ALL CATEGORY
DPR Memang Seperti Taman Kanak Kanak
Ke depan dugaan kuat, akan ada ledakan yang membahayakan kalau benar kasus FS terkait dengan uang haram yang beredar diantara oknum pejabat negara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PRESIDEN keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah bikin berang DPR. Gus Dur pernah menyebut para anggota dewan yang gemar ribut itu seperti di Taman Kanak-kanak (TK) saja. Ucapan itu membekas di masyarakat dan menjadi kesan buruk bagi DPR, sekalipun Gus Dur mengatakan bahwa ucapannya sekedar humor. Analog dengan kasus Irjen Ferdy Sambo dan Brigadir Yosua saat ini, Presiden Joko Widodo sudah 3 kali meminta kasusnya dibuka secara transparan dan tidak boleh ada rekayasa untuk ditutupi. Mengkopulhukam Mahfud MD mungkin merasa kesal melepas kritik bahwa sikap DPR khususnya Komisi III, dan fakta secara kelembagaan hanya diam. Membuat beberapa anggota DPR ribut dan berang. Ketua DPR RI memberikan komentar yang terkesan ada emosi ingin membela FS bahkan sempat dilaporkan ke Dewan Kehormatan buru-buru membela diri bahwa dirinya tidak ada maksud membela apalagi melindungi FS, dan malah menyampaikan apresiasi kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas kasus tindakan tegasnya, terkesan gagap karena serba terlambat. Beberapa anggota DPR paska Kapolri menetapkan FS sebagai tersangka baru mulai muncul komentar bersifat pribadi. Tetap saja secara kelembagaan DPR RI khususnya Komisi III hanya diam, tertutup untuk membela diri dengan cara apapun, termakan dan sudah tenggelam oleh waktu. Fenomena tersebut menggambarkan reaksi beberapa anggota DPR aneh, lucu-lucu dan serba terlambat bereaksi atas kejadian yang harusnya menjadi fokus perhatian dan pengawasan DPR. Ironi, baru bereaksi setelah DPR diawasi dan diingatkan oleh Menkopolhukam baru ramai-ramai membela diri. Memori muncul fenomena ini persis seperti yang digambarkan Gus Dur saat itu, suka ribut seperti Tanam Kanak kanak. Idealnya DPR RI sejak kasus pembunuhan Yosua bereaksi lebih cepat bereaksi menjalankan fungsi pengawasan. Bukan kalah cepat dengan reaksi Presiden, Mengkopulhukam dan Kapolri. Reaksinya tersebut akan ideal dengan segera memanggil semua pejabat negara terkait untuk ungkap kasusnya dengan cepat, transparan dan segera lakukan reformasi di tubuh Polri. Pembusukan di tubuh Polri tidak lepas akibat penggantian serampangan atas UUD 1945 menjadi UUD 2002 yang memberi kekuasaan monopolistik dan kerusakan peran di semua organ lembaga negara. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid (Presidium KAMI Jatim), kondisi tersebut telah berbuah tata kelola keamanan dan ketertiban yang keliru di mana Polri hanya menjadi alat kekuasaan yang brutal serta melindungi the untouchables elit politik dan cukong. Prof. Din Syamsudin (Presidium KAMI Nasional) menyampaikan, “proses penanganan kasus FS memang terkesan dramatis. Selain memakan waktu lama juga proses tersebut penuh dalih yang kontroversial dan artifisial”. “Penanganannya terkesan sangat berhati-hati karena mungkin sensitif dan bisa membuka kotak pandora penegakan hukum yang menyimpan misteri”. Hentikan DPR RI membela diri, sudah serba terlambat antisipasinya justru muncul reaksi aneh-aneh seperti anak TK, bukan hanya memalukan tetapi sangat naif itu terjadi di tubuh lembaga terhormat sekelas DPR RI. Ke depan dugaan kuat, akan ada ledakan yang membahayakan kalau benar kasus FS terkait dengan uang haram yang beredar diantara oknum pejabat negara. Dan, kalau itu benar bahkan nyrempet pada oknum anggota DPR RI, bisa mempercepat akan terjadinya revolusi negara ini, menuntut negara ditata ulang. (*)
Din Syamsudddin: "Satgassus Harus Dibubarkan Karena Tidak Diperlukan!"
Jakarta, FNN - Kasus terbunuhnya Brigadir Joshua yang menjadikan mantan Kadiv Propam Polri Irjen (Pol) Ferdy Sambo sebagai tersangka sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan tersebut disampaikan oleh M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015. “Bahwa aparat penegak hukum melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. Jika hal ini benar terjadi maka akan meruntuhkan sendi Negara Indonesia yang berdasarkan hukum,” ungkap Ketua Umum MUI 2015 itu. Proses penanganan kasus tersebut, dinilai Din, memang terkesan dramatis. Selain memakan waktu lama juga proses tersebut penuh dengan dalih yang kontroversial dan artifisial. “Penanganannya terkesan sangat berhati-hati karena mungkin sensitif dan bisa membuka kotak pandora penegakan hukum yang menyimpan misteri,” lanjutnya. Menurut Din, sebenarnya sudah menjadi opini umum bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahwa penegakan hukum mengusik rasa keadilan sebagian masyarakat. Dan, “Penegakan hukum tak luput dari mafia,” ujar Din. Keberadaan Satgassus di tubuh Polri yang disinyalir menjadi super body dan rentan terhadap mafia adalah berbahaya karena bisa menghalangi penegakan keadilan dan membuka jalan bagi kezaliman (lawan dari keadilan). “Saya sependapat bahwa Satgassus semacam itu harus dibubarkan karena tidak diperlukan,” tegas Din Syamsuddin. Menurutnya, dugaan bahwa Satgassus tersebut berhubungan dengan kasus pelanggaran hukum seperti pembunuhan enam anggota Laskar FPI, praktik judi online, dan pembunuhan Brigadir Joshua itu sungguh menyedihkan. “Kalau itu nanti terbukti maka akan merupakan malapetaka nasional,” lanjut Din Syamsuddin. Sebenarnya masalah yang ada bukan hanya keberadaan sebuah Satgasus di tubuh Polri, tapi posisi Polri itu sendiri. Apakah posisi Polri seperti sekarang ini sudah tepat atau justru perlu dikoreksi. Din Syamsuddin, menyebut, seperti di banyak negara kepolisian cukup di bawah sebuah departemen/kementerian. Dan, “Yang perlu dihindari jangan sampai Kepolisian Negara menjadi semacam super body yang represif, menjadi alat kepentingan politik (bukan alat negara), dan tidak tersentuh hukum itu sendiri,” ujarnya. Solusi terhadap semuanya sangat menuntut political will dari Presiden Joko Widodo, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. “Apakah ucap dan laku bersesuaian ataukah tidak?” tandas Din Syamsuddin. (mth/MD)
Krisis Jadi Peluang Bagi Partai Gelora untuk Gantikan Kepemimpinan Lima Tahunan
