ALL CATEGORY

Mahfuz Sidik Tidak Menduga Gugatan Partai Gelora soal UU Pilkada Bakal Timbulkan Turbulensi Politik yang Dashyat

JAKARTA | FNN - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, Partai Gelora tidak menduga jika gugatan yang ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Partai Buruh soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik yang dashyat, mengubah peta Pilkada 2024. \"Ibarat orang naik pesawat lagi tenang-tenangnya mau disajikan makanan, tiba-tiba turbulensi. Pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 4.000 kaki. Anjloknya luar biasa, semua orang dan makanannya terhempas. Kami di Partai Gelora tidak memprediksi ini terjadi,\" kata Mahfuz Sidik, Sekretaris Jenderal Partai Gelora dalam diskusi Gelora Talks, Rabu (28/8/2024) sore. Dalam diskusi dengan tema \"Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?\" itu, Mahfuz mengungkapkan awal mula muncul ide untuk menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah , usai Partai Gelora dinyatakan tidak lolos ke Senayan karena tidak memenuhi threshold parliamentary (PT) 4 persen. \"Usai Pileg dan Pilpres, Partai Gelora  waktu itu sudah diputuskan oleh KPU tidak lolos 4%. Lalu, kita mikir apalagi yang harus kita kerjain agar segera beralih ke agenda Pilkada. Kita temukan ada klausul dalam pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, bahwa yang berhak mencalonkan kepala daerah yang punya kursi. Itu yang kita gugat,\" ujarnya. Kemudian pada bulan April, Partai Gelora mengajak diskusi partai poltik  yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 % kursi dan 25 % suara untuk mengajukan gugatan, karena mereka juga memiliki kursi di DPRD I dan DPRD II. \"Awalnya ada 4 partai yang mau ajukan judicial rewiew, tapi kemudian tinggal Partai Gelora dan Partai Buruh yang mengajukan. Tanggal 21 Mei kemudian kita ajukan gugatannya ke Mahhamah Konstitusi,\" jelasnya. Mahfuz tidak yakin dan pesimis gugatannya bakal dikabulkan, karena hingga bulan Juli, MK terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada pada bulan Agustus. \"Kita agak ragu-ragu berkaca dari hasil gugatan kita soal Pilpres, tapi kemudian kita diundang tanggal 20 Agustus untuk mendengar putusan. Ternyata,  putusan yang kita dapatkan, melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya, satu dikasih 10 oleh MK,\" katanya. Partai Gelora, Mahfuz, bersyukur sekaligus bingung terhadap putusan MK tersebut. Bersyukur bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi, sementara bingung karena MK membuat aturan baru di dalam UU Pilkada yang menjadi haknya DPR selaku pembuat Undang-undang (UU). \"Sehingga terjadilah turbulensi. Efek dari turbulensi ini, terjadinya perubahan peta pilkada, dan perubahan itu . itu masih terasa sampai sekarang. Ada orang yang pindah tempat duduk, dari di depan ke belakang atau sebaliknya, bahkan ada yang terhempas,\" ungkapnya. Akibat Putusan MK ini, menurut Mahfuz, membuat peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis. Partai Gelora yang pada awalnya hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi. Mahfuz berharap pasca putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang. \"Sebab MK telah mengambil wilayah DPR selaku pembuat undang-undang, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis. Bahkan MK juga tidak konsisten dengan putusannya soal ambang batas pencalonan, di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR,\" katanya. Sekjen Partai Gelora ini menilai, MK justru semakin menciptakan demokrasi menjadi lebih substatif dan prosedural, membuat prilaku pemilih menjadi pragmatis dan permisif, biaya politik makin tinggi dan menyuburkan praktik korupsi. Sehingga bisa merusak, budaya politik dan demokrasi itu sendiri. \"Kita harus evaluasi perjalanan selama 25 tahun ini. Kita harus dudukan lembaga yang ada pada tupoksinya, tidak seperti sekarang carut-marut sampai ada lembaga membajak kewenangan lembaga lain. Semua regulasi harus kita harmonisasi dan konsolidasi,\" tegasnya. *Keberadaan MK Bakal Dievaluasi* Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan, DPR akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang, karena terlalu banyak urusan yang dikerjakan, padahal bukan menjadi urusan MK. \"Jadi nanti kita evaluasi posisi MK-nya, karena memang sudah seharusnya kita mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketetanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,\" kata Doli. Contohnya misalkan soal sengketa pemilu, terutama pilkada yang juga ditangani MK. Padahal judul lembaganya adalah Mahkamah Konstitusi, tugasnya adalah merewiew UU yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga masuk pada hal-hal teknis. \"Disamping itu banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya pemerintah dan DPR, tapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ke-3. Meminjam istilahnya Pak Mahfuz, MK ini melampaui batas kewenangannya,\" ujarnya. DPR, lanjut politisi Partai Golkar ini, juga akan melakukan perubahan hirarki tata urutan peraturan perundang-udangan, karena keputusan MK ini suka atau suka bersifat final dan mengikat.  \"Akibatnya putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis seperti halnya dengan putusan kemarin. Tetapi ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan. Karena itu, kita perlu melakukan penyempurnaan semua sistem, baik pemilu, kelembagan dan katetanagaraan\" katanya. Sedangkan pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan, panasnya hubungan antara MK dan DPR hingga menyebabkan turbulensi politik, bukan hanya sekedar menerima atau menolak putusan MK soal ambang batas pencalonan di Pilkada. \"Tetapi DPR sudah jauh-jauh hari sudah banyak menolak putusan MK, karena MK itu yudikatif, tapi kerjanya legislatif. Ini berbahaya, bisa menimbulkan situasi anarkis. Karena memang konstitusi kita menyebutkan pembuat undang-undang itu pemerintah dan DPR, bukan MK,\" kata Qodari. Jika MK masih seperti ini, Qodari mengusulkan agar keberadaan Mahkamah Konstitusi dibubarkan, atau di dalam konstitusi ditulis, bahwa pembuat undang-undang itu MK, bukan DPR atau pemerintah. \"Putusan MK jadinya kayak TAP MPR, padahal MK bukan lembaga tertinggi negara, dan juga lembaga tinggi yang dipilih rakyat. Karena itu, ini menjadi gawat menimbukan turbulensi seperti sekarang,\" katanya. Direktur Eksekutif IndoBarometer ini menambahkan, turbulensi politik semakin-makin menjadi-jadi karena pelaksanaan Pilkada digelar menjelang penyusunan kabinet pada Oktober mendatang. \"Kalau Pilkadanya sebelum penyusunan kabinet atau jauh-jauh hari, tidak akan ada gejolak atau turbulensi, . mana ada di pilkada sebelumnya. Ini akibat efek dari pelaksanaan Pemilu seretak, dimana Pileg dan Pilpres dilakukan bersamaan dan berdekatan dengan Pilkada,\" tandasnya. Sementara itu, Ketua KPU RI Periode 2021-2022 Ilham Saputra mengatakan, putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini sebagai keputusan di luar batas, meskipun putusan tersebut, mendapatkan dukungan dari masyarakat. \"Saya ingin menggaris bawahi pernyataan Bang Doli, sebenarnya evaluasi penyelenggaraan Pilkada ini sudah jauh-jauh hari sudah dilakukan pemerintah dan DPR. Sistem Pemilu, termasuk Pilkada memang harus dievalusi,\" kata Ilham. Evalusi tersebut, lanjutnya, perlu segera dilakukan jika melihat kondisi penyelenggaraan pemilu dan kondisi di masyarakat sekarang. Namun, evaluasi pemilu tidak harus dengan mengganti undang-undang setiap selesai pemilu. \"Evalusi itu tidak harus bongkar pasang ganti undang-undang setiap selesai pemilu. Pemilu itu pemikirannya harus demokratis, bersih, penyelenggaranya profesional mandiri, sesuai konstitusi dan lain-lain. Kalau sekarang tidak jelas, sehingga banyak menimbulkan komplain di masyarakat,\" pungkasnya. (Ida)

