ALL CATEGORY
Nuansa Bali Menyambut Delegasi KTT G20
Denpasar, FNN - Sebagai pulau pariwisata berbasis budaya dan tradisi yang kental, Bali memiliki cara khas untuk menyambut kedatangan delegasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang terdiri atas puluhan kepala negara dan menteri dari anggota G20.Bali memang khas. Begitu penumpang turun dari pesawat, misalnya, mereka sudah merasakan nuansa Bali.Nah, nuansa itulah yang bakal ditampilkan Pemerintah Provinsi Bali. Sebanyak 2.500 penjor (bambu dengan hiasan daun kelapa muda yang biasanya dipasang umat Hindu di Bali menjelang hari raya) akan dipasang di jalan khusus untuk menyambut delegasi G20.Titik pemasangan penjor, jelas Gubernur Bali Wayan Koster, sudah ditentukan dari bandara ke venue G20. Programnya dari Pemprov Bali, tapi petugas pemasangnya dari desa adat yang wilayahnya dilintasi rute bandara-venue itu.Ya, 2.500 penjor akan terpasang dari Bandara I Gusti Ngurah Rai menuju lokasi pertemuan dan hotel yang akan ditempati petinggi G20 pada 15-16 November 2022. Pemasangan akan mulai dikerjakan pada 9 November 2022, mengingat delegasi akan berdatangan sejak 12 November 2022.Desain yang diberikan ke desa adat merupakan penjor paling istimewa seperti yang sering dilombakan di daerah Kerobokan. \"Wah, keren banget, klasik, unik, dan nilai seninya luar biasa,\" ujar Koster yang menganggarkan biaya penjor sebesar Rp3,5 miliar.Penjor-penjor tersebut nantinya dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis madya atau menengah yang akan dipasang di jalan raya, sedangkan jenis utama dipasang di venue utama G20, yakni Hotel The Apurva Kempinski (lokasi pertemuan) dan Kawasan Tahura Mangrove (lokasi jamuan makan-minum).Setelah dimanjakan dengan deretan penjor mewah di sepanjang jalan hingga lokasi pertemuan, para delegasi juga akan disuguhi pertunjukan kesenian saat makan malam utama.Gubernur Wayan Koster memastikan kehadiran seniman tari yang akan menghibur jamuan makan malam para petinggi usai pertemuan pokok. Di tempat acara Hotel The Apurva Kempinski akan ada seniman Bali menari.Namun sebelum pemasangan penjor mewah dan pertunjukan kesenian di hadapan delegasi, nuansa khas Bali yang lain juga menjadi bagian dalam penyambutan delegasi KTT G20, yaitu melangsungkan doa bersama untuk kelancaran pertemuan yang melibatkan 1.000 pinandita (pemimpin upacara persembahyangan umat Hindu) dan tokoh lintas agama.Doa bersama itu digagas Pemprov Bali untuk mendukung kelancaran dan kesuksesan acara G20 karena itu pemprov pun menyertakan para pinandita sebanyak 1.000 orang yang juga akan dihadiri pemimpin agama dari semua agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.Nantinya, 1.000 pinandita akan berdoa menggunakan genta atau lonceng. Kegiatan doa bersama menjelang G20 itu akan dipusatkan di Peninsula Island, kawasan ITDC Nusa Dua, Kabupaten Badung pada 26 Oktober 2022.Selain di lokasi tersebut, secara bersamaan 1.493 desa adat se-Bali akan melakukan doa bersama, bertempat di masing-masing Pura Puseh milik desa adat.Doa bersama akan dilaksanakan secara serentak di masing-masing desa adat dan akan dihadiri minimum 100 umat. Kemudian acara di Peninsula akan dihadiri oleh tokoh-tokoh semua umat beragama di Bali. Tentu saja Bendesa Agung Majelis Desa Adat, Ketua Parisadha Hindu, termasuk juga mengundang pimpinan yang bertanggung jawab dalam rangka G20.Dalam doa bersama itu, Koster juga mengundang Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S. Uno, Menteri Perhubungan Budi Karya, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.Doa bersama yang dilaksanakan itu sepenuhnya untuk kelancaran dan kesuksesan G20 dan agar pertemuan tersebut, selain akan memberi keputusan hasil maupun manfaat bagi negara-negara yang tergabung dalam G20, juga bermanfaat bagi Indonesia dan Bali dalam rangka percepatan pemulihan pariwisata dan perekonomian.Kegiatan serupa sudah juga pernah diterapkan pada 2018, ketika pertemuan IMF dan Bank Dunia di Pulau Dewata.Tidak hanya Pemprov Bali, Pemerintah Kabupaten Badung, Bali, juga melakukan ritual keagamaan Hindu demi kelancaran KTT G20 yang memang diselenggarakan di wilayah selatan dari Pulau Bali itu.Pemkab Badung menyelenggarakan upacara ritual keagamaan umat Hindu Ngrastiti Bhakti yang dipusatkan di Pura Geger Dalem Pemutih, Kuta Selatan (12/10/2022), yang dilaksanakan serentak oleh seluruh komponen yang terlibat dalam KTT G20.\"Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa memberikan restu dan karunia-Nya untuk pelaksanaan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 ini,\" ujar Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta di Mangupura.Upacara Ngrastiti Bhakti itu dilakukan dengan harapan agar nantinya selama pelaksanaan KTT G20, alam semesta beserta isinya berpihak memberikan kelancaran.Apabila kegiatan KTT G20 pada 15-16 November 2022 berjalan sukses dan lancar maka masyarakat Kabupaten Badung dan Indonesia akan merasakan dampak positif dalam sektor pariwisata dan mendapatkan citra baik di mata dunia.KTT G20 Bali merupakan pertemuan ke-17. KTT yang berlangsung di Bali merupakan puncak dari Presidensi G20 Indonesia yang telah berlangsung dari 1 Desember 2021 hingga KTT pada kuartal keempat tahun 2022.Masyarakat begitu antusias menyambut tamu, menyukseskan acara, sampai dengan memanfaatkan peluang yang tercipta dari gelaran internasional, khususnya KTT G20.Selain nuansa Bali yang kental pada event internasional itu, persiapan teknis dan persiapan infrastruktur pendukung G20 juga dilakukan Pemprov Bali dan jajarannya secara maksimal, bahkan persiapan infrastruktur itu ditargetkan sudah 100 persen selesai pada akhir Oktober 2022.\"Yang masih kurang adalah perbaikan jalur pedestrian menuju Kempinski karena ada pemindahan kabel listrik, yang semula di atas menjadi di bawah. Namun akhir Oktober diupayakan selesai,\" kata Gubernur Koster.Tidak hanya pemerintah, Ketua Komunitas Layangan Pelangi I Kadek Armika dan Wakil Umum Ketua Layangan Cerdas I Nyoman Sudita juga mengaku berkomitmen mendukung gelaran G20 dan penerapan SE Gubernur Bali Nomor 82 Tahun 2022.Komunitas ini tidak akan menaikkan layang-layang terutama pada bulan November untuk menjaga keamanan dan keandalan kelistrikan di Bali, khususnya menyukseskan pelaksanaan KTT G20. Semua yang dilakukan tersebut demi menyukseskan agenda KTT G20 di Bali.(Ida/ANTARA)
Anies dan Demokrasi Bau Amis