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menegaskan, bahwa tidak semua masyarakat kita saat ini berwajah \'pragmatis\' seperti sebagian politisi sekarang. Justru masyarakat yang memiliki idealisme jauh lebih banyak ketimbang pragmatis. Bahkan mereka siap berkorban untuk mendukung partai yang membawa narasi perubahan seperti Partai Gelora. \"Saya melihat, bahwa masyarakat kita tidak punya satu wajah, yaitu wajah pragmatis. Dan tidak seluruh masyarakat, seluruhnya pragmatis,\" kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk \'Peluang Partai Baru Pada Pemilu 2024 : Narasi Vs Pragmatisme\', Rabu (10/8/2022). Menurut Anis Matta, masyarakat sebenarnya menantikan orang-orang atau partai politik (parpol) yang membawa narasi perubahan di tengah krisis berlarut akibat ketidakpastian situasi global. \"Masyarakat kita sebenarnya menantikan orang-orang yang membawa narasi, bahkan siap berkorban untuk membantu mereka-mereka yang seperti ini,\" katanya. Sebagai partai baru, kata Anis Matta, Partai Gelora kerap mendapatkan pertanyaan fulusnya dari mana? untuk biaya operasional partainya. Pertanyaan itu datang dari berbagai pihak, tidak hanya masyarakat, tetapi juga dari para pengamat yang se-akan tidak memberikan ruang pada idealisme. \"Kita terus didera pertanyaan itu di lapangan, karena dibenak mereka ini nasi, bukan narasi. Tetapi berdasarkan pengalaman pribadi saya ketika bertemu dengan masyarakat, ternyata yang penting itu narasi, bukan nasi,\" ungkap Anis Matta. Artinya, tantangan dalam menghadapi pragmatisme masyarakat tersebut, bisa dilewati. Partai Gelora, lanjutnya, memiliki banyak cara untuk mengatasi pragmatisme masyarakat. \"Kita punya banyak cara idealisme untuk mensiasati keterbatasan sumber daya dengan adanya idealisme narasi yang kita bawa, terutama ketika kita berhadapan dengan pragmatisme masyarakat,\" ujarnya. Karena itu, berdasarkan pengalaman pribadi, Anis Matta berpandangan bahwa antara \'nasi dan narasi\' sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, karena pada mulanya politik itu industri pemikiran. \"Itu yang saya percaya sejak awal, sampai sekarang. Dan Partai Gelora, adalah partai yang akan memimpin gelombang perubahan yang akan mengubah pragmatisme masyarakat,\" tegas Anis Matta. Hal senada disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Bona Simanjuntak. Menurut Bona, sebagai partai baru, PKN perlu memperkenalkan dirinya melalui narasi. PKN, kata Bona, memiliki narasi nusantara dalam pembangunan dengan menggerakkan semangat kedaerahan. Sebab, politik itu juga dibangun diatas narasi-narasi masing-masing. Seperti Orde Lama dibangun narasi nasionalisme, Orde Baru dengan narasinya pembangunan, serta Orde Reformasi dibangun dengan narasi liberalisme dan kapitalisme. \"Reformasi sudah tidak sesuai cita-cita, karena reformasi lebih membangun sektoral kapital. Makanya PKN bangun lagi narasi nusantara kembali,\" kata Bona Simanjutak. Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Median Rico Marbun mengatakan, kondisi krisis global saat ini memberikan peluang partai baru menjadi pilihan. Khususnya di tengah masyarakat yang merasakan kesulitan ekonomi. \"Harapan hadirnya perubahan baru sangat dinantikan masyarakat. Seperti kontrak rumah, yang bisa diisi orang berbeda-beda dalam lima tahunan. Wadahnya sama, namun penghuninya bisa bergantian,\" kata Rico Marbun. Ketua Bapilu Partai Gelora ini mengatakan, partai-partai yang mengedepankan pragmatisme masyarakat, ternyata gagal dalam menjamin kemenangan dalam beberapa Pemilu terakhir. Apalagi kondisi sekarang ini, menurut Rico Marbun, banyak memberikan tekanan kepada masyarakat, sehingga hal ini menjadi peluang bagi partai baru untuk melakukan perubahan. \"Masyarakat menurut survei, merasakan tekanan adanya krisis. Muncul perasaan marah, gundah, buruk yang dirasakan mayoritas publik. Adaya keresahan yang membutuhkan suasana baru,\" terangnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indobarometer Muhammad Qodari berpendapat, perlunya relasi antara parpol dan masyarakat, terlebih dalam situasi sekarang. Relasi antara parpol dengan pemilih, kata Qodari, seperti produk dengan konsumennya. Dimana setiap produk memiliki karakter yang cocok bagi konsumen tertentu. Sehingga, susah membayangkan ada parpol yang cocok dengan semua pemilih. \"Sebab, kata kunci untuk mendapatkan suara pemilih bukan pada gagasan, melainkan relasi antara penyampai gagasan dengan pemilih,\" Qodari. Dimana parpol pemilik suara terbesar adalah yang memiliki relasi terbanyak dengan pemilih. Sehingga, tokoh nasional, tokoh lokal dan kader parpol harus mampu membangun relasi. (sws)
Umat dan Kepemimpinan Global
Jika tidak maka Umat ini hanya akan mampu bahkan pintar bernostalgia dengan kegemilangan masa lalu. Sejarah pun menjadi kebanggaan. Tapi gagal mengembalikan kegemilangan sejarah itu. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation/NYCHHC Chaplain UMAT ini memang ditakdirkan untuk hadir dengan misi kepemimpinan. Dengan kata lain kepemimpinan adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab keumatan. Sehingga dengan sendirinya umat harus mampu menampilkan diri sebagai pemimpin. Ada beberapa dasar keagamaan (religious basis) kenapa Umat ini hadir dengan tanggung jawab kepemimpinan itu. Pertama, karena Umat ini adalah ummatan wasathan atau Umat pertengahan. Kata wasathiyah tidak sekedar “imbang” di posisi pertengahan. Tapi minimal mencakup tiga karakter dasar: a. bahwa Umat ini adalah Ummah with excellence. Umat yang memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tentu dalam arti positif. Bukan keangkuhan seperti keangkuhan rasial sebagian orang putih. b. bahwa Umat ini memiliki tunas yang kuat. Wisthus syajarah juga bermakna tunas dari sebuah pohon. Umat ini tunasnya adalah iman yang tumbuh bagaikan pohon yang sehat dan kokoh. c. bahwa Umat ini adalah Umat dengan ketauladanan. Dan, ketauladanan merupakan esensi kepemimpinan. Sebagimana Rasulullah sebagai “uswah” (juga dimaknai pemimpin) bagi Umat ini. Kedua, karena Umat ini adalah “Khaer Ummah” atau Umat terbaik. Kata “KhaerIyah” atau terbaik pada ayat ini sama dengan kata excellent pada ayat di atas. Bahwa Umat ini punya keistimewaan, kapasitas, potensi dan integritas untuk kepemimpinan itu. Keadaan Umat Masa Kini Melihat keadaan Umat masa kini tentu kita harus jujur bahwa posisi kepemimpinan itu telah lama hilang dari mereka. Realitanya Umat menjadi terpimpin (makmum) bagi orang lain, hampir dalam segala aspek kehidupan. Umat Muslim di negara-negara mayoritas Muslim pada umumnya bermental minoritas dan diperlakukan bagaikan minoritas. Seringkali justeru mereka yang di posisi