang teraniaya. Polisi juga sedang menabung musuh. Tiap kali ada ulama, pejuang, atau rakyat tak berdosa yang dizalimi, saat itu pulalah bertambah manusia calon penganiaya polisi. Hingga suatu saat akan membludak jumlah manusia yang nekat ingin membalaskan dendamnya. Dengan brutal, sadis, dan kejam. Hingga mata polisi akan terbelalak, tidak menyangka bahwa azab neraka jahanam telah hadir lebih cepat di depan mata mereka. Kejahatan mereka dibayar cash di dunia. Bayangkan. Ketika polisi mempersekusi Imam Besar Habib Rizieq Shihab, berapa juta rakyat yang dalam sekejap mata telah dijadikan musuh besar oleh polisi. Saat membui Syahganda Nainggolan dan kawan-kawan, berapa ribu aktivis berbagai organisasi yang mengutuk polisi. Di kala Munarman diseret dan dibutakan matanya dengan tutup kain hitam, berapa banyak rakyat yang heran ternganga dan kemudian marah sembari menumpahkan sumpah serapah kepada polisi. Di malam jahanam ketika 6 Syuhada FPI tewas dibantai, disayat-sayat tubuhnya, dan diberondong peluru sekujur badan mereka, berapa malaikat yang menyaksikan, menangis, dan melaknat perbuatan biadab polisi itu. Jadi, jangan heran kalau kebinasaan polisi nanti akan sangat mengerikan. Tak akan sanggup kita melihatnya, terlebih jika sebagian di antara mereka adalah kerabat dan keluarga kita. Mereka, para polisi yang baik pun, akan ikut menanggung azab karena diam ketika ketidakadilan merajalela. Lebih takut tidak bisa makan, ketimbang menegakkan hukum Allah. Polisi saat ini telah menjadi musuh bersama. Tidak salah jika ada yang memplesetkan kepanjangan PKI menjadi Polisi Komunis Indonesia. Tidak heran rakyat sudah menjadikan polisi sebagai common enemy. Buktinya, hati rakyat tak tenang tiap kali bertemu polisi. Sebisa mungkin tidak berhubungan dengan polisi. Ada sebagian rakyat jika melihat polisi seperti melihat setan. Sampai-sampai seragam coklat polisi diidentikkan dengan isi WC (Wereng Coklat) yang berwarna coklat kehitaman. Persis seperti hitam pekatnya mental polisi di bawah rezim liar sekarang. Sambil berpesta-pora dan menyebarkan tawa iblis, sesungguhnya polisi sedang menuju kepunahannya. Istidraj dari Allah adalah sesuatu yang betul-betul telah melenakan mereka. Korps berseragam coklat dan hitam itu tidak paham bahwa tangan-tangan berpeluru dan kaki-kaki bersepatu laras mereka yang jumawa menginjak hak para pencari keadilan itu, sesungguhnya sedang berbaris menuju jahanam. Jutaan rakyat tak berdosa dari seluruh penjuru Nusantara saat ini tengah menangis. Tidak rela ulama difitnah, kiai ditangkapi, ustaz mereka dipersekusi, dan agama Islam diradikalisasi. Juga aktivis mereka yang kritis dibui. Dari jutaan mulut rakyat yang merasa dizalimi itu, kini menggema doa-doa yang belum pernah mereka panjatkan sebelumnya. Doa yang sebenarnya mereka pun tak tega mengucapkannya. Dengan hati tersayat, benak menahan kepedihan, wajah berurai air mata, jari jemari tertangkup menengadah, dan bibir yang bergetar menahan amarah, doa maha dashyat pun dilantunkan. Rakyat meminta agar laknat cepat diturunkan kepada polisi, oligarki, rezim, dan buzzerp yang menjadi penjahat bagi kaumnya sendiri. Rakyat memohon agar Allah segerakan azab yang amat sangat pedih kepada mereka! Karena rakyat tahu tidak ada hijab di antara doa orang yang teraniaya dengan Allah Azza wa Jalla. Tiada penghalang antara Allah dengan makhluk-Nya. Doa-doa umat teraniaya itu akan terbang melesat menembus langit, langsung kepada Sang Pencipta. Tanpa menunggu Malaikat menyampaikannya. Semoga Allah Subhanallahu Wataala mengabulkan semua doa rakyat Indonesia, khususnya yang merasa dianiaya dan dizalimi.**
Nanggala Karam Sisakan Misteri Sejumlah Asumsi Pun Merebak
