ALL CATEGORY
Hendrajit: Politik Identitas Itu Bukan Fanatisme Agama!
Jakarta, FNN - Undang undang ITE terkait politik identitas tidak boleh menjadi pedang bermata dua, yang ditumpangi skema hukum Hatzai artikelen era penjajahan Belanda dulu, untuk memberangus suara-suara yang tidak sejalan dengan penguasa. Hal itu disampaikan oleh Hendrajit, Alumni Universitas Nasional, Jakarta, dalam Talk Show Launching Caritahu.com, di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Sabtu, 20 Agustus 2022, siang. Talk Show itu mengambil tema “Mampukah UU ITE Memangkas Politik Identitas pada Pilpres 2024?” Acara yang dipandu oleh Chika Jessica itu dihadiri oleh Tamu Spesial Hotman Paris Hutapea, Keynote Speaker Ganjar Pranowo, dengan Nara Sumber Hendrajit dan Eko Kuntadhi. “Harap disadari, arus besar bangsa Indonesia adalah nasioanalis religius dan religius nasionalis. Menyatu dan bersenyawanya keduanya, itulah jatidiri bangsa Indonesia,” ujar Hendrajit. Menurut Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) itu, maka itu, semua elemen bangsa harus bijak menggunakan UU ITE terkait politik identitas. “Mana yang memang bertujuan mempolitisasi SARA dan mana yang memang sekadar merefleksikan identitas alaminya baik keagamaan maupun karakteristik kedaerahannya,” tegasnya. Hendrajit mengatakan, di sinilah pentingnya semua elemen bangsa itu sadar, geopolitik sebagai ilmunya ketahanan nasional. Geopolitik adalah bersatunya aneka ragam suku bangsa dan agama yang bersenyawa dengan karakteristik dan aspirasi geografis masing masing daerahnya. Jadi, jangan sampai karena salah pikir dan salah tindak dalam memilah mana identitas yang dipolitisasi dan mana yang murni memperjuangkan aspirasi geografis yang mana agama dan kedaerahannya memang natur dan kulturnya sebagai bangsa, malah memantik konflik yang tidak perlu antara nasionalis religius dan religius nasionalis yang merupakan jatidiri bangsa. Sehingga menguntungkan kepentingan-keptingan asing untuk menguasai geopolitik Indonesia. “Di sinilah geopolitik sebagai ilmunya ketahanan nasional harus dapat dihidupkan kembali, agar kita kenal diri, tahu diri, dan tahu harga diri sebagai bangsa,” ungkap Hendrajit. Terkait dengan itu, lanjutnya, aspirasi geografis beberapa daerah untuk menerapkan hukum syariah, selama hal itu cerminan dan pancaran dari bersenyawanya agama dan kearifan lokal daerahnya seperti Aceh dan Sumatra Barat. “Itu bukan fanatisme agama, melainkan refleksi dari natur dan kultur daerahnya,” kata Hendrajit. Di sinillah ungkapan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 masih tetap relevan hingga kini. Bung Karno mengakatan bahwa Indonesia bukan dipersatukan oleh kesamaan agama, bahasa atau suku, melainkan oleh geopolitik. “Bersatunya masyarakat dari beragam agama, daerah atau ras antar bangsa, yang bersenyawa dengan aspirasi dan karakteristik geografis daerahnya masing-masing,” tutur Hendrajit. (mth)
Din Syamsuddin Sebut Kerusakan Bangsa Terjadi Secara Kultural dan Struktural
Sleman, FNN – Kehidupan bangsa yang ditandai dengan aneka masalah sekarang ini memerlukan penanganan yang serius, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Kerusakan itu ada yang bersifat kultural dan ada yang bersifat struktural. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2014 Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, pada Pengajian Ahad Pagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok, Sleman, Ahad, 21 Agustus 2022. Pengajian di Aula SD Muhammadiyah Condong Catur itu dihadiri sekitar 1000 jamaah yang memadati lantai atas dan bawah Aula. Menurut Din Syamsudin, kerusakan kultural ditandai melemah, bahkan memudarnya nilai etika dan moral di kalangan sebagian warga bangsa, yakni merebaknya buta aksara moral (moral illiteracy) yang menjangkiti kaum terpelajar. “Mereka berpendidikan dan berpangkat tinggi tapi ternyata mereka gagal membaca nilai-nilai moral,” tegasnya. Buta aksara moral ini sangat berbahaya jika menjangkiti para pemangku amanat, mereka akan melanggar sumpah jabatannya, dan mengabaikan amanat, bahkan berkhianat terhadap amanat rakyat. “Mereka mengejar jabatan tapi kemudian memanfaatkan jabatan guna menumpuk kekayaan,” ungkap Din Syamsudin. Gejala demikian akan semakin berbahaya jika menimpa aparat penegak hukum. Mereka akan tega melanggar hukum untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, bahkan tega menghilangkan nyawa seseorang atau sekelompok orang demi mengamankan diri dari pelanggaran hukum, ataupun demi kepentingan politik tertentu. “Pada sisi lain, Indonesia juga mengalami kerusakan struktural berupa penyimpangan sistematis dari Konstitusi Negara dan Falsafah Bangsa,” lanjut Din Syamsudin. Menurutnya, penyimpangan ini terjadi dalam kehidupan ekonomi dan politik yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi yang ada, “tapi menjadikan keduanya sebagai tameng dan alat pemukul lawan politik dengan tuduhan anti Pancasila.” Dua gatra kerusakan nasional tersebut, kultural dan struktural, saling berkelindan dan telah menciptakan lingkaran setan dalam kehidupan bangsa dan negara. Kerusakan ini jika dibiarkan maka tidak mustahil akan meruntuhkan sendi-sendi negara bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. “Maka wis wayahe untuk dilakukan penyelamatan dan perbaikan radikal, yaitu suatu upaya untuk mengembalikan kehidupan bangsa dan negara ke akar radix atau akarnya, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara pada 18 Agustus 1945,” tegasnya. Dalam kaitan itu Muhammadiyah, sebagai salah satu komponen bangsa yang berjasa dan berperan besar dalam penegakan negara harus merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari kerusakan dan pengrusakan. “Muhammadiyah yang telah berjasa dan berperan besar dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dituntut untuk terus tetap berperan mengawal bangsa dan negara dengan meningkatkan amar makruf nahyi munkar,” ujar Din Syamsudin. (mth/MD)
Siap-Siap, Luhut Sudah Perintahkan Jokowi Naikkan Harga Pertalite
MENKO Marinves Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, Presiden Joko Widodo kemungkinan besar akan mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi Solar dan Pertalite pekan depan. Karena itu, ia meminta masyarakat untuk bersiap-siap kalau nantinya pemerintah jadi menaikkan harga pertalite dan solar. Pasalnya, subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun telah membebani APBN. Menurut LBP, subsidi itu digunakan untuk BBM, LPG dan juga listrik. Pemerintah tidak akan ragu untuk mengambil keputusan yang tidak populer seperti menaikkan harga BBM yang masih subsidi. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat kebijakan kenaikan harga BBM yang disampaikan LBP ini? Berikut dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Ahad (21/8/2022). Kita tetap harus update karena banyak sekali peristiwa-peristiwa penting dan saya kira buat publik ini sudah harus bersiap-siap. Saya kira bukan bersiap-siap yang udah siap gitu bahwa harga BBM Pertamax Pertalite naik. Kenapa? Pak Luhut sudah memberikan sinyal bahwa pekan depan ya pekan depan tuh kan Senin sampai Sabtu Pak Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga BBM itu. Ya itu hal yang udah diprediksi dan nggak mungkin terus-menerus, ditalangi itu. Berdarah-darah tuh APBN tetapi keterangan-keterangan yang kita peroleh dari awal kan sebetulnya menunjukkan, tugas negara itu melindungi rakyatnya dan kita masih berupaya untuk meminta agar supaya ada bagian yang dikorbankan, tapi Pak Jokowi kan enggak mau korbankan bagian yang ambisius, yaitu IKN dan terlihat makin bolong. Tetapi memang ada suasana dunia di Inggris juga di Amerika tadinya inflasi udah dua digit, Inggris juga sekarang inflasi dua digit, sehingga bahkan UMKM gak bisa lagi memproduksi karena dianggap biaya energi, biaya bahan baku dan biaya energi mahal