ALL CATEGORY

Target Israel adalah Ethnic Cleansing di Jerusalem

By Asyari Usman Medan, FNN - Pemimpin Yahudi zionis, Benjamin Netanyahu, sedang melakukan pembersihan suku atau “ethnic cleansing” (EC) di Jerusalem. Tujuannya, agar kota yang dulunya mayoritas dihuni oleh warga Arab-Muslim, hanya akan dihuni oleh orang-orang Yahudi –khususnya Yahudi zionis. Jerusalem mau dijadikan “pure Jewish city”. Murni kota Yahudi. Tidak ada lagi etnis lain, khususnya etnis Arab. Anggota legislatif Palestina, Dr Hanan Ashrawi, dan para pengamat serta wartawan Palestina melihat taktik pemerintah ekstremis-sadis Netanyahu jelas ke arah EC. Secara bertahap, sedikit demi sedikit, Netanyahu merampas properti (tanah dan rumah) warga Arab. Mereka diusir paksa. Belakangan ini dengan teror serangan udara. Masyarakat internasional tak berkutik. Amerika Serikat (AS) diam saja. Begitu juga Uni Eropa. Bahkan membiarkan Netanyahu membunuhi warga Arab sejak sebelum Ramadhan hingga akhir bulan suci baru lalu. Semua mereka bisa “memahami” tindakan kejam Israel. Mengapa Israel zionis melakukan EC? Sebab, dalam pandangan mereka, satu-satunya cara untuk menjamin keamanan dan ketenteraman warga Yahudi di Jerusalem, atau umumnya di seluruh pelosok yang dirampas dari Palestina, adalah dengan menyingkirkan warga Arab. Mengapa Israel berani melakukan itu? Karena mereka didukung oleh AS. Sudah sejak 14 Mei 2018, tepat 70 tahun permulaan perampasan tanah Palestina oleh Yahudi zionis, AS menunjukkan dukungan simbolis terhadap EC. Yaitu, dengan memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Jerusalem. Mungkinkah EC sukses? Tergantung konstelasi politik domestik di Israel dan sikap negara-negara pelindung mereka. Di dalam negeri, masih ada kelompok Yahudi yang menentang EC. Tetapi, suara mereka sangat rentan. Dan Netanyahu tahu bagaimana cara membungkam kelompok Yahudi yang menentang itu. Yaitu, memprovokasi warga Arab-Muslim di Jerusalem melalui perampasan rumah-tanah mereka dengan cara teror. Bagaimana dengan konstelasi internasional? Dijamin 100% mendukung Israel zionis merampas tanah-rumah warga Arab. AS, Inggris, Prancis selalu memihak Israel. Perampasan pasti akan dilawan. Ketika perlawanan berskalasi, pemerintah Israel tinggal menunjukkan kepada kelompok Yahudi penentang EC bahwa orang Arab-Muslim pasti akan membuat keonaran terus. Dan cara ini selalu efektif. Sebagai contoh, sekarang ini pemimpin oposisi, Yair Lapid, mendukung Netanyahu dalam menghadapi Hamas. Sebelumnya, Lapid disebut-sebut berpeluang membentuk pemerintahan setelah hasil pemilu legislatif Israel berakhir tanpa partai mayoritas. Dalam perang dengan Hamas saat ini, Netanyahu bersumpah akan melanjutkan gempuran sampai tidak lagi diperlukan. Taktik ini sangat manjur. Netanyahu dinilai bisa dipercaya melindungi rakyat Israel. Begitulah seterusnya. Netanyahu atau pemimpin ekstremis lainnya akan selalu memanfaatkan provokasi sebagai cara untuk mencapai EC di Jerusalem. Hampir pasti, setelah konflik yang ada ini mereda, mereka akan kembali merampas rumah-tanah warga Arab-Muslim. Begitu terjadi kerusuhan akibat perampasan, Israel akan gunakan serangan militer berkekuatan penuh dengan dalih untuk melumpuhkan Hamas. Jadi, polanya adalah: provokasi sambil rampas rumah Arab-Muslim, Begitu terusir akan muncul perlawanan. Hamas ikut melawan. Setelah Hamas menyerang, pemerintah ekstremis Israel membalas. Netanyahu atau siapa pun yang berhaluan kejam, akan didukung. Inilah cara merampas sambil mempertahankan kekuasaan. Berapa lama Yahudi zionis bisa merampungkan EC di Jerusalem? Dari 920,000 total penduduk kota ini, hampir 350,000 warga Arab (37%). Relatif cukup besar. Kelihatannya, perlu waktu panjang untuk mengusir semua warga Arab dari kota itu. Mungkin perlu ratusan kali lagi perang dengan Hamas sebelum EC tuntas. Atau, tidak akan pernah tuntas. Bisa saja ada skenario tak terduga yang akan terjadi.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Saatnya Raksasa Digital Exit, Saatnya Kita Mandiri

