ALL CATEGORY
PDIP Mau Buang Badan, Tapi Badannya Terlalu Besar
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kembali ke isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). PDIP akhirnya mundur. Mereka bersedia mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunisme dan PKI sebagai konsideran RUU. Mereka juga bersedia menghapuskan Trisila dan Ekasila dari RUU itu. PDIP adalah pihak yang mengusulkan kedua materi ini. Kedua hal ini memunculkan tentangan keras dari semua ormas dan lembaga Islam. Peniadaan Tap MPRS larangan PKI, komunisme dan marxisme-leninisme itu, plus degradasi Pancasila menjadi “Gotong Royong” dan agama disetarakan dengan kebudayaan, memicu kecurigaan terhadap RUU HIP. Kecurigaan itu sampai pada dugaan bahwa pihak yang memprakarsai RUU ingin membangkitkan kembali komunisme dan PKI di Indonesia. Tentu saja umat beragama, terutama umat Islam, bereaksi sangat keras. NU dan Muhammadiyah menolak. Mereka meminta agar RUU HIP tidak saja direvisi, melainkan dicabut total. Tidak usah dibahas lagi. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI malah mengeluarkan maklumat keras bernada ultimatum jika RUU HIP masih berkonten pasal-pasal anti-agama. Didukung 34 MUI provinsi, MUI Pusat menyimpulkan RUU HIP ‘original’ bisa menjadi jalur legal bagi para pendukung PKI dan komunisme untuk bangkit kembali. Yang sangat mengkhawatirkan, selain penyingkiran Tap larangan komunisme-PKI, adalah Pasal 7 RUU HIP. Di ayat (2) pasal ini, Trisila diuraikan sebagai “sosio-nasionalisme”, “sosio-demokrasi”, dan “ketuhanan yang berkebudayaan”. Dua istilah pertama yang ini entah apa maksudnya. Tapi, yang terpenting, kita perlu fokus ke istilah ketiga. Yaitu, “ketuhanan yang berkebudayaan”. Terminologi ini berpotensi mengaburkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di Pancasila. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” memberikan ruang yang sangat bebas untuk menafsirkan eksistensi agama dalam kehiudpan berbangsa dan bernegara. Salah satu tafsiran orang adalah menyamakan agama dengan kebudayaan. Atau, bisa dikatakan pasal ini akan ‘mewajibkan’ agama menyerap kebudayaan. Jadi, RUU HIP sengaja diisi dengan diksi dan narasi yang tak jelas. Penuh dengan poin-poin yang tidak substantif. Seandainya menjadi UU, maka anasir-anasir pro-PKI secara bertahap akan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan infiltrasi komunisme ke dalam sistem sosial yang berbasis ketuhanan. Kalau sempat menjadi UU, berarti inflitrasi itu legal. Dengan membaca kemungkinan ini, umat Islam tampanya akan menyalakan ‘sistem peringatan dini’ (early warning system). Agar umat senantiasa waspada. Terutama terhadap manuver PDIP. Kelihatannya, partai berlambang Banteng galak tsb tidak akan menyerah. Mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka bisa saja datang kembali dengan upaya penghapusan Tap MPRS larangan komunisme-PKI. Dan juga gagasan ekstraksi (menciutkan) Pancasila. Supaya, berat dugaan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa perlahan bisa hilang dan tidak tertulis lagi di dokumen negara maupun teks-teks akademik. Wakil Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa peniadaan Tap MPRS larangan komunisme di deretan konsideran RUU HIP, bukan inisiatif partainya. PDIP difitnah seolah mendukung kebangkitan kembali komunisme. Begitu juga soal Trisila dan Ekasila. PDIP juga terfitnah, kata Basarah. Namun, catatan yang ada menunjukkan bahwa kedua hal itu berasal dari Partai Banteng. Kalau bukan PDIP, kenapa mereka yang sibuk mengatakan bahwa Tap MPRS larangan komunisme sekarang sudah dicantum di RUU. Sedangkan Trisila dan Ekasila sudah dihapus. Kelihatannya, PDIP mau buang badan. Cuma, badannya terlalu besar. Sehingga, mau dibuang ke mana pun, tetap terlihat.[] 18 Juni 2020(Penulis wartawan senior)
Perlawanan Rakyat, Kekerasan Polisi dan Reformasi Institusi
by Farouk Abdullah Alwyni & Kamal Abdullah Alwyni Jakarta FNN – Kamis 918/06). Belajar dari kasus demonstrasi besar-baran akibat kematian George Floyd di Amerika Serikat. Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang sangat dramatis. Demonstrasi yang berlangsung di banyak kota-kota di Amerika Serikat (AS). Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di Amerika seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan. Demonstrasi yang sama juga terjadi di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, Tokyo, dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah Amerika. Telah menyebar di lebih dari 650 kota di 50 negara bagian (The Washington Post, 7 Juni 2020). Demo-demo ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam George Floyd, akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe). Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit di berbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd. Mereka mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya. Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder”. Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut. Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran di banyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini. Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles. Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam. Mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, sampai kriminalitas murni. Bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat. Namun ddemikian, dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional. Sebab ada sebagain kecil yang ingin menumpang dari gelombang besar demo damai ini. Yang awalnya hanya menuntut keadilan untuk George Floyd, berubah menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya dari kelompok minoritas kulit hitam. Ada kelompokl yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi dan pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut. Banyak purnawirawan Jenderal di Amerika yang mengkritik respon Presiden Donald Trump. Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jenderal Purnawirawan James Mattis termasuk yang mengkritik respon Presiden Serikat Donald Trump terhadap demo-demo. Karena Trump dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi. Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat. Tidak punya niat baik untuk menyatukan Amerika Serikat. Mittis beranggapan semua ini terjadi sebagai akibat dari tiga tahun kepemimpinan Trump yang tidak matang. Kemarahan banyak elite dan para mantan elite politik dan pemerintahan Amerika Serikat, diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah Gereja Historis (St. John’s Episcopal Church). Hanya satu blok dari White House, di Washington untuk hanya berfoto dengan para pembantunya, dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible. Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja itu dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai di seputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga Amerika untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Terakhir Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Mark A. Milley. Chairman of the Joint Chiefs of Staff itu juga menyampaikan penyesalan dan maafnya karena ikut berfoto di gereja dengan Trump di atas. Begitu juga Menteri Pertahanan (Defense Secretary), Mark Esper menyatakan bahwa dia tidak tahu jika tujuan perjalanan Trump ke gereja hanya untuk berfoto. Esper sendiri tidak setuju dengan cara Trump yang ingin menggunakan militer untuk meredam demonstrasi. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di Amerika merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam. Kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai. Mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan keker san. Selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini, banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat Amerika lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian. Juga rasa keterpanggilan melakukan terhadap sistim yang lebih baik an berkeadilan. Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara massif. Kondisi ini nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, George Bush, dan bahkan Jimmy Carter yang menginginkan police reform. Para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur juga punya keinginan yang sama. Tentang perlunya police reform. Semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan perlunya menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga Amerika (73%) mendukung demo-demo damai yang ada. Terakhir seorang senator sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman. Apalagi jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga. Sebab seharusnya warga negara Amerika dilayani dan dilindungi oleh polisi. Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi. Hukunman terhadap polisi yang bersalah seharusnya tidak memakan waktu yang lama. Apalagi jika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force. Sistim Kepolisian secara menyeluruh di Amerika mulai disorot. Walaupun demikian, juga harus diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada tersebut buruk. Banyak juga polisi yang baik-baik. Yang ditunjukkan selama belangsunya demo-demo yang ada di seluruh wilayah Amerika. Dimana sebagian polisi, mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran. Polisi tersebut ikut merunduk. Mereka meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi, apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian? Yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples. Dari yang terjadi di Amerika sekarang ini, tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Jika kita juga mau melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Bawaslu. Ketika itu pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tidak berdaya. Terutamaketika saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta tanggal 22 Mei 2019. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Kalau di Amerika, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo seperti yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum. Belajar dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika negara seperti Amerika dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional, masih terus dikritisi. Mereka juga selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada. Tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia. Jangan segan-segan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian. Terutaman yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai. Jangan sampai hanya sekelompok oknum kepolisian yang melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat. Namun tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal. Harus ada sanksi hukum setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum. Kita Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi, barulah memperbaiki kondisi yang ada. Khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum dan keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hokum. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo bahwa “polisi harus menegakkan, bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –not abuse- the law). Sebagai sebuah negara mayoritas muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan yang luar biasa. Yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “jika Fatimah anakku mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya”. Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab. Dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid Hukuman akan diberikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab kepada Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash, karena sang Gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang dengan jabatannya. Gubernur Mesir juga telah bersikap zolim kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda. Sikap yang sangat ditolak oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan dapat tegak di negara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di Amerika sekarang. Menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) & Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat.
