ALL CATEGORY

Memaksa PDIP Pasang Badan Untuk Aksi Mahasiswa dan Rakyat

Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) PDI Perjuangan harus menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh rakyat yaitu: mahasiswa, siswa, aktivis, akademisi, dewan guru besar, jurnalis, dan seluruh individu maupun kelompok masyarakat pro demokrasi.  Aksi bersama melawan elit politik DPR RI dan pemerintah pelaku pembangkangan konstitusi, pembegalan hukum, dan pembelokan arah reformasi berhasil. DPR RI dan pemerintah dengan terpaksa membatalkan niat melawan putusan MK karena tekanan rakyat. Sikap jumawa DPR RI saat rapat di Badan Legislasi (Baleg) pun hilang saat masuk Sidang Paripurna Pengambilan Keputusan. Revisi UU Pilkada akhirnya batal, dan Pilkada akan diselenggarakan sesuai jadwal berdasarkan UU Pilkada dengan sejumlah pasal yang diubah oleh MK. Maka KPU RI harus segera melakukan persiapan pendaftaran pasangan calon sesuai putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 secara utuh. Meski tuntutan rakyat akhirnya dipenuhi, namun rakyat sebagai basis utama demokrasi masih terus menyuarakan kemarahan terhadap perilaku elit politik yang memuakkan. Aksi mahasiswa dan rakyat terus bergulir di berbagai kota untuk memastikan rencana busuk para pembegal hukum, pembelok arah reformasi, dan pembangkang konstitusi berhenti.  Terhadap aksi mahasiswa dan rakyat, maka PDIP menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut: Pertama, bahwa aksi mahasiswa dengan rakyat sah dan dilindungi oleh konstitusi. Negara pun alat negara seperti Polri dan TNI tidak boleh melakukan tindakan refresif dalam menangani aksi mahasiswa dan rakyat. Kedua, bahwa penanganan aksi oleh Polri dan TNI tidak boleh menggunakan senjata api dengan peluru tajam maupun peluru karet. Jika di lapangan ditemukan selongsong peluru maupun peluru karet, maka pelakunya akan kita seret ke pengadilan. Ketiga, bahwa PDIP sebagai partai milik rakyat diminta menyediakan makanan dan minuman bagi peserta aksi dengan membuka dapur umum di kantor- kantor PDIP. Aksi mahasiswa dan rakyat saat ini adalah perlawanan terhadap kelompok elit perusak negara. Penyediaan makan dan minum bagi para aktivis adalah wujud solidaritas sesama anak bangsa dan tidak masuk kategori  perbuatan melawan hukum. Keempat, bahwa PDIP sebagai partai rakyat harus membuka kantor- kantornya sebagai tempat berlindung para aktivis mahasiswa dan rakyat yang dicari dan dikejar akibat dinamika aksi di lapangan. Termasuk merawat mereka yang terluka akibat gesekan dalam aksi. Kelima, bahwa PDIP harus membuka dapur umum di setiap kantor- kantor partai demi memberi dukungan logistik makanan dan minum kepada mahasiswa dan rakyat peserta aksi. Kantor- kantor PDIP juga dapat digunakan para aktivis sebagai tempat istirahat setelah lelah gelar aksi. Keenam, bahwa PDIP harus memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada mahasiswa yang ditangkap oleh alat negara saat aksi. Semua peserta aksi tidak boleh kuatir, ragu, cemas atas keselamatan jiwa nya. Jika ada peserta aksi yang ditangkap dan ditahan, maka PDIP harus memberi dukungan dan membebaskannya. Ketujuh, bahwa aksi mahasiswa dan rakyat adalah aksi murni tanpa ditunggangi oleh pihak mana pun, termasuk PDIP. Tidak ada campur tangan PDIP terkait materi aksi, tuntutan aksi, maupun pengorganisasian aksi rakyat dan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dan rakyat adalah deklarasi #kamimuak atas buruknya tata kelola hukum, demokrasi, dan kekuasaan pemerintah. Kedelapan, bahwa semua peserta aksi terutama mahasiswa diminta untuk tidak melakukan kekerasan dan perusakan fasilitas umum dan pemerintahan. Tetap menggunaka perjuangan ide, gagasan, bukan fisik. Kita percaya sinergi antara mahasiswa, rakyat dan kelompok pro demokrasi dengan PDIP akan terus berjalan. Maka mahasiswa, rakyat, pers, akan menjadi kekuatan untuk memastikan perjalanan bangsa berada pada rel yang benar. Satyam Eva Jayate, Merdeka!. (*)

Mungkinkah PKS Rujuk?

