ALL CATEGORY

Faktanya, Presiden Berpotensi Lakukan “Kudeta” Konstitusi!

Jika begitu strategi yang “dimainkan” Jokowi dan koleganya, sudah saatnya TNI sebagai penjaga terakhir konstitusi harus segera turun dan Selamatkan Indonesia dari kehancuran. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) DUKUNGAN Relawan Jokowi yang dikemas dalam format Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia di Kota Bandung pada Ahad (28/8/2022) yang dilakukan Presiden Joko Widodo, termasuk tindakan “Kudeta Konstitusi”. Mengapa? Meski Jokowi dalam sambutannya menyatakan dia taat konstitusi, namun dia juga tidak melarang wacana presiden menjabat 3 periode bergulir. Hal itu disampaikan merespons dukungan yang dilontarkan pendukungnya dalam forum Musra Jawa Barat tersebut. “Kan ini forumnya rakyat, boleh rakyat bersuara kan,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya, seperti dilansir Kompas.com. Jokowi mengklaim, mengemukanya wacana jabatan 3 periode untuk seorang presiden merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Bagi dia, wacana-wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak berbeda dengan desakan publik agar presiden diganti atau mengundurkan diri. “Karena negara ini adalah negara demokrasi, jangan sampai ada yang baru ngomong 3 periode (lalu) kita sudah ramai,” ungkapnya. “Itu kan tataran wacana. Kan boleh saja orang menyampaikan pendapat, orang kalau ada yang ngomong \'ganti presiden\' kan juga boleh, ya enggak? \'Jokowi mundur\' kan juga boleh,” kata Jokowi. Dalam forum Musra ini, Jokowi juga kembali menerima dukungan dari para pendukungnya untuk maju lagi sebagai orang nomor satu di republik lewat Pilpres 2024. Merespons dukungan itu, mantan Wali Kota Solo tersebut mengaku dirinya akan taat kepada kehendak rakyat, selain kepada konstitusi. Mulanya, dia bercerita soal adanya pertanyaan-pertanyaan dari para pendukung soal sosok yang perlu mereka dukung dalam Pilpres 2024. “Ya nanti, ini forumnya, di Musra ini ditanya, siapa?” ujar Jokowi. Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan seruan “Jokowi, Jokowi” dari para pendukung. Jokowi pun merespons. “Jokowi, Jokowi. Konstitusi tidak memperbolehkan, ya, sudah jelas itu,” kata dia. “Sekali lagi. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat,” lanjut Jokowi disambut tepuk tangan para pendukung. Kalimat yang sama kemudian ia ulang sama persis sekali lagi. Tapi, justru para pendukungnya semakin kuat mendesaknya maju lagi sebagai capres. “Tiga kali!” seru mereka. “Jokowi! Jokowi! Jokowi!” mereka bersorak sambil bertepuk tangan. Jokowi kemudian mengundang salah satu orang dari kelompok pendukungnya di sana untuk maju menghampirinya. Seorang perempuan mengaku bernama Jeni asal Kota Bandung kemudian dipilih menghadap. Jokowi kemudian bertanya lagi, siapa sosok yang akan didukung oleh Jeni untuk maju capres 2024. “Pak Jokowi, Pak Jokowi lagi,” jawabnya. “Wong sudah diberi tahu, konstitusinya enggak boleh,” sahut Jokowi. “Rakyat mengharapkan Bapak,” jawab Jeni lagi. Jokowi lalu menghadiahinya jaket G20 yang menurutnya tidak dapat dipakai sembarang orang. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, muncul isu ada upaya menjegal Anies Baswedan maju Pilpres 2024. Jika dilihat dari elektabilitasnya yang selalu berada di tiga besar, menjegal Anies sesungguhnya bukan perkara mudah, tapi karena Anies tidak punya partai, hal itu juga bukan tidak mungkin. Isu adanya upaya penjegalan Anies pertama kali didengungkan Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief. Andi membangun asumsi tersebut dari pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut, belum tentu sosok yang elektabilitas tinggi bisa maju pada 2024. Apakah ucapan Jokowi itu secara khusus ditujukan kepada Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo yang memang menunjukkan elektabilitasnya tinggi dari beberapa nama tokoh yang berpotensi maju Pilpres 2024? Hanya Jokowi dan Allah SWT yang tahu. Sebab, kewenangan mengajukan capres-cawapres ada di partai politik. Asumsi kemudian dia kuatkan dengan klaim mendengar kabar adanya upaya untuk menjegal koalisi yang akan mencalonkan Anies. Hal itu dilakukan agar Anies tidak mendapatkan tiket untuk maju Pilpres. “Saya mendengar ada upaya menjegal koalisi yang mencalonkan Anies. Anies tidak mendapat koalisi,” ucapnya, seperti dikutip Twitter @Andiarief_, Ahad (28/8/2022). Elektabilitas Anies Baswedan itu adu cepat dengan bakal dikeluarkannya sprindik. Anies berupaya untuk tampil sederhana dan tidak ada partai, tapi popularitas dia itu terletak pada kapasitas intelektualnya, dan prestasi dia yang memang diperlihatkan di DKI Jakarta. Tetapi, dari beberapa kali ucapan yang dilontarkan Jokowi soal “Ojo Kesusu” dan lantunan lagu dan pujian kepada Jokowi, “Ojo Dibandingke”, jawabannya sudah bisa ditebak: Jokowi Ingin Tiga Periode! Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta pendukungnya yang tergabung dalam organisasi Pejuang Bravo Lima agar tidak terburu-buru dalam menentukan calon presiden yang akan didukung pada Pilpres 2024 mendatang. Pengurus DPP Bravo Lima Ruhut Sitompul menyatakan, hal itu disampaikan Jokowi saat memberikan arahan dalam acara rapat pimpinan nasional Bravo Lima di Ancol, Jakarta, Jumat (26/8/2022). “Sudah itu masalah politik ojo kesusu, bersabarlah, ya entah siapa calon presidennya yang penting kita kerja, kerja, kerja,” kata Ruhut menirukan ucapan Jokowi saat dihubungi wartawan, Jumat siang. Ucapan serupa juga disampaikan Jokowi saat mengundang Relawan Jokowi ke Istana Bogor. Jokowi sampai mengucapkan ojo kesusu sebanyak 5 kali kepada organisasi relawan yang mendukungnya pada Pilpres 2014 dan 2019 di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/7/2022). Pernyataan itu disampaikan Ketum DPP Forum Relawan Demokrasi (Foreder) Aidil Fitri. Ia mengemukakan, konteks kata-kata Bahasa Jawa tersebut terkait penentuan nama capres dan cawapres) yang akan didukung pada Pemilu 2024 mendatang. “Tadi memberi arahan \'ojo kesusu\', jangan buru-buru menentukan capres-cawapres. Saya dengar langsung dan diucapkan sampai lima kali \'ojo kesusu\',” ujar Aidil saat dihubungi Antara di Jakarta pada Jumat malam. Ia melanjutkan, sikap Presiden Jokowi saat mengucapkan kata-kata tersebut sangat jelas ingin fokus dan tidak ingin diganggu oleh hal-hal lain yang dapat menjerumuskan. “Menurut saya ini sangat jelas, beliau ingin fokus tidak diganggu hal-hal yang dapat menjerumuskan beliau. Itu artinya, beliau memberi komando agar satu napas, satu komando dalam menentukan sikap, tapi tunggu waktunya beliau akan umumkan sendiri,” kata Aidil. Untuk dicatat, organisasi relawan yang hadir dalam pertemuan di Istana Bogor itu, selain DPP Foreder, hadir pula Projo, Pospera, Sahabat Buruh Relawan Jokowi, Seknas Jokowi, Pena 98, KIB, Duta Jokowi, Kornas Jokowi, Bara Jokowi Pribadi Jokowi meminta relawannya tidak terburu-buru memberikan dukungan untuk kontestasi Pilpres 2024. Ia mengingatkan relawannya supaya sabar dan tidak mendesak-desak soal dukungan kepada capres. “Kalau sudah menjawab (setuju untuk bersabar) seperti itu, saya jadi enak. Tapi kalau desak-desak saya, saya nanti keterucut. Sekali lagi, ojo kesusu,” kata Jokowi dikutip dari video YouTube. Ojo kesusu (dalam bahasa Jawa) memiliki arti “jangan terburu-buru”. Dalam joke-joke kasar masyarakat pinggiran, ojo kesusu dapat juga bermakna lain. Dalam konteks politik, kata atau frasa tertentu seringkali bermakna ganda dan bersayap. Dan, benar! Inilah buktinya. Justru frasa bersayap itu ternyata untuk pribadi Jokowi. Jawaban ini bisa dibaca dari Hasil Musyawarah Rakyat (Musra) I di Kota Bandung, Jawa Barat pada Ahad (28/8/2022).   Ojo Kesusu yang diucapkan berkali-kali dalam pertemuan dengan relawan dan pendukungnya itu ternyata untuk kepentingan Jokowi Pribadi. Ia masih ingin tanduk untuk jabat presiden periode ketiga, meski konstitusi sudah memberi batasan dua periode saja. Hasil survei peserta Musra sebanyak 5721 orang itu, nama Joko Widodo ada di urutan teratas dengan jumlah 1704 suara (29,79%) sebagai Calon Presiden Harapan Rakyat. Disusul Sandiaga Uno 968 suara (16,92%), Ganjar Pranowo 921 suara (16,10%), Prabowo Subianto 635 suara (11,10%), Anies Baswedan 516 suara (9,02%). Sedangkan untuk Calon Wakil Presiden Harapan Rakyat, nama Ridwan Kamil ada di urutan teratas dengan 2225 suara (38,89%). Disusul Airlangga Hartarto 758 suara (13,25%); Erick Thohir 733 suara (12,81%), Arsjad Rasjid 591 suara (10,33 %), dan Puan Maharani 543 suara (9,49%). Apakah dengan survei terhadap 5721 suara rakyat Jawa Barat itu yang nanti bakal dijadikan pedoman Jokowi untuk meminta agar MPR mengamandemen UUD 1945 (hasil amandemen juga) perihal pasal yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden (2 periode saja)? Jika Presiden Jokowi memaksakan hal tersebut, secara yuridis formal Jokowi telah melakukan “Kudeta Konstitusi”, apapun alasannya. Jika begitu strategi yang “dimainkan” Jokowi dan koleganya, sudah saatnya TNI sebagai penjaga terakhir konstitusi harus segera turun dan Selamatkan Indonesia dari kehancuran. Jangan ambil resiko terlalu lama, sehingga rakyat terus-menerus menderita. Apalagi, upaya menipu rakyat sudah ditunjukkan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan beragam alasan. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat.  Coba saja baca twiter Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), berikut. Bisnis dengan rakyat: harga pertalite naik Rp 2.350 per liter x sisa konsumsi tahun ini anggap 10 juta KL = Rp 23,5 triliun. Harga solar naik Rp 1.650 per liter x sisa konsumsi 5 juta KL = Rp 8,25 triliun. Inikah nilai menyakiti hati masyarakat, nilai keadilan: hanya Rp 31,75 triliun? Di lain sisi, Pendapatan Negara per Juli 2022 naik Rp 519 triliun (50,3%), akibat harga komoditas, yang notabene milik negara, meroket. Bukannya membagi rejeki ‘durian runtuh’ ini kepada masyarakat, sebagai kompensasi kenaikan harga pangan, yang ada malah menaikkan harga BBM: Sehat? Sedangkan ‘durian runtuh’ sektor batubara sangat besar, ekspor 2021 naik $12 miliar, dari $14,5 miliar (2020) menjadi $26,5 miliar. Kenapa Rp 31,75 triliun, sekitar $2 miliar saja, tidak ambil dari batubara ini? “Kenapa harus dari rakyat kecil? Bukankah batubara milik rakyat juga?” tanya Anthony Budiawan. (*)

