ALL CATEGORY

Rocky Gerung Sebut Kasus ‘Jin Buang Anak’ Adalah Hinaan Terhadap Profesi Jurnalis

Jakarta, FNN - Rocky Gerung hadir sebagai saksi ahli filosofi kebijakan publik dalam sidang ‘Jin Buang Anak’ Edy Mulyadi, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/8/22). Rocky Gerung tampak membela kasus yang menimpa Edy Mulyadi. Secara tegas, ia menyebut kasus tersebut merupakan hinaan terhadap profesi jurnalis. “Ini yang mesti kita sebut bahwa kasus ini sampai ke pengadilan berarti ini merupakan hinaan terhadap profesi jurnalis,” kata Rocky Gerung kepada awak media setelah persidangan selesai. Rocky menyebut  ‘Jin Buang Anak’ adalah  kalimat metafor, yang mana hakikatnya sebagai alat untuk menegakan komunikasi dan mengakrabkan percakapan. “Kalimat metafor banyak juga di daerah-daerah yang tujuannya untuk memperindah bahasa. Di Betawi orang mengatakan ‘Jin Buang Anak’ tentu tidak ada yang tersinggung, mereka ketawa. Namun orang Kalimantan merasa tersinggung, tetapi kalau udah diterangkan pasti mereka ngakak,” ujar Rocky. Lebih lanjut, Rocky mengatakan bahwa sesungguhnya metafor ‘Jin Buang Anak’ itu tidak disalah artikan dengan masyarakat Kalimantan, namun di provokasikan agar terlihat salah artinya. “Jadi yang awalnya hakikat metafor itu untuk mengakrabkan percakapan, justru menjadi membelah percapakan akibat provokasi tersebut,” lanjutnya. Bahkan, Rocky Gerung membandingkan metafor yang diucapkan Edy Mulyadi dengan Pak KH. Agus Salim yang dimetaforkan sebagai ‘mbe, mbe’ (suara kambing) oleh seorang audiens karena jenggotnya. Lalu KH. Agus Salim membalas dengan menyampaikan sebuah metafor kembali kepada audiens, bahwa dia hanya mengundang manusia saja bukan kambing. Yang kemudian membuat audiens tersebut mundur secara perlahan. “Bandingkan dengan apabila KH. Agus Salim berkata secara langsung untuk mengusir orang tersebut pasti akan terjadi keonaran,” tuturnya. Maka dari itu Rocky menegaskan bahwa metafor dalam kasus ini tidak layak untuk masuk ke dalam persidangan seperti ini. “Ngapain metafor dibawa ke pengadilan, nanti semua orang masuk ke pengadilan hanya karena bikin metafor,” pungkasnya. Sebagai informasi, Edy Mulyadi dianggap telah melecehkan masyarakat Kalimantan mengenai pernyataan \'Jin Buang Anak\' yang dimaksudkan untuk mengkritisi kebijakan pemindahan ibu kota negara (IKN) oleh Presiden Jokowi. Atas perbuatannya, polisi menjerat Edy Mulyadi dengan Pasal 45 A Ayat 2, jo Pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Lalu, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 Jo pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 156 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara. (Lia)

Kasus Jin Buang Anak, Matinya Pers dalam Penggunaan Metafora

Jakarta, FNN - Terdakwa Edy Mulyadi (EM) kembali menjalani persidangan pada Selasa, 23 Agustus 2022 yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kali ini EM dan penasihat hukum mendatangkan dua saksi ahli dalam persidangan. Rocky Gerung dihadirkan sebagai saksi ahli untuk kebijakan publik, serta Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai saksi ahli linguistik forensik. Persidangan dimulai dengan Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai ahli linguistik forensik. Prof. Dr. Aceng membuka dengan menjelaskan pengertian Linguistik Forensik. Bahwa linguistik forensik ini adalah salah satu cabang ilmu yang merupakan turunan dari ilmu-ilmu humaniora dan juga linguistik yang dapat menganalisis berbagai fenomena penggunaan bahasa yang berdampak hukum. \"Objek kajian linguistik forensik itu, adalah proses hukum itu sendiri seperti yang sedang berlangsung sekarang itu bisa dianalisis sejauh mana penggunaan bahasanya bisa berdampak hukum. Atau produk hukum, undang-undang, peraturan, tata tertib itu bisa dianalisis di tingkat penggunaan bahasanya sejauh mana menuju ke sebuah tindakan-tindakan yang bisa merujuk sebagai tindakan yang berdampak hukum. Yang terakhir adalah bukti hukum itu sendiri, yang merupakan sebuah tindakan yang diduga itu berdampak hukum,\"  ujarnya. Prof. Dr. Aceng juga menambahkan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam kajian analisis linguistik forensik. Pertama adalah bahasa itu sendiri, baik lisan maupun teks, kedua penutur, ketiga ditujukan untuk siapa tuturan tersebut, dan keempat kapan dan di mana, serta untuk apa konteks tuturan tersebut. Saudara EM melakukan pekerjaannya yaitu sebagai wartawan. Saksi ahli Lingusituk Forensik ini memberikan keterangan dengan profesi terdakwa dan menjelaskan bahwa wartawan bertugas dalam dua hal, yakni memproduksi berita dan menyajikan opini yang bisa berupa saran, kritik, himbauan dan ada yang berdampak hukum dan ada juga yang tidak. Dalam keterkaitan profesi terdakwa EM dengan kasusnya, Prof. Dr. Aceng berbicara tentang batasan kritik yang tidak masuk ke dalam penghinaan, pencemaran nama baik maka baru dapat berdampak hukum. \"Ketika masuk ke dalam wilayah penghinaan, pencemaran nama baik, itu berdampak hukum. Tapi ketika sebatas kritik, itu merupakan hak yang dijamin oleh undang-undang ya. Dan untuk memperkarakannya bukan tempatnya di sini (pengadilan negeri) ya, itu di dewan pers karena tuturan itu melekat kepada pekerjaan seperti itu,\" ucap Prof. Dr. Aceng \"Yang harus diverifikasi sejauh mana tuturan yang diujarkan berbanding lurus dengan objek yang dirujuknya. Jadi kebenaran materil dari tuturan itu harus diperiksa dulu, sebelum diperkarakan kasus tuturannya itu sendiri. Kalau itu tuturannya benar kualitatif, memenuhi syarat-syarat jurnalistik tidak ada masalah secara hukum, itu sebuah kebenaran. Tapi ketika ada kebohongan di dalamnya, tidak berbanding lurus dengan peristiwa kejadian yang sesungguhnya yang berkaitan dengan IKN, itu adalah kebohongan,\" tambahnya. Prof. Dr. Aceng melihat dari prosedur pekerjaan jurnalistik, pihak yang dirugikan harus menunjukkan kerugian materialnya dari tuturan tersebut. Apabila mengacu ke undang-undang UU ITE dengan tambahan kesepakatan antara Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Menkominfo disebutkan bahwa perilaku tuturan yang diduga mengandung SARA, penghinaan, pencemaran nama baik, harus menunjukkan bukti material dari pihak yang melaporkan. Tak hanya itu, saksi ahli bahasa berbadan hukum tersebut juga heran dengan fungsi dan peran dewan pers. Karena suatu profesi wartawan dapat dilihat kredibilitas melalui kode etik. Jika ada pelanggaran dapat dilakukan sidang kode etik terlebih dahulu. Berawal dari kritiknya di kanal YouTube tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hingga celetukan kata \"Jin Buang Anak\", Edy Mulyadi ditetapkan sebagai terdakwa kasus ujaran kebencian berdasarkan SARA, serta penyebaran berita bohong atau hoaks pada tanggal 31 Januari 2022. (Fik & Ind)