Bargaining Politik Jokowi-Mega Jegal Anies

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Demi mencegah pertumpahan darah sesama rakyatnya, Bung Karno rela mengorbankan dirinya dalam peristiwa 1965. Kini, Mega yang anak biologis Bung Karno di usia senjanya tengah diuji,  sanggupkah melawan Jokowi dan oligarki sembari merelakan kader-kader PDIP bermasalah hukum sekaligus memberikan mandat ke Anies untuk maju di Pilkada Jakarta 2024?. Satu-satunya alasan Megawati Soekarno Putri tidak mengusung Anies Baswedan dari PDIP untuk pilgub Jakarta adalah karena tekanan Jokowi. Pasalnya, Jokowi melakukan bargaining,  jika Mega mengusung Anies, maka sekjend PDIP Hasto Kristisnto dan beberapa kader PDIP bermasalah hukum lainnya termasuk yang ikut pilkada di beberapa daerah,  akan  dijebloskan ke penjara. Jokowi masih punya kekuatan meski lengser kurang dari dua bulan. Jika Mega nekat usung Anies, maka agenda pilkada PDIP di beberapa daerah akan berantakan. Paling krusial ada target Hasto sekjend PDIP yang akan dioperasi pada level penangkapan. Hasto yang berperan besar dalam merekomendasikan calon kepala daerah PDIP, sejak lama memang sudah  menjadi incaran KPK dan Kejagung. Sebut saja kasus Harun Masiku, DJKA dll, Hasto menjadi beban terberat bagi Mega dan PDIP. Mega dalam pilihan yang sulit, begitu dilematis. Dalam satu sisi sudah mengambil jalan oposisi namun masih tersandera politik oleh Jokowi. Di lain sisi Mega menyadari betul, bahwasanya hanya Anies yang memiliki kekuatan akar rumput yang bisa menang pilkada Jakarta melawan calon gubernur boneka yang diusung rezim Jokowi (baca: 12 partai politik brekele).  Mega tengah diuji karakter dan integritasnya. Memilih antara mengusung atau menjegal Anies yang linear dengan  takluk atau melawan pengaruh dan tekanan Jokowi. Mega dihadapkan pada pilihan realitas politik yang sangat menentukan masa depan konstitusi dan demokrasi di Indonesia melalui politik pilkada Jakarta. Akhirnya sikap oposisi PDIP akan diuji dalam menentukan fenomena Anies. Figur Anies yang telah menjadi musuh besar dan utama bagi  Jokowi dan oligarki sehingga segala cara dilakukan untuk menjegal Anies untuk memegang peranan penting dan strategis dalam jabatan publik. Akankah Mega dengan PDIP  membangun kolaborasi dengan Anies untuk melawan Jokowi dan oligarki yang juga telah menghianatinya?.  Rakyat hanya tinggal menunggu sejarah yang akan ditulis Mega sendiri, menjadi pahlawan atau penghianat sebagaimana Jokowi dan oligarki yang kini ditentangnya. Sanggupkah hati nurani Mega  bicara demi kepentingan konstitusi dan demokrasi yang sejati?. Ataukah Mega terpaksa  bargaining politik dengan Jokowi untuk menyelamatkan kader-kader PDIP yang bernasalah hukum,  seiring sejalan dengan berat hati batal mengusung  Anies dalam pilgub Jakarta 2024. (*)

