ALL CATEGORY

Presisi Abal-abal

Oleh Sugeng Waras, Ketua Umum FPPI, Panglima TRITURA, Ketua APIB Jabar, Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI. Terkait kasus Duren III, ternyata Kapolri  diprank oleh anak buahnya. Untuk kesekian kalinya saya acungkan jempol dan lempar handuk dengan adanya slogan atau semboyan Kapolri / Polri, tentang PRESISI. Dari pandangan saya ini yang terbaik, yang sangat layak sebagai pedoman kerja Polisi  yang merupakan penjabaran dari doktrin polisi TRIBRATA dan CATUR PRASETYA POLRI (meskipunTBT dan CPP perlu dikaji ulang). Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi yang berkeadilan) adalah jargon atau slogan yang baik, tidak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi ! Prediktif (melihat ke depan, lebih akurat dari presepsi, lebih tajam dari asumsi, jauh lebih mantap dari berandai andai). Responbilitas / ty  (lebih mengarah kepada reaksi, reaktif, antisipasi, pencegahan, tindak dini, pemulihan berdasarkan norma hukum, terukur dan bertanggung jawab terhadap profesi). Tranparansi (keterbukaan kejujuran, keterus terangan, sebagai muara kejujuran, kebenaran, keadilan, beradab dan bermartabat). Menjadi luar biasa ketika ketiga aspek atau unsur ini disinergikan, dikombinasikan, didegradasikan secara terpadu, terarah, berkesinambungan, harmonis, seimbang dan simultan. Namun faktanya Kabareskrim seperti abai terhadap makna Presisi ini bahkan kita lebih khawatir jika ternyata sengaja tidak dimplementasikan gegara ada tekanan atau kendali dari atasan  / pihak lain yang membuat masyarakat kecewa, cemas harap dan gregetan. Dengan kata lain menjadi double gardan apa motif Kabareskrim tidak mau mengungkap motif Fredy Rambo dalam mengeksikusi ajudanya Brigadir J. Bahwa keterbukaan mengungkap motif sebagai fondasi mengupas akar masalah bisa dikembangkan kemana mana sesuai urgensi dan kerelevansianya.. Atau sengaja peristiwa ini didesign dan diarahkan keranah *Diskresi* artinya biar publik terseret dan terpengaruh bahwa peristiwa ini menjadi sebuah kelayakan yang lumrah terjadi ( pembenaran ) dan dianggap tidak signifikan terhadap bangsa dan negara. Dikhawatirkan justru cara cara seperti ini akan membawa masyarakat semakin tidak percaya dengan institusi Polri dan semakin mengait ngaitkan dengan kejadian terbunuhnya 6 laskar pengawal HRS di KM 50 jatol japek beberapa waktu yang lalu. Lebih konyol lagi ketika masyarakat akan  menilai tindakan hukum penahanan terhadap beberapa orang seperti Habib Bahar Smith, Munarman dan Edy Mulyadi sebagai akibat skenario mafia biadab, yang ujung ujungnya mengaitkan dengan campur tanganya rezim Jokowi Menyikapi ini hendaknya kita semua melalui nitizen di medsos lebih proaktif agar cepat terungkap para pelaku mafia yang membuat korban masyarakat dan kerugian negara. Masyarakat tidak boleh diam melihat fenomena ketidak adilan hukum yang cenderung meng enak kan beberapa gelintir stake holder dan para pengkianat bangsa Adagium bahwa teroris sembunyi dilubang tikuspun akan tertangkap, sebaliknya para koruptor kakap yang sudah tertangkappun disembunyikan Negeri aneh bin ajaib! Oleh karenanya masyarakat harus tinggalkan  jargon jargon yang berlebihan yang melibatkan jutaan perserta unras maupun sasaran sasaran yang belum konkrit agar tidak dianggap jurus prank atau omdo.... Kata kuncinya masyarakat harus sadar bahwa tanpa kesatuan total dan serempak jangan harap tujuan dan sasaran akan tercapai. Maka konsolidasi internal dan mobilisasi eksternal layak dijadikan dasar langkah langkah menuju perubahan yang lebih baik. Semua elemen dan seluruh komunitas harus mau duduk bersama, tabayun guna menyiapkan poeple power yang bukan show people! Lanjutkan perjuangan menuju penegakan kejujuran, kebenaran dan keadilan sebagai kunci negara *Jaya dan sejahtera. (*) Tak terbang karena pujian, tak tumbang karena cacian. ALLAHU AKBAR !!! MERDEKA  !!!

Jadikan Kasus Sambo untuk Bersih-bersih Polri

Oleh: Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus)  Saya amati banyak tuntutan masyarakat kepada POLRI, sejak terungkapnya rekayasa dalam peristiwa pembuhanan Brigadir Joshua di rumah dinas petinggi Petingi POLRI. Publik tidak saja menuntut diungkapnya kronologi peristiwa dan motif pelaku yang sebenarnya, tetapi juga menuntut dipecatnya para anggota POLRI yang terlibat, termasuk tuntutan mundur pada anggota Kompolnas yang dianggap ikut melindungi kejahatan. Tidak berhenti di situ, publik juga menuntut dilakukan audit terhadap operasi2 dan aktivitas Satgassus meski sudah dibubarkan Kapolri.  Kekuatan publik, dalam hal ini media sosial dan media mainstream yang masih kritis, sepertinya menyadari bahwa persoalan utama dalam peristiwa Duren3 bukanlah persoalan pribadi pejabat tinggi POLRI semata, melainkan ada persoalan institusi POLRI yang selama ini didiamkan dan pelan tapi pasti menghancurkan institusi POLRI. Hal itu terlihat dari respon negatif publik terhadap statement2 penyidik atau Humas POLRI serta pihak manapun yang terkesan berupaya melokalisir persoalan Duren3 pada persoalan perilaku Irjen Sambo semata, bukan perilaku institusi. Presiden Jokowi dan Mahfud MD harus nenyadari suara publik yang melihat kasus Duren3 dari perspektif yang lain, bahwa telah terjadi institusi negara dijadikan alat melakukan dan menutupi kejahatan besar.  Perspektif masyarakat yang homogen dalam melihat kasus Duren3 juga telah menyatukan akar rumput yang selama ini terbelah sebagai Cebong dan Kadrun, untuk bersama-sama melawan kejahatan kemanusiaan, yang sebelumnya tidak terlihat pada kasus KM50. Ini dapat dikatakan sebagai \"people power\", kehendak rakyat yang maha dahsyat, menembus dinding-dinding perbedaan di masyarakat, menjadi skandal Duren3 sebagai pembicaraan umum semua umur hingga pelosok desa tanpa mengenal waktu. Dan muara dari berbagai pikiran dan pandangan, keluhan dan penderitaan masyarakat selama ini adalah harus dilakukan Reformasi POLRI. Presiden Jokowi dan Mahfud MD harus mampu menangkap aspirasi publik terhadap POLRI. Jangan remehkan kekuatan publik yang kali ini bersuara maha dahsyat, tidak lagi dapat dibendung. Semua yang selama ini ikut melindungi perilaku buruk anggota POLRI diam, gentar menghadapi gelombang besar publik yang mampu memaksa Presiden Jokowi bicara dan memerintahkan Kapolri mengungkap skandal Duren3. Tanpa gelombang besar publik, dan perintah presiden Jokowi, niscaya skandal Duren3 bak \"dark number\" seperti disampaikan Mahfud MD. Kapolri Sigit pun sesungguhnya memiliki momentum untuk mencatatkan namanya dalam sejarah POLRI setara dengan Pak Hoegeng, bilamana mau dan mampu melakukan reformasi POLRI. Keterlambatan laporan kepada publik selama 3 hari dari peristiwa terjadi, yang sesungguhnya di situ ada tanggung jawab Kapolri dalam rantai komando yang tidak berjalan, tidak cukup dibayar dengan mutasi-mutasi personil POLRI dan pembubaran Satgassus. Publik menuntut lebih demi Indonesia lebih baik. Jika reformasi 98 menuntut reformasi TNI, maka kali ini Reformasi POLRI menjadi spirit gelombang reformasi Jilid 2. ***