PKS Tolak Rencana Kenaikan BBM

Jakarta, FNN --- Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, tegas menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah. Hal itu disampaikannya saat melakukan interupsi pada Rapat Paripurna DPR RI ke-2 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2033, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2022). “Kami ingin menyampaikan sikap PKS, bahwa PKS menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa? Karena masyarakat belum pulih benar dan belum cukup kuat bangkit dari terpaan pandemi covid-19”, ungkap Mulyanto. Menurutnya, inflasi yang mendera masyarakat saat ini sudah tinggi. Hal itu berpotensi makin parah apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan. “Masyarakat hari ini menderita inflasi sebesar 4,94 persen. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015, artinya tujuh tahun yang lalu. Bahkan, untuk kelompok makanan, inflasi hari ini adalah sebesar 11 persen. Gubernur Bank Indonesia bilang, seharusnya yang tertinggi hanya 5-6 persen. Tapi sekarang, 11 persen. Itu kondisi saat belum ada kenaikan BBM bersubsidi. Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat”, ujarnya lagi. Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Inbang ini pun menyoroti bahwa harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. “Padahal, sejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari USD 140 per barrel menjadi hari ini sebesar USD 90 per barrel. Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna”, tegasnya. Mengakhiri interupsinya, Mulyanto meminta Pemerintah untuk menghemat anggaran dengan menghentikan pembangunan proyek yang dinilainya tak perlu, seperti IKN baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung. (TG)