Oleh Bayu Anggara | Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam Baru saja kita menyaksikan sebuah pelajaran berharga dalam politik Indonesia—bahwa kehendak rakyat dapat mengalahkan kecanggihan kongkalikong para elit politik. Kehendak rakyat telah terbukti menjadi kekuatan yang tak terbendung saat berhadapan dengan kehendak para elit politik yang manipulatif. Peristiwa ini menunjukkan bahwa, sebesar apa pun kekuatan elit politik, ketika berhadapan dengan kehendak rakyat, mereka harus beradaptasi atau tersingkir. Namun, bukan berarti para elit politik akan dengan mudah mengubah haluan. Mengingat perjalanan yang telah terbangun sejak Pilpres dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), wajar jika mereka masih bersikukuh bertahan dengan pendiriannya. Mereka telah berinvestasi banyak dalam koalisi ini, baik secara politik maupun materi. Akan tetapi, harapan mereka untuk mensiasati proses Pilkada tampaknya telah pupus. Kini, mereka dihadapkan pada satu pilihan: bertarung! Yang kini menjadi pusat perhatian adalah sikap partai-partai yang sebelumnya bukan bagian dari KIM. Bagaimana mereka akan bersikap di tengah dinamika politik yang terus berkembang? Apakah mereka akan tetap bertahan di kapal KIM atau justru memanfaatkan peluang yang ada untuk melakukan manuver politik yang lebih menguntungkan? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama ketika kita melihat situasi di Jakarta. Sebagai partai pemenang di Jakarta, PKS sebaiknya mengubah haluan politiknya. Memilih untuk tetap berlayar bersama KIM bukan lagi langkah yang menguntungkan, baik bagi PKS maupun KIM itu sendiri. Bagi KIM, PKS sudah tidak lagi relevan, dan bagi PKS, bertahan dalam KIM hanya akan semakin menjauhkan mereka dari basis pemilihnya. Putusan MK terkait UU Pilkada sebenarnya telah menyelamatkan \"muka\" PKS di hadapan para pemilihnya yang tidak setuju dengan keputusan PKS untuk bergabung dengan KIM. Sebaliknya, jika PKS kembali memilih berlayar bersama Anies Baswedan, ini akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk merebut kembali dukungan dari para pemilihnya. PKS masih memiliki waktu untuk membuka kembali komunikasi dengan Anies dengan mengedepankan aspirasi dari para pemilihnya. Biarlah peristiwa politik kemarin menjadi bahan evaluasi bagi kedua belah pihak. Yang paling penting momentum ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali kepercayaan dan relevansi politik mereka. Pilkada Jakarta, yang berpotensi diikuti oleh lebih dari dua pasang calon, membuka peluang bagi berbagai kekuatan politik untuk bersaing. Jika KIM mengusung kandidatnya sendiri, PDIP juga akan mengajukan kandidat kuat, PKS memilih untuk berlayar bersama Anies, ditambah kandidat independen, maka kalkulator politik tampaknya lebih berpihak kepada PKS dan Anies. PKS, sebagai partai pemenang di Jakarta dengan perolehan 18 kursi DPRD, dipadukan dengan Anies, yang memiliki elektabilitas teratas menurut hasil survey SMRC 8-12 Agustus 2024 (Anies 42,8% vs RK 34,9% dan Anies 37,8% vs Ahok 34,3%), menjadi kombinasi yang sulit untuk dikalahkan. Dalam dinamika politik yang terus berubah ini, PKS harus segera menentukan haluan. Apakah mereka akan tetap bersama KIM, atau kembali kepada basis pemilihnya dan berlayar bersama Anies? Pilihan ini tidak hanya menentukan masa depan PKS, tetapi juga masa depan Pilkada Jakarta dan arah politik nasional ke depan. (*)