sekali itu. Jadi, krisis Dunia itu sedang berlangsung, Indonesia dari awal ada dari kerentanan. Saya baca data terakhir dari minggu lalu ILO memproduksi hasil risetnya bahwa di dunia ini akan ada 78 juta penganggur berusia muda antara 15 24 tahun dan Indonesia masuk dalam area berbahaya itu. Jadi kita membayangkan ada kesulitan ekonomi, ada generasi muda yang menganggur, ada polisi yang tidak bisa membereskan kasus, lalu kita masuk ke tahun pemilu. Jadi semua keadaan itu yang memungkinkan kita dulu menganggap ini bakal terjadi kerusuhan kekacauan, tapi selalu datang semacam jalan keluar dengan membujuk supaya publik menganggap pemerintah masih online dengan janji-janjinya itu. Kita tahu bahwa Presiden Jokowi sudah berbohong berkali-kali tuh ya, akhirnya dia harus menyerah juga, karena dulu dalil kita ambisi politik itu akan dibatalkan oleh APBN, sekarang sudah mulai terjadi itu. Tapi kalau kita ingat lagi bahwa yang dirumuskan kemarin oleh Luhut itu artinya sesuatu yang sebetulnya hanya sekedar ditunda dari awal sebetulnya udah mesti itu dilakukan. Saya balik pada poin, perintah konstitusi pada presiden yaitu pelihara orang miskin dan cerdaskan kehidupan bangsa, cuman itu 2 perintah konstitusi 2-2 itu udah batal sekarang kita berpikir, apakah pemilu juga akan batal? Kelihatannya begitu. Karena gak ada uang buat biayain pemilu, nanti ada upaya lagi untuk memperlebar defisit, sehingga hutang bisa ditambah segala macam dengan alasan kesejahteraan padahal tahun lalu kita sebetulnya bisa salurkan keuntungan kita atau pemasukan APBN dari hasil ekspor komoditas untuk mem-back up daya beli rakyat tapi itu disembunyikan uangnya itu enggak mau diturunkan. Jadi, terlihat sekali bahwa kendati APBN ada uang tetapi karena ada kepentingan politik untuk memaksimalkan penyogokan orang miskin nanti oleh tahun depan maka dilakukanlah pencabutan subsidi itu, itu bahayanya. Tapi itu sebetulnya juga menguntungkan saja karena nanti juga akan terjadi keresahan, buruh udah pernah sebulan lalu atau dua minggu lalu, Jumhur Hidayat pemimpin buruh dan ada disiplin itu artinya dengan mudah buruh akan kembali ke jalan, Inggris itu udah 2 kali pembukaan buruh karena soal daya beli yang turun. Jadi, Indonesia juga akan masuk pada hal yang sama berbahaya dalam keadaan semua bara sedang sudah mulai berasap. Justru kepolisian itu kebingungan bagaimana nanti memadamkan asap sosial ini atau kebakaran sosial kalau dia sendiri belum mampu untuk memadamkan konflik berbara di dalam tubuh Polri itu sendiri, jadi ini komplikasinya. Tapi kalau saya mendengar uraian Anda, saya malah curiga jangan-jangan memang ada yang senang nih kalau sampai kemudian pemilu enggak jadi. Kenapa? Karena saya awal Pak Jokowi dan gengnya atau orang-orang sekitar Pak Jokowi kan berharap bahwa Pemilu itu memang ditunda dengan alasan memang tidak ada biaya tadi, ekonomi kita sulit sedang tumbuh selalu itu yang digunakan. Ya itu yang kemudian jadi britex, jadi pembenar terhadap aktivitas musyawarah rakyat, tapi ini berbalik arah nanti kalau hal yang kita sebut dari kekacauan ini tidak bisa dipadamkan oleh negara tuh, itu bahayanya di situ. Jadi, walaupun Pak Jokowi punya ambisi untuk tiga periode dengan mengandalkan basa-basi APBN kosong itu, tapi jika hal itu terjadi di perusahaan ya Pak Jokowi juga ikut lengser dengan keresahan itu jadi ini bahayanya itu. Dan, persaingan di antara petinggi-petinggi Polri itu juga diincar oleh para politisi untuk saling pasang skrup pertama siapa yang akan pasang skrup pertama di Tarunojoyo itu, itu yang akan menentukan keadaan ke depan tapi saya menghitung atau kita menghitung itu akan panjang. Jadi, pembegalan APBN ini juga akan bersamaan dengan pembegalan di kepolisian, begal-membegal ini yang akan ditonton oleh rakyat bangsa Indonesia dan juga dunia dan para pemain strategis politik di kawasan Indo-Pasifik mengincar Indonesia sebagai tempat yang paling enak untuk mulai pasang strategi karena Indonesia lebih lemah, ini kan yang enggak dibicarakan oleh publik atau publik tahu itu tapi presiden enggak morais. Jadi, mulai besok kita akan lihat bagaimana perusahaan mulai datang dari wilayah-wilayah, lalu bagaimana daya tahan Kapolda sementara banyak Kapolda lagi kebingungan untuk menyelamatkan dirinya dari desain-desain yang tadinya tersembunyi tapi kemudian makin lama makin nyata. Kita ada di dalam keadaan kebingungan itu karena kecemasan saya kalau konflik sosial itu berubah menjadi kerusuhan rasial itu saja sebetulnya. Kalau konflik sosial ini menyebabkan pemilu batal, itu kita senang sekali asal jangan jadi kerusuhan sosial, karena memang gak ada hak lagi bagi presiden untuk mengklaim prestasinya dan dia lupa, dia itu ditugaskan untuk memelihara daya beli rakyat bukan mencabut subsidi. Dengan alasan apapun dia kan bilang ya karena harga keekonomiannya sudah enggak ada. “Iya tapi negeri kita bukan negeri Amerika Serikat atau Inggris yang tidak ditugaskan untuk mensubsidi kebutuhan pokok”. Jadi, sekali lagi mereka yang punya tabungan pensiun menganggap nilai pensiunnya gak ada gunanya lagi jika dimakan inflasi dan mereka yang merupakan bermain nutrition out segala macam itu sudah habis saja semuanya kan. Jadi, keadaan ini membuat orang bukan sekedar frustasi menganggap Indonesia betul-betul sudah enggak ada harapan. Dan kita bisa membayangkan begitu diumumkan pertelite karena pertelite ini sebab memang salah satu bahan bakar yang bahan bakar penugasan istilahnya gitu yang masih bersubsidi dan masih bisa terjangkau publik. Sebenernya kita sudah punya gambaran kalau angkanya sekarang 7600 mungkin naik nanti sekitar 10.000 atau 10 ribu sekian lah, seperti itu dan kita bisa perkirakan kenaikannya sekitar 25%. Tapi kita tahu bahwa dampak dari kenaikan 25% pada BBM itu berkali-kali lipat tidak bisa berdampak 50% terhadap komoditi-komoditi, belum lagi transportasi juga naik misalnya fenomena di perkotaan itu soal ojek online atau sopir mobil online. Itu kan dia dipastikan akan merogoh kocek lebih dalam untuk biaya operasionalnya dan itu mau nggak mau pasti akan berubah pada konsumen dan ketika konsumen dibebani itu dia udah punya turun, kemudian pendapatan dari para sopir online maupun ke ojek online juga akan menurun. Jadi ini dampak ikutannya itu luar biasa. Ya itu kita lihat multiplayer efeknya pasti kemana-mana tapi Pemerintah juga udah tunggu saya kira dia udah tunggu nanti di awal tahun depan dikeluarkanlah dana-dana sogokan itu. Jadi, orang yang kesulitan ekonomi dan miskin itu pasti rentan untuk disogok lalu mulai masuk ide 3 periode segala macam, jadi inilah yang sebetulnya ini kalau minta bikin peta, ini lebih gila dari Kaisar Sambo karena panah-panahnya pun kita bisa bikin dengan mudah kita lihat ucapan seorang tokoh publik kita hubungkan saja dengan nomor hand phone-nya. Jadi, ke mana arah pembicaraan diantara kabinet misalnya. Kita lihat ada keutuhan kabinet untuk mengawal permintaan presiden, jadi menteri-menteri mesin juga menganggap “Yaudah silakan presiden berbohong, silakan presiden menganggap bahwa uang yang tersisa itu bisa bermain politik”. Tetapi para tokoh politik yang notabene adalah menteri juga mengharapkan uang itu masuk ke mereka karena itu mereka mulai mendekati presiden semua yang tidak diucapkan di publik kita tahu tuh bahwa hanya melalui pendekatan dengan Presiden para capres ini bisa memperoleh limpahan suara dari agen-agen Presiden. Jadi, sekali lagi demokrasi betul-betul sudah padam karena akan dikendalikan nanti oleh uang rakyat yang harusnya tiba ke rakyat untuk menopang daya beli tapi disimpan untuk menyogok rakyat dengan alasan bahwa “Oke dengan sogokan itu maka ide perpanjangan kekuasaan akan bertambah”. Tetapi sekali lagi enggak ada teori bahwa rakyat itu bisa disogok terus-menerus, pada satu saat APBN juga atau tabungan untuk menyogok raiyat habis karena apa? Karena kita lagi