Merasakan Kekuasaan dan Keadilan Tuhan

Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI TRAGEDI di tubuh Polri, betapapun mengerikan harus dilihat sebagai sebuah pelajaran dari banyak peristiwa memilukan yang terjadi di negeri ini. Tentang semua pikiran, ucapan, dan tindakan terkait kepentingan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Masih banyak Ferdy Sambo lain dan kroninya berkeliaran di pelbagai insitusi negara. Betapun lihainya rekayasa kejahatan dan kedzoliman rezim ini, pada akhirnya akan tunduk berhadapan dengan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Indonesia sekarang seakan-akan telah dikuasai oleh kekuatan gelap, angkara murka begitu digdaya menampilkan kesombongannya. Rakyat terus-menerus menjadi korban dari praktek-praktek distorsi penyelenggaraan negara oleh sekelompok orang yang berlindung di balik harta dan jabatannya. Kejahatan yang terorganisir, terstruktur dan masif kini berwajah formal dan konstitusional. Sistem ketatanegaraan telah menjadi wadah sekaligus sarana berhimpunnya sekumpulan penghianat bangsa yang membunuh Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Gonjang-ganjing dalam institusi Polri merupakan salah satu contoh gejala berulang, pada kondisi akut dari penyakit komplikasi dan kronis yang menggerogoti bangsa ini sejak lama secara keseluruhan. Negeri ini hanya mampu menuangkan cita-cita mulia kemerdekaan pada secarik kertas sebagaimana tertuang dapam pembukaan UUD I945. Tak berkelanjutan dalam pikiran, ucapan dan tindakan nyata yang membawa kehidupan rakyat pada kemakmuran dan keadilan, tak berujung pada negara kesejahteraan. Di dalam tangan para pemangku kepentingan publik yang rentan hipokrit dan psikopat, NKRI deras menuju jurang kehancuran. Sementara Pancasila hanya bisa diwujudkan dalam bentuk nafsu syetan memburu materi dan kenikmatan kehidupan duniawi. Rakyat terus tak berdaya dalam semua perjalanan sejarah republik. Hidup dalam kebodohan dan kemiskinan, melewati batas waktu dan zaman. Menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, dari generasi ke generasi harus hidup sengsara dan menderita mulai dari masa kolonialisme dan imperialisme lama hingga ke-77 tahun usia kemerdekaannya. Penindasan dan kesewenang-wenangan, kini semakin marak dan menjadi pemandangan yang lumrah, meski hidup bebas dari alam penjajahan. Watak dan tabiat kompeni, rupanya masih hidup dan bertumbuh-kembang dalam wajah-wajah asing dan aseng serta segelintir pribumi. Sudah semakin sulit dibedakan penjajahahan dari bangsa asing atau oleh bangsa sendiri, karena mereka menyatu dan dalam penampakan serupa tapi tak sama. Melampaui Batas Ketika pejabat dan para pemimpin mulai keluar dari trek hakekat bernegara dan berbangsa. Saat proses penyelenggaraan pemerintahan semakin menjauh dari moralitas dan spiritualitas. Maka rakyat Indonesia yang berbasis religi dan telah bersepakat menjunjung demokrasi dalam habitat kemajemukan dan kebhinnekaannya, perlahan tapi pasti terpaksa mengalami kemunduran peradaban. Aparat dan elit politik menjadi pembunuh dan perampok, sebagian rakyatnya juga menjadi maling-maling kecil. Kebohongan, korupsi, tindakan kekerasan, perampasan, pemerkosaan, LGBT dan pelbagai penyimpangan menjadi serba permisif terutama di kalangan penyelenggara negara. Sungguh ironis dan begitu miris, perbuatan-perbuatan tercela dan sarat kebiadaban itu justru lebih banyak dilakukan oleh para pemimpin yang seharusnya memberi contoh dan keteladanan bagi rakyatnya. Kembali kepada prahara yang terjadi dalam institusi Polri, sudah selayaknya bangsa ini dapat melakukan refleksi dan evaluasi total. Bahwa kehancuran sistem dan kerusakan serta kebobrokan mental birokrasi pemerintahan telah melampaui batas. Bukan hanya sebatas Polri, hampir pada setiap institusi negara mengalami fenomena yang sama. Sektor legislatif dan yudikatif, kemudian juga sektor eksekutif dari mulai presiden hingga kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisi tetap dan komisi adhock seperti KPU, Komnas HAM, KPK dlsb., juga mengalami disfungsi dan distorsi kebijakan. Kalau tidak penyelewengan keuangan, para pembuat dan eksekutor kebijakan itu kerapkali melakukan manipulasi dan kamuflase terhadap undang-undang, peraturan dan keputusan yang memarjinalkan kepentingan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya intens menghirup udara kapitalisme global, liberalisasi, dan sekulerisasi juga sudah masuk ke tulang sumsum bangsa ini, menjiwai pola dan gaya hidup terlebih pada para wakil dan pelayan rakyat yang hedon dan menjadi lumben proletar. Uang, jabatan dan populeritas telah menjadi tujuan hidup sebagian besar penghuni bumi nusantara ini. Sikap materialistik yang dianggap mampu menopang status sosial, perlahan menjadi keyakinan dan agama baru. Kemewahan dan gaya hidup yang telah dimanjakan oleh fasilitas berlimpah, membuat banyak pejabat larut dalam kenikmatan semu dan sesaat. Keuangan yang maha kuasa, berhasil menggusur dan melumpuhkan sila pertama Pancasila, untuk selanjutnya mengubur utuh lebih dalam dasar negara dan falsafah bangsa itu. NKRI kini bertuhankan materi dan UUD 1945 menjadi alat ritual transaksional kepentingan politik sesat. Oleh karena itu, belajar dari gonjang-ganjing di korps Bhayangkara tersebut  juga yang sama secara esensi dan substans pada insitusi negara sebagian besar lainnya. Maka bangsa ini, selayaknya dapat memetik nilai dan memungut hikmah lebih fundamental. Distorsi penyelenggaraan negara tak akan kekal, untuk terus berlangsung selamanya. Tak ada kesenangan yang berlama-lama, tak ada pesta yang tak berakhir. Serapat-rapatnya bau busuk itu disimpan, aromanya akan tercium juga. Sepandai-pandainya Tupai melompat, akhirnya akan terjatuh juga. Tidak ada kejahatan yang sempurna, tak ada kebohongan yang tak terungkap, Rakyat boleh tak berdaya, rakyat boleh dirampas haknya, rakyat boleh tergusur dan lapar. Tapi rakyat masih punya suara dan jeritan hati. Rakyat masih punya doa dan keluhannya kepada Sang Pencipta yang Maha Pemberi dan Pengasih. Sama halnya seperti darah beracun para ulama dan pewaris nabi yang punya muhabalah. Doa orang yang teraniaya lebih dekat sampai ke haribaan Illahi. Begitupun kepada para pemimpin yang dzolim dan lalim, bukan soal waktu dan bukan soal cepat atau lambat. Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Merasakan kekuasan dan keadilan Tuhan, menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar dan akan menghampirinya suka atau tidak suka. Masih berani menunggu muhabalah? Munjul-Cibubur, 23 Agustus 2022. (*)