PDIP Sudah Bagus, Bisa Jelek Lagi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH di depan publik PDIP berwajah jelek karena menjadikan petugas partainya Jokowi menjadi Walikota, Gubernur dan Presiden yang praktenya ternyata jelek, maka menjadi bagus setelah tidak bersama lagi dengan Jokowi. Lebih menjadi harapan ketika menempatkan diri sebagai oposisi, berlawanan dengan rezim Jokowi. Sekjen Hasto melawan permainan Jokowi. Megawati di belakangnya.  Dalam kasus pembantaian Anies Baswedan oleh 12 partai politik, PDIP bermain bagus dan jelek. Bagusnya PDIP mendukung habis Putusan MK 60 dan 70 yang menghidupkan Anies dan mematikan Kaesang. PDIP pun disebut-sebut akan mendukung Anies untuk Gubernur Jakarta. Jeleknya PDIP pasang harga untuk mendukung Anies. Harga politik \"kepatuhan dan ketundukan\". Bahkan mengejek Anies sebagai \"peminta-minta\". Anies Baswedan justru dapat menjadi peruntuh PDIP khususnya di Jakarta walau PDIP diuntungkan oleh Putusan MK 60. Suport bagus karena posisi oposisi PDIP akan berubah kembali menjadi caci maki PDIP dan Megawati jika mengedepankan arogansi apalagi menista Anies sebagai pengemis. PDIP jangan lupa termasuk partai perusak bangsa dan penggerus ideologi. Pemanipulasi Pancasila, wakil dari wajah Orde Lama. Wajah buruk Soekarno. Nasakom, PKI dan Demokrasi Terpimpin. Jika PDIP santun dalam menempatkan potensi Anies Baswedan, apalagi mengusungnya, maka  caci maki kepada PDIP dapat diredam. PDIP secara bertahap akan mendapat tempat dan simpati. Adalah cerdas jika bermain Pilkada dengan wajah manis bersama Anies daripada pasang muka cemberut berdasar arogansi. PDIP bakal menjadi musuh rakyat atas dosa politik mengutus petugas partainya sebagai Presiden. Megawati adalah nenek politik Jokowi sekaligus pencipta monster yang bebal dan buta tuli. Ada yang menyebut psikopat. Wajah cemberut, sinis dan arogan tentu kontra-produktif. Rakyat marah bukan hanya kepada Jokowi tetapi juga pada semua perampok, perusak dan pemerkosa kedaulatan rakyat. Tidak terkecuali PDIP dan Megawati.Saatnya bangun simpati bukan antipati. Jakarta merupakan wilayah pertaruhan. Kemenangan PKS yang sia-sia akibat berubah menjadi penjilat rezim, tidak bermanfaat bagi PDIP jika ia bertindak bodoh dan angkuh.  Sebentar lagi akan masuk era kesuksesan oposisi dan kehancuran status quo. Ikut hancur kelompok yang tidak berpendirian atau penyelundup politik. Reformasi Jilid 2 sulit dibendung. Apalagi ada spirit Srilangka dan Bangladesh. Indonesia sangat  terpicu oleh kesamaan kecurangan pemilu, korupsi dan politik dinasti. PDIP harus konsisten dengan isu simpatik bukan menistakan pimpinan, kelompok dan pendukung perubahan. Megawati jangan seolah-olah berpaket dengan Jokowi. Bakal digilas oleh rakyat yang sudah sangat muak dan jijik dengan kesombongan, kepalsuan dan kerakusan rezim Jokowi.  PDIP yang sudah bagus, bisa jelek lagi. Sangat jelek sekali. (*)

Jangan Main-main dengan Raja Jawa

Oleh Prihandoyo Kuswanto | Ketua Pusat Study Kajian  Rumah Pancasila  Jangan main-main dengan Raja Jawa. Ucapan itulah yang memicu kesadaran rakyat dan alam semesta untuk menumbangkan Raja Jawa dan kroni- kroninya. Berawal dari perbuatan jahat para pengamandemen UUD 1945 yang mengabaikan rakyat pemilik negara tanpa persetujuan rakyat dan didahului penghapusan Tap MPR dan UU tentang Referendum sehingga rakyat tidak diajak bicara apalagi diikuti sertakan dalam mengamandemen UUD 1945. Itu adalah penghinaan pada amanat penderitaan rakyat. Bukan hanya rakyat yang marah, roh pendiri bangsa dan alam semesteran marah atas kemungkaran ini. Merusak negara yang dirahmati Allah diubah menjadi sekuler dan padahal negara ini didirikan atas berkat rahmat Allah dan didorongkan ke inginkan luhur. Yang menyedihkan justru NU dan Muhammadyah tidak bisa melihat keadaan bangsa ini, justru mau diajak melanggar konstitusi dengan menerima konsensi tambang. Padahal Pasal 33 ayat 3 \"Berbunyi Bumi air dan kekayaan yang ada didalam nya dikuasai Negara dan sebesar besar nya untuk kemakmuran rakyat.\" Rupanya NU dan Muhammadyah dijebak seakan madu padahal racun. Ukurannya bukan asing Oligarkhy menguasai tambang, masak NU dan Muhammadyah  tidak boleh. Harusnya NU dan Muhammadyah itu pemilik negara justru harus menegakkan konstitusi, habisi semua asing dan oligarkhy yang menggarong kekayaan ibu pertiwi. Dan menegakkan konstitusi harusnya tidak terjebak pada hal yang demikian. Berhentilah semua partai politik, lembaga negara dan penguasa membohongi rakyatnya yang mengatakan negara berideologi Pancasila. Padahal sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 negara sudah diganti dengan sistem Presidensiil yang basisnya individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Kekuasaan diperebutkan dengan banyak -banyakan suara, kalah menang, pertarungan, kuat kuatan, curang curangan, caci maki dan permusuhan yang jelas bertentangan dengan nilai -nilai  Pancasila. Dari kajian kami di Rumah Pancasila usul tersebut kurang tepat sebab selama ini penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002 justru yang harus diselamatkan bukan hanya soal pilpres tetapi mengembalikan negara ini semua untuk semua, mengembalikan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan adalah rakyat bukan kedaulatan ketua partai politik. Negara tidak boleh lagi hanya dimiliki oleh satu golongan yaitu golongan partai politik. Negara harus dikembalikan pada kedaulatan rakyat yang tercermin di dalam konfigurasi MPR  yang mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak boleh ada Raja Jawa ya harus ditumbangkan sebab yang mendirikan negara ini adalah amanat penderitaan rakyat bukan Raja Jawa . Jika pendahulu kita misal HOS Tjokroaminoto mendapat julukan Raja Jawa tanpa mahkota sebab seluruh jiwa raganya untuk mengangkat harkat dan martabat Rakyat Indonesia asli dengan kesadaran untuk merdeka. Begitu juga dengan Hamangkubuono ke IX sebagai raja Jawa asli justru beliau mengatakan \"Tahta untuk Rakyat\".  Semua rakyat Jogya mencintai beliau karena kepeduliannya terhadap rakyatnya. Bukan Raja Jawa Palsu yang justru negara dibangun dinasti untuk kemakmuran keluarga dan anak-anaknya dengan model glembuk sana glembuk sini. Mungkin hari hari ke depan akan ada peristiwa besar, sebab rakyat sudah marah, sudah dalam titik nadir, tidak ada jalan lain selain mengembalikan kedaulatan rakyat kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. (*)