Mudrick SM Sangidu: PPP Agar Keluar dari KIB

Solo, FNN – Ketua I DPP Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) sekaligus Wakil Ketua MPR RI, DR. H. Asrul Sani SH, MSi bertandang ke rumah Ketua Presidium KAMI Jawa Tengah dan Tokoh Senior PPP, Mudrick Setiawan Malkan Sangidu di Kartopuran Solo, Jumat (12/08/2022). Dalam kunjungannya, Asrul Sani didampingi oleh Pengurus DPW PPP Jawa Tengah dan DPC PPP Kota Surakarta. Sebagai tuan rumah, di Solo, Mudrick didampingi oleh sebagian aktivis PPP Solo Raya. Asrul menyampaikan bahwa kunjungannya saat ini adalah dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua MPR RI dan juga memohon masukan dari Tokoh Senior PPP dalam kapasitasnya sebagai salah satu Ketua Pengurus Harian DPP PPP. Mudrick sangat mengapresiasi kunjungan Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua DPP PPP tersebut. Setelah mendengarkan uraian tujuan kedatangan Asrul, Mudrick menanggapi bahwa PPP adalah Partai yang dulunya dilahirkan oleh para Ulama berazaskan dan berideologi Islam.  “PPP ingin kembali mendapatkan simpati ummat, maka PPP harus kembali menegaskan bahwa PPP adalah partai yang berazaskan dan berideologi Islam. Serta mempunyai kepedulian kepada ummat, Ulama dan masyarakat,” kata Mudrick. Lebih lanjut Mudrick yang juga mewakili Forum Penyelamatan PPP, titip pesan kepada Asrul, para Elit Partai jangan hanya terkesan sebagai Pegawai Politik apalagi hanya sebagai alat Penguasa untuk melegitimasi setiap kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. “Para Elit PPP dan Anggota Dewan tidak boleh hanya sebagai Pegawai Politik apalagi sebagai alat kekuasaan belaka. Harus berani menyuarakan kebenaran. Itulah fungsinya kita berpartai politik,” tambah Mudrick. Bukti bahwa PPP itu telah terjebak dalam pusaran politik pragmatis adalah bergabungnya PPP ke dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). “Saya dan teman-teman Forum Penyelamatan Partai Persatuan Pembangunan sangat berharap PPP keluar dari KIB. Benahi dulu masalah internal Partai. KIB sama sekali tidak ada manfaatnya bagi Partai juga kepentingan ummat dan masyarakat pada umumnya. KIB hanya akan digunakan untuk kepentingan sesaat oleh pihak pihak tertentu untuk mencapai tujuannya,” pinta Mudrick. Sedangkan sebagai bentuk kepedulian PPP kepada Ulama, ummat, dan masyarakat, Mudrick meminta kepada Elit DPP PPP dan Anggota Dewan PPP untuk membantu membebaskan para tahanan Politik yang saat ini masih mendekam di sel penjara rezim. Bahwa perbedaannya, pandangan dengan Pemerintah hal yang semestinya dipelihara di Negara demokrasi. Maka Elit PPP dan Anggota Dewan harus bisa membantu membebaskan mereka dari kesewenang wenangan Penguasa saat ini. Sedangkan hiruk-pikuk Pemilu 2024 jangan mengganggu eksistensi Partai, sehingga PPP tidak larut dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Kecuali bisa meloloskan President Threshold 0%. Apabila belum bisa meloloskan President Threshold 0%, maka pemimpin yang dihasilkan oleh proses Pemilu tersebut adalah untuk kepentingan Oligarki belaka. Menyoroti perilaku Elit DPP PPP maupun Anggta Dewan saat ini, Mudrick juga berpesan agar Elit DPP PPP maupun Anggota Dewan kembali ke jalan yang lurus. Jangan menjadi pemuja jabatan dan pengabdi kekuasaan. “Kalau belum bisa berjuang untuk ummat maupun masyarakat, janganlah membuat sakit hati ummat maupun masyarakat,” kata Mudrick. Dalam perbincangan ini juga, Mudrick mengingatkan bahwa PPP pernah mencapai kejayaannya pada saat PPP berani melawan tirani Orde Baru melalui Mega Bintang. Yang pada waktu itu PPP mendapatkan suara yang gemilang karena PPP berani menyuarakan kebenaran. Mega Bintang lahir juga atas restu Ibu Megawati Soekarno Putri dengan Promegnya (PDI Pro Mega). Ini menjadikan sejarah PPP secara Nasional naik perolehan suaranya pada Pemilu 1997. Adapun Mega Bintang pasca reformasi selanjutnya berkiprah dalam kegiatan sosial dan Lembaga Bantuan Hukum. “Bahkan teman teman para Tokoh PPP Solo Raya, Jateng, DIY sampai hari ini tetap istiqomah di PPP. Jangan salahkan mereka apabila tidak ada reformasi di tubuh PPP sebagai Rumah Besar Umat Islam, pada Pemilu yang akan datang mereka akan menitipkan suara kepada partai yang membela umat Islam dan punya kepedulian kepada rakyat,” tandas Mudrick. Mudrick juga menyampaikan keprihatinannya dengan perubahan Lambang PPP dengan penambahan ornamen merah putih pada gambar Ka\'bah. “Untuk mengembalikan gambar Ka\'bah sebagai Lambang PPP membutuhkan waktu hampir 15 tahun, ini kok diubah ubah seperti itu. Tolong, kembalikan gambar Ka\'bah yang asli sebagai Lambang PPP,” kata Mudrick. Mengakhiri pembicaraan, Mudrick menyampaikan pesan agar seluruh warga PPP dan umat Islam jangan percaya pada apa pun yang diucapkan pemerintah atau rezim maupun  sebagian besar Anggota Dewan. Karena mereka itu dusta, bohong, penipu dan pengabdi kepada oligarki, tapi jangan melanggar hukum. Juga meminta kepada Asrul Sani untuk bisa mengumpulkan Tokoh-tokoh Nasional PPP untuk bertemu dan melakukan muhasabah nasional demi kejayaan PPP. “Jangan lupa, Islam mengajarkan Amar Ma\'ruf Nahi Munkar. Jangan hanya mendekati rakyat ketika menjelang Pemilu saja,” tegas Mudrick mengakhiri pembicaraan. (mth)

