ALL CATEGORY

Presiden Biasanya Mendadak Tentukan Calon Panglima TNI

Jakarta, FNN - Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) biasanya menentukan sosok calon Panglima TNI dalam waktu mendadak dan tanpa pembahasan sejak jauh hari. \"Sejauh pengalaman saya, Presiden itu nggak pernah jauh-jauh hari ngomong, beliau pasti mendadak,\" kata Andika di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.Andika mengatakan hal itu saat disinggung apakah Presiden Jokowi sudah mengajaknya berdiskusi soal calon panglima TNI yang baru. Dia mengaku tidak ingin berspekulasi apa pun mengenai calon Panglima TNI yang akan menggantikan dirinya pada Desember 2022.Masa jabatan Andika sebagai Panglima TNI akan habis pada bulan terakhir tahun ini karena dia memasuki usia pensiun. Dia pun mengaku belum memiliki persiapan khusus menjelang pensiun.Ketika disinggung soal wacana perpanjangan masa jabatannya sebagai Panglima TNI hingga 2024, Andika enggan berkomentar. \"Nggak jawab saya,\" tukasnya.Namun, tambahnya, sebagai prajurit dia akan melaksanakan dengan baik apa pun perintah Presiden Jokowi. \"Ya apa pun perintahnya, saya laksanakan,\" kata lulusan Akademi Militer tahun 1987 itu.Andika Perkasa dilantik Presiden Jokowi menjadi Panglima TNI pada 17 November 2021, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 106/TNI 2021. Andika saat itu menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, usia pensiun prajurit paling tinggi ialah 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama. Andika lahir pada 21 Desember 1964 atau 57 tahun lalu, dan pada 21 Desember 2022 dia akan berusia 58 tahun atau memasuki pensiun.Saat ini, ada tiga kepala staf dari tiga matra TNI yang berpeluang menjadi calon panglima TNI, yakni Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasau) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. (Ida/ANTARA)

Untung Ada Firli Bahuri Yang Mau Jegal Anies Baswedan

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  SEMUA ada hikmahnya. Ada ibrahnya. Selalu ada sisi positif di samping kentalnya tujuan negatif suatu tindakan atau kerjadian. Termasuklah upaya Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan menjadi calon presiden –yang hampir pasti akan menjadi presiden— di pilpres 2024. Ini pun ada hikmahnya. Nah, apa kira-kira hikmah di balik upaya Firli itu? Banyak hikmahnya. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sini. Hikmah yang pertama ialah bahwa deklarasi pencapresn Anies menjadi lebih awal setelah Firli, menurut laporan Koran Tempo, punya misi politik untuk menjadikan Anies sebagai tersangka korupsi Formula E. Langkah Partai NasDem mempercepat deklarasi membuat posisi Anies lebih pasti. Puluhan juta relawan pendukung pun menjadi lega. Itu yang pertama. Hikmah yang kedua, rakyat menjadi paham sempurna tentang Firli Bahuri dan tentang mengapa dia, dulu, didukung oleh Jenderal Pol Tito Karnavian menjadi Ketua KPK. Pemilihan Firli sebagai ketua KPK berlangsung pada 13/9/2019, tanpa pemungutan suara di Komisi III DPR. Waktu itu, Kapolri dijabat oleh Tito. Namun, suara bulat Komisi III memilih Firli diwarnai oleh dugaan “operasi senyap”. Hikmah yang ketiga, kita pun menjadi paham tentang konstelasi politik elit Polri di tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tito sebagai Mendagri dan Firli sebagai KPK, bukanlah penempatan yang berlangsung random. Bukan suatu kebetulan. Tito mengendalikan kementerian yang sangat strategis. Lebih strategis lagi karena pileg dan pilpres 2024 akan menjadi penentu Indonesia terus berada di bawah kedaulatan Oligarki bisnis yang berkomplot dengan Oligarki politik, atau Indonesia akan kembali berada di bawah kedaulatan rakyat. Di pilpers 2019, Kapolri Tito Karnavian dan jajaran Polri sampai ke tingkat polsek dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan petahana. Polisi diperalat untuk memenangkan Jokowi. Polisi di bawah kendali Tito waktu itu berubah menjadi timses Jokowi. Bahkan lebih dari sekadar timses. Polisi juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk tujuan ini. Analisis ini terasa melebar. Sesungguhnya tidak. Semata-mata untuk meletakkan upaya penjegalan Anies oleh Firli dalam konteks keterlibatan Polri di panggung politik praktis. Dalam arti, upaya Firli untuk menjegal Anies bukan manuver yang berdiri sendiri, konon pula mau disebut langkah hukum murni. Jelas omong kosong kalau mau disebut langkah penegakan hukum semata. Firli sendiri pun, sesuai laporan Tempo, mengakui bahwa menjadikan Anies sebagai tersangka sesudah dia dideklarasikan sebagai capres akan menimbulkan gejolak politik. Itu sebabnya dia mendesak tim penyelidik Formula E di KPK agar meningkatkan status kasusnya menjadi penyidikan. Dan Anies dijadikan tersangka mumpung belum dideklarasikan.  Firli masih tetap bisa menjadikan Anies tersangka dan kemudian menahan Gubernur DKI yang sekarang paling kuat dalam berbagai survey atau jajak pendapat itu. Cuma, risikonya sangat tinggi. Anies sudah terlanjur memiliki basis kekuatan massa pendukung yang terbentuk tanpa inisiatif dia sendiri. Jadi, begitulah kekuatan alam bekerja. Firli diutus menjadi Ketua KPK agar Anies segera dideklarasikan sebagai capres. Sekaligus, Firli juga diutus untuk menambah beban berat Polri yang bertahun-tahun ini tertanam di memori banyak orang sebagai institusi yang melakukan kesewenangan terhadap rakyat. Hari ini, semuanya terbuka secara otomatis. Kesewenangan (mantan Irjen Pol) Ferdy Sambo dan jaringan mafianya di Polri bertemu dan menyatu dengan upaya Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan. Secara kebetulan, kedua polisi senior ini termasuk binaan Jenderal Pol Tito Karnavian sewaktu dia menjadi Kapolri hingga 2019. Itulah hikmah dari upaya politik Firli untuk menghalangi Anies. Terkuaklah benang merah, atau lebih tepatnya “bold line” (garis tebal), yang menghubungkan Firli-Tito-Ferdy. Jadi, untunglah ada Firli yang mau menjegal Anies. Semuanya menjadi terang-benderang.[]

Rocky Gerung: Amarah Itu Masih Ada pada Pendukung, juga Publik Indonesia, Keadaan Ini Bisa Menjadi Pemicu Kerusuhan Lebih Besar