menghadapi krisis Global lain kalau cuman kita sendiri yang terproteksi APBN kita kan itu intinya itu. Nilai tukar berubah sedikit udah habis cadangan devisa yang dipakai untuk mempertahankan rupiah atau menstabilkan rupiah itu intinya tuh, jadi gampang sekali kita lihat sebetulnya kecemasan yang ada di istana tuh. Oke walaupun cemas tapi kelihatannya Pemerintah tetap menggunakan sebagai sebuah peluang gitu ya, di dalam kesulitan itu buat mereka ada peluang kan gitu selalu ada apanya adagium semacam itu sudah bisa membayangkan itu tadi justru akan digunakan untuk ketika masyarakat menceritakan digunakan ini sebagai kampanye penurunan presiden atau pemerintah datang sebagai sinterclas bagi-bagi BLT dan orang-orang seperti kelas bawah ini kan memang mereka rentan dimanipulasi. Ya itu mulai sekarang akan dipersiapkan survei-survei publik politik big data akan dipakai lagi untuk pembenaran itu. Tapi, sekali lagi ada yang hal yang juga sebetulnya nggak akan berat-berat amat karena kita udah belajar bahwa kalau terjadi krisis ekonomi berlakulah prinsip paman, mantu, keponakan, saudara jauh akhirnya dikasih kerjaan nah sebagai pembantu rumah tangga tuh karena Indonesia masih menganut antropologi Extended family tuh. Jadi, setiap beban ekonomi pada rakyat bisa diambil alih oleh keluarga oleh keluarga dekatnya karena prinsip persaudaraan macam-macam tapi itu tetap ada batasnya tuh dan kita nggak bisa ukur apa yang akan terjadi dalam dua semester depan kalau ketegangan ekonomi Amerika dengan China masih berlangsung terus, walaupun ada tanda-tanda Rusia akan berdamai dengan Ukraina karena diplomasi dari Turki. Tapi, secara keseluruhan ekonomi dari dunia itu memang buruk dan itu yang nggak bisa kita pantau lagi, karena kita bukan penentu stabilitas moneter internasional misalnya tuh. Jadi, kegalauan cinta sebetulnya semakin menjadi-jadi, karena kita paham bahwa pemerintah nggak paham tentang finager market global itu intinya. Jadi, ini walaupun kita katanya Surve Sri ya termasuk Sri Mulyani gitu ya jadi menuju arah Sri Lanka itu juga sulit terhindarkan. Yaitu, dengan mudah kita terperosok, jadi tinggal langkah kecil adik Sri Mulyani melangkah ke Sri Lanka kondisi-kondisi ini kan ada di dalam kita baca sedikit laporan Presiden Jokowi kemarin tapi kita tunggu apa implikasinya. Ternyata sebetulnya sebelum laporan itu dibuat Pak Luhut sudah tau lebih dahulu bahwa pertalite gak mungkin gak dinaikkan. Dulu juga hal yang sama sudah diucapkan Pak Luhut lalu komisaris pertamina bilang “Nggak, nggak bisa itu” ya, tapi sekarang akhirnya terdesak juga tuh keadaan. Keterdesakan ini yang tumbuh bersamaan dengan keresahan sosial kalau gak ada kekuasaan sosial apalagi kepercayaan pada lembaga penertiban Republik Itu polisi semakin merosot, maka kemungkinan-kemungkinan yang kita bayangkan tadi yaitu kerusuhan itu akan berlangsung dan membatalkan semua agenda kita. Kita selalu ingin supaya kerusuhan berlangsung tapi yang berantakan harusnya kekuasaan saja jangan rakyat berantakan karena isu SARA. Saya jadi teringat betul ya Pak Luhut beberapa waktu yang lalu sudah mengingatkan bahwa pertalite kemudian gas melon yang gas 3 kg itu mau akan segera naik betul. Kemudian banyak dibantah dan sekarang sudah mulai Pak Luhut gak tahan lagi lebih baik mendahului dari sekarang bilang bahwa pekan depan kemungkinan Presiden akan menyampaikan kenaikan harga pertalite karena beliau udah gak sabar lagi. Dan saya kira ini kenaikan gas melon itu juga tinggal menunggu waktu saja dan sempurnalah. Saya kira kesulitan hidup yang terjadi pada masyarakat terutama pada kelas menengah. Nah, inilah kesempatan kita untuk mengevaluasi konstitusi dan yang sedang diributkan sekarang kan soal fungsi konstitusi untuk menatap politik padahal ada prinsip lain di konstitusi, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum. Kita tahu konstitusi kita itu basisnya kalau dalam ilmu ekonomi atau filsafat ekonomi basisnya adalah welfare state dan itu artinya spending pemerintah memang diperlukan yang orang sebut Kenshin Policice itu bahwa dalam keadaan kemiskinan, ketiadaan daya beli ekonomi mesin dihidupkan dengan cara pemerintah membubarkan dispose membuang semua uangnya supaya timbul pasal. Jadi, Pemerintah harus pending, harus keluarkan uang, bukan ditahan-tahan uangnya tuh. Kalau prinsip sekarang Pemerintah menahan uang dengan cara mencabut subsidi. Padahal subsidi diperlukan oleh sebuah Welcastrip kita sekarang menganggap Pemerintah betul-betul melenceng dari perintah konstitusi. Walaupun pemerintah akan bikin dalil, yaitu seluruh dunia juga begitu Oh iya tapi seluruh dunia tidak punya konstitusi seperti Indonesia yang mewajibkan negara itu ikut campur dalam waktu keadaan urusan ekonomi itu. Sekarang ikut campur pemerintah itu kan dengan subsidi itu sedang dicabut jadi dia sudah melanggar konstitusi sebetulnya tuh dan itu yang mestinya mulai diproses bahwa hak-hak dasar rakyat yang ditentukan oleh konstitusi dan diperintahkan untuk diwujudkan oleh Presiden tidak dia lakukan. Dimulailah berpikir bahwa dia bisa di divisi juga dengan prinsip bahwa \"tidak menjalankan perintah konstitusi bahkan bukan sekedar tidak menjalankan bertentangan dengan perintah konstitusi\" mencabut subsidi itu bertentangan dengan perintah konstitusi, tentu para ekonom akan bilang ya secara ekonomi itu memang terpaksa meski ia terpaksa karena kedunguan dari awal desain ekonominya. Oke. Jadi besok hari Senin kita siap-siap kepastian akan terjadi kenaikan itu tapi saya kira Azzam sudah ada instruksi Pak Luhut kepada Jokowi untuk mengumumkan kenaikan Pertalite gitu ya. Iya dulu kita anggap bahwa ada yang disebut jokowinomics tapi enggak ada intinya tuh dan orang akhirnya ya bertumpu pada kearifan Pak Luhut, Luhutdian economics kira-kira begitu. Ekonomi ala Pak Luhut yang mengandalkan kecepatan untuk menyelesaikan soal tapi seringkali kecepatan menyelesaikan soal itu bertentangan dengan prinsip normatif dari konstitusi. Dan saya kira mungkin beban Pak Jokowi dan Pak Luhut berbeda karena bagaimanapun yang terpilih yang dipilih oleh rakyat itu Pak Jokowi dan supaya beliau pasti berhitung-hitung soal begitu. Sementara Pak Luhut itu lebih dingin, gitu saja melihat persoalan seperti seorang dokter bedah saja dia tidak melihat ya pokoknya karena kalau enggak saya amputasi ini penyakitnya menjalar kemana-mana, amputasi saja. Bbegitu kira-kira saya membayangkan cara berpikir Pak Luhut. Ya itu bener. Pak Luhut dingin melihat kebijakan dan kedinginan itu didasarkan pada prinsip efisiensi saja kan harus ada semacam dalam prinsip milteru efisiensi itu jadi apapun variabelnya harus diputuskan harus diambil keputisan. Jadi duel di dalam kabinet akhirnya dimenangkan oleh Pak Luhut pasti karena semua menteri sibuk dengan eksternal dia tuh, jadi politisi. Nah Pak Luhut karena dia hanya fokus berinvestasi maka dia secara dingin lakukan amputasi itu diulang amputasi air walaupun itu nanti akan dipersoalkan secara konstitusi, tapi hanya itu pilihannya memang. Lain kalau Pak Jokowi mampu untuk membaca lebih komprehensif keadaan dunia mungkin dia akan undang beberapa tokoh ekonomi guna berdebat dengan Pak Luhut. Tapi, Pak Jokowi memang gak punya pengalaman itu apalagi kapasitas itu dengan sendirinya secara natural Pak Luhut yang terdepan kira-kira begitu saja. Oke saya mikir-mikir sebenernya enak dong jadi tokoh model Pak Luhut tidak perlu ikut kampanye ikut Pemilu nyapres tapi berbagai kebijakan dia bisa ambil dan presidennya tinggal ikut saja. Kalau kita ingat sinyal dulu now we are all Keys yang mungkin now we are hujan pada akhirnya negeri ini harus tunduk dan ikut pada efisiensi yang dipikirkan oleh LBP kira-kira begitu. Oke dan anda menyiapkan opsi kalau semua skenarionya tidak berjalan LBP yang lain ya. Oh ya itu namanya Liga Boikot Pemilu dan saya kira juga Pak Luhut akan setuju karena kalau keadaan udah tidak bisa diselamatkan ya Pak Luhut akan ambil kebijakan juga dan itu enaknya kalau jadi Pak Luhut, semua hal dia paham dan dia bisa putuskan dengan cepat sementara kabinet memang lamban memikirkan keadaan bangsa. (mth/sws)
