ALL CATEGORY
Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri
Oleh Artha Siregar +Analis Politik Keamanan, Peneliti Indonesia Future Studies) KASUS Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari keresahan publik terhadap institusi Polri belakangan ini. Sebelum kasus kematian Brigadir J, polisi memang sudah sering menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus. Dimulai dari tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, hingga sikap dalam merespons kasus. Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020 hingga agenda perpanjangan masa jabatan presiden, polisi cenderung merespons demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan. Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK pada 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa yang berdemonstrasi. Tindakan represif polisi juga kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di Desa Wadas polisi menangkap secara sewenang-wenang sekitar 60 warga sipil yang menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban tewas dari masyarakat sipil yang berdemonstrasi karena diduga ditembak oleh polisi. Terkait respons terhadap laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik publik karena dianggap membiarkan beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di media sosial. Kemudian diikuti kasus-kasus terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan seperti menjadikan korban begal yang membela diri sebagai tersangka di NTB, serta insiden salah tangkap seorang guru ngaji yang dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi. Fenomena-fenomena tersebut terjadi di antara individu, rentang waktu, dan wilayah yang berbeda, namun respons atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B. Taylor menyebutkan bahwa budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum dan tradisi yang diterima oleh individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari satu generasi ke generasi lain. Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respons dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum. Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan. Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang. Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan. Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik. Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power. Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias. Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan. Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri. Bersikukuh melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas. Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekadar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.
Surat Terbuka untuk Fadel Muhammad
Jakarta, FNN - Seorang anak muda menulis surat terbuka untuk Senator asal Gorontalo, Fadel Muhammad, pasca direcall dari MPR. Berikut surat lengkapnya: Kepada yang Terhormat Fadel Muhammad (Senator Gorontalo) Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Di momen-momen peringatan Hari Proklamasi Indonesia ke-77, kutuliskan surat ini setelah mendapat kabar dari Senayan. Bahwa telah bergulir mosi tidak percaya. Dilayangkan kepada Bapak Fadel Muhammad. Saya perihatin. Kendati demikian, saya sebetulnya tidak terkejut membaca berita ini. Kita semua tahu, rotasi jabatan dalam politik adalah hal biasa dan wajar-wajar saja. Tak perlu masygul. Toh, jabatan itu soal menitipkan kepercayaan. Kapanpun bisa diambil kembali oleh yang menitipkan. Bapak Fadel yang kami banggakan. Saya mengenal Anda di era Persiden SBY. Ketika itu, Bapak tampil impresif meladeni wawancara awak media. Menyandang jabatan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Setelah itu, rasanya tak ada lagi kabar saal Bapak Fadel Muhammad. Kecuali diselingi ketika berita anda reshuffle kabinet. Lama berselang, hingga baru hari ini saya mendegar kembali nama Bapak. Rupanya sejak tahun 2019 dititipkan kepercayaan sebagai Wakil Ketua MPR RI oleh sejawat anda para Senator DPD. Kemana saya selama ini? Sampai-sampai baru pada tanggal 18 Agustus kemarin mendengar lagi nama Bapak. Dalam kasak kusuk pemberitaan penarikan kembali (re-call) dari kursi pimpinan majelis yang terhormat. Pertanyaan ini sebenarnya juga berlaku untuk Bapak. Kemana Bapak selama ini? Benarkah kabar burung itu jika anggota legistlatif hari ini lebih sering ke luar negeri. Memilih intensif beranjangsana bersama keluarga, ketimbang pulang ke dapil? Dari 34 daerah, kami mandatkan harapan-harapan kami kepada para Senator di Senayan. Kami sangat bahagia melihat