Sebuah Ironi Dalam Tubuh POLRI, Banyak Anggota Propam Jadi Terduga

Jakarta, FNN - Perkembangan kasus pembunuhan Brigadir Joshua semakin menarik untuk diikuti. Seiring berjalannya penyelidikan dan penyidikan kasus, semakin banyak fakta yang muncul ke permukaan.  Seperti yang diungkap dalam channel Refly Harun bahwa telah muncul beberapa nama dalam POLRI yang diduga melanggar kode etik penyelidikan kasus.  \"Jumlahnya banyak ya yang sudah terkualifikasi. Ada daftarnya berjumlah 27 orang,\" ujar Refly Harun. Yang menarik adalah, dari 27 nama tersebut tercatat empat orang yang memiliki jabatan tinggi di Polri. Tiga diantaranya terbagi menjadi satu orang bintang dua dan tiga bintang satu.  \"Yang luar biasa adalah yang jelas satu, ada bintang dua dan tiga bintang satu. Sisanya adalah perwira menengah, kemudian ada Bintara dan juga Tamtama,\" ujarnya.  Berikut nama-nama yang telah diketahui sebagai terduga pelanggar kode etik penyelidikan berupa penghilangan dan perusakan barang bukti. 1. Brigjen Hendra Kurniawan selaku Karopaminal Divisi Propam Polri 2. Brigjen Benny Ali selaku Karoprovos Divisi Propam Polri 3. Brigjen Agus Budhiarto selaku Kapuslabfor Bareskrim Polri 4. Kombes Susanto selaku Kabaggakum Biro Provos Divisi Propam Polri 5. Kombes Agus Nurpatria selaku Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri 6. Kombes Budhi Herdi Susianto selaku Kapolres Jakarta Selatan.  7. Kombes Leonardus Simatupang selaku pemeriksa utama Biro Provos Divisi Propam Polri 8. AKBP Ari Cahya Nugraha selaku Kanit 1 Subdit 3 Dittipidum Bareskrim Polri 9. Kompol Chuk Putranto selaku PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri 10. Kompol Baiquni Wibowo selaku PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri 11. AKP Irfan Widiyanto di Dittipidum Bareskrim Polri 12. AKBP Ridwan R Soplanit selaku Kasat Reskrim Polres Jaksel 13. AKP Rifaizal Samual selaku Kanit 1 Satreskrim Polres Jaksel 14. Ipda Arsyad Daiva Gunawan selaku Kasubnit 1 Unit 1 Satreskrim Polres Jaksel 15. AKBP Arif Rahman Arifin selaku Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri 16. Kombes Murbani Budi Pitono selaku Kabagrenmin Divisi Propam Polri 17. AKP Dyah Candrawati selaku Paurlog Bagrenmin Divisi Propam Polri 18. AKP Idham Faidilah selaku Pama Den A Ropaminal Divisi Propam Polri 19. Briptu Sigid Mukti Hanggono selaku Ropaminal Divisi Propam Polri 20. Iptu Hardista Tampubolon selaku Pama Den A Ropaminal Divisi Propam Polri 21. Iptu Januar Arifin selaku Pama Den A Ropaminal Divisi Propam Polri 22. Brigadir Frilliyan selaku Biroprovos Divisi Propam Polri 23. Briptu Firman selaku Biroprovos Divisi Propam Polri 24. Bharada Sadam selaku BKO Divisi Propam Polri.  Dari nama tersebut dapat kita ketahui bahwa, setidaknya ada 17 nama yang berpangkat sebagai Propam (Profesi dan Pengamanan). Refly Harun sangat menyayangkan adanya peristiwa ini. Ia menyebut bahwa ini sebuah ironi, karena tugas dari Propam sendiri seharusnya adalah mengawasi kinerja polisi.  \"Ini adalah tragedi ya bagi polisi, apalagi bagian yang bermasalah adalah bagian Propam yang merupakan \'polisinya polisi\'. Jadi ini adalah sebuah solidaritas yang ngaco,\" ujarnya.  Terkait dengan hal ini, Refly Harun sangat mengharapkan respon dari POLRI. Beliau mengatakan bahwa inilah saatnya bagi Polri menunjukkan kredibilitasnya sebagai penertib. Bukan hanya sebagai penertib masyarakat, namun juga mampu menertibkan internal dari Polri.  \"Sekarang adalah waktu pembuktian bagi Polri, terutama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuktikan ucapannya ya. Apakah mereka hanya diperingatkan ataukah diberhentikan,\" ujarnya.  Diketahui pada Rabu, 10 Agustus 2022 telah ditetapkan Ferdy Sambo sebagai tersangka. Namun hingga saat ini, pihak Polri masih melakukan penyelidikan terkait siapa saja pelaku yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua. (Habil)

LQ Indonesia Lawfirm Polisikan Franky dan Mukhtar Widjaja Atas Dugaan Pencucian Uang dan Penggelapan