Memandirikan ekonomi masyarakat dengan platform community digital 4.0 untuk membentuk society 5.0 yang berdaulat. By Agus M Maksum Jakarta, FNN - Era Industri Digital 4.0 telah menjadi life style warga masyarakat kita, baik tua (kaum baby boomers/ generasi kolonial) maupun mudanya (kaum milenial) apalagi generasi Z yang lahir setelah tahun 2000-an. Bahkan tren ini segera akan menciptakan sebuah masyarakat yang disebut society 5.0, sebuah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada teknologi digital. Sementara sebenarnya Industri 4.0 yang sekarang kita nikmati ini masih pada fase semu. Ekonomi sebenarnya masih di-drive oleh perusahaan startup digital raksasa, namun perusahaan raksasa tersebut masih dalam masa bakar uang, masih belum mendapatkan profit dari transaksi jual beli atau jual jasanya, mereka bahkan masih merugi. Artinya besarnya perusahaan-perusahaan raksasa digital tersebut masih ditopang oleh masuknya uang dari Investor untuk dibakar guna mempertahankan dan menambah user, karena user sebenarnya masih labil, user menggunakan aplikasi bukan karena terpenuhi kebutuhan dasarnya tapi karena promo-promo yang menggila. Namun ketika para raksasa digital itu akan sampai pada strategi exitnya, maka menjadi pertanyaan besar, apakah mereka masih akan exist dengan strategi bakar uangnya ? Apakah mereka masih akan memberikan discount, harga murah dan berbagai kemudahan lainnya, atau justru mereka akan terjebak pada layanan yang menjadi mahal dan mencekik, karena kini saatnya mereka harus mengembalikan uang ratusan trilyun rupiah yang telah dibakar selama ini. Berita terakhir yang kita baca misalnya Gojek status Decacon valuasi 140 T merger dengan Tokopedia valuasi 98T menjadi GOTO, perusahaan GOTO hasil merger segera akan IPO dengan target memperoleh uang 580 T dari lantai bursa. Sangat mudah dibaca bahwa investor akan mencari untung dari profitiking saham perdana, bukan dari profit putaran bisnis atas jasa jual barang dan jasa dari aplikasinya. Saya khawatir target IPO GOTO yang sangat tinggi sebesar 580 T adalah strategi exit para mafia investor untuk mengembalikan uang yang telah dibakar dari dua raksasa digital Gojek dan Tokopedia sebanyak 240 T. Uang yang dibakar sebanyak 240 T itulah yang telah menjadi “narkoba” yang menjadikan kelompok milenial menjadi addict/ kecanduan berbagai layanan Gojek dan Tokopedia mulai dari cashback, discount, harga murah, iklan gratis, free ongkir dll, dan itu semua memakan uang untuk dibakar 240 T. Lalu dari mana investor balik modal? Merger menjadi GOTO lalu IPO di bursa saham dan mentarget penjualan saham 580 T itulah jawabnya! Kalau itu tercapai maka investor akan mendapatkan untung 340 T dari IPO. Sementara valuasi perusahaan digital adalah user, bila user sudah tidak mendapatkan lagi cashback, discount, free ongkir dan berbagai subsidi dari bakar uang maka apakah user masih loyal? Bagaimana kalau muncul aplikasi sejenis yang sedang bakar uang, apakah user tidak akan berpindah ke lain hati, sebagaimana berpindahnya user BBM messenger ke WA sehingga RIM perusahaan penyelenggara BBM nyungsep! Pertanyaan besarnya, apakah keuntungan 340 T dari IPO akankah dibakar lagi untuk mempertahankan user yang menjadi dasar valuasi perusahaan? Silakan dipikir sendiri. Bukankah ini potensial menjadi Buble Ekonomi seperti di peringatkan oleh Mentri Keuangan kita Ibu Sri Mulyani, Digital Power Concentration akan mengarah pada Buble ekonomi yang siap memicu krisis ekonomi. Lalu bagaiamana kita mempersiapkan diri menghadapi strategi exit para pemain raksasa digital, bila memang mereka exit. Kita harus ciptakan Platform Digital 4.0 yang loyalitas usernya bukan dari bakar uang. StartUp Digital yang user engagement/ loyalitas usernya didrive dari gerakan sosial dari ikatan komunitas saling membutuhkan, bukan dari cara instan bakar uang yang berpotensi menimbulkan bubble ekonomi. Kita harus membangun kesadaran masyarakat untuk membangun gerakan ekonomi komunitas dengan Teknologi Digital 4.0 dan menciptakan Platform Digital 4.0 untuk menjadikan gerakan itu berjalan mengikuti life style yang sudah terbentuk. Kota seperti Surabaya dan kota besar lainnya bisa memulai ini, bisa kita mulai dengan pemberdayaan komunitas yang ada di kota, sehebat apapun produk korporat dia butuh market/pasar, pasar adalah anggota komunitas. Bila anggota komunitas saling berkomitmen untuk saling memenuhi kebutuhan antar anggota melalui platform digital dalam komunitas maka saling memenuhi kebutuhan anggota komunitas bisa menjadi energi pengikat untuk kemandirian komunitas pada hal mendasar misalnya sembako dan kebutuhan sehari hari misalnya beras, gula,minyak, sabun cuci, kacang goreng, bumbu dapur, camilan produk rumah tangga dsbnya. Membangun kesadaran ekonomi komunitas bisa kita mulai dari komunitas-komunitas yang ada di Surabaya misalnya kelurahan RT/ RW, ibu-ibu arisan dll. Community sudah ada dan mereka punya modal leadership yang kuat untuk dibangun kesadaran kemandirian di mulai dari kebutuhan sembako dan kebutuhan harian. Bila masing--masing pemimpin membangun kesadaran kolektif dalam lingkup komunitas di wilayahnya untuk bisa saling memenuhi kebutuhan antar anggota komunitas, maka itu sudah menjadi pengganti bakar uang untuk masing-masing anggota loyal menggunakan platform digital yang dipakai oleh masing-masing komunitas. Produk kebutuhan rumah tangga kita sehari- hari, sangat bisa diisi, dipenuhi, dan didominasi oleh produk rumahan industri skala rumah tangga, misalnya sabun cuci, sabun mandi, odol, resep bumbu-bumbu dapur yang sehat hasil racikan sendiri dengan packing yang proper untuk didelivery, camilan dan makanan ringan seperti kacang goreng , kacang telur, kacang mede, dan camilan sehat, semua itu adalah produk rumahan yang perputarannya cukup besar, setiap anggota community bisa punya produk yang tersedia dengan mudah di marketplace community untuk bisa saling terhubung dan bisa dipesan antar-anggota community. Perbedaan keahlian masing-masing rumah tangga dalam memproduksi barang akan menimbulkan perbedaan kebutuhan untuk saling memenuhi dengan anggota community lainnya, terjadilah proses transaksi tukar menukar yang disebut jual beli yang dibangun dengan kesadaran bersama untuk saling memenuhi kebutuhan sesama anggota community. Dan inilah yang perlu kita siapkan sebagai buffer atau pengganti bila para raksasa digital telah habis masa bakar uangnya. Maka jangan sampai kehidupan kita tercekik oleh layanan yang awalnya murah banyak discount menjadi layanan yang mencekik, belajarlah dari para driver ojeg yang awalnya mendapatkan subsidi dari bakar uang menjadi sekarang harus setor pada perusahaan Aplikasi. Platform digital 4.0 berbasis ekonomi untuk kesejahteraan bersama. Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu monopoli dagang korporat asing harus di imbangi oleh kesadaran community yang didorong oleh pemimpin lokal yang punya visi kuat, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai secara bersama, Kalau tidak, maka tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang adalah korporat asing yang powerful modal dan berkuasa dan rakyat yang banyak akan ditindasnya. Penulis adalah pelaku Economic Community Platform Digital 4.0

Hadiah Lebaran KPK Yang Menyakitkan!

Oleh : Ubedilah Badrun Jakarta, FNN - Dua puluh tiga tahun lalu, pada Mei 1998, nyawa telah berguguran, darah dan air mata telah ditumpahkan. Itu terjadi karena spirit semata-mata untuk memperbaiki negeri ini agar korupsi diberantas tuntas. Karenanya institusi yang digagas pada saat itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari ini, persis dua hari sebelum lebaran kita semua anak negeri ini dikejutkan dengan pengumuman bahwa Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK diberhentikan. Ini menyakitkan hati, bak ditusuk sembilu. Pasalnya mereka adalah para penyidik yang memiliki integritas, diberhentikan karena dinilai tidak lulus tes wawasan kebangsaan dengan model tes yang bermasalah. Penuh nuansa terencana untuk menyingkirkan Novel Baswedan dan kawan-kawan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Narasi empirik dari Lord Acton (1833-1902) itu kini diabaikan. Parahnya yang mengabaikan itu justru KPK. Memberhentikan penyidik berintegritas sama saja membiarkan kekuasaan yang cenderung korup. Jelang lebaran rakyat mestinya bahagia. Tetapi tahun ini rakyat bertubi-tubi disakiti. Dari PHK, THR yang berkurang bahkan belum dibayar, mudik yang dilarang, hingga penyidik KPK berintegritas yang diberhentikan. Menyakitkan! Rakyat sudah sakit hati sejak UU KPK disahkan meski ditolak mahasiswa dan rakyat pada 2019 lalu. UU KPK versi revisi itu kini menunjukkan taringnya untuk menggerogoti kaki-kaki pemberantas korupsi di KPK. Ini terjadi justru di tengah kuasa yang korup. Sepekan lalu sejumlah profesor mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga ditolak. Kini puluhan penyidik KPK yang berintegritas telah tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang ngaco itu. KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa reformasi, kini lunglai terpuruk di titik nadir. Penyuap KPU Harun Masiku tak kunjung ditangkap. Bahkan koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu. Ya, lebaran tahun ini benar-benar menyakitkan. Sebagai akademisi saya bertanya-tanya, mengapa nurani dan nalar sehat KPK ini membatu. Keras kepala dan keras hati mengabaikan aspirasi rakyat. Mungkin KPK sudah jadi hamba oligarki. Apa mereka lupa bahwa milyaran bahkan triliunan rupiah APBN untuk membiayai KPK sejak berdirinya itu berasal dari pajak rakyat yang berasal dari keringat, peluh dan air mata rakyat? Rakyat tidak ingin mendapat balas budi triliunan rupiah, tetapi rakyat hanya ingin jeritan hatinya yang terdalam didengar KPK, jangan teruskan upaya melemahkan pemberantasan korupsi ini. Tetapi KPK dan elit politik republik ini berkali-kali mengabaikan jeritan rakyat. Mereka para komisioner apa buta mata hatinya bahwa saat koruptor itu beraksi menjarah uang rakyat pada saat yang sama rakyat sedang kelaparan mengais rezeki ditengah pandemi. Jika begini terus maunya penguasa, jangan kaget jika rakyat pada waktunya akan bergerak mengeksplisitkan luka hatinya yang terdalam. Karena derita lapar diberi hadiah lebaran yang menyakitkan! Ubedilah Badrun, Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Selamat Jalan Ustaz Zul Kepergianmu Penuh Tanda Husnul Khatimah

