ALL CATEGORY

Ada Informasi, Ferdy Sambo Menebarkan Uang Kepada Anggota DPR

Jakarta, FNN – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santosa mendapatkan bocoran informasi soal ada dugaan aliran sumber dana yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo dalam kasus penembakan Brigadir Joshua Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief mengatakan dalam channel-nya yang berjudul “IPW: Ada Informasi Dapat Aliran Dana Dari Ferdy Sambo”. “Saya mendapat informasi mengenai pengucuran dana besar-besaran ke cipta kondisi untuk skenario FS,” kata Sugeng. Menurut Sugeng, Cipta Kondisi menerima dana besar-besaran itu berdasarkan pengakuan dari seorang staf LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), setelah mereka mengadakan pertemuan di kantor Ferdy Sambo, ketika masih menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonedia (Kadiv Propam Polri). Pertemuan itu mereka laksanakan pada 13 Juli 2022 atau dua hari setelah kasusnya dilaporkan kepada Mabes Polri. Saat itu seorang staf dari Ferdy Sambo memberikan map dan dalam map itu berisi dua buah amplop coklat, yang diberikan kepada mereka, sambil berkata, “Ini dari Bapak.” Bapak yang dimaksud adalah Ferdy Sambo. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo membenarkan bahwa amplop yang diberikan Ferdy Sambo itu dilakukan setelah mereka membicarakan terkait permohonan perlindungan terhadap Barada E dan istri Sambo, Putri Chandrawati. Menko Polhukam Mahmud MD pada waktu itu juga sempat mempertanyakan, mengapa anggota DPR yang biasanya memanggil sana atau memanggil sini, tetapi dalam kasus Ferdy Sambo ini DPR hanya bisa diam saja. Dalam kasus penembakan Brigadir Joshua, banyak sekali pernyataan yang dibuat Mahmud MD. Akan tetapi, pernyataan itu sempat membuat anggota DPR bingung. Seperti diketahui, selain jabatan Menko Polhukam, Mahfud juga membawahi keamanan, termasuk kepolisian. Dia juga dikenal sebagai Ketua Kompolnas atau Komisi Kepolisian Nasional. Dalam perbincangan Mahmud saat mengisi podcast Deddy Corbuzuier, dia menyatakan, “Waktu itu Ferdy Sambo menangis-nangis di depan anggota Kompolnas demi meyakinkan bahwa itu adalah tembak-menembak yang terjadi di rumah dinasnya,” ungkapnya. Bahkan, dia sempat mengatakan, akibat peristiwa itu telah merusak harga dirinya, termasuk saat istrinya dilecehkan oleh Brigadir Joshua. “Seandainya dia ada di situ juga, sudah pasti dia akan menembak Brigadir Joshua juga,\" lanjut Mahfud, mengutip keterangan Sambo di hadapan anggota Kompolnas. (Anw/Imi)