minoritas mengontrol hampir semua lini kekuasaan. Umat Muslim di negara-negara minoritas Muslim masih menjadi bulan-bulanan mispersepsi bahkan phobia dari banyak pihak. Seringkali kesalah pahaman dan phobia itu menjadikan mereka menjadi target kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikis. Belum lagi tentang Umat yang memang jadi korban berbagai kezholiman di berbagai belahan dunia. Dari Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, hingga ke Myanmar dan Xingjian (Uighur) China, Kashmir dan India. Bahkan yang klasik dan semakin suram adalah Saudara-Saudara kita Palestina yang hingga detik ini masih menjadi target kezholiman penjajah Israel. Secara umum Umat tidak saja menjadi makmum bagi Umat lain. Tapi menjadi korban dan mangsa bagi orang lain yang punya kepentingan. Faktor Hilangnya Kepemimpinan Tentu tidak mudah merincikan penyebab kenapa Umat ini kehilangan posisi kepemimpinan itu. Salah satunya karena Umat ini tidak monolith (bersifat tunggal). Umat ini sangat ragam dan memiliki kapasitas yang berbeda dan ragam pula. Namun secara ringkas dapat disebutkan beberapa faktor itu. Pertama, melemahnya akidah dan iman Umat ini. Sebuah pernyataan klasik dan umum. Tapi sesungguhnya memilki makna yang dalam. Dengan lemahnya akidah dan iman Umat, terporosot pula “izzah dzatiyah” atau self confidence (rasa bangga dan percaya diri) Umat. Akibatnya Umat merasa lemah dan terkalahkan sebelum dilemahkan dan dikalahkan oleh siapapun. Tragisnya hal itu terjadi dengan segala potensi Umat yang dahsyat. Baik itu potensi SDM (Umat beragama terbesar dunia), potensi SDA (potensi kekayaan alam dunia Islam) yang luar biasa, dan lain-lainnya. Kedua, kebekuan pemikiran Umat. Umat ini harusnya Umat yang berkarakter IQRA’. Yaitu Umat yang memiliki wawasan atau mindset yang luas (broaden). Sayangnya ciri keumatan yang mendasar ini melemah. Akibatnya Umat seringkali didominasi oleh tendensi sentimen atau emosi yang tidak terkontrol. Hal ini kerap melahirkan keadaan pahit Umat yang gampang menjadi mainan kepentingan orang lain. Ketiga, melemahnya karakter Umat yang bercirikan akhlakul karimah. Hal ini membawa kepada, tidak saja bahwa ketauladanan Umat melemah. Lebih buruk lagi Umat seringkali justru menjadi hijab keindahan Islam di mata dunia. Keempat, gagalnya Umat membangun shaf dalam kehidupan sosialnya. Membangun shaf bagi Umat ini mendasar, baik pada sisi ritualnya maupun pada sisi kehidupan sosialnya. Secara ritual Umat hebat dalam membangun shaf. Masjid-masjid pun ramai. Haji antrian. Tapi secara sosial Umat ini tercabik-cabik bahkan saling merobek. Kelima, melemahnya semangat Dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, menjadi salah satu “non official” pilar Islam. Sehingga kalau saja ada rukun Islam keenam, hal inilah yang menempatinya. Sekuat apapun Umat ini jika dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkin diabaikan pada akhirnya akan bertekuk lutut pada musuh-musuhnya. Tentu banyak faktor lainnya. Sebagai misal saja wawasan keagamaan yang terpenjara oleh aspek ritual. Saya menyebutnya dengan “ritual centric” dalam beragama. Juga ada kecenderungan “jalan pintas” masuk syurga. Banyak yang ingin mati di jalan Allah. Tapi tidak ingin hidup di jalanNya. Dua Sisi Kepemimpinan Dan karenanya untuk Umat ini dapat meraih kembali kepemimpinan itu, baik kepemimpinan internal (imaman lil-muttaqin) maupun kepemimpinan global (imaaman linnas) Umat perlu mengembalikan semua Karakter utama Umat di atas. Jika tidak maka Umat ini hanya akan mampu bahkan pintar bernostalgia dengan kegemilangan masa lalu. Sejarah pun menjadi kebanggaan. Tapi gagal mengembalikan kegemilangan sejarah itu. Wallahu Al-Musta’an wa ilahi at-tuklaan! Manhattan City, 10 Agustus 2022. (*)
Mubahalah Berefek Domino
Oleh Ady Amar | Kolumnis Dalam narasi yang lain, tapi substansi lebih kurang hampir sama--banyak yang menyebut demikian--bahwa tangan Tuhan sedang bermain. Tembak-tembakan antarpolisi di rumah polisi, dan terbunuh satu polisi, seperti mengindikasikan itu semua. Tembak-tembakan sebagai skenario pertama. Kedigdayaan rapuh-remuk tak berbekas. Runtuh meninggalkan tangis dan derita berganti. Meski tangis tanpa air mata masih dirasakan para keluarga 6 syuhada FPI, yang mati dilibas oknum polisi--peristiwa KM 50--tetap menyisakan derita panjang atas nama ketidakadilan. Pencarian keadilan akan dituntut sampai kapan pun. Air mata keluarga para syuhada memang sudah tak lagi menetes, meski tangisan panjang seperti nyanyian sedih gunda gulana terus dinyanyikan. Itulah panjatan doa mubahalah pada mereka yang zalim--untuk anak-anak mereka yang dibantai oleh kedigdayaan--terus berharap Tuhan Sang Pengadil hadir dengan keadilan-Nya. Tangan Tuhan seperti sedang bermain. Menjadikan skenario tampak dangkal, sebenarnya tidak demikian. Tembak-tembakan yang menewaskan Brigadir J--skenario awal itu dimentahkan oleh pengakuan Bharada E--bahwa bukan dia pelaku tunggal pembunuhan itu. Tuhan seperti ingin menggeret mempertontonkan aktor kezaliman dalam skenario yang dibuat-Nya. Skenario melingkar berputar seperti tak beraturan, menyasar mereka yang pantas disasar. Skenario tembak-tembakan dimentahkan lewat skenario berikutnya, pengakuan Bharada E, menyebabkan Irjen FS sang digdaya pengatur skenario \"tembak-tembakan\", dilucuti oleh atasannya dengan dakwaan pelanggaran etik. Ditahan untuk 30 hari. Nasibnya selanjutnya akan ditentukan. Motif kematian Brigadir J masih diliputi misteri. Skenario awal, teriakan perempuan bernama PC, istri Irjen FS. Mengaku bahwa ia dilecehkan Brigadir J di kamarnya, dan dengan ancaman pistol segala. Nalar bodoh sekalipun akan berkata, berani benar bawahan satu ini masuk ke kamar istri sang Bos yang tengah istirahat, melecehkan sambil menodongkan pistol. Bharada E lalu datang, dan adegan tembak-tembakan terjadi. Brigadir J meninggal tertembus peluru yang ditembakkannya. Bukan satu peluru tapi 5 peluru bersarang di tubuhnya. Kisah dalam skenario awal tak dipercaya ayah-ibu dan keluarga besar Brigadir J: anakku tak mungkin melakukan perbuatan nista demikian. Jenazah dibuka, meski ada larangan untuk dibuka oleh utusan polisi si pengantar jenazah. Tetapi jenazah tetap dibuka, dan dilihat di sana-sini seperti ada penyiksaan di tubuh sang anak. Meradang penuh amarah. Kemarahan tak cuma berhenti di keluarga Brigadir J, tapi meluas pada etnis Batak yang tak terima dan menuntut balas keadilan. Dibunuhnya