Nah, menurut Tengku Zulkarnain, belum satu jam meninggal dunia, mayatnya sudah mengeluarkan bau busuk. Warga ribut. Saat mau dimandikan, bau busuknya semakin menyenğat. Lama-lama warga tidak tahan dengan bau busuk yang bersumber dari mayat itu. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - SENIN, 10 Mei 2021 sore, kabar duka itu datang dari Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau. Ustaz Tengku Zulkarnain berpulang ke Rahmatullah dengan tenang, setelah delapan hari berjuang melawan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang menyerangnya. Ia.masuk rumah sakit tanggal 2 Mei 2021, dan menghembuskan nafas terakhir bertepatan dengan tanggal 28 Ramadhan1442 Hijiriah. Sang ustaz yang sering dipanggil Abang itu meninggal dunia pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Berdasarkan kabar dari pihak rumah sakit, Ustaz Zul atau Bang Zul pergi dengan tenang menghadap Sang Khalik, sesaat azan Maghrib berkumandang di wilayah Pekanbaru. Berbagai tanda kemuliaan di saat kepergianmu Allah perlihatkan. Allah tunjukkan engkau adalah orang baik, kepergianmu adalah husnul khatimah. Meningal dunia dalam usia 57 tahun, Tengku Zulkarnain adalah putra Melayu, kelahiran Medan 14 Agustus 1963. Banyak kenangan yang akan dikenang umat, khususnya penggemar ceramahmu. Saat engkau di podium, ceramahmu berapi-api. Engkau bagaikan singa galak yang siap menerkam, bagaikan harimau Sumatera yang tidak mau kalah dengan musuh-musuh Islam. Maka, wajarlah Ustaz Abdul Somad menuliskan, "Engkau tiada takut pada siapa pun, kecuali takut hanya pada Allah." Berbagai kenangan itu juga yang saya coba ingat kembali, saat kita bertemu di Masjid Raya Al-Hakim, di Jalan HOS Tjokroaminoto, Jakarta Pusat, sebelum.masjid itu pindah ke lingkungan Taman Menteng yang lokasinya masih berdekatan. Sudah lama mengenalnya. Perjumpaan kita terputus, ketika saya pindah tugas ke Bandung tahun 2011. Perjumpaan saya terakhir, tahun 2019, seusai engkau mengisi ceramah di Masjid Raya Bintaro, yang berlokasi di Sektor V. Perjumpaan dan kenalan saya dengan Bang Zul, tidak lain karena posisi kantor Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung Biro Jakarta yang berada di Jalan Indramayu Nomor 29 Menteng, Jakarta Pusat. Rumah yang dulu ditempeli tulisan Wisma Pikiran Rakyat itu, kini sudah dijual. Demikian juga Masjid Al-Hakim yang sejuk dengan AC-nya, yang awalnya berdiri pada dua rumah toko (ruko) dengan tiga lantai, kini kembali ke fungsi semula, menjadi area bisnis dan masjid dipindah ke sebuah sudut di Taman Menteng. Karena jarak kantor saya dan masjid itulah saya kenal dan sering berbincang dengan Bang Zul. Saya seringkali meminta nasihat agama, terutama setelah shalat Ashar atau Maghrib, jika dalam keadaan waktu memungkinkan. Jika bulan Ramadhan, Ustaz Zul akan mendapatkan jadwal kuliah tujuh menit (kultum) secara rutin. Saya termasuk yang "memelototi" jadwalnya, karena suka dengan ceramahnya yang terang-benderang, tanpa tedeng aling-aling, dan tanpa rasa takut. Mendengarkan almarhum berceramah, rasanya tidak membosankan. Dia merangkai kata demi kata yang indah dan tertata dengan bagus, layaknya orator yang mampu membangkitkan semangat pendengarnya. Ketika ceramah diiringi dengan bacaan Al Qur'an, ia mengalunkannya bagaikan qori yang membuat hati bergetar. Akan tetapi, di balik kemampuannya mengumandangkan Qalam Ilahi dengan suara merdu, ia juga mampu membawakan lagu-lagu agama (gambus dan qasidah) yang menyenangkan, sehingga suasana menjadi cair. Maklum, sebelum menjadi penceramah, ia senang bermain musik, dan gitar menjadi alat yang disukainya. Bang Zul. Saya mengenalmu sudah lama. Jauh sebelum engkau menjadi terkenal dan tersohor. Jauh sebelum engkau dicaci-maki oleh orang-orang bayaran atau buzzerRp, jauh sebelum engkau dihadang 'kaum' Iblis saat berkunjung untuk dakwah ke Kalimantan. Saya masih ingat banyak pesanmu, ketika saya perkenalkan sebagai wartawan. Abang bilang, tugas wartawan itu hampir sama dengan pendakwah. Juga ketika Abang jelaskan tentang zakat, terutama zakat fitrah dan zakat harta yang menurutmu, itu adalah daki dan kotoran dari harta yang dimiliki seseorang. Suatu ketika, dalam bulan Ramadan, sesuai shalat Ashar, saya ingat betul akan cerita yang Abang sampaikan tentang zakat itu. Intinya, "Jangan main-main dengan zakat, terutama para ustaz yang seringkali menjadi petugas zakat." Waktu itu Abang bercerita tentang ustaz yang menjadi petugas zakat di lingkungan tinggal di Medan. Ceritanya, di lingkungan masjid Abang tinggal sudah ada panitia zakat, tetapi si ustaz itu masih mendatangi warga, meminta zakat, dan yang zakat yang diterima/dibayar warga, tidak disampaikan ke panitia zakat. Banyak warga yang menyampaikannya ke Abang. Menurut cerita Zulkarnain, setelah mengetahui apa yang dilakukan ustaz itu, ia langsung menasihatinya. "Saya katakan, sudah ada panitia zakat, tidak boleh lagi menerima, meminta zakat ke warga. Kalaupun ada yang memberikan, sampaikan dan kumpulkan di panitia zakat. Tidak baik dan tidak boleh seorang ustaz menerima dan mengumpulkan zakat untuk kantong sendiri, karena sudah ada panitia zakat," demikian Bang Zul menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di lingkungannya itu. Sang ustaz yang mendapatkan nasihat itu, bukan.mengakui kesalahannya. Ia malah berdalih melakukannya karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Mendengar hal itu, Bang Zul menasihati dengan mengatakan, "Dagang kau, di pasar!" Singkat cerita, tidak lama setelah ia menasihatinya, ustaz yang doyan zakat itu mati. Zulkarnain yang mendapatkan kabar itu pun bersedih dan mengucapkkan, "Innalillahi wainna ilaihi roji'un." Nah, menurut Tengku Zulkarnain, belum satu jam meninggal dunia, mayatnya sudah mengeluarkan bau busuk. Warga.ribut. Saat mau dimandikan, bau busuknya semakin menyenğat. Lama-lama warga tidak tahan dengan bau busuk yang bersumber dari mayat itu. Juga setelah dikafani dan dishalatkan, baunya semakin menjadi-jadi. Warga semakin ribut, dan mulai.mengaait-ngaitkan dengan kelakuan almarhum.yang semasa hidupnya sering memakan zakat yang bukan haknya. "Makanya, kalau menjadi petugas zakat, hati-hati. Apalagi yang menjadi petugas itu disebut ustaz, yang mestinya lebih tahu ilmu tentang zakat. Kalau sudah ada panitia zakat, walau pun orang menyerahkan zakat ke seorang ustaz di rumahnya, ya serahkan zakat itu ke panitia zakat yang sudah dibentuk. Mau yang menyerahkan zakat mengatakan, "buat ustaz atau tidak" tetap diserahkan ke panitia zakat. Sebab, sebagai petugas zakat, seorang ustaz sudah mendapatkan bagian zakat (sesuai asnabnya) ," katanya. Ya, begitulah sang ustaz yang tidak keberatan dipanggil Abang dan selalu berusaha menghindar jamaah mencium tangannya. Ustaz yang tidak pernah dipanggil kiai, meski level ilmunya sama dengan kiai. Kita kehilangan seorang ulama lurus, seorang guru yang patut digugu dan ditiru. Semua kehilanganmu. Engkau pergi di akhir bulan suci, dan pergi dalam keadaan syahid, karena meninggal akibat wabah corona dan dalam perjalanan dakwah dan syiar Islam. Selamat jalan ustaz, selamat jalan Bang Zul. Saya cemburu kepergianmu yang penuh dengan tanda husnul khatimah. *** Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.

