ALL CATEGORY

Bunuh Diri Ala Benny Rhamdani

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  MENCORENG nama eksponen 98 dan cenderung anti demokrasi. Seolah-olah menyebut dirinya sebagai aktifis pergerakan sejati, ternyata hanya sebatas pemburu harta dan jabatan. Penjilat dan pengemis kekuasaan serta pelaku agitprop yang  mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Itulah Benny Rhamdani. Ia pantas dan sepatutnya mendapat sanksi sosial dan hukum. Lagaknya seperti orang hebat.  Merasa pintar, kuat, dan berkuasa. Di hadapan Jokowi, Benny Rhamdani bukan cuma sekadar membuktikan dirinya penjilat sejati. Ketua Barikade 98 itu, melakukan provokasi yang dapat memicu degradasi sosial dan disintegrasi bangsa. Demi urusan  perut dengan cara ngoyo menikmati kue-kue kekuasaan, ia seperti tak punya rasa malu dan harga diri. Ketua Badan Perlindungan Pekerja Buruh Migrain (BP2MI) itu, mengumbar rasa kebencian dan sikap permusuhan baik kepada aktifis pergerakan khususnya dan  rakyat pada umumnya. Benny seakan menabuh genderang perang kepada rakyat yang mayoritas Islam. Dengan menantang dan menghasut, ia meminta presiden agar  gerakan kritis dan kesadaran perlawanan, segera diambil tindakan tegas dan dikriminalisasi. Benny tak ubahnya sedang memprovokasi presiden. Benny Rhamdani lupa kalau ia sendiri pernah menjadi aktifis dan melawan rezim kekuasaan tirani pada masa ode baru. Ia lupa diri, kemaruk harta dan jabatan, bikin malu roh perjuangan aktifis 98 dan semangat reformasi. Seakan tak punya kesadaran kritis dan kesadaran makna.  Benny Rhamdani terlalu kerdil hingga lupa kalau tak ada pesta yang tak akan berakhir, tak ada kekuasaan yang abadi kecuali kekuasaan Tuhan. Sikap arogansinya dan mentang-mentang terhadap rakyat dipertontonkan di depan Jokowi.  Padahal ia sedang menunjukkan kebodohannya sendiri, sikap hipokrit dan menghalalkan segala cara demi nafsu  harta dan jabatan.  Pikiran dan kata-katanya penuh hasut dan dengki, terutama pada yang berbeda pandangan dan sikap terhadap pemerintah. Dialog Benny Rhamdani dengan Jokowi yang videonya viral itu terlihat lucu dan menggelikan. Dampaknya,  itu menjadi tontonan yang membangkitkan kemarahan rakyat, selain kesimpulan fakta bahwa sebetulnya 11-12 antara relawan dan presidennya. Relawannya angkuh, presidennya juga tidak disukai rakyat. Keduanya bak pinang dibelah dua, piawai dalam memainkan agitasi dan propaganda, kebohongan serta pengkhianatan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Benny Rhamdani, tanpa sadar telah melakukan sesuatu yang memiliki implikasi yang tidak sederhana, mengumbar kebencian  dan memancing emosi publik. Termasuk berpotensi masuk ranah hukum dan atau pengadilan rakyat nantinya. Relawan Jokowi sekaligus kader partai Hanura itu,  disinyalir aktifis yang suka menjual nama entitas 98 dan mengiba jabatan karena merasa ikut memenangkan pilpres 2019.  Ia telah menyulut sentimen intelektual, demokrasi dan agama. Benny mengabaikan kehidupan rakyat dalam keadaan terpuruk dan rezim kekuasaan begitu lemah hingga cenderung menyebabkan Indonesia menjadi negara gagal.  Alih-alih fokus pada program perlindungan  buruh migrain lewat kapasitasnya sebagai ketua BP2MI, Benny malah sibuk menjadi relawan dan terlibat politik praktis. Bukan fokus pada kepentingan  rakyat, dia malah sibuk pada panggung pilpres. Benny oh Benny, sungguh kasihan, betapa rendahnya,  begitu murahnya harga Benny sebagai manusia. Demi harta dan jabatan, ia rela mau memakan darah dan  daging saudaranya sendiri. Benny Ramdhani, dia akan menuai dari apa yang ditanam. Narasinya yang pongah, bagai membangunkan macan tidur. Bukan hanya terancam dicopot dari ketua BP2MI, tempat ia bekerja yang digaji dari uang rakyat, Benny juga bakal menghadapi gugatan publik. Kalau tidak ranah hukum, siap-siap saja menghadapi pengadilan rakyat. Ia telah menyakiti perasaan publik dengan menantang dan menyatakan siap berhadapan dengan kekuatan rakyat. Benny lupa kalau masa jabatan Jokowi segera akan berakhir dan kekuasaannya juga tak sehebat sekarang. Tunggu saja kalau rezim berganti  atau Jokowi lengser. Benny Ramdhani mau sembunyi dan lari ke mana. Dasar Benny Rhamdani, mulutmu Harimaumu dan perilakumu seperti orang yang bunuh diri. Bunuh diri politik, bunuh diri ala Benny Rhamdani. (*)

