ALL CATEGORY
Ganjar Tolak Dikaitkan dengan Isyarat Jokowi?
Jakarta, FNN- Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tiba-tiba menggugah foto dirinya dengan penampilan baru berambut hitam dan wajah yang kinclong tanpa kerutan. Hal ini dilakukan Ganjar pasca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal ciri-ciri pemimpin memikirkan rakyat yakni berambut putih hingga kerutan di wajah. Demikian pembahasan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Minggu (27/11/22) di Jakarta. Ganjar membagikan fotonya melalui akun instagram pribadinya @ganjar_pranowo. \"Cukur… Kamu punya tips merawat wajah dan rambut?\" imbuhnya. Unggahan Ganjar tersebut langsung mendapat komentar beragam dari warganet atau netizen. Dengan penampilan barunya itu, Ganjar seakan enggan dikaitkan dengan kode Presiden Jokowi. Sebelumnya, di hadapan ribuan orang yang didatangkan dari berbagai daerah di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) untuk mengikuti gerakan nusantara bersatu pada Sabtu (26/11/22), Jokowi memberikan tips untuk memilih calon pemimpin 2024 mendatang. Pertama, Jokowi menyebut jangan memilih pemimpin yang senang duduk di istana dengan ac dingin. Kedua, Jokowi mengatakan sosok yang memikirkan rakyat di antaranya adalah kelihatan dari penampilan. Satu di antaranya berambut putih. Berdasarkan ciri-ciri itu, banyak pihak mengarahkan telunjuk kepada Ganjar Pranowo. “Namun mengapa pula Ganjar menanggapinya tidak terlalu serius, kesannya malah bercanda,” ungkap Hersubeno. Menurut Hersubeno dari sisi komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh Ganjar tersebut adalah caranya menyampaikan pesan. Lebih lanjut, Hersu memaparkan satu persatu pesan yang disampaikan oleh Ganjar. Pertama, Ganjar memang sedang bercanda. Kedua, Ganjar mengetahui sedang di PHP Jokowi dan tidak mau tergoda. Ketiga, Ganjar tidak mau terlibat ketegangan baru dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. (Lia)
Rambut Putih dan Kulit Kerut
Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADA-ada saja Pak Jokowi ini meminta untuk memilih Presiden yang kulitnya berkerut dan berambut putih karena itu ciri orang yang memikirkan rakyat. Kontan netizen berkomentar bahwa ternyata Pak Jokowi tidak berambut putih jadi tidak pernah memikirkan rakyat he hee. Semua tahu arah dukungannya kepada Ganjar Pranowo yang berambut putih. Meski tidak berkerut kulitnya. Naifnya Jokowi juga mewanti-wanti berhati-hati memilih orang yang berwajah bersih. Entah Anies Baswedan yang dimaksud atau patung lilin, he hee. Sinyal pendekatan seperti yang diungkap Pak Jokowi sebenarnya keliru, bias, bahkan mengerikan. Mengukur kapasitas dengan rambut dan kerut. Monyet juga ada yang berbulu putih dan kulit berkerut. Kasihan kalau ada Capres yang diserupakan dengan monyet berbulu putih. Apakah itu Hanoman atau Monkey King. Socrates filsof Yunani pernah mendefinisikan “manusia” itu sebagai “hewan berkaki dua dan tidak berbulu”. Mendengar itu Diogenes esoknya membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulunya, lalu melempar ke hadapan murid-murid Socrates sambil berujar: “Inilah manusia menurut Socrates!” Bagaimana bisa menghukumkan rambut putih dan wajah keriput identik dengan memikirkan rakyat? Orang yang memikirkan dirinya sendiri dengan keras juga bisa berambut putih dan kening berkerut. Orang yang takut kehilangan kursi dan stress juga bisa mengalami hal serupa. Rambut putih dan wajah keriput adalah efek dari penuaan usia. Peringatan bahwa sudah saatnya ia harus banyak merenung dan bertaubat atas dosa-dosa yang dilakukannya. Acara Relawan Jokowi di GBK, 26 Nopember 2022, agak aneh. Masalahnya Jokowi adalah Presiden, maka semestinya pola dukungan adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan relawan. Itu adalah cerita lama. Kemunduran ini membuktikan terjadinya pemerosotan demokrasi. Penggalangan dengan pola pengarahan atau penggiringan bukan partisipasi. Dikaitkan dengan teori siklus Polybios, maka bentuk pemerototan telah terjadi di ujung masa jabatan Jokowi. Sekelompok orang bijak yang telah membantu kekuasaan Jokowi bermoral baik yang disebut Aristokrasi sudah merosot menjadi kelompok penjahat yang mengendalikan kekuasaan dengan sewenang-wenang dan eksploitatif yang disebut Oligarki. Demikian juga dengan demokrasi yang telah membawa Jokowi ke tampuk kepemimpinan kini telah hilang dan bergeser menjadi dukungan buatan atau bayaran berbalut relawan. Hakekatnya hal tersebut menurut Polybios bukan demokrasi tetapi bentuk pemerosotannya, yaitu okhlokrasi atau mobokrasi. Kekuasaan kaum gerombolan. Peristiwa penggalangan GBK menunjukkan bahwa kekuasasn Jokowi sudah lemah sehingga terpaksa harus membuat dukungan artifisial relawan. Kemana partai politik? Sudah berlarian mencari posisi masing-masing. Jokowi sudah dirasakan tidak penting dan layak untuk ditinggalkan. Jokowi yang eksplisit mendukung rambut putih sesungguhnya berada di posisi lawan bersama. PDIP bersama Puan Maharani nyaris berseberangan. Gerindra dengan Prabowo Subianto menjadi korban tipu-tipu. Anies Baswedan dan Partai Nasdem beserta Koalisi Perubahan beradu semakin tajam. Nah, KIB yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP tidak mudah lagi diarahkan, apalagi dibayar untuk sekedar wadah bagi sang rambut putih. Mobokrasi Jokowi adalah bentuk frustrasi dan lumpuhnya akhir kekuasaan. Wajahnya mulai berkerut memikirkan nasibnya sendiri. Bukan rakyatnya. Rakyat tidak pernah merasakan diperhatikan selain sekedar menjadi korban dari bagi-bagi sembako atau kaos bergambar Jokowi sendiri. Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Rambut putih tidak berhubungan dengan rakyat karena tidak sedikit rakyat yang membenci pada orang yang berambut putih. Mungkin si rambut putih itu gemar berbohong dan menyakiti rakyatnya. Rambut bisa menjadi alat menipu. Deceptive hair. When the man angry in the giddy dust, his hairs are turn white to decay – Kinsley Lee. (*)
Kalian Yang Undang Bencana, Kenapa Kita Yang Dibuat Sibuk?
Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung TELAH tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan menusia itu sendiri (Al-Qur’an). Bukan tidak peduli dengan sesama manusia. Dan, bukan juga tak mau saling membantu atas musibah yang dihadapi atas sesama manusia. Cuma memang semua sedang dalam keadaan susah. Dan, musibah tidak pernah kita prediksi kapan akan datang dan dimana tempatnya. Namun, semua kitab suci agama-agama sawami telah menjelaskan. Bila suatu wilayah di mana penduduknya sudah jauh dari Allah SWT dan hidup penuh kemaksiatan maka siap-siaplah wilayah atau daerah tersebut bakal ditimpa bencana yang mengerikan kita semua. Negeri-negeri dahulu contohnya. Bagaimana negeri Solomon dan Gomorah dihantam dengan gempa bumi yang dahsyat akibat maksiat kepada Allah SWT. Sekarang di tanah air kita Indonesia telah mengalami hal yang sama. Pada 1955 pernah terjadi di sebuah kampung desa di Jawa Tengah kampungnya tertimpa dengan gunung yang terbelah seperti dipotong tengahnya, sehingga puncaknya menimpa satu kampung itu dan tidak ada satupun yang hidup dari mereka. Kayak kita memotong tumpeng dari tengahnya. Penyebabnya apa? Karena, hidup mereka bergelimang dengan maksiat, terutama zina sesama jenis. Itu juga yang terjadi di Palu beberapa tahun lalu dan juga terjadi di Cianjur baru-baru ini. Belum lama kita tonton berita di TV polisi menangkap Remaja dari Cianjur di Cipanas dalam keadaan telanjang bulat karena mereka melakukan praktek sex sesama jenis. Dan lebih mengagetkan lagi ada anak yang masih SMP terlibat di dalamnya yang ikut diangkut alias ketangkap. Dari mana polisi tahu? Yah, dari laporan masyarakat. Dan, remaja tersebut ternyata mereka saling tahu dari aplikasi yang ada. Ngeri, kan? Nah, oleh karena itu beberapa negara termasuk negara kita melarang praktek LGBT. Di Piala Dunia saja simbol-simbol LGBT dilarang keras oleh FIFA dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Simbol-simbolnya saja dilarang seperti warna pelangi, apalagi mempraktekkannya? Tim panser Jerman saja memakai Ban Kapten dari pelangi gak bisa mendarat masuk ke Qatar. Lantas, mendarat di Oman dan tidak memakai Ban Kapten pelangi sebagai simbol dari LGBT, baru dimasukkan ke Qatar dan ikut piala dunia. Dalam sebuah video di Rusia saja praktek ini dilarang keras. Padahal, Rusia itu negeri komunis. Apalagi di negeri Islam atau negeri yang warganya mayoritas Islam? Bila melihat ada dua orang sejenis bermaksiat ria maka yang melihat hal itu Dibolehkan Membunuh kedua orang itu. Ini ajaran Islam. Kenapa begitu keras ajarannya? Ingat, ini penyakit menular. Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Jadi, jauhilah perbuatan itu. Karena, itu merusak di bumi dan dibenci oleh Allah. Tapi kalau mau melawan Silakan, tapi jangan di negeri kita. Apalagi, di hadapan kita. Bisa mati dibelah kepalanya. Sebab sudah kena bencana dan musibah yang akan repot kita semua. Kalau lagi ada asyik, jika lagi susah semua, siapa yang mau bantu? Berharap pada siapa. Pada Jin? Gak mungkin dia bisa bantu karena gak ada lagi Nabi Sulaiman di sekitar kita. Maka jangan undang musibah agar kita semua gak dibikin repot. Wallahu A\'lam ... (*)
Jokowi Lakukan Puputan
Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan 98 ACARA megah gempita berjuluk “Relawan Nusantara Bersatu” di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022), yang melibatkan ratusan ribu orang ini bikin dahi berkerut. Apakah kita kembali ke era Orba yang melibatkan jumlah massa besar di luar massa kampanye resmi pemilu yang disebut Kebulatan Tekad? Jika dahulu mayoritas Ibu-ibu majelis taklim (dimobilisasi Badan Kontak Majelis Taklim/ BKMT) kini pun hampir mirip. Terlihat di layar kaca ibu-ibu yang berkerudung memenuhi GBK. Ada dua hal yang membuat kita protes: Pertama, pelanggaran hukum meski itu cuma putusan Menpora yang telah melarang penggunaan GBK sampai perhelatan Piala Dunia U-20 tahun depan. Maklum itu ajang sepakbola dunia resmi dari FIFA, tentu GBK sebagai ajang pembuka harus siap sedia. Kedua, moralitas etika kemanusiaan di saat kita baru tertimpa dua bencana besar yakni Tragedi Kanjuruhan dan Tragedi Gempa Cianjur. Kedua tragedi ini memakan korban cukup besar. Jika acara di GBK ini sekedar acara relawan seperti yang dinyatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, justru ini bertolak belakang jika dilihat siapa Ketua Panitanya, yaitu: Stafsus Presiden Aminuddin Maruf dan Stering Comiite-nya Arsjad Rasjid, Ketua Umum KADIN. Artinya jelas ini orang Istana. Justru kita melihatnya Istana memanipulasi Relawan seolah itu acara Relawan. Jadi Hasto keliru, karena acara model GBK sudah kesekian kalinya dilakukan. Dari mulai acara Ribuan Kepala Desa di Istora Senayan, Acara Rakernas Projo di Magelang, Acara Musra di Bandung dan lain-lain. Semua acara ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak mungkin Relawan bisa membuat acara berskala besar dan terus menerus. Malah kita bertanya apakah ini pakai dana Pribadi Jokowi atau APBN? Jika ada sponsor oligarki apakah ini bagian dari gratifikasi? Atau kompensasi dari banyaknya kebijakan yang menguntungkan oligarki (UU Omnibus Law, UU Minerba dan lain-lain). Kalau melihat skala acara-acara yang