PDIP Berjuang Bersama Rakyat (Lagi)

Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) AKROBAT politik partai politik (Parpol) koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kandas akibat tekanan publik. Pembangkangan konstitusi, pembelokan hukum, dan pembegalan demokrasi melalui revisi UU Pilkada layu sebelum berkembang. Pesan darurat berantai yang digerakkan secara massif oleh kelompok pro demokrasi membuat ketakutan para anggota DPR RI, hingga tidak berani hadir di ruang sidang paripurna.  Akhirnya sidang paripurna DPR RI tidak memenuhi kuorum dalam pengambilan keputusan. Kemudian Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, Fraksi Gerindra yang belakangan mendominasi pimpinan DPR RI, akhirnya menyerah lewat pernyataan pers. Dasco menyatakan Pilkada serentak tahun 2024 digelar berdasarkan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 pada UU Pilkada. Dengan demikian PDIP terbuka untuk melakukan revisi terhadap semua surat tugas dan surat mandat yang diberikan kepada calon dan pasangan calon dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa PDIP dengan syarat baru (10%, 8,5%, dan 6,5%) dapat mengusung sendiri pasangan calon di berbagai provinsi, kabupaten dan kota. Peluang tersebut harus diambil oleh PDIP meski harus berhadapan dengan KIM Plus. Kedua, bahwa PDIP berpeluang besar mendapat dukungan dari rakyat akibat perlakuan kasar KIM Plus. Maka seluruh kerjasama yang sempat dibangun dengan Parpol anggota KIM Plus sebaiknya dibatalkan. Koalisi bersama rakyat lebih kuat dibanding koalisi dengan KIM Plus. Ketiga, bahwa PDIP harus mengakui secara terbuka bahwa MK dan rakyatlah yang menyelamatkan PDIP. Tanpa MK dan rakyat, maka PDIP akan dihabisi dengan tidak memiliki mitra koalisi untuk memenuhi syarat lama (20%). Keempat, bahwa mitra kerjasama politik (koalisi) PDIP yang utama adalah rakyat pro demokrasi dan Parpol kecil (non parlemen) yang bukan anggota KIM Plus, dan tidak tersandera “raja Jawa”. PDIP harus merangkul Partai Buruh, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Perindo, PPP, dan PKN. Kelima, bahwa pasangan calon yang diusung oleh koalisi PDIP harus kongruen (sebangun). Pasangan calon gubernur/ wakil gubernur dengan calon bupati/ wakil bupati, walikota/ wakil walikota harus berada pada kubu yang sama. Selain untuk memudahkan sosialisasi, pun untuk menegaskan perbedaan antara koalisi rakyat dengan KIM Plus. Keenam, bahwa tidak bermanfaat bagi PDIP mengusung dan mendukung calon kepala/ wakil kepala daerah kader Parpol anggota KIM Plus sekalipun berpeluang menang. Mengusung kader sendiri jauh lebih bermanfaat bagi PDIP meskipun akhirnya kalah. Ketujuh, bahwa untuk daerah yang tidak memenuhi syarat minimal jumlah kursi (10%, 8,5%, atau 6,5%) pun PDIP lebih baik mendukung calon yang maju lewat perseorangan (independen) daripada bekerjasama dengan KIM Plus. Kedelapan, bahwa PDIP harus berubah dengan menjadi alat perjuangan rakyat. Sikap- sikap eksklusif dan gaya elitis harus dihilangkan. Rangkul dan peluk rakyat secara jujur dan terbuka. Sebab ketika PDIP membuka diri kepada semua kebutuhan dan kepentingan politik rakyat, maka PDIP akan mendapat kesetiaan dari rakyat. Kesembilan, bahwa dalam waktu singkat dan terbatas, PDIP perlu membuka akses kepada rakyat untuk memberi masukan nama- nama calon kepala/ wakil kepala daerah yang diusung PDIP, sehingga calon- calon yang dikehendaki oleh rakyat akan memiliki kesempatan ikut bertarung melalui PDIP. Kegaduhan politik yang diakibatkan oleh KIM Plus harus menjadi amunisi tak terbatas bagi PDIP untuk meraih simpati dari rakyat. Sehingga kemenangan demi kemenangan dapat diraih bersama dan untuk rakyat. (*)