Tujuh Puluh Tujuh Tahun Merdeka, Indonesia Masih Terjajah

Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Oleh: Abdullah Hehamahua, PUKUL 10 pagi kemarin, 77 tahun lalu, berkumpul sejumlah tokoh di Jalan Pegangsaan Timur, 56 Jakarta. Namun, ada tujuh figur yang sangat berperan. Mereka adalah Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Subardjo, Fatmawati, Soekarni, Latief Hendraningrat, dan S. Suhud. Mereka berkumpul di rumah Faradj bin Said Awad Martak, warga negara Indonesia keturunan Arab – Yaman. Bukan keturunan Jawa, Batak, Papua, apalagi China. Di pekarangan rumah yang dihibahkan keluarga Martak ke Soekarno inilah, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan. Penculikan Soekarno – Hatta Soekarno, Hatta, dan sejumlah anggota BUPK baru saja kembali dari Dalat, Vietnam, 13 Agustus 1945. Mereka berencana akan memulai lagi sidang BUPK pada bulan September. Namun, tanggal 16 Agustus dinihari, Soekarno dan Hatta diculik sekelompok anak muda dan ditempatkan di Rengasdengklok,  Kerawang. Mereka paksa Soekarno dan Hatta agar memproklamasikan Indonesia pada waktu itu juga. Soekarno dan Hatta menolak. Sebab, mereka tidak bisa melakukan hal tersebut tanpa keikutsertaan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Soekarno, sekembalinya dari Rengasdngklok, terserang penyakit beri-beri dan malaria. Said Martak memberi madu dari Hadramaut sehingga Soekarno dapat pulih dan bisa membaca teks proklamasi, besok paginya. Penyusunan Teks Proklamasi Soekarno menulis di atas selembar kertas kosong. Judul yang ditulisnya: “Proklamasi”. Judul ini diberi garis bawah dengan dua garis yang tidak terlalu lurus. Waktu itu, pukul 03.00 dinihari. Mengapa dinihari.? Sebab, masa itu, bulan Ramadhan. Semuanya muslim, sehingga harus menyantap sahur. Achmad Subardjo, putera Aceh, beribu Sunda. Beliau, salah seorang anggota Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta. Piagam tersebut yang kemudian menjadi “Pembukaan” UUD 1945. Achmad Subardjo meminta agar Soekarno menulis: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, sebagaimana yang ada di Piagam Jakarta. Bung Hatta mengusulkan kata-kata: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.  Selesailah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi Bertempat di pekarangan rumah keluarga Martak, tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul sejumlah tokoh, tua maupun muda. Mereka mengikuti peristiwa bersejarah, proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta mengenakan stelan jas putih-putih. Soekarno mengenakan peci hitam, salah satu atribut orang Islam. Mengapa? Sebab, Soekarno adalah salah satu murid sekaligus mantu dari guru bangsa, HOS Tjokroaminoto. Tidak hanya itu. Soekarno juga mantu dari Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu. Sebab, ketika berada di pembuangan (Bengkulu), Soekanrno jatuh cinta terhadap Fatmawati. Dia anak Hasan Din dan Situ Chadijah ini aktif di Aisyiyah, organ perempuan Muhammadiyah. Fatmawati, isteri ketiga dari Soekarno ini, menjahit bendera merah putih dengan tangan sendiri. Bahan bendera berwarna putih, diambil dari sprei tempat tidur. Kain merah diambil dari tukang jual soto. Namun, kisah lain menyebutkan, bahan bendera tersebut berasal dari seorang perwira Jepang, Shimizu, yang simpati dengan perjuangan Indonesia. Kisah ini menunjukkan banyaknya kesimpang-siuran sejarah. Salah satu contoh konkrit yang bekaitan dengan daerah saya (Maluku), Pattimura disebutkan beragama Nasrani. Padahal, beliau seorang muslim dengan nama asli Ahmad Lussy. Kakeknya berasal dari kampung saya, Iha, Saparua yang berhijrah ke desa Latu, Seram. Bendera Indonesia, merah putih berasal dari saran Habib Kwitang. Waktu itu, Soekarno dan isteri kedua, Inggit dalam pengejaran Belanda, bersembunyi di rumah Habib Kwitang, Jakarta. Di rumah inilah, Soekarno mendapat nasihat agar menggunakan bendera Nabi Muhammad yang berwarna merah putih. Jum’at pagi itu, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, pukul 10, Soekarno didampingi Hatta dan beberapa tokoh, membaca teks proklamasi. Selesai, Latief Hendraningrat didampingi Suhud, mengerek bendera merah putih yang dijahit sendiri dengan tangan Fatmawati. Tahun berikut, 17 Agustus 1946, Sayyid Husein Muttahar, pemuda keturunan Arab kelahiran Semarang, menciptakan Paskibraka di Istana Negara. Beliau pula yang menyelamatkan bendera pusaka saat Soekarno dan Hatta ditangkap dan dibuang Belanda ke Bangka pada masa agresi kedua. Hakikat Kemerdekaan Setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya, air mata membasahi pipiku. Sebab, setiap menyanyikan lagu itu, alam bawa sadarku menuju Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jogjakarta, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Ternate, dan kampungku sendiri di Maluku. Di daerah-daerah tersebut, timbul perlawanan para sultan, ulama, dan tokoh Islam. Mereka mengorbankan waktu, harta, pikiran, dan bahkan nyawa demi memertahankan aqidah Islam. Sebab, penjajah, selain merampas kekayaan Indonesia, juga melakukan pemurtadan terhadap penduduk pribumi yang 98 persen waktu itu beragama Islam. Itulah sebabnya, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, inti ajaran Islam yang dikenal sebagai tauhid. Sila pertama tersebut diabadikan dalam pasal 29 ayat 1 UUD 45: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, Indonesia ini negara tauhid. Bukan negara kapitalis, sekuler, apalagi komunis. Ayat 2 pasal 29 ini menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, hakikat kemerdekaan itu, secara ubudiyah bahwa umat Islam bebas melaksanakan ajaran Islam dan menjadikannya sebagai hukum positif bagi mereka. Secara muamalah, hakikat kemerdekaan, seperti tertuang dalam alinea keempat Piagam Jakarta: menjaga dan melindungi NKRI, mencitakan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, serta berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Fakta hari ini, eksistensi NKRI terancam bubar karena intervensi oligarki politik dan ekonomi, asing dan aseng. Kesejahteraan umum bak khayalan di siang bolong. Sebab, empat orang terkaya di Indonesia setara dengan apa yang dimiliki 100 juta penduduk miskin. Tragisnya, 10 persen penduduk Indonesia menguasai 70 persen aset nasional. Bahkan, gini ratio Indonesia mencapai 0,384, urutan keempat di dunia. Pada waktu yang sama, utang luar negeri mencapai 17 ribu triliun rupiah. Di bidang pendidikan, kualitas manusia Indonesia mencapai 72,29 (2021), rangking 107 dari 189 negara di dunia. Tragisnya, Indonesia berada di rangking kelima Asia Tenggara. Di dunia internasional, Indonesia sangat terpinggirkan. Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Simpulan Pada usia senja, 77 tahun, bangsa dan negara Indonesia masih terjajah juga. Terjajah di bidang politik, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Tidak ada pilihan lain, kecuali: (1) Halau para oligarki asing dan aseng yang menggeroti eksistensi NKRI. (2) Hentikan utang luar negeri dengan cara eksplorasi sumber daya alam Indonesia oleh anak negeri sendiri, sesuai UUD 45 (asli). (3) Pendidikan nasional harus dikembalikan ke Pancasila dan UUD 45 yang asli di mana target pendidikan, terciptanya warga negara yang beriman dan bertakwa. (4) MPR segera menggelar sidang istimewa untuk kembali ke UUD 45 yang asli. Semoga !!! Depok, 17 Agustus 2022. (*)

