ALL CATEGORY

Sebanyak 99 Pendiri Deklarasikan Partai Ummat

Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho. Oleh Tjahya Gunawan Jogjakarta, FNN – SEBANYAK 99 orang pendiri Partai Ummat dari 34 provinsi berkumpul di Yogyakarta mendeklarasikan partai baru yang diinisiasi oleh tokoh reformasi Amien Rais. Sebelum deklarasi, para pendiri menandatangani dokumen pendirian partai di hadapan notaris dan melakukan konsolidasi awal dalam rangka memperkuat jaringan keummatan di seluruh pelosok tanah air. Jaringan keummatan Partai Ummat tidak melulu bersifat politis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek ekonomi, sosial dan budaya yang memungkinkan semua elemen bangsa, khususnya kaum Muslimin, merasa memiliki partai baru ini. Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais membacakan deklarasi di hadapan para pendiri yang ditayangkan melalui akun Youtube Amien Rais Official tepat pukul 13.00, Kamis, 29 April 2021, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1422 Hijriyah. “Bismillahirrahmanirrahim, saya deklarasikan kelahiran Partai Ummat di persada bumi pertiwi Indonesia yang kita cintai bersama,” kata Amien Rais dengan suara mantap. Deklarasi berbunyi : “Kami Partai Ummat bersama anak bangsa lainnya insyaAllah akan bekerja, berjuang, dan berkorban apa saja untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan." “Kami sadar bahwa menggerakkan Al-Amru Bil Ma’ruf Wannahyu Anil Munkar yakni memerintahkan tegaknya kebajikan dan memberantas keburukan serta memobilisasi Al-Amru Bil Adli Wannahyu Anil Dzulmi yakni menegakkan keadilan dan melawan kezaliman memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketangguhan." “Kami abdikan seluruh shalat kami, seluruh ibadah kami, kehidupan kami, dan kematian kami, kami persembahkan hanya untuk Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamiin." “Kami yakin seluruh mekanisme demokrasi kita dan konstitusi kita lebih dari cukup untuk melakukan perbaikan kehidupan nasional, sehingga kita tidak perlu cara-cara ekstra parlementer dan cara-cara ekstra konstitusional.” Deklarasi ditutup Amien Rais dengan takbir tiga kali dan pekik merdeka. Malam harinya pada pukul 20.30 pada hari yang sama film “Harapan Ummat” diyangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Amien Rais Official. Film ini bercerita mengenai perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan keadilan yang diharapkan dapat memantik ghirah umat Islam dalam berjuang. Keesokan harinya, yaitu pada Jumat, 30 April, video deklarasi dari 34 provinsi ditayangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Partai Ummat Official. “Yang mengharukan dari acara deklarasi dari daerah ini adalah para kader partai urunan untuk membiayai acara mereka masing-masing. Mereka bantingan untuk bikin spanduk, seragam partai, kaos, sampai makanan untuk buka puasa,” kata Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin. Agung Mozin menambahkan bahwa Partai Ummat mempunyai masa depan di tengah kondisi politik yang tidak menentu saat ini. Ia mengutip hasil survei terakhir yang menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas Partai Ummat sudah mencapai 1,5 persen padahal belum dideklarasikan. Padahal, kata Agung, sejumlah partai lama hanya mencapai tingkat elektabilitas dalam hitungan nol koma. Pengakuan Agung bukan tanpa alasan karena sekitar sebulan terakhir media sosial diramaikan dengan kemunculan Partai Ummat. Media sosial depenuhi oleh logo Partai Ummat, artikel analisis, dan pernyataan dukungan dari sebagian kaum Muslimin. Pengurus Partai Kepengurusan Partai Ummat terdiri dari dua bagian yaitu Majelis Syuro dan Dewan Eksekutif. Majelis Syuro menunjuk Dewan Eksekutif atau pelaksana partai untuk menjalankan kebijakan partai. Ketua Majelis Syuro dipegang oleh Amien Rais sendiri dengan sekretaris Ustad Sambo, sementara Ketua Umum dipegang oleh ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi yang mendapatkan gelar PhD-nya dari Radboud University, Belanda. Ketua Umum dibantu oleh tiga orang Wakil Ketua yaitu Agung Mozin, Sugeng, dan Chandra Tirta Wijaya. Ketiganya adalah politisi senior yang sudah sangat berpengalaman mengelola partai. Sekretaris Umum Partai Ummat diamanahkan kepada Ahmad Muhajir yang juga politisi senior. Pada satu pertemuan di Hotel Grand Keisha Yogyakarta, Ridho sangat terharu atas penunjukan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Ummat. Karena karirnya selama ini ia fokuskan untuk berkhidmat dalam bidang teknologi informasi. “Tetapi pangggilan mulia untuk berjuang melawan kezaliman dan menegakkan keadilan ini tidak bisa saya tolak,“ kata Ridho. Ridho mendapatkan dua gelar master dalam bidang artificial intelligence (kecerdasan buatan) dari Czech Technical University di Praha, Republik Ceko dan Johannes Kepler University di Austria. Setelah menyelesaikan PhD-nya di Belanda, Ridho sempat menjadi peneliti tamu di Carnegie Mellon University, AS. Ridho aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta sebelum bergabung dengan Partai Ummat. Namun sekarang dia mengundurkan diri untuk memenuhi peraturan yang berlaku. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin mengatakan ditunjuknya ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi adalah keputusan Majelis Syuro yang sangat tepat karena partai politik sekarang memerlukan kepakaran dalam bidang ini untuk bisa bersaing dengan partai lain. “Kita harapkan Mas Ridho membuatkan kita beberapa aplikasi yang berguna untuk pemenangan Partai Ummat,“ kata Agung. Tidak cuma itu, Agung menambahkan, usia Ridho yang masih milenial merupakan daya tarik tersendiri yang menjadi pertimbangan. “Insya Allah Mas Ridho akan mampu menggaet sesama milenial untuk masuk Partai Ummat. Mereka mempunyai aspirasi, keinginan dan cita-cita yang sama. Mas Ridho sangat pas,“ kata Agung. Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho.” Tokoh Bergabung Di tengah tingginya animo masyarakat dengan kemunculan Partai Ummat, sejumlah tokoh sudah menyatakan diri bergabung dengan partai baru ini. Di antaranya adalah artis Neno Warisman yang selama ini dikenal sebagai aktivis yang banyak memiliki jaringan di seluruh tanah air. Di samping Neno, ada juga MS Kaban, mantan Menteri Kehutanan dan salah satu Ketua Partai Bulan Bintang, dan Buni Yani, korban UU ITE yang mengalami penzaliman dengan tuduhan dan vonis hukum yang tidak dia perbuat. “Partai Ummat adalah harapan saya yang terakhir untuk memperjuangkan dan mendapatkan keadilan,” kata Buni Yani. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin sangat optimis bahwa akan semakin banyak tokoh Islam yang bergabung dengan partainya. Agung mengatakan dia sedang menjajaki untuk bersilaturahmi dengan banyak kalangan. “Insya Allah Partai Ummat akan bisa menampung aspirasi saudara-sadara kita ini,“ pungkas Agung. ** Penulis, wartawan Senior FNN.co.id.