Putusan MK Membuyarkan Rencana Jahat Jokowi

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Putusan MK No 60 dan No 70 pada 20 Agustus membuat rencana besar, dan jahat, Jokowi menjadi berantakan. Jokowi mau memborong pencalonan kepala daerah, menghancurkan salah satu partai politik, PDIP, agar tidak bisa mencalonkan sendiri kepala daerah.  Jokowi mau menguasai kepala daerah di seluruh Indonesia, dengan memaksa partai politik bergabung ke koalisi atau kartel besar KIM Plus. PKS sudah menyerah. Nasdem sudah bertekuk lutut. PKB sedang digarap. Cak Imin akan digeser melalui PKB tandingan kalau tidak mau mendukung. Nampaknya, rencana jahat Jokowi untuk menguasai kepala daerah, dan Indonesia, akan berjalan mulus. Partai Golkar sudah dikuasai, untuk menjadi kendaraan yang nantinya akan memimpin kartel partai politik besar tersebut. Bukan Gerindra. Karena perolehan suara Golkar secara nasional lebih besar dari Gerindra. Tiba-tiba, Putusan MK membuyarkan rencana jahat Jokowi. Putusan MK membuat kartel partai politik Jokowi berantakan. PDIP sekarang bisa mencalonkan kepala daerah sendiri. Anies Baswedan yang sangat ditakuti oleh Jokowi menjadi “hidup” kembali. Anies sangat berpeluang besar memenangi Pilkada Jakarta. Tidak ada tandingan. Meskipun harus melawan kartel partai politik besar rancangan Jokowi. Sebagai konsekuensi, rancangan jahat Jokowi lainnya, untuk menguasai kawasan ekonomi Jakarta dan sekitarnya yang dinamakan kawasan aglomerasi, juga ikut berantakan. Tidak heran, Jokowi yang merasa mempunyai kekuasaan tanpa batas, merasa bisa mengobrak-abrik partai politik dengan mudah, dengan menggunakan aparat penegak hukum untuk mengancam elit partai politik dengan kasus korupsi, melawan keras dan brutal Putusan MK tersebut. Jokowi dan kroninya di Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah merancang revisi UU Pilkada yang pada intinya menganulir Putusan MK, dan melanggar Konstitusi, untuk melanggengkan kekuasaan kartel partai politik rancangannya. Kali ini Jokowi dan kroninya terbentur beton rakyat yang sangat keras. Rakyat di seluruh Indonesia bangkit melawan. Beberapa gedung DPRD di daerah jebol, termasuk pagar depan dan pagar belakang gedung DPR/MPR di Jakarta, ikut jebol. Rakyat marah besar. Akhirnya, rencana rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada kemarin, 22/08/24, untuk melawan Putusan MK, batal. Istana (baca Jokowi) dan kroni Jokowi di Baleg DPR sekarang berkicau, akan taat pada Putusan MK. Tetapi, semua itu sudah terlambat. Niat jahat dan aksi kejahatan, mens rea dan actus reus, sudah terjadi, melalui rancangan revisi UU pilkada yang tidak jadi diundangkan. Untuk itu, rakyat tidak bisa melupakan betapa tirani rezim Jokowi ini. Rakyat tidak bisa memaafkan upaya pembegalan dan pembangkangan Konstitusi yang dilakukan Jokowi, dan kroninya, untuk membawa Indonesia ke rezim kekuasaan, yang akan menghancurkan masa depan Indonesia. Rakyat juga menuntut Jokowi mempertanggung-jawabkan semua dugaan penyimpangan kekuasaan yang dilakukannya selama 10 tahun menjabat presiden. https://news.detik.com/pilkada/d-7503421/istana-tegaskan-ikut-aturan-mk-selama-revisi-uu-pilkada-belum-sah https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/17441111/istana-tegaskan-akan-ikuti-putusan-mk-soal-pencalonan-pilkada. (*)