KAPOLRI Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat dari jabatannya. Pencopotan Kapolres Malang ini terkait tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Selain mencopot Kapolres Malang, Kapolri juga mencopot sembilan pejabat di kepolisian lainnya terkait dalam tragedi yang menewaskan ratusan orang itu. Berdasarkan rilis resmi, korban tewas mencapai 131 orang. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, keputusan menonaktifkan Kapolres tersebut setelah dilakukan analisa dan evaluasi dari tim investigasi yang dibentuk Kapolri. “Malam ini, Kapolri sudah mengambil satu keputusan, memutuskan untuk menonaktifkan sekaligus mengganti Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat,” kata Dedi yang dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022). Dedi menjelaskan keputusan untuk menonaktifkan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST 20 98 X KEP 2022. Ferli dimutasi sebagai Perwira Menengah Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri. Ferli Hidayat digantikan AKBP Putu Kholis Arya yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok Polda Metro Jaya. “Ferli Hidayat dimutasikan sebagai Pamen SSDM Polri dan digantikan AKBP Putu Kholis Arya,” kata Irjen Dedi Prasetyo. Dedi menuturkan sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta juga menonaktifkan jabatan Komandan Batalyon (Danyon), Komandan Kompi (Danki), dan Komandan Peleton (Danton) Brigade Mobile (Brimob). “Sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jatim juga melakukan langkah yang sama. Melakukan penonaktifan, jabatan Danyon, Danki, dan Danton Brimob sebanyak sembilan orang,” katanya. Nama-nama yang dinonaktifkan tersebut adalah AKBP Agus, AKP Hasdarman, Aiptu Solihin, Aiptu M Samsul, Aiptu Ari Dwiyanto, AKP Untung, AKP Danang, AKP Nanang, dan Aiptu Budi. Hingga ini, semua masih dalam proses pemeriksaan tim. “Semuanya masih dalam proses pemeriksaan tim malam ini,” katanya. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat peristiwa Kanjuruhan ini? Ikuti dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (4/10/2022). Berikut petikannya. Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal’afiat, tetap semangat ya. Kita terus terang sampai sekarang masih terus berduka dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Dan jujur ini sebenarnya membuat mood kita menjadi makin buruk hidup di negara Indonesia ini. Begitu ya Bung Rocky. Apalagi sampai sekarang belum ada satupun otoritas yang merasa bertanggung jawab dan menyatakan pasang badan. Ya, itu tadi kalimat yang benar, bukan bagus, tapi benar itu mood kita makin hilang itu. Dan memang kedukaan itu silih berganti, tapi khusus tentang soal Malang ini, orang mau mem-by pass itu dengan menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Itu juga keliru. Karena dalam tragedi itu tidak ada unsur manusia. Tragedi itu sesuatu yang terjadi karena nasib manusia dikendalikan oleh hal-hal di luar kemampuannya. Itu namanya tragedi. Sekarang, kita harus minta pertanggungjawaban. Artinya, dia bukan tragedi. Dia adalah satu add of commission atau minimal add commission, pembiaran. Kalau mungkin bukan kesengajaan itu masih orang catat juga, kalau bukan kesengajaan kenapa ditembakkan ke arah Tribun, sehingga itu bikin panik sebetulnya. Mungkin kita bisa sebut sementara itu add of commission, yaitu pembiaran. Nah, ini soalnya dan sampai sekarang yang saya ikuti keterangan pers dari PSSI, Kapolda, segala macam, seolah-olah itu datar saja, sebagai peristiwa biasa itu. Dan berupaya untuk bahkan ada yang menyalahkan boneknya tuh, ada yang menyalahkan panitianya tuh. Ya memang, kalau kita usut satu-persatu, ada emosi dari Arema itu. Tapi itu biasa di dalam pertandingan yang to be or not to be. Bahwa ada tambahan karcis yang dijual mungkin saja. Karena memang itu prime time, orang ingin dapat tambahan buat panitia, misalnya. Begitu pikirannya. Dilakukan pada malam hari, karena mengejar jam tayang supaya iklan masuk. Itu segala macam hal bisa kita lukiskan di situ. Tidak ada narkoba segala. Itu upaya untuk mengalihkan masalah. Ini adalah kesalahan prosedur. Pertama-tama itu yang harus dipastikan. Dan FIFA menganggap itu yuridiksi kami kalau soal aturan, kenapa kalian langgar. Jadi, hal-hal semacam ini yang jadi kontroversi. Tetapi, dalam kontroversi ini harus ada satu orang datang ke depan publik dan saya bertanggung jawab. Setelah itu kemudian yang lain mungkin akan menganggap oke, kalau Anda bertanggung jawab, apa yang mesti Anda lakukan. Sebelum tim yang dibentuk Menkopolhukam atau siapa lakukan pekerjaan, semuanya musti mengundurkan diri, yang merasa terlibat sedikit pun harus mengundurkan diri. Ketua panitia, ketua PSSI, Menpora, segala macam. Jadi, ini pelajaran etik kita. Karena ini bukan tragedi kemanusiaan, tapi ini kekacauan koordinasi. Itu intinya. Kalau segala sesuatu tragedi kemanusiaan, nggak ada yang bertanggung jawab. Yang bertanggung jawab alam semesta, nggak mungkin begitu, nggak boleh begitu. Jadi etika pertanggungjawaban itu yang kita tagih sekarang, termasuk Kapolri. Kalau di tingkat akhir Kapolri bilang saja bahwa saya memang gagal karena tadi, publik akhirnya bertambah-tambah pada ketidaksiapan polisi untuk menangani hal yang paling remeh-temeh saja dia nggak mampu itu. Itu menjaga keamanan di dalam stadion, apalagi nanti menjaga lapangan yang lebih luas, lapangan politik Pemilu segala macam. Itu saya kira kemarahan kita akhirnya mesti kita ucapkan. Iya. Dan memang kalau kita amati, mix feeling di publik itu saja mereka yang   terlibat langsung berduka, apalagi korban, mereka yang keluarganya menjadi korban, bahkan para pemain. Saya membaca mereka banyak yang kemudian mengalami traumatis karena mereka melihat bagaimana mayat bergelimpangan di ruang yang mencoba menyelamatkan ruang pemain, tapi di depan pemain. Saya kira ini panjang rangkaiannya ini, trauma healingnya masih panjang, dan karena ada 32 orang yang tewas itu anak-anak. Sebetulnya bisa dibuatkan simulasi sebelumnya kalau terjadi berantakannya pertandingan itu ke mana exit-nya. Polisi harusnya terlatih bikin