By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sebelum KRI Nanggala-402 ditemukan, KSAL Laksamana TNI Yudo Margono mengungkap banyak hal ditemukan unsur TNI yang terlibat dalam pencarian di sekitar titik terakhir KRI Nanggala 402 menyelam dan hilang. Ditemukan objek misterius terdeteksi kapal perang penyapu ranjau (Minesweeper) KRI Pulau Rimau-724. Objek misterius itu ditemukan terdeteksi dalam posisi melayang di bawah permukaan laut. Objek itu dari getaran magnet yang ditimbulkan objek tersebut. Dan daya getarannya cukup besar. Objek itu terdeteksi melayang di kedalaman antara 50 hingga 100 m dari bawah permukaan laut (bpl). “KRI Rimau itu menemukan suatu kemagnetan yang tinggi pada satu titik,” kata Laksamana TNI Yudo Margono, dilansir dalam keterangan resmi di Bali. Kecepatan objek misterius ini sekitar 2,5 knot. Untuk mengetahui pasti apa sebenarnya objek bermagnet besar yang terdeteksi KRI Pulau Rimau, TNI mengerahkan Kapal Bantu Hidro-Oseanografi (BHO), KRI Rigel 933. Kapal yang berada di bawah kendali Satuan Survei Hydro-oseanografi Dishidros TNI AL ini memang memiliki peralatan canggih seperti AUV (Autonomous Underwater Vehicle) yang mampu melakukan pencitraan di bawah laut hingga kedalaman 1.000 m. Sebelum hilang, KRI Nanggala-402 sempat menyampaikan isyarat-isyarat tempur beberapa saat sebelum mereka menyelam. Isyarat-isyarat peran tempur, peran menyelam itu masih bisa terdengar dari kapal penjejak Kopaska yang berada di jarak 50 m. Dengan adanya isyarat seperti itu, KSAL meyakini kapal tidak mengalami blackout. Artinya, sistem kelistrikan dari kapal masih menyala. Jika demikian, cadangan oksigen di kapal bisa mencapai 5 hari. Kalau kapal blackout hanya bisa 72 jam. Tapi, kalau kelistrikan hidup bisa sampai 5 hari. Nanggala-402 memiliki baterai berkapasitas 4 x 120 sel baterai. Namun, seperti operasi kapal selam pada umumnya, mereka dituntut naik ke permukaan untuk mengisi kembali cadangan oksigen dan mengecas baterai. Hingga kini, penyebab sebenarnya terkait dengan karamnya KRI Nanggala-402 belum juga terungkap. Tapi, dari dua pernyataan KSAL di atas itu sebenarnya kita bisa menelisik apa yang dialami kapal selam buatan Jerman yang sebenarnya. Pertama, adanya objek misterius yang melayang di bawah permukaan laut dengan kecepatan sekitar 2,5 knot. Benda bergerak di kedalaman 50 hingga 100 m di bawah permukaan laut. Objek misterius apakah ini? Kedua, isyarat tempur, berarti ada musuh, bukan latihan lagi! Apakah mungkin itu adalah drone bawah air seperti yang pernah ditemukan nelayan Pulau Selayar tempo hari itu? Jangan-jangan drone ini berfungsi sebagai transmiter untuk teknologi HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program). Instrumen terpenting di HAARP Station itu adalah Ionospheric Research Instrument (IRI), fasilitas bertenaga tinggi yang beroperasi di gelombang IRI digunakan untuk memberi kejut sementara pada sebagian kecil wilayah. Instrumen lainnya, seperti digisonde, dan magnetometer induksi, dipakai untuk mempelajari proses fisik yang terjadi di wilayah kejut ini. Apakah objek misterius seperti kata KSAL di atas, sehingga perlu mengirim isyarat tempur? Ada sebuah tulisan dari HI Sutton, penulis dan pengamat maritime khusus perang bawah air yang berkontribusi pada US Naval Institute News berjudul "Underwater Drone Incidents Point Underwater Drone Incidents Point to China’s Expanding Intelligence Gathering". Pengungkapan ini untuk menjawab potensi adanya gangguan terhadap kapal selam Nanggala-402 di luar masalah teknis. Selain itu, ada keanehan pada sikap salah kekuatan maritime yang tengah naik daun seperti China ini. Pada kondisi terkini China tengah beroperasi besar besaran untuk perluasan territory lautnya di Laut China Selatan (LCS). Namun, anehnya negara ini malah tidak berkomentar, apalagi berpartisipasi pada operasi kemanusiaan musibah kapal selam Nanggala-402. Berbeda dengan empati negara di seputaran Indonesia seperti Singapura, Malaysia,Australia, Korea Selatan, bahkan India, Turki, Jerman, dan Amerika Serikat pun turun ikut membantu dengan kapal dan pesawatnya. Padahal, China juga sedang memenangkan investasi besar-besaran di Indonesia (termasuk kabel bawah laut Huwaei yang menjadi tulang punggung Palapa Ring). Bahkan torpedo yang dipakai oleh Nanggala-402 itupun produksi China Apa sebab? Tak ada yang bisa menjawab kecuali Beijing sendiri. Apakah sikap diamnya itu karena China tengah melakukan operasi intelijen bawah air kepada Indonesia? Sekarang ini bawah laut kita sudah ramai seperti pasar malam. Seorang teman menyimpulkan: 1) Sejak 2020 ditandai dengan Pandemi Coronavirus, secara resmi itu sudah berlangsung PD III, dengan titik perang, Laut China Selatan sebagai epicentrum, dan Indonesia sebagai lahan perang plus Area yang diperebutkan; 2) Peperangan dilakukan dengan: 1) Bioweapon; 2) Gelombang dengan teknologi HAARP; 