Babi Panggang dan Wawasan Selangkangan

JOROK. Itulah kesan pertama kali menyaksikan pentas politik nasional saat ini. Di ujung bulan Ramadan, bulan penuh ampunan yang seharusnya dimanfaatkan untuk mawas dan tahu diri atas kelemahannya, malah dipakai untuk membuat episode kegaduhan demi kegaduhan. Bulan yang seharusnya bisa dipakai untuk memupuk kebaikan, merintis rekonsiliasi, dan menyatukan kebersamaan, justru sibuk membahas babi dan selangkangan. Kegaduhan pertama berkaitan dengan soal-soal pertanyaan untuk pegawai KPK menyangkut wawasan kebangsaan. Tetapi pertanyaan yang diajukan bertabur tentang isu seks yang tentu saja akan menyeret ke masalah selangkangan. Belum tuntas masalah seks yang sangat asasi, kegaduhan kembali diberondongkan dengan isu lain yakni babi panggang. Babi - diolah dengan cara apapun - tetaplah babi. Mau dipanggang, disate atau digoreng crispy, tetap saja babi. Binatang paling jorok yang suka makan kotorannya sendiri itu telah diharamkan umat Islam di seluruh dunia. Pengharamannya sudah final tanpa ada celah amandemen. Babi Panggang Ambawang Kalimantan Barat atau Bipang adalah salah satu menu yang ditawarkan Presiden untuk menjadi souvenir Hari Raya Idul Fitri. Bipang menjadi pembicaraan serius karena Presiden Jokowi salah fokus. Ia lupa saat berpidato tengah dalam situasi bulan puasa dan larangan mudik. Maksud hati ingin menjinakkan umat Islam agar rela tidak mudik, yang terjadi justru salah ucap yang menimbulkan kebisingan dan keruwetan. Publik sontak marah, seorang presiden muslim tidak paham halal haramnya sebuah makanan. Bisa jadi presiden tidak salah, sebab kalau dilihat dalam tayangan video resmi, presiden membaca script. Jadi bukan pidato tanpa teks dan penuh improvisasi. Apalagi, pidato tanpa teks, bukan budaya Jokowi. Oleh sebab itu harus ditelusuri siapa yang membuat script karena gara-gara pidato itu, muka presiden telah tertampar dengan sempurna. Penulis naskah harus menerima ganjaran setimpal. Di sekitar istana dan kabinet tampaknya banyak penyusup, sebab bukan kali ini saja presiden dipermalukan. Jika dibiarkan akan sangat berbahaya, sebab presiden akan selalu menjadi bahan gunjingan dan olok-olok karena kesalahan yang tidak perlu. Presiden saat ini telah terjebak dalam skenario tak terlihat. Ada organisasi tanpa bentuk yang memegang remote istana. Mereka bisa memainkan presiden kapan saja. Mereka bisa memanfaatkan presiden untuk tujuan apa saja. Tentu saja presiden tidak sadar, karena pekerjaannya terlalu banyak, bebannya terlalu berat, dan janji-janjinya terlampau muluk. Ia tak punya waktu lagi untuk mengecek apakah pidatonya menyakiti umat, mengoyak persatuan, atau melecehan agama. Ia juga tak berdaya membedakan apakah itu Bipang, Jipang atau Rengginang. Lagi-lagi karena beban terlampau berat. Bisa juga radar kesadarannya tak sensitif lagi. Keseleo lidah presiden tentang babi panggang serta merta dimanfaatkan oleh kaum probabi untuk memasarkan dagangannya. Babi guling ditusuk dari selangkangan hingga mulut akhirnya menjadi tontonan yang wajar, namun bagi yang antibabi tontonan ini jelas menjijikkan. Jangankan melihat wujud babi, mendengar kata babi saja sudah mual karena sejak kecil umat Islam telah mendapatkan doktrin tentang jorok dan bahayanya daging babi. Upaya memasyarakatkan babi dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Penyusupan daging babi ke daging sapi sering dijumpai di pasar pasar tradisional. Maklum produksi babi di Indonesia mengalami surplus. Para peternak harus kreatif memasarkan piaraan mereka. Kampanye kuliner babi panggang di negeri mayoritas antibabi adalah upaya terang-terangan memasyarakatkan babi. Eksploitasi tentang babi ini begitu masif, di koran, televisi dan medsos masuk ke ruang ruang privat di kamar tidur dan ruang makan. Ini bentuk teror tersendiri bagi umat Islam yang meyakini daging babi mengandung parasit trichinella spiralis atau roundworm, taenia solium atau tapeworm, dan toxoplasma gondii yang merusak kesehatan. Negara demokrasi yang baik adalah menghormati mayoritas dan menempatkan minoritas pada porsinya. Mengeksploitasi minoritas selain tidak elok, jelas berlebihan. Pemakan babi adalah minoritas, tidak elok “Bapak Segala Agama” mengkampanyekan makan babi di tengah mayoritas yang sedang berpuasa menahan hawa nafsu dan hawa-hawa yang lain di ujung ibadahnya. Tak berdasar pula memaksa masyarakat mayoritas antibabi untuk probabi. Sangat tidak cerdas memelintir ucapan presiden yang sudah jelas, lugas, dan tegas menjadi pernyataan yang jauh dari esensi. Sungguh tak bermoral, frasa Bipang diklaim sebagai Jipang agar tidak menimbulkan kemarahan umat. Akui salah, minta maaf, lalu selesai. Kebiasaan buruk ngeles harus enyah dari negeri Pancasila. Lalu tentang selangkangan yang juga tak kalah heboh. Di KPK muncul soal ujian bagi karyawannya yang akan berubah status menjadi Aparat Sipil Negara. Pertanyaan yang diajukan bukan soal integritas pemberantasan korupsi, tetapi soal remeh-temeh yang tak ada hubungannya dengan marwah lembaga anti rasuah tersebut. Entah dapat bisikan dari mana, ada beberapa pertanyaan tentang bersedia jadi istri kedua atau tidak. Mengapa mengidolakan Aa Gym yang berpoligami, apakah bersedia lepas jilbab, ditanya pendapat tentang LGBTQ, ditanya pendapat soal free sex, kalau threesome bagaimana, kalau orgy bagaimana?' Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang sangat dangkal dan kasar, jauh dari kepantasan. Kasus selangkangan ini, sebelumnya menimpa Munarman yang “diteroriskan” oleh polisi. Ia digarap secara radikal oleh buzzer bayaran dengan isu check ini di hotel bersama perempuan lain. Faktanya, Munarman memang menginap bersama istri sahnya. Sebelum Munarman, Habib Riszieq Shihab terlebih dulu digarap dengan isu serupa, yakni chat mesum HRS dengan seorang wanita. Belakangan diketahui chat itu bikinan buzzer. Tak hanya itu, polisi tak menemukan data dan fakta tentang tuduhan itu, hingga akhirnya kasus dihentikan penyidikannya. Mengapa rezim ini konsen sekali dengan selangkangan, karena ini isu sensitif yang punya daya bendung sangat tinggi. Dengan isu selangkangan, publik akan melupakan masalah utang negara, proyek mangkrak, tsunami TKA Cina, korupsi, pembunuhan laskar KM 50 Cikampek, dan ketidakadilan hukum, kemiskinan, dan pembangkangan sosial. Buzzer akan menutup rapat-rapat kegagalannya dan mengekspoitasi sedikit keberhasilannya. Begitulah para buzzer membabibuta menolong junjungannya dari keteledoran. Mereka akan serempak menyalak, menggonggong, dan mengaum manakala junjungannya salah - dari salah ucap, salah kaprah hingga salah fatal. Junjungan tidak boleh salah, apapun risikonya. Maha benar junjungan dengan segala keterbatasannya. Sungguh era fasis ini, lebih baik segera diakhiri.