LaNyalla: Subsidi itu Amanat Pancasila, yang Harus Dihapus itu Korupsi

Jakarta, FNN – Konsistensi Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengusung tema kebangsaan dan falsafah bangsa dalam bernegara kembali disuarakan terkait keputusan pemerintah mengurangi subsidi BMM.  Dikatakan LaNyalla, yang harus dihapus itu korupsi, bukan subsidi. Karena subsidi adalah amanat Pancasila dan tertulis di pembukaan konstitusi sebagai bagian dari cita-cita dan tujuan nasional negara ini.  “Negara ini lahir untuk melindungi tumpah darah, mencerdaskan kehidupan dan memajukan kesejahteraan rakyatnya. Hal itu dilakukan dengan memastikan rakyatnya tidak semakin menderita dan miskin,” tandasnya Minggu (4/9/2022). Ditambahkan, jika kenaikan harga BBM akan membuat rakyat semakin menderita dan menambah jumlah kemiskinan, maka itu tidak boleh ditempuh oleh pemerintah sebagai kebijakan. Apalagi diyakini BLT belum 100 persen menjawab persoalan.  “Seolah subsidi untuk kepentingan hajat hidup orang banyak itu optional (pilihan, red). Bisa dicabut sebagai pilihan. Itu karena kita memahaminya sebagai subsidi. Padahal itu kewajiban negara. Apakah nanti BLT juga akan terus-menerus? Mungkin tidak juga. Jadi perlahan-lahan bisa dihentikan juga,” imbuhnya.  Tokoh berdarah Bugis yang besar di Surabaya ini, mengingatkan bahwa kewajiban negara adalah untuk memastikan rakyat, sebagai pemilik kedaulatan yang sah, dapat mengakses kebutuhan hidupnya dengan layak. Dan semakin hari semakin sejahtera. Bukan semakin susah. Apalagi sampai bunuh diri karena kemiskinan.  “Jangan menambah paradoksal yang sekarang semakin banyak. Justru yang wajib dilakukan pemerintah adalah menghilangkan total korupsi yang membebani APBN kita. Jangan kemudian memberi perlindungan rakyat dianggap membebani APBN. Sementara bayar bunga utang sekitar 400 triliun rupiah setahun pemerintah tidak mengeluh,” ungkapnya.  Lanjut LaNyalla, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia masih berkutat di angka 37 hingga 40 dalam beberapa tahun ini. Dan Indonesia masih berkutat di peringkat 96 hingga 102 dari 180 negara di dunia. “Artinya ada kerugian perekonomian negara yang besar. Yang seharusnya sampai ke rakyat sebagai bagian dari kewajiban negara,” sambungnya.  Sehingga, tambahnya, sudah seharusnya negara serius terhadap persoalan ini. Termasuk membongkar semua kerugian perekonomian negara akibat perlindungan-perlindungan gelap terhadap kejahatan perjudian, narkoba, pencucian uang, penambangan ilegal dan kejahatan ekonomi lainnya.  “Dan yang paling penting, kita harus kembali kepada Pancasila dan sistem bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa, agar negara ini kembali berdaulat atas sumber kekayaan Indonesia. Sehingga tidak semakin dinikmati segelintir orang yang berkolaborasi dengan Asing dan Aseng,” pungkasnya.  Seperti diketahui, LaNyalla memang menggagas kesadaran bangsa Indonesia untuk kembali ke sistem asli yang dirumuskan para pendiri bangsa, dimana seluruh elemen rakyat ikut menjadi penentu arah perjalanan bangsa, dan kembali fokus kepada Pasal 33 UUD 1945 naskah asli berikut penjelasannya. Sebelumnya, 21 Agustus silam, LaNyalla sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak mengambil opsi kenaikan harga BBM. Karena kebijakan itu bisa memiliki efek domino yang serius. Oleh sebab itu, pemerintah harus mendengarkan suara keberatan dari masyarakat. (mth/*) 