Wuiiish Munarman Ditangkap, Kriminalisasi?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Penangkapan terhadap mantan Sekretaris Jendral dan Juru Bicara Frot Pembela Islam (FPI) Munarman yang dikaitkan dengan terorisme, dan itu terjadi tahun 2015, adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman juga berulang melakukan klarifikasi soal acara tersebut. Persoalan sebenarnya adalah bahwa keperluan untuk melakukan penangkapan itu memang saat ini. Bukan tahun 2015 lalu itu. Apalagi di tengah kasus Habib Rizieq Sihab (HRS) yang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dimana Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman adalah target politik perlu dilumpuhkan dengan perangkat hukum. Salah atau benar berdasarkan hukum, itu urusannya nanti. Pasalnya nanti bisa dicari-cari belakangan. Yang paling panting itu adalah tangkap, dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka saja dulu. Sebab ini bukan ansih urusan hukum, yang dasar rujukannya adalah benar atau salah menurut. Ini berkaitan dengan urusan politik. Politik itu tidak menganal salah atau benar. Lumpuhkan dulu lawan politik. Begitu kekuasaan politik punya keinginan. Akibat dari kekuasaan yang salah dalam mengelola negara. Kewengan publik dikelola dengan cara-cara yang amtiran dan kampungan. Akibatnya kekuaaan yang kepusingan ketika berhadapan dengan sikap kritis dari orang-orang seperto HRS, Munarman, Syaganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, Gus Nur dan lain-lain. Penangkapan Munarman oleh Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon menyebut mengada-ada. Haris Rusly Moti, mantan Presiden PRD yang mengenal dengan Munarman mengatakan sangat berlebihan kalau dituduh teroris. Menyeret secara tidak berkemanusiaan dari rumah kediamannya dinilai melanggar Hak Asasi manusi (HAM) karena untuk memakai sandal saja tak diberi kesempatan. Sebagai advokat, tentu perlakuan polisi ketika menangkap seperti itu di luar batas kepatutan. Advokat yang semestinya diperlakukan dengan hormat. Melalui proses pemanggilan hukum tentu Munarman akan datang memenuhi. Sebagai mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Munarman bukan tipikil anak bangsa yang melanggar hukum. Kalau melawan kezoliman dan perlakuan tidak adil, otoriter punguasa, Munarman paling depan. Jika kriminalisasi menjadi target, makan apapun bisa dilakukan penguasa. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah, bubuk deterjen pembersih toilet di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Untuk meledakkan para cecunguk atau tikus. Buku do'a, kumpulan hadits dapat dituduh menjadi panduan untuk mati syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati. Sejak jaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat di LBH. Munarman sangat gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang faham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika Munarman selalu menjadi subyek dan obyek berita media massa maintsream, baik dalam maupun luar negeri. Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme yang jelas melanggar hukum, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman yang selama ini dikenal masyarakat. Publik dipastikan tidak akan percaya dengan tuduhan yang dialamatkan Densus 88 Polri kepada Munarman. Apalagi Munarman terkenal memiliki prinsip kehati-hatian hukum yang tinggi dalam rangka penegakkan hukum. Ya proses politik sedang berjalan HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Dari kacamata ini kita dapat melihatnya, sebab jika konteksnya penegakkan hukum dan keadilan, maka peristiwa HRS, FPI, dan Munarman tentu tidak akan terjadi. Menjadi pertanyaan umum di kalangan publik, kita ini sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan? Jika yang kedua, yaitu negara kekuasaan, maka kriminalisasi bisa saja menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja untuk rezim atau penguasa. Hanya masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah untuk berada dibawah bendera negara kekuasaan? Jangan menjaawabnya sekarang. Nanti saja. Simpan saja dulu jawabannya. Pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya? Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme. Kasus Munarman ini perlu dikawal proses hukum yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tidak disimpan Densus 88 Polri di tong sampah, sehingga tetap diberlakukan. Polisi hanya institusi penegak hukum. Bukan lembaga yang benar menurut hukum. Pengadilan saja masih diragukan putusannya kalau tunduk pada tekanan kekuasaan. Apalagi Cuma polisi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Penangkapan Munarman di Live Televisi, Mau Cuci Tangan KM 50?

by Tarmidzi Yusuf Bandaung FNN - Kemarin sore (27/4) Munarman, mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) ditangkap Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di rumahnya, Perumahan Modern Hills Pamulang Tangerang Selatan. Terlihat seperti mengerikan dan menakutkan. Munarman baru terduga. Belum pernah diperiksa. Apa alasan Polisi memperlakukan Munarman seperti itu? Tak berselang lama dari penangkapan Munarman. Markaz FPI di Petamburan Jakarta digeledah oleh Densus 88 Polri. Katanya ditemukan bahan peledak. Sudah diduga juga arahnya mau kemana. Lebih mengerikan lagi. Saat tiba di Polda Metro Jaya, tangan Munarman diborgol dan mata ditutup kain hitam. Seru seperti di film G 30 S/PKI. Jangankan teroris, penjahat aja bukan. Penangkapan Munarman disiarkan secara Live di sebuah stasiun televisi. Menjelang berbuka lagi. Biasanya banyak yang di depan televisi. Ini bentuk framing dan stigmatisasi dari penguasa. Tontonan di bulan Ramadhan yang sangat menyakiti ummat Islam. Ada apa dibalik ini? Bukankah ini hanya akal-akaln untuk pengalihan dari masalah yang sebenarnya? Apa itu masalahnya sebenarnya? Upaya “cuci tangan” pembantaian dan pembunuhan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah diratakan dengan tanah itu? Terorisasi FPI dan Islam. Tujuannya adalah agar