demikian massif tentu sudah Ratusan Milliar Rupiah tergelontorkan. Dari acara GBK makin tampak sekali agenda Pilpres 2024 dimana positioning Jokowi tidak miliki porto polio di Parpol manapun. Jokowi justru terasing dari semua parpol. Jokowi kader PDIP seperti sering diklaims orang PDIP. Jokowi sendiri hadir saat Rakernas 2 PDIP yang hasilnya dibacakan Ganjar Pranowo yang menyatakan Capres itu domain Ketum PDIP. Nah, jadi bertubinya agenda Jokowi jelas punya maksud dan tujuan sendiri. Dalam acara GBK, Jokowi bilang Kriteria Pemimpin mesti wajah berkerut dan berambut putih. Kalo kriteria ini jelas menyinggung Bu Mega. Bukankah Sang Ayahandanya, Bung Karno, kita kenal berwajah clink, berbusana modern, flamboyan dan lain-lain. Juga para tokoh bangsa seperti Bung Hatta, Bung Syahrir yang berwajah klimis dan tidak berambut putih. Anonim yang disebut Jokowi itu menyasar ke Ganjar Pranowo. Justru dia bikin ilustrasi kriteria pemimpin malah bikin ambyar semua orang. Tadinya kita berasumsi Jokowi mendukung Prabowo Subianto. Tapi, ternyata terpatahkan di acara kemarin kriteria lebih mengarah ke Ganjar seperti skema awal. Bisa jadi pihak oligarki penyokong Jokowi tidak percayai sosok Prabowo. Apa mungkin Prabowo sosok Jenderal bisa diatur-atur kemudian? Buat Jokowi dan para oligarki kelanjutan project mercusuar Presiden Jokowi seperti IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabotabek dan lain-lain itu adalah pertaruhan yang harus dilanjutkan. Apa jadinya bila semua project tersebut mangkrak? SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) saja terus dibuli meski hanya meninggalkan 1 project Hambalang yang nilainya kecil jika dibandingkan salah satu project Jokowi tersebut. Belum lagi potensi KKN yang berujung pidana seperti dikatakan tokoh seperti Prof Anthony Budiawan, Said Didu, dan Faisal Basri. Akhirnya Jokowi tinggal selangkah lagi deklarasikan Capres pilihannya, yakni Ganjar Pranowo. Hanya tinggal waktu saja. Apakah pilihan Jokowi akan diterima parpol-parpol, terutama PDIP? Padahal, apa yang dilakukan di GBK itu sudah sebuah psy war terbuka? Tapi, kita sangsi parpol-parpol akan manut begitu saja. Apalagi figur Ganjar yang penuh kontroversi antara lain tersandung E-KTP, kegagalan memimpin Jateng, sehingga Jateng menjadi provinsi nomor 15 termiskin, Kasus Wadas, Kasus Semen Kendeng dan lain-lain. PDIP sebagai parpol yang miliki tiket VIP tentu punya perhitungan bila usung Ganjar. PDIP adalah parpol yang dikenal miliki ideologisasi yang kuat. Jabatan adalah Penugasan: Petugas Partai. Sebagai partai yang memiliki jiwa sang inspirator dan pendiri mazab Nasonalis Bung Karno, tentu keberlanjutan ruh Bung Karno jadi pertaruhan utamanya. Apalagi muncul kepermukaan jika Ganjar yang Presiden, maka Jokowi yang Ketum PDIP. Bisa jadi setelah puputan Jokowi ini, makin membuat yakin PDIP segera mendeklrasikan Pencapresan Puan Maharani. Karena, pasti akan berisiko mendukung sosok Ganjar yang diingini Jokowi. Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. PDIP harus tobatan telah gagal dengan eksprimen Petugas Partainya. Karena Sang Petugas malah menurunkan derajat menjadi timses next Presiden dan berupaya menciptakan next Boneka sesuai keinginan oligarki. Bahkan yang terburuk melakukan upaya Kudeta Konstitusi. (*)
Musibah dan Derita Rakyat di GBK: Parpol Kena ‘Prank’
PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RAKYAT Indonesia berduka atas musibah di Cianjur. Korban meninggal dunia sudah lebih dari 300 orang, belum termasuk korban hilang. Kerugian materi sangat besar. Mereka kehilangan segalanya. Sudah miskin, bertambah miskin. Di lain sisi, di Jakarta, ada yang mengadakan ‘pesta’, gegap gempita. Relawan mengadakan pertemuan di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK). Menurut kabar, dihadiri lebih dari 100 ribu orang. Ironi Apalagi topik yang dibicarakan pada pertemuan tersebut sangat tidak penting bagi bangsa dan negara. Tidak berkelas. Misalnya, membahas ciri presiden. Mengarahkan, pilih presiden sebaiknya wajah yang berkerut dan berambut putih. Karena ciri tersebut memikirkan rakyat, katanya. Ampun deh! Mungkin cuma gurauan saja. Tapi sangat tidak lucu, kan? Tidak berkelas sama sekali! Mudah-mudahan tidak diliput media asing. Gurauan ini jelas telah membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Apa sih maksudnya? Belum lama ini mengatakan giliran Prabowo Subianto akan menjadi presiden 2024. Ternyata cuma gurauan juga, alias ‘prank’? Ternyata yang didukung yang berambut putih. Bukan Prabowo. Semoga Prabowo bisa menerima ini dengan lapang dada. Kedua, gurauan ini pasti akan membuat PDIP juga tidak nyaman. Karena, setiap orang mengerti siapa yang dimaksud berambut putih. Siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo. Ada dua alasan yang membuat PDIP bisa marah. Pertama, Jokowi sebagai kader PDIP terkesan tidak menghormati serta melancangi PDIP. Dua kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seolah-olah tidak menghargai Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Bahkan terkesan mempermainkannya, dengan tebak-tebakan kurang bermutu. Kedua, gurauan ciri presiden ini dapat diduga mau aborsi pencalonan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDIP. Kedua