Negara Sebagai Organisasi Kejahatan
Kasus Ferdi Sambo yang melilit Polri tidak bisa dinilai sebagai masalah personal atau sekadar oknum semata. Pembunuhan disertai penganiyaan seorang ajudan berpangkat brigadir oleh seorang jenderal sekaligus atasannya yang menodai tubuh kepolisian itu, merupakan salah satu persoalan struktural dan sistemik yang terjadi hampir di semua institusi negara. Orang dan sistem menyatu dalam syahwat melakukan distorsi penyelenggaraan pemerintahan. Saling memanfaatkan mencari kekayaan dan jabatan, mewujudkannya sebagai kekuasaan yang superior untuk melakukan penyimpangan dan kejahatan kemanusiaan. Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI PUBLIK tersentak, ketika Polri sebagai instrumen negara yang selama ini menyandang gelar sumir. Kembali memunculkan aib yang semakin membuat Polri terpuruk lebih dalam. Tak tanggung-tanggung, fenomena Irjend Ferdi Sambo, membongkar bukan hanya soal pembunuhan semata. Lebih dari itu bau amis menyelimuti kecenderungan rangkaian kejahatan lain seperti korupsi, perselingkuhan, disorientasi seksual, persaingan pengaruh dan jabatan para petinggi, hingga adanya kekuatan mafia yang selama ini samar-samar menguasai korps bhayangkara tersebut. Kasus kompleks yang menyeret beberapa perwira tinggi dan menengah Polri hingga membuat seorang presiden melakukan intervensi. Peristiwa itu semakin mengukuhkan institusi Polri yang sudah sejak lama dibayangi sikap skeptis dan apriori rakyat. Alih-alih menjadi lembaga yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri justru banyak melakukan penghianatan dan menghancurkan Tri Brata dan Eka Prasetya yang menjadi kehormatan dan kebanggan para taruna itu. Dari pinggir jalan raya, dari pusat bisnis dan hiburan yang dikelola cukong, dari kantor kejaksaan hingga ruang pejabat dan politisi. Publik terlanjur menganggap ada keterlibatan permainan nakal dan kotor yang dilakukan polisi baik yang berseragam maupun berpakaian preman. Seakan membenarkan ungkapan satir Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid), bahwasanya hanya ada tiga polisi yang baik di Indonesia, pertama Jendral Hoegeng mantan Kapolri (alm), kedua, patung polisi dan ketiga, polisi tidur. Presiden keempat RI yang kontroversial itu juga pernah membuat peryataan terbuka terkait keteribatan aparat keamanan termasuk polri, terkait kasus dan penanganan teroris serta pelbagai gerakan intoleran, radikal, fundamental dan ekstrimis lainnya. Sinyalemen itu menguat saat kebijakan polri begitu resisten dan represif terhadap gerakan kritis dari aktifis terlebih kepada para ulama, pemimpin dan tokoh- tokoh Islam. Kasus paling menonjol dan dianggap paling membunuh penegakkan hukum dan rasa keadilan itu, terasa mengganjal pada peristiwa KM 50, yang hingga kini masih diliputi tabir gelap. Dalam segmen seperti itu Polri nyaris langgeng menyandang stigma dan stereotif sebagai alat kekuasaan atau mafia ketimbang menjadi alat negara. Polisi terkesan dicap sebagai anjing penjaga pengusaha hitam dan penguasa lalim dibanding membantu menyelesaikan masalah kaum lemah dan tertindas. Bisa dimaklumi jika rakyat terutama yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasasn politik, lebih memilih menghindari berurusan dengan polisi. Bagi rakyat, menyelesaikan masalah dengan tanpa keteribatan polisi, itu menjadi lebih baik. Seperti ada anggapan dari publik, kalau lapor kehilangan ayam, maka akan bertambah menjadi kehilangan kambing. Begitulah asumsi yang terus berkembang di sebagian besar masyarakat. Sungguh miris dan ironis, insitusi Polri yang usianya hanya beda setahun dengan kemerdekaan Indonesia dan selama itupula telah menjadi garda terdepan dalam menciptakan dan menjaga ketertiban masyarakat. Polri mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima pandangan sosial yang \"prejudice\", kontradiktif dan ambivalens di mata rakyat. Semboyan presisi pada Polri yang belum lama ini mengemuka, pada kenyataannya hanya berupa ilusi. Contoh soal, tercium kabar dan desas-desus untuk masuk akademi kepolisian dan promosi jabatan, harus mengeluarkan biaya hingga miliaran. Sebuah angka yang fantastis yang harus dipenuhi untuk menjalankan tugas mengabdi dan melayani rakyat, negara dan bangsa. Nominal harga yang sulit dijangkau untuk seorang polisi yang tulus dan jujur namun tak berpunya, yang semata-mata hanya untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menjalankan tugas suci kemanusiaan sebagai abdi negara. Boleh jadi dan mungkin menjadi serba permisif, dengan mekanisme perekrutan taruna dan mutasi jabatan di jajaran polri yang kapitalistik dan transaksional seperti itu, hanya melahirkan kebanyakan polisi korup, tak bermoral dan bengis. Jauh dari integritas, kapabilitas dan akuntabilitas, dalam melayani kepentingan publik, mencintai dan melayani rakyat sepenuh hati. Namun demikian, layak juga dipertimbangkan bahwa polisi-polisi itu tak berdaya dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka terjebak pada satu situasi dan kondisi yang memang sudah buruk sedemikian rupa. Sistem telah memaksa para polisi baik yang pemula maupun yang senior untuk mengikuti arus dibanding terseret arus, terlepas apakah itu baik atau buruk baginya dan institusi kepolisian. Sistem yang dalam kerusakan akut, telah memperkosa cita-cita, keyakinan dan pengabidian para polisi baik, sehingga ideslisme terkoyak dimangsa paduan suara kejahatan dalam salah-satu organisasi penegak kebenaran dan keadilan yang sejatinya diinginkan dan dirindukan rakyat. Hanya ada \"a few good man\" dalam sindikat penyamun dan berbahaya di kelembagaan negara yang strategis itu. Bukan Cuma Polri Begitu terorganisir, terstruktur dan masif, kebanyakan institusi negara diselimuti praktek- praktek menyimpang. Kasus di tubuh Polri dengan personifikasi Ferdi Sambo, sesungguhnya juga menjadi representasi distorsi mayoritas institusi negara, seandainya tabu dianggap mewakili pemerintah dan negara. Kecerobohan Ferdi Sambo sekaligus kelemahan Polri itu, sebenarnya menjadi momen \"breaking ice\" terhadap karut-marutnya hampir semua institusi negara. Lembaga-lembaga formal dan konstitusional tidak hanya sekedar jauh dari ideal dan menyimpang dari tugas dan fungsi sebenarnya. Malah yang paling konyol dan menyedihkan, sistem dan birokasi yang ada di dalamnya seperti organisasi rentenir yang memeras, organisasi penjahat yang sewaktu-waktu bisa merampok dan menganiaya, serta tak ubahnya sarang binatang buas yang tiba-tiba menerkam, mengoyak luka dan memengancam keselamatan jiwa. Ferdi Sambo bagai menyiratkan telah membuka kotak pandora dari tidak sedikit kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan atas nama negara. Di Indonesia, negara yang begitu dicintai meski penuh ironi dan kemalangan. Sudah menjadi rahasia umum dan begitu telanjang mempertontonkan distorsi penyelenggaraan negara, baik oleh perilaku pejabatnya maupun tradisi atau kebiasaan yang telah menjadi baku dalam institusi pemerintahan. Behavior pejabat dan aturan birokrasi seolah-olah menyatu menjadi konsorsium kejahatan yang berlindung di balik konstitusi dan sumpah jabatan. Kerusakan mental aparatur negara menjadi begitu sistemik dan tampil secara formal di permukaan. Publik seperti menyadari dan merasakan langsung, ketika kejahatan secara terselubung yang terorganisir, terstruktur dan masif itu, sudah berlangsung sejak dari hulu hingga ke hilir. Atasan menjadi \"the ountachable\", bawahan pasrah dan tak berdaya harus mengikuti, sementara institusi yang melingkupinya dibajak, direkayasa dan dikendalikan menjadi organisasi super body dari kejahatan yang resmi