ALL CATEGORY
Anies itu Fakta, Bukan Citra
Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI TOPENG itu tidak hanya untuk menutupi wajah. Topeng juga bisa dipakai menggelapkan jiwa dan raga. Etika dan moralitas menguap, terbang terusir oleh kepalsuan diri. Seluruh tubuh dan ruhnya, tenggelam oleh pesona dan kemolekan citra. Semu memang, meski terlihat indah sesaat. Tidak sekedar tanpa integritas, hadirnya juga tanpa kemanusiaan yang hakiki. Angin kebencian dan permusuhan terus menggelayuti kiprah Anies Baswedan sebagai pemimpin yang terus “flowering”. Seakan tidak pernah surut dari gelombang dendam sosial dan politik. Anies tetap bersahaja dan bergeming melewati badai isu, intrik dan fitnah yang ingin membunuh karakter kepemimpinannya. Prestasinya diabaikan, penghargaannya tak dinilai, begitulah upaya menjegal Anies dibawa sampai ke kedengkian hati oleh lawan-lawan politiknya. Amarah dan dengan disertai perilaku jahat yang kuat korelasinya dengan kekuasaan, tak pernah sepi dari perjalanan karir Anies. Asal bukan Anies dan kalau perlu Anies harus disingkirkan dari dinamika politik, terutama dalam menghadapi pesta demokrasi pada Pilpres 2024. Namun sayang sungguh sayang, upaya setengah mati dari konspirasi untuk menyingkirkan Anies tak pernah berbuah manis. Selalu kegagalan dan jalan buntu menjungkalkan Anies yang dijumpai lawan politik, para pelaku tabiat buruk manusia yang berkolaborasi dengan setan. Menjadi budak kapitalis dan kacung komunis, gerombolan lingkaran dan sub koordinat rezim tersebut dengan segala cara ingin menjatuhkan Anies. Sebuah hawa nafsu jahat berbentuk sistem dengan sekumpulan orang, yang tidak ingin Anies tampil sebagai pemimpin yang mencerahkan bagi rakyat, negara dan bangsa serta agama. Kenapa upaya membegal Anies dengan pelbagai cara keji dan berbiaya mahal itu tak kunjung berhasil? Jawabannya sederhana, selain didukung rakyat, Anies selalu tampil apa adanya. Dengan kesederhanaan, ketulusan dan kejujuran dalam bertugas mengemban amanat rakyat. Tentu saja dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dibekali qua intelektual dan qua ideologi. Sikap rendah hati, terbuka dan egaliter juga menjadi penguat behavior cerdas dan santun yang dimiliki Anies. Kenyataan-kenyataan itu yang tak terbantahkan dan tak bisa dimanipulasi, oleh anasir kekuatan apapun yang tak ingin perubahan Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan Anies. Dengan tidak mengecilkan dan “under estimate”, kebanyakan sosok pemimpin lain yang ikut memeriahkan kontestasi capres ini, memang tak bisa ditutup-tutupi dan tidak bisa disembunyikan oleh para politisi dan pejabat kompetitor Anies. Karena, kebanyakan sudah tersandera, bahkan hampir semuanya terbelenggu dalam dosa politik dan catatan hitam sejarah. Ada yang terlibat skandal korupsi E-KTP, kasus Semen Mendem, tragedi Wadas hingga kejahatan terhadap perusakan lingkungan dan komunitas. Mirisnya lagi, bakal capres-capres mentereng dan penuh gaya itu, ternyata juga sering terlibat dalam pembajakan kostitusi, hingga berhubungan gelap dengan korporasi hitam dan mafia, serta pelbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Betapapun populer dan eksentriknya bertingkah, bakal capres-capres yang sangat bergantung pada oligarki itu, sudah menjadi kartu mati di mata rakyat. Betapapun uang berlimpah dan fasilitas menggiurkan miliknya berupaya membeli demokrasi. Mengapa hal itu terjadi dan mengemuka untuk menelanjangi pemimpin yang cenderung disebut boneka atau wayang kekuasaan? Penilaiannya juga tidak terlalu rumit, mereka itu pemimpin palsu, pemimpin yang lahir dari demokrasi kapitalistik dan transaksional. Mereka yang membeli jabatan dengan uangnya tersebut, kemudian menghisap kekayaaan negara sebesar-besarnya dengan menggunakan kekuasaannya itu. Uang untuk membeli dan membangun pencitraan itu sesungguhnya bertolak-belakang dengan realitas dirinya. Harta dan kewenangannya tersebut mungkin bisa menjadi bengkel yang dapat memperbaiki rupanya, tapi tak akan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit pikiran dan hatinya. Tetap menjadi virus berbahaya bagi demokrasi yang sehat, karena orientasi jahat dan distorsi tersebut adalah kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bagus kemasannya, sangat buruk isinya, begitulah karakter beberapa bacapres yang tidak ada dalam figur Anies. Sekali lagi, isi lebih penting dan utama daripada kemasannya. Karena isi akan menemukan bentuknya, sebaliknya kemasan yang akan mencari bentuknya. Tidak ada kemasan tanpa isinya. Tak sekedar baik di luar, namun bobrok di dalamnya. Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Kepribadian Anies yang otentik, yang memiliki karakter dan integritas, jauh dari pencitraan. Ya, bukan pencitraan yang selama ini bertebaran dalam wujud banyak pemimpin penuh janji dan segudang kebohongan. Keji pula. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi\'ul akhir 1444 H. (*)
Jokowi Mundur, Indonesia Maju
Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI INDONESIA sepertinya sedang dipimpin oleh “gerombolan bromocorah”. Sekelompok manusia bermental korup juga bengis, bergabung dengan penjahat perampok harta negara dan pembunuh rakyat. Tak ketinggalan, perilaku seks bebas dan menyimpang ikut mewarnai pentas panggung politik para bajingan berdasi yang sering berdalih atas nama rakyat dan konstitusi. Semua kejahatan kemanusiaan itu begitu sempurna, seakan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ini bukan soal konstitusional atau inkonstitusional. Ini juga bukan soal sesuai masa jabatannya atau berhenti di tengah jalan. Ini menyangkut keselamatan dan masa depan NKRI. Tidak perlu menunggu sampai dua tahun, langkah-langkah preventif mutlak dilakukan agar republik ini tidak semakin hancur. Situasi dan kondisi negara ini sudah sama dengan penyakit yang kronis dan akut. Sistem ketatanegaraan yang semakin amburadul berbarengan dengan perilaku menyimpang para aparatur pemerintahan. Bukan sekedar distorsi kekuasaan, rezim semakin terang-benderang melakukan kejahatan terstruktur dan sistematik. Negara ini tidak boleh kalah oleh segelintir penghianat bangsa. Rakyat harus bangkit, melawan dan menyelamatkan Indonesia tercinta berapa pun besar dan mahalnya perjuangan tersebut. Bangsa Indonesia sejak dalam kepemimpinan hampir dua periode Jokowi, semakin mengalami kerusakan. Kecenderungan negara gagal sudah semakin terasa ketika kebohongan demi kebohongan terbukti dalam mengurus negara. Bukan hanya tak terbukti dalam mewujudkan janji kampanye ketika pilpres, pemerintah lebih parah lagi, banyak menghasilkan kebijakan yang membuat rakyat sengsara dan menderita. Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik hanya berbuah kekuasaan yang korup, tiran dan menindas. Tak ada lagi tempat bagi akal sehat, nurani, dan budi pekerti. Tak ada lagi sedikitpun celah bagi etika dan moralitas. Tak boleh ada keleluasaan untuk tumbuhnya kemanusiaan dan Ketuhanan. Kekacauan penyelenggaraan negara yang diselimuti dengan pelbagai kejahatan kemanusiaan. Bukan saja mengubur keyakinan rakyat terhadap keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Kebanyakan Pejabat dan sebagian besar pemimpin berubah menjadi psikopat politik yang karena orientasi materi, menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi dan memuaskan syahwat dunia. Rakyat menjadi terbelah, sebagian terpinggirkan dan frustasi, sebagian lagi mengikuti jalan sesat setan berwujud aparat negara. Banyak yang terus mengambil sikap kritis dan kesadaran perlawanan, namun tidak sedikit yang menghamba pada kekuasaan. Sudah banyak korban yang berjatuhan, teraniaya, dan bahkan menemui kematian karena konsisten menegakkan kebenaran dan keadilan. Begitupun ada yang mengambil posisi aman, menjilat dan ikut menikmati kue kekuasaan meski tenggelam dalam kemunafikan. Dengan krisis kepemimpinan seiring krisis moral yang berdampak pada krisis multidimensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia juga telah mengalami kehancuran nyaris di semua aspek. Kebudayaan kapitalistik yang hedon telah membuat rakyat tercerabut dari