antisipasi itu. Ada dana banyak untuk melatih aparat kepolisian kita. Kenapa hal itu terjadi? Kedisiplinan. Kenapa tidak ada disiplin. Mungkin juga itu bagian dari frustrasi sosial, boleh saja bikin analisis itu bahwa penonton atau suporter itu sebetulnya ada frustrasi itu bahwa nanti malam timnya kalah, tapi juga harga BBM buat pulang pakai motor tinggi. Jadi, itu sudah bertumpu di situ, antara kesulitan ekonomi dan kemarahan psikis itu. Tetapi, itu semua bisa diantisipasi. Kan manajemen sepak bola seluruh dunia standar dan kita tahu semua kemungkinan jenis kerusuhan sudah ada di video. Kita sudah belajar dari sejarah segala macam. Yang paling bahaya juga di Argentina berapa puluh tahun lalu. Jadi, semua hal, Liverpool. Jadi, ada sebetulnya modeling untuk bikin itu. Tetapi, terlihat ada arogansi juga di lapangan bahwa tembak kiri kanan itu pakai gas air mata kan. Ya, itu konyolnya di situ. Tetapi, sekali lagi, peristiwa itu sudah terjadi, harus ada yang bertanggung jawab sampai ke tingkat yang paling atas.  Iya. Ini semua mata sebenarnya tertuju kepada aparat kepolisian. Ada juga memang tentara yang diperbantukan di situ dan juga mengambil tindakan-tindakan yang juga melakukan bukan hanya pelanggaran, menurut Panglima TNI, sudah pidana. Karena menghajar penonton yang tidak bersenjata, apalagi menendang dari belakang dan sebagainya. Saya kira ini tepat. Kapolri juga sudah mencopot Kapolres Malang, dan juga sejumlah Komandan Brimob. Tetapi, kita tetap melihat saja bahwa tidak ada sensitifitas terhadap situasi. Misalnya, mereka tidak sadar menjadi perhatian publik ketika ketua umum PSSI dalam pidatonya menyatakan “para hadirin yang berbahagia”. Itu pun membuat para netizen marah luar biasa, ditambah lagi ternyata ada akun Twitter dari Polsek yang mengucapkan kata-kata tidak pantas di Bantul, Yogyakarta, yang justru menyakan itu bencana ini. Kemudian ada juga, mungkin ini kesalahan informasi saja, ada seorang dosen yang menulis di Kompas cetak, yang menyebut itu akibat dipicu oleh tawuran Persebaya dengan Arema. Padahal, tidak ada penonton dari Persebaya. Ini semua orang marah dan Kompas juga harus minta maaf karena ini. Jadi, ini kekacauan pengertian apa yang disebut sebagai kerusuhan, apa yang disebut sebagai crowd. Tetapi selalu orang melihat apa sebetulnya yang terjadi pada bangsa ini sehingga hal yang betul-betul menyebabkan air mata hanya ditanggapi dengan konferensi pers. Kan itu soalnya. Jadi, dalil-dalil peradaban kita hilang. Nah, Panglima TNI mengambil atau memberi contoh yang juga terobosan itu. Oke, kami ambil-alih kalau aparat kami itu langsung kena pidana. Kan kepolisian juga bisa tiru itu kan. Oke, bahwa sudah terjadi semacam kekacauan maka untuk sementara Kapolri mengatakan oke, tersangka pertama adalah Kapolres. Kira-kira begitu. Lalu nanti yang akan kami proses pada Kapolda berlanjut begituan. Karena kalau orang sebenarnya lihat kalau itu sekedar Kapolres, ya apa? Emang ini hanya hal kecelakaan beruntun saja? Jadi, sebetulnya masyarakat kita kalau kita baca reaksi netizen itu, netizen betul-betul paham apa yang disebut keadilan, apa yang disebut kejujuran informasi. Karena itu, mereka marah. Bahkan, statement kecil netizen marah. Jadi, ada stok etika sebetulnya pada rakyat kita, yang baru bisa dimunculkan ketika ada peristiwa yang dramatis semacam ini. Jadi, bagian-bagian ini kita ucapkan terima kasih karena netizen peka sekali dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Dan, itu juga sebenarnya energi kita untuk melakukan perubahan total dalam cara kita bernegara. Ya. Saya kira Kapolda layak untuk dicopot karena desakannya sangat kuat, apalagi pada statement pertamanya dia dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan gas air mata itu sesuai dengan SOP. Bayangkan ada seorang Kapolda yang tidak memahami bahwa itu ada statuta FIFA hal macam ini. Ya, itu saja sudah menunjukkan bahwa itu kalimat apologetik atau kalimat defensif bahkan. Seolah-olah ya sudah itu prosedurnya betul. Jadi, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa disiplin etik yang harusnya dipegang oleh polisi nggak ada tuh. Nah, seharusnya ketika terjadi peristiwa itu, Prima faci, si Kapolda bilang, itu, apapun, saya bertanggung jawab. Maka saya mengundurkan diri. Bahwa soal itu prosedur boleh nggak boleh, itu lain soal. Karena, ini ada jumlah yang fantastis dalam kasus sejarah persepakbolaan atau sejarah olahraga dunia. Oke, satu hal sebetulnya, kita satu mendapati, saya membaca juga ini menarik bagaimana komentar netizen, saya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh komika Abdurahman (anak Malang), yang menyimpulkan kenapa semua ini terjadi, ya karena bangsa ini dipimpin oleh orang yang bodoh. Itu saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Bjorka juga. Dan, memang damoaknya ya seperti ini. Dan memang seperti tidak semata-mata Pak Jokowi, tetapi di hampir semua level terjadi semacam kebodohan itu. Ya, itu wisdon yang bisa ditangkap oleh seorang komika dan fasilitas yang dijalankan oleh negara untuk menghasilkan pemimpin yang cerdas memang tidak berjalan, dari atas sampai kepada pimpinan-pimpinan yang harusnya mengawasi potensi ketegangan sosial, kekacauan semacam ini, kan semua adalah kesalahan komandan. Kira-kira begitu harusnya diterjemahkan. Komandan tertinggi itu ya Presiden, komandan di wilayah keamanan ya Kapolri, demikian seterusnya. Jadi, betul komika itu mengatakan bahwa kita memang ada di dalam suasana seolah-olah kepemimpinan-pemimpinan di wilayah publik itu kekurangan pengetahuan. Jadi, hal-hal yang sepele tadi soal aturan FIFA, ya sudah, bilang oke memang kami salah, tapi jangan wah itu dimungkinkan segala macam, dan nanti ada debat, ini juga lapangan terbuka kan? Ya enggak, lapangan bola itu lapangan tertutup karena dikelilingi oleh tembok itu. Lapangannya terbuka, tapi di dalamnya enclav. Jadi, cara ngeyel-nya itu memang bodoh. Itu masalahnya. Jadi, si komika itu betul. Dia nangkap dengan baik suasana kepemimpinan kita atau kondisi kepemimpinan bangsa ini. Sementara ini, kan menurut saya nggak perlu terjadi, ini para suporter ada kemudian memberikan semacam ultimatum kepada pemerintah, kalau dalam 7 hari tidak ada yang bertanggung jawab mereka akan mencari sendiri. Karena mereka merasa bahwa mereka punya rekaman videonya, mereka juga melihat rekaman CCTV yang ada di situ, saksi-saksi mata mereka banyak, bahkan mereka bisa bercerita bagaimana ada satu pintu yang ditutup rapat dan itu kemudian jadi semacam kuburan massal karena orang berdesak-desakan di situ. Ya, ini suasana balas dendam itu, amarah itu masih ada pada pendukung. Bahkan, publik Indonesia marah sebetulnya. Dan keadaan ini yang bisa jadi pemicu kerusuhan yang lebih besar itu. Akan ada demonstrasi mahasiswa, demonstrasi buruh yang tertunda tapi agendanya tetap ada, lalu kemarahannya ini meledak, misalnya, karena diambil alih oleh para suporter yang memang tahu siapa-siapa pelaku itu. Walaupun mungkin si pelaku itu merasa kami cuma aparat.  