Perlahan tapi pasti, Anies mampu menjadi personal garansi untuk rakyat Indonesia dengan pelbagai prestasi dan penghargaan sebagai gubernur Jakarta. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI ANIES Baswedan bukan orang kaya, Anies bukan dari partai politik, dan Anies juga bukan berasal dari oligarki. Anies hanya punya kesederhanaan, karakter, dan integiritas. Semua faktor yang tidak masuk dalam kriteria pemimpin yang dilahirkan oleh demokrasi kapitalistik dan transaksional. Masihkah ada tempat di republik ini bagi figur yang amanah, jujur, dan adil untuk memandu jalan keselamatan bagi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI? Anies memang fenomenal, ia menjadi pemimpin yang memiliki keunikan, tidak biasa dan sarat prestasi setelah Soekarno dan Soeharto. Anies pemimpin yang sebenarnya, yang tak luput dari pro dan kontra, banyak yang mencintainya, namun tak sedikit yang membencinya. Anies telah menempuh jalan penderitaan, dipenuhi isu, intrik, dan fitnah meskipun terbatas memimpin Jakarta. Mungkin, seperti pepatah makin tinggi pohon semakin tinggi angin menerjang. Anies dan keberhasilannya membangun ibukota negara itu, kini menapaki panggung politik nasional, menyambut aspirasi rakyat yang menghendakinya menjadi presiden. Tantangan terbesarnya bukan pada apresiasi dan persfektif politik kedaulatan rakyat, melainkan pada sistem demokrasi yang selama ini dijalankan. Secara teori dalam aspek formal dan konstitusional, negara Indonesia memang menganut demorasi Pancasila, akan tetapi secara substansi dan esensi dalam penyelenggaraannya, jelas dan faktual mempraktekkan demokrasi neo liberal yang berisi pemilu kapitalistik dan traksaksional. Demokrasi yang sangat bergantung pada kekuasaan dan kepemilikan modal, memang selalu bertolak belakang dengan keinginan suara rakyat. Sistem pemilu baik pileg, pilpres dan pilkada yang dikontol dan direkayasa oleh oligarki yang mewujud korporasi, partai politik dan birokrasi. Mereka hanya menguntungkan segelintir orang yang menggengam kekuasaan, kelompok lingkaran dan irisannya. Undang-undang dan regulasi yang selama ini mengatur teknis pelaksanaan pesta demokrasi rakyat yang mengusung amanat cita-cita kemerdekaan itu, menjadi terasa hambar, semu dan cenderung menghianati kedaulatan rakyat. Rekayasa, manipulasi dan kamuflase menjadi utama dalam konspirasi pemilu yang penuh kebohongan dan kejahatan itu. Bukan melahirkan pemimpin yang memiliki karakter dan integritas, pseudo demokrasi justru menghasilkan dinasti rezim korup, menindas, dan anti demokrasi yang hakiki. Mulai dari parpol dan perpanjangan tangannya di lingkungan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kemudian menyasar pada ormas dan organisasi keagamaan, para pemimpin spiritual, intelektual, dan akademisi. Hingga pada gerakan mahasiswa dan aktifis serta pelbagai komunitas kritis perlawanan. Demokrasi yang glamor dan mewah itu, menjadi lumpuh terasa sekarat, lunglai oleh bujuk rayu jabatan, uang dan fasilitas lainnya. Di tengah-tengah keniscayaan demokrasi, rakyat, negara, dan bangsa terus terpuruk karena krisis multidimensi yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan. Negara kaya tapi miskin, bangsa yang besar tetapi kerdil, berlimpah sumber daya alam tapi dalam kesengsaraan dan penderitaan karena tradisi korup dan terjerat utang, rakyat dan pemimpinnya mengagungkan Pancasila tapi terbiasa berperilaku penuh kebiadaban. Kini, saat dunia dihantui gejala resesi ekonomi global. Indonesia yang sejak lama rentan dengan krisis dan salah urus dalam tata-kelola negara, terancam mengalami kebangkrutan nasional. Distorsi yang akut secara personal dan sistem dalam pemerintahan serta kehidupan sosial di bawahnya, mengharuskan seluruh rakyat tanpa terkecuali mengambil langkah-langkah kongkrit penyelamatan negara dan bangsa Indonesia. Tak cukup reformasi saat birokrasi dan institusi negara terlanjur diliputi penyakit mental materialistis begitu akut dan kronis. Pembenahan sumber daya manusia dan pembaruan sistem menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Politik uang, bagi-bagi kekuasaan dan merampok keuangan negara dengan cara konstitusional, tak boleh ada tempat lagi dalam pesta demokrasi. Kalau Ingin mendapatkan pemerintahan yang \"clear and clean\" serta negara yang merdeka dan bermartabat sesungguhnya, maka keinginan itu menjadi disadari sebagai sesuatu yang \"to be or not to be\". Dalam demokrasi, rakyat harus berani mengambil sikap memilih kepentingan pragmatis sesaat atau kesinambungan dan untuk masa depan Indonesia sebagaimana negara ini awalnya didirikan. Membangun Demokrasi Sehat Keberanian sekaligus kejelian partai Nasdem mengambil momentum dari situasi politik nasional, saat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capresnya dalam pilpres 2024, bisa dibilang sebagai bentuk kepeloporan dan titik awal pembangunan demokrasi yang sehat dan berkeadaban. Sebagai salah satu bagian dari koalisi pemerintahan dan berada dalam lingkar kekuasaan, manuver Nasdem menggandeng Anies tak lepas dari kontroversi dan polemik. Di satu sisi bisa dianggap sebagai penghianatan oleh kalangan rezim, tapi di sisi lain diapresiasi sebagai proses kematangan politik dan jiwa besar Nasdem. Dengan segala resikonya, Nasdem mampu keluar dari kemelut konflik kesadaran ideal spiritualnya dengan kesadaran rasional materialnya. Nasdem berhasil mengambil pilihat sulit antara tetap menjadi “insider” dengan kue kekuasaan dan segala fasilitasnya, atau mengedepankan moralitas dan etika politik yang cerdas, visionerm dan bermartabat. Pilihan sudah dijatuhkan, Anies dengan atitutte dan kesantunan dalam behaviornya, membuat Nasdem kepincut mengusungnya sebagai capres. Babak baru demokrasi yang sehat baru saja melangkahkan kakinya. Anies yang seiring waktu menjadi figur magnet bagi keinginan dan harapan rakyat untuk menghadirkan negara kesejahtraaan, setidaknya dekat dengan kemakmuran dan keadilan. Perlahan tapi pasti, Anies mampu menjadi personal garansi untuk rakyat Indonesia dengan pelbagai prestasi dan penghargaan sebagai gubernur Jakarta. Tidak sekedar maju kotanya dan bahagia warganya, kegemilangan Anies memoles Jakarta menjadi lebih baik sebagai kota modern dan humanis, membuat seluruh rakyat kepincut dan mulai meliriknya sebagai pemimpin masa depan. Tidak terkecuali parpol yang secara fundamental dan signifikan melahirkan kepemimpinan nasional. Nasdem memang menjadi yang pertama, namun bukan yang terakhir mengusung Anies sebagai capresnya. Masih ada PKS dan Demokrat yang patut diduga jatuh hati pada Anies. Rakyat akan menunggu PKS dan Demokrat melewati pergolakan batinnya, memilih politik ideal atau politik realitas. Publik harap-harap cemas akan keberanian PKS dan Demokrat menjadi penjaga kemurnian demokrasi yang berkeadaban, mengikuti jejak langkah seperti yang sudah dimulai Nasdem. Rakyat, negara, dan bangsa Indonesia, sepertinya akan memasuki masa-masa penentuan akankah demokrasi semakin tenggelam atau mulai bangkit kembali menemukan jatidirinya. Kapitalisme yang selama ini menghidupi perjalanan demokrasi kita, akankah menemukan antitesa dari kesadaran rakyat dan elit pemimpin khususnya dari kalangan partai politik. Mungkinkah lahir partai politik pelopor penyelamat bangsa yang akan merubah wajah demokrasi. Entah parpol sedang dalam kesadaran atau tidak, memahami atau tidak, atau mungkin juga sedang berkutat dalam pergumulan orientasi mau atau tidak mau melakukannya. Perjalanan masa depan Indonesia, dengan Anies sebagai nahkodanya, tinggal parpol yang menyediakan perahu besarnya. Sementara Anies dengan segala jerih payah dari suka dan duka perjalanan kepemimpinannya, harus sabar dalam menyelami dan menggauli demokrasi yang masih terasa bau amis. Dari catatan pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 23 Oktober 2022/26 Rabi\'ul Awal 1444 H. (*)