akar nilai-nilai spiritual dan religi. Keinginan mencari kesenangan hidup dan mengabaikan prinsip-prinsip ahlakul kharimah, membuat hampir seluruh rakyat Indonesia hanya menjadi bangsa yang sekedar beragama tetapi tak Bertuhan. Kebohongan demi kebohongan, fitnah keji dan pembunuhan sudah menjadi pemandangan biasa dalam pergaulan sosial dan interaksi kebangsaan. Rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan rezim boneka dan aparat monster tersebut, layaknya populasi penduduk yang primitif dan barbar yang hidup di dalam era modern. Sejak rezim Jokowi memimpin, Indonesia menjadi negara terbelakang, bahkan tertinggal 100 tahun dari negara yang hanya ada di kawasan Asia Tenggara. Pembelahan sosial telah menimbulkan luka dalam dan sulit disembuhkan bagi persatuan dan kesatuan nasional. Kehidupan ekonomi dan politik yang membuat kehidupan rakyat dibebani oleh utang dan krisis keuangan, membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli di atas bangsa kuli. Begitu pula dengan kedaulatan negara, harga diri, kehormatan serta martabat bangsa yang semakin terpuruk. Indonesia menjadi sempurna menuju negara gagal, ketika ditambah sistem pertahanan dan keamanan menjadi begitu sangat lemah. Hal ini terbukti bukan hanya pada ranah sosial, ekonomi, dan politik, dalam penguasaan persenjataan konvensional dan biologis, militer Indonesia masih tergolong memiliki alutsista yang secara kualitatif dan kuantitatif masih jauh dari standar dan belum mampu menjamin keselamatan dan kesinambungan eksistensi NKRI. Pandemi Covid-19 beserta kontroversi dan eksesnya menjadi bukti yang tak terbantahkan, betapa rapuhnya Indonesia dalam skala lokal dan terlebih lagi global. Rasanya, ini bukan sekedar subyektifitas dalam melihat fenomena mirisnya Indonesia, yang sejatinya negara besar dan kaya. Republik yang sarat historis dan ideologis serta mumpuni menjadi bangsa pemimpin dan disegani di dunia, namun apa daya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rezim Jokowi, sebuah komunitas politik dengan pemimpin boneka didampingi birokrat hipokrit dan badut-badut buzzer yang konyol ini, Indonesia nyaris tenggelam oleh perilaku menyimpang dari kekuasaan rezim Jokowi yang tak ubahnya bagai penjahat berkedok aparatur negara dan dilindungi konstitusi. Sebuah entitas politik pemerintahan yang sanggup menerkam, mengoyak, dan mencabik-cabik Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Pada akhirnya tak ada pilihan lain lagi, yang terbaik bagi keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Maka menjadi keharusan yang wajib dilaksanakan, bahwasanya saatnya Jokowi mundur sehingga menjadikan Indonesia maju. Dari catatan pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 30 Oktober 2022/4 Rabi\'ul Akhir 1444 H. (*)
Kritik Terhadap Survei Elektabilitas Partai Politik
Oleh: Agung Prihatna - Senior Pollster, Mantan Kepala Divisi Penelitian LP3ES PADA September dan Oktober tahun ini ada tiga lembaga survei yang merilis hasil survei elektabilitas partai politik terkini. Ketiga lembaga yang dimaksud SMRC, Indikator dan Litbang Kompas. Dari sisi rekam jejak ketiga institusi ini baik dan kredibel. Membaca hasilnya, reaksi publik, terutama elit politik, tampak beragam. Ada yang bersorak gembira karena nilai keterpilihan partainya diprediksi meningkat drastis, ada yang cemas karena diperkirakan elektabilitas partainya di bawah angka ambang batas kecukupan kursi parlemen dan sebagian bingung karena hasil survei ketiga lembaga bervariasi nilainya. Memang sebaiknya setiap hasil survei tentang elektabilitas yang diperoleh dari data agregat nasional dengan mewawancarai duaribu sampai tigaribu responden tidak perlu direspon secara berlebihan. Tidak perlu terlalu eforia atau cemas melihat hasil survei seperti itu. Prediksi Meleset Secara empirik hasil survei tentang partai politik yang bersumber dari data agregat nasional tidak tepat menyajikan prediksi atau gambaran terkini yang sebenarnya. Peristiwa menjelang Pemilu 2019 menjadi pelajaran yang baik. Di bulan Maret 2019, sebulan menjelang pemungutan suara, ada 3 lembaga mengumumkan hasil survei. Ketiganya adalah Litbang Kompas, Charta Politika dan Vox Populi. Dibandingkan dengan hasil pemungutan suara resmi dari KPU hasil survei ketiga lembaga ini meleset terutama dalam memprediksi partaipartai yang besar dan lolos ke parlemen. Seharusnya prediksinya tidak meleset karena rentang waktu pengumpulan data survei dengan saat pemungutan suara hanya terpaut 1 bulan. Secara teoritik maupun secara empirik rentang waktu tersebut seharusnya tidak akan terjadi perubahan signifikan. Karena preferensi politik pemilih sudah berada pada keadaan mengkristal dan tinggal menunggu waktu disalurkan di TPS. Kecenderungan sama terlihat pada lembaga lainnya mengumumkan hasil surveinya sebelum Maret. Hasil survei lembaga-lembaga ini juga tidak tepat memprediksi perolehan suara partai politik. Tulisan ini mengambil contoh tiga lembaga ini karena pengumpulan datanya paling dekat dengan waktu pemungutan suara. Pernyataan bahwa hasil survei tentang elektabilitas partai politik meleset berdasarkan analisis yang bersumber dari data dalam tabel di bawah. Di dalam tabel terlihat, Litbang Kompas, Charta Politika dan Vox Populi sama-sama memberikan angka terlalu tinggi (overshoot) terhadap PDI Perjuangan. Jika dirata-ratakan prediksi ketiga lembaga meleset 6.84%. Sebaliknya hasil survei ketiga lembaga memberikan angka terlalu rendah (underestimate) kepada Partai NasDem dan PAN. Kedua partai politik ini diperkirakan mendapat dukungan rendah. Bahkan hasil survei Litbang Kompas menampilkan angka di mana kedua partai politik ini di bawah ambang batas kecukupan kursi parlemen. Dalam kenyataanya justru jauh berbeda. Partai NasDem dan PAN mendapat dukungan lebih dari 6% pemilih. Bahkan Partai NasDem tampil mengejutkan karena berada di urutan kelima di bawah PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar dan PKB. Dalam tabel tampak nilai rata-rata kekeliruan prediksi terhadap Partai NasDem mencapai 5,12%. Hasil survei tentang elektabilitas partai politik pada Pemilu 2019 menunjukkan, kekeliruan prediksi cenderung terlihat pada partai-partai yang lolos ambang batas kecukupan kursi parlemen. Sebaliknya tepat menunjukkan partai kecil yang tidak lolos. Jika dihitung rata-rata, kekeliruan (deviasi) memprediksi partai yang lolos ambang batas parlemen mencapai 3,59%. Angka ini di atas klaim margin of error ketiga lembaga. Inilah argumen mengapa hasil survei ketiga lembaga tentang elektabilitas partai politik dikatakan meleset. Mungkin akan ada pembelaan yang mengatakan bahwa kekeliruan disebabkan oleh jumlah responden yang belum menentukan pilihannya sehingga faktor ini yang menambah nilai dukungan partai politik yang mendapat prediksi rendah. Argumen semacam ini tidak bisa sepenuhnya diterima karena dua hal. Pertama, bantahan ini tidak bisa menjelaskan pertanyaan: (1) mengapa prediksi PDI Perjuangan (dan juga Partai Gerindra) terlalu berlebihan? (2) apakah kedua partai ini sama sekali tidak mendapat limpahan dari pemilih yang belum menentukan pilihan? (3) apakah pemilih PDI Perjuangan dan Partai Gerindra secara signifikan berpindah saat pemungutan suara? Tidak akan ada pembelaan yang rasional atas ketiga pertanyaan ini. Kedua, secara empirik pemilih yang belum menentukan pilihan dalam survei umumnya akan terdistribusi proporsional pada kontestan yang ada. Tidak akan terjadi secara ekstrim tumpah pada salah satu atau sebagian kecil pihak dan ada kontestan yang tidak mendapat limpahan sama sekali. Tidak Mengukur Survei elektabilitas partai politik yang bersumber dari data agregat hasil wawancara sekian ribu responden secara nasional pada dasarnya tidak usah direspon secara serius. Sebab survei semacam ini tidak mengukur (dalam istilah ilmiah, tidak valid). Biasanya data semacam ini hanya pertanyaan ikutan dari kegiatan survei untuk kepentingan melihat elektabilitas calon presiden. Jadi motifnya separuhnya iseng belaka. Sebagian pollster mungkin tahu bahwa untuk menggambarkan berapa jumlah dukungan kepada setiap partai politik metodenya