ALL CATEGORY
Kecurangan Pemilu Masif, Kemunduran Demokrasi Tidak akan Terhindarkan
Jakarta | FNN - Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri yang menyebut sikap penguasa saat ini mau seperti penguasa di masa Orde Baru. Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menilai pernyataan Megawati ada benarnya jika berkenaan dengan kemunduran demokrasi, namun belum sampai pada pengulangan pada apa yang terjadi di era Orde Baru. \"Kita akui bahwa ada kemunduran dalam kualitas demokrasi di Indonesia, tetapi mengatakan penguasa sekarang ini bertindak seperti orde baru masih belum,\" tegas Bonar di Jakarta, Rabu (29/11/2023). Menurutnya, sekarang ini memang ada sejumlah kejadian yang mencederai demokrasi. Namun, di sisi lain, masih ada pula kebebasan di negeri ini. \"Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan juga oposisi masih ada,\" ujarnya. Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menegaskan pernyataan Megawati sebagai respons atas kondisi politik terkini. Pidatonya juga menyiratkan kekecewaan, kegelisahan, dan tanggung jawab moral. \"Saya kira ini respons Megawati melihat situasi atas konstelasi politik yang begitu dinamis dan cukup alot. Menurut saya respons Megawati lebih pada political surprise yang terjadi hingga hari ini. Sehingga pidatonya menurut semiotika politik juga bisa diartikan sebagai bentuk dari kekecewaan, kegelisahan, dan di samping posisinya sebagai Presiden ke-5 RI tentunya memiliki tanggung jawab moral untuk menanggapi atau merespons situasi yang terjadi,\" ungkapnya. Kendati demikian, memang tidak bisa dipungkiri saat ini terjadi preseden buruk yang mengarah pada era Orde Baru. \"Dari peristiwa-peristiwa politik atau preseden politik yang terjadi, ada arah ke sana. Bahwasanya ada proses-proses di mana terjadinya intervensi politik atau penguasa terhadap suprastruktur politik lainnya atau lebih pada lembaga-lembaga negara,\" tambahnya. Pemilu saat ini dibayang-bayangi dengan isu netralitas aparat penegak hukum hingga aparatur negara yang dimobilisasi untuk mendukung dan memenangkan calon tertentu. “Saya kira ini adalah suatu preseden yang bisa diasosiasikan dengan insiden-insiden politik yang ada di era Orde Baru,\" jelasnya. Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengungkapkan kekesalannya kepada situasi politik saat ini. \"Mestinya Ibu nggak perlu ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Karena apa, Republik ini penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru,\" kata Megawati di Jakarta. Pada pidato lainnya, Megawati mengajak masyarakat tetap menggunakan hak pilihnya. Dan bijaksana menggunakan hak pilihnya. \"Kalau mau memilih pemimpin apa sih yang dilihat? Jangan hanya supaya dia nyoblos. Pilihlah yang baik yang bisa memimpin yang menaungi semuanya. Yang track record politiknya bukan hanya teori tapi punya pengalaman,\" tegas Megawati. Kekecewaan Beralasan Pengamat Politik dari Universitas Negeri Veteran Jakarta Danis TS mengatakan berapi-apinya pidato Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri di Rakernas PDIP bukan tanpa alasan. \"Sangat bisa dibenarkan, karena kondisi pemilu 2024 memang sangat berbeda, benturan politik dan kepentingan yang sangat kuat namun semuanya sangat berhati-hati untuk menjaga stabilitas politik dan negara,\" kata Danis. Sikap Mega yang kritis, mencerminkan isi hati, kegundahannya melihat situasi politik hari ini. \"Dinamika masyarakat terasa sangat anomali,\" sebut Danis. Retaknya hubungan Megawati dengan Presiden Jokowi ditenggarai Danis membawa perubahan besar di partai berlambang Banteng ini. \"Ditengah berbagai Kontrovensi, elektabilitas Ganjar-Mahfud melemah, banyak relawan dan kader yang yang berpindah,\" ungkap Danis. Pekerjaan Rumah bagi PDIP untuk memenangkan Banteng ditengah maraknya penyelewengan kekuasaan dan penggunaan alat-alat negara pada Pemilu Kali ini. \"Pertanyaan pentinya adalah sejauhmana ibu megawati ,PDIP dan koalidi serius melakukan perlawanan politik?\"kata Danis. Pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Indodata ini menjelaskan, ada beberapa opsi yang dapat dilakukan PDIP sebagai upaya politik perlawanan yang dilakukannya. \"Menarik semua menteri PDIP dan koalisi dari Kabinet. Menyusun Koalisi baru pasca pemilihan putaran pertama, jika Ganjar-Mahfud masuk putaran kedua, Semua timnya harus bersiap menerima semua kelompok Anies, dan jika sebaliknya semua harus masuk dan bergabung dengan koalisi Amien,\" tambah Danis. Namun diatas kepentingan pemenangan Pemilu, Danis percaya baik PDIP maupun koalisi lain memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ketentraman bangsa. \"Betapapun beratnya Kondisi dan kompetisi pada pemilu 2024 semua komponen harus bersatu pasca pemilu dan melanjutkan agenda-agenda kebangsaan,\" pungkas Danis. (Sur)
Partai Gelora Perjuangkan Program Kuliah Gratis agar Bonus Demografi Tidak Layu
JAKARTA | FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, Partai Gelora akan mendorong kebijakan program kuliah gratis sebagai alat perjuangan untuk menciptakan masyarakat berpengetahuan yang memiliki basis dasar pendidikan tinggi. \"Sebab, jangan sampai bonus demokrasi ini menjadi layu, karena yang ada hanya orang umur muda, tapi kapasitasnya rendah. Energinya besar, tapi pengetahuannya sedikit karena pendidikannya rendah. JIka itu terjadi, maka tidak akan bisa memikul cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai negara maju,\" kata Anis Matta dalam keterangannya, Rabu (29/11/2023). Hal itu disampaikan Anis Matta dalam program Anis Matta Menjawab Episode dengan tema \'Memperjuangkan Kuliah Gratis\' yang telah tayang di kanal YouTube Gelora TV pada Senin (27/11/2023) malam lalu. Dalam program yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora Dedy Miing Gumelar ini, Anis Matta menegaskan, bahwa