Rule of Laws
Negeri ini merupakan tempat perjumpaan seluruh sistem hukum dunia: hukum berbasis keagamaan berdampingan dengan civil law dan common law ala Indonesia – dalam bentuk hukum adat, ditambah hukum internasional yang diratifikasi. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, banyak kritik dialamatkan pada ahli hukum kita. Kebanyakan terkesan sebagai legal technician; kurang memahami visi hukum sebagai penanda peradaban, akibat lemahnya pemahaman filsafat dan kesejarahan hukum. Hari ini saya baca buku The Rule of Laws, karya Fernanda Pirie (2021), yang mengupas sejarah 4.000 tahun usaha manusia menertibkan dunia. Visi tentang ketertiban sendiri beragam. Sistem hukum dasar yang dikembangkan di Mesopotamia, China, dan India berbeda dalam bahasa, logika, dan tujuan. Visi hukum tradisi Mesopotamia tekankan keadilan, China tekankan disiplin, Hindu tekankan tertib kosmos. Visi hukum keadilan lebih akomodatif terhadap hak (rights); visi hukum disiplin dan tertib kosmos lebih tekankan kewajiban. Pelembagaan hukum sebagai sarana pembentuk peradaban berkembang melalui proses adopsi dan adaptasi. Model hukum Mesopotamia, dengan kode Hammurabi sebagai landmark-nya, memengaruhi pelembagaan hukum dalam tradisi Semitik-Abrahamik dan Greco-Romawi dengan corak berbeda. Dalam tradisi Semitik-Abrahamik, kode Hammurabi itu diadopsi kerangka dasarnya untuk diadaptasikan dengan tradisi dan adat Yahudi sebagai kaum nomaden; lalu diintegrasikan dalam sistem hukum keagamaan yang tekankan kewajiban. Kristen dan Islam melanjutkan jalur ini dengan mengadopsi sebagian hukum Yahudi (Hammurabi) untuk didaptasikan dengan tuntunan agama baru dan tradisi lain. Kristen mengawinkankannya dengan tuntunan Injil dan tradisi hukum Greco-Romawi. Islam mengawinkannya dengan tuntunan Qur\'an, tradisi Nabi Muhammad, dan adat lokal; menjadikan ahli agama sebagai otoritas perumus hukum, meski umumnya terbatas pada hukum pribadi dan keluarga. Sedang hukum publik diatur penguasa, meski secara teori harus memperhatikan tuntunan ulama dan kaidah agama. Di sisi lain, tradisi Greco-Romawi mengadopsi kode Hammurabi itu untuk diadaptasikan dengan adat lokal dan sistem Republik Romawi yang melembagakan hukum berbasis sistem hukum negara (state law). Melahirkan sistem civil law yang menyebar luas seiring perluasan pengaruh (republik dan imperium) Romawi dan Romawi Suci. Sisakan Inggris, yang tak pernah takluk (sepenuhnya) pada Romawi, kembangkan sistem common law, berbasis adat, tradisi dan dekrit lembaga peradilan. Di luar itu, India dengan sistem sosial Hindu berbasis kasta, menempatkan kaum Brahmana sebagai otoritas perumus hukum yg menuntun warga dan penguasa hidup tertib harmoni (kosmos) di jalan dharma-agama sesuai kasta, yang dirumuskan dalam Dharmasutra. Adapun di China, hukum selalu merupakan produk penguasa. Guru agung, seperti Konghucu, tak terlalu percaya pada efektivitas hukum tertulis; lebih mempercayai keteladan moral penguasa. Dgn demikian makin menguatkan posisi penguasa sebagai perumus dan penentu hukum. Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini merupakan tempat perjumpaan seluruh sistem hukum dunia: hukum berbasis keagamaan berdampingan dengan civil law dan common law ala Indonesia – dalam bentuk hukum adat, ditambah hukum internasional yang diratifikasi. Menjadi tantangan mendebarkan, bagaimana sistem hukum Pancasila mampu merekonsiliasikan keragaman tradisi dan sumber hukum itu ke dalam suatu sistem hukum nasional. (*)
Kanjuruhan Itu Kehancuran
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SAMA halnya seperti pembunuhan 6 orang Laskar FPI dan Brigadir Joshua yang menyita perhatian publik, tragedi kanjuruhan yang menyebabkan kematian 131 orang suporter klub sepak bola Arema Malang, disinyalir akan mengalami proses hukum yang berbelit-belit kalau saja tidak mau disebut menguap. Rakyat dan seluruh dunia sepertinya akan terbiasa menyaksikan kebiadaban dan kejahatan kemanusiaan luar biasa di negeri yang mengagungkan Pancasila. Terlebih ketika pelakunya memiliki irisan dengan kekuasaan, entah itu oligarki atau pejabat negara bahkan oleh pucuk tertinggi pemimpin pemerintahan. Hari demi hari bangsa Indonesia bukan saja mengalami kemunduran, lebih dari itu terus mengalami dekadensi moral dan berada pada titik nadir kenistaan peradababan kemanusiaannya. Penyimpangan hingga kejahatan luar biasa terus menyeruak ke dalam sendi-sendi kehidupan rakyat, di semua sektor dan dipertontonkan secara telanjang. Kalangan jelata, kelas menengah sampai pada kelompok elit dan para pemimpin, seakan berjamaah ikut membangun ornamen distorsi penyelenggaraan negara. Kebohongan dan kemunafikan begitu terstruktur, sistematik dan masif menyelimuti perilaku bangsa ini baik secara personal maupun istitusional. Rakyat tidak lagi mampu menemukan pemimpin yang patut menjadi contoh dan keteladanan. Rasa kecewa, penyesalan dan frustasi terhadap negara akibat dkuasai segelintir orang hipokrit, fasis dan dzolim. Membuat rakyat semakin skeptis dan apriori terhadap situasi dan kondisi negara. Sebagian besar merasa takut, tertekan dan terancam oleh perilaku kekuasaan. Sementara sedikit yang memiliki kesadaran kritis dan berani melakukan perlawanan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, meskipun harus mengambil resiko teraniaya, di penjara dan kehilangan nyawa sekalipun. Realitas yang demikian, pada akhirnya memunculkan psikopolitik dan beragam karakter masyarakat. Ada yang tak peduli, ada yang ingin cari selamat dan ada juga yang ingin memanfaatkan dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara sedikit yang mau menempuh jalan pahit dan penderitaan, menelusuri komitmen dan konsisten pada selasar kebenaran serta keadilan. Sudah tak bisa dihitung lagi pertumpahan darah dan kematian berlangsung di negeri yang katanya memiliki adab ketimuran dan penuh toleransi. Kemiskinan beriringan dengan kejahatan seakan terlalu dominan mengubur potensi kekayaan alam yang menjanjikan rakyatnya hidup dalam kesejahteraan. Namun apa mau dikata, negara yang seharusnya gemah ripah loh jinawi itu perlahan dan pasti mewujud sebagai sebuah bangsa yang korup, bengis dan psikopat. Demi merebut dan mempertahankan kekuasaan, segelintir orang yang sejatinya minoritas tega dan