tidak bersumber dari data agregat nasional. Mengapa dikatakan tidak mengukur? Sebab bunyi pertanyaan survei dengan realitas sistem pemungutan suaranya berbeda. Pertanyaan survei umumya berbunyi: “jika pemilu dilaksanakan pada saat ini partai apa yang Bapak/Ibu pilih?” sedangkan realitas pemungutan suara di mana pemilih bisa memilih partai politik dan atau calon anggota legislatif dalam partai tertentu. Pertanyaan survei menghilangkan kemungkinan responden memilih karena caleg. Padahal dalam kenyataannya pemilih lebih cenderung memilih caleg ketimbang partai politik. Jika membuka data perolehan suara yang bersumber dari KPU, terlihat jelas, 85% - 90% pemilih mencoblos nama caleg, selebihnya hanya 10% - 15% yang memilih partai politik. Pertanyaan survei tentang elektabilitas partai politik yang umumnya diajukan lembaga survei, valid untuk sistem pemilihan umum proporsional tertutup dimana pemilih hanya diminta memilih partai politik. Pertanyaan survei tentang elektabilitas partai politik yang umumnya diajukan lembaga survei, valid untuk sistem pemilihan umum proporsional tertutup dimana pemilih hanya diminta memilih partai politik. Sebaliknya untuk sistem pemilihan umum proporsional terbuka pertanyaan survei yang demikian itu tidak mengukur secara benar. Sebagai alat ukur, rukun pertanyaan itu harus mengacu pada realitanya sehingga sensitifitas pengukuran tercapai. Kendati sama-sama timbangan, cincin emas yang kecil dan ringan tidak dapat terukur secara presisi jika ditimbang dengan timbangan beras. Kemungkinan ukuran beratnya kelihatan tetapi tidak presisi sehingga bersifat spekulatif. Itulah mengapa survei tentang partai politik yang hanya mengajukan pertanyaan ringkas sebagaimana yang diumumkan lembaga survei saat ini tidak mengukur secara benar. Cara memprediksi elektabilitas partai politik secara benar syaratnya agak berat. Survei harus dilakukan di setiap daerah pemilihan (Dapil) dengan sampel yang cukup. Hasil survei di setiap Dapil ini menjadi sumber data untuk proyeksi secara nasional. Meskipun berat namun cara itulah yang benar. Selain itu, hasil survei elektabilitas yang valid hanya bisa dilakukan jika penentuan caleg oleh KPU sudah final. Indikatif Hasil survei tentang partai politik yang bersumber dari data agregat nasional bukan berarti lantas tidak berguna. Informasi ini tetap bermanfaat namun harus diperlakukan secara proporsional. Sifat informasinya adalah indikatif. Seperti informasi berat cincin emas yang ditimbang di timbangan beras. Angkanya terlihat tetapi tidak menggambarkan kenyataan secara tepat dan selalu berbeda di setiap pengukuran. Perumpaan ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa hasil survei elektabilitas partai politik antara satu lembaga dengan yang lain bisa berbeda. Dalam wilayah etik, informasi indikatif sepatutnya tidak ditafsirkan berlebihan oleh pollster (pelaku survei opini publik). Tidak pada tempatnya pollster memberi analisis, misalnya, menyebutkan peningkatan elektabilitas partai tertentu disebabkan hal tertentu, demikian sebaliknya, penurunan partai tertentu karena sesuatu hal. Bagaimana mungkin sebagai peneliti menghubungkan dua peristiwa padahal salah satu peristiwanya diragukan kebenarannya. Jika ini dilakukan maka analisisnya bersifat spekulatif dan common sense. Tidak heran jika kemudian publik berbantah-bantahan mengenai hasil survei. Suasana seperti ini ujung-ujungnya mendegradasi kredibilitas pollster dan lembaga survei. Ini bukan soal lembaga mana yang kredibel atau tidak. Ini masalah siapa yang tertib dan tidak tertib metodologi. Siapapun yang menyelenggarakan survei opini publik lantas menjalankan secara serampangan tidak patut menjadi sumber referensi bagi publik. Pollster seyogyanya tidak bersembunyi dibalik popularitas dan kredibilitas lembaga atas keserampangannya. Saat ini pollster dan lembaganya sedang dalam posisi selalu dicurigai membawa agenda politik dari para kontestan pemilihan umum dan motif bisnis di dalamnya. Hampir tidak tersisa lagi kebanggaan sebagai peneliti opini publik. Satu-satunya jalan menyelamatkan muka pollster dan lembaga survei adalah tertib metodologi. Termasuk di dalamnya tidak membuat analisis dan tafsir berdasarkan data yang diragukan validitas dan reliabilitasnya. Cibubur, 28 Oktober 2022
Berpikir Tentang IKN Presiden Jokowi
Pemerintah masih sempat menghapus subsidi. Dan, menghilangkan BBM jenis premium. Konon, awal November 2022, harga BBM akan dinaikan lagi. Dapat dipastikan, harga-harga akan naik lagi. Rakyat semakin tercekik lagi. Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 LAMA saya berpikir. Merenung. Tentang hati seorang Presiden. Joko Widodo. Seperti apa, perhatiannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan pada kondisi kelam. Namun yang tergambarkan dalam benak pikiran saya ini hanyalah keberpihakannya kepada pemilik modal, investor (Asing). Bahkan, sangat terkesan keberpihakannya “hanya” kepada dirinya sendiri. Betapa tidak. Ketika resesi ekonomi 2023 sudah di depan mata, krisis yang menghantui dengan ancaman kebangkrutan dan kehidupan kelam, yang akan diderita semua pihak, Presiden Jokowi terkesan abai. Dalih yang disampaikan selalu ini sebagai dampak Covid-19. Dampak perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan. Dampak perang dagang USA – RRC yang berlangsung sejak lama sampai sekarang. Dampak krisis pangan global. Yang sudah diderita rakyat Indonesia. Kenaikan harga BBM juga berdampak pada kenaikan harga semua kebutuhan. Akibat PHK dan bangkrutnya UMKM ketika dua tahun Covid-19 itu, belum sembuh benar. Sekarang sudah terjadi lagi PHK ratusan ribu karyawan di berbagai Perusahaan padat karya. Karena order dibatalkan buyer. Tidak ada lagi order baru dari buyer. Sebab, kemampuan beli para buyer drastis anjlog karena krisis ekonomi global. Jokowi tetap “ngotot” perihal mimpinya. Yakni, pada akhir masa jabatannya HUT Proklamasi 2024 harus di IKN (Ibu Kota Negara) baru di Kabupaten Paser Utara, Kalimantan Timur. Apapun “caranya”. Bahwa tindakan Presiden Jokowi hanya satu, mewujudkan mimpi pribadinya. Tak peduli apapun yang akan terjadi. Menggerogoti APBN yang sudah bolong-bolong. Pembayaran utang dengan utang lagi. Sepertinya Jokowi “tidak peduli” dengan krisis ekonomi yang melanda. Presiden Jokowi cukup berkata bahwa 2023 krisis terjadi. Indonesia akan kelam. Titik. Meski anomali dari krisis kelam, Jokowi ternyata malah “menjual” secara obral dan “banting harga” penggunaan lahan dan pembangunan IKN Nusantara itu. Sangat terkesan, IKN tersebut ke depannya akan “jadi jajahan” para pemilik modal dengan segala fasilitas yang sangat memanjakan dan menggiurkan bagi para investor. Sebegitunya Jokowi hanya untuk mewujudkan mimpinya. Dalam kondisi “kelam” katanya, tetap Keukeuh (Bahasa Sunda: “bandel/keras kepala”). Ungkapan ini pernah disampaikan Setya Novanto (mantan Ketua DPR, dan mantan Ketua Golkar yang menjadi pesakitan KPK) tentang sosok Jokowi. Delapan tahun berkuasa Presiden Jokowi punya hobi “lempar-lempar” hadiah kepada rakyatnya. Sampai sekarang tidak pernah berubah. Tidak ada orang terdekat yang mampu mencegahnya. Jokowi bagai “sinterklas” bagi-bagi amplop pada setiap kunjungannya. Sebagai Presiden melibatkan diri dalam kegiatan teknis secara langsung membagikan BLT. Bagi sebagian kalangan rakyat miskin, Presiden Jokowi itu baik. Menghadapi “keadaan kelam” karena krisis ekonomi “tidak terlihat” empatinya terhadap penderitaan yang akan dihadapi rakyatnya. Tugasnya sebagai kepala pemerintahan meningkatkan kesejahteraan sekurang-kurangnya menjaga agar kesejahteraan rakyatnya secara menyeluruh tetap bisa bertahan meski dalam kondisi sulit, Sepertinya abai. Padahal menurut para ekonom, akibat krisis ekonomi, recovery cukup lama dan diperkirakan 5 tahunan. Sebagai Presiden, Jokowi “belum pernah” menyampaikan “kiat-kiat” apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh rakyatnya. Kiat kepada Kepala Rumah Tangga, para UMKM, dan para Pengusaha besar yang tengah melakukan PHK besar-besaran. Begitu juga kiat dari Presiden untuk para pejabat pusat dan daerah dalam menghadapi “kekelaman” tersebut. Presiden Jokowi lebih “asyik masyuk” sendiri untuk mewujudkan mimpi, beristana baru di IKN. Sebenarnya tulisan ini sudah saya tulis dua hari lalu. Belum saya kirimkan ke media. Sebab masih berpikir keras. Apa yang ada di benak Presiden. Terutama dalam menghadapi kelamnya kondisi ekonomi. Saya tunggu kiat dari Jokowi dalam menghadapi kekelaman, tidak ketemu juga. Karena memang tidak ada. Sementara investor dimanjakan dengan berbagai kemudahan di IKN. Pemerintah masih sempat menghapus subsidi. Dan, menghilangkan BBM jenis premium. Konon, awal November 2022, harga BBM akan dinaikan lagi. Dapat dipastikan, harga-harga akan naik lagi. Rakyat semakin tercekik lagi. Keberpihakan Presiden Jokowi “berlebih” kepada pemilik modal dan mimpinya. Bukan kepada rakyatnya. Si miskin cukup disuap dengan BLT dan lemparan hadiah. Mengenaskan. Eling Pak Presiden. Bahwa kekelaman akan terjadi. Itu kata Bapak Presiden sendiri, bukan saya atau rakyat, lho?! Bandung, 30 Oktober 2022. (*)