Penjara Sudah Menanti Pejabat Kebijakan Pemulihan Ekonomi
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Kamis (18/05). Dalam rapat terbatas beberap hari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Pernyataannya terhubung dengan pengelolaan dana penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Dana sebesar Rp. 677, 2 trilyun harus digunakan secara benar. Dalam rangka itu, Presiden tegas mempersilahkan penegak hukum melakukan tugas. Kepada para aparatur hukumnya, Presiden ingatkan agar profesional dalam menegakan hukum. Gigitannya, kurang lebih begitu esensinya. Harus tepat. Gigitlah yang benar-benar menyimpang, dan sebaliknya jangan gigit yang tidak benar-benar menyimpang. Pak Presiden, dapat diduga telah memiliki data terpercaya tentang postur governance pengelolaan dana ini. Mengajak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (PBKP) mengawasi pengelolaan dana ini. Jelas maknanya. Rupanya governance pengelolaan dana tidak terlalu meyakinkan Presiden. Itu sebabnya BPKP harus semakin dilibatkan, tentu untuk meningkatkan level governancenya. Jalan ke Pernjara Terbuka Pijakan hukum pengelolaan dana pemulihan ekonomi didasarkan sepenuhnya pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah dinaikan statusnya melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Perpu ini telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi akibat Covid. Satu-satunya hal yang hebat dalam Perpu ini adalah ketentuan dalam pasal 27, pasal 28 dan pasal yang memberikan kewenangan ekstra kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selebihnya tidak. Tetapi dari yang hebat itu, pasal 27 adalah yang terhebat. Esensi pasal ini adalah pengelolaan dana ini tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara. Akibat logisnya siapapun yang mengelola, dalam makna mengurus distribusinya, tak perlu memusingkan diri dengan segala macam parameter ekonomi maupun hukum. Untuk apa memusingkan diri dengan semua itu? Tidakkah telah diatur secara tegas dalam pasal 27 Perpu bahwa tindakan-tindakan dalam kerangka pasal Perpu tidak bisa dituntut pidana, perdata maupun tata usaha negara? Pasal 27 itu, akan digunakan sebagai benteng oleh pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus dana pemulihan ini. Bilapun dalam kenyataannya benar-benar ada perbuatan melawan hukum, pasal 27 telah secara tegas menyatakan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dituntut secara pidana, perdata dan tata usaha negara. Pejabat siapapun itu akan menyodorkan pasal ini sebagai bentengnya. Beralasan pasal 27 ini sah digunakan oleh siapapun yang berwenang dalam mengelola dana ini, sebagai alasan pembenar. Esensi alasan pembenar tidak lain selain menghapus sifat melawan hukum perbuatan. Perbuatan menyimpangnya mungkin secara faktual ada, tetapi sifat melawan hukumnya, sekali lagi, hilang dengan sendirinya karena ada pasal 27 itu. Menariknya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang didalamnya berisi pasal 27 itu, dibuat oleh Presiden. Tidak mungkin Presiden tidak mengetahui pasal itu. Presiden harus diasumsikan tahu keberadaan pasal itu. Pada titik ini menarik pernyataan Presiden itu logis ditimbang secara komprehensif. Sedang apa Presiden dengan menteri-menterinya? Apakah Pak Presiden memiliki fakta yang meyakinkan yang menunjukan telah terejadi penyimpangan? Sehingga Presiden berubah arah, meningalkan pasal 27 itu? Kalaupun jawabannya positif, ya, tetap saja jadi soal. Mengapa? Pasal 27 itu sejauh ini sah digunakan sebagai dasar tindakan para pejabat itu. Suka atau tidak, pasal 27 itu sah berlaku dan sah dijadikan dasar tindakan hukum oleh para pejabatnya. Disebabkan pasal ini sah sejauh ini untuk dijadikan dasar tindakan hukum para pejabat, maka semua tindakan hukum pejabat pada saat ini tidak dapat dipersoalkan. Baik aspek formil maupun materilnya. Berapapun dana pemulihan yang diberikan ke Garuda, bagaimana jumlah itu diperoleh, dilakukan dengan skema apapun, penyertaan modal (PNM), talangan, bayar utang, tidak dapat dipersoalkan. Mau diberi R10 triliun, lebih dari itu atau kurang itu, atau berapapun, secara formi dan materil tidak bisa dipersoalkan. Untuk apa dipersoalkan, kalau akhirnya temuannya tidak dapat dikualifikasi merugikan keuangan negara? Penyimpangan prosedur, andai ada, juga tak bisa ditunjuk sebagai perbuatan yang melawan hukum. Bagaimana pejabat-pejabat itu merespons kewajiban mereka kepada PLN misalnya, juga terserah mereka saja. Menurut keterangan Direktur PLN di Komisi VII DPR, utang pemerintah di PLN sebesar Rp 48 triliun. Ini merupakan akumulasi utang pemerintah tahun 2018 dan 2019 (Merdeka.com 17/6/2020). Utang ini harus diurusi. Menariknmya, utang yan terjadi jauh sebelum covid ini, boleh jadi akan diselesaikan menurut skema perpu. Bila mengukiti skema ini, skemanya yang harus diambil bukan talangan, bukan juga PNM. Skema yang yan harus diambil adalah kompensasi atau baray utang. Tetapi andai pejabatnya memilih skema lain, harus dianggap sah. Berapa sebenarnya dana pemulihan ekonomi yang akan dan atau telah diplot untuk BUMN? Bergunakah jumlahnya dipersoalkan secara hukum? Mau Rp. 147 triliun, kurang dari itu atau malah lebih dari itu, secara formil dan materil tidak bisa dipersoalkan. Ini konsekuensi pasal 27 Perpu, suka atau tidak. Mudah Temukan Pelanggaran Tetapi apapun itu, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus soal ini harus tetap waspada. Pernyataan Presiden tersebut cukup beralasan untuk dipakai sebagai petunjuk adanya kehendak melepaskan pasal 27 itu. Presiden bisa jadi, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa pengujian pasal ini untuk menyatakan pasal itu inkonstitusional. Waspada, sekali lagi waspada. Ini harus jadi sikap dasar pejabat. Sikap ini harus diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pertimbangan-pertimbangan dibalik sebuah kebijakan harus benar-benar dapat dicek. Fakta dan rasionya harus kokoh. Kedua, bereskan semua tindakan yang perlu diambil dalam kerangka Perpu dan PP Nomor 23, sebelum pasal 27 Perpu dinyatakan inkonstitusional. Tetapi andai pasal 27 diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan konstitusional, terlepas dari putusan ini akan ditertawakan dan diejek, tetap saja harus waspada. Mengapa? Kalau kebijakan itu nyata-nyata tidak didasakan pada fakta yang cukup. Juga tidak cukup rasio teknisnya, maka kenyataan itu dapat dijadikan alasan penegak hukum menyatakan bahwa perbuatan itu sedari awal telah dimaksudkan lain dari yang diperintahkan oleh Perpu. Kenyataan itu dapat dipakai sebagai dasar konstruksi bahwa sikap batin pembuat kebijakan, sedari awal dimaksudkan lain dari seharusnya menurut Perpu. Itu masalahnya. Kalau sudah begini cara berpikir penegak hukum, maka mudah bagi mereka menemukan sifat melawan hukum perbuatan. Bila penyimpangan itu didukung tumpukan fakta, maka mudah bagi penegak hukum untuk membuat konstruksi berikut. Konstruksinya tidak ada hukum, yang sedari mula dimaksudkan untuk membenarkan tindakan melawan hukum. Atas dasar itu, mereka dapat dengan mudah menyatakan pasal 27 tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar atau alasan yang membenarkan semua tindakan menyimpang. Tumpukan fakta tentang penyimpangan, sekali lagi, akan diambil dan digunakan penegak hokum untuk menyatakan, pembuat kebijakan telah dimaksudkan untuk hal lain, selain yang diperintahkan Perpu. Hal lain itulah, yang akan dipakai penegak hukum untuk menyatakan sikap batin pembuat kebijakan hendak diarahkan pada hal lain itu. Bila begitu cara pandang penegak hukum, maka mudah bagi mereka mengualifisir perbuatan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Logiskah cara berpikir itu? Logis karena satu alasan, terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan sikap bathin pembuat kebijakan. Satu-satunya cara menutup jalan penegak hukum menggunakan jalan fikiran ini adalah pembuat kebijakan harus, sekali lagi, memastikan memiliki tumpukan fakta terferifikasi dan obyektif. Tumpukan fakta terferifikasi itu harus benar-benar harus dapat disajikan, kapanpun diperlukan. Rasio fakta itu harus benar dapat diterima. Hanya itu cara yang tersedia. Tidak lebih. Keikutsertaan penegakan hukum, misalnya mendampingi, menyaksikan penyaluran PNM, talangan atau bayar utang, sama sekali tidak dapat dijadikan benteng buat pembuat kebijakan. Kehadiran mereka pada level itu, sama sekali tidak dapat dijadikan keadaan yang determinatif. Kehadiran merka tidak berbicara apa-apa, selain hanya menjelaskan mereka menyaksikan tindakan akhir pejabat. Bagaimana proses tindakan itu, bagaimana angka-angka yang diperoleh, bagaimana memutuskan angka, jelas tidak diketahui oleh penegak hukum. Fakta bernilai tinggi adalah keadaan nyata yang digunakan sebagai dasar menentukan besaran. sebut saja dana talangan, PNM atau pembayaran kompensasi atau bayar utang. Juga fakta bernilai tinggi adalah kesesuaian fakta antara nilai buku dengan nilai yang direalisaikan. Selisih nilai akuntansi dengan nilai nyata, tentu akan jadi malapetaka. Penipuan Korporasi Licik Selisih nilai itu, mungkin dapat dibenarkan. Bila rangkaian fakta kongkrit menyediakan unsur-unsur yang dapat menerangkan secara logis selisih itu. Itu untuk kebijakan terkait langsung BUMN dan korporasi sawsta. Terhadap korporasi swasta, soalnya lebih sedikit lebioh kompleks. Justru kebijakan pemberian bantuan, atau talangan, ataupun namanya kepada korporasi swasta, harus lebih tinggi level kehati-kehatiannya. Semoga saja pengetahuan mengenai korporasi yang pada tahun buku terakhir membukukan laba, dan atau sebaliknya rugi, benar-benar tersaji dengan jelas. Level laba dan ruginya, plus aset yang nyatanya eksis berada dalam penguasaan nyata korporasi. Juga likuid serta asset yang nyata-nyata truble, harus jelas betul penilaian dan dapat disajikan setiap waktu. Keliru pada level ini sama dengan membuka jalan untuk penegak hukum mempersoalkan level rasionalitas kebijakan itu. Kekeliruan pada level itu, sama nilainya dengan menyodorkan senjata terkokang kepada penegak hukum. Fakta itu akan memudahkan mereka, seperti telah dikemukakan di muka, menyatakan pejabat telah sedari awal bermaksud menyimpang dari hukum. Konsekuensinya sikap bathin pejabat untuk perbuatan itu benar-benar dapat dipersalahkan. Suka atau tidak semua ini harus masuk dalam daftar kehati-hatian pejabat. Pernyataan presiden mengenai penegak hukum gigit sebisa mungkin “mereka yang nyata-nyata menyimpang dan yang tidak mengikuti aturan, tidak bisa disepelekan. Terlalu mudah bagi penegak hukum untuk menemukan dan merealisasikan pernyataan Presiden itu. Itu soal terbesarnya. Pada titik ini tidak ada faedah memperdebatkan pernyataan itu akan mengakibatkan pejabat tidak nyama bekerja. Tidak perlu. Jalan terbaik menyambut pernyataan Presiden itu adalah memastikan setiap kebijakan didukung dengan tumpukan yang kredibel, baik menyangkut kuantitas dan kualitasnya. Hanya itu cara menghindar dari kemungkinan diperiksa penegak hukum, lalu ditetapkan menjadi tersangka. Nauzubillaahi minzalik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Tarung di RUU HIP, "PDIP Vesrsus Umat Islam"