dugaan keterlibatan seorang jenderal dan kelompok sekuler kiri radikal dalam kejahatan di kilimeter 50 tol Japek tidak bisa dituntut dan diungkap? Apakah Munarman itu teroris? Apakah ada bukti? Atau hanya berdasarkan pengakuan dari seorang mantan anggota FPI yang sudah digarap, lalu dikait-kaitkan dengan bom Makassar Maret 2021 lalu? Katanya karena itu-ikutan baiat dengan ISIS. Padahal bukankah ISIS itu organisasi teror buatan MOSSAD, CIA dan SAVAK? Alasan yang kurang logis. Mengapa Densus 88 hanya bisanya menangkap Munarman doang yang dituduh sebagai teroris itu? Sementara OPM yang telah membunuh Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen IGP Danny, Densus 88 tidak turun tangan. Densus lagi dimana saja ya? Apakah ada bukti otentik kalau Munarman dan FPI pernah melakukan teror? Berapa orang yang mati terbunuh akibat tindakan teror yang dilakukan oleh Munarman dan FPI? Boleh dong publik ingin mengetahui. Asal datanya valid saja. Agar tidak ada dusta diatas dusta. Mengapa Densus 88 tidak turun tangan menghadapi OPM yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI? Bahkan Mabes Polri seperti dilansir CNN Indonesia (27/4), menolak menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST). Wajar bila ummat Islam curiga. Karena ada standar ganda? Keras terhadap ummat Islam. Lembek ke non Islam. Padahal, apakah itu OPM, KKB atau KST itu maunya merdeka lagi bro Densus 88 Polri. Omong kosong dengan NKRI harga mati yang disuarakan oleh agama tertentu dan etnis minoritas radikal. Apakah belum cukup bukti pembunuhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan berulang kali oleh OPM, KKB dan KST? Kepala BIN Papua Brigjen IGP Danny tewas terbunuh oleh OPM. Kenapa yang ditangkap hanya Munarman? Bukan OPM, KKB KSN yang ditangkap Densus 88 Polri? Publik berhak mendapat penjelasan yang masuk akal. Bukan penjelasan pembenaran. Ada apa dengan Densus 88? Apakah betul Densus 88 dibentuk targetnya hanya Islam dan ummat Islam? Masih ingat terorisasi terhadap Ustadz Abu Bakar Ba'asyir beberapa tahun silam. Ummat Islam percaya? Tidak bro. Desas-desus siapa dibelakang Densus 88 ramai diperbincangkan di media sosial. Menyebut tokoh dari etnis minoritas tertentu dan kelompok sekuler kiri radikal. Ummat Islam patut saja curiga. Pasalnya, yang nyata-nyata gerakan separatis dan teroris seperti OPM/KKB Papua tidak diapa-apain. Apakah karena OPM, KKB dan KSN itu mayoritas beragama non muslim? Sehingga Densus 88 Polisi tidak bergerak kesana? Padahal sudah banyak yang dibunuh OMPM, KKB dan KSN itu. Misalnya membunuh anggota TNI, Polri dan warga masyarakat termasuk Brigjen IGK Danny. Pnulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Munarman Teroris? Densus 88 Polri Gaweannya Lucu Amat Sih!

Sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an, Munarman sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI jika kekuasaan Soeharto berakhir kelak. Kini Munarman mau dituduh teroris? Ya pastinya mayoritas aktivis ‘98 yang mengenalnya puluhan tahun, tidak mau percaya degan geweannya Densus 88 Polri yang lucu-lucuan itu. Namun kalau Polisi menuduh Munarwan sukanya melawan kekuasaan yang zolim, tidak adil, semena-mena dan otoriter, korupsi dana bansos dan uangnya kaum difabel, antek aseng dan asing Bejing, itu mungkin ada benarnya. Karena itulah yang dikenal dari seorang pejuang demokrasi yang bernama Munarman. by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN – Ade pameo di polisi, kalau "teman satu angkatan atau teman seperjuangan saja bisa dikorbankan, apalagi orang lain". Pamoe ini sekarang terbukti pada diri Munarman, yang sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI. Namun sekarang Munarman ditahan Polisi dengan tuduhan yang dibuat-buat, karena kejadiannya sejak tahun 2015 lalu. Yang terjadi pada Munarman ini, bukan lagi seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Tetapi seperti kacang lupa sama tanah yang pernah menyuburkan dan membesarkan pohon kacang. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga untuk para aktivis muda lainnya, agar belajar dari kasus Munarman. Jangan sampai menyesal di belakangan tidak ada gunanya. Masyarakat sama sekali tidak terkejut ketika Selasa sore (27/04/2021), menyaksikan dan membaca berita berbasis satelit, Munarman ditangkap oleh Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di kediamannya, Blog G Klaster Lembah Pinus, Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Perlakuan polisi terhadap Munarman ketika ditangkap juga sangat buruk dan tidak manusiawi. Tuduhan utama polisi terkait penangkapan mantan Sekretaris Jendral eks Front Pembela Islam (FPI), yang sekarang ini tengah mati-matian memperjuangkan kepentingan hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut, adalah terkait baiat di UIN Jakarta, Makassar dan Medan beberapa waktu lalu. Munarman yang nampak tidak takut itu, lalu dibawa masuk ke mobil putih dan meluncur ke Mapolda Metro Jaya. Tuduhan Munarman terkait teroris itu disampaikan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan. "Jadi (penangkapan) terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal tersebut," kata Ramadhan pada wartawan. (Kompas.com, 27/4/2021). Yang paling nyata disini, ayah tiga putra kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 53 tahun silam, itu bukan sosok bajingan atau pengkhianat Merah Putih yang akan menjual NKRI ke negara lain. Dia bukan anak PKI, dan dia sendiri juga bukan penganut paham komunis. Bukan koruptor bansos dan difabel, Juwasraya, Asabri serta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan bandar atau penyebar narkoba. Bukan teroris. Munarman bukan pelaku yang menguras habis uang negara. Dia tidak turut campur dalam merancang UU Omnibus Law. Bukan pula perancang tergerusnya Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bukan perancang hilangnya pelajaran Agama Islam dan Bahasa Indonesia bagi anak didik sekolah. Munarman bukan sosok yang membuang pendiri NU, Hasyim Ashari, dari literasi