terbiasa menghalalkan segala cara. Konstitusi dan demokrasi dimanipulasi, mirisnya kebanyakan rakyat menopangnya dengan ikut mendukung, mengikuti dan pasrah menerimanya walau harus hidup sengsara dan menderita. Ekonomi, politik, hukum dan keamanan yang blangsak dan morat-marit sepertinya tetap harus diterima walau dengan bersungut-sungut dan setengah hati berunjuk rasa. Rakyat, negara dan bangsa Indonesia tak ubahnya manusia lemah, tak berdaya dan sekarat menghadapi serbuan zombi yang ganas dan mengerikan. Duet Maut Presiden dan Polri Rezim dua periode yang kontroversi dan dipenuhi polemik tak berujung. Bukan saja berdampak menciptakan pembelahan sosial dan rusaknya sistem ketatanegaraan. Kekuasaan yang kian kemari semakin otoriter dan diktator ini, terus-menurus mengamputasi kedaulatan rakyat sekaligus menghancurkan mentalitas dan moralitas bangsa. Jargon revolusi mental yang menggema saat kampanye, seketika berubah menjadi penyakit mental saat berkuasa. Alih-alih menjadi pemimpin yang menghadirkan negara kesejahteraaan, presiden justru membawa kehancuran. Begitupun Polri yang mendapat limpahan kekuasan tak terbatas dari presiden. Bukannya menjadi institusi yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Kebanyakan polisi malah menjelma menjadi aparat bejat. Sinergi dan elaborasi presiden dan polri, berpadu menjadi rezim yang menakutkan, berbahaya dan mengancam keselamatan rakyat. Antara presiden dan Polri seperti pasangan yang serasi dan saling mengisi dalam mengawal, merebut dan mempertahankan kekuasaan. Presiden dan Polri tak ubahnya duet maut kekuasaan di negara yang seolah-olah berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Distorsi kebijakan Presiden dengan disposisi Polri yang haus kekuasaan dengan orientasi harta dan jabatan, cenderung menjadikan Indonesia sebagai negara kekuasaan. Jauh dari negara demokrasi dan negara hukum, bagai setali tiga uang, kinerja presiden dan Polri semakin kental dengan gaya kepemimpinan yang difensif, penuh ambisi dan mengandalkan pendekatan represi. Jika ada yang kritis dan melakukan perlawan, cukup diabaikan, jika perlu diperhatikan dan atau ditiadakan. Presiden yang terlanjur dianggap publik sebagai raja basa-basi dan menjadi boneka oligarki. Bersanding dengan Polri yang yang semakin kehilangan presisi. Keduanya berangsur-angsur berhasil membangun dinasti tirani bagi kehidupan demokrasi. Tak cukup sekedar itu, rezim tanpa nurani yang telah membawa negeri dalam krisis multidimensi, berhasil memoles arogansi kekuasaannya menjadi musuh rakyat. Kekejiannya layak disetarakan dengan pembunuh berdarah dingin. Menghadapi aspirasi dan dinamika rakyat selalu dihadapi dengan pola tangan besi. Tanpa pendekatan persuasif, tanpa pendekatan dari hati ke hati. Rezim menjadi begitu miris dan tragis, lembut dan ramah terhadap oligarki, namun kepada rakyat rajin menghampiri dan memberi tragedi. Mungkin karena terlalu lama mengidap politik sekuler dan liberal, rezim terlalu kering menerima asupan sipritual dan religi. Tanpa beban mengabaikan kemanusiaan, mengingkari dan menghianati cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maraknya pembunuhan terhadap rakyat sendiri atas nama negara dan prosedur keamanan kini semakin permisif. Mulai dari kalangan jelata, intelektual bahkan sampai mengorbankan aparaturnya sendiri, rezim tega melakukannya demi kekuasaan duniawi. Begitu mengenaskan tragedi demi tragedi, kematian demi kematian, seperti virus yang mewabah di bumi pertiwi. Pembunuhan orang per orang, kelompok dan secara massal, sudah menjadi lumrah dan pemandangan yang biasa. Tak cukup dilanda pandemi, negeri nusantara sedang mengalami keberadaban yang mati suri. kematian enam orang Laskar FPI yang disinyalir bagian dari operasi intelejen hitam negara, kematian brigadir polisi Joshua yang yang motif pembunuhannya terbantahkan, serta tragedi Kanjuruhan yang mengguncang perhatian nasional dan internasional. Dalam kesadaran dunia, Indonesia menjadi negara yang kerdil dan primitif. Di mata rakyat di negerinya sendiri, sejatinya tragedi Kanjuruhan itu adalah kehancuran bagi sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Boleh jadi itu pandangan itu wajar, setidaknya dalam pandangan keagamaan, jangankan pembunuhan massal, membunuh satu nyawa manusia saja tanpa alassn yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, itu sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia. Kadangkala terbesit dalam pikiran, seandainya sedikit saja rezim ini terlebih pada presiden dan Polri, sekali saja kerasukan nilai- nilai spiritual dan religi. Tentunya akan sadar betapa pentingnya dan maha dahsyatnya menjaga dan melindungi satu nyawa rakyatnya, termasuk harta, kehormatan dan martabatnya. Semoga saja sewaktu-waktu, rezim ini kesetanan dengan kemanusiaannya. (*)
Bendung Anies, Jokowi Dorong KIB Segera Deklarasikan Capres
PRESIDEN RI Joko Widodo berpesan terkait siapa yang akan dipilih Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk Pilpres 2024. Pesan tersebut disampaikan Jokowi dalam sambutannya pada puncak perayaan HUT ke-58 Golkar di Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (21/10) malam. “Saya denger-denger dan saya melihat tiap hari itu Pak Airlangga Hartarto (Ketua Umum Golkar) tuh rangkulan terus dengan Pak Mardiono (Plt Ketum PPP M. Mardiono) dan Pak Zulkifli Hasan dari PAN. Jangan hanya rangkul-rangkulan terus,” ujar Jokowi.“Tapi saya yakin sebentar lagi pasti akan segera menentukan [bakal capres dan/atau cawapres yang akan didukung untuk Pilpres 2024], kita tunggu saja,” lanjutnya.Dalam kesempatan itu, secara umum Jokowi mengimbau dalam memilih capres pada 2024 mendatang tak boleh sembrono. Dia pun mengibaratkan pemilu itu seperti memilih pilot yang akan menerbangkan pesawat dengan rakyat Indonesia sebagai penumpangnya. Sebelumnya, Airlangga dalam sambutan untuk HUT partainya memamerkan bahwa KIB sudah memiliki tiket \'premium\' untuk mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) di Pilpres 2024 mendatang.Pernyataan itu disampaikan Airlangga di hadapan Presiden Jokowi, Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan sejumlah elit parpol lainnya saat berpidato di acara puncak HUT ke-58 Partai Golkar di Jakarta International Expo (JIEXPO), Jakarta Pusat.Menurut Airlangga, tiket \'premium\' yang dimiliki KIB itu bisa berubah menjadi tiket VIP bila mendapatkan bantuan dari petinggi parpol lain. Apa yang sebenarnya terjadi di Golkar dan KIB sehingga membuat Presiden Jokowi berkomentar seperti di atas itu? Berikut dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (22/10/2022). Halo-halo Bung Rocky, ini kita ketemu di akhir pekan. Hari ini Sabtu, ini enaknya ngomongin apa nih kalau akhir pekan begini. Ya, akhir pekan kita ngomong hal yang ringan, yang basa-basi. Ya, yang basa-basi kemarin saya lihat Anda mulai