Brigadir J belum tahu apa penyebabnya. Mengapa ia sampai harus dihabisi dengan cara sadis--sedang pembantaian 6 syuhada FPI sudah jelas karena ia mengawal HRS, ulama lurus yang lantang berkata kebenaran, bukan penjahat tapi dimusuh layaknya penjahat besar. Mulai terbuka perlahan skenario berikutnya, lewat nyanyian Bharada E. Katanya, saya lihat tangan Irjen FS memegang pistol, sedang Brigadir J ada di sampingnya. Indikasi siapa yang menembak sudah mulai tersibak. Bukan cuma dirinya seorang. Lalu muncul nyanyian lainnya dari Bharada E, dimunculkan nama Brigadir RR dan KM, ajudan dan sopir sang nyonya, yang ikut bersamanya. Ikut ramai-ramai menembak Brigadir J. Kemudian, muncul nyanyian-nyanyian lain yang sampai mentersangkakan 31 anggota polisi berbagai tingkatan kepangkatan. Sore kemarin, Rabu (9 Juli), Kapolri mengumumkan, Irjen FS terlibat sebagai otak yang menewaskan Brigadir J. Lewat perintahnya Bharada E, Bripka RR dan KM melakukan penembakan. Mereka semua akan dituntut hukuman mati atau seumur hidup. Ini bisa disebut efek domino mubahalah, menyasar banyak polisi pangkat tinggi atau rendahan, langsung maupun tidak langsung, yang terlibat dalam pembantaian KM 50. Konon Irjen FS juga tangani kasus KM 50, adakah ia otak skenario unlawful killing itu, semua pada waktunya akan tersibak. Tuhan pastilah tidak diam. Skenario-Nya seperti dimulai dari kasus tewasnya Brigadir J. Tuhan mencengkeram dengan tangan kuasa-Nya. Menghadirkan banyak korban menangis pilu merana, bahkan lebih dahsyat dari tangisan keluarga para syuhada, yang menerima kekejian tanpa keadilan dihadirkan dalam ruang pengadilan. Sepertinya ini baru awal dari skenario Tuhan dimainkan. Belum akan berakhir menyasar dalang tertinggi dan para eksekutor biadab yang menari-nari dalam keriangan saat anak manusia meregang nyawa, tanpa sedikit pun nurani dimiliki. Tangisan panjang keluarga para syuhada KM 50--tangisan dan doa berbaur berharap diijabah --memporak-porandakan kedigdayaan semu. Secepat bahkan lebih cepat dari membalik telapak tangan, menjadikan tangis itu berganti jadi kesyukuran, bahwa Tuhan mengabulkan doa keluarga para syuhada. Efek domino mubahalah akan terus mencari siapa dalang dan jagal peristiwa KM 50, cepat atau lambat akan disasar untuk dimangsa-Nya. Ada waktu tersisa jika yang dipilih adalah jalan pertobatan sesungguhnya dengan mendatangi keluarga para syuhada, meminta maaf setulusnya--atau lebih memilih Tuhan menghinakan dengan menamparnya penuh kesakitan, yang dirasakan diri dan keluarganya hingga waktu panjang--dunia dan akhirat. (*)
LaNyalla: Hilangnya Pancasila Sebagai Identitas Konstitusi Jadi Pangkal Utama Karut Marut Bangsa
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut adalah dihilangkannya Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. \"Penghilangan Pancasila itu dilakukan bangsa ini secara \'malu-malu tapi mau\', atau \'malu-malu kucing\'. Sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan, karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang,\" kata LaNyalla secara virtual dalam Diskusi Publik Forum News Network (FNN) di Jakarta, Rabu (10/8/2022). Menurut LaNyalla, Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam berbangsa dan bernegara sejak tahun 2002. Atau sejak penggantian Konstitusi tuntas dikerjakan oleh MPR. \"Meminjam istilah Profesor Kaelan dari UGM, sejak saat itu kita telah menggunakan UUD baru, yaitu UUD 2002. Bukan lagi UUD 1945,\" papar dia. Menurut LaNyalla, sangat jelas cita-cita dan tujuan nasional di dalam Pembukaan UUD 1945 serta Pancasila sudah tidak nyambung lagi dengan isi Pasal-Pasal di dalam Konstitusi. Bahkan, Naskah Penjelasan UUD 1945 yang sangat terang benderang menjelaskan bagaimana mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002. \"Ini bisa kita baca di Aturan Tambahan UUD Hasil Amandemen 1999-2002 di Pasal II, yang tertulis; ‘Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,\" tukas Senator asal Jawa Timur itu. Belum lagi di masa Reformasi, tepatnya tanggal 13 November 1998, MPR melalui Ketetapan (TAP) MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 telah mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4. Pertimbangannya materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Ini artinya materi P4 yang merupakan penjabaran nilai-nilai dan butir-butir Pancasila di tataran fraksis dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. \"Jadi kalau hari ini kita melakukan refleksi 77 Tahun Indonesia merdeka, dengan tonggak Proklamasi 17 Agustus 1945, menjadi tidak nyambung lagi. Karena negara Proklamasi sudah bubar, sejak tahun 2002,\" kata LaNyalla dalam diskusi bertema Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka, Membangun Ekonomi, Politik dan Hukum yang Beradab itu. \"Penggantian Konstitusi yang dilakukan di tahun 1999-2002 telah memenuhi unsur-unsur pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dimana nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia dan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru suatu negara sudah ditiadakan. Juga dokumen nasional yang mengandung suatu perjanjian luhur bangsa, sebagai identitas nasional dan lambang persatuan sudah dihilangkan,\" imbuhnya. Dari situlah, awal bangsa ini mulai dipisahkan dari Ideologinya. Awal bangsa ini mulai meninggalkan Pancasila sebagai grondslag dan Staatsfundamentalnorm. Juga menjadi awal persoalan bangsa semakin kompleks karena ketidakadilan dan kemiskinan struktural terjadi. Ditambahkannya, saat ini bangsa Indonesia sedang dalam proses pencaplokan oleh bukan orang Indonesia asli dan mereka ingin menguasai tiga sektor kunci. Yaitu sistem politik, perekonomian dan kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan UUD 2002 membuka peluang untuk itu terjadi. Karena Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’. \"Jika tiga epicentrum penting tersebut sudah dikuasai oleh bukan Orang Indonesia Asli, maka Anda semua akan bisa apa? Anda akan tersingkir dan menjadi penduduk kelas bawah yang tidak kompeten dan tidak mampu bersaing, karena Anda miskin. Dan lingkaran setan kemiskinan struktural inilah yang dilanggengkan,\" beber dia lagi. Oleh karena itu, LaNyalla mengajak semua elemen bangsa untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian disempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Agar Indonesia kembali dengan sistemnya sendiri, seperti diucapkan oleh H.O.S Cokroaminoto yaitu; Zelfbestuur. \"Mari