bonus demografi tidak boleh hanya dilihat sebagai hadiah sejarah saja, karena dalam struktur populasinya yang dominan adalah orang muda. \"Tetapi dengan bonus demografi itu, kita ingin membangun masyarakat berpengetahuan agar bonus demografi tidak menjadi beban negara. Tetapi ini harus ada poltical will atau keinginan politik dan tekad politik dari pemerintah,\" katanya. Pemerintah, kata Anis Matta, harus menjadikan program kuliah gratis ini sebagai program prioritas. Sehingga nantinya, basis dasar pendidikan manusia Indonesia lebih tinggi, tidak lagi jenjang SMA, tapi sudah jenjang S1 (sarjana). \"Program beasiswa saja tidak cukup, itupun sifatnya juga terbatas. Tapi kalau ini, kita wajibkan semua orang kuliah, kita buat kebijakan kuliah gratis. Kalau ini bisa dieksekusi, Insya Allah akan menjadi moment of luck, momen keberuntungan bagi pemerintah,\" katanya. Generasi yang mendapatkan kebijakan kuliah gratis, lanjut Anis Matta, akan mengenang sepanjang hidup, karena dia tidak termasuk bagian 30 persen generasi yang tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. \"Ini yang akan menciptakan moment of luck seperti Pak Harto (Presiden Soeharto) yang membuat SD Inpres. Saya, Bang Miing, Pak Fahri Hamzah itu produk SD Inpres. Jadi yang diingat dari Pak Harto iti bukan banyaknya bendungan yang diresmikan, tapi karena SD Inpres yang kita ingat,\" katanya. Ketua Umum Partai Gelora ini menegaskan, kuliah gratis adalah bagian dari revolusi pendidikan dalam menyiapkan manusia Indonesia yang unggul, selain mencegah stunting dengan merawat ibu hamil hingga asupan gizi pada anak, serta program sekolah full day dan makan siang gratis hingga SMA. \"Kuliah gratis ini adalah persoalan riil kita sekarang dan ini yang harus menjadi prioritas, kalau kita ingin membangun masyarakat berpengetahuan. Kalau berbicara anggaran, Itu anggarannya bisa kita adakan, yang penting ada political will menjadikannya sebagai prioritas,\" katanya. Sebagai mantan Wakil Ketua DPR yang mengkoordinatori bidang anggaran, Anis Matta mengaku tahu betul bagaimana cara menghemat anggaran negara. Sebab, banyak anggaran tidak berguna yang hanya sekedar buang-buang duit, bisa disisir dan dialihkan untuk program lebih produktif seperti kuliah gratis. Apalagi sejak era reformasi, pemerintah juga telah menetapkan alokasi anggaran yang lebih besar untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen di APBN, sehingga program kuliah gratis tersebut bukan hal mustahil. \"Jadi yang lebih penting itu, bukan sekedar anggaran, tapi political will pemerintah, anggaran bisa menyusul. Sebab, ketika sudah menjadi prioritas, kalau tidak ada anggarannya, kita bikin penghematan di tempat-tempat lain,\" katanya. \"Saya pernah menjadi koordinator anggaran di DPR, bahwa anggaran kita yang tidak efisien tidak efektif itu, terlalu banyak. Kalau kita lebih detil saja, menyisir program-program yang tidak berguna sekedar buang-buang duit, lalu dialihkan semua anggaran itu ke yang produktif, Insya Alah akan ketemu jalannya kebijakan kuliah gratis. Itu bisa, kata kuncinya adalah di political will,\" pungkasnya. (Ida)
Sindir Gimik 'Gemoy', Mahfuz Sidik: PKS Kayaknya Lupa Ingatan?
JAKARTA | FNN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik bereaksi keras menanggapi pernyataan Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman yang menyidir penggunaan gimik \'gemoy\' oleh calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto untuk meraup suara pada Pemilu 2024. \"Saya menduga, PKS ini sepertinya lupa ingatan, kalau mengkritik Pak Prabowo. Padahal di setiap Pemilu, PKS-lah yang paling sering main gimik. Gimik-gimik Itu dibuat langsung secara resmi oleh PKS sebagai partai,\" kata Mahfuz Sidik dalam keterangannya, Selasa (28/11/2023). Menurut Mahfuz, salah satu gimik yang dibuat PKS adalah program SIM seumur hidup dan bebas pajak kendaraan bermotor (STNK) dalam Pemilu 2019 lalu. Gimik ini telah menaikkan suara PKS pada Pemilu Legislatif 2019. \"Mana buktinya, kan nggak ada sampai sekarang. Itu berarti soal SIM seumur hidup itu gimik saja dalam kampanye. Kalau soal gimik, PKS itu ahlinya, bukan Prabowo,\" katanya. Mahfuz juga mengingatkan agar PKS tidak lupa ingatan, bahwa pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 lalu, PKS mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Ketika itu, yang mengarahkan dukungan adalah Sohibul Iman selaku Presiden PKS. \"Jadi kalau PKS sekarang mengkritik Prabowo dibilang tidak punya ide atau gagasan, padahal Pemilu 2014 dan 2019 mengusung calon presiden Prabowo Subianto. Kalau Prabowo tidak punya ide, ngapain didukung dulu sama PKS,\" kilahnya. Dengan dua hal itu, Mahfuz kembali menegaskan, bahwa PKS dan Sohibul Iman lupa ingatan. Ia menilai Sohibul sengaja menebar gimik untuk melakukan serangan secara pribadi kepada Prabowo Subianto, yang dinilai memiliki ide lebih baik dan punya narasi besar dibandingkan capres yang didukungnya. \"Pak Prabowo itu justru capres yang punya ide dan gagasan, dibandingkan capres lainnya. Itu sudah disampaikan dalam berbagai kesempatan sejak dulu. Dalam kampanye juga sudah ada 17 program prioritas Prabowo dan 8 program cepat Prabowo. Itu semua program dan ide, bukan gimik,\" katanya. Sekjen Partai Gelora menegaskan, bahwa gimik \'gemoy\' tersebut bukan berasal dari Prabowo maupun tim kampanyenya, tetapi merupakan penyebutan dari nitizen yang merasa gemas melihat sosok Menteri Pertahanan itu. \"Jadi gemoy itu bukan ide Pak Prabowo, juga bukan dari TKN, itu dari nitizen. Kalau PKS mau marah , silahkan ke nitizen. Kalau marah, marah ke nitizen, nggak perlu buat gimik-gimik, kita tahu siapa PKS,\" pungkas Mahfuz Sidik. Sepertu diketahui, dalam acara \'Kick Off Kampanye Nasional PKS: Road to Final 2024\' di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/11/2023) lalu, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Sohibul Iman menyindir pihak yang menggunakan gimik \'gemoy\' dan \'santuy\' untuk meraup suara pada pemilu 2024 dan tak mau beradu gagasan. \"Sekarang ada istilah gemoy, santuy, seakan-akan yang bisa memimpin negeri ini adalah mereka yang gemoy. Gemoy atau santuy ini tentu sesuatu yang tidak sehat,\" kata Sohibul. (Ida)