“Poros Serpong” Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-2)

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konsen dari para tokoh seperti La Nyala, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli yang akhirnya menjadi magnet kohesi. Berikutnya lalu menimbulkan gelombang keterpanggilan pada frekuensi yang sama. Yaitu, isu menyelamatkan demokrasi yang kini nyaris mati kering berdiri. Pilar-pilar demokrasi telah lapuk. Mati berdiri, karena tidak lagi punya daya dalam pelibatan publik di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Matinya pilar demokrasi itu dapat dilihat dari aspek politik, hukum, ekonomi, sampai soal pemerintahan daerah. Yang tersisa dari kehidupan demokrasi kita hanya bayangan semu. Simbol dan aksesori yang tidak lagi memiliki ruh demokrasi. Peristiwa paling dekat yang menyedihkan dalam sorotan publik adalah pelemahan, pembusukan dan penghancuran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari dalam. KPK adalah satu diantara produk reformasi ‘98. Buah dari perjuangan panjang untuk membersihkan negeri dari anasir-anasir keruntuhan oleh kleptomania, oligarki dan konglomerat hitam yang berlakon dalam aneka peran kenegaraan. Peblik negeri ini dibuat terkaget-kabet. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mewakafkan dirinya di lembaga anti rasuah tersebut berpuluh tahun, namun tiba-tiba saja akan disingkirkan atas nama tes wawasan kebangsaan? Kok ada masih yang meragukan kesetiaaan dan jiwa merah putih anak-anak negeri yang hebat, berkelas dan to markotop dalam hala pemberantasan korupsi tersebut? Padahal baru beberapa bulan kemarin mencokok dua menteri anggota kabinet Jokowi, Edhy Prabowo, Juliari Peter Batubara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Senin kemarin mereka kembali menangkap Bupati Nganjuk dan OTT. Radar nurani kita menangkap, ada bongkahan kegeraman yang menggunung. Bergudang kemarahan dan kekecewaan publik menyaksikan semua drama politik yang picik dan primitif terjadi di depan mata dengan telanjang. Peristiwa-peristiwa ini justru terlihat ada dalam rangkaian cerita dan skenario panjang dan rapih. Kemunduran demokrasi, bahkan terjadi secara konstitusional. Konsiderasi atas sebagai stempel lembaga perwakilan rakyat. Hal itu terang benderang tercermin dari beberapa pembentukan regulasi. Seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bukan saja tidak mencerminkan prinsip antikorupsi. Namun juga mengabaikan partisipasi publik. Padahal, ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses legislasi. UU KPK mempersempit ruang gerak KPK. UU Minerba melanggengkan pengerukan kekayaan sumber daya alam atas nama investasi. UU Cipta Kerja berimplikasi ke berbagai sektor. Seperti persoalan perburuhan, lingkungan hidup, agraria, hingga memperparah liberalisasi sektor perdagangan. Juga menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat. Kita tahu, dan dapat menangkap situasi kebatinan publik terkait problematika kebangsaan tersebut. Banyak yang gregetan. Hanya saja, ketakutan menyampaikan aspirasi, lantas mengunci diri. Menjauh dari ruang-ruang artikulasi berpendapat. Seperti yang terjadi pada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Pasalnya, jerat kriminalisasi hingga jebakan UU ITE mengintai setiap saat. Menghadapi situasi yang seperti ini, publik merindukan tampilnya figur-figur kuat yang secara representatif mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Kekosongan tersebut, kita harapkan dapat diisi oleh sosok seperti La Nyalla, Jenderal Gatot, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh vokal lainnya. Mereka yang siap menjadi penyambung lidah rakyat, sebagaimana ungkapan yang dipopulerkan oleh Bung Karno. Namun, kita juga harus realistis. Menjadi jembatan untuk aspirasi rakyat, tentu saja hanya akan efektif jika dilakukan dalam koridor instrumen struktural negara. Artinya, ada mekanisme politik yang harus dilalui oleh mereka yang dapat kita pegang komitmennya untuk membangun bangsa. Yaitu melalui proses kontestasi elektoral. Pemilihan Presiden (Pilpres) tempatnya. Persoalannya, mekanisme elektoral saat ini dirancang super eksklusif oleh oligarki dn konglomerat hitam yang menyandara Partai Politik. Bahkan terkesan rancu dan kontradiktif dengan term-term demokrasi. Sistem elektoral didesain menutup peluang banyak figur yang kredibel, berintegritas dan punya kapasitas untuk maju dalam kontestasi bila tidak berasal dari partai politik. Sementara partai-partai saat ini, menurut para pakar politik, cenderung tampil feodal. Lebih feodal dari sistem kerajaan. Nyaris tidak ada lagi parpol yang punya sistem regenerasi dan sirkulasi elit yang sehat. Padahal, parpol kita harapkan menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan nasional yang terdepan. Namun harapan itu tampaknya harus dipetieskan dulu. Makanya menjadi sangat tepat langkah DPD jika secara kelembagaan mendorong kembali gagasan untuk menghapus Presidential Threshold (PT). Tujuannya untuk dapat menjaring sebanyak mungkin kandidat presiden yang layak dan potensial. Agar tersaring sebanyak mungkin figur yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Apalagi, banyak kepala daerah berprestasi yang layak untuk diberi ruang. Sebagai artikulator kepentingan masyarakat daerah, DPD idealnya mempelopori upaya untuk membuka jalan yang luas dan lebar untuk figur-figur terbaik dari daerah. Tanpa membuka ruang kontestasi kepemimpinan yang selebar-lebarnya, maka hanya akan muncul kandidat yang itu-itu saja. Kita disuguhi menu lama. Lu lagi, lu lagi, lu lagi. Padahal barangkali barangnya sudah kadaluarsa. Sebaliknya, membuka peluang seluas-luasnya, akan memacu mekanisme meritokrasi yang sebetulnya merupakan fitur seleksi paling ideal dan kompatibel dengan sistem demokrasi. Meritokrasi di level parpol, maupun dalam spektrum lebih luas. Figur yang berhasil dan sukses dari organisasi bisnis, militer, hingga organisasi kemasyarakatan, semua dapat menikmati pesta demokrasi secara gembira. Langkah DPD ini pada akhirnya, akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk mengelola bangsa yang besar ini. Pemimpin yang tidak perlu tunduk dan diatur oleh kekuatan-kekuatan oligarki dan konglomerat hitam yang menjadi sumber utama malapetaka kerusakan bangsa ini. (habis). Penulis adalah Senator DPD RI.