KIM Plus Bubar

Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) KOALISI Indonesia Maju (KIM) Plus akhirnya memilih tunduk kepada kehendak rakyat. Tekanan aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi cukup ampuh menghentikan arogansi Parpol KIM plus. Parpol anggota KIM Plus memilih patuh kepada putusan MK daripada melawan dengan risiko Pilkada batal dan Parpol KIM Plus dapat dibubarkan. Pembegalan konstitusi dan pembangkangan hukum berakhir dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI melalui akun X, bahwa Pilkada serentak akan berlangsung dengan dasar UU Pilkada sesuai putusan MK. Ironinya, Wakil Ketua DPR RI lebih berani mengambil risiko daripada Kepala Negara yang memilih zona aman. KIM Plus dipastikan bubar pasca masing- masing Parpol melihat peluang dengan mengikuti putusan MK. Ada peluang bagi Parpol usung kader sendiri di Pilkada tanpa tersandera koalisi (20 persen). Parpol anggota KIM Plus akhirnya mulai melepas tekanan dengan tidak hadir di Sidang Paripurna DPR RI pagi tadi. Tidak ada Parpol yang berani melawan rakyat dengan melanjutkan Sidang Paripurna DPR RI. Raja Jawa seperti yang disebut Bahlil Lahadalia pun tidak muncul untuk menyelesaikan masalah. Raja Jawa yang selalu cuci tangan, kini mulai ditinggal perlahan oleh Parpol. Sebagai kelompok pro demokrasi, maka kita pantas menyampaikan rasa hormat kepada rekan juang dari Partai Buruh dan Partai Gelora yang sangat peduli atas hak konstitusional warga. Penghargaan dan penghormatan pun diberikan kepada hakim- hakim MK yang merdeka dalam putusannya, sehingga daulat rakyat dapat diwujudkan. Demikian juga dengan aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi lainnya yang turun ke jalan melawan para pembegal konstitusi dan pelaku pembelokan hukum. Dengan bubarnya KIM Plus, maka rakyat memiliki peluang mendapatkan calon- calon pemimpin yang berkualitas. Tidak akan ada Pilkada yang akan head to head, seperti skenario awal KIM Plus. Pilkada menjadi ujian bagi kader- kader Parpol di kabupaten/ kota, dan provinsi. Tidak akan ada lagi dominasi dari Parpol besar kepada yang lebih kecil. Posisi politik rakyat semakin kuat, dengan Pilkada yang diikuti banyak pasangan calon. Sehingga bubarnya KIM Plus menjadi pertanda baik bagi demokrasi, dan penguatan kedaulatan rakyat. (*)

Bahlil Menghina Raja Jawa

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  BAHLIL layaknya seperti demit  suruhan boneka Oligarki setelah berhasil mengkudeta Golkar, saat dikukuhkan sebagai ketua umum partai Golkar pidato dleming tanpa pakem yang jelas asal cuap cuap soal Raja Jawa. Penampilannya dekil, hitam pecicilan seperti demit yang baru nyangsang di pohon beringin. Pernyataan Bahlil Lahadalia soal Raja Jawa turut menyedot perhatian Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sri Sultan HB X dengan bijak mengaku tidak tahu maksud pernyataan sosok yang baru ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada gelaran Munas XI Golkar, urusannya apa (soal Raja Jawa),  tutur Sri Sultan yang juga Gubernur DIY ini ( Rabu kemarin (21/8). Tidak perlu basa basi yang di maksud Raja Jawa oleh Bahlil adalah  Jokowi yang selama ini dikenal sebagai boneka Taipan Oligarki. Kebodohan Bahlil adalah gambaran dalam otaknya tentang Raja Jawa (Jokowi) mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang bisa dipakai untuk menundukkan siapapun yang tidak patuh. Bahkan bisa mengerahkan kekuatan aparat hukum untuk memenjarakan siapapun yang melawannya. Tanpa rasa bersalah menggambarkan Raja Jawa itu representasi figur tertentu yang punya power, jabatan yang bisa menghukum atau melakukan tindakan kejam, bengis memenjarakan yang tidak mengikutinya. Kader-kader Golkar agar hati-hati kalau tidak nurut bahaya, ngeri loh. Sudah banyak yang masuk penjara. Bahkan mewanti-wanti agar pengurus Partai Golkar  tak bermain-main dengan sosok yang ia sebut sebagai Raja Jawa. Menurutnya Raja Jawa merupakan sosok yang ngeri-ngeri sedap. Bahlil seperti demit kurang sajen mengancam para kader di Partai Golkar agar tidak berbuat macam-macam yang tidak disenangi sang Raja Jawa.  Apa urusannya Golkar dengan hayalan Raja Jawa (Jokowi) yang sebentar lagi akan lengser dengan resiko hukum yang sangat berat harus di pertanggung jawabkan. Apalagi dalam nasab kehidupannya tidak memiliki trah darah biru (Raja). Beraninya mendikte Prabowo akan meneruskan kepemimpinan Jokowi bahwa  pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai merupakan kelanjutan dari pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Jokowi. Celakalah Golkar yang akan di pimpin demit yang sempit wawasan politik sebagai negarawan bahkan tercermin dengan jelas kedangkalan politik Bahlil yang sering disebut sebagai penjilat. Ucapan Bahlil sebenarnya menggambarkan ketakutan Bahlil yang tidak berkutik dipimpin Jokowi yang lalim dan bengis saat bersamaan harus menerima tugas sebagai demit begal politik pohon beringin. Pidato Bahlil tidak bisa hanya dianggap kelakar politik tetapi merupakan penghinaan terhadap eksistensi Raja Jawa, karena ketololannya sebagai penjilat. (*)

Revolusi Tanpa PKS?