Tetapi, keadaan ini kan membutuhkan outlet, membutuhkan saluran kemarahan. Jadi, jangan sampai terjadi ada penghakiman jalanan lagi itu. Ini penting kenapa kondisi ini mesti dinyatakan sebagai kedaruratan sosial atau ada istilah di dalam hukum. Tetapi, sifat kedaruratan ini nggak boleh sekadar dicarikan penyelesaiannya lewat penghukuman yang kecil-kecilan atau keterangan pers yang terlalu dangkal. Jadi, musti betul-betul secara dalam diperlihatkan dari awal persiapan itu kacau, dari awal aspek-aspek bisnis lebih ditekankan daripada aspek-aspek keselamatan. Kan ini semuanya tuh. Karena itu, kalau ada tim, tim itu betul-betul harus berjarak dengan kekuasaan, berjarak dengan para sponsor, agar betul-betul terbuka apa yang terjadi di lapangan Kanjuruhan ini. Pemburukan Kita kemarin bicara bahwa ini kenapa terjadi pemburukan di seluruh sektor. Dan kita mesti bersiap-siap gitu ya bahwa ini bukan yang terakhir apa yang terjadi ini. Kita tidak tahu dalam bentuk apa. Kalau kemarin kita lihat ekonomi yang buruk, politik memburuk, sekarang bahkan olahraga yang menjadi ini salah satu, bahkan satu satunya mungkin, hiburan untuk kelas bawah, ini juga memburuk. Kita mesti bersiap-siap bahwa akan ada pemburukan-pemburukan lain. Ya, itu saya bisa tangkap bahwa sebagian besar publik menganggap memang polisi nggak bermutu lagi. Tetapi, demikian sebaliknya, polisi merasa kami tertekan terus dengan suasana. Kami juga orang sipil yang ditugaskan untuk membawa senjata. Keadaan ekonomi buruk, psikologi prajurit kelihatan tertekan karena soal psikososial yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Jadi, nanti akan ada salah menyalahkan itu. Nah, ini bahayanya kalau akhirnya aparat kepolisian merasa jatuh mentalnya, lalu mengakui kalau begitu sudah deh, silakan kalian suka-suka. Padahal, tetap kita butuh satu institusi kepolisian yang di tengah keadaan yang berbahaya ini, tampil, tunjukkan bahwa kami tetap bersama dengan rakyat, kami tahu penderitaan itu, kami ingin perbaiki. Kalau itu enggak ada lagi maka lenyaplah yang disebut pembusukan institusi kepolisian ini. Ini hal yang mendasar dan saya kira Pak Kapolri harus bikin semacam, ya saya enggak tahu menyebut apa, tapi satu keputusan radikal untuk mengatakan bahwa saya masih akan memimpin dan saya akan memimpin itu dengan cara yang sangat cepat. Itu yang ditunggu. Kendati orang juga menganggap ya sebaiknya Kapolri sekaligus tinggalkan jabatan saja, kembalikan mandat itu pada Pak Presiden. Kalau itu terjadi juga akan ada peristiwa lainnya, yaitu persaingan para bintang ini untuk menjadi Kapolri. Padahal, masih ada kasus Sampo yang juga bagian dari kesulitan untuk menentukan pemimpin Polri selanjutnya. Jadi, betul tadi, kompleksitas ini seolah-olah dicurahkan dari langit supaya kita belajar sebagai bangsa bahwa problem kita banyak betul. Bukan sekadar deklarasi-deklarasian capres. Tapi begini ya, saya membayangkan, katakanlah Pak Kapolri sekarang ini memutuskan mundur karena banyak sekali persoalan yang dia tidak bisa tangani secara tuntas gitu. Tapi sebenarnya persoalannya, intinya itu pada internal lembaga institusi kepolisian itu sendiri. Saya teringat berkali-kali juga banyak yang menyatakan bahwa polisi kita itu memang sudah overloaded. Tugasnya banyak sekali: mengamankan sepak bola, urusan administrasi, sampai lalu-lintas. Mulai SIM, STNK, kemudian lalu-lintas, narkoba, macam-macam. Semua diurus kepolisian, sehingga akhirnya tugas pokok utama dia sebagai pelindung dan pengayom masyarakat jadi terabaikan. Belum lagi tugas-tugas politik yang juga harus dikerjakan. Iya, saya mau terangkan tadi, ada penugasan politik dan itu bikin frustrasi sebetulnya. Jadi, ambang frustrasi atau ambang kemarahan publik juga jatuh bersamaan dengan ambang frustrasi dalam lembaga kepolisian sendiri. Karena banyak juga teman-teman polisi yang agak berjarak melihat ini bagaimana ya institusi yang saya bayangkan kok jadi rapuh sekali. Jadi itu poinnya. Tapi, kalau kita mau katakan oke ini semacam penanda bahwa diperlukan reformasi total. Nah, kalau istilah reformasi total diajukan, itu betul-betul maksudnya total. Kita mungkin berpikir bahwa yaitu beban hirarki polisi itu terlalu besar. Dari Kapolri sampai ke Kapolres. Kenapa polisi nggak dikembalikan saja kepada kabupaten di bawah Bupati sehingga lebih enteng bebannya. Tapi kemudian orang akan menganggap wah itu berat betul, karena musti bongkar segala hal. Ya, memang itu konsekuensinya, mengubah sistem kepolisian itu. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa polisi itu diasuh oleh masyarakat sipil. Jadi, misalnya pengangkatan Kapolri itu nggak perlu Presiden, masyarakat sipil saja bersepakat. Kami mau si polisi ini. Jadi, bukan fasilitas politik yang menentukan seorang itu jadi Kapolri dan dilambangkan bahwa kepolisian itu di bawah presiden. Enggak, polisi itu adalah hasil transaksi masyarakat sipil untuk meminta negara mengamankan atau memberi rasa aman. Itu poinnya. Jadi, yang berkepentingan adalah masyarakat sipil, bukan masyarakat politik. Itu yang saya anggap bahwa paradigma pengasuhan polisi itu kembalikan pada masyarakat sipil. Biarkan masyarakat sipil nentuin siapa Kapolres. Kira-kira begitu gampangnya. (Ida/sws)