sejarah. Yang kita kenal, Munarman adalah oposan negara yang setiap saat merobek robek ketidak adilan rezim Jokowi (panggilan Presiden Joko Widodo). Munarman sebagaimana rekan seperjuangannya, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang lebih dulu berurusan hukum, memperjuangkan ketidak adilan dibidang hukum, ekonomi, politik maupun ketimpangan rezim lainnya. Munarman bergerak dalam basis akidah Islam yang kental, kuat dan mendasar. Ibarat jet tempur F-16 Fighting Falcon, Munarman meluncur secara Fly by Wire dengan kendali Sang Khaliq di Singgasana Arasy. Karenanya, Munarman babar blas tidak ragu. Apalagi gentar tentang apa yang dia perjuangkan. Sebagai pejuang demokrasi dan kemanusiaan, Munarman tentu tidak gagal paham tentang resiko yang akan dialaminya. Secara fighter view, penjara akan diterjemahkan sebagai anugerah tanda jasa luar biasa. Atau ibarat sakera dari Madura. Penjara akan dipandang sebagai tempat mengasah celuritnya. Hingga semakin tajam dan mematikan musuh-musuhnya, kelak jika keluar penjara. Jangan mengaku pemain bola, jika belum punya bekas luka jatuh akibat tackling lawan. Atau jangan mengaku pengganti Valentino Rossi dan Dani Pedrosa di Motor GP, jika belum pernah patah tulang akibat tersungkur saat meluncur sentrifugal di lintasan kelok. Itu semua hal biasa saja untuk seorang Munarman, yang sudah pernah ditahan di Polda Metro Jaya. Itu sekedar contoh tentang nilai-nilai perjuangan Munarman. Perjuangan yang tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan korupsi. Atau menjual bangsa dan negara dengan memburu rente Vaksin Sinovac. Munarman tidak menjual bangsa dengan hanya dengan berpura-pura kerja sama investasi. Atau malah menuduh para pejuang kebenaran, sebagai biang keladi kerusuhan. Tidak seperti itu. Munarman menyuruh anak buahnya dari FPI berada di garda terdepan setiap kali bencana alam terjadi. Pada hari pertama ,ketika institusi negara belum hadir di setiap bencana alam, anak buah Munarman dari FPI sudah berada di lokasi benacana. Wajar saja kalau media internasional kelas Washinton Post, New York Times mengganjal FPI sebagai organisasi paling manusiawi dalam setiap bencana alam. Bicara penjara dan pejuang, maka hampir semua pahlawan nasional pejuang revolusi dan kemerdekaan NKRI pernah mengenyam indahnya jeruji besi. Keluar masuk penjara tak membuat mereka kapok untuk melawan penjajah dan kekuasaan yang zolim. Bahkan, mungkin malah dianggapnya keluar masuk rumah makan saja. Karena melawan kekuasaan yang zolim pasti mengantarkan mereka ke syurga. Itu pasti. Tidak ada keraguan. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno, Mohamad Hatta, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, Kapitan Pattimura, serta sejumlah pahlawan lainnya yang turut mendirikan negeri ini. Posisi mereka tak ubahnya Munarman, HRS, Sobri Lubis Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan para pejuang masa kini lainnya. Mereka pilih keluar dari zona-zona nyaman. Para pejuang dan pahlawan terdahulu musuh utamanya penjajah. Mereka bukan saja dipenjara, melainkan juga disiksa, bahkan dibuang ke pulau terpencil atau luar negeri. Harta-benda, bahkan nyawa mereka dipertaruhkan. Yang mereka tidak pertaruhkan hanyalah kebenaran dan akidah. Sekarang tugasnya berteriak melawan kekuasaan yang zolim dan tidak adil. Kekuaksaan yang semena-mena dan otoriter. Tak terperikan perjuangan mereka. Namun, Bung Karno masih mengakui kalau berat perjuangannya masih belum seberapa, jika dibandingkan perjuangan para pahlawan sesudahnya kelak. Kata Bung Karno, “perjuanganku tidak seberapa, sebab musuhku jelas Belanda. Sedangkan musuhmu nanti adalah bangsamu sendiri. Maksud Bung Karno kura kira "merepotkan". Dibilang musuh itu, kawan. Tetapi dibilang kawan, ternyata (mohon maaf, karena bulan puasa) bangsat. Ternyata benar apa yang "ramalkan" Bung Karno. Sekarang sudah terbukti. Munarman, HRS, Sobri Lubis, Syahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan sahabat senasib seperjuangannya, kini berhadapan dengan musuh yang tak lain adalah bangsanya sendiri. Munarman sejak menjadi aktivis akhir 1980-an, selalu bersikap melawan rezim zolim dan otoriter Soeharto. Rezim yang menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan untuk memenjarakan para aktivis demokrasi. Sikap Munarman itu tidak pernah bergeser sampai sekarang. Keputusannya menerima jabatan KetuaYayasan Lebaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Katua Kontras, dua LSM Menteng yang menjadi salah satu musuh utamnyanya kekuasaan Soeharto adalah pilihan melawan kekuasaan zalim, otoriter, dan tidak adil. Ketika Munarman bercita-cita untuk memishkan Polisi dari ABRI di tahun akhir tahun 1980-an dan saat menjabat Ketua YLBHI dan Ketua Kontras dulu, yang hari ini menjadi pemimpin Polisi belum menjadi anggota Polisi. Sebagian besar masih menjadi siswa taruna polisi di Magelang dan Akpol Semarang. Masih berjuang untuk menjadi anggota polisi. Namun Munarman sudah berjuang melawan kekuasaan yang menjadikan Polisi sebagai alat politik untuk memukul lawan-lawan politik Soeharto. Ingat itu petuah orang tua-tua kampong, "jangan seperti kacang yang lupa kulitnya". Selain sebagai Ketua YLBHI dan Ketua Kontras, Munarman juga mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Para aktivis '98 yang kenal dengan Munarman sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an seperti Fadli Zon, Haris Rusli Moti, Agus Prijono Jabo, Yusuf Lakaseng, Ray Rangkuti, Fahri Hmazah, Muhammad Naufal Donggio, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Adi Arief, Bursah Zarnubi, Rama Pratama, Iwan Somule, Adam Wahab, Ahmad Muzani, Adrianto, Ahmad Yani, pastinya tidak akan percaya kalau Munarman terpapar paham teroris. Begitu juga dengan almarhum Bang Buyung Nasution dan almarhum Bang Mulyana W. Kusumu, mungkin saja akan menjadi saksi di pengadilan akhirat kalau Munarman pasti tidak terpapar teroris. Karena yang menjagokan Munarman menjadi Ketua YLBHI adalah Bang Buyung