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (18/06). Inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah PDIP. Rakyat tahu itu PDIP sukses mempengaruhi sejumlah fraksi di DPR. Sukses, karena nyaris tanpa penolakan. Kecuali Fraksi PKS, yang dari awal konsisten ingin memperjuangkan masuknya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tak digubris. Fraksi yang lain diam. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak tanda tangan. Ketika maklumat MUI keluar, dan protes Umat Islam terjadi dimana-mana, sejumlah anggota fraksi membuat pernyataan. Mereka jadi ikut-ikutan teriak menolak RUU HIP. Langkah cari aman. Ah, kayak nggak tahu aja kelakuan parpol. Klasik dan jadul tuh! Saat ini, RUU HIP sudah diserahkan oleh DPR ke pemerintah. Bola sekarang ada di pemerintah. Semua mata tertuju kepada pemerintah. Konsentrasi rakyat fokus ke pemerintah. Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Mendengarkan rakyat? Atau pasang badan mendukung PDIP? "Tunda", kata pemerintah. Pemerintah nampaknya ingin melihat-lihat dulu apa reaksi lanjutan dari masyarakat. Pertama, bagaimana reaksi PDIP. Kedua, bagaimana reaksi umat Islam. Mana yang paling kuat, biasanya itu yang akan jadi pilihan Jokowi. Polanya sering terbaca begitu. Jika pressure umat Islam kuat, pemerintah tak ada pilihan lain kecuali "menolak" RUU HIP. Jika sebaliknya, protes umat Islam meredup dan PDIP kuat tekanannya, maka pemerintah akan minta agar RUU HIP dilanjutkan pembahasannya di DPR. Sebagaimana diketahui, sikap MUI, NU, Muhammadiyah, Ansor, Pemuda Pancasila, FPI, dan sejumlah elemen masyarakat tegas dan jelas, “ Stop RUU HIP”. Hentikan pembahasannya. Jangan dilanjutkan. Batalkan itu RUU! Bukan revisi. Bukan juga ditunda. Sepertinya PDIP sebagai inisiator RUU HIP keberatan. Tak ada tanda-tanda mau menyerah. Lanjut! Coba bernegosiasi. Buat kompromi-kompromi. Tawarkan revisi. TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukkan. Tapi, larangan radikalisme dan Khilafah juga harus dimasukkan. Win win solution dengan umat Islam. Sampai disini, PDIP masih cukup percaya diri. Umat Islam melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah ormas yang lain nggak menanggapi nego PDIP. Dianggap angina lalu saja. Belakangan, PBNU muncul. Suaranya sangat lantang, “hentikan”. Pandangan dan sikap PBNU tegas dan lugas. Dasar pemikirannya lengkap, terukur dan berkelas. Perseteruan antara MUI, NU, Muhammadiyah plus Ormas-Ormas Islam lainnya dengan PDIP sebagai inisiator RUU HIP nampaknya akan memakan waktu yang panjang. Maraton. Sudah hampir sepekan ini, dua kelompok di atas berdebat kusur di media. Adu argumen, adu cerdik dan juga adu strategi kedua belah pihak kemungkinan akan semakin ramai ke depan. Tidak saja di media, tetapi juga dalam bentuk aksi demonstrasi. Di sejumlah daerah sudah terjadi. Demo ada dimana-mana. Nampaknya makin panas. Perdebatan tidak saja soal materiil dan formilnya, tetapi juga menyoal apa motif RUU HIP ini dilahirkan. Soal yang terakhir ini justru paling yang menarik. Sekaligus semakin seru dan memans-manaskan situasi politik nasional selama pandemic Covid 19 ke dapan. Di sini, kepemimpinan Jokowi akan diuji. Rakyat menunggu keputusan jelas dan tegas dari Jokowi. Tidak mudah memang. PDIP, tak saja sebagai partai pemenang. Tetapi, PDIP juga partai yang paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Sementara di sebelah PDIP, ada barisan MUI, NU, Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam memiliki kekuatan massa yang tak kecil. Terbesar di Indonesia. Jika isunya semakin matang, maka akan sangat merepotkan Jokowi. Legitimasi moral dan gelombang kekuatannya bisa lebih dahsyat dari 212. Asumsi ini tak terukur jika belum dibuktikan. Emang mau dibuktikan? Rakyat akan menunggu ke depan. Pertama, lebih kuat mana? Pressure PDIP vs pressure MUI yang didukung NU dan Muhammadiyah dan umat Islam itu. Kedua, kemana pilihan Jokowi akan berpihak. Kepada PDIP, atau kepada umatIslam? Rakyat sedang menunggu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Doking Si Kodok Peking di RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (18/06). Persoalan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) berismbas melebar. Dugaan adanya misi terselubung aktivis berfaham komunis atau neo-PKI berimbas pada ramainya di medsos soal Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menafikan komunis atau PKI saat ini. Bahkan menuduh yang mengungkit-ungkit soal PKI dan komunisme adalah Kadrun singkatan dari Kadal Gurun. Kadal Gurun atau Kadrun adalah predikat yang diberikan oleh aktivis PKI dahulu kepada para ulama, ustadz, aktivis Islam yang menjalankan agama Islam. Agama yang berasal dari daerah pegunungan atau gurun Saudi Arabia. Nabi Muhammad SAW adalah putera gurun. Lahir di Mekkah lalu hijrah dan berjuang serta wafat di Madinah. BAKOR KAN melaporkan Ade Armando atas sebutan Kadrun kepada masyarakat Minang. Menjelaskan bahwa Kadrun adalah predikat yang sering diungkap oleh PKI dahulu untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Tentu saja Ade membantah bahwa Kadrunnya tidak berkaitan dengan Kadrun PKI. Mana yang benar biarlah menjadi urusan hukum pembuktian nantinya. Hanya saja Franciscus Xaverius Arief Poyuono menyebutkan bahwa yang mengungkit persoalan PKI dan komunisme adalah Kadrun. Ini menjadi persoalan serius ketika penolakan dilakukan oleh umat Islam yang mendukung Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sikap tegas menolak RUU HIP yang ditengai ingin menghidupkan kembali faham komunisme dan PKI yang didukung MUI Provinsi dari seluruh Indonesia Dengan demikian, ada RUU HIP yang mengkhawatirkan kebangkitan PKI dan komunisme seluruhnya disebut Kadrun. Padahal apa yang dikemukakan oleh para ulama, ustadz, aktivis Islam, para Purnawiraaan TNI-Polri, ormas Islam dan banyak forum serta aspirasi yang menolak RUU berbau PKI dan komunisme ini sangat beralasan. Sangat obyektif, dan rasional. Bila memberi predikat seenaknya bagi mereka yang anti PKI dan komunis adalah Kadrun, maka itu dapat memancing konflik baru. Nanti bisa saja yang pro pada RUU HIP yang berbau PKI dan komunis itu disebut dengan Kodok Peking. Orang China menyukai kodok sebagai makanan pilihan paling disukai. Jadinya, pantas dan wajar saja bila yang pro dengan RUU HIP atau pro terhadap RRC atau yang menafikan keberadaan PKI dan komunisme disebut sebagai “Doking si Kodok Peking. Kodok Peking pro Peking adalah penghianat negara. Mereka yang memasukkan TKA China ke Indonesia menggeser tenaga kerja pribumi. Mereka yang menjalin hubungan sangat erat dengan Pemerintah Komunis RRC. Kodok Peking ini sangat "welcome" dan siap bekerja sama dengan Partai Komunis China. Kodok Peking adalah pemuja investasi dan hutang luar negeri dari China. Seakan-akan rela untuk dijajah oleh China. Kodok Peking adalah kodok yang kaki bagian bawahnya ada di Indonesia. Sedangkan kaki atas mengais-ngais di Peking. Hampir sulit terjadinya kebangkitan atau berkembangnya faham komunisme di dunia saat ini tanpa peran Peking (Beijing). Dahulu Sovyet yang dominan. Pejabat negara kita ada yang terang terangan menyebut Indonesia tak mungkin lepas dari China. Ini yang membuat rakyat semakin khawatir pada pengaruh RRC di segala bidang khususnya ekonomi dan politik. Poyuono dan banyak tokoh atau pemimpin negara tegas menafikan keberadaan PKI dan komunisme. Padahal fakta itu ada dan nyata. Tentu tak mungkin terang-terangan seseorang atau kelompok menyebut dirinya PKI. Apalagi menjadi kader penyebarnya. Hukum melarangnya dan sanksi hukum menghadangnya. Makanya mereka bergerak "tanpa bentuk". Makanya mereka melompat sana melompat sini. Malompat dari satu partai ke partai yang lain. Persis seperti kodok. Kodok Peking (Doking) adalah hewan yang dapat berubah bentuk menjadi hewan penyebar penyakit berbahaya. Kodok Peking biasanya berkolaborasi dengan virus virus jahat dan sesat lainnya. Menggerogoti ideologi suatu negara. mencengkeram secara ekonomi, dan mengendalikan secara politik. Bermain di pemerintahan dan ruang parlemen. Begitulah pola dan kebiasaan Kodok Peking beroperasi. RUU HIP disamping memunculkan penolakan, juga ada suara ribut Doking si Kodok Peking penjilat yang gemar lompat sana lompat sini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pajak Digital Jokowi Dibuldozer Donald Trump