Jokowi Butuh Anies

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Bagaimana Joko Widodo pasca menjadi presiden? Hanya Tuhan yang tahu dan sebisanya menunggu reaksi rakyat. Dengan kondite buruk dan terus terpuruk, Jokowi perlu memikirkan bagaimana ia bisa \"soft landing\" usai tidak lagi ada di Istana. Sebaliknya dengan Jokowi, Anies Baswedan justru semakin bertumbuh dielu-elukan rakyat untuk menjadi presiden berikutnya. Sepertinya, Jokowi dan keluarga beserta lingkar kekuasaannya, masih membutuhkan Anies untuk keselamatan dan keamanan politik saat terjadinya transisi kekuasaan. Dibesarkannya oleh kekuatan oligarki, Jokowi bersama kroni kekuasaannya seiring waktu cenderung menjadi \"public enemy\" di ujung pemerintahannya. Praktik-praktik KKN dan pelbagai kejahatan kemanusiaan yang menyelimuti perjalanan pemerintahannya selama dua periode, semakin mengarah dan nyaris membuat Indonesia menjadi negara bangkrut. Kegagalan teknis dan strategis menyeruak dalam setiap kebijakannya dan implementasi pembangunan nasional. Infrastruktur yang tak terukur, uang negara yang terkuras bukan untuk kesejahteraan rakyat dan aparatur rakus dan brutal dalam menjalankan roda pemeruntahan merupakan warisan buruk rezim Jokowi, yang dihiasi perilaku penuh kebohongan dan tak punya sedikit pun integritas. Selain menjadi rezim otoriter dan cenderung dzolim kepada rakyat, Jokowi bersama infrastruktur kekuasaan politiknya, secara subyektif dan tendensius juga giat mereduksi figur Anies sebagai pemimpin potensial masa depan.  Sebagian besar politisi-politisi dan birokrasi yang menjadi sub koordinat  pemerintahan Jokowi, sangat kentara membenci dan memusuhi Anies. Mulai dari lembaga survey hingga para buzzer, intens membuat opini menyesatkan dan framing jahat, jika perlu \"membunuh\" karir politik Anies. Akan ada perjalanan waktu, layaknya hidup manusia seperti roda yang terus beputar, kadang di bawah kadang di atas. Begitupun posisioning politik Jokowi dan Anies, kedua figur pemimpin beda kutub yang paling berpengaruh dalam konstelasi politik nasional itu, bukan tidak mungkin menjadi dinamis, saling berhadapan atau bisa juga membuka ruang sinergi dan elaborasi. Mendorong terjadinya simbiosis mutual dan berorientasi pada kepentingan rakyat, negara, dan bangsa. Dengan karakteristik yang sesungguhnya jauh bertolak belakang secara signifikan, membuat relasi politik Jokowi dan Anies menjadi begitu menarik dan ditunggu-tunggu publik. Jokowi sebagai presiden yang disokong penuh oleh kekuatan oligarki, momen menjelang pilpres 2024 memungkinkan akan bertemu dengan Anies sebagai capres fenomenal yang berbasis dukungan rakyat. Akankah keduanya berkonflik ria dan mengambil langkah diametral? Ataukah keduanya bisa menemukan titik kompromis yang melalui transisi kekuasaan kepemimpinan nasional yang perhelatannya tak lama lagi? Oligarki menjadi faktor penentu dari polarisasi figur Jokowi dan Anies terkait usungan parpol dan basis dukungan massa keduanya, dalam menghadapi pemilu dan pilpres yang kental dengan kucuran modal besar dan serba transaksional. Keniscayaan kapitalisme dan pengaruhnya yang kini bermuara pada kekuatan oligarki, pada akhirnya menjadi pemain utama dan paling menentukan dari proses suksesi presiden. Bagaimana ongkos ekonomi, sosial danpolitik pesta demokrasi yang berbiaya tinggi itu dapat melahirkan pemimpin boneka atau yang sejati mengemban amanah rakyat. Menjadi krusial dan menarik untuk diikuti perkembangannya baik oleh rakyat maupun elit politik. Akankah kekuatan oligarki dapat memenangkan kembali pilpres 2024 seperti pilpres sebelumnya. Atau memang akan terjadi proses demokrasi sejati yang menghadirkan pemimpin yang berasal dari rahim rakyat. Bukan pula hal yang mustahil tercipta \"win-win solution\", dari friksi dan fragmentasi dalam pilpres 2024. Jokowi sebagai presiden yang dibayangi stigma kepemimpinan gagal, tentunya menjadikan pertarungan pilpres 2024 sebagai sesuatu yang \"to be or not to be\". Dengan kepercayaan diri tinggi dan dukungan oligarki di belakangnya, Jokowi hanya punya dua pilihan. Memenangkan jabatan presiden tiga perodenya, atau akan menyiapkan sekoci dengan figur siapapun yang nantinya akan terpilih di pilpres 2024. Meskipun dominan pragmatis, oligarki juga tak sekonyong-konyong mengatrol pemimpin yang rendah elektabilitas dan tingat keterpilihannya, terlepas dengan rekayasa sosial maupun secara alami lahir dari dukungan rakyat. Sebagai entitas ekonomi yang memiliki korelasi kuat dengan dunia politik, oligarki juga memiliki kalkulasi dan rasionalisasi politik selain dengan tidak meninggalkan karakter \"safety player\" yang sejauh ini sukses diperankan para pengusaha skala besar. Termasuk menggiring partai politik dan instrumen kelembagaan pemerintahan lainnya seperti KPU, TNI dan Polri. Kehadiran Anies dalam hingar-bingar panggung politik pilpres 2024 yang begitu trengginas, harus diakui sudah mulai mencuri perhatian para sutradara, aktor dan partisipan politik seantero Indonesia dan mencuri perhatian dunia internasional. Pelbagai apresiasi dan reaksi bermunculan mulai dari munculnya \"supporting system\" hingga menjadikannya sebagai ancaman, terasa menggeluti Anies. Lantas, bagaimana dengan Jokowi? Mengambil garis tegas dengan rivalitas terhadap Anies, atau membangun permufakatan politik yang bisa jadi menjadi konsensus transisi kepemimpinan nasional, yang menyelamatkan republik ini. Terutama di tengah situasi dan kondisi kebangsaan yang rapuh dan rentan berbahaya bagi masa depan Indonesia. Tak terbantahkan, dengan performan rezim pemerintahan sekarang yang semakin merosot. Sebaiknya Jokowi bisa pikir-pikir dulu sebelum jauh melangkah dan salah jalan dalam melakukan manuver dalam pilpres 2024. Mampu merangkai hubungan yang harmonis dan selaras, antara kekuatan oligarki bersama lokomotif dan gerbong politik rakyat. Pun, dengan Anies yang kini mengemuka dan tak bisa menghindarkan diri menjadi irisan dari domain pemain politik dan ekonomi. Karena bagaimanapun juga Anies semakin menguat menjadi bagian dari dinamika dan representasi substansi demokrasi kekinian. Terlepas adanya dualisme demokrasi yang mengemuka antara politik realitas dan politik ideal. Jokowi memungkinkan untuk sekali saja bisa menjadi figur pemimpin yang nasionalis dan patriotis. Mendengar suara rakyat dan sebisanya bergaul intim dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa. Demi mengembalikan Indonesia yang sebenarnya, termasuk jangan ragu jika kenyataannya Jokowi membutuhkan eksistensi Anies. Kebutuhan pada estafet kepemimpinan nasional yang kondusif dan terjaga keamanannya, termasuk sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum. Masih ragu jika Jokowi butuh Anies? Tunggu saja rakyat akan melakukan apa dan sejarah yang akan menjawabnya. Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan. (*)