Sang Raja Buta-Tuli

Roda pemerintahan semua sedang menuju jalan buntu menembus lorong terjal. Bagaikan sang raja hutan “telinga tuli, mata buta”, malah meminta penambahan masa jabatan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SOLITUDINEM faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian). Seorang Raja Hutan dalam kondisi lapar atau kenyang, yang selalu ada dalam benaknya itu adalah memangsa lawan. Karena, semua yang ada di luar dirinya itu adalah ancaman. Seorang Penguasa Tirani pasti memiliki paling tidak sifat “mata buta, telinga tuli” alias “buta-tuli” yang dalam menatap, mendengar dan memahami realitas kondisi objektif Indonesia, yang terusik berbeda pendapat, apalagi melawan, akan jadi sasaran empuk dimangsa. Indonesia sudah dilanda krisis multi dimensi yang kondisinya sudah benar-benar terjerembab ke tingkat titik nadir. Akibat ketidak-cakapan, ambisi, dan keserakahan rezim. Tidak sadar negara sudah diambang negara gagal, mengantisipasi dinamika geo politik dunia, dan gagal mengelola problematika dalam negeri. Gagalnya menjaga negara dengan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia terjepit di tengah turbulensi politik global akibat kesembronoannya. Rezim telah benar-benar kehilangan kepercayaan dari masyarakat mayoritas rakyat Indonesia. Korupsi merajalela dan hutang menggunung, keserakahan oligarki sudah menelikung. Bahwa subsidi dicabut, tarif kebutuhan dasar dan pajak melambung tinggi mencekik hidup rakyat yang daya belinya terus menurun. Gagal melindungi rakyatnya. Dalam kondisi keterpurukan ekonomi, enggan menghentikan IKN, Kereta Api Cepat Jakarta Bandung, pembangunan infrastruktur, dan proyek mercu suar lainnya yang hanya karena hawa nafsu ambisinya. Kekuasan makin pongah, arogan, penyimpangan, kekejian, ketidak-adilan, dan kebohongan justru ketika negara sedang berjalan sempoyongan. Dalam ketidakberdayakan, memposisikan polisi dipermak menjadi super body sebagai hammer memukul siapapun yang beroposisi atau melawan penguasa. Anehnya rezim ini tidak sedikitpun merasa bersalah, bahkan makin jumawa dengan macam rekayasa pencitraan, kosong rasa, dan peduli terhadap “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu” sekalipun gelombang demo sudah sampai menuntut Presiden mundur atau turun. Tidak melihat bara sekam semakin membesar dipastikan akan bisa berubah menjadi kekuatan revolusi sosial dan yang setiap saat bisa menerkamnya. Indonesia sudah miskin peradaban, kesantunan, etika dan benar-benar lepas dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan, UUD 1945 juga sudah dimangsa. Roda pemerintahan semua sedang menuju jalan buntu menembus lorong terjal. Bagaikan sang raja hutan “telinga tuli, mata buta”, malah meminta penambahan masa jabatan. Dalam kondisi yang gawat dan rumit, beberapa pejabat tinggi negara, luluh- lantak di mamah oligarki: “In the struggle, I\'m selling myself more often  than not on the highest bidder purely for thrill and money” ((Dalam berjuang, saya lebih sering menjual diri saya pada penawar tertinggi semata-mata untuk kesenangan dan uang). Negara dalam bahaya, dikawal pejabat negara kekinian “enjoy live” tidak peduli kapan lagi buka saat ini menjual diri. (*)

Prioritas!