kita kembali ke sistem yang paling cocok dengan watak bangsa yang super majemuk dan bangsa kepulauan yang terpisah oleh lautan,\" katanya. Semua elemen bangsa ini, katanya, harus berpikir dalam kerangka Negarawan. Memikirkan masa depan anak cucu kita. Karena negeri ini sebenarnya kaya-raya dengan kekayaan alam dan iklim serta berada di garis katulistiwa. Negeri yang sungguh bisa besar dan menjadi adi daya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. \"Jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan. Mereka menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” sebuah semboyan yang kini mungkin terasa absurd di ruangan ber-AC ini. Tetapi itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia; agar tumbuh generasi yang lebih sempurna,\" tuturnya. Hadir dalam kesempatan itu Pemimpin Redaksi FNN, Mangarahon Dongoran, Ketua Kelompok DPD di MPR RI, Senator Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung, Pengamat Politik, Rocky Gerung, Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dan Pengamat Hukum, Ahmad Yani. (mth/*)
Pentil Kebakar: Toponim Bukan dari Akronim
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Toponim nama tempat yang mulai ada sejak era cafe life 9000 tahun lalu (Grunn, 1984). Tidak ada toponim dari akronim, gabungan potongan kata-kata. Itu marak di zaman Bung Karno: Ampera, Manipol, Inda Madam (Ini dadaku mana dadamu), bahkan ada pentil kebakar (penjaga tilpon kecamatan baru mekar). Zaman Belanda yang ada potong leter. Batavia Centrum jadi Batavia Ct. BVC Bataviasche Voetbal Club. Kita ikut-ikutan TST (Tau Sama Tau). Toponim pertama belum ada pengaruh luar, pengaruh luar baru setelah kedatangan orang Maya 3050 tahun lalu yang disusul dengan Egypt pada abad IV SM dan seterusnya. Nama-nama gua itu asli native, misalnya yang di Jakarta:; Liang Bo, Tenabang, Jambul, Sekot, Kapitan. Artinya berturut-turut lubang hunian, panggilan bumi, menbukit, tarikan, lubang ganda. Tapi, nama gunung sudah dipengaruhi migran: Salak itu perak (Egypt), Gede itu insan (Persia), toponimnya Bojong Gede dan Pondok Gede. Sekarang lagi musim orang memahami toponim dengan memperlakukannya sebagai akronim dimana ada unsur proper name seorang jago. Marunda: Mak Ronda, emak-emak jago. Poris: Pok Ris empok-empok jago. Tangerang: tengger + rang. Rang itu perang. Wilayah batas perang. Marunda bahasa Melani karena ada ciri awalan mar. Unda adalah undak. Marunda artinya terrazering. Poris dari polis (Greek) artinya kota/urban. Tangerang merupakan bahasa Melayu. Awalan ta membentuk kata benda. Ngerang tarjamah hymn (Egypt) . Hymn, atau hymne, nyanyian syahdu yang merintih atau mengerang. Di Poris Tangerang tiap Jumahat (bahasa Swahili untuk Jum\'at) orang berkumpul untuk hymn pada abad IV - I SM. Sejauh ini toponim dipahami secara tebak-febakan. Mengerti toponim harus dengan metodologi. 1. Koleksi migran sampai XV M. Abad ini texture peradaban Indonesia terbentuk. Migran-migran tersebut: Maya, Egypt, bangsa-bangsa Afro berbahasa Swahili, Amrat Oman. Babylon , Inca, Pacific, Asia minor, Persia, Jepang, Malbari, Greek, Melayu, Indochina, Portugis. Em sori, China dan India migran setelah XVII M. Em sori. 2. Menjiwai fonem toponim. 3. Memastikan asal bahasa dan mengerti makna dalam Indonesia. 4. Menempatkan toponim yang telah dimengerti dalam konteks sejarah. Ini memerlukan renungan dan pemikiran serta bacaan. Lihatlah gadis dalam photo di atas mengexpresi renungan dan berfikir. (RSaidi)
Atas Dasar Etika, Sebaiknya Benny Mamoto Minta Maaf dan Mundur!
Jakarta, FNN - Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas, Irjen Pol Benny Josua Mamoto, didesak mundur lantaran mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait pembunuhan Brigadir J, ajudan mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Pada 13 Juli 2022 lalu, Benny Mamoto menyebut tidak ada kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir J. Dia meyakini luka-luka yang ditemukan di tubuh Brigadir J adalah luka tembak. Semua pernyataan Benny terbantahkan oleh pengakuan Bharada Eliezer. Oleh karena itu publik mendesak agar Benny segera mundur. Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan ada hak masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis. “Upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu. Maka sebaiknya Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja,\" katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 10 Agustus 2022. Bagaimana analisis Rocky dalam kasus yang sudah berjalan 1 bulan itu, berikut petikan lengkapnya. Apa kabar Bung Rocky, ini ketemu lagi kita di hari Rabu, dan Rabu ini banyak orang yang sudah merasa lebih lega karena sebuah kasus yang menyandera kita dalam sebulan terakhir ini akhirnya mencapai titik terang dan tidak jauh dari ekspektasi publik, dugaan, kecurigaan, dan ekspektasi sekaligus, yakni ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka bahkan sebagai dalang dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Ini tentu keluarga Yoshua juga lega, Yosua juga yang saya kira di alam sana juga lega, dan publik yang paling penting juga sudah mulai lega. Iya, ini hari Rabu yang menghilangkan banyak keabu-abuan. Dan sebetulnya dari perspektif kasusnya sendiri orang masih menunggu jawaban atas pertanyaan motifnya apa? Kan begitu. Tetapi, yang jelas ada yang jadi tersangka. Memang itu menggiurkan rasa dendam, atau kejengkelan, marah, atau ngamuk tiba-tiba segala macam. Nah, orang tetep nunggu itu. Tetapi, sudah satu hal bisa terang benderang bahwa dengan disebutkan empat tersangka itu artinya fokusnya makin terarah dan publik harus bersabar karena ini menyangkut sesuatu yang tetap ada kehati-hatian. Mungkin orang anggap sudah 4 tapi sangat mungkin juga di atas itu masih ada masih ada master mind-nya. Mungkin tidak melibatkan kasus ini, tapi upaya untuk pembelaan. Tapi sekali lagi Pak Listyo mengambil keputusan yang bagus bahwa seorang pejabat tinggi di Polri, Kepala Divisi Propam, dinyatakan sebagai tersangka. Itu satu tindakan bagus sehingga rasa jengkel publik karena ini berlama-lama bisa tersalurkan. Jadi kejengkelan terhadap penundaan-penundaan ini. Tapi keterangan kemarin juga memang akhirnya masuk akal bahwa memang agak lambat karena harus memutuskan dua hal. Pertama hal kriminalnya; yang kedua hubungan-hubungan etis di antara para pejabat tinggi. Bukan etikanya, tapi hubungan-hubungan etnis di antara para