by Haris Rusly Moti Jakarta FNN – Kamis (18/06). Pemerintahan Joko Widodo sedang panik menghadapi krisis APBN. Kepanikannya mengakibatkan lahirnya sejumlah kebijakan yang terkesan kalap. Tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang. Sebagai contoh, kebijakan pajak digital yang diatur di dalam UU Darurat Covid UU No. 2/2020. Kebijakan tersebut nampaknya tidak disertai instrumen penopang untuk mewujudkannya. Tragisnya lagi, ketika kebijakan itu diumumkan, langsung direspon Pemerintahan Donald Trump. Amereka berencana melakukan investigasi terkait rencana penerapan pajak digital di sejumlah negara yang dinilai diskriminatif, dan tidak adil terhadap perusahaan-perusahaan asal Amerika. Ada 10 negara yang jadi sorotan, Indonesia disebutkan juga oleh Presiden Trump. Selain Uni Eropa, disebutkan juga Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol dan Turki. Penyelidikan sedang dilakukan berdasarkan bagian 301 dari UU Perdagagan 1974 yang memberikan presiden Amerika wewenang luas untuk mengenakan tarif jika praktek perdagangan sebuah negara bagi perusahaan Amerika (The Washingtong Post, 2 Juni 2020). Reaksi keras pemerintahan Amerika Serikat terkait kebijakan pajak digital di sejumlah negara tersebut sangat lumrah. Lantaran mayoritas perusahaan digital dengan nilai kapitalisasi pasar yang tinggi berkantor pusat di Silicon Valley Amerika Serikat (Bloomberg & PWC, 2019). Sementara negara-negara yang menerapkan pajak digital mengeluh. Bahwa perusahaan digital asal Amerika Serikat tersebut telah mengeksploitasi konsumen lokal untuk data berharga mereka tanpa membayar pajak sebagai imbalan. Robert E. Lighthizer, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), mengatakan Presiden Trump memerintahkan melakukan investigasi. Dikuatirkan negara-negara yang disebutkan di atas mengadopsi skema kebijakan pajak yang diskriminatif terhadap bisnis digital asal Amerika, seperti Netflix, Facebook, dan Amazon. Lighthizer menegaskan “kami siap mengambil semua tindakan untuk membela bisnis dan kepentingan kami dari kebijakan pajak yang diskriminatif”. Sebelumnya AS telah melakukan investigasi mendalam terhadap penerapan Digital Service Tax (DST) di Prancis. Hal itu terangkum dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang AS – USTR, yaitu “Report on France’s Digital Services Tax Prepared in the Investigation under Section 301 of the Trade Act of 1974” (ustr.gov,02/12/2019) Secara garis besar, AS mendakwa bahwa rencana penerapan DST di Perancis tersebut bersifat mendiskriminasi kepada perusahaan asal AS. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan bahwa DST yang dikenakan Prancis ini sejatinya hanya akan menyasar para raksasa digital AS. Dakwaan terhadap DST Prancis yang diskriminatif ini pun diperkuat dengan beberapa argumen sebagaimana diulas Dea Yustisia (DDTC Fiscal Research). Pertama, adanya pernyataan otoritas Prancis yang secara terang-terangan menyatakan bahwa DST merupakan “GAFA Tax”. GAFA sendiri disebut-sebut merupakan singkatan dari Google, Apple, Facebook dan Amazon. Sebagaimana diketahui, keempatnya merupakan penyedia layanan digital papan atas di dunia yang bermarkas pusat di AS. Argumen pertama ini didukung pula dengan temuan AS bahwa DST di Perancis bukan dikenakan atas penghasilan netto (income) sebagaimana pengenaan PPh secara umum. Adapun basis pajak DST – secara umum dan bukan hanya yang diterapkan Prancis – ialah atas penghasilan bruto (revenue). Dengan demikian, DST ini dianggap mencederai prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional yang berlaku secara umum. Apalagi, pengenaan DST tersebut dapat pula bersifat retroaktif. Tidak terdapat ketentuan yang menyatakan pencabutan DST apabila tercapai konsensus pajak digital. Kedua, pemilihan jenis layanan digital yang akan dikenakan DST atas penghasilan brutonya. Laporan yang terbit pada akhir 2019 ini mencatat bahwa terdapat dua kategori jasa yang ditarget oleh DST Prancis, yakni iklan melalui internet dan digital interface. Investigasi yang dikepalai Robert E. Lighthizer juga menemukan bahwa 8 dari 9 grup usaha perusahaan multinasional yang akan terdampak kebijakan unilateral tersebut ialah perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Sementara itu, perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Prancis maupun Uni Eropa tidak akan terdampak karena kategori layanan digitalnya tidak termasuk dalam cakupan yang diatur DST. Ketiga, penetapan threshold (ambang batas) perusahaan yang akan dikenakan DST. Menurut laporan ini, perusahaan Amerika Serikat lagi-lagi merupakan sasaran dominan dari DST Prancis tersebut. Hal ini dikarenakan penetapan ambang batasnya yang berdasarkan penghasilan bruto, akan relevan untuk mengenakan pajak atas grup multinasional semacam GAFA. Selain itu, dakwaan adanya diskriminasi ini semakin kuat landasannya. Karena tidak adanya penjelasan mengenai dasar pertimbangan atas penetapan ambang batas tersebut. Jadinya suka-suka hati. Sikap tegas Prasiden Trump untuk melindungi perusahaan digital Amerika. Tanpa Konsensus Global Satu hal yang cukup rancu dari laporan investigasi Kantor Perwakilan Dagang AS di atas ialah pernyataan bahwa penerapan DST di Prancis akan mempersulit progres tercapainya konsensus global. Padahal, Amerika Serikat sendiri pun hingga saat ini terlihat mengambang dalam bersikap. Apakah akan mendukung atau tidak konsensus global terkait Digital Service Tax (DST). Sengketa terkait kebijakan pajak digital antara Amerika Serikat dengan Perancis, juga belanjt pada rencana Pemerintahan Trump menginvestigasi 10 negara, termasuk Indonesia, yang ditengarai akan memberlakukan pajak diskriminatif terhadap perusahaan asal Amerika. Kebijakan Tump ini akan membuldozer kebijakan setiap negara di dunia yang memberlakukan pajak digital. Sengketa seperti itu terjadi lantaran hingga saat ini tak ada aturan bersama atau minimal konsensus global yang mengatur kebijakan pajak digital. OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang bermarkas di Paris malah menunda membuat rekomendasi terkait DST yang rencananya akan diterbitkan pada tahun 2020. Alasan yang disampaikan Sekretaris Jenderal OECD, Jose Angel Guria, katanya lembaga ini masih sedang mengkaji untuk menemukan solusi jangka panjang. Solusi yang berbasis pada konsensus untuk menerapkan pajak ekonomi digital secara global. Demikian juga sebanyak 164 anggota WTO gagal untuk mengkonsolidasikan sekitar 25 proposal e-commerce yang terpisah pada sebuah konferensi di Buenos Aires pada Desember 2018. Juga termasuk rencana untuk membuat forum negosiasi e-commerce pusat. Diperparah lagi dengan adanya perang dagang AS versus China, yang bersaing untuk mendominasi ekonomi digital. Dapat dipastikan konsensus global terkait pajak digital global nampaknya masih jauh dari harapan. Ketegangan perang dagang itu telah menyebabkan Washington mengekang transfer informasi Amerika ke negara-negara asing dengan membatasi merger dan akuisisi asing melalui Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2018. Sementara jika dilihat dari data, laporan WTO menyebutkan, total nilai transaksi digital pada 2016 sebesar U$ 27,7 triliun dollar. Sekitar U$ 24 triliun dollar diantaranya merupakan transaksi bisnis-ke-bisnis (B to B). Pasar global transaksi digital bahkan diperkirakan makin meningkat dan menembus angka U$ 1 triliun dollar pada tahun 2020. Pertumbuhan ekonomi digital yang terus meningkat tanpa aturan bersama soal pajak digital sangat merugikan negara-negara yang hanya menjadi pengguna, konsumen, seperti Indonesia. Juga aturan yang terpisah dan berbeda untuk masing-masing negara dan wilayah telah menjadi beban dan hambatan yang signifikan bagi setiap perusahaan digital untuk memperluas operasi bisnis mereka. Tantangan lain yang harus diatasi, lantaran secara teori, sangat tidak mudah mengubah sistem perpajakan, terutama mutasi kebijakan pajak dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Studi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Saintifik Parlemen Uni Eropa, tentang “Tax Challenges in the Digital Economy”, mengungkap bahwa perkembangan ekonomi digital telah menciptakan tantangan baru yang tidak mudah bagi sistem perpajakan di berbagai negara. Hal itu menurut mereka, karena sistem perpajakan yang berlaku saat ini pada dasarnya didesain untuk menarik pajak dari industri-industri konvensional. Padahal di era digital ini, persoalan dan tantangan bisnis yang dihadapi sama sekali sudah berbeda. Berdasarkan hasil studi itu, terdapat dua persoalan mendasar yang menjadi tantangan besar untuk mereformasi skema perpajakan konvensional. Untuk itu, perlu menyesuaikan diri dengan ekonomi digital. Pertama, barang-barang yang diperdagangkan bersifat intangible (tidak memiliki wujud fisik) dan lintas batas negara (borderless). Misalnya, jasa berlangganan film atau lagu serta perdagangan software atau aplikasi. Persoalan kedua, terkait keberadaan fisik perusahaan digital. Mengingat mereka tidak membangun kantor cabang atau memindahkan pabrik untuk dapat beroperasi di suatu negara. Persoalan-persoalan itu, mulai dari model bisnis hingga bentuk barang yang diperdagangkan, membuat skema perpajakan konvensional yang tidak lagi relevan untuk merespons perkembangan bisnis di era digital. Perkembangan “skema kuno” konvensional itu justru memberikan kemudahan bagi perusahaan digital untuk menghindari regulasi perpajakan. Selian itu, juga memudahkan mereka untuk dan memindahkan profit mereka ke negara-negara suaka pajak (tax havens). Pengalaman Uni Eropa Akibat dari tidak tercapainya konsensus global terkait kebijakan pajak digital, maka masing-masing negara melakukan langkah sendiri-sendiri untuk mencari aspek yang paling mungkin dengan membuat regulasi