ngomong-ngomong yang ringan tuh. Saya nggak tahu ngomong ringan atau berat untuk ketemu Bang Haji Rhoma Irama. Bakal bikin obrolan bareng sama Bang Haji ya. Ya, kemarin saya mampir dari Sukabumi terus lewat jalan Depok situ, ingat bahwa Bang Roma itu pernah ngajak saya dari 2-3 bulan lalu. Jadi, saya mampir saja di situ dan Rhoma Irama bercerita banyak sebetulnya, karena dia bukan cuma musisi, dia juga politisi. Dia bahkan beberapa kali diinterogasi oleh dulu namanya Laksus di zaman orde baru, waktu peristiwa Priok, dia juga diperiksa terkait peristiwa Amir Biki. Banyak cerita inside soal Istana juga, tapi ada hal-hal yang memang hanya Rhoma dan Istana Pak Harto yang tahu soal-soal itu. Tapi, dia cerita kisi-kisinya. Lebih dari itu, Rhoma selalu gembira melihat politik tumbuh lagi. Karena saya bilang ya politik dan musik itu sama-sama ekspresi bebas gitu. Jadi kalau orang ekspresikan dalam politik, ada yang lewat lirik. Itu uniknya Rhoma Irama. Kan kehidupan Rhoma ini sudah dibahas ada yang mungkin jadi disertasi. Jadi, dia fenomenal betul. Soal Ulang Tahun Golkar Oke. Kita ngobrolin ini agar nggak terlalu serius ngomongin politik. Tapi tentu saja orang mencermati tadi malam, Pak Jokowi hadir dalam ulang tahun ke-58 Golkar, dan namanya juga ulang tahun partai politik jadi kita pasti melihat isyarat-isyarat politik yang muncul di situ. Saya setidaknya mencatat empat hal di situ. Pertama, Pak Jokowi masih membahas soal ijazahnya karena di situ ada Bang Akbar Tanjung dan mengingatkan bahwa dia itu teman sekolahnya Ibu Nina Akbar Tanjung waktu SMP. Kedua, mengingatkan ini kelihatannya nyindir Pak Surya Paloh, karena di situ kalau milih capres itu jangan sembrono. Wah, ini kalimatnya “sembrono” itu serius digunakan di kalimat itu. Ketiga, saya kira ini berkaitan mengingatkan KIB ini, kenapa KIB enggak segera deklarasi ya, gitu. Walaupun jangan cepet-cepet, tapi ya jangan rangkul-rangkulan terus, kata Pak Jokowi. Keempat, beliau mengingatkan bahwa ini karena tadi berkaitan dengan track record presiden harus jelas, ini nggak boleh sembarangan dan beliau melihat Pak Airlangga ini sudah punya jam terbang yang tinggi, gitu kata Pak Jokowi. Saya jadi kemudian menyimak apa sih yang disampaikan oleh Pak Erlangga sebelumnya, oh dia mengingatkan bahwa dia berterima kasih sudah diberi waktu, diberi kesempatan magang di kabinetnya Pak Jokowi. Jadi waktunya naik kelaslah. Kira-kira begitulah empat poin. Saya enggak tahu kalau Anda punya catatan lain. Ya, ini namanya gayung bersambut, tapi bisa saja gayungnya bocor. Jadi, nggak bisa mandi juga tuh. Tetapi peristiwa-peristiwa semacam ini kan kita anggap ya ada bagian basa-basi, ada bagian sensasi saja tuh. Kan nggak ada yang penting sebetulnya di situ selain Golkar mau mengatakan dia sudah melakukan konsolidasi itu. Dan, konsolidasi Golkar dipamerkan di depan partai-partai yang lain. Itu artinya semacam eh gua sudah segini loh. Kan itu memang kalau kita lihat Golkar ini partai modern, enggak ada intrik di dalam enggak bisa diselesaikan internal. Kalau partai lain kan intriknya dibawa ke pengadilan. Jadi, Golkar sebenarnya tumbuh dengan rasionalitas. Golkar berupaya untuk memperlihatkan kembali kemampuan teknokratik dia tuh. Jadi, dari segi kapasitas teknokratik itu Golkar berlebih. Demikian kira-kira inti yang ingin diterangkan oleh Golkar di depan presiden dan partai lain bahwa mereka siap menjadi instrumen teknokratik dari negeri ini dan itu ada sejak zaman Orde Baru. Itu yang continue di dalam Golkar sendiri. Yang diskontinyu adalah tradisi Golkar untuk mengucapkan pikiran supaya orang tahu posisi dia di mana. Dulu Golkar di zaman Akbar Tanjung lebih frontal mengucapkan pikiran, tapi kemudian makin lama makin zig-zag. Jadi, pragmatisme Golkar akhirnya dilihat sebagai opportunistik sebetulnya. Pragmatisme itu bagus bagi Golkar yang paham bahwa program mendahului leader. Dan, kalau leader-nya ada itu bagus betul. Zaman dulu Pak JK (Jusuf Kalla) jelas ada arahnya atau zaman Akbar Tanjung lebih lagi. Nah, Pak Airlangga harus kasih sinyal pada Pak Jokowi supaya Pak Jokowi paham arahnya. Tapi, Pak Jokowi langsung menuntut saja. Ini kalian pro Ganjar atau Erlangga sebetulnya yang mau diucapkan. Tapi Golkar dalam hal itu kan pintar untuk menyembunyikan maksudnya tuh. Dan, pasti akan ada tokoh Golkar lain yang berbicara tidak sejalan dengan yang dibicarakan oleh Airlangga. Itu biasa tuh. Nanti akan dianggap oh iya, itu Airlangga menyatakan diri akan meneruskan proyek-proyek Pak Jokowi, tapi yang lain faksi lain bilang enggak, Airlangga kita mau jadikan presiden, tidak perlu lewat KIB, misalnya. Karena KIB itu bisa jadi jebakan. Jadi, hal-hal begituan yang kira-kira, ini kan nggak ada yang final. Jadi, penyebab dari basa-basi ini semuanya karena kita tidak final. Karena itu, publik mungkin lebih suka melihat aspek personal, dan Presiden kemarin itu menyebutkan nama istri Pak AkbarTanjung. Lalu orang ingatkan lagi, wah kayaknya masih baper nih Pak Presiden karena persidangan masih ditunda, dan orang masih nunggu kehadiran Pak Jokowi dengan ijazahnya di pengadilan. Itu justru yang membuka ingatan orang bahwa Pak Jokowi, Anda masih ditunggu loh di Pengadilan. Saya lihat pidato Presiden itu di dalam bahasa tubuh presiden ada semacam kegamangan karena menanti keputusan KIB. Padahal Presiden bisa paksa saja kan. Jadi, masalahnya Golkar semacam menyimpan agenda baru bahwa dia melihat ada perubahan dalam arah politik publik. Gairah pada Anies itu bertambah, lalu Ganjar akhirnya menekatkan diri untuk berlawanan dengan Ibu Megawati. Jadi, kira-kira Golkar sekarang punya second opinion terhadap dirinya sendiri. Nah, itu kira-kira yang ingin dimintakan kejelasan oleh Pak Jokowi. Itu sebabnya kenapa KIB ini kan semacam keanehan dalam politik Indonesia. Semua ada di dalam kontrol Pak Jokowi, tapi bikin-bikin KIB. Itu kira-kira atas suruhan Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi kerepotan sendiri itu. KIB lama-lama membentuk koloni sendiri. Kan itu masalahnya. Koloni itu bisa berbeda dengan hal yang dibayangkan awal oleh Pak Jokowi. Jadi, kecemasan Pak Jokowi karena “hanya rangkul-rangkulan” itu justru disebabkan karena Pak Jokowi membiarkan KIB itu tumbuh sebagai koloni di dalam kabinet, sehingga Pak Jokowi akhirnya mengingat bahwa salah seorang bekas ketua Golkar istrinya adalah sahabat Pak Jokowi. Jadi, netizen pindah fokus lagi, oh itu masalahnya sehingga Pak Jokowi menyebutkan Ibu Nina karena persidangan tentang status ijazah Pak Jokowi masih berlangsung dan akan lama itu. Ini satu event dua peristiwa. Saya juga menangkap itu, karena pada pidatonya Pak Airlangga mengingatkan bahwa tiket dari KIB itu premium karena udah di atas PT 20%. Kalau nambah lagi ini tinggal tinggal VIP. Artinya kan kalau tiketnya VIP ya mesti mendapat treatment yang juga VIP, kan kira-kira begitu