hal ini pasti akan membuat Ketua Umum dan jajaran PDIP marah. Sebagai kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seharusnya mengikuti arahan Ketua Umum dan jajarannya di PDIP. Bukan bermanuver untuk kepentingan pribadi mereka. Kita tunggu reaksi Prabowo dan PDIP. Semoga mereka dapat menerima semua gurauan ‘prank’ ini dengan lapang dada. Reaksi Sekjen Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung bereaksi keras atas penyelenggaraan “Gerakan Nusantara Bersatu”, Sabtu, 26 Nopember 2022, di GBK tersebut. Hasto pribadi sangat menyesalkan adanya elit relawan yang dekat dengan kekuasaan, lalu memanfaatkan kebaikan Presiden sehingga menurunkan citra Presiden Jokowi. Akibatnya kehebatan kepemimpinan Presiden Jokowi di acara G20 di Bali yang membanggakan di dunia, dan rakyat Indonesia, lalu dikerdilkan hanya urusan gegap gempita di GBK. Menurut Hasto, kepemimpinan Presiden Jokowi yang sudah going global dan menjadi inspirasi dunia, direduksi dengan cara-cara yang tidak elegan. Sepertinya elit relawan tersebut mau mengambil segalanya, jika tidak dipenuhi keinginannya mereka mengancam akan membubarkan diri, tapi jika dipenuhi elit tersebut melakukan banyak manipulasi. “Banyak sekitar Presiden Jokowi yang kurang paham bahwa elit relawan tersebut kumpulan berbagai kepentingan,” ungkap Hasto. Padahal, lanjutnya, seharusnya menyangkut urusan bangsa dan negara, apalagi pemimpin ke depan merupakan persoalan bersama yang harus dijawab dengan jernih, penuh pertimbangan, dan harus menjawab jalan kejayaan bagi bangsa dan negara Indonesia. “Apa yang terjadi dengan acara Nusantara Bersatu, menjadi pelajaran politik yang sangat penting, terlebih di dalam cara mobilisasi tersebut, sampai harus dilakukan cara-cara menjanjikan sesuatu yang tidak sehat,” lanjutnya. PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. “Bahkan prestasi Pak Jokowi itu untuk bangsa Indonesia dan dunia, bukan untuk kelompok kecil yang terus melakukan manuver kekuasaan,” tegasnya. (*)
Ketika Parpol Merampok Hak Demokrasi
Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Putra Kajang Asli DALAM dunia demokrasi warga negara (citizen/people) menjadi rujukan kekuasaan. Tentu dalam spirit Islam, Tuhanlah sebagai penguasa masyarakat (people) yang menjadi rujukan tertinggi. Sehingga harapannya “the people” (masyarakat atau warga) dalam visi Islam harus sadar Tuhan. Hanya dengan demikan masyarakat dapat dikategorikan sebagai “Wakil Tuhan” di bumi. Tapi terlepas dari idealisme demokrasi yang berketuhanan (dengan spirit Islam) itu memang dalam konsep demokrasi masyarakatlah yang sesungguhnya menjadi rujukan kekuasaan. Istilah klasiknya: by the people and for the people (dari/oleh dan untuk masyarakat). Yang menjadi masalah memang, sebagaimana sistem perpolitikan yang lain, termasuk yang berbasis agama sekalipun, kerapkali sistem dipermaikan oleh ragam tendensi kepentingan oleh mereka yang punya kepentingan tertentu. Sehingga, idealisme demokrasi kerap dirampok dan terdegradasi ke titik terendah. Berbagai upaya dilakukan atau dimanipulasi untuk melemahkan nilai demokrasi. Dan lebih jahat lagi bahwa semua dilakukan juga atas nama demokrasi. Sehingga berbagai kejahatan dan manipulasi itu seolah “justified” (dibenarkan) secara konstitusional. Pada akhirnya melahirkan apa yang pernah saya sebut “constitutionalized crime” (kejahatan yang bisa dibenarkan secara hukum). Fakta ini mengingatkan saya tentang suatu hal yang Dr. Anies Baswedan sampaikan di acara KAHMI 3 hari lalu. Beliau menyampaikan bahwa kebijakan publik itu perlu etika dan inovasi. Karena tanpa etika akan ada kebijakan-kebijakan publik yang mungkin saja secara hukum benar. Tapi secara etika dan moral menginjak-nginjak kebenaran dan hati nurani. Partai Politik dan Demokrasi Partai-partai politik dalam tatanan demokrasi sesungguhnya sekedar menjadi jembatan bagi ekspresi kedaulatan pemangku kekuasaan tertinggi (rakyat). Karenanya di negara-negara maju, Amerika misalnya, petinggi-petinggi partai politik tidak memiliki peranan yang menentukan. Hampir Chairperson (ketua) dari dua partai besar Amerika (Demokrat dan Republican) tidak dikenal. Hal ini sangat berbeda dengan banyak negara, termasuk Indonesia. Di mana partai-partai politik, bahkan petinggi-petinggi partailah yang lebih dominan dalam menentukan arah perjalanan demokrasi dan kebijakan publik. Akibatnya petinggi negara yang terpilih harus rela menjadi “pekerja politik” yang tidak jarang terkungkung oleh arah kemauan “bos” partai pengusung. Salah satu dilemma terbesar perpolitikan dan demokrasi di Indonesia adalah persyaratan seorang calon posisi publik, baik di eksekutif maupun di legislatif, yang secara dominan ditentukan oleh partai politik. Terlebih lagi posisi publik eksekutif, dari Kepala daerah hingga ke Kepala negara, juga ditentukan oleh partai politik. Bahkan lebih masalah lagi ketika pencalonan itu dengan persyaratan yang berat, minimal 20% dukungan suara dari partai politik. Di Amerika Serikat penyaringan calon dari masing-masing partai, waktu secara internal partai ada persyaratan-persyaratan untuk maju, tapi pada akhirnya ketentuan itu ada di tangan pemilih (rakyat). Sehingga proses pemilihan calon dari partai melibatkan pilihan rakyat. Bahkan jika calon tidak lolos dalam pemilihan (seleksi) pencalonan, yang bersangkutan sah saja maju sebagai calon independen jika memiliki dukungan (dalam bentuk petisi) dari masyarakat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa idealisme demokrasi seringkali terculik oleh berbagai kepentingan. Salah satunya adalah kepentingan partai-partai politik. Seolah hak setiap warga negara terbatasi bahkan teramputasi oleh kepentingan partai politik. Hak untuk maju sebagai calon. Dan juga hak untuk menentukan siapa calon yang diinginkan oleh rakyat. Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Penentuan calon, baik itu di legislatif maupun di eksekutif, bahkan yudikatif, ditentukan oleh kolaborasi kepentingan partai dan kepentingan uang (oligarki). Jika ini terjadi maka negara dan rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi “slaves” (budak) kekuasaan yang tidak pernah berujung kepada harapan panjang mereka. Yaitu terujudnya “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Atau seperti yang dijanjikan oleh negara melalui pesan Pancasilanya, yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kapankah perubahan itu akan terjadi? Entah! Ci-Makassar, 28 Nopember 2022. (*)
Presiden Tidak Tahu Diri?
Bagi PDIP dengan jumlah kursi yang telah melebih 20% satu-satunya partai yang tak perlu koalisi untuk memajukan pasangan capres. Sudah mempunyai “captive market” pemilih tetap 20%. Angka tersebut menjadi “modal sosial” tetap. Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 SUATU pagi kemarin, istri saya yang apolitik hanya ibu rumah tangga tanya, “Pap, Presiden Jokowi apa ikut pemilu, sudah boleh berkampanye?” Rupanya dia nonton di medsos. Karena setahu saya dia jarang nonton tivi. “Ada acara Jokowi dengan relawan di GBK layaknya kampanye,” lanjut ibu dari anak saya. Pertanyaan awam saya akhirnya tergelitik. Presiden Jokowi memang senang mengumpulkan relawannya. Kadang mereka dikumpulkan di Istana, walau bukan urusan Negara. “Banyak relawannya yang diberi hadiah, di antaranya jabatan Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN, bukan milik Presiden) walau hanya punya pengalaman bermain band,” timpal saya sembari ngunyah kripik jengkol. Istri saya tertawa renyah. Komen singkatnya ”Pak Jokowi Presiden relawan, dong”. Dari percakapan pagi tersebut lahir analisis ini. Jokowi lengkapnya bernama Joko Widodo, sebelum menjadi Presiden seperti sekarang, sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat. Karena Jokowi ketika itu bukan siapa-siapa. Juga, bukan tokoh masyarakat, bukan aktivis, bukan pula pemimpin ormas pemuda maupun agama. Menjadi Walikota Solo melalui dukungan PDIP. Nama Jokowi mulai melesat dikenal masyarakat, setelah promo mobil Esemka yang pesan 6.000 unit mobil, katanya ketika itu (sampai sekarang tak pernah ada). Kemudian PDIP memunculkan menjadi Gubernur DKI dan menang. Tidak sampai selesai masa jabatannya, kembali PDIP mencalonkan Jokowi menjadi Presiden pada 2014. Menang. Artinya jika tidak “dimunculkan dan didukung” PDIP meniti jabatan tersebut, Jokowi bukan siapa-siapa. Tentu termasuk anak dan menantunya. Tidak salah Megawati menyatakan dan mengingatkan jika Jokowi petugas partai (PDIP). Begitu besar jasa PDIP terhadap perjalanan hidup Jokowi dengan anak dan mantunya, hingga menjadi orang. Perlu juga dianalisis secara singkat tentang PDIP. Partai tertua setelah Golkar, cikal bakalnya malah lebih tua. Pemilu 2019 sebagai pemenang Pemilu. Jika diamati dari empat kali Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, perolehan suara hasil pemilunya kisaran 18 – 20 %. Artinya partai ini sudah punya “Captive Market” pendukung tetap. Apapun gonjang-ganjing yang terjadi baik di tubuh partai atau eksternal (kasus korupsi dsbnya) tidak akan membawa pengaruh. Hasil survei banyak lembaga juga tidak jauh beda dari kisaran 20 %. Berbeda dengan partai lain hasil pemilu dalam grafik naik-turun curam. Saat Pilpres 2019 Jokowi - Ma’ruf Amin didukung oleh 5 partai dengan perolehan suara pada Pileg 2019, PDIP (19,33%), Golkar (12,31%), PKB (9,69%), Nasdem (9,05%), PPP (4,52%). Total gabungan perolehan suara 54,9 % tidak berbeda jauh dengan angka perolehan kemenangan Pilpres Jokowi. Karena kerja keras 5 partai melalui infrastruktur partai yang berada sampai kecamatan. Artinya, tidaklah signifikan hasil dukungan relawannya terhadap kemenangan Jokowi. Karena infrastruktur relawan Jokowi terbatas, lebih terpusat di ibukota Jakarta atau beberapa di ibu kota provinsi. Begitu juga “efek Jokowi” juga tidak signifikan untuk menaikkan pemilih buat partainya PDIP. Terbukti perolehan suara PDIP 2019 tidak berbeda jauh dengan 4 Pemilu sebelumnya. Hanya berkisar 18 – 20%. Akhir pekan kemarin Jokowi cawe-cawe seakan calon presiden mengumpulkan relawan di GBK. Pengumpulan massa hingga ratusan ribu orang itu tentunya dengan sokongan dana yang besar. Pesta musik serta sebagian peserta itu di iming-iming dengan tablig akbar atau sholawat yang ternyata prank seperti diinvestigasi oleh media mainstream seperti Tempo dan Kompas. Jokowi sebagai petugas partai PDIP seakan menjadi petinggi partai yang bisa menentukan kriteria calon Presiden, yang melabrak fatsun partainya sendiri. Menisbikan hasil kongres dan kewibawaan serta marwah Ketum partainya PDIP. Yang telah menjadikan dirinya dari tidak siapa-siapa menjadi Presiden. Lebih tepatnya tidak tahu diri. Lupa kacang dengan kulitnya. Bagi PDIP dengan jumlah kursi yang telah melebih 20% satu-satunya partai yang tak perlu koalisi untuk memajukan pasangan capres. Sudah mempunyai “captive market” pemilih tetap 20%. Angka tersebut menjadi “modal sosial” tetap. Puan Maharani dengan modal sosial tersebut sudah siap berlaga, tinggal menentukan cawapres yang punya keahlian mengatasi ekonomi yang suram. Tidak perlu terpengaruh dengan survei dan manuver orang yang “tidak tahu diri”. Bandung, 28 Nopember 2022. (*)