Jakarta, FNN – Setelah dua kali somasi tidak digubris oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART), didampingi LQ Indonesia Lawfirm, Freddy Widjaja melaporkan Franky Oesman Widjaja dan Mukhtar Widjaja selaku Komisaris dan Pengendali PT SMART Tbk ke Bareskrim atas dugaan Pasal 372 jo 374 dan/atau TPPU atas saham milik Eka Tjipta Widjaja yang diduga digelapkan Franky dan Mukhtar Widjaja dengan LP No 287/VIII/2022/ BARESKRIM tanggal 8 Agustus 2022. Arwinsyah Putra Napitu, SH selaku kuasa hukum dari LQ Indonesia Lawfirm menyampaikan saham milik Eka Tjipta diduga digelapkan. “Saham milik Bapak Eka Tjipta diduga digelapkan, padahal para terlapor tahu bahwa saham adalah milik Eka Tjipta berdasarkan Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris Benny Kristianto, SH. Namun, dengan sengaja dan niat memiliki dikuasai dan diakui sepenuhnya menjadi milik para terlapor,” jelasnya, Senin (8/8/2022). Putra menambahkan bahwa Sinarmas secara melawan hukum membuat skema mengunakan cangkang-cangkang perusahaan offshore di luar negeri, dengan maksud selain untuk mengambil hak milik Freddy Widjaja, menipu juga dan menggelapkan uang dan hak negara atas pajak. “Diduga kerugian materiil pak Freddy atas saham yang digelapkan senilai 1 triliun rupiah dan kerugian pajak negara Indonesia sekitar 40 triliun rupiah,” ungkapnya. Freddy Widjaja dalam pers release-nya di depan Mabes Polri menyampaikan kekecewaannya terhadap perilaku saudara tirinya yang ternyata dalam proses hukum masalah warisan, menggunakan bukti akta lahir palsu yang menghasilkan KTP/identitas palsu di pengadilan. “Saya mohon keberanian Polri untuk mengusut kasus yang saya laporkan ini. Apakah Polisi berani menegakkan hukum atau malah takut kepada oknum yang melawan hukum?” lanjutnya. Freddy sebelumnya menghubungi Hotline LQ di 0817-9999-489 (Jakarta) dan 0818-0454-4489 (Surabaya) dan meminta pendampingan hukum. Freddy Widjaja juga telah melaporkan Indra Widjaja dan Frangky Oesman Widjaja atas dugaan pemalsuan akta lahir yang digunakan untuk klaim hak waris dari Eka Tjipta Widjaja yang sudah memasuki proses penyelidikan di Bareskrim Tipidum Mabes Polri. “Info yang kami dapatkan dari penyidik, para terlapor mengakui mengunakan akta palsu tersebut, namun ayahnya yang memberikan akta palsu tersebut. Almarhum bapak yang malah dijadikan kambing hitam oleh anak-anaknya tersebut,” ujarnya. “Polisi sudah mendapatkan pengakuan dari para pelaku seharusnya berani langsung tangkap dan tahan para pelaku kejahatan. Jangan ragu dan jangan takut menegakkan hukum,” harap Arwinsyah Putra Napitu. (mth/*)

Hukum Jaga Perasaan

Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih AGENDA proses transformasi Presisi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam perjalanannya muncul ujian yang cukup berat. Itulah yang dihadapi Jenderal Listyo Sigit hari-hari ini. Sebab, dalam proses implementasinya terdapat kendala/permasalahan besar yang muncul dalam tubuh Polri dengan adanya kasus Irjen Ferdy Sambo (FS) ini terasa akan menjadi sangat relevan untuk menelisik keterandalan konsep Presisi Polri tersebut. Sangat mungkin Kapolri tidak pernah membayangkan akan ada kejadian yang memalukan institusi Kepolisian, terutama dengan munculnya kasus FS yang penuh rekayasa hendak ditutup-tutupi dan yang kini semakin terbuka lebar, dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat? Paska penetapan FS sebagai tersangka ketegangan masyarakat sedikit mereda. Tapi, tiba-tiba muncul statement Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto yang enggan mengungkapkan terkait motif pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumdin FS Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, Jum’at (8/7/2022). Komjen Agus mengatakan, tidak maunya membeberkan motif tersebut untuk menjaga perasaan semua pihak yang terkait dalam kasus FS. “Untuk menjaga perasaan semua pihak, biarlah jadi konsumsi penyidik,” katanya dikonfirmasi wartawan, Kamis (11/8/2022). Alasan itu bisa dipahami, karena semua hal yang masih menjadi pertanyaan publik, sebab prosesnya masih berjalan, itu akan terungkap saat nanti dalam proses di persidangan. Dalam kondisi masyarakat masih trauma, resah, gerah, hampir menyerah akibat informasi yang selama ini diputar-balik. Kalimat jaga perasaan tidak tepat dan tidak perlu dimunculkan karena bisa dan akan menimbulkan bias prasangka baru. Bahwa Presiden Joko Widodo sudah meminta dibuka seterang-terangnya, bisa dimaknai kasus ini jangan dibawa ke ranah perasaan. Karena dugaan kuatnya akan melibatkan banyak pihak. Bisa juga dimaknai semua harus terbuka saat proses persidangan di pengadilan. Perlu dicatat, yang namanya hukum itu tak mengenal perasaan-asumsi atau hanya dugaan, hukum hanya mengenal bukti dan fakta. Pihak terkait cukup speak up secara bertanggung jawab, bicara dengan data dan fakta. Rakyat hanya ingin Presisi Polri berjalan dengan baik, Polri benar-benar bersih dari criminals in uniform (bandit-bandit berseragam). Maka masyarakat akan tetap memantau jalannya penyelesaian perkara FS ini dengan terus-menerus sehingga perkaranya bisa menjadi terang, tidak ada lagi rekayasa, dan siapa pun yang salah harus diadili dan dihukum, bukan untuk dilindungi. Muncul sakwasangka baru di masyarakat terkait dengan kasus FS, jangan-jangan pihak penegak hukum juga tidak mau menyeret pihak lainnya yang diduga terlibat karena untuk menjaga perasan. Berkembang bias praduganya apabila kasus ini muncul di pengadilan yang penuh tekanan dan pesanan bahwa kasus FS cukup menimpa dan berhenti sampai FS saja. Lainnya harus kembali ditutup kalau akan melebar ke mana- mana bahkan mungkin akan menyeret para petinggi negara. Permintaan Presiden untuk dibuka seterang-terangnya akan digulung lagi oleh dagelan rekayasa para bandit hukum demi menjaga perasaan semua pihak yang diduga juga terlibat, selamat dari sentuhan hukum. Dengan alasan menjaga perasaan, untuk kasus FS bisa saja dengan alasan situasi yang tak terduga seperti ada dalam Pasal 49 KUHP tentang Perbuatan Pembelaan Darurat atau Pembelaan Terpaksa (Noodweer), FS akhirnya bebas kembali. Dia bisa bebas seperti “terdakwa” dalam kasus KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Apalagi, sampai detik ini tanda pangkatnya masih utuh melekat pada dirinya. Apapun, FS masih bebas komunikasi dengan kolega atau anak buahnya yang  setia kepadanya. Dan, tetap bisa memberikan instruksi kepada mereka. Betapa kuatnya pengaruh FS ini bisa dilihat dari tempat penahanannya. Fakta bahwa paska ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Brigadir J, FS langsung “diamankan” di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mengapa harus ditahan di Mako Brimob? Bukankah dia pembunuh Brigadir J, seorang Bhayangkara Negara yang bertugas menjadi Ajudan? Mengapa tidak ditahan di rutan Mabes Polri seperti Irjen Napoleon Bonaparte saja? Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri. Semoga sakwasangka masyarakat tidak terbukti dan tidak terjadi. Hanya saja kalau itu terjadi kredibilitas Polri akan makin ambyar. (*)