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan |  Sabang Merauke Circle KELIHATANNYA perlawanan rakyat Indonesia selama sepuluh tahun ini mengalami persimpangan jalan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum rezim Jokowi berakhir, PKS, ternyata menunjukkan militansinya membela Jokowi dan keluarga Jokowi. Baik ditunjukkan dalam beberapa event pertemuan dengan Kaesang maupun militansinya menolak keputusan Mahkamah Konstitusi 60 dan 70 terbaru. Walhasil, PKS menjadi bagian dari rezim Jokowi, yang selama ini dilawannya. Perlawanan rakyat semesta atas rezim Jokowi, terkait dengan penolakan DPR atas keputusan MK yang menganulir peluang pencalonan Kaesang dan memberikan peluang pencalonan Anies Baswedan dalam pilkada, terjadi massif saat ini. Perlawanan itu dilakukan dalam spektrum luas, mulai dengan para Dewan Guru Besar berbagai Universitas, mahasiswa, kaum buruh, parpol progresif, pendukung Anies sampai para artis-artis. Dan hasilnya hari ini DPR gagal memutuskan UU Pilkada baru versi keinginan rezim Jokowi itu. Sejatinya perlawanan ini untuk mempertahankan demokrasi kita. Hilangnya PKS dalam peta perlawanan rakyat tentu saja dapat dilihat sebagai kemurnian perjuangan Bangsa Indonesia. Sebab, selama ini peta perjuangan militan yang didalamnya ada PKS selalu menjadi kecurigaan barat, karena PKS seringkali dianggap bagian dari perjuangan PAN Islamisme, seperti Ikhwanul Muslimin. Di Bangladesh, misalnya, gerakan mahasiswa yang menjatuhkan rezim Syaikh Hasina, bulan lalu, dituduh India (protector rezim Syaikh Hasina) ditunggangi Jemaat Ala Islami, sebuah organisasi Pan Islamisme berpusat di Pakistan dan sangat berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin. Kerugiannya bagi para kelompok perlawanan adalah kehilangan massa militan. Sebab, PKS merupakan satu-satunya partai Islam ideologis yang mempunyai basis massa jutaan. Apakah massa militan PDIP, yang baru bergabung dalam kelompok perlawanan, dapat menggantikan peran PKS? Apakah massa Anies bisa menjadi massa Islam militan, menggantikan PKS? Ini sebuah pertanyaan besar. Sebab, massa PDIP selama 10 tahun ini justru menjadi kelompok pelindung rezim Jokowi, sebelum Jokowi \"menghina\" keberadaan PDIP dan Megawati. Tanpa adanya massa militan, memang susah untuk mewujudkan adanya sebuah revolusi. Padahal revolusi sosial itu diinginkan rakyat kita untuk menganulir keinginan Jokowi membangun politik dinasti.  Kita berharap jika revolusi tidak terjadi, tentunya pemberontakan sosial harus tetap ada, sampai elit-elit yang berkuasa kembali menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, konstitusi dan pengabdian pada bangsa. Setidaknya, kita berharap dua bulan kurang sisa rezim Jokowi, perlawanan tetap ada. Dan berharap rezim Prabowo nantinya kembali pada spirit bernegara yang benar. (*)