Ideologi Belum Mati: Kebangsaan Bukan Hanya Milik PDIP

Oleh: Joko Sumpeno ---Pemerhati masalah sejarah dan politik MENCERMATI pikiran, ucapan dan langkah politik Megawati  menunjukkan bahwa ideologi dalam kadar tertentu masih hidup dengan ditunjukkan langkah PDIP menghadapi Pemilukada serentak ini, khususnya bagi DKJ. Ini menunjukkan PDIP memang bertumpu pada ideologi kebangsaan yang dianutnya, tanpa mengabaikan bahwa kebangsaan itu bukan semata milik PDIP.  Penegasan ideologis ini, akan menghadapi partai-partai Islam khususnya PKS yang serentak juga akan menghimpun kekuatan ideologis yang sedikit banyak jauh - bahkan berbau kebencian - terhadap Islam politik yang direpresentasikan oleh PKS. Dengan demikian, pembahasan historis perpolitikan di Indonesia yang penuh konflik namun juga sekaligus sering bertemu kembali dalam konsensus ke Indonesian antara kekuatan Kebangsaan Abangan ( + kristiani ) dan Kebangsaan Islami, masih menemukan relevansinya. Sejarah selalu tumbuh dan berkembang dengan dialektinya, begitupun garis historis relasi kekuatan Kebangsaan dan Keislaman. Perjalanan politik negeri ini sejak pra kemerdekaan, melewati proklamasi kemerdekaan dengan Revolusinya 1945-1950 kemudian kelahiran NKRI pada 17Agustus 1950 melewati penggalan era parlementer diikuti naiknya kekuatan komunis yang digandeng Soekarno, melukiskan betapa silih bergantinya hubungan kekuatan politik Islam dan Nasionalisme pasang naik dan surut, silih berganti memegang kendali negara dan pemerintahan. Satu hal yang pernah tak bisa dikompromikan adalah bila Nasionalisme yang dipimpin oleh PNI masih membuka pintu bagi PKI maka Masyumi -baik ketika NU masih bergabung maupun sejak 1952 NU sebagai politik Islam tersendiri (dan PSII, PERTI ) tak sejengkalpun bersedia bekerjasama dengan PKI dalam Kabinet  Memang realitasnya, PKI tak pernah ikut berkuasa....dan hanya menjadi Menteri  tanpa Kementerian ( Aidit Mengko, Nyoto  menteri negara , sejak 1964-1966). Perbincangan yang hanya mendudukkan pragmatisme politik sebatas transaksional, nampaknya menghadapi ketegasan PDIP sebagai inkarnasi PNI dan Soekarnoisme. Tentu kekuatan politik kebangsaan yang dijiwai  Islam tak akan tinggal diam. Hari-hari kedepan politik Indonesia, agaknya masih dipayungi warna-warni ideologis. Ideologi belum mati, saudaraku ! Jsp, akhir Agustus 2024