nasional di setiap negara untuk menerapkan pajak ekonomi digital. Kebijakan itu yang kemudian memicu perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Amerika pimpinan Presiden Donald Trump. Uni Eropa misalnya, sebagai organisasi multilateral kawasan, tidak menarik pajak, baik pajak pertambahan nilai (disebut value-added tax; VAT di Eropa) maupun pajak korporasi. Uni Eropa hanya menyediakan payung regulasi. Maka aturan perpajakan di setiap negara anggotanya harus mengacu pada regulasi perpajakan yang diatur Uni Eropa. Meskipun setiap negara anggota Uni Eropa punya persentase pajak pertambahan nilai yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, Prancis menerapkan pajak pertambahan nilai sebesar 20 persen, Jerman 19 persen, dan berbeda dengan Hungaria yang 27 persen. Uni Eropa punya dua skema regulasi terkait pajak perdagangan digital. Perbedaan antara dua regulasi ini dilatarbelakangi perbedaan wujud barang yang diperdagangkan, apakah barang itu punya wujud fisik (tangible) atau tidak memiliki wujud fisik (intangible). Pertama, regulasi pajak pertambahan nilai mengatur bahwa pajak baru bisa dikenakan apabila nilai transaksi di atas ambang batas yang ditetapkan oleh negara tempat konsumen berada. Contohnya, Perancis mensyaratkan pajak pertambahan nilai apabila nilai produk yang diperdagangkan lebih dari 35 ribu Euro per tahun. Sedangkan Jerman mensyaratkan pajak pertambahan nilai terhadap produk dengan nilai lebih dari 100 ribu euro per tahun. Kedua, setiap perusahaan yang teregistrasi pada sistem pajak pertambahan nilai Uni Eropa wajib menjaminkan dana sebesar delapan ribu euro ke masing-masing negara tempat mereka menjual barang.Skema regulasi pajak pertambahan nilai yang pertama berlaku pada hubungan perdagangan antara perusahaan dengan konsumen (business to customer) yang memperdagangkan barang-barang yang mempunyai wujud fisik (tangible). Apabila nilai barang berada di atas ambang batas yang diatur di negara itu, maka perusahaan wajib mengenakan pajak pertambahan nilai dengan mengacu pada regulasi pajak pertambahan nilai yang berlaku di negara konsumen terkait. Begitu pun ketika perusahaan ternyata tidak berasal dari Uni Eropa. Jika nilai barang berada di atas ambang batas yang ditentukan, maka perusahaan wajib menarik pajak sesuai regulasi yang berlaku di negara konsumen. Sebaliknya, bila hubungan dagang dilakukan antara perusahaan Uni Eropa dengan konsumen di luar Uni Eropa, maka perusahaan tidak akan dikenai pajak pertambahan nilai. Sementara skema regulasi kedua berlaku pada bisnis-bisnis di bidang telekomunikasi, penyiaran, dan layanan elektronik lain seperti perusahaan gim, penyedia layanan musik, film, maupun perangkat lunak. Dalam skema ini, apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan asal Uni Eropa dengan konsumen yang juga berasal dari Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai yang dikenakan harus sesuai dengan regulasi pajak di negara konsumen berada. Selian itu, apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan yang tidak berasal dari Uni Eropa dengan konsumen Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai mengikuti regulasi pajak di negara konsumen . Melalui kedua regulasi di atas, perusahaan—baik yang berasal dari Uni Eropa maupun di luar Uni Eropa—tidak hanya bertanggung jawab untuk menarik pajak, tetapi juga mengumpulkan, melaporkan, dan menyerahkan pajak pertambahan nilai itu ke pemerintah di negara konsumen atau perusahaan itu berada. Misalnya, seseorang yang berasal dari Italia mengunduh aplikasi yang dijual oleh perusahaan asal Polandia, maka perusahaan asal Polandia itu harus menarik pajak pertambahan nilai dari konsumen sesuai dengan regulasi pajak di Italia. Penutup Dengan tidak adanya kepastian global terkait konsensus pajak digital, maka dipastikan kebijakan pajak digital yang diumumkan pemerintah Joko Widodo akan sulit dijalankan. Pertama, Presiden Donald Trump dengan projek "American First" akan melancarkan perang dagang dengan setiap negara yang berani memungut pajak secara discrominatif kepada perusahaan asal Amerika. Kedua, hambatan tidak adanya instrumen penopang untuk memungut pajak digital bisa menjadi hambatan berikutnya bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menjalankan kebijakan pajak digital. Persoalan teknologi tak bisa diatasi semata dengan solusi regulasi yang selama ini dipakai untuk mengatur kegiatan ekonomi konvensional. Bagaimana mungkin regulasi yang dibatasi oleh border negara dapat mengendalikan dan mengatur teknologi digital yang meruntuhkan border setiap negara? Bagaimana mungkin regulasi dapat mengatasi masalah pajak digital yang digerakan oleh teknologi informasi yang tak terikat teritori negara? Dua masalah ini, selain masalah tak adanya konsensus global yang diuraikan di atas, yang sepertinya menjadi hambatan yang menyebabkan kebijakan pajak digital yang diatur di dalam UU No. 2/2020 tentang Darurat Corona, dipastikan akan ambyar sebelum dijalankan. Penulis adalah Pendiri Intelligence Finance Community (INFINITY )
Menteri Erick Hancurkan Pertamina Melalui Sub Holding
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (18/06). Menteri Negara Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) Erick Thohir sebaiknya baca dan belajar lagi tentang sejarah negeri ini. Juga belajar lagi tentang konstitusi Indonesia. Bila salah melangkah, anda setiap saat bisa dijuluki sebagai pengkhianat bangsa. Melalui tulusan ini, kami ingin menegaskan padangan yang berkaitan dengan masalah pembentukan sub holding Pertamina. Sebelum membuat kebijakan terkait pengelolaan BUMN, tidak ada salahnya bila Menteri Erick perlu membaca sejarah dan landasan konstitusi bernegara, ketika membuat kebijakan apapun dalam pengelolaan BUMN. Secara khusus terkait kebijakan yang baru-baru ini ditetapkan Menteri BUMN, dengan merombak organisasi Pertamina.Tujuannya untuk mengubah haluan Pertamina secara fundamental. Untuk itu, Menteri BUMN memangkas sejumlah direksi, dan melahirkan sub Holding terhadap semua anak perusahaan Pertamina. Kebijakan membuat sub holding ini, hanya semata-mata untuk menghancurkan Pertamina. Pertamina telah menjadi holding BUMN untuk sektor migas. Namun kembali menaungi sejumlah sub holding. Misalnya sub holding upstream (hulu), sub holding refinery and petrochemical (pengolahan), sub holding commercial and trading (pemasaran), sub holding power and new and renewable energy (energi baru dan terbarukan), sub holding shipping company, dan gas. Salah satu sub holding perseroan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sekarang adalah sub holding gas, yaitu PT Perusahaan Gas Negara (PGN Persero). Selanjutnya menteri BUMN menegaskan, tugas sub holding adalah melakukan IPO alias go public. Direktur Strategi Portofolio and New Ventures (direktur baru) yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA diberi tugas merealisasikan kebijakan ini. Perombakan organisasi dan haluan Pertamina ini dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor : SK-198/MBU/06/2020 dan sekaligus dianggap sebagai RUPS Pertamina. RUPS yang tanpa laporan keuangan. Lalu dilanjutkan dengan SK Dirut Pertamina. Luar biasa perubahan mendasar dalam haluan, tujuan, fungsi, dan tugas BUMN hanya bermodalkan surat keputusan seorang menteri BUMN. Apa artinya keputusan menteri BUMN tersebut? Ini adalah privatisasi pertamina. Aset-aset operasional paling kunci di Pertamina dijual ke publik. Rantai supply paling utama urat nadi perusahaan terbesar di Indonesia ini akan dikelola bersama dengan pihak swasta. Swasta akan menjadi pemegang saham atas aset dan kekayaan Pertamina yang paling bernilai strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terutama anak perusahaan Pertamina atau sub holding yang dibentuk. Semua ini pada intinya pemerintah sedang butuh uang. Aset-aset Pertamina yang mau dijual-jual. Penting Paham Sejarah Negara ini dasar hak yang paling utama adalah sejarah. Hak pertama kali bangsa Indonesia atas seluruh kekayaan Indonesia adalah sejarah perjuangan bangsa Indonesia merebutnya dari tangan penjajah Belanda. Hak inilah yang kemudian menjadi UUD 1945, dan berbagai undang-undang yang berlaku. Seluruh aset negara Indonesia berhubungan dengan hal yang paling mendasar, yakni sejarah bangsa Indonesia yang tidak bisa diubah. Sintesa terhadap sejarah aset bangsa dan negara Indonesia tersebut adalah termaktub dalam UUD 1945 (pasal 33 ayat 2), “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kalnjutannya adalah pada ayat 3 dari pasal 33 UUD 1945, yaitu “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Demikian juga Pertamina yang menjadi aset Negara, merupakan babak sejarah yang paling penting. Mengapa penting karena keberadaan Pertamina sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia mengambil aset itu dari tangan penjajah, sehingga menaungi Pertamina dengan pasal 33 ayat 2 dan 3 tersebut. Sejarah Pertamina adalah sejarah perjuangan kemerdekaan. Sejarah merebut kedaulatan negara Indonesia atas kekayaan alam Indonesia. Dalam pelaksanaan cita-cita kedaulatan itulah, perusahaan migas yang tadinya dikuasai oleh kolonial Belanda dan perusahaan swasta lainnya diambil alih oleh negara dan disatukan menjadi perusahaan negara. Penyatuan ini adalah dalam rangka penguasaan negara sebagaimana amanat dan perintah konstitusi UUD 1945 pasal 33 itu. Bahkan pada awalnya, masa-masa awal perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan, perusahaan migas dikendalikan oleh tentara. Dikendalikan sepenuhnya untuk kepentingan perjuangan. Belum ada cita-cita untuk perniagaan atau bisnis. Sampai dengan lahirnya UU 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina, perusahaan migas ditempatkan pengelolaannya secara