UGM Terlambat Hadir dan Mikir
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih Setelah UGM tidur panjang, terasa hadir kembali bermula dari beredarnya hasil sebuah diskusi di Fakultas Hukum UGM, disimpulkan ada lima mitos palsu yang harus dibongkar di era pemerintahan Jokowi. Yakni: satu, Jokowi adalah orang baik. Kedua, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memegang jabatan publik. Ketiga, mitos pemimpin muda. Keempat, perlunya pemimpin tegas, sekaligus “gemoy” untuk menarik pemilih dari generasi Z. Kelima, Presiden netral dalam Pilpres dan Pileg 2024. Senin 27 November 2023 menanggapi hasil diskusi di Fakultas Hukum UGM. Memantik komentar dari kerinduan keberanian UGM yang selama ini terkesan, tidur dan diam tak berkutik dibawah tekanan dan pengaruh rezim Jokowi. Prof Daniel M Rosyid guru besar dari ITS Surabaya, bergumam bahwa Universitas Gajah Muda terlambat lagi, lebih dari 10 tahun. Banyak kampus negeri hanya menjadi kaki tangan penguasa, gagal menjadi _whistle blower_ atau simpul peringatan dini deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak saja sejak reformasi, bahkan sejak Orde Lama. Sudah sepuluh tahun terakhir ini, politik praktis makin merasuki kampus. Senat Akademik makin _losing touch_ dengan dunia etika. Majelis Wali Amanah makin _losing grip_ dengan amanat penderitaan rakyat. Gaung bersambut DR. Sri Bintang Pamungkas aktifis kawakan sepanjang masa, tak kuasa menahan nalar analisa kritiknya yang biasa muncul tepat pada momentumnya bahwa Selain terlambat 10 tahun, Gajah Mada sebagai sumber ilmuan kok baru bisa bikin analisis seperti ini. Bahkan lebih tajam mengatakan analisis ini miskin pandangan dan dasar berpikir. Sebab salah memilih pemimpin tidak hanya terjadi dimasa Jokowi tetapi pada masa masa sebelumnya. Semua kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kita semua bangsa Indonesia yaitu : Pada saat saat genting kita terlalu permisif , gampang memaafkan bahkan lebih fatal sering menghindar dari masalah yang sedang membelit dan membahayakan \"biarin saja - usah ikut ikutan, kita netral saja.\" Takut kepada penguasa sekalipun dzalim, bego, bodoh dan ugal ugalan, jangan melawan, takut resiko tidak kebagian, resiko benturan dan akibat tekanan lainnya. Bahkan berdalih agama cepat menyerah bahwa semua kejadian telah menjadi takdirnya. Sebagai kawulo alit ( rakyat kecil ) harus manut mituhu ( taat total ) kepada penguasa. Analisa diatas mengingatkan kita peringatan lama bahwa sebagian bangsa Indonesia masih berjiwa terjajah persis seperti yang dikatakan Gubernur Jenderal De Jonge di tahun 1930-an masih juga berkata, Belanda akan menjajah 300 tahun lagi. Lemahnya mentalitas bangsa ini yang mudah dipecah-belah adalah “bangsa yang paling lunak di dunia” Sun Yat Sen mengatakan Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana. Apaka Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat _\"A sheet of looses sand\"_ . Saat ini anehnya mental penindas justru muncul muncul penguasa yang bermental jongos dan budak dan boneka Oligargi dan kekuasaan besar dari luar dirinya. Pemunculan pikiran dari UGM yang mulai berani mengkritik pemerintah sekalipun selama ini terkesan terlambat hadir dan mikir, semoga menjadi awal kebangkitan perubahan di Indonesia **
Perpanjangan Izin Usaha (IUPK) Freeport Sampai 2061 Melanggar Hukum dan Konstitusi
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Di tengah kunjungannya ke Amerika Serikat, Jokowi menjamu Chairman dan CEO Freeport-McMoran Inc., Richard Adkerson, di hotel Waldorf Astoria, Washington DC. Entah apa yang dibicarakan. Yang pasti, patut diduga keras, salah satunya terkait perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia (Freeport), yang masa berlakunya baru akan berakhir pada 30 Desember 2041. Masih 18 tahun lagi. Masih sangat lama. Tetapi, Jokowi berniat memperpanjang izin usaha Freeport tersebut secepatnya, mungkin dipaksakan pada tahun ini juga, untuk 20 tahun ke depan sampai 2061. Kalau benar terjadi, perpanjangan izin usaha Freeport tersebut melanggar hukum, dan juga melanggar konstitusi. Alasannya sebagai berikut. Pertama, perpanjangan izin usaha (IUPK) Freeport melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 96 tahun 2021 yang mengatakan, perpanjangan IUPK hanya bisa dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun atau paling lambat 1 (satu) tahun sebelum masa berlaku izin usaha berakhir. Sehingga, memperpanjang masa berlaku izin usaha Freeport, yang baru akan berakhir 18 tahun lagi, 30 Desember 2041, jelas melanggar Pasal 109 ayat (4) PP dimaksud. Kedua, berdasarkan PP tersebut, izin usaha Freeport baru bisa diperpanjang paling cepat 30 Desember 2036, oleh Presiden pada saat itu, yaitu Presiden periode 2034-2039. Oleh karena itu, apabila Jokowi memperpanjang izin usaha Freeport yang seharusnya dilakukan oleh Presiden periode 2034-2039, maka Jokowi melangggar, dan merampas, wewenang Presiden yang akan datang. Artinya, Jokowi melanggar Pasal 7 UUD yang menyatakan “Presiden memegang jabatan selama lima tahun”. Dalam hal ini, Jabatan Jokowi hanya sampai 20 Oktober 2024. Karena itu, tidak boleh merampas wewenang Presiden periode 2034-2039. Ketiga, perpanjangan izin usaha pertambangan (IUPK) hanya boleh dilakukan 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sehingga, memperpanjang IUPK sekaligus 20 (dua puluh) tahun, dari 2041 sampai 2061, jelas melanggar Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021, dan juga Pasal 83 huruf f UU No 3/2020 tentang Minerba. Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021 menjelaskan “Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi …. dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.” Pasal 83 huruf f UU No 3/2020: Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok Usaha Pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi “jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam … dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun …. Keempat, izin usaha Freeport sudah dikonversi dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 17 Februari 2017, yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 (sesuai sisa masa berlaku KK). Freeport kemudian sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sampai 2041, pada 21 Desember 2018. Tentu saja, perpanjangan izin usaha Freeport selama 20 tahun ini juga melanggar peraturan dan undang-undang, karena perpanjangan hanya dapat diberikan maksimal 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 83 huruf g UU No 23/2009 yang berlaku ketika itu berbunyi, “jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam …. dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Setelah mendapat perpanjangan 2 (dua) kali, atau maksimal 20 tahun, IUPK tidak bisa diperpanjang lagi dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Pasal 72 ayat (6) PP No 23/2010 berbunyi “Pemegang IUPK Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, wajib mengembalikan WIUPK Operasi Produksi kepada Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Freeport sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sam pai 2041. Oleh karena itu, izin usaha Freeport tidak bisa diperpanjang lagi, dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Karena itu, memperpanjang IUPK Freeport sampai 2061 melanggar UU, dan sekaligus merugikan keuangan negara. https://www.liputan6.com/amp/3854290/dikuasai-indonesia-kontrak-freeport-diperpanjang-hingga-2041 Jokowi berdalih, perpanjangan IUPK Freeport, dibarter dengan penambahan kepemilikan saham pemerintah di Freeport sebesar 10 persen, sehingga total saham pemerintah menjadi 61 persen terhitung 2041, seolah-olah menguntungkan pihak Indonesia. Padahal sebaliknya, sangat merugikan. Karena seluruh daerah pertambangan Freeport pada 2041 seharusnya kembali menjadi milik Indonesia 100 persen. Bukan 61 persen. Apakah Jokowi tidak mengerti, atau memang berniat berbohong? Bisa saja, perpanjangan IUPK Freeport ini untuk menutupi potensi kerugian pengambilalihan saham freeport pada 2018 menjadi 51 persen, dengan nilai akusisi 3,85 miliar dolar AS. Selain itu, Jokowi seharusnya juga tidak berwenang memperpanjang izin usaha Freeport sampai 2041 pada 2018 yang lalu. Karena menurut peraturan yang berlaku ketika itu, perpanjangan IUPK hanya boleh dilakukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum masa berlaku IUPK berakhir. Dalam hal ini, perpanjangan izin usaha Freeport paling cepat dilakukan pada 30 Desembetr 2019. Sedangkan, jabatan Jokowi ketika itu akan berakhir pada 20 Oktober 2019. Kalau Jokowi tidak terpilih lagi pada pilpres 2019, maka wewenang memperpanjang IUPK Freeport yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 ada di Presiden berikutnya, periode 2019-2024. Tetapi, wewenang ini diambil Jokowi dengan menetapkan PP No 1/2017 yang mempercepat perpanjangan IUPK, dari paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan menjadi paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun, sehingga memungkinkan Jokowi bisa memperpanjang izin usaha Freeport pada Desember 2018. Percepatan perpanjangan izin usaha tersebut pada hakekatnya mengambil wewenang Presiden berikutnya, dan termasuk kebijakan bersifat koruptif karena menguntungkan pihak Freeport. Karena itu, DPR wajib menyelidiki apa motif Jokowi yang sebenarnya terkait penetapan PP No 1/2017, yang pada intinya memaksakan agar Jokowi dapat memperpanjang izin usaha Freeport, yang sebenarnya bukan wewenangnya sebagai Presiden periode 2014-2019? (*)
Anis Matta Yakin Pemilu 2024 akan Jauh Lebih Damai Dibandingkan Pemilu 2019
Jakarta | FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, Pemilu 2024 akan jauh lebih damai dibandingkan pelaksanaan pemilu sebelumnya, terutama Pemilu 2019. \"Saya yakin betul Pemilu 2024, Isya Allah jauh berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 terutama dari sisi keamanan juga dari sisi penegakan hukum,\" kata Anis Matta dalam keterangannya, Senin (27/11/2023). Menurut Anis Matta, Pemilu 2024 lebih terbuka dan memungkinkan adanya kontrol publik yang kuat apabila terjadi kecurangan dalam proses Pemilu. \"Karena itu, saya yakin bahwa Pemilu kita kali ini agak jauh lebih damai dan jauh lebih terbuka. Kontrol publik atas kemungkinan terjadinya kecurangan atau pelanggaran dalam proses Pemilu juga juga jauh lebih kuat,\" katanya. Anis Matta berharap agar semua pihak menyambut Pemilu 2024 ini dengan suka cita dan gembira. Sehingga pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan damai, terbuka dan adil. \"Mudah-mudahan kita menghadapi Pemilu 2024 ini, dengan hati yang lapang, dengan hati riang gembira, dan semangat menyelenggarakan Pemilu ini secara damai, terbuka dan adil,\" pungkas Anis Matta. Pada Senin (27/11/2023), Badan Pangawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menggelar acara Deklarasi Pemilu Damai yang dihadiri para pimpinan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 dan tiga kandidat pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presifen (cawapres). Deklarasi Pemilu Damai Bawaslu digelar di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, sekaligus menjadi Rapat Koordinasi Nasional Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam mempersiapkan penyelenggaraan