Sajak Sepasang Dengkul
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Adakah yang memujamu? Dikau bukan indikator kecantikan wanita. Atau pun gagahnya pria macho. Kau beda dengan ketiak yang di-back up penggosok wangi. Kau pun bukan telinga yang punya cleaning service pacul super mungil. Kau mitra a-simetris otak. Anggur jadi pengangguran. Kaca jadi berkaca-kaca. Tapi kalau kau tiada. Masuk lubang got bagainana caranya? Janji berpikul-pikul. Bohong sebakul. Lantas revolusi dengkul? Tak ada model dalam sejarah. Langkah sejarah tiru model lama atau membuat model. Nyo\' tanya si Udel. Masalah mendasar bagi Indonesia sekarang rendahnya kecerdasan di seantero jagat ASEAN. Kita nomor 10 dari 19 negara yang disurvei. Prasasti Telaga Batu dijadikan bukti baru keberadaan Sriwijaya yang katanya Budha. Prasasti yang dirujuk itu beraksara Aramaic yang digunakan di Yemen. Kok Yemen beragama Budha? Itu pandangsn outward looking. Kalau dengkul ditempatkan dalam inward looking, maka yang muncul desperate, rasa tertekan. Desperado lagu yang ditulis Iman Jordan dan lyric oleh Warner Chappell. Rasa tertekan bisa karena cinta, bisa politik. If U want me coud be runaways Running from anyside of love (politics? RS) Yeah 2,x there ain\'t nothing here for me There ain\'t nothing here for me anymore But I wanna be alone. (RSaidi)
Kader Pemuda Pancasila Jawa Timur Satu Suara Dukung LaNyalla Presiden 2024
Surabaya, FNN – Forum Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Jawa Timur mendukung Ketua Umum Majelis Pengurus Wilayah Pemuda Pancasila Jawa Timur, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, sebagai Presiden 2024, Minggu (30/10/2022), di Surabaya. Rakerwil 2022 MPW Pemuda Pancasila yang digelar di Graha Kadin Jawa Timur, dihadiri oleh seluruh pengurus MPW Pemuda Pancasila Jatim dan pengurus inti dari 38 Majelis Pengurus Cabang (MPC) Pemuda Pancasila di seluruh Jatim. Ketua Harian MPW Pemuda Pancasila Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menegaskan dukungan kepada LaNyalla sebagai Presiden 2024 ini adalah bentuk dukungan konkrit MPW dan MPC kepada kader yang dianggap memiliki kapabilitas dan loyalitas terhadap organisasi. \"Kami memandang Pak LaNyalla adalah kader yang sudah puluhan tahun di Pemuda Pancasila. Beliau berkeringat, baik itu material maupun moril memperjuangkan dan menjalankan Pemuda Pancasila. Gagasan-gagasan beliau tentang kebangsaan serta kedaulatan rakyat di Indonesia sangat baik, utamanya dalam hal ajakan untuk kembali ke Pancasila dan kedaulatan ekonomi Indonesia,\" tegasnya. LaNyalla, lanjut Adik, berupaya mengembalikan marwah UUD 45 dan menata kembali kedaulatan rakyat Indonesia. Bahkan ia berkeliling Indonesia, termasuk keliling kampus untuk menyuarakan hal tersebut. Adik menilai, ide-ide yang selama ini disuarakan dan menjadi konsen LaNyalla adalah ide yang sebenarnya harus dilakukan Indonesia, baik yang terkait dengan kembali ke UUD 45, terkait oligarki ataupun yang terkait dengan bagaimana mengatur Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia. \"Kita harus betul-betul berdaulat sebagai bangsa. Selama ini, kami belum merasakan bahwa negara ini betul-betul berdaulat terhadap sumber daya alam. Kita memiliki SDA yang sangat luas, tetapi bagaimana SDA bisa menyejahterakan rakyat, ini yang banyak disuarakan oleh Pak LaNyalla yang harus ditata secepatnya,\" kata Adik. Ia menegaskan, masyarakat harus tahu bahwa sebenarnya ide-ide LaNyalla adalah ide yang harus secepatnya diselesaikan oleh bangsa dan negara Indonesia. \"Dan kami di MPW akan support terus agar Indonesia bisa lebih berdaulat, Indonesia bisa lebih berjaya, sesuai dengan cita-cita kita 2050 Indonesia Emas. Kalau ini tidak dikerjakan secepatnya kita akan kehilangan momentum. Ini harus kita dukung dan kita lakukan bersama untuk menjaga kedaulatan rakyat,\" ungkap alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut. Adik juga menegaskan, keputusan mendorong LaNyalla sebagai Presiden 2024 ini nanti akan kami bawa ke Rakernas menjadi salah satu usulan dari MPW Pemuda Pancasila Jatim. \"Terkait statemen dari Ketua Umum Pemuda Pancasila Pusat yang mendukung Anis sebagai Capres, MPW Jatim mempersilahkan saja, karena itu juga bukan keputusan di forum tingkat tertinggi organisasi,” tegas Adik. Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekjen Majelis Pengurus Nasional (MPN) Pemuda Pancasila, M Ridwan, menyatakan keputusan dukungan terhadap salah satu kader yang mencalonkan sebagai Capres sebagai aspirasi di forum formal Rakerwil seperti ini adalah hal yang sah dilakukan. \"Itu sah-sah saja. Kalau ada kader Pemuda Pancasila yang dianggap mumpuni, kualifikasinya bisa dipertanggungjawabkan untuk dibuatkan aspirasi di forum formal organisasi seperti ini, saya pikir sah-sah saja,\" kata Ridwan. Ridwan juga menganggap LaNyalla adalah kader Pemuda Pancasila yang memiliki kapasitas yang sangat mumpuni dan teruji. Selain pernah menjabat sebagai Ketua Umum Kadin Jatim dan Ketua PSSI, ia juga sudah menjabat sebagai Ketua Umum MPW Pemuda Pancasila Jatim lebih dari satu periode dan sekarang memiliki posisi strategis sebagai Ketua DPD RI. \"Artinya wajar saja kader dan anggotanya memberikan dukungan kepada beliau untuk mencalonkan diri sebagai Presiden di 2024. pemahaman tidak titik, statement itu. Dan seperti yang sudah saya sampaikan tadi bahwa Pemuda Pancasila wajib mendukung kadernya baik yang akan menuju legislatif, DPD, DPR RI, DPRD maupun Bupati dan Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Itu harus didukung,\" pungkasnya. (mth/*)
Amandemen UUD 1945 Tak Lepas dari Kepentingan “Washington Consensus”
Jakarta, FNN - Dalam Acara Syukuran Sumpah Pemuda di Jakarta, Sabtu, 29 Oktober 2022, ada pernyataan menarik dari Edwin Soekowati, Presidium Front Nasional Pancasila yang juga Ketua umum Aliansi Nasionalis Indonesia. Menurutnya, ada kepentingan global melalui Washington Concensus. Ada 10 program utama tapi yang terpenting program: liberalisasi ekonomi dunia atau pasar bebas (non proteksi), privatisasi BUMN, kesempatan yang sama antara investor asing dan lokal di suatu negara tanpa ada proteksi bagi investor asing tersebut. “Untuk itu pihak global melihat UUD Indonesia, yaitu UUD 1945 tidak bisa menunjang program Washington Consensus,” ungkap Edwin Soekowati. Karena dianggap terlalu nasionalistik, sosialistik dan proteksianalistik bagi kepentingan Nasional. Jadi, harus diamandemen, menjadi UUD 2002 yang jiwanya liberalistik, individualistik dan kapitalistik. UUD 2002 dibuat dan diinisiasi oleh kelompok global melalui NGO-NGO asing seperti NDI, Republik Institute, Boston Institute, USAID dan lain-lain kerja sama dengan LSM lokal yang tergabung dalam ornop. “Jadi, jelas UUD 2002 tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa Indonesia yang dicetuskan dengan Kemerdekaan 17-08-45 dan dikonstitusionalkan tanggal 18-08-45 melalui UUD 45 asli,” tegas Edwin Soekowati. Dalam menghadapi persoalan sistem bangsa Indonesia yang liberal dan kapitalistik yang membuat Indonesia babak belur menghadapi berbagai masalah di negara ini, Edwin