Gaya Hidup Polisi yang Hedon Bikin Netizen Kepo dan Salfok

SEORANG pejabat Polri, Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, yang dalam beberapa kali tampil tampak kece kita lihat fotonya. Dia pakai baju warna hitam garis-garis dan beda sekali dengan yang lain yang berseragam. Terus waktu dia pakai baju kemeja putih mirip Presiden Jokowi itu, tapi ternyata ada garis hitamnya kecil. Rupanya perhatian netizen itu luar biasa karena ternyata baju itu produk dari Burberry, brand ternama. Pakaian yang dikenakan Brigjen Andi Rian membuat netizen tertarik untuk membahasnya. “Saya kira netizen memang agak iri itu karena mereka cuma bisa melihat brand-nya,” komentar pengamat politik Rocky Gerung. “Yang mungkin dipersoalkan netizen, ngapain polisi itu musti pamer Burberry? Polisi itu harusnya setara dengan kesederhanaan rakyat. Polisi nggak boleh jadi social climber,” lanjutnya kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief. Berikut ini petikan dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (3/9/2022). Halo Bung Rocky, ketemu di akhir pekan hari Sabtu. Sekarang ini di di media sosial ramai sekali, bahkan sekarang sudah mulai muncul di media-media mainstream, media konvensional, yang menyoroti ini Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, yang dalam beberapa kali tampil memang kece kita lihat fotonya. Dia pakai baju warna hitam garis-garis dan beda sekali dengan yang lain yang berseragam. Terus waktu dia pakai baju kemeja putih mirip Jokowi itu, tapi ternyata ada garis hitamnya kecil gitu. Rupanya perhatian netizen itu luar biasa karena ternyata baju itu produk dari Burberry, brand ternama gitu. Memang saya baca perdebatannya apa nih, sampai ini mirror bukan? Miror itu KW. Ini kalau dulu misalnya terkenal ada DKNY (Donna Karan New York), tetapi Donna Karan itu dulu produksi dua layer, layer yang memang mahal dan layer yang rada murah. DKNY itu bagian murahnya sebetulnya. Tapi kan orang Indonesia nggak-ngerti itu. Kalau Donna Karan itu produk mahal mungkin dibikin cuman 30 pcs: 5 ditaruh di Milan, 2 ditaruh di Tokyo, sisanya ditaruh di Perancis. Itu yang disebut sepenuhnya high fashion. Ada bagian yang bisa dibeli di Tanah Abang, DKNY, yang sudah dibuat di Bandung dan orang bisa bikin sendiri. Jadi itu yang disebut sebagai “mau mencitrakan diri dengan mengonsumsi sesuatu”. Saya kira netizen memang agak iri itu karena mereka cuma bisa melihat brand-nya. Kalau kita pelajari misalnya Burberry ini, kan itu persaingan di dalam fashion Eropa mungkin 200 tahun lalu dan berupaya untuk mempertahankan brand itu dan memang berhasil. Dulu kan brand itu industri rumahan, tapi karena diasuh dengan baik lalu Burberry jadi konsumsi bintang film mungkin tahun 1950-an. Dulu saya pernah cerita soal tas mewah Hermes yang dulu dipakai oleh Crace Kelly untuk menutupi kandungan dia kemudian terfoto oleh paparazi, tahun 50-an. Sekarang semua orang ingin beli Hermes itu, padahal Hermes dulu itu dipakai untuk merahasiakan kepribadian. Karena itu disebut dulu Grace Kelly bag. Orang nggak tahu sejarahnya Grace Kelly ketika menikah dengan pangeran dari Monaco. Semua merek itu ada sejarahnya. Di kita sekarang tas Hermes menjadi barang mewah yang sudah dipamer-pamerkan, padahal tas itu di dalamnya ada suatu peristiwa hak asasi manusia. Sekarang ada orang pakai Hugo Boss, padahal Hugo Boss itu sebetulnya yang pakaian militer Jerman. Jadi Hugo Boss ini temennya Hitler, disewa oleh Hitler untuk bikin pakaian tentara Jerman, jadi memang bagus betul. Jadi, kita tahu bahwa Hugo Boss itu mengakumulasi kapitalnya justru dengan memperlihatkan tawanan perang. Mereka yang pakai Hugoboss sebetulnya itu melanggar hak asasi karena Hugoboss itu kapitalisasinya dia manfaatkan tawanan perang Hitler waktu itu. Tapi itu peristiwa masa lalu. Saya cuma mengingatkan bahwa di setiap merek ternama ada jejak dan mungkin Burberry itu produk Inggris dan pasti itu produk bermutu. Burberry bahan yang pertama kali tahan air, karena saya suka naik gunung saya tahu untuk bahan Buberry bahan pertama yang waterproof, tapi dulu dipakai oleh tentara perang itu Burberry.  Ya bagus juga Pak Polisi tadi juga mungkin ingin hujan-hujanan, sehingga pakai Burberry. Sekali lagi, yang mungkin dipersoalkan netizen, ngapain sih polisi itu musti pamer Burberry? Ngapain anggota DPR musti pakai Hugoboss yang harganya mungkin 60 juta rupiah yang paling murah. Kan mereka wakil rakyat. Demikian juga polisi. Kan polisi itu harusnya setara dengan kesederhanaan rakyat. Agak aneh mereka pakai baju mahal. Pamer begituan yang buat orang Indonesia akhirnya dicari-cari walaupun ada juga orang yang iri sebetulnya. Kan orang iri pasti nyari. Tapi rasa iri itu memang terhadap pejabat-pejabat yang dianggap berlebihan. Nggak ada orang yang iri kalau ada CEO naik privat jet dan memang dia punya aktivitas kapital yang besar ya biasa saja. Justru bagi pejabat-pejabat yang di bawah itu yang berupaya untuk naik kelas jadi agak aneh, jadi social climber. Dan polisi kan nggak boleh jadi social climber. Ini kan kalau saya baca misalnya harga baju yang garis-garis hitam ini katanya  12 juta sudah diskon, tapi tetap sajalah jauh dari profil seorang polisi, sekalipun dia Jenderal. Dari segi kemampuan mungkin kalau setahun sekali gantinya bolehlah, tapi kalau ganti-ganti fashionnya kelihatan banyak.  Ya, hal-hal semacam ini bagi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kolonialisasi, itu kelihatannya berlebihan. Tentu kita nggak akan larang hak orang itu, tetapi kemasukalannya yang dipersoalkan. Ya mungkin polisi bisa jawab bahwa itu hadiah atau istri saya punya bisnis. Itu urusan mereka. Urusan kita adalah kemasukakalan dari penampilan-penampilan ini. Memang agak ramai sih, sebelumnya misalnya Putri Candrawati pun ketika dia sedang menjalani rekonstruksi juga netizen tahu harga tasnya. Disebutkan tasnya guci. Walaupun guci lama tapi harganya juga masih puluhan juta. Kemudian waktu rekonstruksi di rumahnya juga disorot ada satu lemari khusus tas branded gitu. Belum lagi mobil-mobil mewah Ferdy Sambo, mobil mewah Hendra Kurniawan yang sekarang sedang menghadapi sidang kode etik. Nah, saya ingin mengajak Anda untuk melihat apa sebenarnya fenomena semacam ini? Karena banyak sekali orang hedon. Iya itu kata hedonisme juga bukan hal yang tepat sebetulnya karena di dalam hedonism ada etiknya juga itu. Tapi bagi muda sekarang kok hedon banget? Kira-kira begitu kan? Kok mau pamer banget. Jadi pamer kemewahan sebetulnya kan? Jadi istilah hedonisme langsung dianggap ini kok mewah yang nggak pantas. Sebab ada orang yang hedon itu ya memang dia pantas karena misalnya musti datang ke jetset society ada gala dinner, musti tahu table manner segala macam. Itu bukan hedonisme. Itu memang aturan peradaban begitu. Tetapi kalau dia dilebih-lebihkan yang nggak penting sebetulnya itu baru disebut oleh anak seorang hedon. Nah, gejala hedon ini yang selalu terkait dengan akumulasi kapital. Jadi pameran kapitalisme itu pasti menimbulkan hedonisme. Padahal sebetulnya milenial dunia sekarang itu berupaya untuk tidak lagi mengonsumsi barang-barang yang diproduksi dengan akibat lingkungan jadi rusak. Sekarang misalnya netizen di British di tempat Burberry ini dibuat, anak mudanya itu akan cari lewat internet siapa anak muda di Brazil yang size-nya sama dia mau kirim bajunya supaya tuker-tukeran gitu. Jadi mereka berupaya supaya nggak usah lagi beli baju. Paling baju yang dibuat untuk dipakai 2 tahun itu paling dalam enam bulan orang sudah bosen. Lalu fashion-nya berubah. Sekaligus saya terangkan bahwa fashion itu artinya yang berubah-ubah. Fashion artinya yang berubah-ubah. (ida)