Pelangi Indonesia

Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, dalam agama cinta (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta itu memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang kemudian melahirkan pelangi Indonesia indah. Harmoni dalam kemajemukan adalah cetakan dasar bangsa ini. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti-asing, anti-perbedaan. Beruntung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, sudah terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua. Dalam napak tilas refleksi diri bisa kita kenali hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk negeri ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman agama telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Islam Indonesia sendiri, yang dianut sebagian besar penduduk, meski – seperti agama lainnya – tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi kuat. Walau doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam dan kehadiran ragam agama. Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Dengan demikian terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan itu dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi prakondisi kesiapan bekerjasama lintas-kultural. Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi elit politik. Mari kita jaga dengan memperluas jaring interaksi dan kesetaraan dengan semangat bersatu dan berbagi. (*)

Fenomena Anies Baswedan & Neo-Dreyfusian di Indonesia

Oleh Darlis Aziz - Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association/AYA) KOSA kata “Dreyfusiana” pertama sekali digunakan sebagai nama untuk sebuah rubrik dalam koran Pemberita Betawi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada tahun 1901-1903 (Y. Latif, 2003). Rubrik yang diasuh oleh tokoh pers Indonesia Tirto Adhi Surjo ini terinspirasi dari kasus seorang kapten beragama Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan berkhianat terhadap negaranya. Dari tuduhan itu, jabatannya dicopot, dan Alfred Dreyfus pun mendapat hukuman penjara seumur hidup dari hasil keputusan sidang Pengadilan Militer di Prancis, kemudian dia dibuang ke Guyana.  Kasus Dreyfus menyita perhatian publik Prancis. Dalam suasana kebencian, publik Prancis meneriaki bahwa Alfred Dreyfus sebagai pengkhianat. Kasus Dreyfus itu menjadi pemantik munculnya kembali rasialisme terhadap Yahudi laksana api dalam sekam, sejarah Eropa pun, khususnya Eropa Barat memuncaklah pelenyapan atas kaum Yahudi, terlebih-lebih oleh Hitler yang memusnahkan jutaan kaum Yahudi di Jerman dan luar Jerman. Tak lama kemudian, ternyata, apa yang disebutkan sebagai pengkhianatan itu adalah tidak benar, semuanya palsu belaka, rekayasa dan merupakan hasil penipuan. Akan tetapi, Dreyfus sudah terlanjur diputuskan bersalah sehingga propaganda anti-Yahudi muncul begitu kuat di Prancis. Poster-poster Dreyfus bertebaran dan tertempel di dinding-dinding kota,  dituduh pengkhianat Prancis dengan sebutan “Yudas Yahudi”. Namun, di publik Prancis itu sendiri , ternyata tidak semua orang membenci dan menuduh Dreyfus sebagai pengkhianat. Ada kelompok atau perseorangan yang membongkar bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Dreyfus itu palsu. Sebagai protes atas keputusan Mahkamah Pengadilan Militer Prancis yang sewenang-wenang, muncullah seorang novelis terkenal yang membela Dreyfus, dia bernama Emile Zola. Dalam protesnya, Emila Zola menuliskan sebuah surat terbuka yang berjudul “J’accuse” (aku mendakwa), surat itu tertulis di halaman depat surat kabar bernama L’Aurore yang diterbitkan di Paris. Zola menuduh para anggota dinas militer ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti-bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tersebut. Dari protesnya itu, Emile Zola ditahan dan diadili dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik ketentaraan (militer) Prancis. Peristiwa Dreyfus itu begitu mengguncang Prancis, sehingga pemerintah yang bertanggungjawab waktu itu jatuh pada pemilihan umum 1899 dan diganti atau dimenangkan oleh pemerintahan yang progresif kemudian membebaskan Alfred Dreyfus dari penjara seumur hidup. Surat terbuka Emile Zola tadi menghasilkan kenangan dan kemudian dikenal sebagai Manifeste des intellectuels (Manifesto Para Intelektual). Surat itu juga membuat perpecahan di kalangan Pengarang Prancis menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Dreyfusard/dreyfussian (yang membela Alfred Dreyfus) dan kubu kedua adalah Anti-Dreyfusard (yang anti terhadap Alfred Dreyfus). Dari polarisasi di atas, muncullah istilah intelektual. Pada awalnya, istilah itu merupakan cemoohan yang mengandung konotasi negatif. Kubu Anti-Dreyfusard, memakai istilah intelektual untuk menunjukkan kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard. Namun, efek tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu dari kubu anti-Dreyfus, kaum Dreyfusard semakin memperteguh kelompoknya. Bahkan, akibat sikap antipati dari kaum anti Dreyfusard, memberikan kesadaran kepada mereka (Dreyfusard) sebuha nama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejak saat itu, kata intelektual bukan hanya isitlah yang populer, melainkan mengandung makna baik, juga suatu model baru bentuk keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga peran baru untuk diaktualisasikan (Eyermean, 1994: 24-53). Melihat peristiwa tersebut dari kacamata fenomena Anies Rasyid Baswedan (ARB) hari ini seakan mendapatkan kesamaan dimana residu dari polarisasi tajam dari pemilu 2019 lalu masih terasa dan seakan menemukan titik kulminasinya; meskipun mau tidak mau satu pihak yang diklaim merupakan representasi ‘kelompok kanan’ belum tentu ‘benar-benar kanan’, demikian juga yang mengklaim juga belum tentu mau diklaim sebagai ‘kelompok kiri’, yang sudah pasti adalah semuanya ingin menjadi kelompok yang dianggap paling tengah (pancasialis). Isu Politik Identitas Residu peristiwa 212 dan Pilpres 2019 telah menciptakan identitas politik baru yang berbeda dari sebelumnya kosa kata “politik identitas” menjadi populer dan sering diulang-ulang dalam wacana politik sehari-hari dalam ruang publik di tanah air. Kata ‘kadrun’ dan ‘kampret’ misalnya menjadi representasi utama untuk pendukung 2 capres yang bertarung pada 2019 lalu. Politik identitas, Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politik identitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalam pencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasan sosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiran politik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31).  Sasaran utama dari politik identitas pada awalnya adalah positif dalam rangka merespons hak dan representasi politik terutama kaum minoritas dan terpinggirkan. Namun semakin ke sini pengejewantahannya justru semakin tidak substantif bahkan cenderung kepada arena pertunjukan simbolik dan gagah-gagahan semata. Bahkan yang lebih parah adalah pihak mayoritas yang seharusnya berada pada posisi yang ‘menang’ justru menjadi bulan-bulanan dan berada di pihak yang ‘dipaksa harus kalah’ atau secara gamblang sebagai mayoritas yang bermental minoritas. Politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini: Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1) Kalau kita kembali ke kasus Dreyfus di atas, ada satu poin yang sama yang bisa kita tarik sebagai kesamaan antara kasus Dreyfusard (pendukung Dreyfus) dan Anisers (untuk pendukung Anies Baswedan), para penyokong Dreyfus yang yakin Dreyfus tidak bersalah dikarenakan tidak adanya alat bukti yang meyakinkan bahwa Kapten Dreyfus bersalah namun ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Namun efek massa yang lahir dari pembelahan antara ‘Dreyfussard’ dan ‘anti-Dreyfussard’ itu telah melahirkan sebuah kosa kata baru yaitu “intelektual” dan “non-intelektual”. Pelabelan dengan kosakata “intelektual” kepada para pendukung dreyfus ini pada awalnya adalah berkonotasi negatif, namun seiring jalan para ‘intelektualis’ pendukung Dreyfus ini semakin meng-gelombang dan menciptakan dentuman Tsunami politik di Prancis di awal abad-19 itu. Prancis dimenangkan oleh oposisi progressif yang didukung oleh para pengikut ‘intektualis’nya Dreyfus dan berhasil menggulingkan kekuasaan yang ‘zalim’ pada waktu itu karena ke semena-menaan melakukan kriminalisasi terhadap sang Dreyfus yang berpangkat Kapten itu.  Fenomena ARB akhir-akhir ini memiliki kesamaan (untuk tidak mengatakan mirip) dengan kondisi itu. Berbagai peristiwa mulai dari 212, Pilpres 2019, dan peristiwa kriminalisasi juga diikuti oleh kesemenaan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini telah menciptakan satu gelombang frekuensi yang sama di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan pasca Jokowi. Dan frekuensi itu bertemu dalam sosok ARB. ARB telah menjadi representasi baru masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan. Upaya berbagai pihak untuk menjegal Anies (termasuk KPK) misalnya telah membangunkan raksasa tidur akal sehat ala “dreyfussard” setidaknya bisa kita lihat dari ‘Turun Gunung’-nya SBY, Obrolan rakyat maya (media sosial) dan juga terakhir Deklarasi Nasdem yang mempercepat pengumuman Capres 2024, kemarin. Nah, tinggal kita saksikan apakah fenomena Anies ini berhasil mengulangi kesuksesan Dreyfus atau tidak? (*)