dan menggunakan plat merah. Bukan cuma Polri, institusi TNI juga tak luput terpolarisasi dan tekontaminasi. Selain TNI dan Polri, banyak institusi seperti kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisioner-komisioner pelayanan publik semacam KPU, KPK, Komnas HAM dlsb., disinyalir sudah berada dalam zona nyaman korupsi, manipulasi konstitusi dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Sebagian besar terpaksa mengikuti aturan main yang berlaku meski penuh kemudharatan dan kedzoliman. Lebih baik menyelamatkan diri sembari menikmati kekayaan dan fasilitas daripada tergusur, begitu aparatur negara membatin. Birokrasi yang berisi aparatur negara tanpa kesalehan sosial, terus menikmati distorsi penyelenggaraan sambil mencuri bonus gaya hidup mewah dan berlebihan. Jadilah semuanya personifikasi dan sistem yang menyimpang, bersekongkol dalam negara yang mewujud sebagai organisasi kejahatan. Selain sistem, faktor personal yang sangat dipengaruhi oleh orientasi, mental dan struktur sosial yang ada dalam diri seseorang, telah menjadi sesuatu yang prinsip dan menentukan ketika diberi kepercayaan untuk mengemban jabatan publik. Latar belakang figur relatif menjadi dominan baik secara pribadi maupun organisatoris dalam melahirkan karakter kepemimpinan. Secara empiris tidak sedikit karakter unggul dalam personal mampu memberi warna dan memengaruhi organisasi atau istitusi tempat bernaungnya, termasuk sistem yang ada. Begitupun sebaliknya, sistem yang kuat juga akan mampu menjalankan organisasi sesuai cita-cita dibangunnya organisasi. Aspek personal juga tak luput dari dinamika organisasi yang harus mengikuti landasan, proses dan tujuan organisasi yang berasal dari tatanan sistem yang ada. Baik personal maupun sistem, pada akhirnya memiliki korekasi yang signifikan yang saling menguasai, memberi pusat pengaruh dan menentukan kebaikan ataupun keburukan pada capaian organisasi atau istitusi baik dalam masyarakat, perusahaan ataupun negara. Oleh karena itu, kasus Ferdi Sambo yang telah menyita perhatian publik sejagad republik ini dan mungkin seantero dunia, yang berhasil mereduksi Polri sedemikian rupa. Semakin membuka ruang kedasaran semua pihak, bahwa kejahatan dan kebaikan selalu membersamai kehidupan semua orang, komunal bahkan pada institusi negara. Bukan cuma Polri yang begitu naif dan menyedihkan dengan segala kebaikannya. Negeri ini begitu susah untuk menghitung berapa banyak institusi negara dan aparaturnya yang menjadi penjaga kebenaran kebenaran dan keadilan, namun seiring sejalan juga menghianati kebenaran dan keadilan. Tak lagi bisa dibedakan siapa yang menjadi abdi negara dan musuh negara. Tak ada lagi dan sulit menemukan siapa yang menjadi pelindung, mengayomi dan melayani masyarakat. Mustahil bisa menghitung berapa banyak rakyat di republik ini yang tak menghirup udara kapitalisme yang mengandung radikal bebas sekulerisasi dan liberalsasi global. Sesulit menghitung berapa banyak manifestasi nilai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang kadung dikuasai oligarki, seraya seluruh rakyat Indonesia menggandrungi materi, takut mati dan cinta dunia. Sebagaimana virus yang menjadi pandemi yang disebut penyakit Wahn. Penyakit paling ganas bagi kemanusiaan dan peradabannya, yang telah membuat banyak orang telah mati dalam hidupnya. Bukan cuma Polri, masih teramat banyak lagi yang terdistorsi dan terpuruk. Apapun dan bagaimanapun itu, selamat menjadi rakyat dan warga bangsa dari negara yang telah menjadi organisasi kejahatan. Meski sulit dan dirundung pesimis, seluruh anak bangsa tetap layak berupaya menyelamatkan institusi Polri, TNI, dan lembaga negara lainnya. Karena keselamatan utamanya TNI-Polri dll., itu berarti equivalen dengan kelematan negara dan bangsa Indonesia. Seperti kata orang bijak, jangan membakar lumbung padi hanya untuk membunuh tikus-tikusnya. Munjul-Cibubur, 21 Agustus 2022
Polisi Gerebek Judi Onine, Kok Sekarang Bisa Ditindak Ya?
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN TIBA-tiba saja sejumlah Polda bisa menggerebek judi online. Pada 9 Agustus 2022, Polda Sumut menurunkan ratusan anggota ke lokasi judi online di Cemara Asri –tak jauh dari Medan. Pada 12 Agustus 2022 menyusul Polda Metro menangkap 78 oranng di Pantai Indah Kapuk (PIK) terkait judi onine juga. Kemudian, Polda Jawa Tengah lebih dahsyat lagi. Mulai 19 Agustus barusan, mereka mengerahkan semua Polres untuk membasmi segala bentuk perjudian: online, judi dadu, judi kartu, dsb. Sudah banyak yang ditangkapi. Termasuk juga penyelenggara judi togel. Dahsyat ini. Bayangkan kalau sejak dulu Polisi di seluruh pelosok Indonesia melakukan pemberantasan. Pastilah para bandar dan operator segala bentuk judi tak punya ruang gerak. Tapi, kawan-kawan bertanya: kok bisa ya Polisi langsung tahu lokasi-lokasi judi online di banyak tempat itu? Tidak sekadar itu, Pak Polisi tahu juga bandar-bandarnya. Teman-teman juga bertanya: selama ini kenapa dibiarkan saja? Menjawab pertanyaan kawan-kawan itu, saya hanya bisa mengatakan: janganlah begitu pertanyaan kalian. Hargailah Pak Polisi yang telah bekerja keras. Pak Polisi itu mempertaruhkan segalanya untuk Indonesia, untuk rakyat. Pak Polisi itu bekerja siang-malam. Siang mengunjungi warga, menjaga ketertiban umum. Kalau malam mereka mengunjungi tempat-tempat hiburan untuk memastikan agar semuanya berjalan lancar, tidak ada masalah, dan sesuai kode etik. Capek lho mereka. Apalagi selesai tugas di tempat-tempat hiburan itu, capek sekali. Semua energi mereka kerahkan di sana. Energi lahir-batin. Di siang hari pula Pak Polisi melayani masyarakat yang datang ke kantor-kantor mereka di semua jenjang, baik itu mabes, mapolda, mapolres atau mapolsek. Tidakkah kalian bayangkan betapa sibuknya Pak Polisi? Kalau ada demo, Pak Polisi (c.q. satuan Brimob) harus memastikan agar para demonstran melihat dari dekat tampilan fisik mereka yang tegap-tegap. Juga memastikan agar pendemo melihat peralatan yang mereka gunakan dan yang akan mereka “hadiahkan” kepada para pengunjuk rasa itu. Jadi, kembali ke pemberantasan judi online dan segala bentuk perjudian lain, Polisi sebenarnya sangat serius. Polda Sumut, sebagai contoh, mengultimatum bandar judi terbesar di Sumatera, Apin BK, agar menyerahkan diri. Keseriusan terlihat pula dari tindakan Kapolda Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak yang memimpin langsung penggerebekan. Mereka mendatangi ruko kosong. Tidak ada manusia. Tapi berhasil menyita banyak komputer. Humas Polda mengatakan, mereka akan melakukan pendalaman. Pendalaman ini harus kita sambut baik. Kita applause. Sebab, yang ditemukan sejauh ini dangkal sekali. Perlu diperdalam. Dan setelah itu polisi beramai-ramai menggeledah rumah mewah si Apin. Tapi, Apin tidak berada di tempat. Mungkin sedang banyak urusan. Baangkali dia belum sempat menjumpai polisi. Yah, tampaknya Pak Panca harus bersabar menghadapi si bandar besar itu. Mungkin kalau Pak Kapolda baik-baik bilang ke Apin bahwa polisi tidak akan membawa Glock 17 untuk menjeput beliau, bisa jadi dia akan menerima kedatangan petugas. Lagi pula Apin kan sudah dicekal. Tak bisa lari ke luar negeri. Paling-paling dia beristirahat di tempat yang bisa dicari aparat seperti mudahnya polisi menemukan lokasi judi online di Cemara Asri itu. Memang ada judul berita yang kurang enak tentang upaya penangkapan Apin. Misalnya, sebuah koran online menulis judul: “Ultimatum Irjen Panca Putra Tak Digubris Bos Judi Online”. Membaca “tak digubris” itu sangat menyakitkan. Bisa dipahamilah perasaan Pak Panca. Tapi, Pak Panca harus bersemangat terus mencari Apin. Bisa dapat itu nanti, Pak. Sekiranya tetap sulit menangkap Apin, mungkin bisa minta bantuan Irjen Fadil Imran –Kapolda Metro. Mengapa Pak Fadil? Karena beliau ini berhasil menangkap 78 pelaku judi online di PIK. Boleh jadi Pak Fadil punya kiat tertentu untuk memancing agar orang yang diburu mau keluar dari persembunyiannya. Selain itu, Pak Fadil punya pengalaman hebat dalam menangani kasus pembunuhan KM-50. Mulus sampai ke pengadilan. Cemerlang. Sukses KM-50 itu adalah puncak kehebatan Fadil. Semacam “award winning master piece”. Kira-kira begitu. Tentu saja Pak Panca sangat dekat dengan Pak Fadil. Sesama kapolda. Pasti seringlah berjumpa. Apalagi saat ini Pak Panca dan Pak Fadil sama-sama sibuk menumpas judi online dan judi-judi lainnya. Mana mungkin Pak Fadil, yang dekat dengan Ferdy Sambo itu, tak mau membantu.[]