Ustad Tengku Zulkarnain: Bintang ILC Yang Cerdas dan Tegas

by Asyari Usman Medan, FNN - Selesai berbuka puasa darurat di satu tempat dan sholat magrib, saya melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Sekitar 15 menit berlalu, istri menelefon. "Abang di mana?” "Masih di jalan. Sudah dekat.” "Ada berita sedih Bang. Ustad Tengku Zulkarnain meninggal. Satu per satu dipanggil,” kata si istri yang kemudian terisak-isak sambil menutup telefon. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!s Ustadz yang berdarah Tionghoa ini menghembuskan nafas terakhir tak lama setelah selesai azan magrib, Senin, 28 Ramadan 1442 (10 Mei 2021). Di RS Tabrani, Pekanbaru Wajar istri saya bersedih. Dia merasa kehilangan besar. Dia senang kalau Ustad Tengku (UT) tampil di ILC (Indonesia Lawyers Club). Berani. Argumentatif. Tegas dan lugas. Di ILC, UT selalu memberikan jawaban yang tak tak terbantah. Kadang membuat lawan terpojok. Beliau bisa menjaga diri untuk tetap ‘cool’ bila diserang lawan. Ustad Tengku adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tidak berbelit-belit bila harus mencela kemunkaran dan kezaliman. Dengan gaya khas ‘anak Medan’, Ustad Tengku selalu bisa mematahkan lawan bicara yang membela kezaliman. Kalangan yang disebut “cebongers” dan para buzzer penguasa selalu kepanasan kalau Ustad Tengku merespon suatu peristiwa yang aneh, atau sesuatu yang penuh kejanggalan dan kesewenangan. Di medsos, khususnya Twitter, kicauan Ustad Tengku senantiasa memancing tanggapan yang hiruk-pikuk. Dari yang pro dan yang kontra. Kini, semua itu menjadi catatan sejarah perjuangan intelektualitas Ustad Zul. Dan, umat Islam kembali kehilangan ulama yang berilmu dan memiliki kemampuan luar biasa dalam beradu akal sehat.Selamat jalan Ustad Tengku. Semoga Allah memberikan ridho-Nya untuk semua ikhtiar Ente dalam memberikan pencerahan Dan juga untuk keberanian Ente mengatakan yang benar itu orang tahu, Ente orang baik-baik. Hari, jam, dan detik kepergianmu mengisyaratkan itu. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Puasa Langkah Awal Pemulihan Ekonomi