Nasution dan Bang Mulyana W. Kusuma. Hampir dipastikan kali ini Densus 88 Polri keliru besar. Hanya karena khawatir kemungkinan Munarman yang menjadi Ketua Tim Pembela HRS, bakal menangkis semua alibi Polisi dan Jaksa di persidangan. Selain itu, hawatir juga Munarman bakal membongkar keterlibatan intitusi negara di luar Kepolisian yang diduga terlibat dalam pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Sebab kalau hanya soal dugaan keterlibatan teroris (baiat) yang terjadi tahun 2015 dulu, masa sih mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian PhD tidak tau? Ingat, Pak Tito itu orang hebat di Densus 88 lho, selain Pak Gories Mere. Apalagi Munarman sering berkomunikasi dengan Pak Tito, karena punya hubungan baik. Sama-sama Wong Kitogalo dan sekolah di SMA yang sama. Kalau Munarman itu terpapar paham teroris, tidak mungkin Pak Tito yang sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menjadi salah satu kandidat potensial untuk Calon Presiden 2024 nanti itu tidak tau. Sebab bisa jadi dugaan tindak pidana yang kemukinan polisi lain tidak tau, Pak Tito pasti tau. Sedangkan yang Pak Tito tau, belum tentu polisi lain tau. Ingat, Pak Tito itu polisi hebat, polisi pintar, polisi cerdas. Polisi yang top markotp. Makanya Densus 88 Polri sebaiknya jangan sampai anggap reme Pak Tito, kalau sampai menuduh Munarman terpapar teroris. Itu kurang baik, bahkan kurang ajar. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Selamat Datang Partai Ummat

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Hari Sabtu, Tanggal 24 April 2021, Partai Ummat menyelenggarakan semacam gladi resik dengan mengumpulkan seluruh pengurus dan anggota Dewan Syuro. Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore di Hotel Grand Keisia Jogyakarta telah berjalan santai, lancar dan dipenuhi warga yang menjadi simpatisan. Dimana salah satu momentum penting dari acara ini adalah pengambilan gambar (shooting) deklarasi Partai Ummat. Pendirian Partai Ummat nampaknya bukan karena pendirinya yaitu Dr. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh reformasi mulai kehilangan pengaruh di partai amanat nasional. Namun sebagai akademisi politik dan nyaris kiprahnya yang hampir 100 persen diabadikan pada dunia politik telah mengetahui dan merasakan denyut politik yang ada di masyarakat. Karenanya, beliau bersama sejumlah tokoh masyarakat dan politik akhirnya memutuskan untuk membentuk Partai Ummat secara simbolik. Setelah hampir 20 tahun menjadi tokoh dibalik partai amanat nasional, nampaknya beliau sulit dilepaskan dari politik dalam kehidupannya. Tantangan ke Depan Kehadiran partai baru memang disadari belum tentu mendapat respon (dukungan) dari masyarakat. Dari pengalaman pemilu 2019, tercatat ada 20 partai politik yang mendapat pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bertarung memperebutkan dukungan masyarakat. Namun dari hasil pemilu 2019, hanya terdapat 8 partai politik yang memenuhi syarat untuk mendudukkan wakilnya sebagai anggota DPR. Sementara 12 partai lainnya terpaksa menunggu sampai pada pemilu 2024. Namun tidak berarti peluang bagi kehadiran Partai Ummat di pentas politik nasional tahun 2024 juga akan berakhir. Bahkan kelak tenggelam sebelum waktunya. Dalam survei yang dilakukan oleh Indonesia Elections and Strategic (indEX) yang dirilis 12 Maret 2021, menunjukan bahwa Partai Ummat berada di posisi 10 dengan perolehan 1,3 persen. Sekalipun masih kecil, dukungan terhadap Partai Ummat ini ternyata jauh lebih besar ketimbang suara PAN yang hanya meraih 1,1 persen. Sementara di sisi lain, keraguan terhadap Partai Ummat dalam menyemarakan kehidupan politik Indonesia juga tidak sedikit. Peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan bahwa pemilihan 'Ummat' sebagai nama partai, dianggap sebagai retorika keislaman. Seolah-olah dengan nama Ummat ini sebagai wujud dari korban sebuah kezaliman. Menurut Wasisto Raharjo Jati, beliau terkesan menyimbolkan bahwa partainya adalah payung umat Islam, akan tetapi justru akan membuat suara pemilih umat Islam menjadi tidak solid. Titik lemah lain adalah ketiadaan figur selain Amien sendiri. Banyak partai Islam yang hanya mengandalkan satu tokoh, tanpa basis loyalis yang kuat (Partai Ummat Amien Rais Akan Layu Sebelum Berkembang, 2 Oktober 2020, https://tirto.id/f5rZ). Namun apa yang disampaikan oleh Amien Rais menunjukan bahwa pendirian partai ummat lebih didasarkan untuk menegakan kebajikan, keadilan, dan memberantas keburukan dan kezaliman. Nampaknya cita-cita ini lebih dimaksud untuk diberlakukan secara pribadi di tingkat anggota, keluarga dan komunitas. Dengan demikian, perjuangan dalam mewujudkan kebajikan, keadilan dan memberantas kezaliman dapat berjalan di tingkat bawah, keluarga, masyarakat hingga bangsa. Suatu nilai perjuangan yang sangat luar biasa jika melihat masalah pengelolaan kekuasaan yang masih diwarnai praktek korupsi dan ketidakadilan. Karena itu, partai ummat akan semakin mendapat dukungan luas dari masyarakat pemilih jika dari awal bertekad memberantas korupsi. Setidaknya dimulai dari dalam diri pengurusnya. Pemberantasan korupsi merupakan nilai penting karena dampak pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati elite tertentu melalui praktek penyimpangan. Sehingga mengakibatkan ketidaksetaraan kekayaan diantara warga masyarakat. Dr. Martin Luther King, dalam pidatonya di National Cathedral, Washington, D.C., 31 Maret 1968. menyatakan bahwa “busur semesta moral itu panjang tetapi ia mengarah pada keadilan.” Pesannya jelas yaitu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat, namun kemajuan menuju keadilan harus dilakukan meski bersifat sangat bertahap. Semoga partai ummat dapat berkembang dengan dimulai dari kecil, namun semangatnya besar yaitu menegakan keadilan dan membasmi praktek korupsi dari hasil penyimpangan kekuasaan di semua lini. Jika tidak, maka partai ummat akan dicatat sejarah bahwa pernah berdiri namun tidak mampu berlari. Penulis adalah Peneliti LP3ES.