Soekowati, mengatakan untuk harus kembali ke UUD 1945. “Kembali ke UUD 45 yang sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan 170845,” papar Edwin Soekowati yang juga mantan anggota DPR Fraksi PDI periode 1987-1992 dan anggota KPU RI 1999. Mayjen Purn Prijanto mengusulkan Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan untuk kembali ke UUD 1945. “Cara untuk membuka tergemboknya MPR akibat UUD 2002. Cara ini pada dasarnya merupakan kombinasi dari kehendak rakyat melalui konvensi atau musyawarah antar pimpinan supra dan infra struktur politik, referendum,” ungkapnya. Menurut Prijanto, Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan bersumber dari kehendak rakyat. “Bukan kehendaknya Presiden. Syukur-syukur, Presiden selaku Kepala Negara memiliki kesadaran yang sama dengan rakyat,” papar mantan Wagub DKI Jakarta ini. Pokok-pokok kehendak rakyat, lanjut Prijanto, harus dituangkan dalam Dekrit/Keppres agar tidak diselewengkan dalam Sidang di MPR meliputi pernyataan. Pertama, telah terjadi kegentingan negara, utamanya masalah terbelahnya persatuan bangsa. “Kedua, UUD 45 terdiri dari Pembukaaan, Batang Tubuh, Penjelasan dan Adendum. Ketiga, Dasar Negara adalah Pancasila, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bisa diperas-peras,” paparnya. Keempat, Presiden dan Wapres hanya dua kali untuk jabatan yang sama. “Kelima, anggota DPD menjadi anggota MPR dan Utusan Golongan dibicarakan dan diputuskan pada persidangan MPR pada tahap awal, sehingga MPR merupakan pengejawantahan rakyat,” ungkap Prijanto. Mantan KSAD Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo menyebut, Indonesia telah mengalami kemunduran sejak UUD 1945 diamandemen. Ia pun meminta untuk kembali ke UUD 1945. Dalam amandemen UUD 1945 itu, kata Agustadi, setiap pasal dihilangkan penjelasan aslinya. Padahal, penjelasan tersebut tidak boleh diubah. “Dalam praktiknya dihilangkan, sehingga penjelasan ini merupakan hal-hal pokok yang dijelaskan hal-hal yang kurang jelas dalam batang tubuhnya, tapi sekarang dihilangkan,” paparnya. Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno mengatakan, batang tubuh UUD 1945 tak lagi utuh setelah empat kali amandemen. Ia berharap UUD 1945 dikembalikan seperti aslinya, namun tetap ada adendum penyempurnaan menyesuaikan zaman. “Kita ingin kembali ke UUD 1945 yang utuh awal dahulu. Kalau ada tambahan itu sifatnya di adendum lewat lampiran-lampiran sampai ke depan, generasi muda nanti juga boleh menambahkan. Tapi UUD 1945-nya tetap, lampirannya menyesuaikan jaman, boleh. Sekarang ini yang terjadi batang tubuhnya dirusak, diamandemen,” ungkapnya. (mth)
WNA Bisa Tinggal 10 Tahun, Bahaya: Bisa Dimanfaatkan Jelang Pilpres 2024
Migrasi warga China ke Indonesia bersamaan sejumlah anak muda di China saat ini lebih memilih untuk menyerah ketika berhadapan dengan situasi buruk. Tindakan tersebut di China dikenal dengan sebutan “Bailan”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEBIJAKAN second home visa alias visa rumah kedua yang diperuntukkan bagi Warga Negara Asing (WNA) atau eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang baru dikeluarka Pemerintah, sangat berbahaya terutama menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Selama 10 tahun mendapatkan second home visa, sangat mungkin bakal dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik khususnya jelang Pilpres 2024. WNA bisa tinggal 10 tahun, kemungkinan akan dimanfaatkan lebih dalam oleh WNA asal China untuk kepentingan yang lebih luas baik aspek ekonomi atau politik untuk mengendalikan Indonesia. Terbitnya visa tersebut menjadi pembenaran isu serbuan warga China bisa mencapai ratusan juta orang, mengingat penduduk China kini mencapai 1,4 miliar. Kebijakan WNA bisa tinggal 10 tahun di Indonesia, membuat Presiden Joko Widodo layak dicurigai punya agenda sendiri. Sangat mungkin kepatuhan Jokowi sedang menjalankan perintah pemerintah Presiden Xi Jinping untuk mengurangi beban pemerintah dan negaranya, yaitu kepentingan terselubung untuk ekspansi memindah kepadatan penduduknya ke Indonesia. Mantan kepala BIN Sutiyoso mengungkapkan kekhawatirannya akan terus berdatangannya tenaga kerja asing (TKA) dari China, dia bahkan menjamin mereka tak akan kembali lagi ke negaranya. “Saya jamin orang itu gak akan pulang ke negaranya,” tegas Sutiyoso pada Senin, 22 Mei 2022. Ungkapan Sutiyoso bukan asalan-asalan karena ada isu bahwa warga China yang sudah keluar dari negaranya akan dihapus data kependudukannya. Dengan demikian, warga tersebut akan berusaha menjadi WNA di negara yang mereka datangi dan tidak akan pernah kembali kenegaranya. “Agar semua orang Indonesia waspada tehadap serbuan TKA asal China dan segera sadar akan kemungkinan etnis China menjadi mayoritas di tanah air,” tegas Sutoyo. Warga Negeri Tirai Bambu akan migrasi ke Indonesia karena kejamnya aturan yang ada di negara asal mereka. Salah satunya adalah aturan larangan punya anak, maksimal satu orang. Maka mereka akan berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk beranak pinak di Indonesia, pada saatnya mereka menjadi etnis mayoritas di tanah air. Migrasi warga China ke Indonesia bersamaan sejumlah anak muda di China saat ini lebih memilih untuk menyerah ketika berhadapan dengan situasi buruk. Tindakan tersebut di China dikenal dengan sebutan “Bailan”. Bailan secara harfiah berarti ‘biarkan membusuk’. Sebagaimana diberitakan South China Morning Post, gerakan kaum rebahan ini muncul dari sentimen generasi muda China yang merasa mereka tak memiliki kekuatan untuk merespons tekanan ekspektasi sosial di negara itu. Kebijakan ini membuat miris jika jumlah warga asal China akan datang ke Indonesia tanpa kendali, ke depan khawatir situasinya akan lebih buruk lagi. Kita mengingatkan, seluruh warga negara Indonesia tidak boleh tinggal diam. Rakyat Indonesia harus paling depan mengamankan NKRI dari penjajahan gaya baru yang lebih berbahaya, dari penjajahan Belanda yang makan waktu 350 tahun. Penjajahan gaya baru akan mengambil negara untuk selamanya. Presiden Jokowi harus membatalkan second home visa ini, karena ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara. (*)
Senja di Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla
Catatan Wartawan Senior Egy Massadiah Syahdan pada Jumat 21 Oktober 2022, Letjen Pur DR HC Doni Monardo, dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Penyantun ISI Padangpanjang memberi kuliah umum di hadapan sekitar 400-an mahasiswa. Acara berlangsung di Gedung Pertunjukan Huriah Adam. Huriah Adam adalah nama maestro tari kelahiran Padangpanjang yang meninggal 10 November 1971. Karena tiba sehari sebelumnya, Doni Monardo memanfaatkan waktu untuk “pulang kampung” ke Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Yang istimewa adalah, Doni Monardo mengajak saya mampir ke rumah gadang Ibu Mufidah Jusuf Kalla di Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Ini adalah kali pertama saya menghirup udara Lintau. Senja baru saja menjelang, saat menepi di tanah leluhur Mufidah. Sebuah rumah gadang Minangkabau nan cantik dan anggun menyergap pandangan mata saya. Gadang Trend Setter Ciri utama rumah gadang terletak pada bentuk atap yang melengkung lancip ke atas menyerupai tanduk. Masyarakat Minang menyebutnya gonjong. Dua gonjong di kiri, dua gonjong di kanan, dan satu gonjong menjorok ke depan, mengesankan aroma megah. Ornamen di bidang “papan banyak” (dinding luar) didominasi ukiran nuansa coklat. Dari kerabat Mufidah Jusuf Kalla, Syahrul Udjud, saya beroleh informasi bahwa pembangunannya dilakukan tahun 2003. “Yang menarik, rumah gadang Ibu Mufidah, akhirnya menjadi trend setter,” ujar Syahrul Udjud, yang juga mantan Walikota Padang dua periode (1983 – 1993). Untuk diketahui, saya sudah mengenal Syahrul Udjud sejak tahun 1990 an, saat masih menjabat walikota. Kala itu sebagai wartawan saya ikut rombongan Hajjah Siti Hardiyanti Rukmana Soeharto dalam rangka perhelatan Kirab Remaja. Kami dijamu durian di rumah walikota Padang. Jika Syahrul Udjud menggelari rumah gadang itu menjadi trend-setter, tentu ada alasannya. Ia