Mengharap Rekognisi

Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Oleh: Shamsi Ali, NYCHHC. Chaplain KEINGINAN untuk diakui (being recognized) itu biasa dan wajar saja. Semua manusia punya tendensi egoisitk. Bahkan terkadang diselimuti oleh kepura-puraan tidak mau pengakuan. Tapi kepura-puraan itu pun tidak bisa menyembunyikan tabiat alami manusia yang punya dorongan “اناني” (keakuan) itu. Yang tidak wajar kemudian adalah ketika keinginan diakui itu tidak seimbang bahkan tidak pada kapasitas diri seseorang. Islam mengakui ini ketika Al-Quran menggariskan: قل كل يعمل علي شاكلته. (Hendaknya setiap diantara kalian bekerja sesuai skill (keahlian) masing-masing). Bahkan Al-Quran lebih jauh menyebutkan bahwa manusia diciptakan dan dikarunia kapasitas (kemampuan) sesuai qadarnya masing-masing. “Maha Suci Tuhanmu Yang Maha Agung. Yang telah mencipta dan membentuk. Dan Yang telah memutuskan dan menunjuki” (Surah Al-A’laa). Ayat Al-Quran di atas menegaskan bahwa antara penciptaan (khalaqa), bentukan (sawwa), kapasitas (Qaddara) dan keahlian (hadaa) itu saling terkait. Allah yang mencipta, Allah pula yang membentuk apa dan bagaimana seorang hamba. Lalu Allah yang menentukan keadaan, Allah juga yang memudahkan keahlian hambaNya. Seseorang yang dorongan keakuannya besar, apalagi jika dorongan itu lebih dibesarkan lagi oleh kompetisi atau persaingan, kerap tertipu dan terjadi pemaksaan diri secara berlebihan. Realita seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berujung pada drama kehidupan yang menggelikan. Konon di sebuah kampung nun jauh di seberang sana, hidup seorang tamatan madrasah, hafal Quran, telah kenamatkan enam buku hadits yang paling mu’tamad (terpercaya), bahkan diakui oleh warga dengan keahliannya di bidang fiqh dan agama. Di kampung itu juga ada seorang pekerja kebun yang rajin, bahkan ahli perkebunan. Pekerja kebun ini selain ahli, juga penuh dedikasi dalam mengembangkan kebunnya. Sehingga oleh sebagian diakui sebagai ahli pada bidangnya. Di suatu masa terjadi musim kemarau. Kebun-kebun pada kekeringan. Petani-petani di kampung itu, termasuk petani tadi, turun pamornya karena dinilai tidak lagi kelihatan kehebatannya di tengah-tengah warga. Di satu sisi, karena kebanyakan petani memiliki waktu lowong, masjid menjadi lebih ramai. Jamaah lebih besar dan peserta kajian juga semakin bertambah. Pengakuan pada Kyai kampung itu juga semakin bertambah. Petani yang hebat di kampung itu yang tadinya aktif di mesjid, bahkan jadi pengurus dan aktivis masjid, mulai dimainkan oleh sebuah perasaan lain. Dia yang tadinya diakui (recognized) kini lambat laun dilihat biasa saja oleh warga sekitar. Dia pun merencanakan sesuatu yang awalnya dianggap baik-baik saja. Sekali-sekali mengundang tetangga BBQ-an di kebun belakang rumah. Tentu saja diselingi sholat berjamaah di rumahnya. Dan sekali-sekali ada kultum. Tapi semua itu berakhir dengan membentuk jamaah dan kelompok pengajian sendiri. Tidak tanggung-tanggung demi pengakuan “heroisme” dan ketokohan sang tukang kebun itu bahkan mendeklarasikan diri sebagai “spiritual leader” dan “Imam” bagi jamaah dan kelompok pengajian BBQ-an itu. Pada sisi lain jamaah masjid di kampung itu mulai resah. Sebagian kecil bersimpati dan menjadi pengikut spiritual leader dan imam dadakan itu. Sebagian besar yang lain mendongkol, kecewa bahkan marah pada perilaku tukang kebun itu. Tanpa terasa warga kampung pun retak, bahkan saling mengucilkan. Waktu berlalu, situasi pun berubah. Musim hujan tiba, kebun pun menjadi makmur. Warga di kampung itu kembali memuji sang pekerja kebun dengan keahliannya. Sang Ustadz pun tergiur. Dia terjun ke kebun bertani.  Sang Ustadz tidak lagi peduli dengan tangggung jawabnya. Tapi juga gagal total berkebun karena bukan keahliannya. Hanya untuk sebuah rekognisi sesaat dari warga sekitar. Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Tapi jika itu dipaksakan maka tunggu akibat buruk yang akan terjadi. Apalagi kalau yang melandasi semua itu adalah sakit hati dan dendam yang membara. Pesan moral dari renungan Subway NYC ini adalah hendaknya setiap orang sadar akan potensi dirinya. Biarkanlah potensi dirinya itu berkembnag dan termaksimalkan sesuai kadarnya (porsinya) dan pada “qadar” (ketentuan) yang Allah berikan. Jangan pernah paksakan diri pada hal-hal yang bukan pada porsinya dan kapastitasnya. Karena pada akhirnya hanya melahirkan drama lucu yang menggelikan…! Renungan pagi Subway, 12 Agustus 2022. (*)