Kampanye Pemilu 2024. Sementara acara Deklarasi Kampanye Pemilu 2024 Damai digelar digelar di Halaman Kantor KPU RI, Jakarta Pusat. Sebab, KPU akan memulai jadwal masa kampanye mulai dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 mendatang. Anis Matta terlihat hadir dalam Deklarasi Pemilu Damai yang diadakan Bawaslu. Anis Matta didampingi Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik dan Bendahara Umum Achmad Rilyadi. Namun, saat Deklarasi Kampanye Pemilu 2024 Damai di KPU ini, Partai Gelora diwakili oleh Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik. Dalam kesempatan ini, Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik menandatangani Deklarasi Kampanye Pemilu 2024 Damai. Selain itu, tiga pasangan capres-cawapres juga mendatangani Deklarasi Kampanye Pemilu 2024 Damai. Sebelumnya, di Bawaslu mereka juga menandantangani Deklarasi Pemilu Damai Partai Gelora sendiri menjadi peserta Pemilu 2024 dengan nomor urut 7. Sedangkan pasangan capres-cawapres yang didukung dalam Pilpres 2024, adalah pasangan nomor urut 2, yakni pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (Ida)
Menggugat Mitos Penguasa Selalu Benar
Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH | Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM Institute) Ada 4 (empat) syarat pembentukan sebuah negara menurut Hans Kelsen dalam bukunya “Teori Negara” yaitu ; Ada rakyat, wilayah, pemerintahan, dan hukum. Karena dalam pembentukan negara butuh kesepakatan, konsensus dan pengakuan baik dari dalam diri organisasi (struktur negara)nya, maupun dari pengakuan negara lain (dunia internasional). (Hans Kelsen. “Teori Negara”. Buku Kesatu. 1980). Di era kontemporer saat ini sistem kekaisaran, imperium dan kekhalifahan tidak ada lagi. Dalam konsepsi “Nation State” (negara bangsa) yang “dimodernisasi kembali” dan diprakarsai oleh seorang tokoh Yahudi bernama Theodre Hezle, menyatakan bahwa masing-masing negara saat ini dibedakan berdasarkan bentuk pemerintahannya. Ada yang berbentuk Monarki Absolute (tunggal), Monarki Konstitusi, Republik, dan Protectorat Country. Demikian juga dalam dalam rekruitman kepemimpinan nasional negaranya. Ada yang berdasarkan garis keturunan raja (Monarki Absolute) untuk kepala negaranya dan ada juga yang melalui pemilihan umum untuk negara yang menganut paham demokrasi. Baik itu untuk pemilihan kepala negaranya maupun kepala pemerintahannya. Pertanyaannya, kenapa setelah ribuan tahun dunia ini dipayungi oleh sistem pemerintahan berbentuk kekaisaran, raja, dan kekhalifahan, banyak berubah total menjadi bagian-bagian kecil negara berbasis kebangsaan? Salah satu jawabannya itu adalah agar terjadi pembahagian kekuasaan dalam pengelolaan pemerintahan organisasi bernama negara. Dimana rakyat tidak saja hanya menjadi objek kekuasaan, tetapi juga mempunyai kedaulatan (khidmad) dalam memperoleh hak dan dan kewajibannya secara berkeadilan. Karena di dalam sistem Monarki (di era sebelumnya) rakyat harus dan wajib tunduk kepada seorang Raja, dan sulit untuk mendapatkan hak-hak serta perlindungan dirinya ketika Sang Raja berkonspirasi (jahat) sekalipun. Untuk itulah lahir konsepsi negara dengan sistem demokrasi sebagai salah satu alternatif dimana suara rakyat adalah suara Tuhan (Voc Populi Vox dei), dengan proses perekrutan kepemimpinan nasionalnya melalui pemilihan umum (suara pilihan rakyat). Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa, konsepsi “nation state” ini adalah bentuk taktik strategi kelompok elit global yahudi dalam “mempreteli” konsepsi kekuasaan yang terintegrasi berbasis keagamaan seperti imperium, kekaisaran, dan ke khilafahan. Karena, elit global juga punya agenda untuk mendirikan konsepsi “The new world order” (sebuah tatanan baru dunia), yang tunduk dalam satu tatanan yang mereka buat, dan mengenyampingkan agama dari kekuasaan. Konsepsi ini juga yang mempengaruhi terbentuknya negara kita Indonesia. Dimana dahulunya sebelum negara ini terbentuk, nusantara ini selama ribuan tahun lamanya juga hidup dalam suasana kerajaan-kerajaan. Yang diperintah oleh seorang Sulthan dan Raja. Jadi wajar, dalam perilaku sosial kadang kala baik rakyat dan pemimpinnya, secara genetis dan psikologis budaya masih bersifat feodalistik ala kerajaan. Padahal, negeri ini sudah 78 tahun berubah menjadi negara Republik. Akar budaya feodalistik ini juga yang sesuai judul kita di atas, kadang kala dimanfaatkan oleh kelompok elit politik untuk memanipulasi kekuasaannya agar tetap terus eksis mendapatkan legitimasi untuk melakukan apa saja dengan instrumen kekuasaannya. Dengan mengatasnamakan “Pemerintahan yang sah”, namun bukan berarti pemerintahan yang benar? Padahal, di dalam negara demokrasi itu, kedaulatan tertinggi itu berada di tangan rakyat. Owner dan komisaris dari negara ini adalah rakyat. Karena juga secara sejarah, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang diperjuangkan, dan didirikan sendiri oleh rakyatnya melalui perang dan senjata. Meskipun dengan mengorbankan harta dan nyawa dari pada pendahulu kita. Indonesia sebagai negara yang telah menobatkan dirinya sebagai negara Demokrasi, seharusnya sudah jauh dari perilaku kuno pemerintahan yang anti kritik, anti perbedaan, diskriminatif, sifat otoritanisme yang selalu menggunakan tangan aparat keamanan untuk melindungi kepentingan penguasanya. Bahkan, di dalam demokrasi itu, salah satu kemewahan rakyat itu adalah dapat mengkoreksi langsung pemimpinnya yang dianggap gagal dan tidak becus menjalankan amanah pemerintahannya. Dalam konteks Indonesia, semua itu sudah dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU HAM Tahun 1999. Namun faktanya hari ini, apalagi semenjak era Joko Widodo ini jadi presiden periode kedua. Semua tatanan demokrasi itu dirusak dan dihancurkan dari segala lini. Tak ada lagi pembahagian kekuasaan (Trias Politika) di negara kita. Karena semuanya sudah “berselingkuh” dengan kekuasaan. Padahal, Trias Politika itu adalah instrumen utama dari pemerintahan negara demokrasi. Demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia adalah demokrasi manipulatif. Demokrasi semu administratif prosedural saja. Memang ada Pemilu dan Pilpres, namun kualitas kejujurannya sangat jauh dari harapan. Karena penuh dengan hawa dan bau kecurangan dan kejahatan demokrasi. Memang dalam tampilannya Joko Widodo ini begitu sangat sederhana, merakyat, ndeso dan penuh puja puji media. Namun faktanya, hampir semua kebijakan strategis yang diambil lebih banyak menguntungkan kelompok coorporate oligarkhi, elit politik kelompoknya. Lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Law, dan UU tentang IKN adalah fakta konkritnya. Keberhasilan Joko Widodo tak lebih dari sikapnya yang mampu mengkonsolidasikan instrumen kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bahkan PDIP yang menjadi partai politik pengusung utamanya pun saat ini “gigit jari” ditinggalkan. Maka jadilah hari ini, seorang Joko Widodo menjelma menjadi seorang Presiden dengan kekuasaan full power. Seolah tanpa batas. Sebuah basis kekuasaan yang di bangun atas dasar “populis otoritarianisme”. Namun di sinilah letak kekeliruan Joko Widodo dan juga “kenaifan” masyarakat Indonesia. Karena kita lupa bahwa, kekuasaan yang saat ini ada di tangan Joko Widodo itu adalah “pinjaman”, yang bersifat sementara sesuai dengan jangka waktu masa jabatannya. Oktober tahun depan, kekuasaan Joko Widodo harus segera di kembalikan kepada rakyat, dan pemenang Pilpres. Artinya, kekuasaan Joko Widodo tidak absolute seperti tahta kerajaan. Bahkan, kalau seorang Joko Widodo apabila melanggar konstitusi dan melakukan perbuatan tercela, maka kekuasaannya bisa ambil kembali. Sesuai dengan pasal 7 UUD 1945. Kenapa semua itu bisa terjadi, salah satunya adalah karena secara genetis DNA, budaya kultural feodal masyarakat kita masih sangat tinggi. Budaya kultural era kerajaan Majapahit masih melekat dalam psikologi prilaku budayanya. Yaitu : Menganggap penguasa (raja/presiden) itu selalu benar, manusia setengah dewa, yang “pasti baik” dan wajib dita’ati. Atau dengan istilah sandiko Prabu. Ditambah lagi pengaruh spritualitas keagamaan yang mayoritas Islam, dimana di dalam ajaran Islam juga ditekankan adanya ke ta’atan terhadap pemimpin (ummaroh) dan imam. Atau dengan istilah “sami’na wa atokna”. Apalagi mesti kita akui bersama, kepiawaian seorang Joko Widodo memainkan pencitraan media, dengan konsepsi logical fallacy. Sehingga, masih banyak masyarakat dan elit pemimpin begitu “tunduk” dan malah takut pada sosok Joko Widodo. Sedangkan keta’atan, ketunduk-an yang di maksud dalam Islam itu adalah, selagi seorang pemimpin itu tidak melakukan ke ingkaran dan melakukan kerusakan akidah secara terang/terangan. Ada batas dan nilai yang mengaturnya. Padahal juga, di dalam dunia politik bernegara. Mitos penguasa selalu benar itu sungguh sangat “naif” sekali. Karena, kepemimpinan di dalam negara demokrasi itu diperoleh melalui prosedur politik. Yang di dalamnya penuh dengan trik intrik manipulatif, yang tidak peduli nilai, norma dan moralitas. Pemimpin dalam negara demokrasi, sejatinya antitesa dari potensi konspirasi negara monarki. Namun jangan salah, meskipun sudah menjadi negara demokrasi, potensi konspirasi yang dilakukan oleh sekelompok oligarkhi juga bisa terjadi. Toh di dalam dunia pencitraan, semuanya bisa disulap. Melalui ilmu logical fallacy, kebenaran objective bisa dikalahkan oleh prasangka keyakinan subjective. Orang baik bisa disulap menjadi orang jahat, dan orang jahat bisa disulap jadi orang baik bak malaikat. Hal ini yang mesti disadari masyarakat Indonesia adalah masyarakat harus kritis, logis, realitis dalam melihat fenomena yang terjadi di tubuh pemerintahan. Khususnya pada aparatur negara, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN. Pahami hal ini dengan baik dan benar. Karena saat ini kita sudah menjadi negara moderen bukan era kolonialisasi dan kerajaan lagi. Yang harus menjilat-jilat pada atasan asal dapat jabatan, namun rela mengenyampingkan integritas dan harga diri kepada kekuasaan sesa’at. Akhirnya rakyatlah yang kembali bisa mengawasi langsung, mempelototi setiap gerik pemerintahan ketika fungsi-fungsi trias politika dilumpuhkan. Rakyat sebagai kekuatan “civil society” harus mempunyai keberanian, literasi, ghiroh, dan kesadaran kolektif untuk mengkoreksi penguasa hari ini. Penguasa yang setiap lima tahun di pergilirkan melalui Pemilu. Sebagai negara demokrasi, kepentingan rakyat harus di atas segalanya. Pemerintah adalah pelayan rakyat. Penguasa hari ini seperti Joko Widodo juga akan berakhir masa jabatannya. Tak ada yang abadi. Matahari pun akan tenggelam menuju malam. Itulah indahnya demokrasi, karena ada selalu jangka waktu pergantian kekuasaan. Agar, ketika ada penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya maka tidak akan bisa bertahan lama. Rakyat bisa menggantinya baik dalam pilihan atau, melakukan perlawanan bahkan pembangkangan kalau penguasa hari ini melanggar konstitusi. Di dalam negara demokrasi (negara moderen) ini, kuncinya ada pada kekuatan civil society. Kalau rakyatnya sendiri rapuh, berpecah belah, maka anasir anasir jahat elit koorporasi (oligarkhi) pasti akan memanfaatkan momentum ini untuk terus menancapkan hegemoni kekuasaanya melalui proxy-proxy nya yang sudah dibentuk. Artinya, mitos seolah penguasa itu selalu benar, harus ditinggalkan. Karena itu adalah cara berpikir “jadul” dan feodalistik. Itu sama saja kita mundur jauh kebelakang. Karena yang benar itu adalah, terikat dengan nilai (Value) bukan dengan figur sosok maupun jabatan. InsyaAllah. (*)
Fahri Hamzah: Politik Aliran Tak Ada Untungnya, Harus Diakhiri!