Pak Karel Ralahalu Jangan Bikin Gaduh Masyarakat Maluku

Jakarta, FNN - Harapan mantan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu agar “2024 terpilih pemimpin baru yang bisa pimpin Maluku lebih maju” merupakan hak politik yang harus dihargai. Namun secara etik, Pak Karel terlihat mengalami krisis etika politik yang sangat mendalam. Sebagai tokoh senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maluku, Pak Karel harus lebih wise dalam berucap. Harus lebih bijak dalam bersikap mengenai jabatan politik Gubernur Maluku. “Kalau ada perbedaan pandangan dengan Pak Gubernur Maluku Murad Ismail, akan lebih wise bila tidak usah diumbar ke wilayah publik. Sebab itu hanya memperlihatkan sikap Pak Karel yang sangat kekanak-kanakan. Padahal usia Pak Karel tidak pantas lagi untuk mengumbar perbedaan dan ketidaksukaannya di wilayah publik, “ujar Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Syam Yasir Alkatiri.  Ditambahkan, Pak Karel sebaiknya jangan bersikap seperti anak kecil yang kalau keinginannya tidak dikabulkan orang tuanya, lalu ngambek. Bersikaplah yang layak dan pantas sebagai orang tua yang bijak. Orang tua yang pernah memimpin Maluku selama sepuluh tahun dengan segala kekurangan dan kelebihan. Kalau tidak suka dengan Pak Murad, maka silahkan menunggu momentumnya. Bertarung lagi di tahun 2024.    “Silahkan mendorong orang yang menurut Pak Karel layak untuk melawan Pak Murad Ismail di Pilkada Gubernur Maluku tahun 2024 nanti. Pak Karel silahkan kampanye sekuat tenaga untuk memenangkan jagoanya. Siapa saja jagoan Pak Karel itu tidak masalah. Namun tidak perlu mengumbar perbedaan atau kebencian kepada Gubernur sekarang. Sebab itu bisa menimbulkan penafsiran yang macam-macam di masyarakat, “himbau Syam Yasir Alkatiri.      Langkah yang paling wise dan bijak adalah Pak Karel mengajak masyarakat Maluku mendukung pasangan Murad Ismail-Barnabas Orno menyelesaikan tugas sampai akhir masa jabatan. Apalagi Pak Karel adalah Ketua Tim Pemenangan pasangan Murad-Orno. November 2024, silahkan bertarung lagi. Siapa yang menang, terserah masyarakat Maluku. Lalu kita harus mendukung untuk bekerja memajukan Maluku.   “Umur Pak Karel sekarang tidak pantas, bahkan sangat tidak layak untuk mengumbar perbedaan di tengah publik Maluku. Sebab kalau tokoh seusia Pak Karel masih mau mengumbar perbedaan, bagaimana mungkin mengajak akar rumput Maluku bersatu? Akibatnya, orang tua yang menjadi tokoh publik kencing berdiri, akar rumput kencing berlari. Kacau jadinya tatanan keakraban sosial kita,“ kata Syam Yasir Alkatiri.  Pak Karel sebaiknya belajar untuk bersikap wise dari para tokoh bangsa. Belajar dari Pak Try Sutrisno, Ibu Megawati Sukarnoputri, Pak Hamzah, Pak Jusuf Kalla dan Pak Prof. Dr. Budiono. Para tokoh tersebut meskipun dalam banyak hal tidak sependapat dengan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, namun tidak mengumbar perbedaan kepada masyarakat Indonesia.   Meskipun tahun 2024 nanti Presiden Joko Widodo sudah berakhir masa jabatannya. Namun tidak ada yang mengatakan ”berharap tahun 2024 nanti ada presiden baru”. Tujuannya untuk menjaga dan memelihara kekompakan diantara sesama anak bangsa. “Apalagi ekonom Pak Dr. Rizal Ramli dan Prof. Anthony Budiawan mengatakan, kondisi perekonomian kita hari ini tidak sedang baik-baik saja. Krisis ekonomi sudah sampai ruang tamu rumah kita, “ujar Syam Yasir Alkatiri mengingatkan. Dijelaskan Syam Yasir Alkatir bahwa menghadapapi situasi krisi ekonomi yang melanda dunia dan Indonesia hari ini, dibutuhkan persatuan dan kekompakan diantara sesama anak bangsa. Begitu juga dengan kita-kita yang di Maluku ini. Potensi perbedaan harus kita kesampingkan dulu. Semua benih perpecahan kita kuburkan dalam-dalam. Untuk itu, orang tua seperti Pak Karel harusnya mengajak kami yang anak-anak ini untuk selalu bersatu dan bersatu. Bukan yang sebaliknya.  Pak Karel berharap “2024 terpilih pemimpin baru yang bisa pimpin Maluku lebih maju”. Harapan itu sah dan sangat wajar saja. Tidak ada yang salah. Namun yang sangat disayangkan alasan Pak Karel tidak berbasis data. Apalagi selama Pak Karel selama menjabat Gubernur sepuluh tahun tidak bagus-bagus amat. Tidak sekalipun mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  APBD Maluku selama Pak Karel menjabat selalu devisit. Pak Karel juga meninggalkan tumpukan hutang ratusan miliar rupiah. Apapaun alasannya, meninggalkan tumpukan hutang itu bukanlah prestasi yang bagus Pak Karel. Namun tumpukan hutang itu tidak pernah dipersoalkan oleh Gubernur Pak Murad-Orno. Memang secara etika tidak baik kalau dipersoalkan.    Pasangan Pak Murad-Orno ketika awal menjabat April 2019, langsung saja dihadapkan dengan tumpukan hutang yang menggunung peninggalan dari Pak Said Assagaf Rp 275 miliar. Namun di akhir tahun 2019, laporan keuangan Pemda Provinsi Maluku mencatat surplus Rp 107 miliar. Akibatnya BPK mengganjar Pemda Maluku dengan predikat WTP. Tahun 2020, Pemda Maluku kembali surplus APBD sebesar Rp 247 miliar. Dampaknya, BPK kembali memberikan WTP kepada Pemda Maluku. Tahun 2021, lagi-lagi Pemda Provinsi Makuku mencatat surplus pada laporan keuangan sebesar Rp 200 miliar lebih. Lagi-lagi BPK mengganjar Pemda Maluku dengan predikat WTP untuk yang ketiga kalinya. Tiga kali berturut-turut mendadpatkan WTP dari BPK. Hattrick yang belum pernah dicapai oleh gubernur-gubernur sebelumnya, baik itu pada eranya Pak Karel maupun Pak Said Assagaf.  Syam Yasir Alkatiri mengingatkan Pak Karel sebagai tokoh masyarakat, seharusnya bisa membantu menciptakan iklim yang kondusif di masyarakat Maluku. Namun kalau tidak bisa membantu pasangan Gubernur-Orno, maka sebaiknya Pak Karel jangan sampai menciptakan kegaduhan di masyarakat. Bisa menimbulkan multi tapsir yang bermacam-macam. Ujung-ujungnya mungkin bisa saling mencurigai antar pendukung. Itu yang tidak baik untuk semua aspek sosial masyarakat kita di Maluku.    Harapan Pak Karel “2024 terpilih pemimpin baru yang bisa pimpin Maluku lebih maju” bisa menciptakan diameteral di masyarakat. Jika ada yang menuduh Pak Karel sebagai provokator atau sedang memprovokasi perpecahan di masyarakat Maluku, itu bisa saja benar. Namun bisa juga salah atau keliru. Yang pasti multi tapsir di masyarakat itu terbentuk dan tercipta. Sumbernya dari Pak Karel. Nah, seperti inilah yang seharusnya dihindari dengan bersikap lebih wise, “himbau Syam Yasir Alkatiri. (kil)

Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri

Oleh Artha Siregar +Analis Politik Keamanan, Peneliti Indonesia Future Studies) KASUS Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari keresahan publik terhadap institusi Polri belakangan ini. Sebelum kasus kematian Brigadir J, polisi memang sudah sering menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus. Dimulai dari tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, hingga sikap dalam merespons kasus. Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020 hingga agenda perpanjangan masa jabatan presiden, polisi cenderung merespons demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan. Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK pada 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa yang berdemonstrasi. Tindakan represif polisi juga kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di Desa Wadas polisi menangkap secara sewenang-wenang sekitar 60 warga sipil yang menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban tewas dari masyarakat sipil yang berdemonstrasi karena diduga ditembak oleh polisi. Terkait respons terhadap laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik publik karena dianggap membiarkan beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di media sosial. Kemudian diikuti kasus-kasus terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan seperti menjadikan korban begal yang membela diri sebagai tersangka di NTB, serta insiden salah tangkap seorang guru ngaji yang dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi. Fenomena-fenomena tersebut terjadi di antara individu, rentang waktu, dan wilayah yang berbeda, namun respons atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B. Taylor menyebutkan bahwa budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum dan tradisi yang diterima oleh individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari satu generasi ke generasi lain. Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respons dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum. Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan. Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang. Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan. Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik. Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power. Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias. Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan. Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri. Bersikukuh melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas. Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekadar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.