Sumur Mandi Rancan Tempat Bersuci Arkhaelogi Jakarta (II)

Oleh Ridwan Saidi Budayawan Photo atas oleh RS, sumur Mandi Rancan yang berada di bangunan restoran di Jl Kakap, Kota, seberang Kampung Berok. Bujangga Manik adalah resi Kerajaan Sunda XIV M yang melakukan perjalanan dua kali keliling Jawa dan sekali ke Bali. Bujangga menyebut kota ini Kalapa. Mulai perahu yang ditumpanginya merapat di pelabuhan Kali Adem, ia mengisahkan perjalanannya kembali dari Kalapa ke kerajaan Sunda. Ia bercerita dari pelabuhan ia melewati pabean. Ketika ia sampai di Mandi Rancan ia berbelok ke timur menuju arah Ancol. Kemudian ia memasuki hutan (Jl Gunung Sari). Sumur Mandi Rancan untuk mandi bersih dalam makna spiritual. Bujangga Manik dalam perjalanan pulang dari Cimanuk ke Kalapa menggunakan  perahu. Kalapa-Bogor berjalan kaki sampai   dekat tujuan ia berprau. Dari  Kalapa ke Bogor ditempuh dalam sehari semalam. Buyut Nyai Dawit resi era Prabu Siliwangi yang berdiam di desa Pager Resi, Cibinong. Ia wafat dan dimakam disini.  Nyai Dawit menulis kitab tahun 1518 berjudul Sanghyang Siksha Kandang Karesian, Tuhan mereka yang menikmati hidup dalam himpunan para resi.  Sanghyang Siksha Kandang lebi banyak berisi laporan perjalanan Nyai Dawit ke Sunda Kalapa dan Karawang. Ini bukan dongeng, dan dapat jadi rujukan.  Selain itu Nyai juga melapor perkembangan Islam di Cibinong dan sekitar. Nyai cerita perkembangan Islam, yang disebutnya kaum langgara (berasal dari kata langgar = penerangan), dengan banyaknya berdiri langgar.  Kaum langgara (muslim) ada pimpinannya. Tapi Nyai berseru agar tetap berpegang pada ajaran leluhur. Nyai mengamati pergaulan di labuhan Sunda Kalapa. Kerumunan orang yang berbicara rupa-rupa bahasa. Nyai sarankan kalau tidak kuasai banyak bahasa jangan jadi penerjemah di Sunda Kalapa.  Di Karawang Nyai meninjau pengrajin batik. Nyai berkata corakan batik khas Karawang Gringsing Wayang.  Makam Nyai di Pager Resi di halaman rumah seorang penduduk. Makamnya terawat. Naskah lama seperti Lalampahan dan Sanghyang sangat berguna untuk pendalaman sejarah karena bersifat reportage semasa.  Akhirul qolam CABE ikut prihatin atas kenaikan harga BBM. Moga2 kita bershobar dan khobar-khobar  elok ke haribaan kita. (RSaidi)