yang disampaikan. Ya. Dan saya melihat bahasa tubuh-bahasa tubuh di situ berupaya menduga KIB ke mana. Yang paling cemas sebetulnya adalah Pak Surya Paloh karena sudah ambil tiket duluan tapi kurang premium. Kira-kira begitu. Mungkin Pak Surya Paloh merasa kalau tunggu sebentar mungkin dapat tiket premium, walaupun Anies premium di tingkat dukungan massa. Dukungan rakyat premium, bahkan VIP. Tapi karena Nasdem yang akhirnya ragu-ragu untuk melihat atau untuk mempromosikan Anies sebagai antitesa, ya publik merasa ya ini gua beli premium tapi kok disuruh nonton di luar lapangan. Kira-kira begitu kan. Lebih buruk lagi kalau ada tiket premium tapi penuh, lalu pasang televisi nonton di luar lapangan. Ini kira-kira keadaan politik Indonesia. Anies Baswedan tumbuh dengan baik di rakyat, tetapi Nasdem yang mendorong Anies justru kembali menjadi konservatif. Kan itu intinya. Nah, Golkar membaca itu. Jadi, mungkin Golkar anggap ya sudah, sama kita saja. Jadi, sangat mungkin juga Airlangga Hartarto – Anies. Atau ya macam-macamlah, Go Anies. Kira-kira begitu. Go Anies sudah mulai ada nih. Ada foto-foto anak-anak muda yang memakai baju kuning dan Go Anies dan kabarnya Akbar bakal deklarasi besok. Ini pasti elemen-elemen di dalam tubuh Golkar meskipun tidak menyatakan nama Golkar. Ya, saya kira itu sinyalnya. Kan orang tahu Go Anies artinya orang tahu ya Anies Golkar. Tapi, semua ini sinyal-sinyal untuk memancing di air keruh. Karena ketidakpastian. Kan semua tidak pasti. Mereka nggak mau yang pasti kan? Ya, sampai sekarang saya juga masih berpikir kenapa tanggung banget ya langkahnya Nasdem itu. Kenapa dia kemudian tiba-tiba ketika sudah sangat maju, kan ini bagaimanapun juga keberanian Nasdem itu luar biasa dengan mencalonkan Anies dan kita tahu ada bayang-bayang Firli Bahuri di belakang. Kan itu operasi intersep dari Nasdem terhadap KPK. Tapi kenapa tanggung, jalan kok tiba-tiba mundur lagi, dan itu yang membuat kemudian kelihatan Airlangga jadi lebih baik sama Airlangga, gitu. Ya, itu yang mungkin disindirkan oleh Pak Jokowi, karena itu, jangan cepat-cepat tapi kemudian salah pilih. Kira-kira begitu sindiran Pak Jokowi kepada Nasdem. Walaupun sudah berupaya seluruh aparat Nasdem sekarang di front line mengatakan ya sudah, kami tetap Anies, tapi tetap mendukung Pak Jokowi sampai akhir masa jabatan. Ya tentu saja, mana ada partai yang nggak mendukung Pak Jokowi, mau kena sprindik apa. Tapi, sebetulnya publik mau lihat Nasdem ini kok tiba-tiba jadi jadi ngeyel yang nggak ada arah, gitu kan. Apa takut? Begitu sebetulnya. Jadi, terjadi reaksi balik dari relawan yang sudah pasang persneling 3 ternyata Nasdem sebagai partai pendukung retrait, pasang mundur. Itu intinya kan. Itu adalah sifat dari politik yang nggak ada kepastian sebetulnya. Kalau Nasdem dari awal pasti ya dia promosikan bahwa Anies dan wakil presidennya yang sudah dipilih Anies kita deklarasikan. Kan selesai masalahnya. Ini akibat masih nyari-nyari sponsor atau mungkin amplopnya kurang tebal, belum tebal, transaksi belum terjadi. Sebetulnya kalau saya rumuskan Nasdem artinya takut lagi pada ancaman Pak Jokowi. Dan itu menimbulkan demoralisasi pada relawan-relawan. Kan relawan menganggap kami berdiri di belakang Nasdem. Lah, Nasdem-nya mundur. Ya bagaimana relawan mau maju tuh. Tabrakan dong. Saya kira sebenarnya di luar itu kita juga melihat bahwa Pak Jokowi memang sudah punya agenda sendiri di luar PDIP. Dia sekarang merasa berada di atas anginlah, kira-kira posisinya begitu. Ya, jadi pertemuan kemarin Golkar itu 2 hal dipastikan: pertama Pak Jokowi merasa nggak perlu lagi berbasa basi dengan PDIP atau telepon-teleponan sama Bu Mega. Karena dia tahu bahwa KIB itu bisa ditumbuhkan sebagai alternatif juga akhirnya. Nah, di KIB, tentu yang paling senior adalah Airlangga. Dan PPP yang kemarin kasak-kusuk untuk mendukung Ganjar itu juga akhirnya apa? Itu secara ideologis, secara historis, enggak ada PPP mendukung Ganjar yang dari segi apapun nggak cocok dengan paradigma PPP sebagai partai Islam dan partai yang harusnya tunggu dalam posisi oposisi gitu. Kan itu intinya tuh. Jadi percuma sebetulnya PPP itu berupaya manuver di depan Pak Jokowi kalau publik tidak melihat koneksi ideologis antara Ganjar dan PPP. Itu masalahnya tuh. Nah itu yang kemudian dibaca dengan baik oleh Golkar. Golkar menang banyak kemarin. Jadi, selamat ulang tahun sambil pesta-pesta kecillah. Karena Pak Jokowi kelihatannya juga punya second opinion terhadap siapa yang akan meneruskan legacy dia. Nah, di situ kalau Golkar manuver itu tidak diragukan. Kemampuan Golkar untuk sepak kiri sepak kanan, padahal dia tahu jalan yang dia harus tempuh, itu keahlian oportunis dari Golkar. (ida/sws)
Lenong Ambil Lakon Raja Tulalit
Oleh Ridwan Saidi Budayawan UJA seorang pemimpin grup lenong Gumbira Ati. Hampir tiap malam ia ngelenong di pentas jalanan di sebuah pasar. Income dari saweran penonton. Pukul 20.00 penonton sudah kumpul, Sudara-sudara malam ini lenong Gumbira Ati yang saya pimpin ambil lelakon Raja Tulalit. Penonton bertepuk, dan ada yang lempar saweran. Lenong lakon Raja Tulalit buka kisah: kuat pada jimat, rasmi (sah,) ada di mahkota, kebesaran pada singgasana. Apes, semua hiiang dicolong. Ini yang bikin Raja Tulalit bingung. Gue ini jadi raja apa\'an? Tulalit omong sendirian. Sial susul menyusul. Timbul kelaparan. Raja letak gentong di alun-alun minta orang-orang kaya meyumbang madu. Besokannya gentong dibuka, aer melulu. Tak ada madu. Raja bingung, penonton malah semangat. Raja suruh Perdana Mentri kumpulkan surat fatwa waris dari setiap keluarga dan dituker sama bulu ayam kalkun. Rakyat marah, penonton sorak dan teriak: Lawan! Tahu tahu Uja gulung layar lenong sambil berkata: \"udahan\". Hey Ja lu jangan berhenti dong! Tu rakyat berontak kagak? Uja diam sambil terus beres-beres. Hey Uja! Raja Tulalit gimana akhirnya? Jato kaga? Uja menyahut, Nasib Raja lihat besok. Soalnya, gue hitung saweran cuma sedikit. Besok dah. Tahu-tahu Uja girang. Penonton lempar dia dengan duit. Terus maen Ja! Gue mau lihat si Tulalit jato. Pas Lenong mau maen, hujan turun rintik-rintik Waduh Tulalit tak jadi jato nih. Tahu-tahu muncul seorang penonton bawa payung 10 tangkai. Ni payung kasih panjak (pemain). Kita basah-basahan tak apa-apa. Kalau lu tak mau, gue tonjok lu Ja. Kita tak sabar lihat si Tulalit jato. Betul-betul, penonton berteriak. Turunin Tulalit, Tulalit raja bego, teriak penonton lagi. Tahu-tahu Uja jato duduk. Ampun-ampun, seumur-umur gue baru ngalamin, ngelenong pake payung. Lu salah ambil lelakon Ja, tukang go\'ong (gong) merespon. Kenapa si Tulalit lu suru jadi raja jolim, udah begitu geblek lagi. Emang, gua salah ngedalang. (RSaidi)
Santri Itu Penghulu Perubahan