mengatakan, setelah bangunan itu berdiri, ramai orang Minang bertandang ke sana. Selain untuk melihat dari dekat keindahan rumah gadang, juga tidak sedikit yang kemudian meniru. Apa yang ditiru? Utamanya pemanfaatan ruang bawah. Sebelum tahun 2003-2004, rumah gadang identik dengan rumah panggung. Pada bagian bawah, dibiarkan kosong. Kalaupun dimanfaatkan, biasanya untuk gudang. Berbeda dengan rumah gadang Mufidah, yang menutup rapat bagian bawah, dan memanfaatkan bidang yang ada menjadi kamar-kamar. “Saya beberapa kali tidur di sana, di ruang bawah,” ujar Syahrul Udjud. Ditambahkan, selain kamar-kamar, juga dimanfaatkan untuk tinggal para pegawai yang mengelola dan merawat rumah gadang itu. “Jadi sangat fungsional, tanpa mengubah esensi arsitektur rumah gadang khas Minang,” tambahnya. Proses Pembangunan Ide pembangunannya muncul tahun 2001 ketika Menko Kesra Jusuf Kalla dan Mufidah JK bersama Mendikbud Malik Fadjar, berkunjung ke Sumbar. Syahrul juga ikut dalam kunjungan itu. Posisinya sebagai Deputi Menko Kesra. Dalam kunjungan tersebut, JK dan rombongan mampir ke rumah keluarga besar sang istri di Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara. Di lokasi, JK dan istri melihat tanah terhampar luas. Maka tercetuslah ide membangun rumah gadang. Bupati Tanah Datar Masriadi Martunus (2000-2005) dan Kolonel (Mar) Anshar Miad (adik Mufidah JK) kemudian membuat desain dan rancangan. Pembangunan dimulai tahun 2003. Syahrul Udjud terkenang, bagaimana JK dan Ibu Mufidah begitu detail mengikuti dan memperhatikan proses pembangunan rumah gadang tersebut. Termasuk ide mengubah space ruang bawah rumah gadang yang kosong. Awal tahun 2004, JK dan Mufidah kembali berkunjung ke Sumbar. Saat itulah, pasangan Bugis - Minang ini bersama-sama meresmikan rumah tersebut. Mereka kemudian menaiki rumah gadang dan menginap di sana. Di rumah gadang itu pula, otoritas adat mengukuhkan gelar datuk ke anak laki-laki satu-satunya pasangan JK-Mufidah, yaitu Solihin Kalla. Sejak itu, ia bergelar Datuk Rajo Panghulu. Dalam rombongan JK, Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan yang beristrikan wanita Minang ikut serta. Tampak pula tokoh Minang Azwar Anas, di samping Buya Syafei Ma’arif dan Anregurutta Kyai Haji Sanusi Baco, ulama kharismatik asal Sulawesi Selatan. Pepatah Minang Mufidah lahir dari pasangan suami-istri Minang yang juga perantau. Tak heran jika ia lahir di tempat rantauan orang tuanya. Bernama asli Mufidah Mi\'ad Saad lahir pada 12 Februari 1943 di kota Sibolga, Sumatera Utara. Ia merupakan putri dari H. Buya Mi\'ad (ayah) dan Sitti Baheram (ibu), pasangan asal Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat yang menetap di Sibolga sebelum berpindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Sekalipun begitu, keluarga Mufidah tidak pernah melupakan kampung halaman. Syahrul Udjud menyebutkan ihwal pepatah Minang yang tetap dipegang teguh, \"adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah\". Falsafah tadi merupakan filosofi hidup masyarakat Minangkabau. Sebuah ajaran yang menjadikan Islam sebagai landasan dan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan. Dengan kata lain, adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, merupakan kerangka atau pola berkehidupan masyarakat Minangkabau seutuhnya. Baik secara horizontal - vertikal dengan sang maha Pencipta, maupun secara horizontal - horizontal antar sesama manusia, ataupun dengan makhluk lain di alam semesta. Taat pada filosofi Minang tadi, pasca berdirinya rumah gadang, Mufidah juga membangun Mesjid Tanjung Bonai. Lokasi masjid kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah gadang Mufidah. Mesjid itu diresmikan Jusuf Kalla dan Datuk Solihin JK serta Mufidah JK tahun 2019. Menurut Syahrul, orang Minang beprinsip, jika sudah sukses di rantau, jangan sampai lupa memperhatikan kampung. Itu pula yang diwujudkan Mufidah dengan membangun rumah gadang dan masjid di Lintau. Rumah gadang dan masjid adalah simbol dari adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah. Jika ada urusan kaum atau keluarga bisa dimusyawarahkan di rumah gadang. Jika telah selesai bermusyawarah atau tiba waktu sholat maka mereka segera ke masjid untuk sholat berjamaah. Sekolah Tenun Bukan hanya itu wujud kepedulian Mufidah terhadap kampung halaman. Mufidah juga mendirikan Sekolah Tenun di Lintau. Di sekolah tenun itulah para ibu dan kaum remaja warga Sumatera Barat belajar menenun. Kepandaian menenun menjadi sumber tambahan penghasilan keluarga selain dari bertani. Masyarakat Sumatera Barat antusias dan mengapresiasi pendirian Sekolah Tenun. Di luar aspek sosial dan ekonomi, pendirian Sekolah Tenun sekaligus memiliki makna besar dalam kegiatan pelestarian budaya tenun yang usianya sudah berabad-abad dan hampir dilupakan generasi sekarang. Objek Wisata Nah kembali ke Rumah gadang Mufidah Jusuf Kalla di Lintau. Keberadaannya, tak pelak menjadi salah satu destinasi wisata “tak resmi”. Tak jarang, para pelintas berhenti di depan rumah itu untuk sekadar berfoto dan ber-selfie. Maklumlah, objek rumah indah itu memang sangat instagramable. Sekadar Anda ketahui, Tanah Datar memiliki banyak objek wisata yang memanjakan indera penglihatan. Sebut saja misalnya, Istana Pagaruyung, Danau Singkarak, Benteng Van der Capellen, Panorama Tabek Patah, Kincir Air Talawi, Nagari Tuo Pariangan, Air Terjun Lembah Anai, dan masih banyak lagi. Tanah Datar juga dikenal sebagai “Nagari” yang paling maju, di samping Koto Gadang di Kabupaten Agam. Dari daerah Tanah Datar juga banyak lahir para pemimpin politik sejak zaman pra kemerdekaan. “Dokter pertama Indonesia dari Tanah Datar, namanya dr Saleh. Beliau adalah orang tua dari Chaerul Saleh, Ketua MPR RI yang pertama, serta menduduki berbagai jabatan Menteri hingga Wakil Perdana Menteri di era Presiden Sukarno,” papar Syahrul Udjud. L Tokoh Tanah Datar yang lain, di antaranya Ahmad Khatib Datuk Batuah, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia pada awal abad ke-20. Kuliner Ikan Sasau Selain itu, Tanah Datar juga dikenal sebagai surganya kuliner Minang. Kuliner Tanah Datar, secara khusus banyak diburu para wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat. Beberapa kuliner khas Tanah Datar di antaranya Pangek Simawang. Pangek Simawang adalah makanan yang menggunakan ikan Sasau khas Danau Singkarak sebagai bahan utama. Menu lain adalah sate didong. Sekilas mirip sate padang yang Anda sering lihat. Akan tetapi, cita rasanya jauh berbeda. Bahan kuliner yang satu ini dari daging sapi biasa yang ditaburi bawang di atasnya. Sate ini dilumuri kuah kuning yang harum dan memiliki cita rasa mantap. Yang tak boleh Anda lupakan, adalah dadiah, kuliner khas yang menggunakan susu murni sebagai bahan utama. Olahan susu kerbau yang sebelum dikonsumsi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam tabung bambu. Biasanya dadiah dihidangkan bersama ampiang dan gula enau yang terkenal sehat dan legit. Saat mampir di rumah kerabat Doni Monardo, saya sempat mencicipi dadiah. Rasanya mirip keju. Tentu masih sangat banyak menu lain yang bakal menggoyang lidah Anda. Itu pula yang membuat saya ingin kembali ke sana. Selain singgah di Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla, sekaligus berburu kuliner lezat khas Minang di kesejukan hawa Lintau, Tanah Datar. Sarang Hujan Bicara Tanah Datar tempat rumah gadang Mufidah, kita sontak ingat Padangpanjang. Dua daerah ini hanya berjarak 28 km. Tidak terlalu jauh. Tidak heran jika keduanya memiliki topografi yang relatif sama. “Padangpanjang adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis Ali Akbar Navis, pengarang \'Robohnya Surau Kami\' yang fenomenal itu. Mengutip AA Navis: di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup “walau kadang orang mati juga dilindasnya,” kata Navis lagi. “Di kota kecil ini,” tulis Navis pula, “air berlebihan. Hingga ke mana pun kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman bagi kita.” Akan halnya Padangpanjang, maka Tanah Datar pun merupakan kota kecil yang berada di kaki gunung-gunung raksasa. Ada Gunung Singgalang