Wah, Beneran: Jokowi dan Polisi Dikulitin, Nih!

Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Oleh: Made Supriatma, Peneliti Tamu di Institut ISEAS–Yusof Ishak, Singapura PADA Juli 2016, Presiden Joko Widodo mengangkat Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri. Dengan menunjuk Tito Karnavian yang relatif muda, Jokowi mewariskan beberapa generasi pejabat senior kepolisian yang sudah memiliki hubungan baik dengan elit politik Jakarta. Karnavian terbukti menjadi sekutu presiden yang andal, mengawasi kasus-kasus penting terhadap kritikus pemerintah seperti Robertus Robet, seorang aktivis hak asasi manusia yang menyanyikan lagu yang mencerca militer dalam sebuah demonstrasi, dan Dandhy Laksono, seorang pembuat film dokumenter pembangkang. Bantuan polisi terlihat dalam kasus Muhammad Rizieq Shihab, seorang ulama dan kritikus vokal Jokowi. Rizieq adalah orang di balik demonstrasi 2016 yang bertujuan menggulingkan mantan Gubernur Jakarta Basuki \'Ahok\' Tjahaja Purnama dengan alasan bahwa ia telah menista agama Islam. Habib Rizieq akhirnya didakwa berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang membawanya ke pengasingan diri di Arab Saudi. Penggunaan UU yang meragukan ini secara ekstensif telah memicu klaim bahwa pemerintahan Jokowi telah beralih ke otoritarianisme. Dukungan polisi juga terlihat selama pencalonan kembali Jokowi pada 2019. Meskipun polisi tidak secara terbuka berkampanye untuk Jokowi, dukungan mereka adalah bagian dari keberhasilan pemilihannya di daerah. Politisi di Sumatera Selatan secara terbuka mengakui kepada saya bahwa polisi membantu menstabilkan harga karet yang jatuh, dengan beberapa pengusaha di Lampung mengingat bahwa mereka diminta oleh petugas polisi untuk mendanai kelompok sukarelawan pro-Jokowi. Jokowi telah memberikan konsesi politik kepada polisi dalam masa jabatan keduanya, seringkali mengesampingkan tentara dalam prosesnya. Elit polisi diangkat ke beberapa posisi penting dan strategis yang sebelumnya dipegang oleh jenderal militer dan biasanya dianggap sebagai domain tentara. LSM HAM Kontras mencatat, sebanyak 30 pensiunan atau jenderal polisi aktif memegang posisi strategis di pemerintahan Jokowi, termasuk di kementerian, lembaga pemerintah, dan duta besar. Ombudsman Indonesia juga melaporkan bahwa 25 petugas polisi duduk di dewan perusahaan milik negara dan anak perusahaannya. Pensiunan atau perwira polisi yang menjabat kini memimpin Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Urusan Logistik (BULOG), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yang paling kontroversial, mantan Komisaris Jenderal polisi Firli Bahuri adalah ketua KPK saat ini, yang telah lama menjadi duri di pihak kepolisian, mendakwa beberapa jenderal polisi. Kepolisian juga diuntungkan dengan peningkatan anggaran dan penambahan personel. Belanja negara untuk kepolisian mencapai Rp 107 triliun (US$ 7 miliar) pada 2020, naik dari Rp 94,3 triliun (US$ 6,3 miliar) pada tahun sebelumnya. Pada 2020, jumlah personel polisi meningkat 27.012 atau naik 5,7 persen dari 2018. Peningkatannya signifikan: dari 2016-2018 polisi hanya menambah 1.898 personel. Saat ini, polisi sekarang kira-kira berukuran sama dengan tentara. Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa polisi semakin berperan ganda, baik sebagai aparat keamanan maupun sebagai instrumen politik. (*)