Surat Terbuka untuk Fadel Muhammad

Jakarta, FNN - Seorang anak muda menulis surat terbuka untuk Senator asal Gorontalo, Fadel Muhammad, pasca direcall dari MPR. Berikut surat lengkapnya: Kepada yang Terhormat Fadel Muhammad (Senator Gorontalo) Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Di momen-momen peringatan Hari Proklamasi Indonesia ke-77, kutuliskan surat ini setelah mendapat kabar dari Senayan. Bahwa telah bergulir mosi tidak percaya. Dilayangkan kepada Bapak Fadel Muhammad. Saya perihatin. Kendati demikian, saya sebetulnya tidak terkejut membaca berita ini. Kita semua tahu, rotasi jabatan dalam politik adalah hal biasa dan wajar-wajar saja. Tak perlu masygul. Toh, jabatan itu soal menitipkan kepercayaan. Kapanpun bisa diambil kembali oleh yang menitipkan. Bapak Fadel yang kami banggakan. Saya mengenal Anda di era Persiden SBY. Ketika itu, Bapak tampil impresif meladeni wawancara awak media. Menyandang jabatan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Setelah itu, rasanya tak ada lagi kabar saal Bapak Fadel Muhammad. Kecuali diselingi ketika berita anda reshuffle kabinet. Lama berselang, hingga baru hari ini saya mendegar kembali nama Bapak. Rupanya sejak tahun 2019 dititipkan kepercayaan sebagai Wakil Ketua MPR RI oleh sejawat anda para Senator DPD.  Kemana saya selama ini? Sampai-sampai baru pada tanggal 18 Agustus kemarin mendengar lagi nama Bapak. Dalam kasak kusuk pemberitaan penarikan kembali (re-call) dari kursi pimpinan majelis yang terhormat.  Pertanyaan ini sebenarnya juga berlaku untuk Bapak. Kemana Bapak selama ini? Benarkah kabar burung itu jika anggota legistlatif hari ini lebih sering ke luar negeri. Memilih intensif beranjangsana bersama keluarga, ketimbang pulang ke dapil?  Dari 34 daerah, kami mandatkan harapan-harapan kami kepada para Senator di Senayan. Kami sangat bahagia melihat performa lembaga DPD periode ini. Lebih berdaya dan menyala-nyala. Menunjukkan marwah sebagai lembaga perwakilan rakyat. Rasanya baru kali ini parlemen menjalankan fungsi check and balances tanpa tedheng aling-aling. Meski, perwakilan DPD di MPR, dalam hal ini jabatan Wakil Ketua MPR yang anda emban, terdengar sayup-sayup. Sehingga terasa ada nyala DPD yang belum paripurna. Karena itu, saya meyakini keputusan forum tertinggi sidang paripurna untuk merotasi pimpinan MPR dari unsur DPD adalah keputusan startegis untuk meningkatkan kinerjanya. DPD, dalam semua aspek harus tampil paripurna. Tidak setengah-setengah. Maka wajar, jika ada perasaan mengganjal para Senator yang tadinya menitipkan kepercayaan pada anda. Amanah itu ditarik kembali.  Sebagai seorang politisi senior, kami tahu betul jika Bapak pasti lebih paham dan berpengalaman soal titip menitip aanah ini. Namun sebagai seorang manusia, kita semua memiliki blind spot (titik buta). Kita tidak bisa melihat secara utuh sampai kemudian ada yang mengoreksi dan membenarkan. Begitupun kinerja Anda, yang menurut Wakil Ketua MPR baru dilaporkan pada Sidang Paripurna DPD tahun 2022. Itupun setelah bergulir isu mosi tidak percaya. Halo? Di mana Anda tiga tahun terakhir? Sibuk ke dapil? Eh, maksud saya, sibuk mengeksplorasi destinasi aestetik ke luar negeri? Anyway, saya salah satu dari 24,2K subscribers The Royal Fadel Hana Family. Kembali ke soal penarikan mandat. Mangkir dari rapat-rapat di DPD telah dilihat dan dinilai oleh teman-teman Bapak, para Senator di DPD. Sehingga sangat wajar ketika para Senator bersepakat memindahkan mandat itu kepada Senator lain untuk progresivitas DPD.  Akhirnya, sebagai anak muda, saya ingin berpendapat. Apalah arti sebuah jabatan yang tidak lagi dikehendaki. Apalah arti jabatan tanpa kepercayaan. Menurut saya, bagi seorang negarawan, jabatan, posisi dan kedudukan tidaklah penting. Yang terpenting adalah peranan dan kontribusi yang diberikan kepada rakyat dan negara. Hormatku MAHARDIKA NAGARAIYYA (Pemuda Yang Rindu Teladan)

Anthony Budiawan: Alasan KPK Stop Kasus Dugaan KKN Gibran – Kaesang Sangat Bahaya Bagi Pemberantasan Korupsi