performa lembaga DPD periode ini. Lebih berdaya dan menyala-nyala. Menunjukkan marwah sebagai lembaga perwakilan rakyat. Rasanya baru kali ini parlemen menjalankan fungsi check and balances tanpa tedheng aling-aling. Meski, perwakilan DPD di MPR, dalam hal ini jabatan Wakil Ketua MPR yang anda emban, terdengar sayup-sayup. Sehingga terasa ada nyala DPD yang belum paripurna. Karena itu, saya meyakini keputusan forum tertinggi sidang paripurna untuk merotasi pimpinan MPR dari unsur DPD adalah keputusan startegis untuk meningkatkan kinerjanya. DPD, dalam semua aspek harus tampil paripurna. Tidak setengah-setengah. Maka wajar, jika ada perasaan mengganjal para Senator yang tadinya menitipkan kepercayaan pada anda. Amanah itu ditarik kembali. Sebagai seorang politisi senior, kami tahu betul jika Bapak pasti lebih paham dan berpengalaman soal titip menitip aanah ini. Namun sebagai seorang manusia, kita semua memiliki blind spot (titik buta). Kita tidak bisa melihat secara utuh sampai kemudian ada yang mengoreksi dan membenarkan. Begitupun kinerja Anda, yang menurut Wakil Ketua MPR baru dilaporkan pada Sidang Paripurna DPD tahun 2022. Itupun setelah bergulir isu mosi tidak percaya. Halo? Di mana Anda tiga tahun terakhir? Sibuk ke dapil? Eh, maksud saya, sibuk mengeksplorasi destinasi aestetik ke luar negeri? Anyway, saya salah satu dari 24,2K subscribers The Royal Fadel Hana Family. Kembali ke soal penarikan mandat. Mangkir dari rapat-rapat di DPD telah dilihat dan dinilai oleh teman-teman Bapak, para Senator di DPD. Sehingga sangat wajar ketika para Senator bersepakat memindahkan mandat itu kepada Senator lain untuk progresivitas DPD. Akhirnya, sebagai anak muda, saya ingin berpendapat. Apalah arti sebuah jabatan yang tidak lagi dikehendaki. Apalah arti jabatan tanpa kepercayaan. Menurut saya, bagi seorang negarawan, jabatan, posisi dan kedudukan tidaklah penting. Yang terpenting adalah peranan dan kontribusi yang diberikan kepada rakyat dan negara. Hormatku MAHARDIKA NAGARAIYYA (Pemuda Yang Rindu Teladan)
Anthony Budiawan: Alasan KPK Stop Kasus Dugaan KKN Gibran – Kaesang Sangat Bahaya Bagi Pemberantasan Korupsi
Jakarta, FNN - Ubedilah Badrun yang melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK pada Januari 2022 lalu, masih meyakini ada dugaan KKN dalam sejumlah perusahaan milik Gibran dan Kaesang. Dia menyayangkan sikap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut dugaan tersebut sumir. Mengamati dari sikap dan keputusan Nurul Ghufron dalam jumpa pers kinerja semester I KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (19/8/2022) yang mengatakan “sejauh ini indikasi TPK (Tindak Pidana Korupsi) yang dilaporkan masih sumir, tidak jelas. Dan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)”, Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan pernyataan wakil ketua KPK Nurul Ghufron sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. “Alasan KPK stop kasus dugaan KKN ini sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi. Kalau anak pejabat tidak dianggap bagian dari pejabat, tidak dianggap KKN, KPK sama saja membuka ‘jalan tol’ korupsi melalui gratifikasi kepada anak pejabat. APBN bisa bangkrut!” ungkap Anthony, Selasa (22/8/2022). Lebih dalam Anthony menguraikan, jika alasan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU, patut dipertanyakan niat KPK mengusut tuntas laporan masyarakat. “Karena, kalau baca berita ini, uraian KKN sepertinya sudah jelas sekali, dan tugas KPK mendalaminya. Bukankah seharusnya seperti itu?”.lanjutnya. “Sebagai contoh, baru-baru ini KPK tangkap tangan Rektor dari sebuah perguruan tinggi negeri, didakwa korupsi. Kalau uang tersebut diberikan kepada anak rektor untuk modal buka warung pisang goreng, senilai Rp2 miliar, apakah termasuk korupsi/KKN? Menurut KPK bukan KKN? Bahaya,”. tegasnya. (mth)
Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ungkap Hasil Otopsi Brigadir J