Imam Shamsi Ali: Kuatkan Kolaborasi dan Interkonektif dalam Menghadirkan Perdamaian Dunia
Makassar, FNN - Imam Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center Dr. Muhammad Syamsi Ali, Lc., MA hadir sebagai pembicara di dialog umum pada Musyawarah Kerja Nasional ke-XV Dewan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah, yang diadakan di Asrama Haji Sudiang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad (28/11/2022). Di awal sambutannya, Imam Shamsi Ali memaparkan pentingnya mensyukuri nikmat iman dan Islam, yang ada pada kita kadang luput dari rasa syukur tersebut apalagi ada dilingkungan mayoritas. “Iman dan Islam sudah biasa kita rasakan di lingkungan muslim, namun di lingkungan New York, di mana kita jarang merasakan sinar Islam itu membuat kita rindu akan nikmat hidayah Islam itu. Apalagi kami yang hidup di tengah-tengah kota New York, sebagai pusat ibu kota dunia atau pusat kapitalisme, di sana ada pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa, sumber kekuatan global dunia. Ternyata baru kita sadar bahwa ternyata ketika Islam dan sinar hidayah itu jauh, maka serasa hampa kehidupan itu,” ujarnya. Shamsi menjelaskan bahwa hidayah yang secara spesifik memiliki makna ma’rifat, bagaimana kita mengenal Allah yang menjadi esensi manusia, yang tanpa esensi itu orang-orang akan berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi manusia padahal tidak mengenal esensi dari manusia. “Fitrah manusia itu adalah Islam, yang tanpa fitrah itu kita tidak bisa bersifat seperti manusia. Maka hidayah juga bisa mengantar kita kepada ma’rifatunnas, mengenal diri kita sebagai manusia dan kemana tujuan manusia itu, tanpa itu manusia hidup tanpa orientasi dia akan lelah dari kehidupan ini,” tuturnya. Shamsi Ali menegaskan bahwa manusia yang tidak memiliki tujuan mau kemana, perjalanan hidup yang tidak ada ujungnya tentu akan membuat manusia tersebut lelah dan berjalan tanpa arah, karena tidak memiliki orientasi kehidupan. “Itulah sebabnya Al-Qur’an hadir untuk memberikan orientasi yang jelas dalam kehidupan kita. Manusia yang tidak mengenal orientasi kehidupan, maka dia akan lelah dengan kehidupan itu, dan alhamdulillah Wahdah adalah salah satu wadah yang ada di garda terdepan untuk mengembang amanah dalam menyampaikan hidayah kepada seluruh pelosok dunia ini,” tegasnya. Selain mengangkat esensi nikmat hidayah itu, Imam Shamsi Ali juga mengangkat nilai-nilai ukhuwah yang bisa menjadi kekuatan melawan gerakan di west mulai dari islamophobia hingga missionaris, di tengah perkembangan dunia yang begitu cepat dan besar. “Ukhuwah yang selaras dengan tajuk Mukernas ini yakni soliditas dan kolaborasi, dunia sedang berkembang dengan cepat, negara-negara besar seperti Amerika, China dan lainnya telah menjadi kekuatan Ekonomi dan Politik dunia dengan sangat besar, yang kekuatan itu mereka tidak akan bisa dapatkan tanpa kolaborasi dengan negara lainnya,” ungkapnya. Namun, mayoritasnya umat Islam saat ini ternyata tidak melahirkan kekuatan besar yang disebabkan penyakit wahm yakni cinta dunia dan takut mati, makanya umat Islam saat ini mengubah hal tersebut, saatnya kita bekerja untuk dunia ini untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. “Umat Islam ini adalah umat yang besar, bahkan menjadi penganut agama terbesar. Umat Kristen itu 2.2 Milliar, tapi orang Kristen itu terbagi dua ada Kristen Katolik dan Kristen Protestan, dan mereka itu nggak mungkin bisa disatukan, sedangkan umat Islam yang jumlahnya 1.5 atau 1.7 milliar, maka kita ini sudah menjadi umat terbesar di dunia,” katanya. Olehnya itu, umat Islam dan organisasi Islam harus membangun kolaborasi, ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, dan interkonektif yang luar biasa untuk melahirkan kekuatan yang besar dan menjadi tuang dirumahnya sendiri. “Dunia sedang berkompetensi, maka mari kita sambut tantangan itu dengan meneguhkan perjuangan menjadi umat terbesar dunia, kitalah yang harus maju memimpin dunia, mari mengembangkan potensi, mari kita hadirkan masinis, pengemudi, kader dari bangsa ini dengan orang-orang terbaik kita,” tambahnya. Sehingga menurut Imam Shamsi Ali membangun dialog antar anak bangsa, sangat penting dilakukan untuk menyelesaikan problem dunia saat ini. Selain itu, dialog dalam perjuangan dakwah sangat penting, karena dakwah ini adalah kompetisi untuk mengajak orang beriman, sebagaimana missionaris juga berupaya untuk memurtadkan umat Islam. (sws)
La Nyalla Menjebak Jokowi Atau Ikut Menjegal Anies Baswedan?