Fahri Hamzah : Tantangan Paling Besar Negara Indonesia Yakni Negara Hukum Ini

Jakarta, FNN - Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah menyampaikan sambutan dan apresiasi kepada narasumber yang hadir. Turut hadir sebagai narasumber di kegiatan Gelora Talks dengan topik pembahasan 77 Tahun Kemerdekaan: Negara Hukum dan Masa Depan, Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara) dan Benny K Harman (Ketua Fraksi Demokrat MPR RI). Selanjutnya, mantan kader PKS ini juga mengatakan cara terhormat memaknai 77 tahun Kemerdekaan Indonesia ini dengan duduk melakukan refleksi. \"Karena kita tidak bisa ikut refleksi di tempat-tempat lain, mungkin kita refleksi di channel ini, dan saya percaya bahwa refleksi hari ini punya makna yang besar sekali. Karena temanya yang sangat penting yaitu Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia,\" kata Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah secara daring, Rabu (17/8/22). Menurut Fahri, tantangan paling besar dari negara Indonesia yakni negara hukum ini. Dalam perubahan UUD 1945, perubahan konsep tentang kedaulatan rakyat dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen:” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dengan demikian antara kedaulatan rakyat dan hukum ditempatkan sejajar dan berdampingan, sehingga menegaskan dianutnya prinsip “Negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis”. “Hal itu sudah tertuang di dalam UUD 1945 yang menegaskan posisi indonesia negara hukum,” ungkap Fahri. Selanjutnya, hal yang serupa disampaikan oleh Refly Harun tentang hukum, dimana menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dan direnungkan. Seperti halnya substansi hukum. \"Saya lihat misalnya substansi hukum. Jadi, subtansi hukum itu terkait dengan apa isi atau norma yang terkandung dalam setiap aturan itu. Jadi, di sini hukum sebagai aturan. Entah dia di dalam konstitusi, undang-undang atau perubahan yang di bawah undang-undang,\" papar Pakar Hukum Tata Negara ini. RH menyebutkan tahun 2024 nanti konstitusi Indonesia akan berusia 25 tahun, sejak perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999. \"Saat itu memang, secara dingin kita harus melakukan evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan kita, basic fundamental kenegaraan kita yaitu konsitusi, jangan lupa, Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi konstitusional,\" ungkapnya. Demokrasi dan konstitusi itu bersanding. Indonesia tidak hanya negara hukum, tetapi negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Karena Hitler pun berhukum katanya tetapi hukum yang otoriter. “Karena itu demokrasi dan konstitusi harus kita sandingkan,\" tutup Refly Harun. (Lia)