PDIP, Pilkada Serentak, dan Pembelajaran dari Pilpres 2024

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan partai politik pemenang pemilu, termasuk pemilu 2024, meskipun perolehan suaranya turun. Dalam sistem politik Indonesia, calon pemimpin nasional daerah maupun pusat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Secara teori memang ada calon perseorangan (independen). Tetapi pada prakteknya sulit terjadi. Hanya ada 4 calon independen yang memenangi pemilihan kepala daerah, termasuk pilgub Aceh. Pada pilpres 2024, PDIP mengusung calon presiden dari kader internal, Ganjar Pranowo, didampingi Mahfud MD. Keputusan PDIP ini patut diacungi jempol. Meskipun akhirnya, ternyata, perolehan suara Ganjar di posisi terakhir. Hanya 16,5 persen. Jauh di bawah perolehan suara Anies Baswedan yang menduduki posisi kedua, dengan perolehan suara sekitar 25 persen. Bagi PDIP, mungkin kalah dalam kontestasi kepemimpinan nasional tidak masalah, yang penting mengusung calon dari kader sendiri. Dalam kondisi politik biasa-biasa saja, mungkin pemikiran seperti itu sangat normal. Bahkan memang seharusnya seperti itu, mengusung kader ideologis untuk menjadi pemimpin nasional, sambil menawarkan program yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Tetapi, kondisi politik nasional saat ini tidak biasa-biasa saja. Indonesia saat ini dalam belenggu tirani yang mau memaksakan kehendak untuk menguasai Indonesia, menguasai seluruh kepala daerah Indonesia. Setelah berhasil menempatkan Gibran menjadi Wakil Presiden, Jokowi kemudian mau menempatkan Kaesang menjadi calon Wakil Gubernur. Semua berjalan lancar. Mahkamah Agung sudah membuat Putusan, batas usia Calon Gubernur dan Wakil Gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan. Jokowi kemudian juga membentuk “kartel” koalisi partai politik. PDIP terancam tidak bisa mencalonkan kepala daerah di pilkada 2024. Terganjal threshold, atau ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK No 60 dan No 70 mematahkan rencana dan ambisi Jokowi menguasai Indonesia. Kaesang tidak bisa lagi dicalonkan sebagai gubernur atau wakil gubernur. PDIP mulai “hidup” kembali di pilkada 2024 ini. Demokrasi mulai bangkit. Selamat kepada PDIP yang telah lolos dari upaya “penjegalan” Jokowi. PDIP bahkan langsung “mencuri” Airin dari Golkar, untuk menjadi calon gubernur Banten usulan PDIP. Pertanyaannya, bagaimana PDIP menyikapi pencalonan pilkada selanjutnya, khususnya pilkada Jakarta? Awalnya, beredar informasi PDIP akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta, bersama Rano “si Doel” Karno. Anies sempat datang ke kantor PDIP Jakarta. Bahkan sempat hadir di kantor PDIP saat pengumuman gelombang ketiga calon kepala daerah PDIP pada Senin kemarin, 26/8/24. Hanya berselang setengah hari, keadaan berubah. Kabarnya, PDIP batal mencalonkan Anies Baswedan. Kabarnya, PDIP akan mengusung Pramono Anung – Rano Karno pada pilkada Jakarta 2024 ini. Tentu saja banyak pihak tercengang. Kalau kabar ini benar, nampaknya PDIP akan mengulang kekalahan pilpres di pilkada ini. Karena, nama Pramono Anung tidak pernah masuk radar dalam kontestasi pilkada Jakarta. Mungkin PDIP mengandalkan popularitas Rano “si Doel” Karno. Tapi, apakah mereka bisa mengalahkan popularitas Anies yang “incumbent”, pernah menjadi Gubernur Jakarta? Mungkin PDIP berprinsip, tidak penting kalah atau menang, yang penting calon berasal dari kader. Yang mana, dalam hal ini bertentangan dengan kasus pilkada Banten di mana PDIP berani “mencuri” dan mencalonkan Airin, kader Golkar, yang sekarang dicuri lagi oleh Golkar dari PDIP. (*)

Titik Nadir Firaun Jawa

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  JOKOWI terlalu banyak menanam benih kehancurannya sendiri. Kebohongan dan tipuannya selama ini sudah terbuka, tersisa hanya bisa membela diri dan inferior. Kepribadian yang terbentuk di seputar kelemahan, cacat karakter yang selama ini merasa dirinya unggul saat saat berkuasa, kini sedang berada dalam kondisi ketakutan dan kekacauan. Gelombang demo kebencian, caci maki, hujatan, ancaman agar segera seret ke pengadilan tidak mungkin lagi bisa dikendalikan dengan rekayasa apapun untuk mengendalikannya selain harus melarikan dari keadaan terburuk yang akan menimpanya Semua kedoknya sudah menjadi bekas luka yang menganga menyingkap kesombongan, keangkuhan yang selama ini disembunyikan. Tidak ada lagi pertahanan diri yang memadai selain mundur, bahkan bisa jadi peluangnya bunuh diri. Dalam posisi seperti ini Napoleon Bonaparte mengatakan : \"Jangan pernah ikut campur dengan musuh sedang dalam proses bunuh diri\". Pertahanan dan perlindungan yang telah di persiapkan selama ini, seperti Gibran sebagai Wakil Presiden, membangun politik dinasti, cetak biru membentuk KIM - Plus, memperkokoh relawan dengan macam macam bentuk garda sudah terlihat semua mulai berantakan. Tersisa kekuatan taipan oligarki dan bantuan Xi Jinping (RRC) begitu lengser dari kekuasaannya di pastikan semua akan meninggalkannya. Wajar  mengeluh bahwa merasa mulai ditinggalkan para penjilatnya pada saat peralihan kekuasaan mereka semua sedang bermigrasi mencari tempat menggantung kembali sebagai penjilat pada penguasa yang baru. Penguasa terburuk adalah adalah mereka yang egonya terlalu tinggi menyangka segala yang mereka lakukan benar dan layak di puji dan di sembah. Titik nadir Firaun Jawa akan berahir sangat mengenaskan lahir dari got akan kembali ke got lorong gelap. Balas dendam rakyat yang lebih manis pada penguasa tiran adalah tindakan  memberi Firaun Jawa tertawa yang terakhir sebagai manuver ahir sebelum gelombang demo akan menyapu bersih para penghianat negara. (*)