pejabat tinggi. Ya, saya kira itu lebih pas hubungan-hubungan etis. Ini untuk menyaingi istilah-istilah Pak Mahfud kan. Pak Mahfud kan suka kasih istilah-istilah tanda petik juga. Ya kita juga pakai istilah hubungan etis. Itu kira-kira. Kalau Pak Mahfud kan menggunakan istilah code of silent, menggunakan istilah Mabes dalam Mabes? Kondisi kita hari ini menunggu kelanjutan dan penungguan itu juga harus dengan cara yang sama seperti sekarang, konsistensi di dalam mengawal. Dan istana sepertinya terus kasih sinyal supaya ini diselesaikan secara tuntas. Artinya, nggak ada beban lagi pada Pak Sigit sebetulnya kalau Pak Presiden atau melalui Pak Menko kasih sinyal itu. Jadi bersabar saja publik, tetapi terus-menerus kita musti awasi agar jangan sampai melenceng ke mana-mana. Gitu. Tetap upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu. Sebenarnya sejauh ini kan kita tidak bisa membayangkan akan ada semacam peristiwa semacam ini dan kemudian langkah yang dilakukan semacam ini juga oleh polisi, karena kita sama-sama tahu kan semangat dan opininya berlebihan .... dan saling melindungi di antara mereka yang disebut-sebut oleh Pak Mahfud sebagai code of silent. Bahkan, ada orang juga menyebutnya ini seperti sebagai well organized crime karena mereka punya jabatan, punya kewenangan, dan penyebab berbagai persoalan. Saya kira nanti banyak kasus yang dibongkar karena saya membaca di mana-mana sudah mulai ada penggerebekan terhadap judi online. Yang ini diduga merupakan bagian dari operasi dari satgasus Merah Putih yang dipimpin oleh Ferdy Sambo. ,Iya, itu yang orang tunggu. Akhirnya, istilah satgas merah putih ini orang mau tahu apa isinya. Dulu dibentuk oleh Pak Tito. Jadi itu tetap institusi yang orang mau tahu ini institusi apa sebetulnya. Ada bayangan apa di belakang itu. Jadi bayang-bayang dari satgas merah putih ini justru ingin dipersoalkan lagi oleh publik. Tetapi, saya kira Pak Sigit akan ambil seluruh langkah untuk betul-betul momentum ini menghasilkan pembaruan dalam institusi kepolisian. Dan jangan tutup kemungkinan Pak Sambo juga bisa berubah jadi justice collaborator. Itu juga bisa berlangsung. Tetapi pengadilan ini yang akan menentukan. Dalam upaya ke arah pengadilan tentu masih ada penutup sedikit kasus, kira-kira begitu kan. Tetapi, tetap publik maju sama-sama dengan pers, itu kita ingin lihat institusi ini kembalikan Polri jadi institusi yang mewah secara etis, bermutu secara profesional, dan rekruitmen-rekruitmen pejabat Polri, termasuk para penasihat Kapolri, itu musti transparan. Karena bagaimanapun, penasihat Kapolri itu mewakili pikiran rakyat. Kapolri itu sebetulnya dinasihati oleh publik, oleh rakyat, di bidang media, di bidang humas, atau di bidang keahlian teknis tertentu. Itu diperlukan memang, tetapi juga harus terbuka supaya orang anggap bawah yang direkruitmen itu betul-betul mampu untuk memberi rasa batin yang lega pada publik bahwa itu bukan sekadar stafnya Kapolri, tapi itu adalah wakil rakyat yang kemudian menjadi staf khusus Pak Kapolri. Kan itu intinya. Iya, ini juga lagi ramai dibicarakan, setelah kasusnya sudah jelas, ini siapa pelakunya, siapa dalangnya, sudah jelas. Tetapi, kemudian ada heboh soal staf khusus Kapolri bidang komunikasi publik Fahmi Alamsyah mengundurkan diri karena sebelumnya juga sempat disidang oleh staf khusus yang lain. Ini karena dia disebut-sebut, salah satunya oleh Tempo, yang menyebutkan bahwa Fahmi ini berperan dalam membuat skenario, skenario awal yang muncul pada publik bahwa itu terjadi tembak-menembak. Kemudian ditambahkan oleh Pak Ferdy Sambo bahwa persoalannya berlatar belakang pelecehan seksual. Kan begitu yang muncul. Banyak orang menyebut bahwa Fahmi Alamsyah adalah wartawan. Saya kenal dengan dia. Tetapi, saya cek kepada teman-teman karena kemarin saya sempat menyebut bahwa dia pernah menjadi wartawan di Media Indonesia, tapi menurut teman-teman, dia tidak pernah menjadi wartawan. Jadi jangan publik juga salah. Ini wartawan juga ngaco, ternyata malah bikin skenario bohong yang disebarkan ke publik. Iya, itu mungkin keahlian humas Fahmi diperlukan oleh Kapolri, keahlian humas. Jadi orang mesti terangkan apa yang dimaksud dengan keahlian hubungan masyarakat. Tapi, apapun pengunduran diri Pak Fahmi itu sangat baik sehingga orang langsung mengerti bahwa oke ada sesuatu yang membuat Saudara Fahmi memutuskan untuk mengundurkan diri supaya tidak menghalangi proses yang masih berlanjut ini. Itu juga satu sikap yang baik. Bahwa nanti saudara Fahmi ya pasti akan jadi sosok yang juga penting keterangannya nanti di pengadilan, itu hal yang positif. Tetapi, sekali lagi kita ingin agar supaya bau-bau, kan sering dianggap ada wartawan istana, ada wartawan Mabes, ada wartawan macam-macam itu, musti kita anggap bahwa kewartawanan itu yang lebih penting daripada statusnya di lokasi itu. Jadi seolah-olah kalau wartawan istana punya akses yang lebih bagus. Bukan, karena wartawannya bermutu maka ditempatkan di istana, karena wartawannya punya pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kepolisian maka dia ada di Mabes Polri. Jadi musti anggap bahwa wartawan ada di satu lokasi karena keahliannya dan kompetensinya. Nah, sekarang mulai terjadi isu bahwa kalau ada di Kapolri itu berarti bonusnya banyak, bonus dalam tanda petik. Kalau dari istana aksesnya lebih bagus. Oh, enggak. Itu kita anggap justru karena profesionalismenya, wartawan itu bisa dekat dengan narasumbernya. Jadi ini yang saya kira baik untuk diterangkan. Sekarang kita fokus ke masalah etik ya, karena pagi ini sebenarnya saya kembali mendapat kiriman video dari Ketua Harian Kompolnas, Pak Benny Mamoto, yang ternyata dia merupakan bagian dari yang menjelaskan bahwa terjadi tembak-menembak, kemudian Bharada Richard E adalah jago tembak, bahkan pelatih tembak. Nah, orang kemudian mulai menuntut bahwa ini kan juga bagian dari pembohongan publik. Dan selama ini banyak sekali contoh bahwa orang yang melakukan kebohongan itu bisa dipidana. Nah, ini persoalannya Pak Benny ini menjadi pengawas dari kepolisian. Jadi kalau sekarang kredibilitas dia dipertanyakan kepada publik, saya kira tak ada salahnya melakukan hal seperti Fahmi Alamsyah, mengundurkan diri. Iya, betul. Standard etis itu musti ada. Pak Benny Mamoto harus bikin refleksi kenapa kalimat itu muncul? Kalau keterangan persnya baik orang akan terima. Tapi kalau orang menganggap bahwa tidak ada yang memungkinkan Pak Benny