Benny Harman Sebut Penanganan Kasus Brigadir Yoshua Bertele-tele

Jakarta, FNN - Diskusi publik Gelora Talks edisi kali ini menghadirkan para narasumber yang berkompeten dengan topik yang akan diangkat. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan pihaknya sengaja mengundang  Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman lantaran memiliki kapasitas di bidangnya, yakni hukum tata negara. Fahri menyebut dalam beberapa kejadian-kejadian belakangan ini Komisi III DPR RI sulit diandalkan. \"Saya kira Pak Benny masih ada pemberontakan di hatinya melihat kejadian-kejadian yang terakhir terjadi juga. dan bagaimana Komisi III menjadi semakin sulit untuk diandalkan,\" ujarnya   dalam diskusi Gelora Talks bertajuk \'Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia\', secara daring Rabu (17/8/22). Dalam kesempatan itu, Benny mengomentari penanganan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo sangat bertele-tele. Sejak awal diungkapkan ke publik, ada skenario palsu yang dibuat seolah-olah telah terjadi baku tembak, namun fakta yang terungkap adalah penembakan atau pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Benny mendesak agar pihak-pihak yang terlibat membuat skenario kasus tewasnya Brigadir Yoshua diproses secara hukum. “Menurut saya pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam membangun skenario, membangun narasi menutup-nutupi kejahatan ini harus juga dihukum seberat-beratnya. Seberat-beratnya seperti pelaku kejahatan yang membunuh Brigadir Yoshua itu,\" kata Benny. Benny mengatakan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo bisa terancam hukuman mati bila terbukti sebagai pelaku utama. “Kalau itu Sambo sebagai pelaku utama apalagi dengan berencana, maka ancamannya hukuman mati. Tapi kalau Sambo hanya melihat aja, menonton aja atau pelaku peserta istilah hukumnya itu, tentu hukumannya lain,\" ujarnya. Benny menuturkan dari kasus tersebut menunjukkan bahwa aktor-aktor penegak hukum di Tanah Air bekerja secara monoton, formalistik. \"Tapi ini kan perkembangan, ini salah satu model contoh bagaimana sebetulnya aktor-aktor penegak hukum kita ini bekerja secara monoton, secara formalistik, teknik birokratik begitu yah,\" ungkapnya. Lebih lanjut, Benny mengatakan dengan tegas kasus tewasnya Brigadir Yoshua di rumah dinas Sambo membuat publik heran. Sebab, kata dia, Mabes Polri menyampaikan informasi bohong yang awalnya disebut terjadi tembak menembak, namun belakangan dikatakan tidak. \"Ini yang membuat publik juga ya kalau lembaga resmi aja menyampaikan informasi bohong begitu siapa lagi yang kita percaya? Dan itu resmi. Mereka yang bikin sendiri, mereka lagi yang ralat,\" pungkasnya. (Lia)

Dalam Suasana Sakral Mereka Berjoged Ria

Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih NEGARA ini akan dibawa ke mana, seperti dikatakan oleh Prof. Daniel M. Rosyid: “Para pendiri bangsa sudah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tapi kita tidak cukup bernyali memasukinya karena tidak sanggup bertanggungjawab memikul konsekuensi menjadi bangsa merdeka”. “Pembangunan dikerdilkan hanya sekedar menambah jumlah gedung dan panjang jalan, serta koleksi motor dan mobil, bukan upaya memperluas kemerdekaan. Bahkan kita sanggup kehilangan kebebasan demi keamanan dan ketertiban, serta kemakmuran semu”. Memaknai dan merasakan makna kemerdekaan telah hilang dari para petinggi negara. Pemandangan menakjubkan muncul paska upacara HUT RI ke-77 yang sangat sakral di Istana Negara yang seharusnya penuh penghayatan untuk mengenang para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan, berjoged ria persis seperti anak asuhan Oligarki yang sudah jinak, semua masuk dalam hedonis. Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai jasa para pahlawannya. Para pahlawan yang sudah terbujur di makam-makam pahlawan, bukan saja mereka lupakan tetapi sudah mereka nistakan dengan berjoget ria. Berjuang tidak harus dengan nyawa, setidaknya cipta, rasa dan karsa tetap ada dalam diri pemimpin bangsa ini, tidak terlihat makin kering dan hampa. Mereka memiliki tugas  dan tanggung jawab meneruskan perjuangan para pahlawan kita untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Seperti tidak sadar negara sedang kembali dijajah oleh para Oligarki, berubah menjadi negara liberal dan kapitalis oleh penjajah bentuk baru saat ini. UUD 1945 telah diganti, Pancasila telah dimusnahkan seperti mereka tidak sadari, tragis sekali. Renungan mendalam di saat saat upacara kemerdekaan diisi dengan berjoget ria. Apa mereka sedang menikmati sebagai anak manja Oligarki, dengan prilakunya merusak negara ini. Apakah mereka tidak sadar kondisinya makin mengerikan dan berbahaya. Apa tidak terlintas dalam getaran nurani dan rasa bahwa kemerdekaan ini kerja para Bumi Poetra bermodal nekad, dengan bambu runcing, berolah juda di antara debu mesiu, sementara sekujur badannya berlumuran darah. Hanya satu semangat merdeka atau mati, Demi keselamatan dan masa depan anak cucunya. Benturan peradaban terus berlangsung telah memasuki ruang privasi pada leluhur bangsa yang menyimpan tinta emasnya. Episode yang dibangun secara sistematis menuju masa depan untuk anak cucu telah diubah dan tanpa sadar akan dihancurkan. Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Miskin visi - miskin NKRI, kata Ihsanudin Nursi menjadi relevan dengan miskin sejarah dan kering dari penghayatan makna peringatan kemerdekaan yang sakral malah diisi dengan jogedan, tanpa rasa malu. Tragis tragis dan tragis tetapi itu benar-benar terjadi di Istana Merdeka! (*)