Semuanya ini indikasi konkrit amburadulnya Prioritas di negara ini. Maka marilah kita paham dan sadar bahwa selama pengabaian prioritas ini terus berlangsung, sulit berharap kemajuan NKRI menghadapi masa mendatang. Oleh: Sugeng Waras, Kolonel Purnawirawan, Pemerhati Keumatan, Kebangsaan, Pertahanan dan Keamanan Negara SETIDAKNYA saya sudah pernah sampaikan kepada lima (5) delegasi Perwira Militer Luar Negeri (Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan China) ketika saya bersama rombongan berkunjung ke negaranya, untuk menjawab pertanyaanya terkait sistem pertahanan Indonesia terhadap ancaman invasi dari lugri. Yang esensinya bahwa bangsa Indonesia hakekatnya “cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan”! Memahami dan menyadari bentuk dan komposisi NKRI, maka hal yang paling rawan adalah jika adanya kekacauan dalam negeri bersamaaan dengan invasi dari luar negeri (lugri) itu. Dengan memperhitungkan celah-celah pulau besar yang bisa dimanfaatkan oleh lawan sebagai pintu masuk ke Indonesia, maka dengan mensinergikan kekuatan udara, laut, dan darat bersama dengan rakyat serta penguasaan dan pemanfaatan IT, maka pintu-pintu masuk itu telah dikunci dan dilatihkan secara proporsional dan fungsional setiap saat, secara bertahap, bertingkat, berlanjut, dan berkesimbungan Artinya, Indonesia telah menyiapkan kebijakan, strategi, operasional, taktis, dan teknis yang siap mencegah, menindak dan memulihkan terhadap segala kemungkinan dari AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan) terhadap NKRI dalam setiap saat, bentuk, jenis, dan sifatnya. Sehingga kekuatan dan kemampuan sebesar apapun dari musuh akan dapat dipatahkan dan diusir kembali keluar dari NKRI. Inilah kesimpulan dari pertahanan dan ketahanan Perang Rakyat Semesta (PERATA) yang telah diwariskan oleh para pejuang pendahulu kita. Namun, benarkah ini masih konsisten dan konsekuen hingga kini? Ini menjadi tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang juga sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Kekuatan dan kemampuan angkatan perang harus tetap menjadi fokus dan prioritas, tanpa mengabaikan pergaulan Internasional dan keseimbangan kepentingan dan tujuan negaranya. Dan, ini bisa terwujud manakala disertai persatuan dan kedamaian warga negaranya. Dan, itu juga harus ditopang dengan sifat dan watak seorang pemimpin yang   cakap, cerdas, berwawasan luas, menegakkan kejujuran, kebenaran, dan keadilan yang tertanam pada dirinya sendiri serta ditanamkan kepada seluruh wargga negaranya. Bagaimana fenomena negara saat ini? Negara yang diunsuri pemerintah, rakyat, wilayah, dan pengakuan dari negara lain, serta diaspeki Idologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum serta pertahanan dan keamanan nyaris tak terkendalikan. Peran, tugas dan fungsi TNI sebagai penjaga, pembela, penyelamat kedaulatan negara dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia, serta peran, fungsi dan tugas Polri sebagai pengayom, pelindung, pelayanan masyarakat dan penegakan hukum sudah jelas, begitu juga MK, MA, DPR maupun lembaga lembaga lain berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, faktanya lalai dan ceroboh, sehingga Rencana perundang-undangan dan Undang Undang BPIP/HIP, Omnibus Law/Cipta Kerja dan juga Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru, sudah lolos, yang semuanya nyaris mengindikasikan kerja-sama, terjadi konpirasi jahat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif yang mengkianati Pancasila dan UUD 1945. Penegakan hukum yang tebang pilih, kebohongan demi kebohongan yang menjadi solusi, pengelolaan SDA dan keuangan yang amburadul, serta penerimaan TKA yang tidak transparan, menggunungnya hutang negara, yang membebani masa depan bangsa dan negara, serta pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Uraian singkat dan tidak mendalam di atas sebagai pengingat dan penekanan kembali bobroknya negara. Tapi mengapa semua tidak ada keberanian untuk melawan? Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe yang terus-menerus mlempem, susah bersatu dan tidak ada keberanian. Forum dan Front Ormas gigih mengadakan perlawananan, namun orpol atau parpol sibuk ngurusin persiapan dan pencalonan capres dan cawapres masing masing. Di sisi lain musibah demi musibah, baik karena ulah manusia atau alam terus bergilir. Kejadian di Stadion Kanjuruan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, dan gempa bumi di Cianjur sebagai contoh konkrit. Ulah sosok Benny Ramdhani yang mengadu di depan Presiden Jokowi terkait penegakan hukum yang memutar-balikkan fakta dan berpotensi membuat kegaduhan nasional seolah dianggap sepele dan tidak ada tindak lanjut dari aparat. Semuanya ini indikasi konkrit amburadulnya Prioritas di negara ini. Maka marilah kita paham dan sadar bahwa selama pengabaian prioritas ini terus berlangsung, sulit berharap kemajuan NKRI menghadapi masa mendatang. Maka kepedulian dan kepekaan pada masalah-masalah kenegaraan melalui kegiatan keumatan, kebangsaaan, kenegaraan serta untuk membangun dan membangkitkan persatuan dan kesatuan bangsa yang berani, peka dan juga peduli, insiatif dan kreatif, berketuhanan, bermoral, proposional, profesional, bertanggung jawab, bermartabat, dan beradzab, menjadi alternatif utama dalam mengambil solusi. Bandung, 29 Nopember 2022. (*)

Ngeri, Provokasi pada Jokowi untuk Melawan Rakyat Sendiri, Copot Kepala BP2MI!