Setelah Anies Capres Partai NASDEM

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEDIKIT kejutan dari Partai Nasdem dengan mempercepat pengumuman Capres yang diusung oleh partainya. Dari tiga nama yang dinominasikan yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo, akhirnya ditetapkan Anies Baswedan Gubernur DKI sebagai Capres yang didukungnya. \"Why not the best\" kata Surya Paloh memberi alasan.  Banyak warga masyarakat yang menyambut gembira pengumuman tersebut. Tidak bisa disangkal pengelompokan pendukung Anies Baswedan cukup banyak, jika tidak disebut terbanyak, dibandingkan relawan Puan, Ganjar atau Prabowo. Apalagi Erik Thohir dan Cak Imin. Memang Anies secara obyektif dibanding calon di atas nampaknya lebih mumpuni baik dari kapasitas kecendekiawanan, relijiusitas, pengalaman birokrasi, maupun catatan prestasi kerja sebagai Kepala Daerah.  Menurut Surya Paloh pengumuman lebih cepat ini tidak berkaitan dengan pemberitaan soal kejar-kejaran antara pencapresan Anies dengan agenda penyingkiran Anies lewat kerja KPK. Koran Tempo memberitakan nafsu Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk segera mentersangkakan Anies Baswedan dalam kasus Formula E. Satgas Penyelidikan KPK sendiri tidak menemukan bukti yang cukup.  Skenario pasca pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, antara lain : Pertama, Partai politik yang sudah diketahui masyarakat mendukung Anies Baswedan, yaitu PKS dan Partai Demokrat segera menyusul untuk mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Koalisi tiga Partai sudah cukup memenuhi syarat bagi Anies Baswedan untuk menjadi Calon Presiden pada Pemilu 2024. Kedua, \"King Maker\" Jusuf Kalla tentu juga akan berupaya mengkonsolidasikan dukungan KIB untuk Anies Baswedan. Dan jika berhasil, maka Anies akan mendapat dukungan Partai dengan koalisi besar. Di samping Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, juga Partai Golkar, PAN dan PPP. Dengan gemuruh rakyat yang ingin perubahan, kemenangan Anies menjadi di depan mata.  Ketiga, bahaya Anies bagi oligarki akan menyebabkan skenario nekad Istana yaitu dengan memaksakan KPK untuk menetapkan status tersangka. Meski berisiko menguatnya api \"people power\" namun otoritas berharap disain curang menghadapi Pemilu 2024 dapat dijalankan. Dua pasang Capres/Cawapres sebagai kepanjangan tangan oligarki dirancang untuk bertarung.  Keempat, keputus-asaan Istana dalam menghadapi tidak terbendungnya arus dukungan kepada Anies Baswedan menyebabkan Jokowi melakukan politik bumi hangus. Ini ia lakukan dengan pengkondisian chaostik yang tidak memungkinkan Pemilu dilakukan 2024. Lalu perpanjangan masa jabatan Presiden hingga 2027. Kelima, keputus-asaan pula yang memungkinkan opsi Jokowi mundur pada tahun 2023. Triumvirat akan menjabat selama sebulan. MPR akan memilih pasangan sesuai aturan Konstitusi hingga 2024. Pasangan Prabowo-Puan terbuka untuk berkompetisi ke depan dalam kedudukan sebagai status quo. Oligarki memiliki mainan baru.  Namanya juga skenario, semua serba mungkin. Hanya saja skenario kejutan adalah Jokowi yang dipaksa mundur oleh gerakan people power. Maka akan ada perubahan yang mungkin tidak dapat dijalankan penuh ketentuan Konstitusi semisal kedudukan triumvirat. Ini akibat dari Presiden dan kabinetnya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat.  Pada skenario ini selain Anies Baswedan dapat pula muncul tokoh-tokoh seperti LaNyalla Mattalitti, Rizal Ramli, atau Gatot Nurmantyo.  Pengumuman Anies Baswedan oleh Partai Nasdem adalah bagian dari suatu kecerdasan politik yang memiliki spektrum luas.  Tapi yang jelas Pemerintahan Jokowi memang  tidak menunjukkan adanya semangat untuk mengakhiri jabatan dengan baik. Orientasinya pada \"perpanjangan\" kekuasaan.  Indonesia sedang mengalami masa kegelapan (dark time). Era Pemerintahan Jokowi adalah era cerita tentang duka cita. Fenomena Anies menjadi secercah harapan untuk perubahan. Dimulai dari penetapan Capres oleh Partai Nasdem pada tanggal 3 Oktober 2022. Bandung, 5 Oktober 2022

Masuk Sekolah Rakyat Sistem Colek Kuping

Oleh Ridwan Saidi Budayawan SAYA masuk Sekolah Rakyat, kini SD, di jaman Jakarta daerah pendudukan dengan batas-batas yang tak jelas. Tak dapat diketahui dengan mudah bagi rakyat mana daerah Republik dan mana zona Belanda. Orang tua saya tak tahu bahwa SR Taman Sari II, dimana saya disekolahkan, itu di bawah administrasi Belanda. Masuk SR gampang sekali. Cek umur dengan merujuk pada pengakuan orang tua murid saja. Hampir tak ada yang anaknya punya akta lahir. Saya punya surat keterangan lahir diketik dengan tanda tangan Komicho, kepala kampung. Setelah klarifikasi umur, calon murid disuruh pelintangkan tangannya ke atas kepala. Kalau jari tangan kanan bisa colek kuping kiri, artinya bisa masuk sekolah tanpa bayar apa pun. Di dinding ruang kelas menggantung potret wanira Belanda bermahkota. Kemudian saya tahu itu Ratu Juliana. 17 Agustus sekolah diliburkan. Tak ada perayaan kemerdekaan. Malah  ketika saya naik kelas II tahun 1949 sekolah merayakan jaarig (HUT) Ratu Juliana. Kami dikasih permen, coklat, biskuit, dan bendera merah putih biru Belanda. Lalu kami dibolehkan pulang. Di jalan orang-orang  ramai berteriak menyuruh kami buang itu bendera Belanda. Kami pun buang itu bendera. Tahun1950 ada yang terasa aneh di sekolah kami SR Taman Sari II. Guru-guru lama tak tampak sama sekali. Yang tersisa cuma Pak Sipan, penjaga sekolah dan keluarganya yang bertinggal di kompleks sekolah. Lalu banyak murid baru, katanya pindahan dari daerah. Mereka yang masuk kelas III usianya sudah 12 tahun. Kalau itu anak perempuan sudah berbody gadis. Kalau anak lelaki suaranya sudah pecah, tampaknya sudah balegh. Dalam istilah Betawi \"sudah ngarti perempuan\". Di dinding ruang kelas menggantung potret Bung Karno dan Bung Hatta. Wajah guru-guru pun baru semua.  Guru baru kami namanya Pak Sumarso. Sebagai perkenalan dia mengajarkan kami menyanyi lagu Di Timur Matahari: Di timur matahari Mulai bercahya Bangun dan berdiri Kawan semua Marilah menyusun Barisan kita Untuk Indonesia Yang sejahtera. (RSaidi)