Mengungkap Kasus KM 50 Lewat Kasus Duren Tiga: Tuhan Tidak Diam

Oleh Ady Amar | Kolumnis  Tembak-tembakan Duren Tiga yang menewaskan Brigadir Yosua. Tokoh intelektualnya sudah dipastikan, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Tembak-tembakan--versi polisi--di KM 50 yang menewaskan 6 laskar FPI, pengawal Habib Rizieq Shihab, juga ada jejak Ferdy Sambo di sana. Tembak-tembakan anak buah Ferdy Sambo di rumah dinas Polri, itu cuma skenario yang dibuatnya. Yang benar adalah Brigadir Yosua (Brigadir J) \"diadili\" dengan ditembak berkali-kali hingga tewas. TKP dibuat seolah terjadi tembak-tembakan antara Brigadir Yosua dan Bharada Eliezer. Keduanya adalah pengawal Ferdy Sambo dan keluarga. Setelah penyelidikan dari Tim Khusus (Timsus)  yang dibentuk Kapolri, memastikan bahwa tembak-tembakan itu sekadar skenario, seolah terjadi saat Fredy Sambo sedang tidak berada di TKP. Tembak-tembakan seperti jadi skenario favorit yang dipakai. Bisa jadi itu skenario pengulangan dari kasus KM 50, yang dianggap sukses mampu menyumpal nalar publik. Pengadilan dihadirkan cuma jadi tontonan hukum sekadarnya. Pembunuhnya lolos dari jerat hukum dianggap membela diri. Setelah aksi \"tembak-tembakan\" dinihari di KM 50, siang harinya (7/12/2020), dilakukan konferensi pers. Dihadirkan di situ senjata api, pedang samurai yang nyaris berkarat, dan celurit. Disebut milik FPI. Hadir di sana Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman (jabatan saat ini sebagai Kasad), Brigjen Hendra Kurniawan, Karopaminal Divpropam Polri (saat ini ditahan terkait kasus Duren Tiga). Nalar publik disumpal untuk mempercayai tidak saja \"tembak-tembakan\", tapi juga senjata yang dituduhkan milik FPI. Padahal laskar FPI terlarang membawa senjata tajam apalagi senjata api. Tapi kisah dibuat demikian. Dipaksa dengan skenario \"tembak-tembakan\". Untuk sementara memang itu sukses. Pada kasus Duren Tiga, pada awalnya skenario itu tampak mulus-mulus saja. Tapi keluarga Brigadir Yosua tidak percaya begitu saja. Merasa ada yang janggal dari bangunan skenario yang dibuat. Berteriak kencang, bahwa anakku mati tak wajar. Teriakan campur tangisan saat peti jenazah dibuka. Ditemukan kematian tak wajar. Ditubuh Brigadir J ditemukan seperti bekas siksaan. Pada kepala belakang lubang bekas tertembus peluru. Mustahil peluru yang ditembakkan dengan saling berhadapan bisa berputar mengenai tengkorak kepala bagian belakang. Masih banyak kejanggalan lainnya. Keluarga sederhana ini tak mungkin mampu membayar jasa lawyer untuk mengungkap peristiwa kematian sang anak. Tapi para lawyer bermunculan dari etnis Batak--tidak perlu dibayar, itu pastilah rasa solidaritas sesama etnis--hadir membersamai keluarga Brigadir J. Mereka bekerja maraton tak kenal lelah. Lebih-lebih lagi tak kenal rasa takut, bahwa yang dilawan itu institusi kepolisian. Mereka terus \"bernyanyi\" dengan suara keras meminta keadilan sesungguhnya. Melihat antusiasme etnis Batak dalam membela Brigadir J, memaksa Presiden Joko Widodo meminta Kapolri untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Bahkan presiden sampai perlu mengulang tiga kali, semacam \"ancaman\" pada Kapolri. Dibuatlah Timsus untuk menyelidiki kasus Duren Tiga dengan serius. Maka skenario \"tembak-tembakan\" dicoret, dan mulai terkuak dalang dari peristiwa yang sesungguhnya. Nalar publik tak lagi mampu disumpal, dan mencari kebenarannya sendiri. Spekulasi liar muncul, menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Peran Menko Polhukam, Prof Mahfud MD pada kasus Duren Tiga, seperti ada \"bersama\" keluarga korban (Irjen J). Prof Mahfud sangat aktif, ingin kasus ini terbongkar dengan sejujurnya. Komen-komen Prof Mahfud lebih dahsyat dari Kapolri. Bahkan pada beberapa bagian terkesan mendahului institusi kepolisian. Pantas saja ayah dari Brigadir J perlu mengapresiasi Presiden Jokowi dan terkhusus pada Prof Mahfud. Itu hal wajar, karena tanpa campur tangan Jokowi dan Prof Mahfud, kasus itu akan mulus dengan skenario \"tembak-tembakan\", dan dalang sebenarnya tidak terungkap. Jangan tanya peran Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Prof Mahfud MD terhadap terbunuhnya 6 laskar FPI. Presiden Jokowi tidak sampai meminta Kapolri untuk mengungkapnya, apalagi sampai tiga kali. Prof Mahfud pun tak tampak peran serius untuk mengungkapnya. Soal itu bisa dilihat dari jejak digital yang ditinggalkan. Tapi doa Habib Rizieq Shihab atas terbunuhnya 6 laskar FPI yang mengawalnya, doa yang disampaikan di hadapan majelis hakim di PN Jakarta Timur, sungguh menyayat hati, agar keadilan pada kasus KM 50 Allah hadirkan. Juga mubahalah keluarga dari 6 laskar yang terbunuh, itu sudah mulai bisa dipetik hasilnya. Tuhan Tidak Diam, mengijabah doa-doa mereka yang terzalimi. Setidaknya beberapa nama sudah terseret, Irjen Ferdy Sambo dan Brigjen Hendra Kurniawan dan yang lainnya--konon Irjen Fadil Imran sudah mulai diperiksa--dan tampaknya satu per-satu _ngantri_ untuk  mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat. Skenario Tuhan memang indah dan dahsyat, memakai kasus Duren Tiga untuk membuka dan menghukum mereka yang terlibat pada kasus KM 50. Tidak itu saja, bahkan Tuhan memberi bonus dengan membuka jaringan bisnis ilegal--melibatkan banyak petinggi polri--yang dipimpin \"kaisar\" Fredy Sambo. Jaringan kekuasaan yang dipunya, itu sebelumnya seperti tidak tersentuh hukum, hancur lumat seketika, serasa bangunan kokoh yang hancur hanya tertiup angin.Subhanallah. (*)