Akhirnya, santri-santriyah itu bagaikan air segar yang mengalir. Ketika terhambat di sebuah tempat, akan menemukan jalan lain untuk menghadirkan kesegaran dan kehidupan. Oleh: Imam Shamsi Ali, Alumni Pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam Gombara” Makassar SATU hal yang akan diingat oleh sejarah di negeri tercinta adalah bahwa di negeri ini ada satu hari yang diperingati sebagai Hari Santri. Konon ini jadi bagian dari perjuangan teman-teman NU yang pada akhirnya diterima dan ditetapkan oleh pemerintah dengan sebuah Keppres. Usaha ditetapkannya Hari Santri ini mengingatkan saya bagaimana lika-liku perjuangan kami Komunitas Muslim di kota New York memperjuangkan untuk ditetapkannya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai holiday (hari libur) sekolah. Perjuangan itu memakan waktu kurang lebih tujuh tahun. Ikhtiar itu kami mulai sejak Michael Bloomberg menjabat Walikota saat itu. Setelah berhasil meloloskan resolusi dukungan DPRD New York, kami mendesak Walikota untuk menanda tangani Resolusi itu untuk menjadi UU di Kota New York. Sayang hingga akhir tugasnya sebagai walikota New York, Michael Bloomberg gagal meresmikan Id sebagai hari libur sekolah di Kota New York. Di era walikota Bill de Blasio saat itulah ketika beliau meminta dukungan kami pada pilkada ketika itu, kami mengikat dukungan itu dengan komitmen Walikota untuk nantinya meresmikan Id sebagai hari libur sekolah di Kota New York. Beliau setuju dan jadilah Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur sekolah di Kota dunia ini. Benar tidaknya tentang proses penetapan Hari Santri ini telah menjadi bagian dari barteran dukungan politik. Bagi saya hal itu tidak terlalu penting. Dan itu sah-sah saja. Di situlah harusnya salah satu makna jihad politik. Ormas-ormas Islam harusnya mampu menjadi bagian dari perjalanan atau proses politik itu. Memperjuangkan kepentingan Umat lewat politik walau tidak harus berpolitik. Sebagai santri, saya sendiri tentunya bangga bahwa pada akhirnya santri mendapat pengakuan resmi. Saya katakan resmi karena sesungguhnya pengakuan bangsa ini kepada santri menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Santri tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan besar bangsa ini. Santri itu pilihan dan mutamayyiz (Istimewa). Di masa lalu ada semacam persepsi yang terbangun seolah anak-anak yang disekolahkan di pesantren itu adalah pembuangan. Artinya, hanya mereka yang tidak lolos masuk sekolah negeri atau sekolah lainnya yang dimasukkan ke pesantren. Maka pesantren misalnya identik dengan anak-anak nakal dan terbelakang. Persepsi ini saya yakin dengan sendirinya telah bergeser atau tergeser oleh realita bahwa ternyata santri itu memiliki potensi dan kapabilitas yang tidak kurang, bahkan tidak mustahil lebih dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah lainnya. Santri-santriyah itu memiliki azam (keinginan yang kuat) yang terbangun di atas kepribadian yang mandiri. Seseorang tidak akan bertahan dan berhasil di pesantren kecuali dengan keinginan yang solid dan matang. Hal itu karena situasi pesantren yang menuntut (demanding) dalam segala hal. Santri santriyah juga selama di pesantren tidak saja belajar keilmuan (tholab al-ilm). Justeru di pesantren mereka belajar kehidupan. Saya bisa mengistilahkan latihan hidup (life training). Mereka belajar hidup sebagai manusia yang independen, disiplin, dan tentunya dengan tatapan masa depan yang besar dan optimisme. Salah satu pesan kyai, KH Abdul Djabbar Ashiry, di saat saya pamit ke luar negeri untuk sekolah adalah tentang belajar hidup ini. Dalam bahasa Arab yang tertata rapih dan fasih beliau mengatakan: “nak, kamu itu di pesantren ini tidak saja telah menimbah Ilmu. Tapi kamu telah belajar hidup. Di mana saja kamu berada niscaya kamu siap untuk hidup”. Santri itu juga bermental baja. Dunia yang semakin kejam dengan persaingan yang semakin ketat hanya akan bisa ditaklukkan dengan mentalitas baja. Manusia yang bermental kerupuk akan hancur berkeping dilabrak pergerakan dan perubahan yang tidak terkirakan (unexpected). Dengan sendirinya permasalahan hidup manusia juga semakin kompleks. Di pesantrenlah santri-santriyah ditempa untuk berani, percaya diri dan tidak minder (rendah diri). Mereka tumbuh tetap dalam ketawadhuan. Tapi memiliki keberanian dan percaya diri yang tinggi untuk mengambil bagian dari perubahan dan tantangan hidup yang ada. Santri-santriyah juga adalah sosok yang menggabungkan dua kekuatan dan modal hidup manusia terbesar. Kedua kekuatan dan modal hidup terbesar itu adalah kekuatan intellectual (akal) dan kekuatan spiritual (hati). Dengan dua kekuatan ini mereka menjadi manusia “Ulul albaab” yang siap mengarungi bahtera kehidupan dengan kompleksitas permasalahannya. Di sinilah kita lihat partisipasi dan keterlibatan para santri-santriyah dalam segala lini kehidupan manusia. Baik itu pada tataran personal maupun publik. Mereka menjadi politisi, pengusaha dan ragam profesi lainnya dengan kedua kekuatan tersebut. Kuat akal dan kuat hati. Mereka tidak mudah tertipu karena berakal. Tapi mereka juga tidak perlu jadi penipu karena punya hati. Santri-santriyah juga memiliki ragam kemampuan yang mumpuni. Selain penguasaan bahasa asing yang cukup, lebih dari sekolah-sekolah lain, mereka memiliki kemampuan delivery yang tinggi. Di pesantren-pesantren diajarkan ceramah (muhadhorah), Diskusi hingga mujadalah (debat), baik dalam bahasa lokal maupun bahasa asing. Ini menjadi salah satu modal utama bagi para santri untuk mengambil bagian dalam kehidupan dunia yang semakin mengglobal. Dunia global yang menjadikan manusia seolah hidup di bawah satu atap yang sama. Dan karenanya komunikasi menjadi salah satu modal yang menentukan. Tentu banyak keunikan atau keistimewaan santri-santriyah itu. Tapi satu hal yang tak kalah pentingnya adalah bahwa santri-santriyah tidak sekedar jadi agen-agen perubahan. Mereka harus menjadi penghulu perubahan itu. Dengan modal dan kekuatan akal dan spiritualitas, yang didukung oleh mental baja tadi, mereka siap mengarungi bahtera kehidupan ini dengan segala dinamikanya. Betapa santri-santriyah dengan segala perubahan dunia yang “unexpectedly changing” dan “deeply challenging” tetap tegar. Tidak lentur (terbawa arus) dan tidak pula terombang-ambing oleh derasnya goncangan kehidupan. Karenanya, dalam dunia yang saat ini dikenal sebagai dunia global yang tantangannya semakin besar, serta perubahan yang ada semakin cepat, santri-santriyah diharapkan selalu berada di garda depan untuk menyetir arah l perubahan dunia. Akhirnya, santri-santriyah itu bagaikan air segar yang mengalir. Ketika terhambat di sebuah tempat, akan menemukan jalan lain untuk menghadirkan kesegaran dan kehidupan. Santri bagaikan pohon yang subur nan sehat. Meninggi dengan ranting-ranting dengan buah-buah segarnya setiap saat. Akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah. Tak rapuh dan tak mudah tercabut oleh hembusan angin liar. “بعيد النظر بل رسيخ الأصل” (bervisi jauh ke depan, namun tetap mengakar pada dirinya”. Selamat Hari Santri! Makassar, 20 Oktober 2022. (*)