Jakarta, FNN - Ubedilah Badrun yang melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK pada Januari 2022 lalu, masih meyakini ada dugaan KKN dalam sejumlah perusahaan milik Gibran dan Kaesang. Dia menyayangkan sikap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut dugaan tersebut sumir. Mengamati dari sikap dan keputusan Nurul Ghufron dalam jumpa pers kinerja semester I KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (19/8/2022) yang mengatakan “sejauh ini indikasi TPK (Tindak Pidana Korupsi) yang dilaporkan masih sumir, tidak jelas. Dan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)”, Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan pernyataan wakil ketua KPK Nurul Ghufron sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. “Alasan KPK stop kasus dugaan KKN ini sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi. Kalau anak pejabat tidak dianggap bagian dari pejabat, tidak dianggap KKN, KPK sama saja membuka ‘jalan tol’ korupsi melalui gratifikasi kepada anak pejabat. APBN bisa bangkrut!” ungkap Anthony, Selasa (22/8/2022). Lebih dalam Anthony menguraikan, jika alasan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU, patut dipertanyakan niat KPK mengusut tuntas laporan masyarakat. “Karena, kalau baca berita ini, uraian KKN sepertinya sudah jelas sekali, dan tugas KPK mendalaminya. Bukankah seharusnya seperti itu?”.lanjutnya. “Sebagai contoh, baru-baru ini KPK tangkap tangan Rektor dari sebuah perguruan tinggi negeri, didakwa korupsi. Kalau uang tersebut diberikan kepada anak rektor untuk modal buka warung pisang goreng, senilai Rp2 miliar, apakah termasuk korupsi/KKN? Menurut KPK bukan KKN? Bahaya,”. tegasnya. (mth)

Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ungkap Hasil Otopsi Brigadir J

Jakarta, FNN – Ketua Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah Sugiharto mengungkapkanada dua luka tembakan fatal di tubuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabaratatau Brigadir J yang mengakibatkan ajudan mantan KadivPropamPolri Irjen PolisiFerdy Sambo itu meninggal dunia.\"Ada dua luka yang fatal tentunya, yaitu daerah dada dan kepala,\" kata Ade Firmansyah kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin.Ade mengatakan dari hasil autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J juga diketahui ada lima tembakan masuk dan empat tembakan keluar.Jumlah luka tembak ini tidak berkaitan dengan jumlah peluru yang ditembakkan, tetapi dari lima luka tembak yang masuk dan empat luka tembak keluar, berarti ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J.\"Dari empat tembakan keluar,ada satu yang bersarang di tulang belakang, dekat tulang belakang,\" jelasAde.Tim Kedokteran Forensik tidak menyelidiki berapa jumlah tembakan karena merupakan kewenangan dari penyidik, termasuk jenis senjata api yang digunakan, serta arah tembakan.Hasil autopsi ulang tersebut juga memastikan tidak ada luka-luka selain luka tembakan karena senjata api yang ditemukan di tubuh Brigadir J.Tim Kedokteran Forensik, kata Ade, bekerja secara independen memeriksa bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh dan bagaimana lintasan peluru keluar dari tubuh. Tim Forensik juga menelusuri tempat-tempat yang berdasarkan informasi keluarga ada tanda-tanda kekerasan.\"Kami sudah pastikan dengan keilmuan forensik yang sebaik-baiknyabahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan selain senjata api pada tubuh korban,\" katanya.Ade juga memastikan tidak ada kuku korban Brigadir J yang dicabut ataupun tulang yang patah pada tubuh Brigadir J. Adapun posisi organ tumbuh yang berpindah tidak pada tempatnya merupakan bagian dari tindakan autopsi.\"Semua tindakan autopsi pasti ada organ-organ itu akan dikembalikan ke tubuhnya, namun memang harus ada pertimbangan-pertimbangan baik itu misalnya adanya bagian-bagian tubuh yang terbuka sehingga pada saat jenazah itu akan ditransportasikan akan dilakukan pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Ade.Kemudian untuk jari yang luka, kata Ade, karena arah alur lintasan anak peluru yang mengenai tubuh Brigadir J dan luka di wajah karena ricochet atau sambaran peluru.Ade berharap dari laporan forensik yang telah diserahkan kepada Bareskrim Polri tersebut dapat membantu penyidik untuk membuat terang perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.\"Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan dalam empat minggu kurang supaya bisa membantu penyidik dalam membuat terang perkara ini, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini,\" tambahnya.Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, penyidik telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Irjen Polisi Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma\'ruf, dan Putri Candrawathi (istri Ferdy Sambo).Kelima tersangka disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, ancaman maksimal hukuman mati.Selain itu, penyidik juga menyidik perkara penghalang-halangi penegakan hukum atau obstruction of justice yang dilakukan tersangka Ferdy Sambo bersama lima perwira Polri lainnya.Kelima perwira Polri tersebut adalah Brigjen Polisi Hendra Kurniawan (mantan Karo Paminal Div Propam Polri), Kombes Polisi Agus Nurpatria (mantan Kaden A Biropaminal Div Propam), AKBP Arif Rahman Arifin (mantan Wakaden B Biropaminal Div Propam), Kompol Baiqui Wibowo (mantan PS. Kasubbag Riksa Bag GakEtika Rowabprof Div Propam), dan Kompol Chuck Putranto (mantan PS. Kasubbagaudit Bag Gak Etika Rowabprof Div Propam).Kelima perwira Polri tersebut terancam hukuman pidana melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. (mth/Antara)