Gara-gara Vivere Pericoloso, Orde Lama Ngegeloso

  Oleh Ridwan Saidi |  Budayawan  PEMILU 1955 PKI pemenang ke-4. Media PKI Harian Rakyat diikuti koran non-partai Sin Po lalu ganti nama Warta Bhakti, dan Bintang Timur, semua di Jakarta, menjadi makin agresif menyerang lawan-lawannya terutama Masyumi. Bintang Timur, mungkin kebetulan, dalam Belanda de Ster van het Oosten. Ini nama synagog jaman Belanda buat ritual Jewish. Jaman merdeka gedung ini dikuasai pemerintah, kemudian jadi Bappenas. Media Masyumi kebanyakan majalah seperti Hikmah, Daulah Islamiyah yang terbit bulanan. Koran cuma Abadi pimpinan Suardi Tasrif yang beretika. Akhirnya tokoh pemuda Islam Firdaus Ahmad Naquib dan teman-temannya mendirikan Front Anti Komunis. DN Aidit kelojotan, kami tidak bermaksud membalas dengan bikin Front Anti Masyumi. Diresponi Firdaus, Front Anti Komunis bukan anti PKI saja. Firdaus bikin tabloid mingguan Anti Komunis. Kubu media komunis dan simpatisannya dapat imbang tangguh. Setelah  pemerintah Indonesia mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia, lalu Bung  Karno dalam pidato Agustusan 1964 umumkan tahun Vivere Pericoloso, menyerempet bahaya, disingkat Tavip. Tavip jadi nama gang di-mana-mana. Di Grogol ada Gang Tavip. Kepala RT ada yang dipanggil warga pak Tapip. Kedutaan Inggris sering didemo Pemuda Rakyat. Pihak kedutaan merespons dengan parede grup yang memainkan music Scott. Presiden Sukarno melalui Menlu Subandrio mendirikan poros Jakarta-Peking. Peking itu Beijing. Kemudian datang rombongan dukun-dukun (sinshe) China. Katanya mau mengobati Bung Karno. Koran-koran kiri menyiarkan berita dan ulasan-ulasan yang selalu hebat-hebati China, yang dulu disebut Tiongkok. PKI pajang potret Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung di jalan-jalan. Koran kiri sebut Mao Tse Tung Paman Mao. Saya kadang-kadang kalau amati politik kok sering ingat jaman Paman Mao bekend di mari. Itulah situasi Vivere Pericoloso. Hidup susah, mau cari hiburan susah, bioskop putar film China semua, se-waktu-waktu film Korut. Kapan ya ini jaman berakhir? Tahu-tahu percobaan kudeta Gestapu/PKI meledug. BK, PKI, Orde Lama ngegeloso. Terjerembab. (RSaidi).

Sambo, Sambo, Ferdy Sambo!