Jalan Perubahan Anies Versus Politik Norak PDIP

Tapi perlakuan PDIP terhadap Anies lewat pertunjukan norak dan menghina, itu laku politik tak beradab. Meski demikian tak lantas mampu jatuhkan nilai Anies di mata rakyat. Justru Anies akan bernilai sebaliknya. Oleh: Ady Amar | Kolumnis Seharian kemarin, Senin (26 Agustus), semua mata seolah mengarah ke kantor DPP PDIP. Jadwal diumumkannya calon kepala daerah di mana Anies Baswedan akan diusung resmi PDIP. Semua media pemberitaan memberitakan live hingga berjam-jam. Di mana pun berada sorot mata terus melototi televisi atau media sosial yang menyiarkan acara itu secara langsung, menanti nama Anies Baswedan diucapkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bergeming meski sumpek dengan suguhan nggeremeng Megawati yang bicara ngalor ngidul tak menentu. Menyambar ke sana kemari. Menyambar siapa saja yang dikehendaki, dan bahkan apa saja yang ada di pikirannya dimuntahkan hingga tak tersisa. Anehnya semua mata terpaku setia melototi media apa saja. Sedang bagi mereka yang karena sesuatu hal tak bisa melihat siaran langsung, terus saja menanyakan di grup pertemanan, Apa nama Anies sudah disebut Megawati. Berharap akan kabar baik nama Anies disebut. Sampai Megawati lunglai kecapaian nggeremeng, seperti tanpa durasi waktu, tak ada nama Anies disebut-sebutnya.  Beberapa nama pasangan calon kepala daerah disebutnya. Airin Rachmi Diany yang kader Golkar disebut namanya sebagai cagub Banten. Airin pula saat itu yang jadi \"mainan\" Megawati disemprot tak menentu dengan telunjuk diarahkan padanya. Saat nama-nama itu disebut, konon Anies Baswedan ada di satu ruangan tersendiri di kantor DPP PDIP. Memang pagi menjelang siang Senin itu, Anies berpamitan pada ibundanya untuk menghadiri undangan PDIP. Rencana ia akan mendapat mandat diusung PDIP sebagai calon kepala daerah Jakarta.  Siang itu beredar foto Anies duduk berdampingan dengan Rano Karno yang akan menjadi wakilnya. Keduanya mengumbar senyum ceria. Foto itu seakan menyuratkan Anies dan Rano Karno resmi akan menerima mandat PDIP. Di tengah geremengan Megawati yang tak kunjung selesai, beredar pula pernyataan dari elit PDIP Olly Dondokambey, bahwa dipastikan Anies tak akan diusung PDIP. Sebutnya, PDIP akan mencalonkan kadernya sendiri, Pramono Anung dan Rano Karno. Bisa jadi saat itu Anies masih berada di kantor PDIP. Sulit menggambarkan dinamika yang terjadi di internal PDIP saat itu.  Kesimpulan pun diambil, faksi yang menghendaki Anies diusung PDIP sepertinya kalah telak dengan faksi yang tak menghendakinya. Anies dicalonkan faksi PDIP, itu semata jika ingin memenangi Pilkada Jakarta.   Itu yang disampaikan pada Megawati. Sedang yang tak menginginkan PDIP mengusung Anies, itu terlihat lebih pada sikap subyektif-emosional. Seolah itu yang lalu jadi pilihan Megawati. Semua itu, baik yang menginginkan atau  menolak Anies diusung PDIP lebih menggambarkan dinamika panggung depan yang mudah dianalisa. Itu yang lalu jadi suguhan tidak mengenakkan. Seolah hanya itu masalahnya, satu faksi mengalahkan faksi lainnya. Dibuat sempit seolah masalah internal yang lalu mampu menyepak-menendang Anies. Padahal kisah panggung belakang yang tak disuguhkan pada publik, itu justru bisa jadi peristiwa yang sebenarnya yang mampu menekan PDIP untuk tak berani-beraninya mengusung Anies. Panggung belakang yang memunculkan tekanan pada PDIP itu bisa dipastikan tekanan dahsyat, dan itu mengancam sampai memunculkan pilihan tak mau ambil risiko mencalonkan Anies. Analisa itu yang setidaknya boleh disebut. Tapi ada tafsir lain yang terjadi di panggung belakang, dan itu tawaran \"gula-gula\" yang didapat PDIP agar tak mengusung Anies. Sepertinya itu tawaran dari rezim baru yang akan menghuni istana. Tentu nilai fantastis yang didapat. Anies memberi jalan transaksi itu berlangsung.  Maka timpahkan saja kesalahan itu pada Anies, yang memilih jalannya sendiri di tengah ketidaksiapan partai politik mengusungnya dengan berbagai alasannya. Kumpulan partai yang tersandera dosa politik, atau yang memilih jalan pragmatisme. Jalan yang memudahkan kartel kekuasaan menguasainya. Anies berada dalam kepungan partai-partai demikian. Untuk melihat itu semua setidaknya bacaan isyarat yang disampaikan Ketua Umum NasDem Surya Paloh pada satu kesempatan, itu bisa melihat begitu keras penjegalan pada Anies dilakukan. Tentu dengan segala cara. Katanya, \"... Saya beritahu Anies, ini bukan momen anda untuk maju Pilkada Jakarta.\" Tapi perlakuan PDIP terhadap Anies lewat pertunjukan norak dan menghina, itu laku politik tak beradab. Meski demikian tak lantas mampu jatuhkan nilai Anies di mata rakyat. Justru Anies akan bernilai sebaliknya. Dilema Anies saat ini bisa disebut risiko perjuangan memilih jalan tak biasa. Jalan yang diyakininya benar. Jalan bersama rakyat kebanyakan: jalan perubahan.**