di Barat, ada Gunung Marapi di Timur, ada Gunung Tandikek agak ke barat daya. Untuk kita ketahui bersama, ternyata bukan hanya Bogor yang dikenal sebagai “kota hujan”, tetapi juga Tanah Datar. “We wonen hier in een regennest, Meneer!” kata seorang pelancong Belanda pada akhir abad ke-19. Yang artinya kurang lebih, “Kami tinggal di sarang hujan di sini, pak!” Tarian Gempa Doni Monardo, pria berdarah Minang yang saya kenal sejak berpangkat Mayor di tahun 97-an itu, pernah menjabat Kepala BNPB 2019-2021. Ia bercerita ihwal keistimewaan rumah gadang. Disebut istimewa karena rumah gadang yang benar, pasti tahan gempa. Apa daya. Roda zaman terus berputar. Satu per satu, rumah gadang yang berusia di atas 100 tahun, mulai lapuk. Sebagian berhasil direnovasi, sebagian roboh dan diganti konstruksi rumah beton. Karena itu, rumah gadang mulai jarang ditemui di daerah perkotaan. Akan tetapi, Anda bisa menjumpainya di nagari. Betapa rumah gadang ternyata juga mewarisi kecanggihan leluhur dalam membuat konstruksi rumah tahan gempa. Kita mengetahui, bahwa Padang (Sumatera Barat) berada di zona subdiksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Eurasia. Hal ini memberikan kontribusi tektonik di laut maupun di daratan Pulau Sumatera. Tak heran bila di sana, sering terjadi gempa bumi. Rumah gadang (yang benar) adalah rumah tahan gempa. Saya mengulik lebih jauh referensi seputar rumah gadang. Ternyata, bangunan rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang. Bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah roboh oleh goncangan. Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Pada pertemuan antara dasar tiang dan batu dilapisi tumpukan ijuk. Seluruh sambungan setiap pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai paku, tetapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu. Alhasil, saat gempa mengguncang bumi, rumah gadang akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tiang itu berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara fleksibel. Benar sekali pepatah “alam takambang jadi guru”. Salam sehat dari Lintau.(*)
Ganjar Dielu-elukan, Anies Disingkirkan, Prabowo Dilemahkan
GANJAR Pranowo, politisi PDIP yang masih menjabat Gubernur Jawa Tengah akhirnya disanksi tegoran lisan oleh DPP PDIP. Itu terkait dengan pernyataan kesiapa Ganjar untuk maju sebagai Bakal Calon Presiden, meskipun tidak ada restu dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bukan hanya Ganjar yang ditegor oleh DPP PDIP. Ketua DPC PDIP Solo, FX Rudi Hardiatmo, juga terkena imbas karena menyatakan dukungannya pada Ganjar untuk maju Pilpres 2024 mendatang. Isu pun kemudian melebar pada adanya “operasi” dari Relawan Ganjar yang menginginkan agar Presiden Joko Widodo mengambil-alih kepemimpinan di PDIP sehingga pengajuan Ganjar untuk kontestasi Pilpres 2024 tidak ada lagi kendala. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat persoalan yang menimpa PDIP ini? Berikut dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung dalam kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (29/10/2022). Ada dua topik menarik, yang pertama berkaitan dengan konflik di internal PDIP yang kelihatannya seperti kita duga ini makin serius; yang kedua tanda-tanda yang Anda sebut tadi menjadikan kalau tetap Pemilu itu hanya dua calon sudah terlihat juga, dengan kasusnya Cak Imin (Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar), kasus kardus durian itu akhirnya mulai dibongkar-bongkar lagi oleh KPK dan NU sudah mendukung untuk dibongkar tuntas kasus itu. Mari kita bicara soal PDIP dulu ya. Kemarin kan Ketua DPC PDIP Solo, FX Rudi Hardiatmo dikenai sanksi dan dia ngomong sama wartawan 45 tahun dia gabung di PDI, bukan PDIP, baru sekali ini dia kena sanksi, di luar ternyata dia kemarin menyelenggarakan ulang tahunnya Ganjar Pranowo di Solo. Tapi kelihatannya ulang tahun ini bukan hal yang berdiri sendiri, nggak mungkin tidak by desain, karena saat bersamaan ribuan relawan Ganjar katanya disebut berkumpul di Tugu Proklamasi, Jakarta, merayakan ulang tahun Ganjar sekaligus mendorong dia untuk jadi presiden. Salah satu yang hadir adalah Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natali, partai sopo iku, kata Ganjar Pranowo. Nah ini saya kira serius. Ya, ini fenomena ketika uang masuk kembali. Kan kalau kita lihat di Jakarta itu upaya untuk memastikan Ganjar itu tidak dihalangi berarti ya mesti dielu-elukan terus-menerus kan. Ganjar sebetulnya nggak suka sama PSI, tapi Ganjar tunduk pada Kakak Pembina yang membina Ganjar maupun membina PSI. Sama saja itu, jadi diselesaikan sama Kakak Pembina itu. Sementara, kita melihat juga fenomena yang sama di Solo, dan Solo itu lebih otentik karena Pak Rudi itu orang yang betul-betul paham bahkan sampai urat nadi PDIP. Dia yang juga membesarkan Pak Jokowi di Solo, yang juga akhirnya menerima Gibran sebagai walikota walaupun kita tahu dulu beliau sinis karena menganggap politik seolah-olah dipaksakan dari pusat, nggak ada suara daerah. Sekarang Pak FX Rudi ini kemudian memihak pada Ganjar. Itu masuk akal betul karena dianggap bahwa itu hak dia untuk menentukan Jawa Tengah. Dan sebetulnya PDIP memang tidak konsisten dari awal tuh. Kalau melarang Ganjar, ya larang. Apa larangan yang paling bagus ya cabut kartu anggotanya. Kan Ganjar juga seolah-olah disiksa oleh PDIP, dipermainkan. Jadi Ganjar fight back akhirnya. Dan, mereka yang menganggap bahwa PDIP keterlaluan, nggak ada sikap politik selain ngacak-ngacak dari dalam. Nah, itu sebetulnya yang membuat Pak Rudi merasa betul-betul tersinggung karena dia senior betul dan dia paham betul kapan PDIP lemah, kapan PDIP kuat. Dan dia adalah bagian dari kaki PDIP yang sangat kuat. Jadi, itu yang menunjukkan bahwa PDIP akhirnya berantakan di dalam. Kalau kemarin orang masih anggap itu teknik PDIP untuk bikin kontroversi supaya menaikkan elektabilitas partai, enggak. Enggak begitu jadinya. Kalau balik lagi pada fenomena Ganjar, Ganjar adalah calon yang kira-kira andalan utama dari Pak Jokowi, sudah selesai. Dan pasti juga Pak Jokowi ingin jangan sampai cuma Ganjar. Kalau Ganjar saja yang dicalonin nggak jadi pemilu kan? Lalu Pak Jokowi kasih sinyal pada KIB, Airlangga Hartarto segala macam. Tapi kan faktanya elektabilitas Pak Airlangga masih jauh. Dan, Ganjar sudah di depan. Nah, karena itu mesti dipastikan bahwa Ganjar mau dihambat oleh PDIP dia akan jalan sendiri. Jadi, tetap di ujung peristiwa ini, persaingan Pak Jokowi dan Ibu Mega yang nggak pernah selesai. Nah, bagi publik, sebetulnya okelah Ganjar dijadikan sebagai calon Presiden, tapi Ganjar ada problem loh dengan dengan E-KTP, bahkan di dalam kasus yang sama juga Setya Novanto menyebut nama PDIP beberapa orang. Bukan hanya Ganjar. Bahkan Puan Maharani disebut di situ. Jadi, kelihatannya Ganjar akan dibersihkan namanya supaya Pak Jokowi punya calon yang bisa dia pegang karena makin lama makin nggak jelas. Pak Jokowi ingin kejelasan siapa yang bisa diandalkan sebagai pembawa panji-panji Jokowinomik walaupun Jokowinomik maksudnya utangnomik. Berikut, kalau kita mau fair harusnya Ganjar ditantang oleh orang yang setara. Yang setara sekarang cuma Prabowo Subianto. Prabowo dan Anies Baswedan. Tetapi, kita tahu Anies lebih berat dijadikan sebagai pesaing Ganjar karena Anies bisa menang terhadap Ganjar. Maka musti dicari supaya Anies tidak terlalu naik elektabilitasnya, kendati Anies sebenarnya lebih riil karena relawan itu enggak tunggu Kakak Pembina untuk mem-backup Anies di daerah-daerah. Yang kini jadi problem sekarang kawan saya Cak Imin. Karena sudah mulai dibongkar lagi kasus kardus duren. Tapi sebetulnya arahnya bukan pada Cak Imin. Arahnya pada Prabowo kan. Karena Pak Prabowo dan Cak Imin akan duet dan mungkin akan deklarasi secepat-cepatnya, maka ada kekhawatiran bahwa suara Prabowo itu akan bergabung dengan suara PKB. Dan itu berarti agak berat buat Ganjar untuk menghadapi Prabowo kalau gabung dengan PKB. Tetapi, bagi Istana ya Pak Prabowo mesti diajukan sebagai calon, tapi jangan dengan Cak Imin, kira-kira begitu. Jadi, kalau kita baca sinyal pertama itu, artinya Cak