Oleh M. Rizal Fadillah  | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KONVOI truk pembawa anggota Polisi yang bergerak untuk mengamankan Sidang Putusan Habib Bahar Smith di PN Bandung tanggal 16 Agustus berpapasan dengan pengendara motor. Nampak para pengendara motor itu berteriak ke arah konvoi : Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo..! Menunjukkan sikap negatif kepada para polisi dengan mengaitkan peristiwa Irjen Pol Ferdy Sambo.  Ternyata Duren Tiga aromanya ke mana-mana. Ulah Ferdy Sambo sangat mencoreng institusi Polri.  Proses hukum belum usai, penyidikan masih berlangsung, banyak perwira harus mempertanggungjawabkan penanganan tidak profesionalnya. Bahkan mungkin konspirasi jahat. Antara kerja Propam dengan Satgassus kabur karena keduanya di bawah komandan yang sama yaitu Irjen Pol Ferdy Sambo. Status tersangka yang bersangkutan dipastikan akan bergeser menjadi terdakwa  di pengadilan. Kejaksaan sudah bersiap siap untuk menerima limpahan perkara.  Publik terus mengikuti proses kejahatan yang menurut Mahfud MD \"mengerikan\" dan \"menjijikkan\" ini. Dunia juga tentu ikut terbelalak atas kejadian yang menimpa Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sambo telah membuat gara-gara dan neraka atas lembaga. Desakan agar Polri melakukan pembenahan mendasar semakin mengemuka. Terutama koreksi atas penanganan kasus dengan kekerasan oleh aparat negara. Asa kemanusiaan yang adil dan beradab terasa semakin jauh saja.  Kekejaman Sambo bakal melegenda dan menjadi goresan hitam tebal. Buktinya konvoi truk polisi diteriaki Sambo..Samboo..Ferdy Sambo  ! Di samping kekerasan ada sejuta rekayasa atau kebohongan. Tidak salah ucapan HRS bahwa Indonesia sedang mengalami kondisi darurat kebohongan. Dan kedaruratan yang terdekat ternyata ada pada instansi kepolisian.  Satgassus sudah dibubarkan dan tentu hal ini menjadi awal yang bagus meski masih dituntut adanya audit kasus dan kerja institusi. Masalahnya adalah banyak temuan yang telah  terkuak termasuk harta-harta terpendam yang diduga spektakuler nilainya. Sejak berdiri, Ferdy Sambo selalu menjadi orang penting dari badan non-struktural di kepolisian ini.  Ferdy Sambo menjadi tokoh yang layak untuk dinobatkan sebagai \"Man of the Year\". Meski disayangkan kehebatannya bukan karena prestasi konstruktif untuk bangsa dan negara. Tetapi \"sukses\" dalam memperburuk wajah bangsa dan negara.  Di tengah keruwetan dan amburadul nya penyelenggaraan negara, Sambo tampil sebagai juru sekarat. Membuat sekarat ajudan dan negara kesatuan.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo  ! Engkau bapak mafia di kepolisian.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo !  Karena nila seember rusak susu sekolam.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo !  Dengan bicara martabat keluarga kau hancurkan lembaga dan negara.  Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo ! Menghilangkan nyawa pasti berbuah penjara.  Selamat bermimpi tentang uang narkoba dan perjudian, suap dan pemerasan, penyiksaan dan pembunuhan, korupsi dan penyucian uang, menakut-nakuti bawahan dan memaksa anggota pasukan.  Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo !  Wajah penjajah di negara merdeka.  Bandung, 18 Agustus 2022

Rakyat Indonesia Belum Maharddhika ’Merdeka’