Jokowi Akan Menggangal Pelantikan Prabowo sebagai Presiden

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  MENCERMATI peristiwa manuver politik perselingkuhan kekuatan Presiden dan DPR untuk melakukan pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, telah berlalu. Ancaman rekayasa politik hitam Jokowi masih hidup akan nyasar kepada peristiwa politik yang lebih sadis dan kejam. Kekuatan Jokowi yang sudah lumpuh masih mimpi bisa mengacak acak  tatanan politik dan hukum serta kaidah keadaban demokrasi. Skenario besar masih berjalan dalam mimpinya, indikasinya akan berusaha membatalkan pelantikan Jokowi sebagai presiden 20 Oktober mendatang.  Masih menghayal ingin membatalkan hasil Pilpres kembali lewat MK. Selain rekayasa tersebut, ada akan rekayasa  pra kondisi negara dalam keadaan darurat , memunculkan  macam macam rekayasa  kekacauan.  Mimpi tersebut muncul dari halusinasi busuk  Jokowi ingin tetap memiliki dan meneruskan kekuasaannya. Pada saat yang bersamaa semua pemujanya mulai meninggakannya. Jokowi belum siap untuk lengser dengan legawa karena semua ancaman yang membahayakan dirinya belum aman bahkan sangat membahayakan dirinya. Kabut gelap yang selama ini bisa di benam, ditutupi, disembunyikan dan disimpan rapat tanpa kekuasaan tambahan pasti akan terbongkar. Indikasi Jokowi trah PKI, ijazah palsu, melindungi dan akan membuka kran kebangkitan PKI dan hubungan gelap dengan Taipan Oligarki dan partai komunis Cina, sudah dekat waktunya akan terbongkar. Rekayasa menempatkan Gibran anaknya sebagai Capres dan politik dinastinya pasti akan berantakan. Taipan oligarki akan meninggalkan Jokowi bahkan akan membiarkan apapun nasib politik yang akan menimpanya. TNI akan tetap pada tugas pokoknya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap NKRI. Eh Rekayasa dan keinginan Jokowi ingin bertahan memiliki kekuasaan dengan rekayasa akan menggagalkan Prabowo di lantik sebagai presiden 20 Oktober mendatang hanya karena tidak percaya Prabowo akan bisa melindungi dirinya paska lengser dari kekuasaannya.  Bayangan ketakutan membayangi dirinya,  adalah tanda orang  yang sudah dekat ajalnya. Masih terlacak rekayasa dan gerakan mimpi Jokowi : Memanipulasi prosedur demokrasi sebagai sarana melanggengkan kekuasaan dan mendistorsi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Apapun kekurangan dari hasil Pilpres 2024 yang telah menjadi catatan hitam proses demokrasi di Indonesia. Pelantikan Prabowo Subianto 20 Oktober mendatang harus tetap berjalan dan dilaksanakan sesuai jadwal waktunya. Kita mengajak semua lapisan masyarakat ( rakyat  ) pemilik kekuasaan,  bangkit, cegat dan hancurkan semua rekayasa buruk dan busuk yang akan membahayakan NKRI (*)