3) Laut. Ketiganya menggunakan Taktik Perang Invisible. Sebuah akun Twitter Intelektual Jadul @plato_ids 4:28 AM 26 Apr 21 menulis: “Saat ini petinggi TNI digegerkan dengan temuan banyaknya ranjau bawah laut di sekitar lokasi tenggelamnya KRI Nanggala-402. Hasil pantauan pesawat intai Poseidon P-8 Amerika simpulkan ranjau tersebut ditanam angkatan laut komunis China.” Nanggala Blackout Ada penjelasan menarik dari Laksamana Muda TNI Iwan Isnurwanto, MAP, MTr yang sejak sejak 26 April 2021 menjabat Panglima Komando Armada II. Saat KRI Nanggala-402 hilang, Laksda Iwan masih menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut. Mantan Danseskoal itu mengaku tidak lagi mampu menahan rasa dukanya kehilangan para prajurit terbaiknya yang mengawaki Nanggala-402. “Waktu saya ikut mengawaki Nanggala, pernah mengalami apa yang namanya blackout,” ujarnya, Rabu (28 April 2021). Berikut penjelasan lengkapnya yang dikutip dari tayangan KOMPAS-tv : Waktu saya ikut mengawaki KRI Nanggala, pernah mengalami apa yang namanya blackout. Apakah blackout itu. Ada beberapa macam penyebab. Tapi yang saya alami itu terjadi jam 12 malam. Blackout terjadi saat saya sedang istirahat. Di lantai 3, saya langsung lompat turun. Saat itu, posisinya adalah saat blackout itu haluan (depan) naik ke atas 45 derajat, sedangkan buritan turun. Saat itu tidak ada tegangan. Semua mati. Hanya lampu cadangan saja yang hidup. Posisinya adalah yang belakang (buritan) langsung turun. Sekitar 45 derajat. Tidak sampai dengan 10 detik, kapal turun sampai 90 m. Sehingga bisa membayangkan bagaimana posisi blackout saat itu. Padahal, kita Perioskop Dep. Sehingga Komandan Kapal (KKM) memerintahkan (dalam bahasa Jerman) Alleman Fouraust. Kita semuanya berangkat ke depan. Tapi karena 45 derajat ini, maka kita merangkak di lorong itu, pegang pintu-pintu itu sampai ke haluan depan. Itu perintah Komandan KKM Mashudi, SH, purnawirawan Laksda. Yang dilakukan KKM adalah menghembus tangki pemberat dan tangki tekanan. Sehingga kapalnya bergerak naik. Apa masalahnya, ada satu views yang putus, padahal kita tidak tahu views itu di mana. Tapi karena kecanggihan KKM saat itu, Laksda Purn Mashudi, itu bisa ketahuan dan langsung diperbaiki. Alhamdulillah. Itulah situasinya kalau blackout itu masuk ke dalam. Nah, saat ini, kalau kita kena internal wafe, maka itulah keadaan alam. Keadaan alam itu kalau sudah terbawa oleh arus, itu langsung turun. Kalau sudah begitu, tidak akan bisa atau ada yang mampu untuk menyelamatkan kapal. Ingat, dayanya adalah 2-4 juta m3. Mampukah untuk melawan itu. Mampukah? Kalau sudah begitu, bagaimana posisi personil kita, apakah masih pada posisinya masing-masing? Ingat, ketika itu mereka masih terjaga semua. Jam 3.30 mereka masih di pos tempur masing-masing. Karena kapalnya masih posisi menyelam persiapan penembakan, belum menembak. Jadi, masih di posisinya masing-masing. Ada yang masih di pos terpedo. Ada yang di posisi kemudinya, ada juga yang di posisi ruang mesin. Kalau dia sudah bergerak menukik, bagaimana posisi personilnya, mereka glundung semua. Semuanya pasti akan terbawa ke haluan (depan). Kalau sudah begitu, tidak akan kuat untuk menahan tabung tekan. Tidak akan kuat menahan internal wave ini. Itulah kondisi dan gambaran bagaimana posisi Nanggala saat itu. Ingat, kalau 800 m itu tidak sampai dengan 1 menit kapal selam turun ke bawah. Kedalaman internal wave ini adalah sekitar 180-an m. Kalau sudah seperti ini, tidak ada tegangan tinggi, tidak ada tegangan untuk menjalankan kapal, maka dia akan terus turun ke bawah. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana kondisinya saat itu. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya, Internal wave adalah olakan air di kedalaman tertentu yang terjadi karena arus laut Indonesia (Arlindo) yang kuat (debit 2-4 juta m3/detik) berinteraksi dengan balikan air akibat adanya irregularities pada profil dasar laut dan sekitarnya. Pelbagai asumsi seperti itu mungkin masih akan ditemui dalam beberapa hari mendatang. Sejumlah pakar akan terus urun rembug ihwal karamnya Nanggala-402. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Publik harus selekasnya mengetahui. Mengingat, Nanggala-402 dibeli dari uang rakyat! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id