Pendapat Hukum Terhadap Penarikan Pimpinan MPR Unsur DPD Fadel Muhammad

Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Oleh: Gugum Ridho Putra, SH, MH, Managing Partner Kantor Hukum GUGUM RIDHO & PARTNERS Dasar Hukum Dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam menyusun pendapat hukum ini antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”); 2. Undang-Undang Negara Republik Indonesian Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Nomor 17 Tahun 2014”); 3. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (“Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019”); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”). Pertanyaan Hukum Adapun pertanyaan hukum yang diminta untuk dianalisa adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD RI? 2. Apa Alasan Yang dapat dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 3. Apakah “mosi tidak percaya ” dapat dianggap Sebagai mekanisme pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI menurut Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019? Pembahasan Analisis Hukum III.1 Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD 1. Bahwa ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945 telah menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Pengakuan sebagai negara hukum itu membawa konsekuensi bahwa segala tindak tanduk penyelenggaraan negara hanya bisa diselenggarakan dengan dasar kewenangan dan prosedur yang telah ditentukan dalam hukum. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek harus mengacu kepada sistem peraturan perundangundanganyang dan berlaku secara hierarkis (berjenjang). 2. Mengacu kepada teori pertingkatan norma Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky, norma hukum tersusun dalam hierarki dari bawah hingga ke atas. Puncak hukum tertulis tertinggi di sebuah negara adalah staatsgrund gezets atau dikenal dengan sebutan konstitusi. Prinsip hierarki ini kemudian diadops dalam sistem perundang-undangan kita. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menempatkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertulis tertinggi. 3. Satu layer atau satu tingkat di bawahnya ada peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Di bawahnya lagi ada Peraturan Perundang-Undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat pusat seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Negara. Terakhir dalam layer atau tingkatan terbawah adalah peraturan perundang-undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan sebagainya. Masing-masing berlaku dalam tatarannya dan tidak boleh bertentangan antara peraturan yang di bawah dengan peraturan di atasnya. 4. Tidak terkecuali terhadap sistem hukum yang mengatur Pengisian, Pemberhentian dan Penggantian Pimpinan MPR dari Unsur DPD RI. Dasar hukum tertinggi adalah staatgrund gesetz atau konstitusi yakni UUD NRI Tahun 1945. Di bawahnya dalam tataran strategis berlaku yakni UU No. 17 Tahun 2014. Di bawahnya lagi dalam tataran teknis dan otonom kelembagaan terdapat Peraturan Tata Tertib di lingkungan MPR RI (Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019) dan Tatib DPD RI (Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022). Masing-masing Tatib berlaku sebagai peraturan teknis untuk melaksanakan UU Nomor17 Tahun 2014 dalam tataran teknis, sekaligus berlaku pula sebagai peraturan otonom, yakni peraturan yang berlaku mengikat dan wajib dipatuhi dalam internal lembaga masing-masing. 5. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) Ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR”. Ayat (2) ketentuan ini mengatakan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. UU Nomor 17 Tahun 2014 tidak memerinci makna frasa “bersifat tetap”. Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketentuan masa jabatan anggota MPR yang berbunyi “Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji”, maka bersifat tetap ini menyangkut jabatannya yang bukan sementara (tidak ad hoc ). Pimpinan MPR menjabat dalam masa jabatan yang tetap yakni mutatis mutandis mengikuti masa jabatannya sebagai anggota MPR selama 5 tahun. 6. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2014 menentukan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR”. Ayat (6) mengatakan “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR”. Sementara ayat (8) mengatakan “Pimpinan MPR ditetapkan dengan Keputusan MPR”. Dari sini dapat dipahami bahwa ada 2 (dua) cara memilih pimpinan MPR yakni dapat dipilih lewat musyawarah atau lewat voting dan penetapannya menggunakan Keputusan MPR. 7. Bahwa terkait pemberhentian Pimpinan MPR, ketetuan pasal 17 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan”. Ayat (2) mengatakan “Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila : a. Diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR”. Dari ketentuan ini dapat diketahui hanya ada 3 (tiga) dasar pemberhentian pimpinan MPR yakni : (1) pertama, meninggal dunia; (2) kedua, mengundurkan diri; (3) ketiga, diberhentikan. Dalam Pasal 19 UU No. 17 Tahun 2014 ditegaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tetang tata tertib”, dalam hal ini Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. 8. Bahwa mengacu kepada Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, alasan pemberhentian Pimpinan MPR kembali diperjelas kembali dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) yakni “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia, b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD; atau e diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dari ketentuan ini dapat diketahui terdapat penambahan dasar pemberhentian Pimpinan MPR yang semula hanya ada 3 (tiga) alasan, bertambah 2 (dua) dasar lagi yakni menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD atau diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. 9. Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan apabila terdapat kekosongan jabatan ketua MPR, Pimpinan MPR akan menyurati Fraksi asal ketua MPR jika ketua MPR berasal dari salah satu Fraksi atau Kepada Kelompok DPD jika Ketua MPR berasal dari Kelompok DPD. Masing-masing kelompok menetapkan nama Pengganti Calon Pimpinan MPR selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat Pimpinan MPR. Nama calon Pengganti Ketua MPR disampaikan kepada Ketua MPR. Apa Alasan yang Dapat Dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 10. Bahwa Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Tatib MPR Nomor 1 Tahun 2019 telah menegaskan Pimpinan MPR dapat berhenti dari jabatannya salah satunya karena “diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dengan ketentuan ini Pimpinan MPR dari unsur Kelompok DPD dapat saja diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pengusulan penggantian yang disampaikan oleh anggota-anggota MPR Kelompok DPD RI. Meskipun alasan ini dapat dijadikan dasar untuk pemberhentian, namun Tatib MPR Nomor 1  Tahun 2019 tidak mengatur secara rigid apa saja kondisi-kondisi yang dapat membuat Kelompok DPD berhak mengusulkan penggantian Pimpinan MPR di tengah masa jabatannya. 11. Bahwa apabila merujuk kepada Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”), ketentuan Pasal 135 ayat (1) menyatakan “calon Pimpinan dari unsur DPD dipilih dari dan oleh Anggota dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Pimpinan DPD”. Ayat (2) menyatakan “Anggota DPD yang telah menjadi calon Pimpinan DPD tidak dapat lagi menjadi calon Pimpinan MPR”. 12. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga telah menentukan persyaratan khusus bagi Anggota untuk dapat dipilih dan diusulkan menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1) disebutkan “Calon Pimpinan MPR unsur DPD seabgaimana dimaksud dalam Pasal 135 harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas; b. Berjiwa kenegarawanan; c. Memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara; dan d. Menandatangani pakta integritas”. 