Puasa Ramadhan sebenarnya membuka jalan untuk menumbuh- kembangkan lagi kerjasama sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi, peluang ini tidak diambil sehingga potensi ekonomi yang lahir dari aktivitas Ramadhan dan Idul Fitri tidak berubah menjadi kekuatan bersama untuk bangkit. Sekuat apapun keuangan pemerintah dan korporasi, hasilnya tidak akan optimal sepanjang (1) ketidak-jujuran, (2) keserakahan (yang diwujudkan dengan egosentris dan arogansi kekuasaan), dan (3) persepsi kepalsuan terus berkembang Oleh Ichsanuddin Noorsy JAKARTA, FNN - BULAN Ramadhan memberikan pembelajaran bahwa kehidupan harus ditekuni dengan kejujuran, kesahajaan dan kepatutan (tidak serakah), nir persepsi, serta nafsu yang harus dikendalikan. Harus jujur karena puasa bulan Ramadhan adalah untuk Maha Pencipta, sedangkan ibadah yang lainnya untuk pelakunya. Tidak mungkin disebut berpuasa jika tidak jujur. Juga pengendalian rasa, ucapan dan tindakan. Pengendalian tiga hal ini membuahkan sirnanya kebanggaan saat berbuka, semewah apapun hidangannya. Tidak juga menunjukkan ketangguhan saat sahur, sekuat apapun tubuh menikmati konsumsi makanan. Justru patut menunjukkan keteguhan bersikap untuk tidak makan, minum, berhubungan intim dengan pasangan sah (pada siang hari), dan sabar menahan amarah sejak Subuh hingga Maghrib. Secara makro, hal itu mempengaruhi perilaku ekonomi. Mereka yang bertransaksi harus jujur menyampaikan besarnya biaya dan tingkat keuntungan yang hendak dicapai. Uang pun dihargai tidak melampaui nilai keahlian menghasilkan barang atau jasa. Wujudnya, antara lain adalah pinjaman tanpa bunga (nir riba’), tetapi bagi hasil dan bagi risiko. Sumberdaya manusia tidak boleh dieksploitasi atas nama hukum keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja. Dalam kesahajaan dan kepatutan sebagai tindak nyata tidak serakah, keuntungan yang diraih merupakan nilai wajar, bukan mengambil manfaat atas kesempatan dalam kesempitan. Kewajaran ini dilaksanakan dengan pola transaksi yang ihlas karena kejujuran. Juga tidak ada persepsi apapun kecuali kenyataan atas barang dan uang (alat ukar) yang pertukarannya mengharapkan keridlo’an Allah swt. Keuntungan besar bukanlah pembimbing perilaku berbisnis karena keuntungan harus memberi manfaat bukan hanya pada mereka yang langsung bertransaksi, tapi juga kepada pihak ketiga sebagai upaya mengatasi eksternalitas negatif dan kegagalan pasar. Di balik semua ini, di dalamnya terkandung bahwa capaian tahta dan harta bukanlah ukuran kemuliaan dan kehormatan melainkan bagaimana penerapan ilmu dan iman seseorang dalam menegakkan harkat martabat manusia. Merujuk hal di atas, maka semua perilaku transaksi merupakan pelaksanaan komitmen bahwa nafsu buruk harus ditundukkan. Perwujudan syahwat dipersempit. Syahwat keinginan dinihilkan kecuali kebutuhan. Puasa membedakan dengan tegas mana kebutuhan mana keinginan. Disebabkan polanya adalah pembelajaran dan pengajaran menyucikan rasa, kata, tindakan, maka puasa menghantarkan pelakunya untuk membuat neraca atas tiga hal. Jika lebih banyak negatifnya, maka 10 hari terakhir dianjurkan untuk ditekuni dengan optimal sehingga tujuan puasa Ramadhan tercapai, yakni hamba Allah yang memperoleh ampunan-Nya dan hamba Allah yang kukuh dalam menegakkan ajaran-Nya. Dalam perspektif yang lain, puasa Ramadhan merupakan pelaksanaan konsepsi modal sosial. Unsur-unsurnya adalah nilai-nilai, komitmen yang dilaksanakan dengan proaktif, kejujuran guna terbangunnya hubungan sosial saling percaya, membangun jejaring sosial (silaturahim langsung), dan kepemimpinan. Pada lingkup silaturahim, berbagi rezeki saat berbuka atau makan sahur, sholat berjama’ah Isya dan Subuh serta tarawih di masjid adalah sarana saling berbagi, peduli, dan menghargai. Karena setiap orang adalah pemimpin, minimal kepemimpinan atas dirinya, maka silaturahim itu menumbuh-kembangkan sikap kebersamaan dan ketahanan sosial. Itu karenanya mustahil jika masjid --sebagai tempat paling mulia di muka bumi-- justru menjadi sumber penyebaran virus selama masjid dijaga dan dipelihara secara bersih dan nyaman. Dilihat secara mikro, pola konsumsi sebenarnya hanya sedikit berubah karena pergeseran waktu makan dari siang menjadi malam. Tetapi pergeseran ini ternyata mengubah volume dan jenis makanan yang dikonsumsi, termasuk air minum. Hampir semua tempat berbuka membutuhkan makanan pembatal puasa saat adzan Maghrib bergema. Permintaan air kelapa dan minuman manis melonjak. Kebutuhan inilah yang mendorong permintaan akan barang-barang konsumsi meningkat. Salah satunya adalah kurma dengan ragam jenis dan kualitasnya. Hingga akhir Maret menjelang bulan Ramadhan, impor kurma mencapai 17,1 juta dolar AS atau sekitar Rp 250 miliar, meningkat nyaris 50 persen. Permintaan nasi pun meningkat. Sayangnya terjadi pemborosan saat kita melihat sampah nasi di restoran padang atau restoran sunda. Berapa besarnya? Ada riset lama sementara riset mutakhir tentang pembuangan nasi ini belum muncul ke permukaan. Paling tidak, permintaan tiga hal kebutuhan pokok itu menggambarkan meningkatnya konsumsi masyarakat sebagai berkah rezeki juga bagi semua kalangan di tengah kelesuan ekonomi merasuk ke semua sektor, kecuali farmasi dan teknologi informasi dan komunikasi. Bayangkan, jika tanpa bulan puasa dan Ramadhan kemungkinan konsumsi masyarakat berpotensi terkontraksi lebih dari 2,23 persen sebagaimana data yang diumumkan Bank Indonesia pada 5 Mei 2021. Hal tersebut, menunjukkan di tengah daya beli masyarakat yang terpukul karena pandemik, masih ada kekuatan masyarakat untuk bertahan. Saya bermimpi lahirnya kebijakan pemerintah yang produktif dan membangun kepercayaan dan kerjasama masyarakat. Akibatnya konsumsi rumah tangga berpotensi lebih baik bersamaan dengan konsumsi perusahaan dan konsumsi pemerintah yang meningkat. Hasilnya adalah lebih cepat pulihnya perekonomian nasional karena permintaan internal, dan Indonesia tidak menyandarkan diri pada pembiayaan eksternal seperti utang luar negeri dan ekspor komoditas barang mentah. Puasa Ramadhan sebenarnya membuka jalan untuk menumbuh- kembangkan lagi kerjasama sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi, peluang ini tidak diambil sehingga potensi ekonomi yang lahir dari aktivitas Ramadhan dan Idul Fitri tidak berubah menjadi kekuatan bersama untuk bangkit. Sekuat apapun keuangan pemerintah dan korporasi, hasilnya tidak akan optimal sepanjang (1) ketidak-jujuran, (2) keserakahan (yang diwujudkan dengan egosentris dan arogansi kekuasaan), dan (3) persepsi kepalsuan terus berkembang. Seperti pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang khawatir pembangunan infra struktur menjadi mubazir dan kenyataan biaya logistik Indonesia yang lebih mahal 10 persen dibanding negara tetangga, maka terbukti puasa memang secara naluriah akan mendorong seseorang untuk berkata jujur. Jika pada September 2019 Bank Dunia menilai bahwa di Indonesia terjadi lack of credibility, puasa mengajarkan bagaimana menumbuhkan sikap saling percaya disebabkan kejujuran dan kemudian lahir kredibilitas. Inilah langkah awal memulihkan perekonomian. ** Penulis, Pengamat Ekonomi dan Pembangunan.