Respon Ubedilah Badrun Terhadap Sikap KPK
Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Oleh: Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) SEBAGAIMANA diketahui publik bahwa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam jumpa pers saat penyampaian kinerja semester I KPK di Jakarta pada Jumat (19/8/22) menyampaikan bahwa laporan yang saya sampaikan kepada KPK tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Berkaitan Dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) Relasi Bisnis Anak Presiden Dengan Grup Bisnis Yang Diduga Terlibat Pembakaran Hutan dinyatakan sejauh ini masih sumir karenanya kasus diarsipkan. Argumennya karena Gibran dan Kaesang bukan pejabat publik dan belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan atau data dukung terkait dengan penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara negara. Terhadap jawaban KPK tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa tidak ada kaitanya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara negara. Padahal secara nyata-nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara (Presiden Republik Indonesia). Selain itu Gibran adalah penyelenggara negara karena saat dilantik sebagai Wali Kota ternyata Gibran masih menjabat sebagai komisaris utama perusahaan yang saya sebut dalam laporan. Lebih jelasnya, pada tanggal 26 Februari 2021 Gibran dilantik menjadi wali kota Solo. Pada saat yang sama Gibran juga masih terdaftar (belum mundur) sebagai komisaris di PT. Siap Selalu Mas (memiliki 47 % saham PT.Harapan Bangsa Kita), dan Komisaris utama PT. Wadah Masa Depan (memegang 19,7 % saham). Sebagai informasi, korupsi itu bukan hanya mengambil uang negara (APBN/APBD) yang bukan haknya, tetapi menurut buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah gamblang dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis, salah satunya memberi hadiah atau gratifikasi. Perlu diingat juga bahwa dalam kasus yang saya laporkan juga ada pengangkatan penyelenggara negara yaitu pengangkatan Duta Besar yang sebelumnya ia sebagai Managing Director di PT. SM. Ia bukan diplomat karir. Dimana putra dari Duta Besar yang diangkat pada tanggal 17 November 2021 tersebut diketahui menjalin kerjasama bisnis yang sangat inten dengan Gibran dan Kaesang, ada peralihan kepemilikan saham, hingga bisnis putra Presiden tersebut mendapat kucuran dana penyertaan modal dari sebuah perusahaan ventura. Suntikan penyertaan modal ini hingga kini terjadi sebanyak tiga kali ( 17-8-2019, 23-11-2020, 6-6-2022). Terkait dugaan \'transaksi yang mencurigakan\' dan terkait dugaan gratifikasi jabatan, dugaan gratifikasi kepemilikan saham, serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah tugas KPK untuk mengusut secara tuntas agar menjadi terang demi tegaknya kepastian hukum yang adil. KPK dapat meminta kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk menelusuri transaksi yang diduga mencurigakan tersebut. Selain itu KPK juga memiliki kewajiban hukum untuk mencegah dan memberantas KKN dengan menelusuri seluruh perusahaan lainnya milik putra Presiden itu yang jumlahnya kurang lebih 20 perusahaan yang didirikan oleh putra Presiden tersebut. Termasuk misalnya pembelian saham 40 % PT Persis Solo Saestu oleh Kaesang bersama Erick Thohir. Apakah benar pembelian saham itu berasal dari uang pribadi atau perusahaan milik Kaesang? Tugas mulia KPK merupakan Amanat Reformasi 1998 yang tertuang dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Terkait dengan pernyataan Nurul Ghufron yang menyatakan belum adanya data dukung, sebenarnya telah dijawab pada tanggal 26 Januari 2022 saat saya dipanggil KPK selama dua jam dengan menyampaikan data-data awal dan penjelasan hukum yang lebih detail kepada KPK pada saat itu. KPK semestinya bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang untuk mengusut tuntas dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan tersebut. Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Demikian respon ini saya sampaikan. Jakarta, 20 Agustus 2022. (*)
Di Lampung, LaNyalla Ajak Warga PSHT Kembali ke UUD 1945 Agar Kedaulatan di Tangan Rakyat
Bandar Lampung, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menegaskan bahwa kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat. Caranya, kembali ke UUD 1945 naskah asli dan kemudian disempurnakan dengan adendum. Penegasan itu disampaikan LaNyalla kepada ratusan warga Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Provinsi Lampung di SCC Universitas Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (20/8/2022). Ketua DPD RI didampingi Anggota DPD RI asal Provinsi Lampung Bustami Zainuddin yang juga Ketua Dewan Pembina PSHT Provinsi Lampung, Anggota DPD asal Provinsi Lampung Abdul Hakim, Anggota DPD RI Sulawesi Selatan Andi Muh Ihsan dan Sekjen DPD RI Rahman Hadi. “Kenapa hal itu yang saya suarakan? Karena UUD hasil amandemen 1999-2002 jelas-jelas melupakan Pancasila. Sejak saat itu pasal-pasalnya diganti, sehingga memberi ruang lebar pada oligarki ekonomi dan politik menguasai negeri ini. Di mana salah satunya kekayaan kita yang sangat melimpah ini dikuasai oleh asing,” ujarnya. Makanya, LaNyalla yang juga Dewan Pembina PSHT mengajak warga PSHT untuk berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat. “Kalau tidak kita rebut kedaulatan itu, negara akan diatur oligarki. Kekayaan alam kita semakin dikeruk habis dan rakyat tambah miskin. Padahal seharusnya sumber daya alam itu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dan oleh segelintir orang,” jelasnya. “Warga PSHT, yang senior dan terutama yang muda-muda harus mulai sadar dan mencermati. Harus mulai berpikir apakah saat ini kita benar-benar menggunakan UUD 45 yang asli atau bukan jika melihat kondisi bangsa dan keadaan rakyat sekarang,” tambah dia. Untuk itulah, LaNyalla akan menyebarkan peta jalan kembali ke UUD 1945 naskah asli, supaya warga PSHT paham upaya itu merupakan satu-satunya solusi permasalahan bangsa. “Silakan pelajari peta jalan kembali ke UUD 45 yang saya buat. Apabila masih kurang mengerti, bisa diskusi dengan anggota DPD RI dari sini, Pak Bustami dan Pak Hakim atau dengan lainnya. Setelah paham benar, resonansikan gagasan ini kepada masyarakat lainnya. Sadarkan mereka bahwa inilah satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat kita,” tutur Ketua Dewan Pembina PSHT itu. Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyinggung legalitas PSHT yang sempat menjadi polemik. Menurutnya, PSHT yang dipimpin oleh Drs. R. Murjoko HW merupakan organisasi yang benar, legal dan hak-haknya diakui pemerintah yang sah. Sebab, sebagai Ketua DPD RI LaNyalla sudah mempelajari dengan seksama, bahkan ikut memperjuangkan legalitas PSHT hingga mendapatkan pengakuan legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. “Karena itu jangan sampai di bawah masih ada komponen masyarakat, juga pemerintah dan aparatur negara yang meragukan legalitas organisasi PSHT. Kalau masih ragu-ragu, silahkan buka sendiri di situs Kemenkumham, maka saudara akan tahu siapa pemilik nama dan badan hukum Persaudaraan Setia Hati Terate, yakni Kangmas Drs. R. Murjoko HW, bukan yang lain,” tegasnya. PSHT, lanjutnya, juga harus memberikan sumbangsih dengan membantu Pemerintah Daerah mensukseskan program pembangunan. Terutama dalam pembangunan karakter dan jati diri bangsa, serta kesehatan jasmani dan rohani generasi muda. Kehadiran Ketua DPD RI di Lampung mendapat apresiasi dari Sekum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Provinsi Lampung Ria Gusria. Harapannya aspirasi rakyat Lampung, termasuk aspirasi PSHT dan masyarakat pencak silat Provinsi Lampung bisa disuarakan. “Karena saya tahu persis bahwa Pak Ketua DPD RI berani sekali menyuarakan aspirasi rakyat. Saya juga berdoa semoga gagasan dan pikiran Pak Ketua bisa terwujud dengan baik,” ucapnya. Ketua Perwakilan Pusat PSHT Provinsi Lampung, Brigjen TNI Yuswandi meminta warga PSHT terus mendukung pemerintah pusat dan daerah guna menjadikan Lampung lebih maju. “PSHT harus menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah daerah dan Forkopimda untuk membantu menjaga ketertiban dan keamanan. PSHT harus berkontribusi besar untuk ikut Memayu Hayuning Bawono,” tuturnya. M. Firsada, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Lampung yang mewakili Gubernur Lampung menegaskan bahwa PSHT merupakan aset besar bagi Lampung. Oleh karena itu harus dikelola dengan baik dan membantu mewujudkan misi Gubernur Lampung, yaitu menjadikan Lampung Berjaya. Selain Kepala Badan Kesbangpol Lampung, M Firsada, hadir Sekum IPSI Lampung Ria Gusria dan Ketua Perwakilan Pusat PSHT Lampung, Brigjen TNI Yuswandi, Anggota Dewan Pengurus Pusat PSHT Laksamana TNI Sidiq Mustofa, Rektor Universitas Saburai Lampung Lina Maulidiana, Para Ketua Cabang PSHT Kabupaten dan Kota se-Provinsi Lampung dan Warga Baru PSHT se-Provinsi Lampung. (mth/*)
Renungan Kemerdekaan
Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle RAKYAT Indonesia beberapa hari belakangan ini gelisah, karena Indonesia ini berjalan entah ke mana. Tidak jelas tujuan dan limbung, sebentar ke kiri, lalu sebentar ke kanan. Katanya sudah merdeka 77 tahun, tapi makna dan fakta kemerdekaan itu terasa semakin jauh. Tidak jelas dan limbung, karena negara dan pengelolanya berjalan tanpa moralitas kekuasaan yang jelas, sementara rakyat mengais-ngais secercah harapan untuk hidup saat beban ekonomi menaik. Lihatlah beberapa hal berikut ini, pertama, kita melihat Istana saat hari perayaan kemerdekaan menteri-menteri berjoget ria, lagu cinta, yang dibawakan anak belum dewasa. Biasanya peringatan kemerdekaan dilakukan dengan lagu-lagu kebangsaan, yang membuat seluruh orang hikmat dan merinding. Misalnya, lagu Padamu Negeri, ciptaan Kusbini. Atau setidaknya lagu Merah Darahku, ciptaan musisi Gombloh. Dengan lagu kebangsaan, secara sosiologis, manusia akan terhubung dengan perjuangan yang belum selesai. Kemerdekaan yang belum selesai. Jika dengan lagu cinta-cintaan, “Ojo Dibandingke”, apalagi mengeksploitasi anak kecil sebagai penyanyi, tentu tidak terhubung dengan “public domain” atau “public interest”. Persoalan kedua tentang moralitas kekuasaan, tentu saja soal pembunuhan Brigadir J (Joshua). Supremasi Hukum adalah kata kunci “Justice”. Sebuah negara didirikan untuk mendistribusikan keadilan bagi rakyat semua. Tanpa meletakkan hukum sebagai tulang punggung, tentu semuanya akan kacau-balau. Bagaimana mengatur hukum bagi kepentingan semua orang? Negera tugasnya membangun institusi penegakan hukum dan keadilan. Salah satunya adalah Kepolisian. Kita sudah melihat dalam bulan kemerdekaan ini, beberapa jenderal polisi, terlibat kasus melakukan pembunuhan dan saling bantu dalam pembunuhan tersebut, yakni Ferdy Sambo dkk. Jika kita nonton film “City of Lies”, Jhonny Deep, di HBO, polisi di Los Angeles, Amerika, juga terjadi hal yang sama, yakni polisi berkelakuan mafia. Tapi, yang kita alami dalam 77 tahun merdeka ini adalah ternyata jenderal-jenderal ini merupakan bagian dari kekuasaan negara, bukan soal pribadi. Mengapa demikian? Karena dalam rezim Presiden Joko Widodo, polisi bekerja bukan saja untuk urusan penegakan hukum, melainkan juga menghancurkan lawan-lawan politik dari rezim yang berkuasa. Bahwasanya Jokowi selama ini menyandarkan penyingkiran oposisi pada polisi. Sambo adalah intinya polisi saat kemarin itu, Kadiv Propam dan Komandan institusi ekstra kuat, Satgassus Merah Putih. Jadi wajah Sambo, sekali lagi, adalah refleksi wajah kepolisian. Mahfud MD mengungkapkan tanpa adanya polisi bintang 3 yang bermoral, kemungkinan Sambo akan bebas. Tentu saja karena Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga ingin bertransformasi ke arah yang benar. Persoalan ketiga adalah ekonomi rakyat kecil. Jokowi, via Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, sudah menyatakan akan menaikkan harga BBM, pekan depan. Selama ini pemerintah menyatakan bahwa negara terlalu banyak mensubsidi rakyat, sekitar Rp 500 triliun. Tentu saja rakyat akan memikul beban kenaikan harga yang sangat besar. Sebelum kenaikan BBM, pertalite dan solar, saat ini rakyat sudah mengalami beban mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal upah tidak naik atau naik tidak signifikan. Belum kita melihat yang PHK, semakin banyak. Mengharap pada keluarga besar (extended family) sebagai sistem perlindungan sosial tradisional, semakin sulit. Karena, semua orang juga semakin sulit. Lalu ke mana berharap, jika negara mencabut subsidi? Jika subsidi dipangkas? Persoalan terakhir adalah demokrasi dan kebebasan rakyat. Kita melihat bahwa beberapa ulama masih di penjara. Alasannya adalah membuat onar, seperti kasus Habib Bahar Smith, Edi Mulyadi, Bunda Meri di Lampung, dan kasus-kasus yang dicurigai polisi sebagai teroris. Menghukum lawan-lawan politik karena mengganggu kekuasan adalah ajaran Machiavelli. Niccollo Machiavelli, filosof Florence era 1500-an, mengatakan penguasa tidak perlu berharap dicintai, tapi berharaplah untuk ditakutin rakyat. Ketakutan rakyat lebih mulia daripada dicintai. Ini adalah moral iblis. Dimana negara dan kekuasaannya dibangun untuk merampok kekayaan bangsanya, bukan menciptakan keadilan sejati. Di era modern, di mana kontrol sosial dari “civil society” diperlukan,. justru kebebasan, kritik dan perbedaan pendapat haruslah menjadi tiang utama negara. Jokowi sudah mengingatkan agar tidak ada lagi politik identitas. Sebenarnya siapa yang berlindung dalam isu politik identitas itu? Di era sebelum Jokowi justru ketika rezimnya menganut demokrasi, tidak ada kekerasan politik atau permusuhan politik horisontal di masyarakat. Pemenjaraan dan penangkapan ulama serta aktivis politik hanya gencar di era rezim Jokowi. Itu paralel dengan kekuasaan aparatur polisi, begitu besarnya. Catatan Akhir Negara adalah sebuah institusi representasi kepentingan rakyat. Untuk benar-benar bisa memberi fungsi keadilan, maka diperlukan moralitas kekuasaan. Moralitas itu adalah sebuah nilai-nilai yang di dalamnya kepentingan pribadi ditransfer menjadi kepentingan publik. Orang-orang harus melihat pemimpinnya meneteskan air mata ketika acara kemerdekaan di istana, dengan lagu lagu kebangsaan yang menggugah spirit, bukan berjoget-joget lagu cinta. Orang-orang harus terkoneksi dengan sejarah. Hukum dan keadilan harus tumbuh dalam fundamental nilai-nilai. Penegak hukum harus mengerti bahwa dia adalah teladan. Kalau bisa moralitasnya berbasis agama, rajin ibadah dan membenci uang-uang haram. Penegak hukum dan perangkat hukum tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik rezim, dia harus adil terhadap siapapun. Tidak boleh digunakan untuk mendukung seseorang dalam pemilu atau lainnya. Moralitas kekuasaan dengan nilai-nilai kecintaan pada rakyat harus merujuk pada maksud Indonesia Merdeka. Keadilan untuk semua rakyat. Saat ini kita berada pada kerapuhan moralitas kekuasaan. Tapi kita, saat melihat misalnya masih ada jenderal bermoral di kepolisian, kita masih bisa berharap bahwa masih ada harapan ke depan. Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Pemimpin itu seharusnya merakyat. Subsidi pangan dan energi pokok harus dipertahankan. Serta demokrasi diutamakan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-77. Tetap Berharap. Tetap Semangat! Depok, 19 Agustus 2022. (*)