terpisah dengan APBN. Namun Pertamina mendapat mandat langsung dari negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab mengelola kekayaan alam migas dan sebagai pelaksana kedaulatan negara atas migas. Begitulah sejarahnya Pak Erick. Semua perusahaan migas Indonesia disatukan di bawah Pertamina. Sementara perusahaan migas asing yang masih dipertahankan keberadaannya karena alasan tertentu berada di bawah kontrak dengan Pertamina. Semua perusahaan migas yang berinvestasi di Indonesia berkontrak dengan Pertamina. Seluruh hasil minyak yang diangkat dari perut bumi Indonesia adalah kekayaan negara dan keuangan negara. Pertamina mendapat momentum terpenting, bukan hanya sebagai penyumbang pendapatan negara, tetapi juga menjadi penopang utama pembangunan, dan perekonomian negara. Dengan demikian, semua uang yang diperoleh Pertamina dalam usaha minyak terutama ekspor adalah milik negara. Uang tersebut sebagian digunakan untuk membiayai pemerintahan dan sebagian digunakan membangun infrastruktur Pertamina. Misalnya, memperluas jaringan bisnis, kantor-kantor Pertamina tersebar hingga ke Tokyo, dan New York. Menjadi salah satu persamaan yang cukup terkemuka di dunia. Uang hasil keuntungan Pertamina kalau dalam konteks sekarang adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian semua aset penting Pertamina yang dibangun, mulai dari aset operasional sepeti hulu, kilang, kapal, ritel , tanah, gedung , hotel, rumah sakit, adalah aset negara murni. Bahkan perusahaan asing yang beroperasi di hulu adalah aset negara murni. Karena setiap investasi dan operasi hulu yang dilakukan perusahaan asing tersebut diganti oleh negara melalui cost recovery. Sebagai aset negara yang dibangun dengan APBN, tidak akan semudah itu melepaskannya. Pengkhianat Negara Sebagian besar aset, harta, dan kekayaan Pertamina itu seusia dengan Republik Indonesia. Akibatnya, ada tiga masalah setidaknya yang muncul ketika aset Pertamina yang ada saat ini mau dijual kepada swasta atau asing, baik itu hanya sebagian maupun seluruhnya. Pertama, aset Pertamina itu sebagian besar adalah hasil perjuangan. Pengorbanan bangsa Indonesia merebutnya dari tangan penjajahan. Bukan hasil dagang. Bukan juga hasil dari valuasi keuangan, dan sejenisnya. Namun hasil perlawanan fisik. Jadi tidak mungkin bisa dijual kepada siapapun. Harus faham itu. Harap jangan dungu dan dongo. Kedua, aset Pertamina adalah milik Negara, yang berasal dari pengambilan kekayaan negara yang ada di perut Bumi Indonesia. Dengan demikian, dikuasai oleh negara sebagaimana ditetapkan oleh konstitusi UUD 1945. Konstitusi dasar ini adalah pasal 33 ayat 2 dan 3. Sampai sekarang belum diubah. Maknya baca. Jangan butakan mata sendiri. Ketiga, aset Pertamina itu adalah kekayaan negara yang tidak pernah dipisahkan. Dengan demikian, asset tersebut tidak dapat dipisahkan, karena berasal dari keuangan negara murni. Sekarang kita sebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Harus mengerti itu baik-baik. Jangan sampai dibilang kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Jika pemerintahan, menteri, para pejabat atau siapapun termasuk presiden maupun DPR, secara sengaja membuat kebijakan yang melegalkan atau secara ilegal menjual aset Pertamina kepada swasta, maka akan berimplikasi kepada tiga hal yang juga sangat mendasar. Pertama, terhapusnya memori sejarah bahwa perjuangan mendapatkan untuk Pertamina adalah bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan. Tidak terpisahkan dari perjuangan melaksanakan proklamasi 17 Agustus 1945. Ini akan membahayakan perjalanan sejarah bangsa ke depan. Kedua, pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Sehingga ini akan membahayakan konstitusi negara ini sendiri. Akan menjadi preseden yang buruk untuk penyelenggaraan negara ke depan. Ketiga, terjadi tindakan penyelewengan terhadap keuangan Negara. Ini juga nyata-nyata merupakan penyimpangan terhadap undang-undang, dan berbagai peraturan yang mengatur keuangan Negara. Juga penyimpangan terhadap APBN. Aset Pertamina itu sesungguhnya tidak dapat dijual. Kalau terpaksa dijual, maka harus ada referendum dari rakyat. Meminta dulu persetujuan seluruh rakyat. Jika pejabat negara memaksakan diri menjual, maka dapat dituduh atau dikategorikan sebagai pengkhianat bangsa. Pelaku pengkhianat bangsa itu bisa kualat. Dirinya, dan anak cucunya yang memakan harta itu semoga dilaknat. Mudah-mudahan niat pemerintah melalui menteri BUMN menjual Pertamina kepada swasta dan asing urung dilakukan. Amin amin amin Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Kedunguan dan Kerugian Negara Soal TKA China
by Amar Ma'ruf Jakarta FNN - Kamis (18/06). Pemerintah ini memang bersikap kepala batu. Tidak mau pertimbangkan kritikan yang ada di bawah. Tuli dan buta terhadap kritik yang datang dari masyarakat. Padahal ada data kelalaian perusahaan tentang prosedural mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA). Hukum Indonesia mengatakan,Tidak ada satupun orang di jagat Nusantara ini yang memiliki hak untuk menolak Investasi. Apalagi selama invetasi itu bertujuan mengembangkan ekonomi daerah ,dan tak lupa tidak merampok hak rakyat. Namun, dengan catatan harus sesuai alur konstitusi, bagaimana Rumusnya ? TKA (Tenaga Kerja Asing) datang dengan menggunakan indeks Visa 211 (visa kunjungan) itu adalah visa hiburan. Semacam wisata, kunjungan keluarga sejenisnya. Bukan Visa Kerja. Visa itu tidak membayar Pajak dari gaji mereka. Apalagi Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKP TKA) itu sebesar U$100 loh. Artinya, seorang yang datang bekerja dengan index visa terebut adalah ilegal. Bahasa manisnya itu, yaaa penyelundupan. Selama TKA menggunakan Visa 211, tidak dibenarkan mereka berada dilingkungan pabrik Smelter peleburan biji nikel. Jika ada, mka itu adalah tindakan pidana, dan konsekwansinya harus dideportasi dari wilayah hokum Indonesia. Mereka melanggara hukum, itulah yang terjadi dengan 49 TKA yang masuk sebelumnya ke Virtu Dragon Nickel Industry (VDNI) dan OSS bulan Maret Kemarin. Pertanyaan kepada Pak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, apakah itu bukan ancaman? Jika TKA yang masuk ke Indonesia dengan tujuan kerja, seharusnya menggunakan Visa kerja 311. Bukan Visa Kunjungan 211. Kalau ginikan Sovereignty kita sakit jadinya. Kami meminta keterbukaan informasi dari pemberi kerja dalam hal ini perusahaan pengolahan biji nikel VDNI dan OSS, ke 500 TKA yang masuk ke Indonesia ini mengantongi Visa jenis apa? Apakah seluruhnya mempergunakan Visa 311? Bagaimana kebijakan dari Kemenaker, Imigrasi, Dirjen Pajak? Yang jelas, 49 TKA China yang sebelumnya masuk ke Indonesia menggunakan Visa 211 (Visa Kunjungan) seperti yang telah diungkapkan oleh Menko Kemaritiman Dan Investasi di media sebelumnya. Dari 49 TKA yang sudah masuk dengan visa 211, negara kehilangan DKP-TKA $ 4.900/bulan atau setara dengan Rp. 73.500.000. Itu hanya baru dana Dana Kompensasi. Bagaimana dengan pajak (20%) dari gaji mereka ketika mengacu pada pernyataan Duta Besar China di Indonesia Wang Liping sebesar $30.000 per tahun atau setara Rp. 450 juta (kurs Rp.15.000) Totalnya kerugian negara adalah Rp 441 juta setiap bulan. Terus kalau setahun berapa? Bukannya Rp. 6.100.500.000. Lalu bagimana jika 500 TKA itu ternyata mengggunakan Visa unprosedural pula. Setelah dihitung mengikuti sample 49 TKA sebelumnya, maka negara rugi Rp. 54 miliar per tahun. Bagimana dengan puluhan ribu TKA China yang telah lebih dulu ada dan bekerja di dalam pabrik smelter nikel, baik yang di VDNI maupun OSS? Bukan itu saja. Bagaimana dengan yang ada di Halmahera, Morowali, Bantaeng, Riau dan lain-lain? Sebaiknya KPK deh yang turun ke sana hitung sendiri korupsi dan kerugian negara yang terjadi. Sebbaiknya kita buka-bukaan sajalah kepada publik. Apa sih jenis pekerjaan dari 500 TKA China yang katanya tenaga ahli itu?Apa jenis Visa mereka gunakan? Apa latar belakang mereka? Kalau nggak mau, ya sudah fair-fairan saja apa yang sebenarnya terjadi? How much? Masa setelah pertemuan tersembunyi Pemprov, Pemda, Polda bersama Menko Kemaritiman, tiba-tiba bilang "ok silakan masuk". VDNI serta OSS pula harus terbuka dan harus di audit penggunaan tenaga kerjanya. Berapa banyak tenaga kerja yang telah diselundupkan masuk ke Indonesia dengan menggunakan Visa kunjungan? Apakah sesuai dengan Telex visa yang telah dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal Indonesia di China. Apakah sesuai dengan permohonan kedua perusahaan tersebut ? Selaku putra Sulawesi Tenggara, saya berharap Pemkab dan Pemprov seharusnya menikmati sistem bagi hasil pajak tersebut. Atau sebaiknya begini saja, Kementrian Tenaga Kerja dan Dirjen Pajak kami tantang deh untuk terbuka. TKA China itu upahnya dibayar dimana? Apakah dibayar di Indonesia kah atau di negara asal ? Kalau mereka dibayar di Indonesia, maka mereka harus bayar pajak. Masa TKI saja yang dipotong gajinya, sementara mereka TKA China tidak? Mereka sama juga mencari makan di Indonesia. Tetapi kalau mereka gajinya dibayar di negera tercintanya, maka perusahaan VDNI dan OSS telah melanggar dua hal, yaitu mall Prosedural Visa, dan Mall payment Upah. Ibarat WNI yang baru start membibit, namun WNA datang langsung panen. WNI dikasi kartu prakerja, WNA dikasi langsung kerja. Kan aneh jadinya. Saya tantang deh Ibu Menteri Tenaga Kerja kita diskusi tentang Tenaga Kerja Asing. Biar ndak keluarin surat Pimplan lagi. Pemerintah hanya memperhatikan perusahaan Asing, pengusaha merah putih yang jelas-jelas pekerjakan tenaga lokal, bayar, pajak, bayar royalty dan kasi CSR udah ngerengek rengek agar dibuka ekspor nikel, malah nggak dikasih. Anak angkat disanjung, anak kandung dibuang, kan gila Negara ini Penulis adalah Wakil Sekjen PB HMI.