Jokowi Murah, Sebentar Lagi Sampah

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETIKA pedagang kaki lima membanjiri jalan area Ajyad Mekkah, para pedagang menjajakan barang seperti kerudung, baju, jam tangan, sajadah dan lainnya. Ada berbagai teriakan di samping \'asyroh riyal untuk harga 10 reyal atau \'isyrin riyal untuk 20 reyal juga ada \"Jokowi murah, Jokowi murah\" maksudnya barang murah bisa pakai rupiah \"uang Jokowi\". Lebih tegas dan jelas \"Jokowi seratus ribu\" katanya. Ada teman coba bertanya \"yang ini Jokowi berapa? Dijawab \"lima puluh ribu\". Nah hal biasa itu jadi lucu juga \"Jokowi murah, Jokowi seratus ribu \". Yang lebih murah juga ternyata ada \"Jokowi seratus ribu tiga !\". Di Indonesia ternyata hari-hari ini Jokowi memang sedang murah. Rakyat marah. Demo masyarakat dan aktivis terjadi dimana mana baik Jakarta, Bandung, Yogya, Bogor, Cirebon, Solo, Semarang, Makassar dan kota-kota lain. Bertema \"Kawal MK\" sasaran ke arah DPR/DPRD dan Jokowi. Urusan Pilkada dibaca rakyat menjadi ajang kepentingan Jokowi dan rezimnya yang \"menghalalkan segala cara\" demi kelanggengan dan keamanan kekuasaan.  Habiburakhman anggota DPR Fraksi Gerindra yang coba \"cari muka\" membawa kabar gembira bahwa DPR tidak jadi membahas RUU Revisi UU Pilkada, malah \"hilang muka\" diteriaki anjing dan lain-lain, bahkan ia dilempari botol minuman. Sulit untuk menjadi pahlawan di tengah perilaku yang dinilai sering mengkhianati aspirasi rakyat. Kelakuan para bedebah sudah tercatat dalam memori peserta aksi. Jokowi tetap menjadi sasaran kemarahan, apalagi di tengah keprihatinan seperti ini justru keluarga Jokowi mempertontonkan kemewahan. Kaesang Pangarep tidak bisa diharepkan. Piknik pakai jet pribadi. Jokowi baru saja berhura-hura di IKN dengan influencer dan 9 naga. Berwajah Garuda berhati Naga. Unjuk kekuasaan dan kekayaan. Pantas jika baliho Jokowi dan Kaesang dirusak dan dihinakan di Solo.  12 partai politik yang awal membeli mahal Jokowi dengan memurahkan harga aspirasi rakyat kini mulai ketar ketir ketika rakyat justru memurahkan harga Jokowi. Kata Bahlil \"ngeri-ngeri sedap ini barang\" dan \"jangan coba main-main ini barang\" yang terjadi justru barang ini akan jadi mainan. Dibanting-banting dan berwajah ketakutan oleh ngerinya amuk rakyat.  Kini Jokowi murah, sebentar lagi akan menjadi sampah. Dibuang ke tempat yang menjijikkan dan orang-orang akan menutup hidung karena baunya yang menyengat. Sudah ada aroma bau bangkai dari kejatuhan Jokowi lalu ia akan ditangkap dan menjadi pesakitan di ruang pengadilan. Ini merupakan buah dari sebuah arogansi yang  mendahulukan kroni dan dinasti. Jokowi bunuh diri karena frustrasi.  Dari semua bergantung pada Jokowi sekarang Jokowi tergantung semua. Besok bergaung teriakan \"Ganyang Jokowi\" dan \"Gantung Jokowi\". Sebaiknya Jokowi dan keluarga bersiap saja untuk kabur dari Indonesia. Semoga masih selamat.  Atau secara ksatria hadapi segala yang terjadi di Nusantara dengan status sebagai Raja Jawa. Raja yang mendekam dipenjara. (*)

Akankah PKS Jadi PSK?

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Penulis pernah merilis artikel “PKS Kamulah Satu-Satunya” dan “Hanya Bisa bilang, PKS is The Best”. Saking simpati dan empatinya, penulis menuangkan apresiasi setinggi-tingginya kepada partai dakwah tersebut. Namun kini, apa lacur? Klarifikasi terburuk saat PKS menarik dukungannya terhadap Anies Baswedan pada pilgub Jakarta 2024,  adalah tatkala Anies dianggap gagal mendapatkan koalisi partai untuk memenuhi syarat mengusung calon kepala daerah. Tambahan naifnya mengikuti saat PKS mengumbar selama ini selalu mendukung Anies baik di pilgub Jakarta sebelumnya maupun pilpres yang lalu, sampai akhirnya mengungkit sesal PKS selalu mengorbankan kader terbaiknya untuk duduk di pemerintahan.  Namun PKS sepertinya lupa kesadaran, bahwasanya PKS telah jenuh dan kelelahan pada apa yang namanya perjuangan. Terutama di saat partainya harus terus berada dalam semangat perubahan guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Alih-alih istigomah dalam amar ma’ruf nahi munkar, pimpinan PKS justru begitu bangga memposisikan partainya menjadi bagian dari koalisi partai yang distortif dan destruktif. PKS tanpa malu menjelma sebagai pendukung  golongan rezim penuh kemudharatan dan kemaksiatan. Maka yang pantas disematkan pada partai bertajuk keadilan dan kesejahteraan itu tak lain dan tak bukan, betapa gerakan dakwah telah dijual murah untuk syahwat jabatan dan kekuasaan. Dampaknya bukan hanya menyempurnakan kebobrokan partai politik selama ini, lebih dari itu mencoreng citra agama khususnya umat Islam. Tak ada lagi harga diri, tak ada lagi kehormatan dan tak ada lagi martabat pada kumpulan para ulama, habaib dan para cendekia di tubuh partai politik bercitra bersih dan peduli itu sebelumnya.  Sepertinya, PKS tak lebih baik dari Pekerja Seks Komersil (PSK) yang sejatinya terdesak melakukan tindakan asusila karena ekonomi. Bukan menghina dan menginjak-injak prinsip kebenaran dan keadilan, PSK  hanya bertahan hidup untuk dirinya dan keluarganya dari kekejaman sistem sosial. Namun PKS  nyata-nyata telah menghancurkan pondasi kepercayaan umat dan keyakinan pada nilai-nilai aqidah (religi). Akankah PKS menjadi PSK?. Atau PKS  jauh lebih buruk dari PSK. Wallahualam Bissawab. (*)

Menyoroti Pidato Presiden Terpilih 2024 Prabowo Subianto dan Pendapat Aktivis Demokrasi dari Amerika Serikat Chris Komari