JAKARTA | FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menyebut jika politik aliran dan ekstrim kiri-kanan dalam politik Indonesia, harus diakhiri. Alasannya, karena praktik politik seperti itu, tidak berdasar dan tidak menguntungkan secara nasional. \"Saya adalah korban dari politik aliran dan pembelahan ekstrim pada 2 (dua) pemilu terakhir,\" ungkap Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, Selasa (28/11/2023). Karenanya, menurut Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 itu, diperlukan intrupsi sebagai rekonsiliasi, terutama elit dan bangsa Indonesia untuk menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka. \"Dan untuk itulah, saya mendukung rekonsiliasi Prabowo-Jokowi pasca Pemilu 2019. Kita harus akhiri pertempuran ekstrim di kiri-kanan,\' tegas Fahri lagi. Banga Indonesia, lanjut Fahri, harus menjadi moderat, ke tengah, berlabuh dan bersatu membangun negara yang kuat. Selain itu, semua pihak juga harus bersyukur sekarang, karena ketegangan seperti ini tidak terlalu besar. Namun, untuk itulah rekonsiliasi bangsa diperlukan dan mengakhiri konflik partisan dan politik aliran. \"Kita harus bersatu mendukung Pak Jokowi-Prabowo untuk menyatukan bangsa kita ke depan,\" demikian Caleg DPR RI dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I itu. (Ida)
Netralitas Pemilu Butuh Peran Masyarakat Sipil untuk Awasi Kerja KPU dan Bawaslu
Jakarta | FNN - Jelang dimulainya musim kampanye Pemilu 2024, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengajak masyarakat untuk mengawasi kerja-kerja lembaga penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu untuk tidak memberi keistimewaan pada paslon tertentu. \"Maka yang harus didorong adalah Bawaslu, harus memainkan peranan untuk menjalankan tugas, mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan dan tidak memberi keistimewaan kepada calon tertentu atau membiarkan pelanggaran itu terjadi,\" tegas Romo Benny di Jakarta, Senin (27/11/2023). Pemilu yang Jurdil, jujur dan adil, hanya mungkin terjadi kalau kita bersama-sama mengawasi jalannya pemilu yang jujur, adil dan transparan dengan mengawasi penyelenggara pemilu agar bertindak netral dan tidak berpihak. \"Jadi, Bawaslu harus berperan secara aktif, kalau Bawaslu tidak aktif, maka masyarakat harus mengingatkan, menegur, mengkritik, bahkan bisa memberikan mosi tidak percaya kepada Bawaslu karena Bawaslu tidak menjalankan tugasnya dengan benar,\" tambah Romo Benny. Tugas pengawasan berlapis, oleh Bawaslu itu sendiri selaku penyelenggara maupun masyarakat sipil harus dilakukan demi keadaban bangsa dan terciptanya sebuah pemerintahan yang memiliki trust di mata rakyat. \"Kalau pemilu tahun ini dipenuhi dengan kecurangan, ketidakbahagian publik, dan pemilu itu penuh dengan cacat, maka jalannya pemerintahan akan terganggu, maka jangan kita mempermainkan pemilu dengan menggunakan cara-cara yang penuh manipulatif,\" jelas Romo Benny. Jika semua pihak berkomitmen untuk menjaga jalannya pemilu yang Luber-Jurdil, maka netralitas bukan sekadar jargon, sehingga Pemilu dapat menjadi pesta demokrasi yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Romo Benny, yang juga rohaniawan Katolik ini menambahkan, elemen masyarakat di sini termasuk tokoh agama. \"Peranan tokoh agama memberikan kesejukan, pendidikan politik, dan paling penting bagaimana tokoh agama memberikan kesejukan dan tidak memprovokasi, tetapi memberikan kecerahan, agar pemilu yang adil dan damai, dan kita bersama-sama mengawalnya,\" pungkasnya berharap. Sementara itu, Ketua PBNU KH Ahmad Fahrurrozi (Gus Fahrur) berharap para penyelenggara pemilu mengedepankan kejujuran dalam menjalankan tugas. \"Ya kita sangat berharap dan mengimbau bahwasanya kejujuran itu modal utama dalam bernegara. Kunci keselamatan itu kejujuran. Makanya kita berharap semuanya mengutamakan kejujuran, hati nurani, agar terpilih pemimpin yang kredibel,\" katanya. Jaga Legitimasi Pemilu Menurut Gus Fahrur, ketika proses pemilihan pemimpin melanggar aturan dan tidak sesuai asas luber dan jurdil, maka akan menghasilkan pemimpin yang kurang legitimasi. \"Kalau prosesnya ada yang tidak benar, itu kan kurang legitimate di masyarakat. Oleh karena itu kita berharap penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, semua yang terlibat berkomitmen bersama-sama dalam menjalankan amanah rakyat ini,\" tandasnya. Ia juga meminta masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pemilihan umum. Menurutnya, jika masyarakat abai terhadap pemilu, maka justru mereka yang merugi karena mendapat pemimpin dan pemerintahan yang kurang kredibel dan terlegitimasi. \"Semua harus terlibat. Justru kalau kita tidak ikut aktif mengawasi, mengawal proses ini, ya kita akan rugi lima tahun,\" tegasnya. Karena itu, Gus Fahrur meminta agar publik tidak pesimistis di tengah isu kecurangan dan ketidaknetralan Pemilu 2024. \"Justru kita harus, ini kewajiban, untuk ikut dalam mengawasi. Jangan pesimistis, kita masih yakin masih banyak orang yang mempunyai hati nurani,\" pungkasnya. (Sur)
Perang Dian Piesesha Setelah Gagal Jadi Tentara