Jakarta, FNN - Saat ini, video dari Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI viral di dunia maya.  Video itu berisi perbincangan antara Benny Rhamdani ketika bertemu dengan Presiden Jokowi di GBK dalam acara Nusantara Bersatu Sabtu, 26 November lalu. Video tersebut banyak diunggah di media sosial, dan salah satunya diunggah di akun Twitter Andi Sinulingga.  Andi Sinulingga adalah aktivis Kolaborasi Warga Jakarta. Untuk membahas hal ini lebih jauh, Hersubeno Point edisi Selasa (29/11/22) menghadirkan Andi Sinulingga. Apakah negara dalam kondisi darurat? “Ya, kalau terus seperti yang terjadi di GBK, menurut saya rekonstruksi mereka bahwa keadaan ini darurat.  Jadi, yang di elit ini merekonstruksi seolah-olah Indonesia ini mau hancur,” ujar Andi Sinulingga.  Jadi, menurut Sinulingga, direkonstruksi seolah-olah yang mengkritisi pemerintah, misalnya kasus PSSI – Kanjuruhan, soal penanganan gempa Cianjur, dan sebagainya. Padahal, yang namanya civilian society itu sudah pasti cerewet, di manapun. Makanya dalam civil sosiety ada yang namanya Watchdog, media yang membuat para pejabat itu memang tidak boleh hidup tenang, harus kerja.  Lihat saja bagaimana mereka melakukan hal yang sama terhadap Anies Baswedan, tapi bedanya circlenya Anies tidak membangun framing bahwa seolah-olah Jakarta itu darurat.   Menurut Sinulingga, orang mengkritik itu banyak modelnya, dari mulai yang paling santun sampai yang paling kasar. Tapi, apapun itu, semua adalah kritik yang dialamatkan kepada pemerintah. Tapi kalau persoalan di tengah-tengah masyarakat itu, menurutnya, sederhana: pangan terjangkau, daya beli masyarakat cukup kuat menggapai harga-harga, lapangan pekerjaan itu mudah diakses, layanan kesehatan, pendidikan yang baik untuk anak-anak, keamanan di jalan-jalan, dan orang hidup aman. Ini sebenarnya basic-nya publik. Tetapi, coba diperhatikan apa yang disajikan oleh elit: negara ini mau hancurlah, ada kelompok-kelompok intoleranlah, ada khilafahlah, ada kelompok yang tidak NKRI-lah, suatu hal yang semuanya debatable, yang sangat ilusif, sementara yang dibutuhkan riil.  Mereka tidak bisa masuk ke yang riil sehingga dibangunlah framing-praming yang menyesatkan. “Biasanya orang-orang yang kayak begini terjadi pada perilaku-perilaku sindrom megalomania. Orang-orang yang megalomania itu merasa paling kuasa, merasa hebat, takut kehilangan kekuasaan, dan suka sekali mendeskripsikan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu,” ujarnya. Kalau kita tidak mau menggunakan istilah ‘bohong’, jadi menggambarkan sebuah ketakutan di tengah-tengah masyarakat bahwa seolah-olah hanya dialah yang bisa mengawal negeri ini dan kalau ikut dia negeri ini aman. Semacam membangun politik-politik ketakutan terus-menerus yang sebenarnya problem dasarnya tidak seperti itu.  “Saya melihat gejala ke arah sana itu sudah tampak bahwa ini seolah-olah mau dibikin pertempuran. Jadi pertempuran itu pertempuran pro- dan kontra-. Ini dibikin semacam colosseum, masing-masing punya gladiator dan kemudian tepuk tangan, sehingga kerja-kerja pemerintah yang harusnya lebih konkret itu tidak lagi dilihat oleh masyarakat,” tandas  Sinulingga. Kalau sudah terbelah seperti ini, biasanya kelompok-kelompok rasional itu yang di tengah dan jumlahnya sedikit.  Menurut Sinulingga, kalau kita lihat, semua hasil survei dari mulai trend di DKI itu pro- dan kontra- itu, itu yang di tengah itu paling 15 - 20%. Jadi, kelompok-kelompok rasional, yang well educated, tidak berani bersikap, karena takut dianggap ada kecenderungan dalam bersikap. Jadi akhirnya mereka tidak mau hidup dalam pro- dan kontra- itu sehingga mereka diam. Akhirnya, yang mendominasi adalah kutub-kutub yang sebenarnya tidak menjawab kehidupan bermasyarakat kita. Ini biasanya dirawat oleh kekuasaan. “Menurut saya, pertemuan di GBK itu murni pertunjukan politik, bukan kepentingan negara. Tidak ada kepentingan negara di situ, murni kepentingan politik, pertunjukan politik, untuk mempertahankan eksistensi Pak Jokowi.  Tentu kalau Pak Jokowi selamat yang di belakang-belakangnya juga selamat. Budaya politik begini menurutnya, tidak boleh dibiarkan. Harus direm, harus diingatkan,” tegasnya.  Secara umum, video tersebut berisi provokasi terhadap Pak Jokowi untuk memerangi rakyatnya sendiri. Atau pilihannya, jika Pak Jokowi tidak membiarkan kita bertempur di lapangan, Pak Jokowi harus menggunakan instrumen hukumnya untuk menindak secara tegas. Pak Jokowi meresponsnya dengan “dikencengin ya”. Apa tafsiran ada terhadap video itu? “Arogan. Arogansi yang muncul dari kekhawatiran bahwa pasca Pak Jokowi, kalau yang mereka persepsikan lawan-lawan politik itu dibiarkan terus membesar, kemudian menjadi pemenang Pilpres, ini sudah pasti dihantui dengan perasaan tidak enak, post power syndrome,” jawabnya. (ida)