Mamoto mundur, Pak Benny musti membela diri. Apakah itu kalimat dia atau dia mengungkapkan sesuatu dalam konteks, tapi sudah keburu terbaca bahwa keterangan Pak Benny Mamoto itu sama dengan keterangan awal dari Kapolres Jakarta Selatan. Jadi sebetulnya orang akan anggap kok Pak Benny tidak lakukan verifikasi. Tapi itu urusan Kompolnas, bukan lagi bagian dari kepolisian. Jadi adalah hak dari masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis. Memang Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja. Supaya orang tahu bahwa dia ada kesalahan, tapi sudah diperbaiki, tapi Pak Benny integritasnya sehingga dia menganggap oke walaupun sudah diterangkan tapi lebih baik saya mengundurkan diri. Jadi itu tradisi yang bagus. Kesalahan ucap bagi pejabat yang akan mempengaruhi opini publik sebaiknya langsung secara moralnya itu, panggilan hatinya itu, mengatakan oke saya berbuat salah dan itu bukan dalam upaya untuk mempertahankan diri, tapi justru dalam upaya untuk membersihkan diri. Saya kira ini memang momentum bahwa kita semua harus menerapkan standar etik yang bagus. Polisinya jelas penting etikanya harus tinggi, wartawannya juga etikanya harus tinggi, Kompolnas etiknya harus tinggi, dan lebih penting lagi para penguasa/para pejabat kita, itu etikanya harus tinggi. Karena kalau kita baca komentar Pak Mahfud MD, misalnya, sekarang mulai menyindir-nyindir tentang teman-teman di DPR. Katanya kok diam saja dalam kasus Ferdy Sambo ini, padahal biasanya kalau ada kasus begini DPR paling cepat panggil sana panggil sini. Apalagi Komisi 3 ini banyak yang kebakaran jenggot karena misalnya Trimedya menyatakan bahwa dari awal dia sudah mengawal kasus ini. Iya sih, memang awal-awal PDIP kenceng. Tapi belakangan ini tidak pernah kedengaran lagi suara PDIP. Itu penting kita ikuti prinsip Pak Mahfud untuk menegur karena kok Komisi 3 diam. Dan kita tentu juga ingin dengar teguran Pak Mahfud kenapa dalam kasus km 50 Komisi 3 juga diam. Kan begitu supaya setara. Jadi Pak Mahfud juga harus ucapkan bahwa banyak sinyal di mana Komisi 3 juga diem. Itu soal hak asasi manusia, soal mungkin selalu memang ada hubungan strategis antara Komisi 3 dan kepolisian karena ia adalah partner di dalam pembuatan kebijakan, dan semua isu tentang Komisi 3 itu juga terkait dengan perilaku Komisi 3 yang permisif kalau itu menyangkut kepentingan kepolisian. Dan orang menduga bahwa oke itu berarti ada sesuatu di dalam hubungan itu. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa itu meloloskan legislasi selalu musti lobi Komisi 3. Dan ini pentingnya supaya kepolisian itu nggak merasa terhalang untuk bahkan untuk mengatur anggaran sehingga harus pilih dengan Komisi 3. Kan kita selalu ingin ada keterbukaan bahwa kepolisian butuh anggaran, tapi kepolisian harus declaire bener-bener buat kebutuhan itu adalah demi masyarakat, bukan demi Komisi 3, atau bukan demi komisi untuk Komisi 3. (Ida/sof)
Terpilih Aklamasi Sebagai Ketum PB MI, LaNyalla Segera Tancap Gas Bumikan Kembali Muaythai Indonesia
Jakarta, FNN – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muaythai Indonesia (PB MI) periode 2022-2026 dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Dalam sambutannya, LaNyalla mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar Muaythai Indonesia, khususnya para Pengurus Provinsi, yang memberi kepercayaan untuk memimpin cabang olahraga Muaythai di Indonesia. “Sejak hari ini, kita harus bergerak cepat, menyusun struktur organisasi, dengan tujuan utama dan perhatian kita harus terfokus kepada kepentingan atlet-atlet Muaythai Indonesia. Agar segera siap menghadapi event-event di dalam maupun di luar negeri,” katanya. Selanjutnya, LaNyalla akan melakukan konsolidasi untuk memperkuat organisasi, terutama dalam membumikan kembali olahraga yang akar sejarahnya, sudah dikenal di era kerajaan Nusantara itu. Mantan Ketua Umum PSSI itu juga ingin mendorong kemandirian Muaythai Indonesia, terutama dalam pemenuhan kebutuhan peralatan pendukung yang seharusnya dapat dipenuhi oleh bangsa ini sendiri. Dengan mengoptimalkan kemampuan produksi dalam negeri. Terpenting lagi, LaNyalla mengajak para pengurus Pengprov dan insan-insan Muaythai untuk menjaga persatuan demi membesarkan Muaythai. “Baik yang mendukung maupun tidak mendukung caretaker, mari kita bersatu kembali. Polemik-polemik yang terjadi kemarin merupakan ujian yang justru membuat Muaythai Indonesia semakin besar. Mari kita satukan tekad, untuk bersama, bergandengan tangan, menyatu dan melebur, untuk kejayaan dan prestasi olahraga Muaythai Indonesia,” tukas dia. LaNyalla menjadi calon tunggal Ketua Umum PBMI dengan didukung oleh 19 Pengurus Provinsi saat mencalonkan diri. Sebelumnya pria berdarah Bugis itu juga telah menyampaikan visi misi di depan para pengurus provinsi yang hadir dalam Munaslub. Visi yang disampaikan adalah menciptakan insan Muaythai yang kuat, berkarakter dan berprestasi bagi negara dan bangsa diiringi dengan ketaatan kepada Tuhan YME, membangun organisasi Muaythai yang profesional dan modern dan membawa Indonesia berprestasi di pentas internasional seperti Sea Games, Asian Games dan kejuaraan dunia. Sedangkan misi LaNyalla ingin menjadikan PB MI sebagai wadah untuk menampung, mengembangkan, melaksanakan pembinaan atlet yang berkelanjutan. Kemudian sebagai wadah pemersatu insan Muaythai seluruh Indonesia untuk meraih prestasi dan menjunjung tinggi sportifitas. Juga keinginan untuk memperbaiki internal organisasi dengan efisiensi, produktivitas, dalam semua aspek organisasi untuk menunjang administrasi organisasi yang sehat, profesional dan berprestasi. Terpilihnya LaNyalla secara aklamasi mendapat ucapan selamat dari Ketua Pengprov MI DKI Jakarta, Wiyana Bachtiar. Bahkan, istri mantan Ketua Umum PB MI, Sudirman ini juga siap mendukung. “Seluruh peserta Munaslub mendengar ucapan selamat dan dukungan yang disampaikan bu Wiyana Bachtiar. Ini merupakan bukti bahwa masyarakat Muaythai Indonesia menerima keberadaan pak LaNyalla,” kata Wakil Ketua Pimpinan Sidang Munaslub PB MI, Roni Alvanto. “Jadi, legalitas PB MI pimpinan pak LaNyalla tidak perlu diragukan dan sudah tidak ada lagi dualisme. Ini kabar gembira dari masyarakat Muaythai Indonesia. Pak Nyalla telah mempersatukan kita. Kami bangga. Terima kasih Pak Nyalla,” tambahnya. (Sof/LC)
India-Pakistan "Dipersatukan" Media Sosial Setelah 75 Tahun Berpisah