Politik Identitas, Dicerca dan Dipuja

Para pihak yang selama ini membenci politik identitas, kini justru mengekornya. Yang pria pakai peci, yang perempuan pakai tutup kepala. Tak peduli apa agamanya. Oleh Octaviani Prisetyo | Jurnalis Yunior FNN  TIDAK dapat dipungkiri bahwa politik identitas memegang andil tersendiri di Indonesia. Keberagaman etnis, suku, agama, kepercayaan, serta budaya semuanya kental dengan politik identitas dalam memenuhi tujuan yang sama. Politik identitas seringkali dijadikan sebagai alat atau media untuk menyuarakan aspirasi dalam upaya mendapat dukungan kelompok tertentu, misalnya oleh kaum minoritas. Makna politik identitas ini seharusnya tidak mengalami misinterpretasi atau bahkan disalahgunakan oleh para politikus, terutama yang tujuannya demi mendapat perhatian golongan tertentu sehingga berorientasi kepada kepentingan pribadinya.  Berbagai persoalan mulai dari politik hingga ekonomi terjadi di negeri ini, antara lain mengenai tarik ulur rencana kenaikan BBM, mahalnya harga kebutuhan pokok, persiapan pemilihan umum (pemilu) 2024, dan masih banyak permasalahan lainnya. Pada pidato kenegaraan HUT Ke-77 Republik Indonesia, Presiden sempat menyinggung politik identitas dan meminta agar tidak terjadi lagi di pemilu yang akan datang. Politik identitas marak terjadi saat pergelaran pemilu, salah satu contohnya terjadi di tahun 2019, yang mana menghasilkan kubu-kubu politik antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.  Salah satu istilah kubu politik yang ada sejak pemilihan presiden (Pilpres) 2019 adalah \'Cebong\' atau istilah bagi pendukung Presiden Joko Widodo \"garis keras\". Dalam pantauan melalui media sosial, kelompok ini seringkali mengutarakan kritik dan komentar mereka mengenai kebijakan pemerintah maupun kelompok kubu politik lainnya. Beberapa di antara mereka mengkritik kegiatan keagamaan (sebagai politisasi identitas) yang digelar dalam rangka mendoakan pejabat negara yang akan maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2024. Walaupun terkadang, orang yang berkomentar secara tidak sadar juga teridentifikasi melakukan politik identitas yang menjadikannya munafik dalam berpolitik.  Kemudian di lain persoalan, tak jarang pula kita menemukan pejabat negara non-muslim yang rela mengenakan kopiah sebagai dalih untuk mendapat perhatian dan dukungan dari sejumlah golongan terkait. Banyak oknum pejabat negara yang mengaku bahwa dirinya merupakan bagian dari partai yang \'netral\' dan tidak ingin terjebak dalam polarisasi, namun pada kenyataannya masih berpihak dan mendukung pejabat lain yang dikenal sebagai salah satu pelaku politik identitas.  Persoalan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kepentingan politik yang dipimpin oleh elite politik untuk mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi politik identitas. Hal ini menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah sehingga memunculkan permasalahan baru di dalamnya. Pemilu yang seringkali mencampuradukkan persoalan agama dengan persoalan negara sehingga berujung pada diskriminasi agama memunculkan pertentangan politik identitas.  Menurut pengamat Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, diperlukan adanya komitmen dari elite politik untuk meredam eksistensi dan perkembangan politik identitas. Salah satu fokus utamanya, yaitu dari pelaku yang akan berkompetisi dalam pemilu. Meskipun begitu, dirinya tidak membantah bahwa politik identitas akan selalu ada dalam pemilu dikarenakan kemajemukan etnis suku dan agama yang dimiliki Indonesia. Politik identitas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia karena bagaimanapun, agama tidak bisa dipisahkan dari persoalan kenegaraan.  Berdasarkan segi historis, sejarah kemerdekaan Indonesia telah membuktikan bahwa agama (dalam konteks ini Islam) telah memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk bangsa Indonesia, salah satunya disepakatinya Pancasila sebagai landasan negara. Tercapainya kemerdekaan Indonesia juga tidak lepas dari usaha para pemuda yang memperjuangkan persatuan bangsa, di antaranya diserukan oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan lain sebagainya. Semua itu masih berkaitan dengan politisasi identitas yang ditunjukkan melalui keagamaan dan solidaritas antarpemuda dari setiap daerah. Artinya, politik identitas memiliki nilai sejarah penting dalam proses kemerdekaan Indonesia dan digunakan sebagai wahana pemersatu bangsa.  Penyebaran informasi yang semakin cepat di era digital seperti saat ini mesti dibarengi dengan masyarakat yang bijak dalam mengkritisi informasi yang diterima. Kemajuan teknologi yang tidak diseimbangkan dengan kedewasaan masyarakat dalam menggunakan media dapat mengubah perspektif seseorang terhadap suatu hal. Kegagalan pemerintah dalam menjaga kredibilitas pemerintahan, ditambah dengan adanya keinginan mempertahankan kekuasaan menjadikan politik identitas dimanfaatkan untuk memperoleh suara rakyat. Penggiringan dan pembentukan opini publik melalui media massa maupun media sosial dapat berpotensi memecah belah persatuan bangsa.  Sebagai makhluk intelektual, kita dapat menyikapi politik identitas dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya pada publik agar dapat membuktikan bahwa agama dan nasionalisme dapat sejalan dengan tujuan menjaga kedaulatan negara Indonesia. Pertentangan yang muncul tidak seharusnya dibiarkan meluas, apalagi hingga menghadirkan kebijakan yang mengandung propaganda. Merebaknya politik identitas merupakan salah satu tantangan serta ancaman bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peranan masyarakat sekaligus pemerintah untuk tetap berpegang pada prinsip demokrasi dan melakukan pencegahan terhadap politik yang berpotensi menyebarkan SARA. (*)

Konsolidasi Desa Bersatu Siapkan Capres 2024 Peduli Desa

Jakarta, FNN - Hasil konsolidasi lima organisasi desa sepakat bersatu menjemput calon Presiden 2024 mendatang. Desa Bersatu menjadi wadah yang ditujukan untuk mengonsolidasikan kekuatan desa dalam menentukan calon Presiden pada Pemilu yang akan datang. Dengan adanya wadah ini diharapkan dapat menjaring dan mengantarkan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memihak dan memiliki visi misi untuk kemajuan desa. Sehingga desa memiliki bargaining position dalam menentukan kebijakan nasional ke depan. Melalui Desa Bersatu ini diharapkan desa tidak lagi menjadi penonton, tetapi juga ikut mengambil peranan.  Hal ini diutarakan dalam konferensi pers bertajuk Konsolidasi Desa Bersatu yang diprakarsai oleh 5 organisasi desa, diantaranya Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (ABPDNAS), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Dewan Pengurus Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPN PPDI). “Kami sudah sepakat akan menggelar konvensi untuk menjaring capres yang didukung perangkat desa pada Pemilu 2024. Konsepnya kami akan menjaring capres dan cawapres yang mempunyai visi dan misi pembangunan desa,” kata Asri Anas di Kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2022). Rincian kegiatan konvensi penjaringan nama capres 2024, dimulai dari pra konvensi yang akan digelar pada Okotober 2022 di Jakarta, dilanjutkan dengan lima kali Konvensi daerah yang dilaksanakan pada 5 Provinsi berbeda. Terakhir, konvensi final akan digelar pada Juni 2023 di Jakarta. Para anggota Desa Bersatu akan membahas tujuh nama bakal capres selama konvensi. Dalam keterangannya Asri Anas selaku Ketua Dewan Pengarah, mencontohkan 7 nama diantaranya Puan Maharani, Airlangga, Anies Baswedan, Prabowo, AHY, Ridwan Kamil, dan Sandiaga. Nama-nama ini dinilai kemudian, dipilih 3 besar oleh peserta dalam konvensi yang akan diumumkan pada konvensi final di Jakarta. Selain menjaring capres 2024, dalam konvensi tersebut juga akan menentukan poin-poin yang menjadi aspirasi desa untuk dilaksanakan oleh para calon presiden. “Tiga nama capres yang terpilih di Konvensi Final harus menandatangani kontrak politik dengan Desa Bersatu. Kontrak ini  isinya poin-poin aspirasi yang berkonsentrasi pada pembangunan desa,” Terang Asri Anas. Nantinya, salah satu dari capres dan cawapres hasil konvensi Desa Bersatu akan diberikan dukungan penuh dalam proses pemengan Pemilu, termasuk akan menjalin komunikasi dan kolaborasi dengan partai politik yang mengusung capres yang terjaring dari hasil konvensi.