Kerusakan Institusi POLRI Akibat Kebijakan Presiden yang Salah
Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SADAR atau tidak berawal dari keberadaan positioning POLRI langsung di bawah Presiden RI, Polisi dipersenjatai melebihi kekuatan senjata TNI oleh Presiden, dengan imbalan loyalitas buta Polisi pada Presiden, inilah petaka awal terjadi kerusakan di tubuh Polri. Perselingkuhan Presiden dengan Polri penyebab kewenangan dan kekuasaan Polri bukan terkendali, justru menjadi liar. Terjadi Abuse of Power oleh Polisi, menjadi kekuatan super body, menabrak siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan, itu akibat Presiden telah memanjakan Polri melampaui peran, fungsi, dan tupoksinya. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi itu hanya tiga: Penegak hukum; Menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi; dan Melindungi masyarakat. Tapi, kini masuk ke ranah politik sebagai pengaman presiden, mengatasi/menindak siapapun yang berseberangan dan melawan kekuasaan. Konon, peran politis ini sudah dirancang jarak-jauh sejak Tito Karnavian sebagai Kapolri, bukan hanya sebagai kekuatan mengamankan suara hasil Pilpres tetapi memenangkan suara untuk kemenangan Presiden. Kata Bung Anton Permana: “imbalan politisnya Presiden menempatkan Polisi hampir di semua urusan negara. Di setiap departemen hampir ada Polisi, di Bulog, Kumhan, Parekraf, atau ada empat puluh empat (44) jabatan diisi oleh polisi. Tito Karnavian sendiri langsung mendapatkan jatah sebagai Mendagri”. “Lebih liar lagi tugas TNI seperti dalam penanganan terorisme, separatisme, pengamanan objek vital, pengamanan wilayah perbatasan juga diambil-alih polisi. Padahal itu jelas dan tegas tugas TNI sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004,” katanya lebih lanjut. Presiden tak tanggung-tanggung mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk menambah kekuasaan Polri agar lebih luas karena tidak ada dalam UU Polisi. Padahal secara hirarki perundangan, Perpres itu di bawah Undang-Undang. Yang muncul di kemudian hari kekuasan Polisi merambah kemana-mana: Polisi bertindak cepat mengkriminalisasi tokoh-tokoh siapapun yang menentang dan berbeda pandangan dengan sang penguasa. Kriminalisasi ulama, begitu sadis cara menangani demo dengan kekerasan di luar batas perikemanusiaan. Bahkan, di mana-mana berperan sebagai body guard Oligarki, sebagai penjaga rampasan tanah jarahannya dari gangguan. Diduga kuat ikut mengamankan TKA asing, khususnya dari China masuk berbondong-bondong ke Indonesia. TNI dianak-tirikan, bahkan terkesan dilemahkan. TNI melalui binternya di amputasi, TNI masuk desa sebagaian kemanunggalan TNI dan rakyat tidak terdengar lagi. Kewenangannya juga banyak dicabut atas nama kekuasaan Presiden untuk mengamankan kekuasaan Presiden dan menempatkan Polri sebagai body guard-nya. Kesombongan Polri membesar ketika merasa bahwa Polri langsung di bawah Presiden dan TNI di bawah kordinasi Kementerian Pertahanan. Presiden berdalih menambah kekuasaan Polri adalah untuk memerankan Polri perang melawan perang asymetris. Perang yang tidak tampak seperti; perang ideologi, perang ekonomi, perang dagang, perang pemikiran, dan perang sosial-budaya. Melebar mengamankan perjudian dan perdagangan narkoba serta perdagangan terlarang lainnya. Dampak ikutan akibatnya bukan keamanan yang tercipta, justru kegaduhan, perpecahan dan kekacauan di masyarakat semakin parah. Apa yang terjadi saat ini? Oknum kekuatan polisi menyalahgunakan kekuasaannya. Muncullah polisi Sambo yang liar bersentuhan dengan praktik hitam melebar ke mana-mana. Awal kejadian sangat jelas, akibat salah kelola kepolisian oleh presiden sendiri yang menempatkan polisi sebagai alat kekuasaan politik. Menempatkan dan memfungsikan polisi dengan wewenang sangat besar sebagai alat kekuasaan politik. Maka terjadilah saat ini skandal Polisi Sambo. Kebijakan Presiden memakan tuan Presiden sendiri. Perintah untuk secepatnya mengatasi kasus Sambo berlarut larut karena ternyata kasusnya memang sangat berat, penyakitnya sudah akut melebar ke mana-mana. Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Republik ini adalah negara hukum dilihat dari kinerja Polri sebagai penegak hukum, menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat, yang setia pada janjinya sebagai Bhayangkara Negara, telah dihianati, maka Polri adalah malapetaka negara. Back to zero. Saatnya Polri direformasi total atau Republik ini ambruk. Tiba saatnya negara harus secepatnya melakukan Reformasi Polisi, sekarang! Police Reform, Now!. (*)
Purnawirawan dan Geruduk Polsek Lembang
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS pembunuhan sadis Letkol TNI Purn H Muhammad Mubin oleh pengusaha Henry Hendono bukan kasus sederhana. Perhatian besar dari institusi TNI khususnya Angkatan Darat cukup besar. Kodam III SIliwangi menurunkan Tim Hukum untuk mengawasi dan mendampingi demikian juga dengan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) yang telah membentuk dan menugaskan tim hukum pula. Purnawirawan lain yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) pimpinan Kol (Purn) Sugeng Waras hari ini akan menggeruduk Polsek Lembang untuk melakukan upacara duka cita dan do\'a bagi almarhum. Dilanjutkan dengan ta\'ziah ke rumah duka di Bandung. Upacara didukung beberapa Ormas dan elemen masyarakat termasuk eks Tri Matra pimpinan Ruslan Buton. Perhatian Purnawirawan TNI menjadi unjuk rasa keprihatinan atas arogansi Aseng terhadap pribumi khususnya Purnawirawan TNI. Aksi solidaritas Purnawirawan dinilai penting agar kejahatan pembunuhan berencana yang dinilai sadis ini tidak berulang. Pelaku harus diberi hukuman berat. Profil mantan Dandim Letkol Purn Muhammad Mubin adalah figur teladan yang secara bersahaja menjadi sopir di sebuah perusahaan meubel. Selalu mengantar putera majikannya ke sekolah. Sayangnya justru ia dinistakan oleh seorang pengusaha keturunan yang melakukan pembunuhan sadis hanya dengan alasan parkir di depan toko atau gudangnya. Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang sudah tepat karena dari sini awal penanganan atas perbuatan pidana. Ada kejanggalan dalam penanganan. Waktu itu Polsek hanya mengenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP kepada tersangka padahal diduga pembunuhan yang dilakukan Aseng atau Henry Herdono ini direncanakan. Ada cerita bohong para saksi karyawan Aseng soal pertengkaran ataupun adu pukul. Setelah penyidikan diambil alih oleh Polda Jawa Barat maka tersangka dikenakan primer Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana. Tentu subsidair Pasal 338 KUHP dan atau 351 ayat 3 KUHP. Fakta yang didapat ternyata tidak ada pertengkaran atau pukul memukul. Yang terjadi adalah penyerangan langsung dengan pisau yang telah disiapkan. Ada niat sengaja untuk membunuh. Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) saat dideklarasikan menyatakan keprihatinan atas kondisi negeri. Karenanya bertekad untuk berjuang menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Mengingatkan semua elemen agar tidak menjual atau menggadaikan kedaulatan negara kepada penjajah politik, ekonomi dan budaya. Kepedulian Purnawirawan terhadap kasus pembunuhan Aseng ini nampaknya di samping solidaritas juga menjadi bagian dari upaya untuk menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Pada situasi politik yang karut marut ini para Purnawirawan nampaknya lebih maju ke depan dalam mengoreksi keadaan. Old soldiers never die, they just fade away, kata sebuah ungkapan. Akan tetapi hari ini old soldiers itu \"not just fade away\". Mereka ada di sana. Membela sesama. Bandung, 21 Agustus 2022