London, FNN - Saat beranjak dewasa, Guneeta Singh Bhalla mendengar cerita neneknya yang menyeberang dari Pakistan ke India pada 1947 dengan anak-anak yang masih kecil. Neneknya itu telah menyaksikan kekerasan yang mengerikan dan menghantui sisa hidupnya.Cerita semacam itu tidak ditemukan dalam buku-buku pelajaran Singh Bhalla, sehingga dia memutuskan untuk membuat \"Arsip Pemisahan 1947\", catatan sejarah daring tentang Pemisahan India dan Pakistan.Catatan itu menjadi koleksi terbesar tentang peristiwa tersebut, yang berisi sekitar 10.500 cerita kenangan yang dikisahkan secara turun-temurun. \"Saya tak mau cerita nenek saya dilupakan, atau cerita-cerita orang lain yang mengalami pemisahan,\" kata Singh Bhalla, yang hijrah ke Amerika Serikat pada usia 10 tahun.\"Dengan segala kekurangannya, Facebook adalah alat yang luar biasa ampuh. Arsip tersebut dibesarkan oleh orang-orang yang menemukan kami di Facebook dan menyebarkan unggahan kami, sehingga lebih banyak yang peduli,\" katanya.Pemisahan bekas koloni Inggris itu menjadi dua negara –India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Muslim– menciptakan salah satu migrasi terbesar dalam sejarah.Sekitar 15 juta penganut Islam, Hindu dan Sikh saling bermigrasi di antara kedua negara selama terjadi ketegangan politik. Situasi saat itu dipenuhi kekerasan dan pertumpahan darah yang menelan korban jiwa lebih dari 1 juta orang.Sejak itu, India dan Pakistan berperang selama tiga tahun dan hubungan keduanya masih rapuh hingga kini. Mereka jarang saling memberi visa, sehingga saling mengunjungi antarwarga nyaris mustahil. Namun, media sosial telah membantu menghubungkan orang-orang dari kedua negara.Ada puluhan grup pengguna di Facebook dan Instagram, serta kanal-kanal YouTube, yang memuat cerita-cerita penyintas Pemisahan dan kunjungan ke kampung halaman. Konten-konten itu telah jutaan kali dibagikan dan dilihat, serta mengundang beragam komentar emosional.\"Inisiatif seperti itu, yang membantu mendokumentasikan pengalaman Pemisahan, menjadi antidot terhadap narasi politik penguasa di kedua negara,\" kata Ayesha Jalal, profesor sejarah Asia Selatan di Universitas Tufts, AS.\"Mereka membantu meredakan ketegangan di antara kedua pihak, dan membuka saluran bagi orang-orang untuk berdialog lebih banyak,\" katanya.Saat jumlah warga yang terusir dari rumah mereka melonjak di seluruh dunia, teknologi telah memberikan bantuan. Teknologi membantu mereka memantau dari jauh rumah yang mereka ditinggalkan dan melaporkan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sementara arsip-arsip digital memelihara warisan budaya.Proyek Dastaan (dalam bahasa Urdu artinya \"cerita\") menggunakan teknologi realitas virtual (VR) untuk mendokumentasikan informasi dari para penyintas Pemisahan. VR juga memungkinkan para penyintas untuk mengunjungi kembali tanah kelahiran mereka.\"VR tidak seperti film, ada kedekatan dan keterlibatan yang mendorong rasa empati dan memiliki dampak yang kuat,\" kata sang pendiri proyek, Sparsh Ahuja, yang kakeknya pindah ke India saat berusia 7 tahun selama Pemisahan. \"Orang benar-benar merasa seperti dibawa ke tempat itu,\" katanya.Proyek tersebut mendapat bantuan dari para relawan di India dan Pakistan untuk mencari dan memfilmkan berbagai tempat, yang kerap telah berubah drastis selama berpuluh-puluh tahun.Proyek itu berencana menghubungkan 75 penyintas dengan rumah-rumah leluhur mereka pada peringatan 75 tahun Pemisahan pada tahun ini.Namun, mereka baru menyelesaikan 30 wawancara sejak mulai memfilmkan pada 2019 akibat pembatasan pandemi, kata Ahuja.Dia mengatakan andai saja kebijakan visa dibuat lebih ramah, orang bisa bepergian secara fisik serta melihat tempat dan kerabat mereka.\"Sekarang, keterhubungan ini tak akan terjadi tanpa teknologi, dan VR telah memberi audiens baru pengalaman Pemisahan,\" kata Ahuja.Di antara kanal YouTube terpopuler tentang Pemisahan adalah Punjabi Lehar (gelombang Punjabi) yang memiliki sekitar 600.000 pelanggan dan didirikan oleh Lovely Singh (30) dari masyarakat minoritas Sikh di Pakistan.Dia memperkirakan kanal tersebut telah membantu 200-300 orang untuk berhubungan kembali dengan keluarga dan sahabat mereka.Awal tahun ini, sebuah video yang diunggah di kanal tersebut menjadi viral dan menuai banyak pujian. Video tersebut menayangkan pertemuan kembali dua lansia bersaudara yang lama terpisah.\"Jika kami dapat membantu menghubungkan lebih banyak orang, mungkin ketegangan kedua negara akan berkurang,\" kata Singh.\"Beginilah cara anak-anak saya belajar tentang Pemisahan.\"India dan Pakistan termasuk pasar media sosial terbesar di dunia dengan lebih dari 500 juta pengguna YouTube dan hampir 300 juta pengguna Facebook, menurut Global Media Insight dan Statista.Profesor sejarah Jalal berpendapat bahwa ruang-ruang daring itu juga bisa membawa informasi yang salah.\"Meski sangat bermanfaat, inisiatif seputar Pemisahan ini sebaiknya tidak dianggap sebagai pengganti pemahaman sejarah tentang penyebab Pemisahan,\" katanya.Ketegangan politik antara India dan Pakistan sering meluas ke media sosial.Tahun lalu, sebuah negara bagian India mengatakan pengguna media sosial yang merayakan kemenangan tim kriket Pakistan atas India dapat didakwa dengan pasal penghasutan dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.Penduduk India, terutama Muslim, yang mengkritik pemerintah di internet kerap diminta untuk \"pindah ke Pakistan\".Namun bagi Reena Varma yang berusia 90 tahun, media sosial memberikan lebih dari sekadar hubungan virtual. Media itu telah membantunya mengunjungi rumah lamanya di Rawalpindi, Pakistan, 75 tahun setelah dia meninggalkannya.Ketika pengajuan visanya ditolak awal tahun ini, kabar itu menjadi viral di Facebook.Otoritas Pakistan kemudian memberikan visa kepada Varma, yang pindah ke India sewaktu remaja beberapa pekan setelah Pemisahan.Saat Varma mengunjungi Pakistan bulan lalu, Imran William, pendiri grup Facebook bernama India Pakistan Heritage, menyambut kedatangannya.Penduduk setempat menabuh gendang dan menghujani kembang ketika dia menari di jalan sebelum melihat-lihat rumah tua keluarganya. \"Ini begitu emosional, tetapi saya sangat senang bisa mewujudkan impian mengunjungi rumah saya,\" kata Varma.\"Orang-orang memiliki kenangan pahit tentang Pemisahan, tetapi berkat Facebook dan media sosial lain, mereka berinteraksi dan ingin bertemu satu sama lain. (Media) itu menyatukan orang-orang dari kedua negara,\" katanya. (Sof/ANTARA/Reuters)