Poland Festival 2022 Digelar di Empat Provinsi Indonesia
Jakarta, FNN - Kedutaan Besar Polandia menggelar Poland Festival 2022 di empat provinsi di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Surabaya serta Bali yang berlangsung mulai 17 Oktober sampai 6 November 2022.“Poland Festival tahun ini adalah edisi yang ketiga. Poland Festival pertama diadakan pada 2019 dan yang kedua pada 2021,” kata Duta Besar Polandia untuk Indonesia Beata Stoczynska saat pembukaan Poland Festival 2022 di Jakarta, Sabtu.Dubes Stoczynska menyebutkan Poland Festival 2022 mempromosikan 18 merek dagang dari berbagai produk Polandia, seperti makanan, minuman serta produk kosmetik, yang dapat dijumpai di sepuluh pasar swalayan yang tersebar di Indonesia.Festival tersebut juga akan memamerkan perkembangan terkini dari 10 lebih perusahaan industri kereta api dan teknologi Polandia yang berfokus pada energi hijau dan hidrogen, katanya.Sementara itu, Kepala Badan Perdagangan dan Investasi Polandia di Jakarta, Jacek Kolomyjec, menuturkan bahwa Poland Festival memiliki tiga tujuan, salah satunya membawa produk Polandia yang berkualitas tinggi masuk ke pasar Indonesia.Tujuan kedua adalah memberikan peluang bagi distributor dan importir Indonesia untuk memasarkan produk Polandia di Indonesia, dan ketiga, mendekatkan Indonesia dengan para produsen Polandia agar mereka berkeinginan melakukan investasi di Indonesia.Poland Festival tahun ini juga diramaikan dengan pameran batik, desain, fotografi dan kursus singkat bahasa Polandia. Pengunjung juga dapat mencicipi makanan khas Polandia serta mendapatkan hadiah dan produk promosi yang tersedia selama festival berlangsung.Selain itu, Pameran Batik dan Seni Tekstil Kontemporer Polandia yang diadakan sejak 3 Oktober di Museum Nasional menjadi bagian dari rangkaian festival sekaligus menandai pembukaan Poland Festival 2022. (Sof/ANTARA)
Kemenkes Diminta Mitigasi Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak
Jakarta, FNN - DPP Partai NasDem meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mitigasi secara komprehensif kasus gagal ginjal akut misterius pada anak-anak. Ini kasus sudah luar biasa. Mitigasi mutlak perlu agar mendapatkan solusi yang tepat,\" kata Ketua DPP Partai NasDem Bidang Perempuan dan Anak Amelia Anggraini dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu. Sampai saat ini, kata dia, data Kemenkes menyebutkan 241 anak terkena gagal ginjal akut misterius, sebanyak 133 di antaranya meninggal dunia dan ada kemungkinan potensinya bertambah. Oleh karena itu, perlu mitigasi dengan menyisir seluruh fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia untuk mendapatkan data anak penderita gagal ginjal akut yang akurat, mendeteksi sumber masalah penyebab gagal ginjal selain dari obat sirop, penanganan anak-anak yang sedang berjuang sembuh, hingga pembenahan tata kelola farmakologi dalam negeri. Anggota DPR periode 2014—2019 ini menyebutkan hingga saat ini sebanyak 22 provinsi yang positif dengan kasus anak gagal ginjal akut. \"Ini berarti bukan hanya di wilayah yang sudah terlapor, melainkan juga penambahan berpotensi terjadi di daerah lain yang kini masih nol kasus. Kita harus waspada pada semua kondisi. Angka yang sekarang belum final,\" papar Amelia. Oleh sebab itu, kata dia, Kemenkes harus menyisir setiap fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia, mulai dari puskesmas, klinik, hingga RSUD, bahkan kalau perlu melibatkan kader posyandu karena erat kaitannya dengan anak. \"Hal ini perlu dilakukan agar datanya valid dan cepat tertangani,\" kata wanita yang biasa disapa Amel ini. Tidak hanya itu, lanjut dia, Pemerintah harus memastikan pasien gagal ginjal akut yang masih berjuang untuk sembuh mendapatkan fasilitas memadai. Hal itu merujuk pada fakta di lapangan bahwa tidak semua wilayah, apalagi yang terpencil, siap menangani pasien gagal ginjal karena terbatasnya jumlah dokter spesialis dan peralatan. Dalam kurun waktu beberapa bulan, kata Amel, anak dengan gagal ginjal ini meningkat. Kemenkes harus memastikan pasien dapat ditangani dengan baik, terutama kasusnya pada anak yang butuh perawatan ekstra. Amel berharap Pemerintah bekerja cepat dari hulu dan hilirnya. Dari sisi hulunya, perlu adanya riset yang mendalam lagi penyebab gagal ginjal ini selain dari kandungan pada paracetamol sirop. Menurut dia, risetnya harus komprehensif sampai ke akar-akar apakah kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol sebagai variabel utama penyebab gagal ginjal atau ada faktor lainnya. \"Dengan kasus ini juga saya ingin bersuara bahwa penataan pharmacology obat dan makanan harus dibenahi. Obat dan makanan yang aman perlu dijamin oleh lembaga yang kapabel karena taruhannya nyawa,\" demikian Amel.(Sof/ANTARA)
Ketua DPD RI Imbau Orangtua Beri Kecakapan Literasi Digital pada Anak
Surabaya, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengimbau para orangtua untuk mendampingi dan memberi kecakapan literasi digital pada anak-anak. Menurut LaNyalla, hal tersebut adalah bagian dari pengawasan orangtua kepada anak dalam menggunakan media sosial dan penggunaan internet. Dengan cara ini, anak-anak mampu memilah mana yang memberikan manfaat dan mana yang berdampak buruk. “Pengawasan literasi digital pada anak itu penting agar generasi kita lebih etis dan bijak dalam menggunakan media sosial,” kata LaNyalla saat reses di Jawa Timur, Sabtu (22/10/2022). Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, lingkungan digital memiliki nuansa yang cukup menarik, baik bagi anak-anak, generasi milenial maupun orangtua. Selain ruang untuk hiburan, media sosial juga kerap kali dijadikan ruang untuk berekspresi. “Namun seringkali ekspresi yang ditampilkan kebablasan. Dalam konteks inilah kita harus mengajarkan etika dalam bermedia sosial, sehingga generasi kita ke depan bisa bijak dalam menggunakannya,” ujar LaNyalla. Menurut tokoh asal Bugis yang besar di Surabaya itu, jika tak difilter dengan baik, lingkungan digital dapat memberi dampak yang signifikan terhadap gaya hidup, pemikiran, sikap dan karakter. “Kecakapan literasi digital diharapkan mampu menjadi filter atau meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif bagi aspek-aspek kehidupan dan meningkatkan kualitas hidup dan etika,” ujar LaNyalla. Sebelumnya, Psikolog Universitas Merdeka Malang, Agustin Rahmawati berharap etika digital diharapkan dapat ditegakkan agar warga internet (warganet) dapat berakhlak mulia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat. Perkembangan iptek, khususnya teknologi digital, juga telah mengubah pola pikir manusia secara signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. (Sof/LC)