Rekonstruksi Kanjuruhan: Suruh 40 Ribu Polisi Duduk Di Stadion, Tembakkan Gas Air Mata

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN PUBLIK menuntut agar penanggung jawab keamanan di stadion Kanjuruhan dihukum sesuai kesalahan mereka. Korban jiwa 125 orang (versi penguasa) atau 300 orang (versi lain) dalam pertadingan sepakbola antara Arema Malang lawan Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022, tidak boleh berlalu begitu saja.  Pimpinan Polri hanya mencopot Kapolres Malang. Ini jelas tidak cukup. Selain tak cukup, tindakan mencopot untuk menjawab kemarahan publik sangat jauh dari substansi persoalan yang ada di Polri. Kepolisian kita memang sedang menghadapi masalah besar. Selain bermentalitas Sambo, alias mentalitas mafia, jajaran Polri juga memperlihatkan masalah fundamental dalam tugas pengamanan massa. Yang paling mengejutkan adalah penghargaan mereka pada nyawa manusia. Banyak orang yang menilai polisi kita enteng saja menghilangkan nyawa orang. Atau menjadi katalisator hilangnya nyawa banyak orang. Mereka juga sering sadis. Sebagai contoh, satuan Brimob tega mengeroyok orang yang sudah terpojok dan lunglai dengan cara yang sangat kejam. Termasuk menendang keras, memukul dengan pentungan berkali-kali, menginjak-injak, dsb, yang dilakukan beramai-ramai. Yang tak kalah besar persoalan di Kepolisian adalah pelatihan dalam menggunakan senjata penangkal kerusuhan. Termasuklah penggunaan gas air mata. Tragedi stadion Kanjuruhan menunjukkan itu. Polisi kelihatan tidak paham bahwa gas air mata bisa membuat orang mengalami disorientasi dan tersungkur atau terjerembab. Di dalam stadion, terjerambab berarti akan terinjak-injak. Bayangkan pula begitu banyak yang menonton bersama keluarga, termasuk anak-anak dan balita. Mereka ini pastilah sangat rentan bila terjebak dalam semprotan gas air mata. Dalam peristiwa Kanjuruhan, 33 anak-anak melayang. Penyebab kematian mereka ini hampir pasti terkait langsung atau tak langsung dengan gas air mata yang ditembakkan polisi ke arah semua tribun yang penuh dengan penonton. Apakah polisi tidak tahu bahwa banyak anak-anak yang berada di stadion? Apakah mereka tidak memahami bahwa orang tidak bisa bergerak cepat di gang-gang tempat duduk stadion? Tidakkah mereka memikirkan bahwa penyemprotan gas air mata ke arah tribun pasti akan menimbulkan korban? Sulit dimengerti. Tampaknya perlu ada edukasi agar polisi bisa paham. Agar mereka tahu konsekuensi fatal yang disebabkan gas air mata. Untuk mencapai pemahmanan tentang bahaya gas air mata, edukasi itu harus dilaksanakan dengan praktik langsung. Setelah praktik lapangan, dijamin polisi bisa mengerti. Praktik lapangan itu mudah saja. Kerahkan 40,000 polisi dan keluarga, termasuk anak-anak mereka, masuk ke stadion Kanjuruhan. Jangan ada yang pakai masker. Setelah semua tribun penuh, dimulailah acara inti edukasi penggunaan gas air mata. Tembakkan ga air mata sebanyak yang digunakan ketika terjadi kericuhan di Kanjuruhan. Tembakkan terus sampai awan gas di dalam stadion itu menumpuk tebal seperti kejadian fatal 1 Oktober. Tutup semua pintu stadion. Mungkin edukasi berupa praktik langsung seperti ini yang bisa mengoreksi pikiran Polisi tentang gas air mata. Tanpa merasakan sendiri akibat yang ditimbulkan gas berbahaya itu, kelihatannya polisi kita akan selalu enteng melepas gas itu untuk melindungi mereka sekaligus melumpuhkan orang lain. Praktik “rasakan sendiri” ini bagus juga dijadikan modul rekonstruksi kasus Kanjuruhan. Tim investigasi kabarnya akan dipimpin oleh Irjen Mochamad Iriawan alais Iwan Bule. Agar bisa membuat kesimpulan yang lurus, Iwan Bule sebaiknya juga duduk di stadion tanpa alat pelindung ketika rekonstruksi penembakan gas air mata dilakukan.[]

Gde Siriana: Capreskan Anies, Insting Politik Nasdem Kuat dan Tepat

Jakarta, FNN - Partai NasDem resmi mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bakal capres di Pemilu 2024. Langkah dan insting politik NasDem tersebut dinilai kuat dan akurat  Penilaian ini disampaikan oleh Gde Siriana Yusuf, analis politik dan pemerintahan yang juga Direktur Eksekutif INFUS (Indonesia Future Studies). \"Saya melihat langkah Nasdem ini sangat cerdas. Ada  beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa Nasdem lebih cepat dari parpol lain dalam umumkan Capres.  Pertama, Nasdem ingin dianggap sebagai Parpol yang lebih siap hadapi Pemilu dan Pilpres 2024 dengan menjadi inisiator dan leader dalam Gerbong Capres Anies nantinya. Artinya investasi politik Nasdem ingin dianggap lebih besar dari parpol lain yang nantinya ikut usung Anies. Nasdem juga tidak ingin dianggap seperti Parpol- parpol tengah dan kecil lainnya yang hanya jadi follower parpol besar, dan menentukan sikap di menit-menit akhir karena proses deal yang alot. Kedua, Anies adalah investasi politik Nasdem, karena itu Nasdem berupaya menyelamatkan investasi politiknya dengan cepat-cepat mengumumkan pencalonan Anies di tengah isu KPK yang dibicarakan publik akan mentersangkakan Anies. Ini bisa dianggap sebagai back up politik yang sinergi dengan langkah Anies  bergabung dengan Ormas Pemuda Pancasila. Ketiga, jika nantinya Anies jadi tersangka KPK atau tidak maju sebagai Capres dengan alasan apapun, Nasdem sudah jadi \"pahlawan\" di kantong-kantong pendukung Anies yang saat ini lebih banyak sebagai oposisi. Ini akan naikkan elektabilitas partai Nasdem. Pendukung Anies yang kecewa sangat mungkin memilih Nasdem nantinya , meskipun saat ini Nasdem ada di kubu pemerintah. Bisa dikatakan ini langkah jitu untuk menghadapi politik identitas di Pemilu 2024. Tapi ini juga tergantung siapa Capres yang secara resmi direkomendasikan Nasdem pada akhirnya. (sws)