13. Bahwa pakta integritas yang dimaksud dalam ketentuan di atas, diperjelas dalam pasal 136 ayat (2) yakni “Pacta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat kesediaan calon pimpinan MPR unsur DPD untuk: a. Mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih dengan menaati peraturan perundang-undangan; b. Tidak melakukan politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk pemberian dan gratifikasi serta janji yang dilakukan sendiri atau melalui orang lain; c. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan lembaga negara lain; dan d. Bersedia mengundurkan diri sebagai Pimpinan MPR unsur DPD apabila dikemudian hari ternyata ditemukan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c. 14. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga menentukan mekanisme pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD. Dalam ayat (1) disebutkan “Pemilihan calon Pimpinan MPR dari unsur DPD dilakukan dengan prinsip mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan keterwakilan wilayah”. Sementara ayat (2) menyatakan “Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara”. 15. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tidak memerinci mekanisme Penggantian Pimpinan MPR Unsur DPD lewat mekanisme pengusulan oleh Anggota MPR Kelompok DPD. Namun Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 mewajibkan Pimpinan MPR unsur DPD menyampaikan laporan kinerja setiap tahun. Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 138 ayat (1) yang menyatakan “Pimpinan MPR dari unsur DPD menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD setiap 1 (satu) tahun sidang”. Sementara Ketentuan Pasal 138 ayat (2) menyatakan “Kelompok Anggota DPD di MPR menindaklanjuti laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 16. Bahwa merujuk kepada ketentuan pasal 135 ayat (1) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 di atas, dapatlah dipahami bahwa Anggota MPR dari Kelompok DPD adalah Pemilik Hak Pilih sah atas calon Pimpinan MPR unsur Kelompok DPD. Para Anggota DPD memilih Calon Pimpinan MPR dari Unsur DPD dengan mekanisme musyawarah dan/atau Pemungutan Suara (voting ). Pemilihan Pimpinan MPR dari unsur DPD lewat musyawarah ataupun lewat voting bukanlah pemberian wewenang secara atributif (atribusi ) ataupun pelimpahan wewenang (delegasi). Melainkan sekedar pemberian mandat dari Kelompok Anggota DPD kepada salah satu anggotanya untuk menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dengan begitu Pimpinan MPR unsur DPD hanyalah sekedar pemegang mandat (mandataris ) dari para anggota yang diwakilinya. Kewenangan dan hak-hak suara dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di MPR tetap milik anggota-anggota DPD yang duduk di MPR. 17. Bahwa bukti Pimpinan MPR Unsur DPD hanyalah mandataris Kelompok Anggota DPD yang menunjuknya, dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 yakni “MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum”. Hal yang sama juga dipertegas oleh ketentuan tentang Pengambilan Keputusan. Dalam ketentuan Pasal 90 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan bahwa Kuorum pengambilan keputusan untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 adalah sah apabila dihadiri 2/3 (dua pertiga) anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1. Usul Pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden adalah sah apabila dihadiri ¾ (tiga per empat) anggota dan disetujui minila 2/3 (dua pertiga) anggota MPR yang hadir. Begitupun untuk sidang selain dua hal itu, pengambilan keputusan sah apabila dihadiri minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota hadir. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) 1Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2022, Pimpinan MPR unsur DPD juga diwajibkan menyampaikan laporan Tahunan dalam rapat paripurna dan Anggota MPR Kelompok DPD menindak lanjuti laporan tersebut. Dengan begitu, jelaslah pemilik kewenangan dan hak untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan tugas-tugas MPR ada pada anggota, bukan pada pimpinan MPR. 18. Bahwa olehkarena kewenangan kelompok anggota DPD tidak beralih sekalipun dilakukan pemberian mandat, maka atas mandat yang telah diberikan kepada Pimpinan MPR unsur DPD dapat dilakukan pencabutan kapan saja oleh Pemberi Mandat. Itulah mengapa, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 mengatur pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD dapat diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara teknis karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, atas dasar itu penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. Apakah “Mosi Tidak Percaya” Termasuk Mekanisme Pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD RI yang Sah Menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf E Tatib Mpr Ri Nomor 1 Tahun 2019 19. Bahwa mosi tidak percaya dari segi istilah memang hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer dan tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensil. Namun jika hal itu dipersoalkan, apa yang diajukan Kelompok Anggota DPD di MPR hanyalah sekedar persoalan peristilahan saja. Sekalipun nama yang disematkan adalah “mosi tidak percaya” namun secara substansial tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Atas dasar itu, tindakan 97 anggota DPD tersebut dapatlah dianggap sebagai pelaksanaan penarikan mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e yakni “pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD dengan cara diusulkan penggantian oleh Kelompok DPD”. 20. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 telah menentukan dua cara dalam melakukan pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD, yakni (1) lewat musyawarah atau (2) lewat pemungutan suara (voting). Sekalipun tidak ada mekanisme yang terperinci bagaimana melaksanakan penarikan mandat dalam pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, namun semenjak penunjukan mandat itu dilakukan melalui musyawarah atau voting, maka penarikan mandatnya pun mutatis mutandis dapat dilakukan dengan mekanisme yang sama yakni melalui musyawarah atau voting. 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD telah menyatakan keputusan tertulisnya. Pernyataan tertulis itu jika diakumulasi secara keseluruhan dapatlah dikategorikan sebagai pemungutan suara atau voting . Dengan demikian, secara hukum 97 (sembilan puluh tujuh) anggota MPR unsur DPD telah menyatakan hak suaranya untuk menarik mandat pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Dengan begitu, secara hukum pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad telah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. Kesimpulan Pendapat Hukum Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan pendapat hukum sebagai berikut: 1. Pimpinan MPR dari Kelompok DPD dapat berhenti dari jabatannya karena 5 (lima) alasan yakni : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPD; e. diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Setelah pimpinan MPR dari Kelompok DPD berhenti, Pimpinan MPR menyurati Kelompok DPD. Kelompok DPD memiliki waktu selambatnya 30 (tiga Puluh) hari untuk menetapkan nama Pengganti dan menyampaikannya kepada Pimpinan MPR. 2. Pemilihan Pimpinan MPR unsur Anggota DPD adalah sebuah mekanisme pemberian mandat. Atas dasar itu Pemberhentian Pimpinan MPR unsur DPD melalui mekanisme dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 adalah sebuah mekanisme penarikan mandat. Itulah mengapa teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara rinci karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, maka penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. 3. Mosi tidak percaya memang tidak dikenal dalam Negara Republik Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Akantetapi, tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Tindakan penarikan mandat oleh 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD juga telah sesuai dengan mekanisme pemilihan Pimpinan MPR unsur DPD dalam ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022. Semenjak pemilihannya (pemberian mandat) dilakukan dengan musyawarah atau pemungutan (suara), maka penarikan mandat juga dapat dilakukan dengan cara yang sama. Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Demikianlah pendapat hukum ini saya sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. (*)