(1/2 + 1) atau Musyawarah?

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  Musyawarah mufakat dengan tohikmah kebijaksanaan perwakilan. Demikian bunyi sebuah sila dalam Pancasila. Kalimat ini punya akar peradaban yang kuat. Lembaga musyawarah instrumen dalam Kuasa adat yang merupakan model power system yang pertama yang dilaksanakan di Indonesia dengan nomenclatur yang bernacam-macam. Kuasa adat dapat menjadi tandem (sekutu) zona ekonomi  atau kerajaan. Kuasa adat sebagai mayor power system  pengaruhnya lebih besar dari kerajaan sebagai the existing power holder dalem menentukan raja baru. Sebagaimana di Egypt, Dewan Pandita  lebih menentukan dalam menentukan the coming Pharao dari pada the existing Pharao. Adat dengan mekanisme musyawarah, di era kemerdekaan, tergeser demokrasi dengan rumus rule of the game (1/2 + 1). Tahun 1950-1959 kita berdemokrasi. Umur pemerintah bergantung mosi tidak percaya di Parlemen tembus rumus (1/2 + 1) apa tidak. Lolos apa tidak kata kunci pada koehandel, dagang sapi. Partai yang dukung mosi bisa dapat kursi di kabinet berikut. Tentu tak semua partai jaman itu suka koehandel. Ongkos yang harus dibayar dari demokrasi koehandel: stabilitas pemerintahan goyah terus. Dengan dekrit Soekarno  akhiri demokrasi model ini tapi BK tetap gunakan term demokrasi dengan konten otokrasi. Maka muncul Orde Baru dengan label demokrasi pembangunan. Penguasa tak berganti tembus tiga dasawarsa. Reformasi kemudian berhadir dengan menerapkan nummerical calculation di segala bidang . Status konstitusi pun tak jeoa setelah 4x perubahan. Pendaftaran untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid ditolak dengan alasan  format batang tubuh konstitusi ciptaan Reformasi tak dikenal. Artinya onrechterlijk. Apakah dapat diberlakukan? Sementara UUD 45 asli tetap dalam daftar Berita Negara (istilah sebelum LN) bulan Januari 1946. Tidak ada klarifikasi soal ini. Pembelaan pihak reformasi onwetenschapelijk en onrechtlijk, ngaco kayak ta\'oco, tapi ta\'oco enak. (RSaidi)