New Normal, Sama Dengan New President?
by Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Rabu (18/06). "Jadi dia guru dansa dan dia berdansa dengan teman dekatnya itu (WN Jepang )," kata Menkes Terawan Agus Putranto dalam jumpa pers di RSPI Sulianto Saroso, Jakarta Utara, Senin (2/3/2020). Maknanya, guru tersebut tertular setelah berdansa dengan warga negara Jepang yang bukan mahramnya. Otomatis, ibunya yang serumah pun tertular. Dansa bukan budaya Indonesia, apalagi Islam. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra: 32). Presiden, secara resmi mengumumkan dua orang terpapar virus corona China tersebut. Aneh. Dua orang saja yang baru terpapar virus China itu, belum meninggal, namun serius diumumkan. Padahal, lebih 894 petugas KPPS meninggal ketika Pilpres, namun Presiden tidak ada empatinya. Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kades, boleh dibilang tidak ada yang merespons kematian 894 petugas KPPS. KPU, KPUD, Bawaslu, dan Panwaslu, seirama dengan sikap bos mereka. Apalagi, sebagian kepala daerah yang berpikir, jangan-jangan mereka berada dalam radar Jaksa Agung, orang parpol yang ada dalam koalisi penguasa waktu itu. Tragisnya, dokter Ani Hasibuan yang mengemukakan pendapat ilmiahnya secara professional, malah dikriminalisasi. Inilah contoh negara kekuasaan. Bukan negara hukum. Ilustrasi pertama pengkhianatan terhadap bangsa. Teori Kekekalan Enerji Semua energi yang ada di alam semesta ini tidak dapat dihilangkan. Energi hanya dapat diubah bentuknya menjadi energi bentuk lain. Panas setrika misalnya, merupakan hasil perubahan dari energi listrik. Jumlah enerji dari listrik sama banyak dengan yang digunakan di setrika. Berlaku juga hukum keseimbangan. Jumlah air yang menguap dari dalam tanah dengan yang turun dalam bentuk hujan, sama banyaknya. Satu detik, 16 juta ton air menguap dari bumi. Jumlah itu, sama dengan banyaknya air hujan yang turun ke bumi dalam satu detik. Ketika korban nyawa akibat virus China sudah mencapai empat ratusan orang, di salah satu grup WA, saya katakan, angka itu akan mencapai 894 orang, barulah serangan wabah menurun. “Menurut Arief, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit,” tulis Kompas.com tanggal 22 Januari 2020, pukul 15.46 WIB. Maknanya, menurut Ketua KPU, Arief Budiman, ada 894 petugas KPPS yang meninggal dan 5.175 yang sakit dalam Pilres 2019. Faktanya, 11 Juni 2020, 2.000 orang sudah meninggal. Apakah teori kekekalan enerji yang saya sebutkan di grup WA itu, keliru? Sebab, petugas KPPS Pilpres 2019 yang meninggal 894 sedangkan korban virus China, sudah 2.000 orang. Apakah itu berarti, dari 5.175 petugas KPPS yang sakit tersebut, tidak dilaporkan lagi berapa yang meninggal kemudian? Jika teori kekekalan enerji itu benar, maka diperkirakan korban meninggal dunia akibat virus China akan mencapai 6.069 orang. Maknanya, kebijakan Presiden tentang new normal ini akan menambah empat ribuan orang lagi yang akan meninggal. New Normal bermakna Presiden Baru? “Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan covid-19. Sekali lagi, yang penting masyaraat produktif, aman, dan nyaman,” kata presiden melalui keterangan resmi dari Istana Merdeka, Jum’at, 15 Mei lalu. Tanggal 26 Mei, Presdien mengumumkan 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota bisa bersiap menerapkan tatanan baru. Sidoarjo termasuk salah yang akan melaksanakan new normal padahal masih berstatus merah, dimana 609 kasus positif pada 29 Mei. Pertanyaannya, presiden mengutamakan produksi atau keselamatan rakyat? Keduanya berjalan serentak? Secara teoritik, kedua hal tersebut dapat berjalan beriringan. Syaratnya, pemerintah dan rakyat sudah siap. Pemerintah siap dengan sistem kepemimpinan baru, pengelolaan negara yang modern serta sarana dan prasarana penanggulangan virus China termutakhir. Kepemimpinan baru bermakna ganti presiden? Bisa iya. Tapi, juga bisa tidak. Sistem kepemimpinan baru, bermakna reshuffle kabinet atau cara kerja kabinet yang harus dibaiki. Bisa iya. Tetapi, bisa juga tidak. Sebab, ikan selalu busuk dari kepala. Sarana dan prasarana baru bermakna, penambahan rumah sakit, tenaga medis, peralatan medis, dan obat-obatan mutakhir. Apakah pemerintah mampu melakukan hal tersebut? Sebagian masyarakat, termasuk saya, ragu. Sebab, menghadapi gubernur-gubernur DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saja, pemerintah pusat sudah kedodoran. Tidak ada di antara mereka yang ikhlas menyetujui kebijakan new normal tersebut. Anies Baswedan, salah satu dari 100 cendekiawan muslim terkenal di dunia saat ini, dan cucu pahlawan nasional, yang karena kecerdasan dan keahlakkannya, menggunakan istilah “PSBB transisi” sebagai bahasa tubuh menolak kebijakan Presiden tentang new normal. Komponen kedua adalah rakyat. Apakah mereka siap membantu keberhasilan new normal? Maaf, bukan menghina bangsa sendiri. Faktanya, masyarakat Indonesia terkenal tidak disiplin. Perhatikan, bagaimana mereka tetap berdesak naik bus, angkot, kereta api, pesawat terbang. Mereka juga berdesak-desakan menerima bansos di kantor kelurahan atau di tempat publik lainnya. Tolok ukur untuk memerkirakan new normal berhasil atau tidak, perlu mengamati kebijakan pemerintah Korsel. Sistem birokrasinya, salah satu dari tiga negara terbaik di Asia (Singapura, Jepang, Korsel). KPK juga sudah berguru sama Korsel mengenai proses reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi. Rakyat Korsel disiplin. Negeri ginseng ini mulai menerapkan new normal pada awal Mei 2020. Faktanya, tanggal 28 Mei lalu, pemerintah menerapkan kembali proses karantina. Sebab, pada hari itu, ada 78 kasus baru terpapar virus China. Diulangi, hanya 78 kasus baru. Bandingkan dengan Indonesia, dimana 979 kasus baru pada 11 Juni setelah diberlakukan new normal, awal bulan. Total, 35.295 orang terpapar virus China dan 2.000 orang meninggal. Pelajaran dari Negeri Ginseng Pemerintah Korsel melakukan intervensi cepat pada akhir Januari 2020. Sebelum krisis datang. Pemerintah Indonesia, baik oleh Wakil Presiden, Menko maupun para Menteri mengatakan, Indonesia tidak akan terkena virus corona. Pemerintah Korsel, sepekan setelah diumumkan kasus pertama, pejabat terkait menemui perwakilan berbagai perusahaan medis. Perusahaan diminta segera mengembangkan alat uji virus China dan memroduksinya secara massal. Hanya dalam dua pekan, ribuan perangkat tes dikirim setiap hari. Padahal, waktu itu, kasus yang dikonfirmasi masih dua digit. Kini, Korsel mampu memroduksi 100.000 kit per hari. Sejak itu, ada pembahasan ekspor alat uji tes ke 17 negara. Kebijakan solutif pencegahan dan penyembuhan diikuti lockdown di Daegu, daerah dimulainya virus China. Lalu bagaimana di Indonesia? Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan yang sebaliknya. Mengimpordan mengimpor. Bahkan, permintaan Gubernur DKI untuk dilakukan lockdown di Jakarta, ditolak oleh pemerintah Pusat. Nyata benar, perbedaan kualitas kepempinan tingkat negara. Kebijakan kedua pemerintah Korsel, dilakukan test dini anggota masyarakat. Sesering dan seaman mungkin. Korsel adalah negara yang menguji anggota masyarakat terbanyak di dunia, lebih dari 300.000 tes untuk tingkat per kapita. Bahkan 40 kali lipat dari AS. Pendekatan dengan cara pengujian masif dirancang untuk mengetahui seberapa besar wabah yang telah berlangsung. Rumah sakit dan klinik di Korsel tak kewalahan, karena pejabat membuka 600 pusat pengujian untuk menyaring orang sebanyak mungkin. Juga yang secepat mungkin. Proses tersebut jugauntuk menjaga petugas kesehatan tetap aman dengan meminimalkan kontak. Pengujian juga menggunakan stasiun drive-thru, di mana 50 stasiun digunakan untuk menguji pasien tanpa meninggalkan mobilnya. Mereka juga diberikan kuisioner, pemindaian suhu jarak jauh dan swab pada tenggorokan. Setiap proses butuh waktu hanya sekitar 10 menit. Hasil tes sudah bias diperoleh dalam beberapa jam. Bandingkan dengan Indonesia, 2 sampai 3 hari baru diketahui hasil test. Metode ketiga, pencarian kontak dan isolasi. Dimana jika seseorang dinyatakan positif, petugas kesehatan akan menelusuri kembali jejak perjalanan pasien dan mengujinya. Bahkan, jika perlu segera mengisolasi siapa pun yang melakukan kontak dengan pasien positif itu. Korsel telah mengembangkan alat dan tindakan pelacakan kontak agresif sejak MERS. Petugas kesehatan Korsel menelusuri pergerakan pasien dengan menggunakan rekaman kamera keamanan. Selain itu menelusuri melalui catatan kartu kredit, hingga data GPS dari mobil dan ponsel. Layaknya kerja seorang detektif. Saat wabah semakin meluas, pemerintah mengandalkan pesan massal untuk melakukan pelacakan secara intensif. Ponsel warga bergetar dengan peringatan darurat setiap kasus baru ditemukan di distrik mereka. Situs web dan aplikasi ponsel merinci jadwal perjalanan orang itu jam demi jam. Terkadang menit demi menit. Bahkan, bus yang dinaiki, kapan, dan dimana mereka naik-turun, terdeteksi walaupun memakai masker. Warga Korsel mengikhlaskan hilangnya privasi demi kepentingan bersama. Mereka yang melakukan karantina mandiri diwajibkan mengunduh aplikasi yang memberitahu petugas, jika nanti keluar dari isolasi. Korsel menerapkan denda bagi pelanggar, sebesar U$ 2.500 dollar. Di