Evaluasi Peleburan Lembaga Riset di Indonesia

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia PELEBURAN lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. AIPI meminta dilakukan evaluasi agar kerusakan yang telah terjadi tidak semakin parah. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai bahwa peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Perlu evaluasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah. Sejak awal AIPI sudah mengingatkan bahwa peleburan lembaga riset yang memiliki identitas berbeda-beda akan memicu masalah. Setelah setahun ini, kita bisa melihat dampaknya. Dan, BRIN telah melakukan perubahan drastis dan menghilangkan identitas lembaga riset yang sebagian sudah berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga ini sudah puluhan tahun, masing-masing sudah punya kultur kerja. Tiba-tiba dilebur dan dihilangkan identitasnya dengan fungsi dan kegiatannya berbeda sekali. Agar BRIN tidak menjadi lembaga superbodi karena akan memperpanjang rantai birokrasi. Di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi, sehingga setiap lembaga riset punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal. Dari segi kendali, akan sulit memberdayakan dan mengembangkan sekian ratus ribu peneliti dalam satu lembaga. Daripada melebur berbagai lembaga ini, saya menyarankan fungsi koordinatif. Pemusatan fasilitas riset bisa menyebabkan hilangnya sumber daya peneliti di daerah, terutama di kawasan Indonesia timur. Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi brain drain dengan kepergian para peneliti dari Papua dan juga ditariknya fasilitas Pusat Riset Laut Dalam di Ambon. Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih. Lihat, Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Kalau masih mungkin, sebaiknya peralatan dikembalikan ke pusat-pusat riset yang ada, termasuk di daerah. Justru, untuk pemerataan sumber daya riset, pusat riset di daerah harus diperkuat dengan diberi dana dan akses peralatan. Daerah seperti Papua yang sudah telanjur ditinggalkan peneliti ini harus segera dicarikan solusi dengan mencari peneliti lokal sebagai pengganti walaupun prosesnya menjadi tidak mudah. Pusat-pusat riset di daerah dan sumber dayanya harusnya diperkuat, termasuk diberi kemudahan dana dan akses peralatan, jangan semua dipusatkan. Ini kemunduran jika dipusatkan. Sebagai Ketua AIPI, saya telah mengirim surat resmi ke Presiden Joko Widodo guna memberikan masukan agar ekosistem riset di Indonesia membaik, bukan justru mengalami kemunduran seperti saat ini. Jika tidak ada evaluasi, saya khawatir terjadi kemunduran semakin jauh dan demotivasi yang dialami peneliti semakin dalam. Untuk mengembalikan, tidak akan mudah. Harapan adanya evaluasi integrasi lembaga riset ke dalam BRIN ini juga disampaikan peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi Sirkular, BRIN, Maxensius Tri Sambodo. Melalui Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), Maxensius juga telah menyampaikan temuan mengenai sejumlah masalah setelah integrasi BRIN ke DPR dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam dokumen tertulis yang dibuat MPI, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan MPI, yaitu manajemen transisi dan birokrasi yang buruk yang menyebabkan pemborosan aset, sumber daya manusia, hingga reputasi lembaga yang sudah lama terbangun. Masalah kedua adalah adanya sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit, yang menyebabkan ekosistem riset justru memburuk. Masalah ketiga, BRIN dinilai mengabaikan program strategis nasional yang sebelumnya tengah dikerjakan oleh sejumlah lembaga riset yang kemudian dilebur. Beberapa riset, seperti vaksin Merah Putih dan Drone MALE Kombatan, saat ini terhambat. Sementara masalah keempat skema program BRIN dinilai tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Hal ini terjadi karena hingga saat ini BRIN belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) yang telah disahkan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Ketiadaan Renstra-KL, dinilai MPI, berdampak pada manajemen kinerja pegawai BRIN. Hal ini, di antaranya, menyebabkan pegawai tidak mempunyai tugas kedinasan secara definitif sesuai peraturan perundangan yang menjadi temuan Ombudsman sebelumnya, banyak pegawai BRIN menganggur. Sementara masalah kelima terjadinya pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena riset di BRIN lebih diorientasikan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, dengan mengabaikan peran-peran lain yang selama ini telah dijalankan lembaga yang ada. (*)