23 Tahun Reformasi, Rakyat Yang Sengsara, Penguasa Berpesta Pora

by Ubedilah Badrun Jakarta, FNN - Loh kok bisa? Perlu mengumpulkan data untuk membuat kesimpulan judul tulisan ini. Dua puluh tiga tahun reformasi telah berlalu, rakyat masih sengsara, tetapi penguasa berpesta. Rakyat menangis ditengah wajah kuasa yang terlihat bengis. Mungkin ada yang terhenyak dengan narasi itu. Bahkan mungkin merespon dengan sentimen, menyerang personal dan nyinyir. Respon semacam itu dapat dipahami, mungkin karena belum mengerti bahwa kritik adalah gizi demokrasi yang bisa membuat pemerintah introspeksi dan bisa membuat demokrasi lebih maju. Mungkin juga belum mengerti tentang satu dimensi penting bahwa tanggungjawab intelektual itu membebaskan manusia dari penderitaan (Moh.Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia, LP3ES,1983). Fungsi itu yang sesungguhnya sedang dijalankan akademisi maupun kelompok oposisi. Dalam bahasa Antonio Gramsci fungsi intelektual semacam itu disebut intelektual organik (Antonio Gramsci, Prison Notebooks, 1970). Bulan Mei, dua puluh tiga tahun lalu intelektual organik di Indonesia menjadi kunci penting bagi hadirnya gerakan reformasi 1998. Pada momentum 23 tahun reformasi ini mari kita berpikir sejenak mengurai data satu persatu meski tidak semuanya dibeberkan. Sebab artikel singkat ini tidak mungkin menampung seluruh derita rakyat. Rakyat Sengsara Kita mulai dari data turunnya angka pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal I-2020 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97%. Pertumbuhan tersebut mengalami kontraksi 2,41% dibandingkan triwulan IV 2019 yang tercatat 4,97%. Itu maknanya konsumsi, investasi, maupun belanja pemerintah mengalami penurunan. Kondisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami penurunan daya beli. Bahkan, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) merosot tajam. Dari sini sesungguhnya sudah mulai terlihat derita rakyat. Itu kuartal I awal tahun 2020 dimana angka pertumbuhan ekonomi turun drastis tetapi belum minus. Faktanya kemudian dari tahun 2020 hingga kuartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonomi kita berturut-turut minus. Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi yang dahsyat. Ini data angka pertumbuhan ekonominya. Minus 5,32 % pada kwartal II , minus 3,49 % pada kwartal III, minus 2,19% pada kwartal IV tahun 2020, dan di kwartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonominya tetap minus 0,74 %. Bayangkan empat kwartal berturut-turut minus. Itu artinya Indonesia berada di jurang resesi ekonomi berkepanjangan. Indonesia belum mampu keluar dari resesi ekonomi. Kalah sama India yang sudah keluar dari resesi ekonomi dengan angka pertumbuhan positif 0,4 %, bahkan Indonesia kalah dengan Vietnam yang kini angka pertumbuhan ekonominya positif 4,48% . Indonesia tak kunjung pulih. Rakyat masih terus sengsara. Ada sekitar 10 juta pengangguran. Angka itu mengacu pada data BPS yang naik nyaris 3 juta orang dari jumlah pengangguran 2019 sebanyak 7,1 juta orang. Namun, data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang. Itu jumlah pengangguran, jangan tanya jumlah orang miskin? Datanya makin menunjukan tingkat kesengsaraan rakyat yang terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya.Tahun 2021 ini diperkirakan angka kemiskinan masih terus bertambah. Itu data resmi negara, namun secara empirik saat ini angkanya bisa lebih dari itu. Ya, rakyat sengsara. Penguasa Berpesta Jika rakyat sengsara, apakah penguasa ikut sengsara? Tidak ! Mereka berpesta. Sebab, selain mereka dapet honor lain lain, mereka masih menikmati gajih secara utuh dari pajak rakyat. Lebih miris korupsi penguasa masih sering kita dengar. Bayangkan ditengah rakyat menderita, tega-teganya uang untuk bantuan sosial (bansos) rakyat miskin dikorupsi. Tidak hanya itu korupsi juga terjadi di sektor pajak, dan lain-lain. Puluhan hingga ratusan milyar dikorupsi, bahkan secara total diduga kuat angka korupsinya mencapai triliunan rupiah. Ya, penguasa berpesta dengan kue korupsi. Kini ditengarai sedang terjadi semacam 'bancakan uang APBN' untuk modal pemilu 2024. Ya, penguasa pesta uang APBN. Rakyat tak usah diperhatikan. "Persetan Rakyat !" Kata anggota DPR versi DPR-Musikal yang viral itu. Terjadinya korupsi yang terus-menerus ini menyebabkan indek persepsi korupsi (corruption perception Index) Indonesia sangat buruk, skornya 37 (Transparency International,2020). Itu artinya rapotnya masih merah karena skor 37 dari rentang 0 sampai 100. Kini rezim makin berpesta karena UU KPK versi revisi sudah disahkan, upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga ditolak, dan puluhan penyidik KPK yang berintegritas kini bakal tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang janggal itu. KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa Reformasi kini lunglai terpuruk di titik nadir. Cendekiawan Yudi Latif di sebuah media nasional menyebut ini sebagai Penghancuran Pencapaian (6/5/2021). Ya penguasa berpesta, sebab koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Sejak UU KPK yang baru disahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu. Itu permulaan, sangat mungkin akan ada SP3 berikutnya. Para penguasa bisa berkesimpulan Korupsi tidak apa-apa nanti juga bisa di SP3. Itu narasi pesta para penguasa. Miris dan menyakitkan. Agenda reformasi untuk memberantas korupsi makin hancur lebur. Mereka berpesta ditengah remuknya harapan rakyat. Berpesta ditengah rakyat sengsara! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Jokowi Harus Tiru LaNyalla

Oleh Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - DI saat rakyat tidak bisa lagi berharap pada wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil lebih bernyali. Tak canggung bertemu dengan oposisi. Sepakat ingin merawat negeri. Sikap itu diperlihatkan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang datang memenuhi undangan diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Jumat (7/5/2021). Dalam suasana yang cair, santai dan penuh canda, kecuali menyampaikan empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI sebagai wakil daerah, LaNyalla yang didampingi Senator Bustami Zainudin (Lampung), Fachrul Razi (Aceh) dan Sekretaris Jenderal DPD RI, Rahman Hadi, juga mendengar masukan dari sosok-sosok yang selama ini dilabeli sebagai oposisi. Hadir di ruang diskusi tokoh-tokoh sekelas Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Bachtiar Chamsyah, Ahmad Yani, Mohammad Said Didu, MS Kaban, Ubaidillah Badrun, Natalius Pigai, Adhi M. Massardi, Marwan Batubara, awak redaksi FNN, serta tuan rumah yang juga senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung. Diskusi dipandu oleh wartawan senior FNN Kisman Latumakulita. Gatot yang mengaku amat mengenal LaNyalla (biasa dialog ala Jawa timuran) mengingatkan bahwa betapa saat ini 'kekuatan' partai politik dan ormas sudah tergerus. Jika dibiarkan akan membuat bangsa terjerembab kian dalam. "DPR jaman sekarang sudah seperti PNS. Bola ada di tangan DPD," tegas Rizal Ramli. Menurut Rizal, cuma orang yang tidak konvensional yang bisa mengubah kondisi saat ini. Sejarah mengatakan begitu, baik sejarah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan sejarah lahirnya Islam di jaman jahiliah. Sementara politisi senior Bachtiar Chamsyah yang juga mantan Menteri Sosial mengaku apa yang dilakukan LaNyalla adalah terobosan yang pasti penuh risiko. Tetapi, setiap pemimpin harus berani mengambil risiko tersebut demi terjadinya perubahan. LaNyalla sendiri dalam pidato dengan teksnya mengakui harus ada koreksi pada pemerintah karena ada yang berbeda antara yang disampaikan dengan kenyataan setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia selama satu tahun terkahir. Manajemen bangsa perlu dibenahi. "Pemerintah harus dikawal," cetus mantan Ketua Umum PSSI ini. Meski masih terlalu dini menilai 'road map', yang akan ia jalani tapi pertemuan yang diselingi dengan buka bersama dan sholat berjamaah di Masjid Nurul Izzah menurut Adhi Massardi sangat baik di tengah kondisi bangsa yang terbelah sangat dalam seperti saat ini. "Pertemuan Serpong ini lebih memberikan harapan agar terjadi perubahan ke arah perbaikan," aku Adhi, mantan juru bicara Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) tersebut. LaNyalla sepertinya cukup santai mengambil sikap yang berbeda dengan kebanyakan pendukung Jokowi. Berani dan mau berdiskusi dengan oposisi adalah bagian dari melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang masuk menjadi kewajiban anggota DPD. Suatu yang harusnya diikuti oleh pendukung Jokowi lainnya, bahkan Jokowi sendiri. Itu kalau Jokowi punya nyali...** Penulis, wartawan senior FNN.co.id.