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SUDAH lima hari berlalu. La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mendukung penambahan masa kekuasaan Jokowi dua atau tiga tahun. Tentu saja melalui penundaan pemilu 2024. Termasuk penundaan pilpres. Pernyataan La Nyalla di depan Munas HIPMI pada 21 November 2022 itu masih menjadi pembicaraan luas. Mengapa? Mungkin disebabkan rasa heran publik, mengapa La Nyalla tiba-tiba berbalik arah. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin La Nyalla putar haluan begitu saja. Tak ada angin, tak ada petir. Padahal, dalam setahun ini La Nyalla menunjukkan tentangan kerasnya terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi. Kenapa La Nyalla mendadak berubah total? Apa yang salah? Dan bagaimana dengan perlawanan terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi? Tidak mudah menjawan pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi, kalau dilihat catatan masa lalu La Nyalla, perubahan mendadak itu tidak mengherakan. Sebab, La Nyalla pada dasarnya adalah pendukung Jokowi. Di pilpres 2019, sebagai contoh, Pak Nyalla ikut aktif mengkampanyekan kemenangan Jokowi. Emosi dan loyalitas La Nyalla untuk Jokowi sampai memunculkan kasus “potong leher”. Di pilpres 2019, La Nyalla berucap “Potong leher saya kalau Prabowo menang di Madura.” Sumpah ini ditagih setelah Prabowo menang. La Nyalla berkilah. Lehernya tak jadi digorok. Dulu, pada pilpres 2014, La Nyalla memojokkan Jokowi. Dia menyebut petugas partai PDIP itu terlibat PKI, Kristen dan keturunan Tionghoa. Tetapi pada 28 Oktober 2018, La Nyalla bertemu langsung dengan Jokowi. Dia meminta maaf atas ucapannya. Jokowi mengatakan dia memaafkan La Nyalla. Dalam pertemuan dengan para ulama di masjid Baitussalam, Bogor, pada 21 November 2018, Jokowi menunjukkan kemarahannya terhadap tudingan bahwa dia PKI. Di depan para ulama, Jokowi menjawab apa yang ia sebut fitnah itu. “Saya sudah empat tahun ini banyak isu, ada isu tapi saya tidak pernah menjawabnya, tapi kali ini mumpung bertemu para ulama saya ingin sampaikan,\" kata Jokowi. Ungkapan kemarahan dilanjutkan Jokowi ketika membagi-bagikan sertifikat tanah di Lampung Tengah pada 23 November 2018. Dia berkata, dia akan mencari orang yang memfitnahnya. Jokowi mengatakan dia akan menabok orang itu. Menyusul peringatan keras Jokowi itu, La Nyalla pun kelihatan tersindir. Walaupun dia sudah meminta maaf dan Jokowi menerimanya. Memang tidak jelas siapa yang dimaksud Jokowi “mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul” (Tempo, 11 Desember 2018). Pada 11 Desember 2018, La Nyalla mendatangi Kiyai Ma’ruf Amin di Jakarta. Kiyai Ma’ruf waktu itu berstatus sebagai cawapres Jokowi untuk pilpres 2019. La Nyalla menyatakan dia akan memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Mantan Ketua MPW Pancasila Jawa Timur ini memang habis-habisan mengkampanyekan Jokowi. Sekaligus, La Nyalla meninggalkan Prabowo yang semula didukungnya. Setelah Jokowi duduk sebagai presiden 20 Oktober 2019, pelan-pelan La Nyalla menjauh. Di bulan Juni 2021, mantan ketua umum PSSI (2012-2016) ini mulai mengkritik Jokowi. La Nyalla mengatakan dia telah mengunjungi 32 provinsi. Dia melakukan diskusi dengan berbagai simpul masyarakat, terutama kalangan perguruan tinggi. Dia simpulkan bahwa keadaan amburadul yang melanda Indonesia akhir-akhir ini bukan karena masalah yang terjadi di hilir melainkan karena masalah di hulu. Pernyataan Ketua DPD ini menurujuk pada kebijakan Jokowi yang berada di hulu masalah. Indikator utamanya adalah pengurasan sumber daya alam daerah dan kemiskinan akut di daerah. Sinyalemen La Nyalla ini sebetulnya juga kesimpulan yang dirumuskan oleh para ekonom senior. Artinya, Jokowi bukan presiden yang prorakyat. Dia adalah presiden untuk para konglomerat hitam yang tergabung dalam oligarki bisnis. La Nyalla semakin tajam. Dalam banyak kesempatan dia menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Jokowi. Dia pun bersumpah akan menghadang upaya Jokowi untuk berkuasa tiga periode maupun mendapatkan perpanjangan masa jabatan 2-3 tahun lewat penundaan pemilu/pilpres 2024. Sepanjang 2022, La Nyalla menjadi salah satu bintang oposisi. Di bulan Maret, La Nyalla mengajak para ulama untuk menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi. Dia juga mencela Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bermaksud mendeklarasikan Jokowi tiga periode. Bulan berikutnya (April) dia mengkritik tindakan Jokowi melarang ekspor CPO (minyak sawit) di tengah krisis minyak goreng. Seminggu sebelumnya, La Nyalla memperingatkan agar Luhut Panjaitan menghentikan polemik penundaan pemilu 2024. Seiring dengan itu, ketua DPD meremehkan Big Data yang sempat dimunculkan oleh Menko Marinves tersebut. Kritik La Nyalla keluar bertubi-tubi. Dia