Setengah Kemerdekaan, Merayakan Proklamasi Dalam Ironi

Oleh: Yusuf Blegur |  Ketua Umum BroNies - Relawan Bro Anies TNI, Polri dan hampir semua institusi negara  belum menunjukkan performans terbaiknya. Alih-alih berprestasi dan secara hakiki mampu menjaga kedaulatan rakyat dan negara, kebanyakan aparatur pemerintahan justru terus mereduksi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Distorsi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti menjadi representasi para perilaku pejabat dan pemimpin yang  tak berbudi pekerti dan tak manusiawi. Kasihan rakyat dan betapa miris* *kehidupannya,  suasana 77 tahun kemerdekaan Indonesia tak ubahnya terasa merayakan proklamasi dalam ironi. Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah yang mengalami kehancuran akibat perang dan pergolakan kekuasaan di dalam negerinya. NKRI juga belum mengalami kebangkrutan seperti yang telah menimpa Srilangka belakangan ini. Apa yang telah terjadi di beberapa negara di semenanjung Arab dan Asia Selatan itu, memang belum menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila dan semangat nasionalismenya yang pernah merangsang kemerdekaan bangsa-bangsa  Asia Afrika  melalui Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 silam. Namun gejala menjadi negara gagal, kini mulai dirasakan dalam sekujur struktur sosial politik kebangsaan Indonesia. Pemerintahan dan rakyat tak ubahnya sebuah habitat yang berhimpun menjadi republik pesakitan, larut dalam kemunduran peradaban dan kemiskinan kemanusiaan, terutama dalam memaknai kemerdekaan negara bangsanya.  77 tahun sudah merayakan hari kemerdekaannya, rakyat Indonesia benar-benar mengalami banyak keganjilan. Proklamasi kemerdekaan yang pernah dikumandangkan ke seantero dunia, seakan tak pernah menemukan bentuk yang sesungguhnya, tak implementatif dan tak kunjung jua meraih tujuannya. Keinginan menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta ikut menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, seperti menjadi kenyataan yang jauh api dari panggang. Proses  penyelenggaraan negara dan realitas kehidupan rakyat, menjadi begitu kontradiktif dari apa yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tidak sekedar kehilangan akal sehat, menjadi bangsa dungu dan terbelakang dari kemajuan yang sesungguhnya. Bahkan indikasi bangsa yang korup dan hipokrit telah menghinggapi segenap aparatur pemerintahan dan sebagian besar rakyat, yang negerinya kaya kebhinnekaan dan kemajemukan budaya serta sumber daya alamnya. Setidaknya ada tiga keganjilan, jika belum pantas disebut kegagalan seandainya negara bangsa Indonesia mau melakukan refleksi sekaligus evaluasi secara jujur dan obyektif dari perjalanan 77 tahun kemerdekaannya. Pertama, negara melalui kinerja pemerintahannya telah lama gagal mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa yang praksis. Apa yang kemudian menjadi sistem nilai yang terkandung di dalam lima silanya, hampir secara umum dan keseluruhan telah lama meninggalkan hakekat dan prinsip-prinsip kebangsaan aspek menyeluruh kehidupan rakyat. Tata-kelola negara dan dinamika kebangsaan semakin tercerabut dari akar dan value, serta tatanan etos dan mitos  Pancasila. Sekian lama dan untuk jangka waktu yang panjang, mayoritas bangsa Indonesia justru menjadikan ideologi dan gaya hidup di luar pakem Pancasila. Bangsa Indonesia cenderung menjadikan  keyakinan, tradisi dan orientasi bangsa luar sebagai panutannya. Sebut saja kapitalisme dan komunisme yang begitu kuat mencengkeram dan digdaya di belahan global maupun bumi nusantara ini. Bukan Pancasila, bahkan bukan juga agama, liberalisasi dan sekulerisasi telah menjadi \"the way of life\" hampir seluruh populasi manusia Indonesia. Udara kapitalisme  dan komunisme yang menyebarluaskan aroma materi dan kecintaan pada dunia, dihirup dalam-dalam dan  menjadi nafas  segenap rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Ketuhanan telah menjadi seolah-olah. Banyak yang beragama tapi sesunguhnya tak bertuhan. Kemanusiaan tampil kebalikannya. Hanya terlihat di sana-sini kebiadaban dan tregedi kemanusiaan. Persatuan juga telah menjadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu dan seketika dapat menyemburkan konflik dan perpecahan bangsa. Pembelahan sosial semakin tajam dan menyayat luka yang sulit terobati. Permusyawaratan rakyat juga menjelma menjadi pesta demokrasi yang hedon, glamour dan transaksional. Bukan orang jujur dan baik, tapi orang kaya yang berhak menjadi pemimpin dan perwakilan rakyat. Logika konstitusi formal dan normatif terus memproduksi pemimpin boneka dan badut. Sementara keadilan hanya hadir bagi yang punya uang, jabatan dan kekuasaan. Pancasila telah sempurna dan begitu indah dalam mimpi, namun menjadi begitu horor dan mengerikan dalam praktek dan kenyataannya. Rakyat Indonesia terlanjur terobsesi dan uthopis terhadap Pancasila, sembari menikmati kenyataan pahit bernegara. Sengsara dan hidup menderita jauh lebih keji dari zaman  kolonialisme, begitulah rakyat menjalani meski hidup dalam alam kemerdekaan dan era modern. Kemerdekaan hanya menghantarkan rakyat Indonesia berada  pada satu penjajahan ke penjajahan yang lain. Penjajahan dari bangsa asing menuju penjajahan oleh bangsanya sendiri. Terus seperti itu silih berganti, terkadang oleh konspirasi keduanya. Kedua, kegagalan UUD 1945 dalam implementatif.Selain telah terjadi manipulasi dan kamuflase UUD 1945 yang bertopeng amandemen dan berujung UUD 2002 dst hingga ke omnibus law dan mungkin UU KUHP. Usai itu, konstitusi sakral negara telah menjadi alat kekuasaan yang melegalkan orang-orang jahat dalam pemerintahan. Merubah abdi negara, menjadi abdi penguasa. Praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka dan  terselubung,  telah menjadi kejahatan resmi aparatur negara. Seiring itu kejahatan susulan menjadi trend dan serba permisif, tampil mewah, berwibawa dan arogan memamerkan kebobrokannya. Konsitusi bukan hanya sekedar berwujud hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahkan perilaku  para penguasa itu telah menjadi hukum dan di atas hukum dari negeri yang dihuni banyak para bedebah dan bajingan ini. UUD 1945 kini telah lama tenggelam di dasar kenistaan bangsa.  Pasal dan klausulnya direkayasa dan dibuat sedemikian rupa untuk memuliakan,  melindungi dan melanggengkan kekuasaan, sembari terus menghina, merendahkan dan menganiaya serta membunuh rakyatnya sendiri. Rakyat sesak napas dan mengurut dada, dieksplotasi membiayai pemerintah dan  aparatur negara. tanpa disadari rakyat,  rakyat  babak-belur bertubi-tubi mengenyam kedzolima rezim kekuasaan yang dihidupinya sendiri. Ketiga, NKRI yang terus melesat menuju negara gagal. 77 tahun menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, alat-alat negara hanya mampu menghasilkan masyarakat tanpa pemerintahan dan negara tanpa pemimpin. Ketiadaan para pemimpin yang mutlak yang berahlak mulia, menjadi faktor fundamen dan signifikan menyebabkan kemerosotan moral dan degradasi kebangsaan. NKRI cenderung melepaskan substansi dan esensi kemerdekaannya yang susah payah diraih dengan pengorbanan keringat, darah dan nyawa, karena ulah para pejabat dan pemimpinnya. Penguasa memegang kendali pemerintahan yang berwatak tiran, otorier dan diktator.  Negara telah nyata meski samar tapi tetap terlihat dikuasai oleh para oligarki. Birokrat, politisi dan sebagian pemuka agama telah berkembang-biak dan subur menjadi ternak-ternak oligarki. Partai politik juga tak lepas dari irisan para pemilik modal. Perpanjangan tangan partai politik telah merambah begitu dominan dan hegemoni dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan yang menindas rakyat, mengangkangi amanat para \"the founding fathers\" dan mengebiri cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitulah elit kekuasaan menampakan wajah dan perangainya. Teriak keras sembari  mengonggong, mengaku  paling Pancasila, paling NKRI dan saya paling cinta Indonesia, namunbersamaan dengan itu,  tak tahu malu menjadi pelacur dan penghianat negeri ini. NKRI dalam pengertian hakiki, berangsur-angsur bubar dan terlepas dari genggaman rakyat, meski secara seremonial saban tahun diperingati hari kemerdekaannya. Demikian tiga aspek yang menjadi indikator keterpurukan negara bangsa Indonesia. Suatu hal yang mengenaskan terlebih dalam momentum memperingati hari kemerdekaannya. Negara telah keluar dari treknya, menyimpang jauh dari apa yang menjadi tujuan nasional. Penyelenggara negara telah membuat \"broken bridge\", menghancurkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah menjadi jembatan emas yang telah diperjuangkan dan dibangun para pendiri bangsa dan para pahlawan lainnya. Penyimpangan perilaku aparatur negara secara terstruktur, sistematik dan masif telah mengubur mimpi  rakyat Indonesia, menikmati keadilan dan kemakmuran dalam hasrat negara kesejahteraan. Indonesia memang tidak mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.             mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.