Menegakkan Hukum atau Hasutan Represif?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Video viral Benny Rhamdani  sangat mengejutkan, secara terang-terangan memberi pernyataan kepada Presiden akan melawan (secara fisik?), kalau pemerintah tidak proses hukum kepada kelompok masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis kepada pemerintah, khususnya kepada Jokowi.  Video yang menurutnya tidak utuh tersebut menunjukkan sifat otoriter anti kritik. Bahkan lebih jauh lagi, membujuk pemerintah untuk mengambil cara otoriter kepada masyarakat yang menyampaikan kritik. Pernyataan ini sangat bahaya. Bisa mengundang benturan horisontal sesama anak bangsa. Padahal kritik adalah bagian dari demokrasi, kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Pasal 28E Ayat (3) UUD mengatakan, \"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tetapi, menurut klarifikasi yang bersangkutan, kritik yang disampaikan ini bukan lagi sekedar kritik, tetapi upaya delegitimasi atau bahkan mau menjatuhkan pemerintah. Maka itu harus dilawan (alias “ditawur”?), kalau pemerintah tidak proses hukum, alias tangkap? Klarifikasi ini juga sangat bahaya karena dapat dianggap sebagai fitnah kepada kelompok masyarakat yang kritis. Karena itu, Benny Rhamdani harus bisa menunjukkan kritik mana yang dianggap delegitimasi atau mau menjatuhkan pemerintah? Sebagai contoh, kalau ada masyarakat yang mengatakan “pemerintah gagal memberi kesejahteraan kepada masyarakat”, apakah ini delegitimasi dan mau menjatuhkan pemerintah, sehingga harus “ditawur”? Benny Rhamdani juga mengatakan, kritik selalu dilakukan dengan pola yang sama: penyebaran kebencian, fitnah, adu domba antar suku dan agama, dan berita hoax, bahkan penghinaan dan pencemaran terhadap simbol-simbol negara, presiden, ibu negara. Sehingga menurutnya wajib “ditawur”?  Untuk hal ini, Benny Rhamdani juga harus klarifikasi apa yang dimaksud dengan penyebaran kebencian, fitnah, adu domba, berita hoax, dan lainnya itu. Dan wajib menunjukkan contoh kasus yang sudah terjadi.  Karena, jangan sampai yang dituduhkannya kepada kelompok masyarakat kritis ini hanya fitnah saja. Sekali lagi, inti dari pernyataan Benny Rhamdani adalah, kalau pemerintah tidak bisa menegakkan hukum kepada kelompok masyarakat kritis, maka Benny Rhamdani bersama kelompoknya siap melakukan perlawanan (secara fisik?). Kalau dicerna lebih dalam lagi, ungkapan Benny Rhamdani kepada Jokowi dapat juga dimaknai sebagai “ancaman” kepada Jokowi: kalau Anda tidak proses hukum kepada para “pengritik”, maka kami akan melawan (secara fisik?). Selain bahaya, pernyataan Benny Rhamdani tersebut dapat menjadi bumerang. Kalau pemerintah tiba-tiba menangkapi masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis, maka masyarakat mengerti siapa dalang di belakang itu semua.  Di sisi lain, pernyataan Benny Rhamdani mungkin sudah memenuhi pelanggaran Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatakan: Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi tingginya tiga tahun. Karena, pernyataan Benny Rhamdani “kami melawan” sudah bisa menerbitkan keonaran, dan yang disampaikannya merupakan berita bohong bahwa masyarakat kritis mau menjatuhkan pemerintah. (*)

Ngumpulin Massa, Apa yang Dicari Jokowi?