Pembunuhan Berencana Hingga Judi Online, Akankah Ferdy Sambo Dihukum Mati

Pengusutan kasus pembunuhan berencana yang membelit Ferdy Sambo dan istri ibarat sinetron picisan. Setiap hari berubah skenario. Bumbu esek esek lebih dominan. Oleh Rachmat | Jurnalis Yunior FNN  BERAWAL dari laporan Putri Candrawathi (PC), istri dari Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Ferdy Sambo (FS) terkait pelecehan seksual oleh Brigadir Nofriyansyah Yoshua Hutabarat (J). Hal itulah yang melatarbelakangi kasus baku tembak antar polisi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta. Yang kemudian dibantah bahwa hal tersebut hanyalah skenario belaka yang dibuat oleh Irjen Ferdy Sambo. Dengan dicopotnya Ferdy Sambo dari jabatan Kepala Divisi (Kadiv) Propam dan dibubarkannya Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih yang juga dipimpin olehnya. Maka terbukalah kejadian yang sebenarnya terkait pembunuhan Brigadir J oleh Penyidik, bahwa telah terjadi pembunuhan berencana. Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J bersama dengan empat tersangka lain, Bripka Ricky Rizal (RR), Bharada Ricard Eliazer (E), Kuat Ma\'ruf (KM), dan Putri Candrawathi, istrinya. Setalah pemeriksaan para tersangka, diketahui bahwa tidak ada tembak-menembak di rumah dinas Ferdy Sambo. Dan yang anehnya, keterangan para tersangka yang berbeda-beda, serta berubah-ubah. Pada awalnya PC mengatakan dilecehkan oleh Brigadir J di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat (08/07/22). Dan keterangan itu berubah menjadi di rumah pribadi FS di Magelang kemudian hari. Dan lagi, dirinya masih bersikeras mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang padahal keterangan itu telah ditolak oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Polri Brigjen Andi Rian Djajadi. Bahkan setelah dilakukan rekonstruksi yang memperagakan 78 adegan  di tiga lokasi, yaitu di Kawasan Duren Tiga, Jakarta, rumah dinas  Ferdy Sambo, rumah pribadinya di Jalan Saguling, dan di Magelang, Jawa Tengah. Bharada E melihat kejanggalan dan perbedaan dari para tengsangka lain dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pembunuhan yang melibatkan banyak polisi itu pun masih terus dikawal oleh publik agar polisi dapat menyelesaikan secara adil dan transparansi. Lebih-lebih dengan 97 personil, dan 35 di antaranya diduga melanggar kode etik. Bukankah itu adalah jumlah yang besar untuk menutupi satu kasus pembunuhan?  Yang masih menjadi pertanyaan besar masyarakat adalah \"apa motif sebenarnya?\" Benarkah pembunuhan Brigadir J hanya dilatarbelakangi oleh laporan dari PC, yaitu karena terjadinya pelecehan seksual? Ataukah sebuah perselingkuhan seperti yang dikatakan oleh Deolipa Yumara pada Selasa (29/08/22) lalu. Lebih dari itu, mungkinkah  ada hal yang jauh lebih besar dan tidak terduga oleh masyarakat terkait motif? Kita hanya dapat menunggu soal itu. Namun, Kapolri Listiyo Sigit Prabowo sendiri mengatakan akan mengungkapkan motif yang sebenarnya pada persidangan nanti. Sayangnya tidak ada kepastian kapan itu akan digelar. Hal itulah yang membuat masyarakat terus-menerus berasumsi terhadap kinerja Kepolisian. Apalagi, di tengah carut-marutnya kasus pembunuhan Brigadir J, muncul sebuah bagan \"Kaisar Sambo dan Konsorsium 303\". Sebuah diagram tentang aliran dana judi online (daring) yang merebak luas dan melibatkan banyak perwira tinggi polisi. Tidak ada kepastian dari Kapolri tentang kebenaran Bagan tersebut. Akan tetapi, pihak lain meyakini bahwa bagan itu benar adanya. Walaupun belum diketahui pasti seberapa besar kebenarannya sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Kebenaran atas bagan itu pun diperkuat oleh anggota DPR Komisi III, Arteria Dahlan yang mengatakan bahwa bagan itu benar adanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kapolri Listiyo Sigit Prabowo pada Rabu (24/08/22) di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam RDP, Kapolri menegaskan bahwa pihaknya  sedang mendalami kasus tersebut. Namun, tak ada kepastian kapan atau seberapa lama mereka menargetkan untuk menuntaskan kasus judi online tersebut. Akankah kasus itu akan menghilang seiring jenuhnya masyarakat menunggu hasil kinerja Kepolisian? Meskipun begitu kita tetap harus terus mengawal dan membantu upaya baik kepolisian, terkhusus Kapolri yang telah memberikan instruksi untuk membasmi judi online. Terlebih atas laporannya yang telah mengungkapkan 641 judi online dan 1.400 judi konvensional dalam waktu satu tahun terakhir. Kembali pada kasus pembunuhan Brigadir J, Bharada E yang menjadi tersangka sejak awal dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP. Sedangkan FS, RR, PC, dan KM akan dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penjara selama-lamanya 20 tahun. Selain itu juga dalam Sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) memutuskan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Ferdy. FS yang menjadi dalang dalam perencanaan, memberikan perintah menembak kepada Bharada E, hingga penghilangan barang bukti.  Dan akankah Ferdy Sambo akan mendapatkan hukuman yang setimpal seperti yang diharapkan oleh nurani masyarakat terhadap kejinya perbuatan dia? Ataukah akan ada seorang penyelamat yang menghindarkannya dari hukuman mati?  Mari kita semua bersama mengawal dan mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian. Biarlah kasus Ferdy Sambo menjadi yang terakhir dan Polri dapat menjadi lembaga yang bersih dan mengayomi karena kita tahu serta berharap bersama bahwa Polri dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bermasyarakat dan bernegara. (*)

Jin Buang Anak atau Rezim Buang Sial?