Peluk Haru dan Cium Kening Sang Jenderal

Oleh Ady Amar | Kolumnis  BERTEMU kawan lama memeluknya erat sambil menempelkan pipi dengan pipi--ada pula yang mengecup dahi segala--itu hal biasa dalam pertemanan. Bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa-biasa saja. Itu tanda keakraban. Tapi ada yang buat kepo manusia se-Indonesia saat video singkat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (FI) bertemu mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (FS). Video itu beredar luas. FI memeluk FS dengan erat, sambil tangannya menepuk-nepuk punggung FS. Tak ketinggalan adegan kecup kening dari FI, itu menandakan keakraban luar biasa antarkeduanya. Sambil masih tetap memeluk erat, dan dengan sedikit menempelkan mulut dekat telinga, FI mengucapkan sesuatu. Sambil sedikit mengguncang-guncang badan FS, sebagai tanda agar ia bersabar dan tetap kuat. Apa yang dibisikkan FI, itu buat publik kepo. Tentu yang tahu cuma mereka berdua dan Tuhan. Boleh juga jika publik ingin merabah apa yang dibisikkan FI. Menyebut itu hanyalah sekadar kalimat normatif yang diucap, guna menguatkan kawan yang tengah terpuruk. Tapi boleh juga jika ada yang merabah dengan mengatakan makna lain, kalimat menenangkan FS, bahwa ia akan berakhir aman-aman saja. Peluk cium itu terjadi pada tanggal 13 Juli. Artinya, beberapa hari setelah adegan \"tembak-tembakan\" di rumah dinas FS, yang menewaskan Brigadir Yosua (J). Peluk cium itu dilakukan saat masih hangat-hangatnya peristiwa Duren Tiga itu merebak. Peluk erat dan cium kening dari FI, itu hal manusiawi. Mestinya bisa dianggap biasa-biasa saja. Tapi jika jadi kehebohan tersendiri, itu tidak terlepas dari peristiwa yang melatarbelakangi. Publik sudah punya penilaian tersendiri tentang keduanya. Sepertinya publik ingin menariknya pada peristiwa KM 50. Kasus yang oleh Komnas HAM disebut sebagai unlawful killing. Tanggal 14 Juli, Irjen FI perlu beri klarifikasi atas viralnya video peluk cium itu. Katanya, sebagai senior ia cuma menguatkan sohibnya atas peristiwa yang dialaminya. Sepertinya FI ingin menghentikan spekulasi kepo publik atas peluk cium dan bisikannya itu. Meski saat itu belum terbuka siapa dalang sebenarnya yang menghabisi Brigadir J hingga tewas. Spekulasi bisa menjadi lepas jika diteruskan: saat itu apa FI tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, atau hanya tahu ada tembak-tembakan yang mematikan Brigadir J. Mestinya ia sudah menerima laporan dari anak buahnya, setidaknya dari Kapolres Jakarta Selatan tentang peristiwa yang sebenarnya. Setelah penetapan FS sebagai otak pembunuhan Brigadir J (Selasa, 9 Agustus), video adegan peluk haru dan cium kening itu di viralkan lagi. Entah apa maksudnya. Publik sepertinya ingin beri penegasan. Dan itu menarik  FI dalam kasus ini. Tentu itu pengharapan tidak semestinya. Tidaklah perlu berpikir yang bukan-bukan. Biarlah proses Durian Tiga ini berjalan dengan semestinya. Publik cukup mengawasi dengan seksama. Jangan berharap pada yang tidak seharusnya. Penilaian publik memang tidak mesti benar, bisa juga salah. Tapi nalar publik punya penilaiannya sendiri, yang itu tidak atau belum bisa dijawab oleh keadilan yang diharapkan. Keadilan atas terbunuhnya 6 laskar FPI dalam kasus KM 50. Dua orang itu, FI dan FS, dalam benak publik, ada di balik peristiwa itu. Sekali lagi, bahwa penilaian publik belum pasti benar. Penilaian itu dimunculkan oleh jalannya pengadilan yang tidak sesuai dengan harapan. Kasus KM 50 itu menyisakan luka menganga lebar yang sulit bisa diobati. Mustahil bisa disembuhkan dengan pengadilan tanpa ada keadilan dihadirkan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  membebaskan 2 jagal pembunuhnya, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Tanpa menyentuh siapa otak di balik peristiwa KM 50. Tapi jelas, dua orang itu adalah anggota Satgasus, yang dikomandani FS. Setelah kasus Duren Tiga, Satgasus itu dibubarkan Kapolri. Maka, publik bisa simpulkan bahwa ada FS pada kasus KM 50. Perlakuan hukum antara kasus KM 50 dan kasus Duren Tiga, sangat jauh berbeda. Itu dalam keseriusan mengungkap peristiwanya. Pada kasus KM 50, tampaknya yang disasar adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), dan Front Pembela Islam (FPI). HRS dipenjarakan dengan kasus yang (seperti) dibuat-buat. Sedang FPI ditarget untuk dibubarkan. Kasus KM 50 seolah hanya kesalahan dua oknum polisi--sebenarnya tiga polisi, tapi yang satu mati duluan sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan--tanpa menyentuh aktor intelektualnya. Jauh berbeda dengan kasus Duren Tiga, yang sampai Presiden Joko Widodo perlu memberi perhatian khusus, agar kasus ini dibuka seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutupi. Belum lagi sikap Prof Mahfud MD, melihat kasus Duren Tiga, seperti layaknya lebih dari Kapolri. Pada kasus KM 50, FI tampil dalam konferensi pers segala. Menunjukkan senjata pistol dan pedang yang tampak berkarat, yang itu dinyatakan milik laskar yang terbunuh itu. Padahal senjata api maupun tajam tidak dikenal dalam akrivitas laskar FPI. FI tampak bersemangat padahal kasusnya tidak terjadi di wilayah Polda Metro Jaya. Tapi sebaliknya pada kasus Duren Tiga, ia justru pasif. Padahal lokasi kejadian ada di Jakarta Selatan. Maka publik yang melihat  peluk haru dan cium kening FI pada FS, itu menjadi wajar jika lalu menariknya pada kasus KM 50. Publik dengan logika sederhananya mampu mengurai korelasi antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Wallahu a\'lam (*)