Indonesia, warga tidak mau ditest. Metoda Keempat, pendaftaran warga yang menjadi sukarelawan kesehatan. Dahsyatnya, siaran televisi, pengumuman stasiun kereta bawah tanah, dan peringatan di ponsel pribadi tak pernah berhenti mengingatkan warga untuk mengenakan masker. Pesan di ponsel pribadi juga memberi petunjuk tentang social distancing dan data transmisi pada hari itu. Wajar kalau survei menunjukkan, mayoritas warga menyetujui dan yakin dengan upaya pemerintah untuk menangani virus China ini. Bahkan, pemerintah memberi intensif bagi warga yang tak bergejala, mau dites. Berbeda dengan Indonesia, dimana mayoritas masyarakat tidak percaya kemampuan pemerintah menangani virus China ini. Mungkinkah cara Korsel diadaptasi? Para ahli menyebutkan, Korsel berhasil karena pemerintah memiliki kemauan politik yang serius untuk melindungi rakyatnya. Sedangkan Indonesia, pemerintah lebih mengutamakan keselamatan usaha asing dan aseng. Lha, apa buktinya? Buktinya Presiden mendatangi mall milik Naga 9 ketimbang ke masjid atau pasar induk. Persoalan berikutnya, kepercayaan publik Korsel sangat tinggi terhadap pemerintah. Sementara di Indonesia, ada kalangan yang menyambut kebijakan new normal dengan goyonan, mendingan “new president”. Rekonsiliasi atau Reorientasi? Dua alternative menuntaskan virus China dan dampaknya. Pertama, rekonsiliasi nasional dengan memerhatikan aspirasi masyarakat yang ingin Sidang Umum Istimewa MPR, mema’zulkan presiden dengan mengikuti protokoler UUD 45. Menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai presiden dengan tugas melaksanakan Pilpres dalam waktu dua tahun ke depan. Kedua, tidak ada pema’zulan presiden, dengan cara, “Menarik RUU Omnibus Law dan RUU HIP, Membatalkan UU No 2/2020 tentang Covid 19 dan UU Minerba”. Selain itu, menahan dan memroses Penyelanggara Negara yang terindikasi komunisme, marxisme, dan leninisme. Membebaskan pemuda, mahasiswa, ulama, dan aktivis yang ditangkap karena penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Semoga ! Penulis adalah Mantan Penasehat KPK
Pemakaian Klorokuin untuk Pasien Covid-19 Tidak Berbahaya?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jumat (12/6/2020) mengumumkan lima kombinasi obat yang efektif melawan Virus Corona. Hal ini diketahui berdasarkan hasil studi yang dilakukan para pakar di Indonesia. Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, Dr dr Purwati, SpPD, K-PTI FINASIM, menyebut lima kombinasi obat ini didapatkan setelah ilmuwan meneliti 14 regimen kombinasi obat. Melansir Detik.com, Jumat (12 Jun 2020 14:49 WIB), dalam konferensi pers yang disiarkan BNPB, hasil uji menunjukkan obat dapat menurunkan jumlah virus Corona dari ratusan ribu hingga sampai tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. “Kami mendapat lima kombinasi regimen obat yang mempunyai potensi dan efektivitas cukup bagus untuk menghambat virus masuk dalam sel target dan untuk menghambat atau menurunkan perkembangbiakan dari virus itu di sel,” kata dr Purwati. Konon, lebih dari 3 ribu pasin Corona di RS Darurat Wisma Atlet sembuh dengan memakai kloroquin. Berikut 5 kombinasi obat yang diumumkan efektif: Lopinavir-ritonavir-azitromisinLopinavir-ritonavir-doksisiklinLopinavir-ritonavir-klaritromisinHidroksi-klorokuin-azitromisinHidroksi-klorokuin-doksisiklin Menurut dr Purwati, regimen kombinasi obat corona tersebut tidak untuk diperjualbelikan secara bebas. “Belum diperjualbelikan. Ini kolaborasi antara Unair, BNPB, dan juga Badan Intelijen Negara,” ungkapnya. Hasilnya menunjukkan bahwa obat ini bisa menurunkan jumlah virus Corona, dari jumlahnya ratusan ribu sampai tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. Detik.com merangkum kegunaan dari 5 kombinasi masing-masing obat yang disebut efektif untuk menurunkan jumlah virus Corona tersebut. Lopinavir-ritonavir. Dikutip dari Drugs.com, lopinavir dan ritonavir adalah kombinasi obat antivirus yang digunakan untuk mengobati Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus itu bisa menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Pada bulan Februari lalu, dokter di Thailand mengatakan mereka melihat adanya perbaikan pada kondisi pasien Covid-19 saat diberi kombinasi obat tersebut. Azitromisin. Azitromisin atau azithromycin adalah obat untuk mengobati infeksi bakteri di berbagai organ dan bagian tubuh, seperti mata, kulit, saluran pernapasan, hingga alat kelamin. Obat yang termasuk dalam golongan antibiotik makrolida ini bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Doksisiklin. Doksisiklin atau doxycycline merupakan antibiotik yang digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit karena infeksi bakteri. Obat ini juga bisa mengatasi berbagai penyakit akibat infeksi bakteri, seperti infeksi bakteri di paru-paru, saluran pencernaan, saluran kemih, mata, kulit, sampai infeksi menular seksual. Selain itu, doksisiklin juga bisa menjadi pilihan untuk mengatasi dan mencegah anthrax. Klaritromisin. Hampir sama dengan doksisiklin, klaritromisin atau clarithromycin juga termasuk antibiotik makrolida yang bisa melawan bakteri dalam tubuh. Biasanya obat ini digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri yang mempengaruhi kulit dan sistem pernapasan. Hidroksiklorokuin. Hidroksiklorokuin. adalah obat quinoline yang digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit malaria, yaitu penyakit yang disebabkan parasit yang masuk ke tubuh melalui gigitan nyamuk. Mengutip Medlineplus, obat ini juga ditujukan untuk anti-rematik. Bisa digunakan untuk mengobati gejala rheumatoid arthritis, untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan pada radang sendi. Selain itu, obat ini juga bisa mencegah dan mengobati Discoid Lupus Erythematosus (DLE) yaitu suatu kondisi peradangan kronis pada kulit. Dan, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) kondisi peradangan kronis pada tubuh. Sebelumnya pemakaian dan uji coba klorokuin dan hidroksiklorokuin itu sempat dihentikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), karena alasan keamanan pada pasien Corona. Sebuah studi di The Lancet menunjukkan pasien Corona yang diberi obat malaria hidroksiklorokuin dan klorokuin alami gangguan jantung hingga tingkatkan risiko kematian. Namun, kini studi berjudul “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis” itu akhirnya ditarik. Alasannya karena peninjau independen tersebut tak bisa mengakses data yang digunakan untuk analisis sehingga validitasnya diragukan. Indonesia sendiri hingga saat ini masih menggunakan klorokuin untuk pasien Corona seperti di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Hingga Jumat (5/6/2020), ada lebih dari 3 ribu pasien yang dilaporkan sembuh dan sudah dipulangkan. “Total kami rawat 4.470 pasien (virus Corona Covid-19). Hingga saat ini yang sudah sembuh totalnya 3.325 pasien,” jelas Arief Riadi, Ketua Tim Medis Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) melalui pesan singkat kepada Detikcom dan ditulis Sabtu (6/6/2020). Arief menjelaskan, seluruh pasien Corona di RS Wisma Atlet diberikan klorokuin. Pemberian klorokuin kepada seluruh pasien Corona di Wisma Atlet tidak memiliki efek samping serius atau berbahaya. “Semua pasien di RS Wisma Atlet pakai klorokuin. Alhamdulillah tidak ada (efek serius dari penggunaan klorokuin),” lanjutnya. Menurut Arief Riadi, persentase kesembuhan dari penggunaan klorokuin masih dalam tahap penelitian. Namun, untuk saat ini dapat dilihat dari banyaknya pasien sembuh Corona yang sudah dipulangkan. “Masih dalam penelitian untuk tingkat kesembuhannya. Tetapi dari data di atas jumlah yang pulang (pasien sembuh menjalani perawatan termasuk diberi klorokuin),” ungkapnya. Efek Samping Melansir Kompas.com, Rabu (15/04/2020, 16:14 WIB), artis Tom Hanks dan sang istrinya Rita Wilson, sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Pasangan artis Hollywood ini terkena virus tersebut di Australia dan menjalani perawatan sebelum akhirnya kembali ke Amerika Serikat. Kala menjalani perawatan, pasangan ini mendapatkan obat klorokuin. Obat yang sebenarnya untuk penyakit malaria itu ternyata memberinya efek samping. “Efek samping yang ekstrem," kata Wilson kepada pembawa acara Gayle King pada Selasa (14/4/2020). Setelah meminum klorokuin, Wilson merasa sangat mual dan mengalami vertigo serta otot-otot yang terasa melemah. “Kita harus sangat mempertimbangkan obat ini,” katanya. “Kami tidak tahu apakah itu aman dalam kasus ini,” imbuhnya. Meskipun ribuan pasien corona yang sakit parah sedang dirawat dengan versi yang lebih baru dari obat malaria yang disebut hydroxychloroquine. Obat tersebut memang masih dalam taraf uji coba. Sekelompok dokter menyebutnya sebagai pengobatan Covid-19 yang paling efektif, tetapi dalam beberapa kasus tidak berhasil. Para peneliti telah membatalkan suatu studi di Brasil terhadap obat tersebut setelah sebagian pasien mengalami komplikasi jantung yang berpotensi fatal. Konon, tidak hanya komplikasi jantung saja efeknya. Klorokuin juga bisa merusak mukosa lambung, yang diikuti dengan iritasi lambung. Klorokuin itu obat malaria – parasit – bukan obat virus. Pemakaian antivirus, jelas merusak keseimbangan ekosistem di lambung. Penulis, Wartawan Senior