Oleh KR. Tumenggung Pubonagoro - Pengamat Politik  Sabtu, 26 November 2022, Presiden Joko Widodo menghadiri acara pengumpulan massa Gerakan Nusantara Bersatu: Satu Komando  untuk Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mengapa Jokowi sebagai presiden sampai bela-belain datang ke acara yang digelar relawan ini? Banyak hal janggal yang patut dipertanyakan dalam keputusan Jokowi menghadiri acara tersebut. Bila dirasa dengan akal sehat pun, rasanya akan sulit diterima. Mari kita kupas satu persatu mengenai fenomena tersebut.  Pertama, mengapa Jokowi sebagai Presiden RI masih harus repot-repot mengumpulkan massa di GBK? Apakah dia masih mengejar popularitas di masa akhir Jabatannya? Ingat, Masa jabatannya hanya tinggal sekitar satu tahun. Apakah dia masih berpikir untuk maju sebagai capres untuk periode ketiga?  Menggelar acara di GBK saja sudah merupakan sebuah kejanggalan. Jadi sebuah  paradoks dan sulit diterima akal sehat. Kita semua tahu bahwa Menteri Pemuda dan Olahraga sudah mengeluarkan peraturan GBK tidak boleh digunakan kegiatan apa pun sampai kegiatan Piala Dunia U-20 Mei 2023.  Nyatanya, relawan Jokowi bisa menggelar acara politik di stadion ini. Apakah Jokowi tidak tahu peraturan ini? Rasanya mustahil. Tak aneh rasanya bila topik tentang acara di GBK trending dan mendapat penilaian miring. Netizen protes tentang ketidakadilan peraturan yang dibuat pemerintah sendiri.  Masalahnya lagi, para peserta yang mengikuti acara tersebut tidak tertib dan buang sampah sembarangan. Akibatnya sekitar GBK jadi penuh sampah. Itu bukan satu-satunya hal miring soal peserta. Banyak peserta merasa tertipu dengan acara ini. Awalnya dijanjikan untuk mengikuti acara istighosah di GBK, ternyata mereka diminta mendengar pidato Jokowi. Dalam beberapa video yang viral di media sosial, para peserta terlihat keluar dari GBK saat Jokowi tampil di panggung. Para peserta merasa dibohongi oleh panitia.  Sekarang mari kita telisik latar belakang mengapa acara tersebut sampai terjadi dan mengapa sampai Jokowi mau hadir di acara pengumpulan massa oleh relawan. Kita harus melihat peristiwa yang terjadi sebelumnya.  Awal November 2022, Jokowi mengatakan bahwa pilpres 2024 sepertinya akan jadi jatah Prabowo. Mendengar pernyataan tersebut, terjadi kehebohan dan kegoncangan di kalangan relawan Jokowi. Hal tersebut sangat mengagetkan, karena tiba-tiba Jokowi mendukung Prabowo.  Di kalangan Projo, bahkan ada yang sampai membuat statement seperti ini: “Daripada disuruh  mendukung Prabowo, lebih baik pindah gerbong mendukung Anies Baswedan”. Hal ini tak lepas dari kalangan relawan Jokowi yang memang anti kepada Prabowo sejak 2014.  Relawan Jokowi, memang banyak yang berharap agar Jokowi mendukung Ganjar, bukan Prabowo. Berawal dari kekecawaan tersebut, akhirnya sebagian relawan mendesak Jokowi mengumumkan dukungan kepada Ganjar. Hal tersebut, lalu diikuti oleh Jokowi dengan menyebutkan capres berambut putih yang sebaiknya dipilih.  Hal ini memunculkan paradoks berikutnya. Bagaimana seorang kepala negara yang harusnya berada di tengah, terlihat melakukan zig-zag politik untuk mendukung calon tertentu. Bahkan, dia seperti tidak punya pendirian. Saat berada di kelompok tertentu dia akan mendukung satu calon. Di saat didesak relawan, dia akan mendukung calon lainnya.   Apa yang sebenarnya dicari? Apakah dia memilih mencari popularitas di  akhir masa jabatannya? Apakah tidak sebaiknya Jokowi fokus menjalankan roda pemerintahan serta menyiapkan pemilu 2024 yang jurdil, agar dia  dikenang sebagai pemimpin yang baik dan adil.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut bertebaran di kalangan masyarakat. Belum lagi acara ini digelar dengan cara janggal pula. Gerakan Nusantara Bersatu diketuai oleh Aminuddin Ma’ruf, Staf Khusus Presiden.  Bagaimana mungkin acara pengumpulan relawan yang dilakukan dengan menabrak aturan diketuai oleh  staf presiden? Bagaimana mungkin acara relawan yang memobilisasi massa bayaran, dengan dalih istighosah diketuai oleh staf presiden? Kita pantas bertanya-tanya. Untuk memobilisasi massa sebanyak itu, apakah menggunakan uang negara? Kita pantas bertanya, karena acara ini diketuai staf presiden. Bila bukan dari negara, apakah seorang pejabat publik seperti Aminuddin Ma’ruf boleh menerima dana dari pihak ketiga?  Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan gamblang. Bila tidak, kita bisa menilai, bagaimana negara Indonesia tercinta ini dijalankan dengan cara-cara yang tidak fair, tidak profesional, dan hanya digunakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. (*/

RKUHP Menghapus Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE

Jakarta, FNN - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang selama ini tercantum dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).“KUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada dalam UU ITE,” kata Edward yang akrab disapa Eddy usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin.Eddy mengatakan penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi. “Karena teman-teman, terutama media selalu mengkritik aparat penegak hukum menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan,” ujar dia.Dia menyampaikan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke dalam RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.“Dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 di UU ITE,” jelasnya.(sof/ANTARA)