Pembangkangan Konstitusi oleh Badan Legislasi DPR Tidak Bisa Ditoleransi

Oleh Anthony Budiawan  | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MHKAMAH Konstitusi memutus tiga hal terkait uji materi tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 20 Agustus 2024. Pertama, partai politik bisa turut mencalonkan kepala daerah, termasuk gubernur dan wakil gubernur, meskipun tidak memperoleh kursi di DPRD. Putusan ini sangat penting bagi tonggak demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta untuk memenuhi asas demokrasi seperti dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD: “…kepala pemerintah daerah …. dipilih secara demokratis.” Karena, suara rakyat yang diberikan kepada partai politik, tetapi tidak mendapat kursi di parlemen (daerah), tidak boleh diabaikan atau dihilangkan begitu saja dalam pencalonan kepala daerah. Kedua, ambang batas pencalonan kepala daerah diubah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen perolehan kursi di DPRD menjadi antara 6,5 sampai 10 persen perolehan suara, tergantung dari jumlah pemilih. Putusan MK ini sebagai konsekuensi dari Putusan pertama, agar partai politik yang tidak mendapat kursi dapat berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, sehingga ambang batas perolehan kursi menjadi tidak relevan, dan ambang batas perolehan suara tidak terlalu jauh berbeda atau diskriminatif dibandingkan dengan pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan (independen) yaitu antara 3 sampai 6,5 persen dari dukungan rakyat. Putusan MK ini sesuai prinsip kesetaraan hukum seperti bunyi Konstitusi Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan …”, dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi semua pihak, seperti bunyi Pasal 38D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ketiga, MK menegaskan batas usia kepala daerah untuk tingkat provinsi paling rendah 30 tahun pada saat penetapan calon, sesuai dan konsisten dengan penyelenggaraan pilkada sebelum-sebelumnya. Konsistensi batas usia minimum ini sangat penting untuk memberi kepastian hukum, seperti perintah Konstitusi, Pasal 28D ayat (1). Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, termasuk wajib ditaati oleh DPR dan Presiden, sesuai bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …..” Mahkamah Konstitusi diberi wewenang oleh Konstitusi untuk mengadili dan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut harus dimaknai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Konstitusi. Karena itu, bersifat final dan mengikat. Bagi pihak yang tidak setuju dengan Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bisa minta Mahkamah Konstitusi menguji kembali Putusannya yang sudah menjadi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tetapi, Badan Legislasi (Baleg) DPR kemudian mempertontonkan manuver yang sangat nyata-nyata masuk kategori pembangkangan terhadap Putusan MK, pembangkangan terhadap konstitusi, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Manuver pembangkangan konstitusi oleh Baleg ini tidak bisa ditoleransi karena akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. https://nasional.tempo.co/amp/1906712/mkmk-sebut-baleg-lakukan-pembangkangan-konstitusi/ Baleg merumuskan, ambang batas pencalonan kepala daerah antara 6,5 sampai 10 persen dari jumlah pemilih hanya berlaku bagi partai politik yang tidak mempunyai kursi di DPRD. Sedangkan untuk partai politik yang mempunyai kursi di DPRD tetap 25 persen dari perolehan suara atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD.  Rumusan Baleg ini bukan saja melanggar Putusan MK yang bersifat final dan mengikat seperti bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1), tetapi juga melanggar Konstitusi secara nyata dan brutal, melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Rumusan Baleg tersebut secara telanjang mata melakukan diskriminasi terang-terangan terhadap partai politik (yang mempunyai kursi dan non-kursi), serta melanggar Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya adalah partai politik. Oleh karena itu, rumusan Baleg tersebut tidak ada pijakan hukum sehingga wajib batal. Semua pihak yang terlibat dalam perumusan pembangkangan konstitusi tersebut wajib diusut dan dapat dituduh sebagai pengkhianat negara. Kemudian Baleg juga merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan. Baleg DPR menggunakan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA), yang memerintahkan Peraturan KPU untuk menetapkan batas usia minimum pada saat pelantikan. Tetapi, Putusan MK yang menegaskan bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran telah menggugurkan interpretasi UU oleh MA, dan dengan sendirinya juga menggugurkan Putusan MA terkait batas usia minimum pencalonan kepala daerah tersebut. Perlu dipertegas, MA hanya mengadili peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. MA bisa mengadili Peraturan KPU tentang pilkada terhadap UU pilkada. Tetapi, MA tidak bisa mengadili atau mengubah undang-undang (pilkada). MA mengartikan, batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan karena di dalam UU pilkada tidak disebut secara eksplisit bahwa batas usia minimum dimaksud pada saat pendaftaran, sehingga MA bisa mengartikan seenaknya atau sesuai orderan. Karena faktanya MA tidak mempertimbangkan norma umum dan praktek-praktek sebelumnya bahwa batas usia pada umumnya ditetapkan pada saat pendaftaran. Ketika ada Putusan MK yang mempertegas batas usia minimum calon kepala daerah ditetapkan pada saat pendaftaran, maka tidak ada interpretasi lain lagi, bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran. Sebagai konsekuensi hukum, Putusan MA terkait batas usia pencalonan kepala daerah pada saat pelantikan menjadi gugur dan batal demi hukum. Rumusan Baleg yang menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah pada saat pelantikan, dengan menggunakan dasar hukum Putusan MA yang secara hukum sudah tidak sah, secara otomatis juga menjadi tidak sah, dan melanggar Putusan MK, melanggar Konstitusi Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) terkait kepastian hukum. Maka dari itu, rumusan Baleg terkait UU pilkada tersebut merupakan pembangkangan konstitusi, pelanggaran konstitusi, pengamputasian demokrasi dan kedaulatan rakyat, yang tidak bisa ditoleransi, karena akan membawa Indonesia menjadi negara kekuasaan dan otoritarian yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. —- 000 —-