Oleh Dr. Rahman Sabon Nama | Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Parpol Non-kontestan Pemilu 2024 Mencermati pidato politik Presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto saya perlu memberi  masukan agar dalam menjalankan pemerintahannya kelak kehidupan bernegara, memberikan ruang kepada rakyat agar punya kesempatan yang sama dalam mengembangkan kesadaran beragama bagi masing-masing golongan pemeluk agama dengan semangat menghormati satu sama lain dan tidak lagi umat Islam menjadi korban Islammophobia seperti sekarang. Kekeliruan Prabowo Subianto yang mengatakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dimana Suara Mayoritas yang berkuasa (majority rules) adalah kesalahan yang sekarang terjadi di tanah air. Artinya  sama saja dengan menghalalkan segala cara untuk Merebut kekuasaan/tyrany majority yang dilarang karena melanggar nilai-Nilai demokrasi. Pengertian demokrasi secara umum yaitu sistem  pengorganisasian pemerintahan yang dijalankan secara langsung  oleh pilihan rakyat sehingga seluruh masyarakat  negara dengan keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Allah SWT diakui dan dijamin keberadaannya atas dasar konstitusi negara. Kehidupan demokrasi di negara kita yang dipraktekkan selama ini dilatarbelakangi sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan era rakyat masih dalam naungan sistem kerajaan dan kesultanan se-Nusantara dan setelah kemerdekaan berbentuk Republik, dapat kami berikan beberapa catatan, sebagai berikut: Pertama,  di era pemerintahan kerajaan kesultanan Nusantara dahulu,  demokrasi diejawantahkan di pusat - pusat pemerintahan kerajaan kesultanan dan tidak dikenal istilah majority rules (kekuasaan mayoritas/tyranny majority). Tetapi dikenal Hak Pepe Kawula Raja yang merupakan  manifestasi demokrasi langsung yaitu kepala pemerintahan raja memegang kekuasaan negara dan agama, kepala negara diangkat secara turun temurun, golongan dalam masyarakat memiliki hak dan kewajiban berbeda- beda. Kedua, demokrasi setelah Indonesia merdeka adalah Demokrasi Pancasila, tercantum dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal dalam Batang Tubuh-nya. Dalam sila ke empat Pancasila yang tercantum pada aline 4 Pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat (2 ) dalam Batang Tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa negara kita RI menganut asas kedaulatan rakyat  dan tidak mengenal demokrasi berdasarkan suara mayoritas (majority-rule, or the rule of majority which means those who obtain more votes win). Hal ini ditegaskan bahwa demokrasi Pancasila artinya demokrasi yang dijiwai Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan bersifat politik artinya Indonesia negara demokratis dimana demokrasi Pancasila bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi, demokrasi sosial budaya dan demokrasi pertahanan dan keamanan. Ketiga, dalam pelaksanaannya menurut Pasal 1 Ayat (2) UUD negara kita menganut sistim demokrasi perwakilan /demokrasi tidak langsung. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga MPR, DPR, selain DPA, MA, BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara, dan adanya partai-partai politik tidak sama dengan demokrasi di Amerika/ Eropa dan negara lainnya di dunia. Justru di sinilah keunikan negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki patron demokrasi tersendiri yang tidak ada di negara lain.  Prabowo Subianto dalam berbagai forum dan kesempatan sering mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan, dimana suara mayoritas yang berkuasa. Koreksi saya bahwa pernyataan itu tidak akurat, salah dan tidak benar. Karena Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia  adalah demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan  sila-sila kelima sila Pancasila serta dari padanya disinari oleh sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.  Sebagai  argumentasi tulisan saya: bahwa menggunakan hak demokrasi harus disertai dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Esa menurut keyakinan agama masing-masing dan menjunjung tinggi nilai moral dan martabat manusia sebagai mahkluk Allah SWT untuk menjamin persatuan dan kesatuan nasional guna mewujudkan keadilan sosial berpaham kekeluargaan dan gotong royong.  Yang di era sekarang dirasa hilang/sirna  yang dipraktekkan era Orde Baru dan semakin kandas sejak era Reformasi dan puncaknya di dasawarsa pemerintahan Jokowi, dimana mempraktekkan gotong royong sekedar wujud bantuan-bantuan sosial pada kaum miskin  dan praktek ini ala pemerintahan komunis China. Oleh karena itu paska pelantikan presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto, saran saya dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PDKN  Parpol yang mewadahi para Raja Sultan Nusantara dan rakyat di bekas kedaulatan wilayahnya masing-masing meminta Presiden Prabowo Subianto untuk: Mengeluarkan Dekrit Presiden Oktober 2024 kembalikan Naskah Asli UUD 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945. Dengan Adendum Pemisahan Kekuasaan Kepala Negara dijabat Raja Sultan pemegang Collateral aset dinasti secara bergilir dijabat oleh Raja Yang Dipertuan Agung Kepala Negara (tujuannya untuk menghilangkan jual beli kekuasaan  dan kebijakan serta korupsi). Pembiayaan pembangunan oleh Kepala Negara dan sumber daya kekayaan alam dikelola negara untuk kemakmuran rakyat tidak dibagi-bagi untuk kroni dan aseng seperti sekarang. Kepala Pemerintahan dijabat seorang Presiden/Wakil Presiden dipilih lewat Pemilihan Umum (Pemilu) dan ditentukan melalui Sidang Umum  Majelis Permusyawaratan Rakyat  (SU MPR  RI). (*)