Imin tidak direstui oleh Presiden untuk jadi calon Pak Prabowo karena bisa calon ini yang menang. Jadi, bola panasnya sebetulnya ada pada Pak Prabowo, mau lanjut dengan Cak Imin, atau cari orang lain, dan itu berarti kesempatan konsolidasi partai makin lama makin tertinggal, karena orang mau cepet-cepet tahu Prabowo dengan siapa tuh. Atau mungkin Prabowo balik lagi ke Puan dan itu jadi problem baru lagi itu. Jadi, komplikasinya di situ sebetulnya dan semua itu kita sudah bahas berkali-kali. Semua kedunguan ini terjadi karena ngotot dengan 20%. Ini clear ya kelihatannya sekarang mulai petanya kelihatan jelas bahwa yang disampaikan Pak SBY bahwa Pak SBY turun gunung mendengar ada desain hanya 2 capres, itu mulai terbayang. Kelihatannya capresnya maunya Jokowi itu pasti Ganjar sekarang ini setelah dia enggak berhasil tiga periode, nanti berpasangan dengan siapa mungkin Airlangga atau siapa. Dan kemungkinan besar mau nggak mau Pak Prabowo didorong balik lagi ke Puan Maharani. Kalau itu kontestasinya potensinya Ganjar untuk menang itu besar. Kira-kira gitu ya. Sementara Anies itu pasti dieksekludit. Iya. Sebetulnya ini program untuk menghalangi Anies sebetulnya. Karena itu, dicari dua di depan itu siapa. Tapi 2 di depan enggak boleh sama kuat. Musti Ganjar yang paling kuat. Jadi Pak Prabowo juga akan dilemahkan, Anies akan disingkirkan. Itu kira-kira. Jadi, kalau dibikin headline, bunyinya kira-kira “Ganjar dielu-elukan, Anies disingkirkan, Prabowo dilemahkan”. Begitu gampangnya. Oke, sekarang saya jadi paham ketika pernah kita bahas juga sebelum puncak hari peringatan ulang tahun Golkar, Sekjen Golkar menyatakan bahwa akan ada anggota KIB yang baru. Dan ketika ditanya oleh wartawan siapa, nanti lihat saja siapa yang hadir. Kedua, Pak Airlangga juga ngomong bahwa ini tiketnya sudah premium. Kalau ada yang gabung lagi jadi VIP, di depan Jokowi. Saya waktu itu menduga siapa, kemungkinan kalau Cak Imin yang digerilya, tapi Cak Imin waktu itu tetap bergeming, jadilah sekarang Firli Bahuri, Ketua KPK, turun tangan. Kira-kira begitu kan. Iya, itu gampang kalau kita lihat. Keinginan Istana yang atau sinyal Istana yang samar-samar itu, harusnya disambut oleh Cak Imin waktu itu. Tapi Cak Imin juga politisi yang lihai, yang merasa bahwa ini sama saja bohong. Dijebak di situ dan jadi kan. Jadi, sebetulnya bagian-bagian politik kita itu sudah masuk pada bagian yang paling buruk, itu tukar-tambah yang kasar gitu. Ini kan transaksi kasar, yang di sana mau disingkirkan, yang di sini mau disprindkan, mau dikeluarin lagi. Tapi kita mau dorong saja supaya kekacauan itu makin cepat. Rakyat kan memang ingin ada kekacauan supaya terjadi perubahan cepat, bukan rakyat ingin kekacauan ansih. Itu juga salah. Rakyat enggak ingin kekacauan, rakyat ingin perubahan. Tetapi, demi perubahan dipercepat, kekacauan adalah prasyaratnya. Jadi, kalau berantakan semua ini, orang akan anggap bahwa oke kalau begitu bikin saja dewan negara untuk memilih Presiden. Semua ini akan berujung pada yang berkali-kali kita uji hipotesisnya. Ini akan ada perang besar-besaran. Indonesia akan berantakan karena ini soal to be or not to be. Prabowo pasti enggak menginginkan dia dicalonkan untuk sekadar boneka-bonekaan. Karena selama ini dia sudah tahu bahwa teknik-teknik itu dipakai dari 2019, bahkan. Jadi, Pak Prabowo nggak mungkin terjebak dalam masalah itu. Dia akan melakukan perlawanan strategis yang lain. Apalagi Pak Prabowo baru pulang dari Amerika Serikat dan kelihatannya dapat sinyal dari Paman Sam untuk kepemimpinan yang diperlukan oleh Amerika, karena situasi di Asia Pasifik dan Asia Tenggara yang agak kritis menjelang 2024. Jadi, faktor Global pasti menguntungkan Pak Prabowo. Faktor lokal juga akan dipakai Pak Prabowo untuk menyatakan, dia memang dari awal membantu Pak Jokowi, tapi ambisi Pak Prabowo nggak mungkin ditahan hanya oleh dua pencalonan yang kita sebut sebagai bualan-bualan politik. Jadi, mari kita dorong Pak Prabowo supaya terus saja maju kendati Cak Imin lagi disorot KPK. Karena hanya dengan cara itu kita pastikan ada kompetisi yang sehat. Demikian juga Anies, kita dorong relawan untuk jangan mundur kendati Anies akan disingkirkan dalam permainan politik. Demikian juga Ganjar Pranowo, maju saja terus supaya PDIP belajar bahwa memperlambat pencalonan justru membuat partai itu kehilangan hak dia untuk meneruskan era Soekarno. Jadi, tetap PDIP mesti cari calon sendiri yang memang akan dikalahkan. Tapi PDIP lebih bergengsi kalau mengatakan memang kami nggak perlu Ganjar, yang penting kami ada kader. Emang Ganjar doang yang kami andalkan. Ini masa depan Soekarnoisme. Kira-kira begitu. Orang tunggu satu istilah lagi yang kuat dari Ibu Mega juga supaya orang paham Megawati pemimpin, bukan sekedar menunggu dibujuk. Kalau gitu kita fokus lagi ke soal PDIP. Jadi, kalau kemarin kita hanya melihat tanda-tanda, kita anggap tadinya ini cuma manuver relawan, itu kemarin yang relawan ngomong soal Pak Jokowi calon Ketua Umum itu saya kira baru pion saja. Kemudian sekarang ini bidak-bidak yang lain mulai dimajukan. PDIP itu akhirnya habis kalau Ganjar jadi presiden artinya Presiden Jokowi memerintah dari belakang, dan PDIP bisa tiba-tiba bikin Kongres Luar Biasa, Ganjar jadi ketua partainya atau Pak Jokowi justru yang menganggap Ganjar harus bantu Jokowi untuk mengambil-alih PDIP, hal itu demi anak-anak Pak Presiden yang perlu partai juga di 2029 nanti. Kan percepatan-percepatan begini mesti kita baca bahwa enggak mungkin Pak Jokowi nggak punya keinginan untuk meneruskan dinastinya di dalam politik. Dan, yang paling mudah adalah mengambil-alih PDIP kan. Jadi, akan terjadi semacam Moeldokowisasi tuh, cara Pak Moeldoko ambil-alih Demokrat. Karena capek bikin partai mending ambil-alih saja. Demikian juga hal yang sama, kimia politik yang sama, ada pada Pak Jokowi. Jadi, akan ada permainan yang memang kotor, tetapi itu konsekuensi dari politik yang nggak mau bersaing dari awal di 0%. Jadi, semua hal yang pernah kita analisis itu memang ujungnya soal 0% ini yang jadi masalah. Sekarang mereka rasain sendiri tuh, karena nggak ada satu pun partai yang mau ikut pikiran FNN pada waktu itu. Ini faktor Pak Jokowi. Kemudian orang bertanya-tanya, apa iya ini hanya kepentingan Pak Jokowi semata. Apakah ada kepentingan justru sebenarnya Pak Jokowi itu hanya menjalankan agenda kepentingan di belakangnya yang jauh lebih besar. Pasti. Jadi, kontinyuiti itu ada karena seluruh perangkat politik Pak Jokowi kan dipegang bukan oleh Pak Jokowi. Tapi Pak Jokowi juga punya ambisi, jadi ya sudah bertautlah itu antara akumulasi atau kepentingan oligarki yang bisa disebut oligarki dan ambisi Pak Jokowi untuk meneruskan legasinya. Kan Pak Jokowi nggak mungkin hanya berhenti pada Jokowi. Sama seperti Pak SBY akhirnya diteruskan oleh Agus Harimurti itu. Dan Agus Harimurti akhirnya belajar untuk jadi politisi yang tulen, bukan sekadar jadi anak presiden. Kan itu intinya. Karena Demokrat akhirnya tumbuh sebagai partai modern, merasa bahwa oke kepemimpinan memang ada pada dinasti Agus Harimurti, tetapi Agus Harimurti menunjukkan kemampuan dia untuk belajar politik dan pelan-pelan tumbuh sebagai pemimpin. Pak Jokowi juga pasti akan ikuti pola yang sama, karena itu pola biasa di dalam soal dunia dan dalam soal regenerasi pemimpin-pemimpin dunia. Itu yang terjadi di Pakistan, di India, macam-macam. Tetapi, Pak Jokowi belum dapat kepastian, nanti setelah 2024 siapa yang akan jamin dia tuh. Tentu orang yang paling dekat dengan Jokowi, yaitu Ganjar. Prabowo itu kan bukan orang dekat Pak Jokowi. Prabowo masuk ke dalam kekuasaan karena unsur pragmatisme terutama. Kalau Ganjar memang ada di situ dan di-train untuk menjadi penerus Jokowi. Jadi, begitulah keadaan kita. Pengembangan politik nggak terjadi. Yang terjadi adalah sikut-sikutan, intrik segala macam. Itu yang kita sebut Indonesia ini punya peralatan demokrasi, partai, Pemilu, lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia, tapi fungsi-fungsi itu nggak dijalankan. Jadi hanya ada lembaga tanpa pelembagaan. Itu istilahnya di dalam ilmu politik. (ida/sws)