Tanpa Tes Psikologi Surat Izin Senjata Brigadir J dan Bharada E

Jakarta, FNN - Kepala Urusan Logistik Pelayanan Masyarakat Polri Linggom Parasian Siahaan mengatakan bahwa Surat Izin Membawa dan Menggunakan Senjata Api (Simsa) Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) dan Bharada Richard Eliezer (Bharada E) diperoleh tanpa tes psikologi.“Prosedurnya tidak lengkap, tidak ada tes psikologi, tidak ada pengantar satker, dan tidak ada surat keterangan dokter,” kata Linggom di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika mengutip ucapan Kayanma Polri Kombes Pol Hari Nugroho kepada dirinya. Linggom menjelaskan, pada Desember 2021, ia dipanggil oleh Kayanma ke ruangan dan menerima satu lembar kertas.Isinya, tutur Linggom, adalah sudah tertulis atas nama Brigadir Yosua dan Bharada Eliezer. “Bapak Kayanma perintahkan saya, ‘tolong kamu buatkan SIMSA-nya. Saya tunggu sekarang’,” ucap Linggom mengutip ucapan Hari.Setelah SIMSA tersebut selesai ia buat dan ia serahkan kepada Hari, keesokan harinya ia dipanggil dan Hari meminta kepada Linggom untuk menyimpan kembali SIMSA tersebut karena prosedur yang tidak lengkap.“Empat hari kemudian, saya ditelpon lagi sama Pak Kayanma agar menurunkan kembali surat senjata api tersebut. Saya antar ke ruangan beliau, saya serahkan ke Bapak Kayanma. Setelah Pak Kayanma terima, langsung Pak Kayanma berbicara kepada saya, ‘Barusan saya ditelpon Kadic Propam Pak Sambo agar segera tanda tangan’, setelah itu saya serahkan,” ucap Linggom menjelaskan.Dalam SIMSA yang diberikan, Linggom bersaksi bahwa yang tertulis di kertas itu adalah senjata glock untuk Bharada E, dan HS untuk Brigadir J.Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Penegakan Hukum Provost Divisi Propam Polri Susanto Haris mengungkapkan bahwa Bharada E sempat mengeluarkan KTP dan KTA ketika Susanto meminta Bharada E menunjukkan SIMSA.“Kami tanyakan ke Richard, ‘Mana surat izin senjatanya?’ Dikeluarkan KTP dan KTA, kemudian saya jawab, ‘Bukan, yang saya tanyakan surat izin menggunakan senjata api’, kemudian saya lihat kok tidak ada fotonya,” kata Susanto ketika menyampaikan kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.Kemudian, tutur Susanto melanjutkan, ia membalik dan mencocokkan nomor seri senjata dan surat izinnya tertera NPY8519 dengan glock 17 guna memastikan sama atau tidaknya senjata dengan nomor seri yang tertera.“Kemudian saya lapor ke Pak Karo Provos, ‘Mohon izin, Ndan, nomor SIMSA dan senjatanya sama’,” ucap Susanto.(sof/ANTARA)

Menpora: Latihan Saja Tidak Cukup, Timnas Harus Ada Atmosfer Kompetisi

Jakarta, FNN – Ketua Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Zainudin Amali mengatakan Tim Nasional (Timnas) Indonesia juga memerlukan kompetisi dalam mempersiapkan Liga 1. Pernyataan tersebut disampaikan melalui Konferensi Pers yang diselenggarakan di Auditorium Wisma Menpora, Jakarta Pusat, Senin (28/11).  Dalam Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Sepak Bola Liga 1, sederet pihak yang terlibat beserta pemimpin 18 klub sepak bola membahas persiapan Timnas Indonesia menghadapi Liga 1 dan persiapan negara sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA World Cup 2023 yang akan datang.  Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Ferry Paulus, Perwakilan Asops Polri Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi Kapolri Agung, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali menjelaskan hasil rapat di jumpa pers yang digelar sekitar pukul 17.30 WIB.  Zainudin mengatakan pihak perwakilan klub setuju dalam memberikan dukungan atas terbentuknya Timnas, baik untuk tim senior maupun tim kelompok umum.  \"Teman-teman dari klub bersepakat untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada terbentuknya Tim Nasional yang tangguh,\" ujar Zainudin.  Menpora juga menegaskan bahwa komitmen terbentuknya Timnas Indonesia sudah sangat jelas. Ia menyampaikan, selain latihan, Timnas pun memerlukan kompetisi.  \"Kita tahu persis bahwa kalau hanya dengan latihan saja, apakah itu latihan dalam negeri maupun di luar negeri, itu tidak cukup. Harus ada atmosfer kompetisi yang bisa mengasah kemampuan tim nasional kita,\" ucapnya.  Hasil evaluasi jangka panjang yang kerap berubah, menurut Zainudin, merupakan alasan dibutuhkannya kompetisi. Kompetisi itupun perlu dilakukan perbaikan sebelum direalisasikan kepada Timnas.  \"Dibutuhkan perbaikan-perbaikan atau transformasi terhadap pola kompetisi kita,\" tambah Zainudin.  Dalam perkembangannya, Zainudin juga melaporkan perkembangan SOP pengamanan kepolisian yang sudah cukup progresif.  \"Pihak Polri juga menyampaikan berbagai hal-hal yang sudah agak progresif tentang SOP pengamanan dan lain-lain yang berkaitan dengan kompetisi ini,\"  Mengenai SOP ini, pihak kepolisian akan kembali menggelar rapat koordinasi yang khusus membahas pengamanan pada Selasa (29/11). Pihak yang akan hadir di antaranya kepolisian, PSSI, LIB, Kementerian PUPR, dan Kementerian Kesehatan. (oct)