DIAN PIESHESA, jelas sudah banyak berubah. Tapi jangan salah. Penyanyi yang ngetop pada tahun 80-an hingga 90-an ini, masih memiliki suara emas. Buktinya, di usia yang sudah tak bisa dibilang muda lagi, pemilik nama asli Diah Daniar ini, masih kebagian manggung. Pada 27 Januari 2024, misalnya, Dian Piesesha mengadakan konser bertajuk “Bunga- Bunga Rindu Intimate Concert\". Konser ini digelar di Ballroom The Acacia Hotel & Resort, Jalan Kramat Raya No 73, Jakarta Pusat. Dia adalah pemilik suara sendu dengan ciri khas pop tersendiri. Boleh jadi inilah yang menjadikannya digemari banyak orang. Karya-karyanya terus mengalir, mulai dari album pop, album daerah, keroncong hingga religi. “Kita ini dalam kondisi perang,” sergah nenek kelahiran Bandung, 9 Maret 1960, ini ketika ditanya aktivitasnya di Granat alias Gerakan Nasional Anti Narkotika. “Jika negara lain perang dengan senjata beneran kita memerangi narkoba,” imbuhnya serius. Nah, di situlah antara lain perubahan Dian Piesesha: ibu dengan dua orang anak dan nenek dengan dua orang cucu itu. Soal perang, Dian Piesesha tidak sedang mengada-ada. Badan Narkotika Nasional atau BNN mengungkap ada 49 jaringan narkotika internasional dan nasional yang telah menyasar seluruh kalangan di desa dan kota di Indonesia. Prevalensi pengguna narkoba menunjukkan peningkatan mencapai 4,8 juta orang. Sementara pada periode 2021-2023, BNN sudah menyita sekitar 5,6 ton sabu, 6,4 ton ganja, dan 454.475 butir ekstasi. Dari jumlah barang bukti itu, memperlihatkan ada peningkatan prevalensi pengguna narkoba di Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Drugs Report 2022 Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN, pada 2019, prevalensinya sebesar 1,80 persen. Lalu 2021 sekitar 1,95 persen atau naik 0,15 persen. Total dari rentang usia 15-64 tahun, ada sekitar 4,8 juta penduduk desa dan kota pernah memakai narkoba. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 4,5 juta penduduk. Pada peta rawan narkotika, ada total 8.002 kawasan. Angka ini sudah turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 8.691 kawasan. “Kita harus menyadarkan anak-anak muda kita agar menjauhi narkoba,” ujar Dian Piesesha yang saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris DPP Granat dalam bincang-bincang lewat podcast bersama Henry & You Channel. 3 Juta Keping Pada era 80an nama Dian Piesesha cukup dikenal di Nusantara bahkan di negeri tetangga. Kala itu, ia adalah sosok artis yang diperhitungkan. Album singlenya yang dirilis pada tahun 1984 berjudul \"Tak Ingin Sendiri\" ciptaan Pance Pondaag, kasetnya mampu terjual hingga menembus 3 juta keeping. Ini merupakan prestasi yang sangat gemilang pada saat itu. Dian Piesesha berkisah mulai terjun ke dunia tarik suara pada tahun 1979. Album pertamanya dibuat di bawah label Surya Emas Records. Dari sana, lantas ia berpindah label ke JK Records (1982). Di sini ia lebih banyak merilis album pop daerah dan keroncong. \"Saya ini hanya punya 22 album dari awal berkarir menjadi penyanyi. Dibandingkan penyanyi seangkatan dengan saya mengeluarkan album dua tahun sekali. Kalau yang lain bisa 6 bulan sekali. Genre musiknya pun macam-macam, dari pop, keroncong dan lagu melayu,\" kenang Dian Piesesha dalam obrolan di Kampoeng Kopi, Kemang, Jakarta Selatan tersebut. Ia mengungkap rekaman dalam satu shift menyelesaikan 4 sampai 6 lagu. Dian banyak membawakan lagu-lagu karya Pance dan Wahyu OS. “Saya diberi kebebasan untuk memilih lagu oleh Pak JK,” tambahnya. Dia lumayan selektif dalam memilih lagu yang akan dia bawakan. “Saya tidak mau lagu yang syairnya aneh-aneh,\" jelasnya. Lebih jauh lagi, Dian mengaku, dulu bercita-cita menjadi tentara. Tidak suka menyanyi. Cita-cita itu berbelok ketika bertemu teman-teman musisi di kota Bandung, terutama Band Djibril. \"Lewat Kang Daniel saya rekaman lagu Melayu sampai menghasilan dua album,” kenangnya lagi. Suatu ketika teman-teman musisi melihat Dian membawakan lagu pop. Dianggap cocok, sehingga mendorong Maxi Mamiri membuatkan lagu bergenre pop untuknya. “Jadilah saya penyanyi pop,” imbuhnya. Dian yang sering bernyanyi di tengah-tengah pasukan Kopassus di masa mudanya itu merasa bersyukur atas apa yang telah dicapai. Ia mengaku menjadi hidup tak seambisi dulu. Ingat usia. Sekarang semua diniatkan untuk ibadah. RUL/Dimas Huda Wawancara lengkap dengan Dian Piesesha bisa ditonton di YouTube channel Henry & You. Diskografi Dian Piesesha Katakanlah Sayang (1979) | Pop Indonesia (1980) | Volume 2 (1981) | Aku Cinta Padamu (1982) | Bara Api Senyummu (1983) | Perasaan (1984) | Tak Ingin Sendiri (1984) | Engkau... Segalanya Bagiku (1986) | Mengapa Tak Pernah Jujur (1987) | Kucoba Hidup Sendiri (1988) | Pernahkah Kau Berdusta (1990) | Pop Keroncong: Walau Hati Menangis (1991) | Pengorbanan di Atas Segalanya (1991) | Aku Salah Menduga (1992) | Kau, Kusayang (1994) | Pop Sunda: Kabaya Beureum (1995) | Pop Keroncong: Kasmaran (1995) | Cinta Semakin Berarti (2000) | Pop Sunda: Hamdan (2003) | Kerinduan (2006) | Sahara (2012) | Aku Ingat Dirimu (2016) | Lembayung Ungu (2019)