Pemenjaraan terhadap wartawan senior FNN, Edy Mulyadi terkesan dipaksakan. Tak ada kerugian negara sedikit pun dari ungkapan Jin Buang Anak. Oleh Kamilia Alta | Jurnalis Yunior FNN  UNGKAPAN ‘Jin Buang Anak’ menjadi viral usai Edy Mulyadi menyebutnya dalam video di Kanal Youtubenya,Bang Edy Channel, mengenai penolakannya terhadap pemindahan ibu kota negara. Pernyataan Edy Mulyadi dinilai menghina calon ibu kota negara baru Kalimantan Timur dan membuat orang Kalimantan tak menerima serta melaporkan Edy ke polisi. Yang marah itu kan masyarakat, lantas mengapa pemerintah ikut numpang dalam perkara ini yang kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) memanggul sekarung pasal berlapis ke muka hakim. Sungguh kasihan nasibnya, kini Edy sedang jadi pesakitan di pengadilan. Edy didakwa dengan sekarung pasal berlapis. Pasal 45A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 28 ayat 2 UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, Jo pasal 15 UU No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo pasal 156 KUH Pidana. Ancamannya maksimal 10 tahun pejara. Padahal tercantum jelas dalam pasal 28 UUD 1945 berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan dijamin oleh hukum. Lagian pernyataan itu tidak ditujukan kepada masyarakat Kaltim tetapi buat pemerintah dikarenakan Edy adalah salah seorang yang tidak setuju dengan rencana pemindahan IKN ke Kaltim. Umumnya kedudukan pers dimata hukum itu sama hal ini berlaku pers Liberal ala barat, seperti pers di Amerika, dan di semua negara yang disebut Barat, tunduk dan sering diseret ke meja hijau oleh pemerintah, birokrat ataupun dunia bisnis dan masyarakat dengan tuntutan pidana maupun perdata, karena dianggap merugikan kepentingan pihak yang terkena pemberitaan negatif pers. Di depan hakim, hukum dan pengadilan pers itu sama saja derajatnya dan bukan diistimewakan. Yang membedakan dengan negara berkembang, seperti Indonesia di negara yang bercorak manunggal, kekuasaan kehakiman dan yudikatif maupun legislatif masih sangat resesi posisinya terhadap kuasa eksekutif yang dominan. Ya sepertilah itu pers di Indonesia. Kasus Edy Mulyadi ini dijadikan rezim untuk membungkam secara keseluruhan pers yag merdeka dan professional. Hal ini hampir seperti kasus pembredelan pers Indonesia masa Orde Baru, kehidupan para wartawan pun harus selalu bersikap kompromistis agar surat kabar tidak dibredel.Kompromi menjadi hal yang biasa masa Orde Baru agar pers tetap bertahan. Pada saat itu, kehidupan wartawan demi memperjuangkan kebebasan pers masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah dan berjalan begitu saja.Penuh tekanan, dan bayang-bayang pembredelan, yang bahkan bisa menyebabkan mereka di penjara dan kehilangan pekerjaan. Tokoh nasional Rizal Ramli yang turut hadir dalam persidangan dan pasang badan untuk membela Edy Mulyadi terlihat heran melihat persidangan yang tidak layak dilakukan ini. Menurutnya, persidangan kasus Edy Mulyadi dengan dakwaan membuat keonaran karena pernyataan ‘jin buang anak’ merupakan persidangan yang tidak fair. Seharusnya kasus tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers. Lantas, bagaimana asal-usul ‘jin buang anak itu’? Penggunaan istilah tersebut sudah populer di Indonesia, tepatnya pada era 60 hingga 70-an. Istilah tersebut bahkan muncul di sejumlah film dengan celotehan khas Betawi yang dibintangi Benyamin Sueb. Kemudian, sejarawan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi juga menyampaikan ungkapan ‘jin buang anak’ merupakan ungkapan humoristik khas Betawi untuk menjelaskan tempat yang jauh. Kata engkong Ridwan orang Betawi tahu bahwa jin itu senang di tempat sepi dan dingin. Di dalam sumur misalnya. Analog dengan itu tempat sepi yang sulit dijangkau orang juga disebut tempat jin buang anak. Jin sering sekali menjadi sasaran humor Betawi. Ada juga jin main ayunan, menjelaskan perilaku santai. Sementara itu, ahli Linguistik Forensik Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang, menilai istilah itu memang umumnya digunakan atas ketidaksukaan atau penolakan terhadap suatu tempat. Dalam sejarahnya, ungkapan tersebut memang sering digunakan untuk hal-hal seperti itu. Hal yang sama juga disampaikan oleh Rocky Gerung yang hadir sebagai saksi ahli dalam sidang ‘jin buang anak. Ia mengatakan dengan tegas bahwa ungkapan tersebut merupakan metafor dari kebudayaan Betawi dan tidak ditujukan untuk sekelompok masyarakat di Kalimantan Timur. Tempat Jin buang anak itu di Jakarta juga ada beberapa lokasi. Pondok Indah, Depok, BSD, Bintaro, Citra Green Kalideres, Ancol, dll. Ancol berlokasi di Jakarta Utara, kawasan ini dahulu dianggap tidak layak untuk ditempatkan karena menyeramkan, berawa-rawa dan bersemak-semak sehingga menjadi sarang penyakit malaria, bahkan disebut sebagai ‘tempat jin buang anak’. Namun berkat jasa Soekardjo Hardjosoewirjo, Ancol yang dulu oleh masyarakat Betawi dikenal sebagai ‘tempat jin buang anak’, kini berubah total menjadi kawasan permukiman, industri dan tempat rekreasi yang indah. Lalu, Alwi Shahab, wartawan dan sejarawan Betawi dalam bukunya, Robinhood Betawi, Kisah Betawi Tempo Doeloe, menyebut Kemang di Jakarta Selatan pada 1960-an dan 1970-an juga sangat sepi, hampir seluruh penduduknya orang Betawi yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perkebunan, sedangkan pendatang bisa dihitung dengan jari. Alwi ingat cerita ketika Mohammad Nahar pemimpin redaksi kantor berita Antara, diolok-olok oleh teman-temannya karena pindah ke Jl. Bangka, tempat paling bergengsi di Kemang saat ini : “Anda tinggal di tempat jin buang anak.” Jadi sekali lagi, ungkapan itu ya sama sekali tidak bermakna bahwa tempat tersebut benar-benar telah dihuni ‘anak-anak jin’ yang dibuang oleh ‘induk jin’. Kembali ke Edy Mulyadi yang saat ini tinggal menunggu vonis hakim, Edy seperti menjadi tumbal oleh kepolisian yang menjerat UU konvesional yang sekarung itu. Edy Mulyadi dituntut 4 tahun penjara oleh JPU.Kasihan ya. Apakah kasus Jin Buang Anak ini memang betul peristiwa hukum yang perlu ditegakkan atau sekadar ritual Rezim Buang Sial yang merupakan episode lanjutan dari Gentong Nusantara. (*)

Buzzer Siap-siap Babak Belur

Oleh M Rizal Fadillah BUZZER berjaya pada masanya. Masa Pemerintahan Jokowi awal hingga menjelang akhir adalah fase hidup buzzer sang cebong yang nyaman di kolam Istana. Asal mendengung ada pemasukan, muncul cuitan berbalas pendapatan. Tugasnya bikin pusing rakyat dan senang pejabat. Soal mutu nomor seribu. Meski tak bermutu asal mampu membuat bising maka keberadaannya tetap terampu. Perlindungan hukum adalah bonus untuk sang kutu.  Hanya di era Jokowi ada barisan buzzer untuk suara keras. Yang agak lunak bernama influencer. Keduanya badut istana penghibur raja dan orang yang ada di sekitarnya. Mereka dicela dan dibenci rakyat. Muak dan mual melihat dan mendengar ocehannya. Kata seorang pengamat mulutnya lebih besar dari otaknya. Buzzer adalah hewan peliharaan untuk mengawal kebijakan pemilik atau pemelihara.  Adalah Ade Armando salah satu Buzzer yang babak belur. Dikeroyok di depan Gedung DPR sewaktu aksi mahasiswa menolak perpanjangan  masa jabatan Presiden April 2022. Tragis Ade Armando dipukuli dan ditelanjangi. Meski pengeroyok nampaknya banyak, namun yang diadili hanya enam saja. Selainnya entah kemana, mungkin provokator yang lari sambil membawa celana Ade.    Kini muncul video yang tidak jelas bahwa  Ade Armando DPO dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Beredar tanpa ada bantahan. Apakah ada gejala Buzzer mulai babak belur karena sang majikan akan habis masa jabatan dan duit negara mulai ambyar ? Buzzer sudah berat untuk dibayar. Harga BBM saja terpaksa harus naik dengan kesiapan menerima risiko kemarahan rakyat, apalagi sekedar \"membuang\" kotoran atau limbah buzzer.  Abu Janda mulai habis kata-kata, Denny Syi\'ah semakin payah, Armando banyak melongo, Nong, Rudi atau Eko semua anggota squad cucak rowo yang sebentar lagi tamat. Jika rumah Sambo yang kuat saja mampu diobrak-abrik, maka rumah produksi Cokro tentu lebih mudah lagi. Hidup bersandar memang nyaman saat sandaran ada, ketika sandaran itu runtuh wajib ia juga ikut jatuh.  Buzzer bersiap untuk babak belur. Sebagaimana dalam suatu Revolusi, setelah Rezim Otoriter tumbang maka semua kroni, pendukung dan yang ikut berlindung pasti hancur.  Buzzer mendengunglah sekeras-keras selama bisa, esok saatnya kalian menangis merana dan menderita. Mungkin dalam penjara. Menjadi musuh rakyat merupakan keberanian kaum berfikir pendek, bermulut besar, dan beriman tipis. Menyesal itu tidak pernah awal tapi kemudian.  Bersiaplah wahai para penghianat bangsa. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 4 September 2022