Para elit politik menunjuk (calon) presiden sesuka mereka, bagaikan penjajah menunjuk Gubernur Jenderal. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HARI ini, 77 tahun yang lalu, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan Kemerdekaannya. Dalam hal ini, kemerdekaan mengandung arti bebas dari penjajahan, atau tidak bergantung dari bangsa lain. Kalau bicara dalam konteks negara, Indonesia memang sudah terbebas dari kekuasaan bangsa asing, sudah terbebas dari penjajahan. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan, rakyat Indonesia masih jauh dari ‘merdeka’. Kata ‘merdeka’ berasal dari bahasa sansekerta, maharddhika. Yang mempunyai arti: kaya sejahtera dan kuat. Dalam arti kata ‘merdeka’ yang sesungguhnya ini, maka jelas sebagian besar rakyat Indonesia belum ‘merdeka’: belum sejahtera dan belum kuat. Banyak dari saudara-saudara kita masih sangat lemah, dan tertindas. Tidak mampu mempertahankan hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia yang ‘merdeka’. Begitu sangat lemah, tidak mampu melawan penindasan atas hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Tidak mampu melawan perampasan atas hak tanah dan sumber daya alam milik nenek moyang mereka, dirampas oleh segelintir ‘penjajah’ yang rakus, berkolusi antara penguasa-pengusaha. Rakyat Indonesia sangat lemah, tidak berdaya. Hukum dijalankan sangat tidak adil, seperti hukum penjajah kepada ‘inlander’. Mereka yang seharusnya dihukum, malah dilindungi. Bandar narkoba, bandar judi tidak tersentuh hukum, sampai akhirnya kotak pandora Satgassus mulai terbuka, membuka mata publik yang terbelalak tidak percaya. Apa bedanya penjajah bangsa asing dengan mereka: ‘penjajah lokal’? Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, mereka adalah sama-sama penjajah. Oleh karena itu, ‘merdeka’ dalam arti sesungguhnya: kaya, sejahtera dan kuat, masih jauh di luar jangkauan sebagian besar rakyat Indonesia, maharddhika hanya ilusi. Sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam serba kemiskinan, jauh dari maharddhika ‘merdeka’: kaya, sejahtera dan kuat. Jumlah rakyat miskin Indonesia menurut Bank Dunia sebanyak 150,2 juta orang (2018) atau sekitar 56,1 persen dari total penduduk 2018. Mereka, rakyat miskin tersebut, hanya mempunyai pendapatan di bawah 5,5 dolar AS (kurs PPP 2011) per orang per hari, atau setara Rp30.517 pada 2018, atau sekitar Rp1 juta per orang per bulan. Jumlah rakyat miskin Indonesia ini jauh lebih besar dari jumlah rakyat miskin Malaysia, Thailand, atau bahkan Vietnam yang baru selesai perang dan membangun ekonominya pada 1986. Belum ada tanda-tanda seluruh rakyat Indonesia akan segera menikmati ‘merdeka’, maharddhika. Bahkan semakin lama kondisi ekonomi rakyat semakin memprihatinkan, semakin memburuk. Rakyat tidak berdaya, hanya bisa pasrah, ‘penjajah lokal’ mempermainkan nasib mereka. Elit politik membuat landasan hukum yang merugikan rakyat Indonesia, dengan memberi keuntungan besar kepada para ‘penjajah lokal’. Menyerahkan eksploitasi kekayaan alam kepada segelintir orang pengusaha-penguasa. Kenaikan harga komoditas yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pasal 33 UUD, tetapi faktanya hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha-penguasa saja. Bahkan rakyat hanya mendapat derita, harga pangan dan harga energi naik, belanja subsidi dibatasi, APBN hingga Juli 2022 dibuat surplus sangat besar. Harga minyak goreng yang melonjak, di negara produsen dan eksportir terbesar dunia, sebuah cerminan ekonomi kolonial. Pandemi juga telah memberi keuntungan besar kepada penguasa-pengusaha, mereka menguasai bisnis PCR, dan menentukan harga eksploitasi. Menangguk untung abnormal. Para elit politik menunjuk (calon) presiden sesuka mereka, bagaikan penjajah menunjuk Gubernur Jenderal. Bahkan, menurut kabar, dana hitam yang dihimpun dari Satgassus Merah Putih dengan jumlah yang sangat besar, digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan mendukung dan mendanai calon presiden pilihan agar pasti terpilih. Semua ini menunjukkan, setelah 77 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih terjajah, terbelenggu di bawah kekuasaan para elit penguasa dan pengusaha: oligarki, sama seperti para penjajah asing menguasai nasib rakyat Indonesia. (*)

Mantan Pimpinan OPM Hadir dalam Upacara HUT Ke-77 RI di Arso

Jayapura, FNN - Mantan pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) Lambert Pekikir, Rabu menghadiri upacara Hari Ulang Tahun Ke-77 Republik Indonesia di Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Kedatangan Lambert Pekikir didampingi Komandan Korem 172/PWY Brigjen TNI J.O Sembiring guna mengikuti upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dilaksanakan Pemda Keerom, di lapangan Swakarsa Arso.Danrem 172/PWY Brigjen TNI JO Sembiring mengatakan, kehadiran mantan anggota yang juga pimpinan OPM Lambert Pekikir di HUT RI sebagai tanda beliau benar-benar ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi. \"Kami mengapresiasi komitmen Lambert Pekikir yang ingin bersama-sama membangun Keerom agar lebih maju dan sejahtera dan menolak kekerasan, jika ada permasalahan mari dilakukan dengan dialog,” kata Brigjen TNI JO Sembiring. JO Sembiring berharap, situasi keamanan yang kondusif dapat terus terjaga sehingga Kabupaten Keerom yang aman dan damai terwujud. \"Masyarakat juga ingin daerah ini maju dan sejahtera seperti daerah lainnya di Indonesia sehingga kita harus menjaga tetap aman sehingga pembangunan terus berjalan,\" kata Danrem Brigjen TNI JO Sembiring. Sebelumnya pada Selasa (16/8) malam, Danrem 172/PWY melaksanakan renungan suci di kampung Workwana yang sebelumnya merupakan markas Lambert Pekikir yang di era tahun 2000-an bersama kelompoknya sering kali mengganggu keamanan di wilayah Keerom. (Ida/ANTARA)