Penangkapan Munarman, Penguasa Yang Semakin Brutal

MUNARMAN bukan orang bodoh. Apalagi mau disebut seorang pengacara bodoh. Jauh dari itu. Tapi, dia bisa dibuat terbodoh-bodoh oleh para penguasa yang sekarang ini sedang menjabarkan naskah yang ditulis oleh oligarkhi taipan. Munarman ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 dengan ‘dugaan’ terkait dengan terorisme. Penangkapan yang ‘high profile’ alias ‘berkelas’. Yang dijadikan dasar penangkapan adalah pengakuan seorang tersangka teroris di Makassar. Dia, kata pihak kepolisian, menyebut nama Munarman. Entah siapa gerangan teroris Makassar itu, tidak jelas. Dalam kaitan apa, juga semakin tak jelas. Yang jelas adalah Munarman harus ditangkap. Dan ditangkap dengan tuduhan terorisme. Supaya kelihatan seram dan semua orang akan bungkam. Publik sebenarnya sudah paham tentang apa yang mau dilakukan oleh para penguasa. Munarman adalah satu kisi-kisi dari tujuan para penguasa yang sekarang semakin otoriter. Munarman adalah salah seorang yang berperan penting di lingkaran Habib Rizieq Syihab (HRS). Habib adalah tokoh sentral oposisi yang tak pernah mau berkompromi melihat kesewenangan yang dilakukan elit penguasa (termasuk di dalamnya para ketua parpol-parpol bejat) dan elit bisnis yang pekerjaan utamanya adalah merampok Indonesia. HRS mula-mula berteriak sendirian melawan kedua elit itu. Tetapi, beliau bisa meyakinkan rakyat bahwa kesewenangan penguasa dan elit bisnis (yang biasa disebut taipan jahat) itu akan menghancurkan masa depan bangsa dan negara. Publik percaya karena memang dari hari ke hari kesemena-menaan kedua elit itu semakin blak-blakan. HRS tidak punya modal apa-apa dalam misinya melawan kezaliman. Namun, rakyat memberikan dukungan kuat. Dan dukungan itu kemudian terbukti semakin besar dan semakin solid. Habib bisa dalam ‘short notice’ (pemberitahuan mendadak) mengumpulkan massa rakyat dalam jumlah besar. Bisa berjuta-juta orang sekali kumpul. Lintas ormas, lintas mazhab. Para elit penguasa dan bisnis mulai gelisah. HRS menjadi sangat kuat. Mereka semua merasa terancam. Karena itu, Habib dan mesin komunikasinya harus distop. Celakanya, mereka harus mencarikan cara ‘legal procedures’ (prosedur hukum) untuk meruntuhkan pengaruh Imam Besar itu. Tidak ada cara lain yang ampuh kecuali membawa HRS dan rombongannya digiring ke ranah terorisme. FPI harus dilabelisasi sebagai organisasi berbahaya yang akan melancarkan aksi teror meskipun publik menertawakannya. Dengan begini, para penguasa bisa dengan mudah menghabisi para aktivis FPI dengan alasan terlibat teroris. HRS dan Munarman adalah dua fIgur yang berpotensi sebagai penggerak opini publik untuk menghancurkan kezaliman dan perampokan yang dilakukan para taipan. Itulah sebabnya mereka sejak lama sudah masuk daftar target untuk dilumpuhkan dengan tuduhan terorisme. HRS untuk saat ini tak bisa mereka seret ke isu terorisme karena memang tidak mudah untuk membuktikannya. Kecuali dengan cara-cara busuk yang ditempuh oleh penguasa. Dan inilah yang sedang tayang. Markas FPI di Petamburan digeledah. Entah bagaimana, para petugas bisa dengan mudah menemukan barang bukti berbahaya berupa serbuk putih. Serbuk putih tentunya bisa dibawa ke mana-mana. Bisa disebut ramuan dasar pembuatan bahan peledak, atau bisa juga disebut sebagai zat (obat-obatan) terlarang seperti sabu-sabu, dlsb. Mau disebut apa pun di antara dua bahan itu, pastilah para mantan aktivis FPI, termasuk Munarman, akan tercitra jahat. Pembuat bom atau pengedar maupun pemakai narkoba. Jadi, begitulah para penguasa yang semakin brutal. Siapa saja yang berpotensi menjadi ancaman politik bagi mereka, bisa dipastikan akan digiring ke isu terorisme atau narkoba. Perkara tak masuk akal publik, mereka tidak peduli. Yang penting musuh bisa dilumpuhkan. Tapi, mereka lupa bahwa publik mencermati sepak terjang para penguasa zalim. Rakyat akan membiarkan mereka terjebak ke dalam perangkap yang mereka buat sendiri. Baru kemudian ‘tikus-tikus’ yang terjebak itu akan mengalami nasib yang tragis akibat kejahatan mereka sendiri.

Kasus KM 50, Diduga Institusi Kepolisian Yang Mau Dikorbankan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Hingga kini Kepolisian masih otak-atik untuk mengumumkan nama-nama tersangka pembunuhan enam anggota laskar mantan Front Pdembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Konon satu orang palakunya sudah meninggal dalam kecelakaan tunggal. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu mentertawakan kinerja dan pekerjaan yang sebenarnya sangat mudah, akan tetapi menjadi sulit seperti ini. Masalah sulitnya adalah karena berupaya untuk mempertimbangkan skenario dan menyembuyikan kebenaran. Bukan menguak fakta kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika. Akibatnya yang berikutnya bisa berubah ubah. Penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sarat dengan kritik keraguan publik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski Komnas HAM telah diback-up habis Presiden Jokowi dan Menteri Kordintor Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) masih berjalan di tempat. Tidak melakukan penyelidikan lanjutan Komnas HAM seharusnya melakukan penyelidikan lanjutan yang bersifat pro justisia. Sebab penyelidikan pro justisia itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Tinggal menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksan Agung bahwa Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus kilometer 50 tol Japek. Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian? Melihat penetapkan tersangka yang berbelit-belit, dan cenderung disembunyikan, maka wajar saja kalau publik meragukan intitusi kepolisian sebagai pelaku pembunuhan. Meskipun telah diakui oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imran. Yang diragukan dan dibicarakan publik bukan hanya soal dua korban "tembak-menembak" dan empat yang ditembak. Sebab keenam anggota laskar mantan FPI itu mengalami luka tembak mematikan yang sama, yaitu seluruhnya ditembak dari jarak dekat. Memilah-milah keduanya adalah keliru besar. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran. Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan saja, dan selesai. Selanutnya tangkap dan tahan mereka. Tinggal penyidikan lanjutan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah pelapor awal yang mentersangkakan "korban" pembunuhan adalah justru paket lain, yaitu Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan paket ini juga menjadi menarik. Tampak kalau Bareskrim Polri masih ragu dengan skenario ini. Sebab bisa-bisa mengorbankan institusi Kepolisian yang mungkin saja bukan pelaku sebenarnya. Wajar kalau publik menduga, pelakunya anggota polisi yang diperbantukan ke institusi negara yang lain. Akibatnya adalah institusi Kepolisian akan dicatat oleh sejarah sebagai pelaku pembunuhan warga negara yang berada dalam penguasaan anggota polisi yang bertugas. Beredar viral tentang adanya tim penguntit dan pemburu Habib Rizieq (HRS) dan rombongan yang ternyata bukan semata-mata hanya dari elemen Kepolisian. Ada banyak personal dari Badan Intelijen negara (BIN). Diantaranya anggota BIN dari Daerah. Penguntitan yang dilakukan puluhan personal tentu saja didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Kalau dengan Surat Penugasan dari atasan, maka dengan demikian ada kegiatan yang dilakukan secara sistematik dan terencana. Sehingga menjadi unsur-unsur dari terjadinya pelanggaran HAM berat. Aneh saja kalau Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan dari institusi Kepolisian seperti ini. Komnas HAM hanya fokus di Polri saja. Kalau benar terlibat, maka lambat atau cepat dugaan keterlibatan institusi lain di luar Kopolisian pasti akan terungkap. Itu berarti penyelidikan duagaan adanya pelanggaran HAM terkait pembunuhan enam anggota lankar mantan FPI di kilometer 50 tol Japek bakal dimulai dari awal lagi. Hasil kerja Komnas HAM yang sekarang bisa dikatagorikan sebagai penyelidikan yang abal-abal semata. Dugaan hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya konperensi pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah konperensi pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya. Tidak perlu Pangdam Jaya ikut-ikutan pekerjaan yang bukan tupoksinya. Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando juga harus dibongkar. Komnas HAM diduga menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha. Begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis. Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Bisa ujung-ujungnya pertanggungjawabanpelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar mantan FPI adalah Presiden Jokowi. Harusnya negara hadir untuk melindungi anak bangsanya. Bukan sebaliknya, negara terlibat dalam pembunuhan rakyatnya. Peristiwa ini bukan semata kasus hukum. Peristiwa ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban juga secara politik. Kilometer 50 tol Japek tak boleh diabaikan. Kilometer 50 tol Japek adalah crimes against humanity. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Eranya Jokowi, Indonesia Buruk Soal Pemberantasan Korupsi & Demokrasi

by Gde Siriana Jakarta FNN - Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot 3 poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara. Jika dilihat sejak 2015-2020, maka score-nya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 score-nya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 score-nya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya, sehingga menyalip posisi Indonesia. Soal pemberantasan korupsi ini, peran dan efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK, yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa halusnya degradasi moral. Dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan score dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021. Indeks Demokrasi Parah Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari The Economist Group yang berbasis di Inggris, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara. Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan score indeks demokrasi selama masa pandemi Covid19. Sangat mungkin selama pandemi, pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik, sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak. Meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang paling memprihatinkan di Indonesia adalah selama lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi trend penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 score-nya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis score-nya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy score-nya harus mencapai 8. Artinya selama lima tahun terakhir, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang ranking nya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020. Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking itu menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia. Melihat trend penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut. Misalnya, tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi. Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen. Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada UU Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Tidak transparanan pembuat kebijakan patut untuk dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif, karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang. Bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold, maka kontes politik yang berbiaya tinggi pasti terjadi. Ujungnya adalah kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas. Penulis adalah Direktur Eksekutuif INFUSS.

Tenggelamnya Kapal Nanggala 402 dan Misteri Angka 8

PERISTIWA tenggelamnya KRI Nanggala-402 di perairan utara Bali menyisakan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak analisa, teori, dugaan, bahkan ramalan tentang penyebab tenggelamnya kapal selam tersebut mulai dari usia kapal yang uzur, torpedo meledak, diserang musuh di bawah laut hingga menjadi tumbal Ratu Laut Selatan. Analisa terus berkembang bahkan secara liar, yang jelas musibah ini menjadi tanggungjawab Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Capres 3 kali gagal ini memiliki angka misterius yakni delapan yang telah lengket pada dirinya. Oleh sebab itu ia sering dipanggil dengan kode Nol Lapan (08). Angka-angka yang muncul dalam musibah ini, jika diutak-atik akan merujuk pada angka 8. Nanggala 402 jika diurai 4 kali 2 akan ketemu 8. Berpenumpang 53 orang, jika diurai 5 ditambah 3 sama dengan 8. Hilang kontak pada 21 April, diurai 2x1x4 juga ketemu 8. Bahkan musibah ini ternyata juga menimpa keluarga Nol Lapan, yakni Letnan Dua (Letda) Laut (T) Rhesa Tri Sigar yang merupakan putra Letkol Godfried Sigar yang juga gugur di medan tugas di Timor Timur pada 4 Juni 1998. Godfried Sigar adalah sepupu Prabowo. Jika ingat kata tenggelam, lamunan kita langsung nyambung ke peristiwa heroik Pilpres 2019, di mana Capres 08 akan setia bersama rakyat. Ia berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat. Pada masa itu frasa "timbul tenggelam" menjadi ungkapan yang enak diucapkan dan mantap diteriakkan. Ia bagaikan oase di padang pasir yang memberikan kesejukan juga solusi di tengah keringnya kepemimpinan nasional. Betapa tidak, saat 4 tahun rakyat Indonesia gerah dipimpin Jokowi, ada satu sosok tegas, lugas, dan ganas melawan kezaliman yang siap mengawal barisan rakyat melakukan perubahan. Prabowo dianggap mengerti suasana batin mayoritas rakyat yang ingin ganti presiden. Kampanyenya memberi harapan, orasinya menggetarkan, kecintaannya terhadap ulama dan umat Islam mengharukan. Emak-emak begitu gandrung menyambut "Sang Fajar" yang datang dari Hambalang. Emak-emak terpesona oleh janji-janji yang memabukkan sehingga membuat masyarakat memiliki secercah harapan. Tak hanya itu, untuk meyakinkan masyarakat, Prabowo berencana membuat surat "wasiat" yang ia sampaikan dalam simposium Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019, di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Selasa, 14 Mei 2019. Dalam kesempatan itu, Prabowo menyebut ada kecurangan masif pada pemilu 2019 yang dilakukan oleh KPU. Prabowo meminta KPU adil, jika tidak adil berarti mereka meneruskan kebohongan dan mengizinkan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Prabowo terus memompa semangat rakyat untuk berjuang melawan kecurangan.Ia terpanggil untuk selalu bersama rakyat karena ia sendiri merasakan penderitaan rakyat. Ia berkeliling Indonesia dan melihat dengan mata kepala sendiri, memegang tangan mereka, merasakan ada getaran-getaran dan harapan mereka akan suatu negara yang adil dan makmur. Prabowo tertantang untuk mewujudkannya. “Karena itu tidak mungkin saya meninggalkan rakyat Indonesia. Saya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat Indonesia,” pekiknya. Publik begitu terharu dan menganggap Prabowo siap mati membela kebenaran. Apa yang terjadi kemudian, setelah dinyatakan kalah, Prabowo malah masuk ke dalam kabinet kerja Jokowi menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Jangan ditanya perasaan masyarakat atas keputusan yang menyakitkan itu. Untuk meredam gejolak masyakarat para penyambung lidah Prabowo mengatakan bahwa masuknya Nol Lapan ke dalam rezim merupakan bagian strategi dari dalam. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, setahun kemudian Sandi sang wakil, membebek mengikuti jejak Prabowo masuk kabinet. Ia didapuk menjadi Menteri Pariwisata yang pada kesempatan pertama diminta memperbaiki toilet oleh Menteri Luhut. Rasa sakit hati rakyat belum juga sembuh, tiba tiba juru bicara Prabowo, Dah Nil Simanjuntak malah menghina umat Islam dengan mengatakan HRS bukan siapa-siapa. Jangankan bikin strategi, mengelola anggaran saja kurang cakap. Lihat saja anggaran Kemenhan yang cukup besar, namun tak memberikan kemajuan berarti. Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino, malah menilai Menteri Pertahanan tidak memberi perhatian yang cukup kepada TNI Angkatan Laut. Postur dan alokasi anggaran Kemenhan yang cukup besar dan terus merangkak naik dari tahun ke tahun, seharusnya mampu mensupport pengembangan alutsista Pertahanan. Dikutip dari Buku Nota Keuangan II Beserta RAPBN TA 2021, anggaran Kemenhan lebih tinggi dari yang pertama kali diusulkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021 yang mencapai Rp 129,3 triliun. Adapun anggaran Kemenhan yang diajukan Jokowi untuk belanja tahun anggaran 2021, meningkat 18,76% dari belanja Kemenhan pada tahun anggaran 2019 yang mencapai Rp 115,35 triliun. Untuk diketahui, anggaran belanja Kemenhan dari tahun 2016 hingga tahun 2021 mengalami fluktuasi. Dari anggaran belanja tahun 2016 ke anggaran belanja tahun 2017 meningkat 19,6%. Kemudian anggaran tahun 2017 ke 2018 turun 9,04%. Sementara anggaran belanja Kemenhan dari tahun 2018 hingga ke tahun 2019 dan 2020 meningkat. "Pada 2016 sebesar Rp 98,1 triliun. Pada 2017 Rp 117,3 triliun, pada 2018 menurun menjadi Rp 106,7 triliun. Kemudian kembali meningkat untuk anggaran tahun 2019 yang sebesar Rp 115,4 triliun. Outlook 2020 Rp 117,9 triliun dan RAPBN 2021 Rp 136,9 triliun," demikian tertera dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun 2021, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (14/8/2020). Artinya, Menhan tidak mampu menerjemahkan visi-misi Presiden di bidang pertahanan. Dapat dilihat dari postur dan alokasi anggaran. Dengan tidak cakapnya mengelola anggaran, kita jadi teringat uang receh berkarung-karung sumbangan rakyat saat Pilpres, seperti apa nasibnya ya? Tenggelamnya Nanggala 402 jelas menampar muka Prabowo. Kali ini adalah tamparan ketiga. Tamparan pertama, terjadi saat Menteri Sosial Eddy Prabowo tertangkap KPK dalam suap ekspor benih lobster, tamparan kedua adanya keterlibatan anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Rahmat Muhajirin yang diduga terlibat pencurian 21,5 ton solar dari Single Point Mooring (SPM) milik PT Pertamina di perairan Tuban, Jawa Timur. Rahmat kemudian dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Sungguh aneh, sudah tiga kali kena tampar toh Prabowo masih tampak happy saja. Ia asyik menenggelamkan diri dan tak pernah berupaya untuk timbul. Padahal timbul-tenggelam itu sesungguhnya menggelitik dan asyik. Entah malu atau lidahnya kelu. Bisa jadi kelu terkena mubahallah para ulama. Ia kelu untuk sekadar kirim bela sungkawa 6 laskar FPI yang dibunuh di Km 50 tol Jakarta Cikampek. Ia kelu untuk sekadar bersimpati pada Habib Rizieq Shihab (HRS) yang bertubi-tubi dimusuhi oleh polisi dan jaksa di sidang “Pengadilan Prokes” yang lucunya melebihi Srimulat. Ada berapa juta manusia Indonesia yang melakukan tindakan yang sama dengan apa yang dilakukan HRS. Tetapi mengapa hanya Maulid Nabi, perkawinan putri HRS, dan hasil test swab yang diadili. Bahkan rumah sakit Ummi tempat HRS melakukan test, diobok-obok dan diintimidasi. Direkturnya diancam, karyawannya ditekan, satpamnya dikondisikan. Tenggelamnya kapal selam Nanggala 402 hanya salah satu dari banyaknya kejadian luar biasa di republik ini. Setidaknya ada 16 musibah kecelakaan alutsita di era Jokowi dari musibah jatuhnya helikopter hingga tenggelamnya kapal selam. Sebelumnya di luar alutsita ada peristiwa jatuhnya pesawat terbang, meledaknya kilang minyak Balongan, peristiwa meledaknya bom di Makassar dan Mabes Polri, mana kelanjutannya? Peristiwa-peristiwa itu menguap begitu saja. Seorang pemimpin yang baik, tak cukup hanya berucap bela sungkawa dan kirim karangan bunga. Ia harus tegas mengatakan akan usut sampai tuntas. Jika tidak, ia harus mundur. Ingat, jika alam sudah berbicara maka segala upaya, ikhtiar, rekayasa, dan skenario manusia tak ada gunanya. (SWS).

Seandainya Nanggala 402 Dilengkapi Sekoci Seperti HDW 209 Milik India

by Asyari Usman Medan, FNN - Kapal selam HDW Tipe 209 buatan Jerman juga dipakai oleh angkatan laut India. Tetapi, ada satu perbedaan penting antara HDW 209 milik Indonesia dengan yang dipakai India. Diperkirakan, perbedaan krusial itu mungkin saja bisa menyelamatkan 53 personel yang berada di Nanggala 402. Apakah perbedaan itu? Menurut media online India, The Print, HDW 209 yang dioperasikan India dilengkapi semacam sekoci (pod) penyelamat ketika terjadi krisis. Sekoci itu “detachable” (bisa dilepas) dari induknya atau badan kapal selam kapan saja perlu dilakukan. Dan sekoci itu bisa membawa 50-an awak sebagaimana jumlah personel yang berada di Nanggala 402. Kelima kapal selam (kasel) HDW 209 Indonesia tidak dilengkapi fitur ini. Hanya milik India saja yang dilengkapi sekoci penyelamat itu. KRI Nanggala 402 sudah pernah beberapa kali di-upgrade. Terakhir dilakukan pada 2012. Waktu itu, sebagian struktur rangkanya diganti. Sedang yang termasuk di-upgrade adalah baling-baling, sistem sonar dan sistem persenjataan. Jerman sendiri tidak menggunakan HDW Tipe 209. Tapi, cukup sukses menjualnya ke negara-negara lain. Jenis ini merupakan kasel non-nuklir yang paling laris di dunia. Seandainya KRI Nanggala 402 itu dilengkapi dengan sekoci darurat seperti yang ada di 5 kasel HDW 209 milik India, barangkali saja ada cerita dramatis tentang perjuangan untuk menyelamatkan diri. Boleh jadi juga ada kejutan heroik yang mereka lakukan. Namun, Yang Maha Kuasa telah menentukan takdir Nanggala 402 dan 53 awaknya.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.