dinilai berani menghadapi Luhut yang kekuasaannya sangat besar. Seterunya pada bulan Mei 2022, La Nyalla membuka pintu bagi pihak-pihak yang ingin memakzulkan (meng-impeach) Presiden Jokowi. “Saya tak bisa menghalanginya,” kata La Nyalla. Karena keberaniannya mengkritik penguasa, sejumlah elemen masyarakat di Jawa Timur mendeklarasikan La Nyalla sebagai capres 2024. Dia dihormati kaum buruh karena berani menentang Omnibus Law (UU Cipta Kerja). Ia tampak serius melawan undang-undang yang disebut tak berpihak kepada rakyat itu. Di DPD, La Nyalla membentuk pansus (panitia khusus) Omnibus Law. Nama La Nyalla semakin harum. Dia dikatakan sebagai pimpinan lembaga tinggi negara yang membawa aspirasi daerah. La Nyalla menjadi salah satu harapan rakyat untuk menghentikan kesewenangan. Publik berharap La Nyalla, sebagai penjaga konstitusi, akan menutup rapat upaya untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi beberapa tahun atau bahkan mendapatkan tiga periode. Dia konsisten menentang. Tetapi, entah karena apa, La Nyalla mendadak mempersilakan Jokowi melanjutkan kekuasaan dua tahun atau tiga tahun seperti diuraikan di bagian awal tulisan ini. Pemilu/pilpres 2024 ditiadakan. Hanya dengan syarat diterbitkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 asli. Kata La Nyalla, Jokowi perlu tambahan 2-3 tahun karena selama dua tahun belakangan Presiden habis waktunya karena Covid-19. Jadi perlu semacam “injury time” untuk Jokowi. Nah, itukah satu-satunya motif La Nyalla? Tak masuk akal. Meskipun dia bersumpah tidak punya tujuan lain. Di tengah upaya gencar untuk menjegal Anies Baswedan ikut pilpres, dan berpeluang besar untuk menang, usul penundaan pemilu/pilpres 2024 dari La Nyalla hanya cocok untuk dikaitkan dengan skenario ini. Publik sulit menerima penjelasan La Nyalla bahwa dia semata-mata ingin mengembalikan UUD 1945 dengan naskah asli. Mantan politisi Gerindra ini pastilah akan dituding ikut menjegal Anies. Kemungkinan lain ialah La Nyalla mau menjebak Jokowi agar melanggar konstitusi. Dugaan ini sangat lemah. Sebab, langkah-langkah yang menyerempet pelanggaran UUD sudah sering dilakukan Jokowi. Dia tidak peduli. Ada satu hal yang pasti. Bahwa La Nyalla terkenal zig-zag. Watak seperti bertentangan dengan keinginan rakyat akan perubahan dan perbaikan Indonesia. Usul perpanjangan masa jabatan Jokowi sama dengan perpanjangan kekuasaan Oligarki.[]
Politik-Islam Globalist Berubah: Kasus As-Teng
Oleh Ridwan Saidi Budayawan SEJAK resolusi PBB tentang Perangi Islamophobia, sikap USA semakin jelas terhadap Islam. Masalah minoritas muslim Rohingya harus diselesaikan oleh pemerintah Myanmar kalau mereka tak berkehendak diisolasi terus. Yang Dipertuan Agong Malaysia memilih Dato Anuar Ibrahim sebagai Prime Minister untuk akhiri sengketa politik Malaysia. Ketika mahasiswa Anuar pernah memimpin Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia dan lepas \'tu beliau membangkitkan ABIM Angkatan Belia Islam Malaysia. Menarik mengikuti tulisan Ayu Nitiraharjo tentang kisah politik di arena Munas KAHMI yang dapat dikaitkan dengan resolusi PBB perangi Islamophobi: \"Jokowi batalkan kedatangan pada Pembukaan Munas KAHMI XI di Palu, 25 November 2022. Pembatalan terjadi H - 2 atau sebelum acara. Kota Palu saksi kemeriahan Munas KAHMI XI. Presiden terjadwal hadir membuka acara tersebut. Presiden nyatakan kesediaanya. Beberapa hari sebelum pembukaan perubahan terjadi saat H - 2 acara. Protokol presiden (tiba-tiba) tiba di Palu dan rapat dengan panitia. Dalam rapat protokol presiden meminta agar mencoret nama Anies Baswedan dari daftar undangan upacara pembukaan Munas. Mereka mengatakan bahwa Anies cukup diundang gala dinner saja, sebelum pembukaan Munas. Protokol presiden mengatakan bahwa Anies bukan pengurus maka tidak perlu hadir upacara pembukaan yang dihadiri presiden. Panitia galau. Pilihannya, menarik kembali undangan yang sudah terlanjur dikirim kepada Anies agar presiden bersedia hadir, atau tetap mengizinkan Anies hadir di pembukaan tapi konsekuensinya Presiden tidak hadir membuka Munas. Pilihan yang sama-sama berat buat panitia. Protokol Presiden sikapnya tegas: jika ingin Presiden hadir maka Anies tidak boleh ada di ruangan. Panitia berunding dan hasilnya adalah memilih opsi kedua, yaitu undangan untuk Anies Baswedan hadir di pembukaan Munas tidak dibatalkan. Konsekuensinya, Presiden yang sebelumnya berkomitmen hadir pun akhirnya membatalkan, digantikan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.\" Peristiwa yang dialami Anies pernah dirasakan tokoh-tokoh penanda tangan Petisi 50 di jaman Orde Baru. Tapi kini politik kuasa tunggal global telah berubah. Kuasa tunggal mesti ada mitra untuk keseimbangan dunia Dan mereka memilih Islam. Sayang elit Indonesia tidak mengikuti perkembangan dunia. (RSaidi)