Jakarta, FNN – Ketua Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah Sugiharto mengungkapkanada dua luka tembakan fatal di tubuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabaratatau Brigadir J yang mengakibatkan ajudan mantan KadivPropamPolri Irjen PolisiFerdy Sambo itu meninggal dunia.\"Ada dua luka yang fatal tentunya, yaitu daerah dada dan kepala,\" kata Ade Firmansyah kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin.Ade mengatakan dari hasil autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J juga diketahui ada lima tembakan masuk dan empat tembakan keluar.Jumlah luka tembak ini tidak berkaitan dengan jumlah peluru yang ditembakkan, tetapi dari lima luka tembak yang masuk dan empat luka tembak keluar, berarti ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J.\"Dari empat tembakan keluar,ada satu yang bersarang di tulang belakang, dekat tulang belakang,\" jelasAde.Tim Kedokteran Forensik tidak menyelidiki berapa jumlah tembakan karena merupakan kewenangan dari penyidik, termasuk jenis senjata api yang digunakan, serta arah tembakan.Hasil autopsi ulang tersebut juga memastikan tidak ada luka-luka selain luka tembakan karena senjata api yang ditemukan di tubuh Brigadir J.Tim Kedokteran Forensik, kata Ade, bekerja secara independen memeriksa bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh dan bagaimana lintasan peluru keluar dari tubuh. Tim Forensik juga menelusuri tempat-tempat yang berdasarkan informasi keluarga ada tanda-tanda kekerasan.\"Kami sudah pastikan dengan keilmuan forensik yang sebaik-baiknyabahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan selain senjata api pada tubuh korban,\" katanya.Ade juga memastikan tidak ada kuku korban Brigadir J yang dicabut ataupun tulang yang patah pada tubuh Brigadir J. Adapun posisi organ tumbuh yang berpindah tidak pada tempatnya merupakan bagian dari tindakan autopsi.\"Semua tindakan autopsi pasti ada organ-organ itu akan dikembalikan ke tubuhnya, namun memang harus ada pertimbangan-pertimbangan baik itu misalnya adanya bagian-bagian tubuh yang terbuka sehingga pada saat jenazah itu akan ditransportasikan akan dilakukan pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Ade.Kemudian untuk jari yang luka, kata Ade, karena arah alur lintasan anak peluru yang mengenai tubuh Brigadir J dan luka di wajah karena ricochet atau sambaran peluru.Ade berharap dari laporan forensik yang telah diserahkan kepada Bareskrim Polri tersebut dapat membantu penyidik untuk membuat terang perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.\"Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan dalam empat minggu kurang supaya bisa membantu penyidik dalam membuat terang perkara ini, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini,\" tambahnya.Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, penyidik telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Irjen Polisi Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma\'ruf, dan Putri Candrawathi (istri Ferdy Sambo).Kelima tersangka disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, ancaman maksimal hukuman mati.Selain itu, penyidik juga menyidik perkara penghalang-halangi penegakan hukum atau obstruction of justice yang dilakukan tersangka Ferdy Sambo bersama lima perwira Polri lainnya.Kelima perwira Polri tersebut adalah Brigjen Polisi Hendra Kurniawan (mantan Karo Paminal Div Propam Polri), Kombes Polisi Agus Nurpatria (mantan Kaden A Biropaminal Div Propam), AKBP Arif Rahman Arifin (mantan Wakaden B Biropaminal Div Propam), Kompol Baiqui Wibowo (mantan PS. Kasubbag Riksa Bag GakEtika Rowabprof Div Propam), dan Kompol Chuck Putranto (mantan PS. Kasubbagaudit Bag Gak Etika Rowabprof Div Propam).Kelima perwira Polri tersebut terancam hukuman pidana melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. (mth/Antara)
Pendapat Hukum Terhadap Penarikan Pimpinan MPR Unsur DPD Fadel Muhammad
Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Oleh: Gugum Ridho Putra, SH, MH, Managing Partner Kantor Hukum GUGUM RIDHO & PARTNERS Dasar Hukum Dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam menyusun pendapat hukum ini antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”); 2. Undang-Undang Negara Republik Indonesian Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Nomor 17 Tahun 2014”); 3. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (“Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019”); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”). Pertanyaan Hukum Adapun pertanyaan hukum yang diminta untuk dianalisa adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD RI? 2. Apa Alasan Yang dapat dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 3. Apakah “mosi tidak percaya ” dapat dianggap Sebagai mekanisme pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI menurut Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019? Pembahasan Analisis Hukum III.1 Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD 1. Bahwa ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945 telah menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Pengakuan sebagai negara hukum itu membawa konsekuensi bahwa segala tindak tanduk penyelenggaraan negara hanya bisa diselenggarakan dengan dasar kewenangan dan prosedur yang telah ditentukan dalam hukum. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek harus mengacu kepada sistem peraturan perundangundanganyang dan berlaku secara hierarkis (berjenjang). 2. Mengacu kepada teori pertingkatan norma Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky, norma hukum tersusun dalam hierarki dari bawah hingga ke atas. Puncak hukum tertulis tertinggi di sebuah negara adalah staatsgrund gezets atau dikenal dengan sebutan konstitusi. Prinsip hierarki ini kemudian diadops dalam sistem perundang-undangan kita. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menempatkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertulis tertinggi. 3. Satu layer atau satu tingkat di bawahnya ada peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Di bawahnya lagi ada Peraturan Perundang-Undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat pusat seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Negara. Terakhir dalam layer atau tingkatan terbawah adalah peraturan perundang-undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan sebagainya. Masing-masing berlaku dalam tatarannya dan tidak boleh bertentangan antara peraturan yang di bawah dengan peraturan di atasnya. 4. Tidak terkecuali terhadap sistem hukum yang mengatur Pengisian, Pemberhentian dan Penggantian Pimpinan MPR dari Unsur DPD RI. Dasar hukum tertinggi adalah staatgrund gesetz atau konstitusi yakni UUD NRI Tahun 1945. Di bawahnya dalam tataran strategis berlaku yakni UU No. 17 Tahun 2014. Di bawahnya lagi dalam tataran teknis dan otonom kelembagaan terdapat Peraturan Tata Tertib di lingkungan MPR RI (Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019) dan Tatib DPD RI (Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022). Masing-masing Tatib berlaku sebagai peraturan teknis untuk melaksanakan UU Nomor17 Tahun 2014 dalam tataran teknis, sekaligus berlaku pula sebagai peraturan otonom, yakni peraturan yang berlaku mengikat dan wajib dipatuhi dalam internal lembaga masing-masing. 5. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) Ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR”. Ayat (2) ketentuan ini mengatakan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. UU Nomor 17 Tahun 2014 tidak memerinci makna frasa “bersifat tetap”. Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketentuan masa jabatan anggota MPR yang berbunyi “Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji”, maka bersifat tetap ini menyangkut jabatannya yang bukan sementara (tidak ad hoc ). Pimpinan MPR menjabat dalam masa jabatan yang tetap yakni mutatis mutandis mengikuti masa jabatannya sebagai anggota MPR selama 5 tahun. 6. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2014 menentukan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR”. Ayat (6) mengatakan “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR”. Sementara ayat (8) mengatakan “Pimpinan MPR ditetapkan dengan Keputusan MPR”. Dari sini dapat dipahami bahwa ada 2 (dua) cara memilih pimpinan MPR yakni dapat dipilih lewat musyawarah atau lewat voting dan penetapannya menggunakan Keputusan MPR. 7. Bahwa terkait pemberhentian Pimpinan MPR, ketetuan pasal 17 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan”. Ayat (2) mengatakan “Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila : a. Diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR”. Dari ketentuan ini dapat diketahui hanya ada 3 (tiga) dasar pemberhentian pimpinan MPR yakni : (1) pertama, meninggal dunia; (2) kedua, mengundurkan diri; (3) ketiga, diberhentikan. Dalam Pasal 19 UU No. 17 Tahun 2014 ditegaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tetang tata tertib”, dalam hal ini Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. 8. Bahwa mengacu kepada Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, alasan pemberhentian Pimpinan MPR kembali diperjelas kembali dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) yakni “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia, b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD; atau e diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dari ketentuan ini dapat diketahui terdapat penambahan dasar pemberhentian Pimpinan MPR yang semula hanya ada 3 (tiga) alasan, bertambah 2 (dua) dasar lagi yakni menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD atau diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. 9. Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan apabila terdapat kekosongan jabatan ketua MPR, Pimpinan MPR akan menyurati Fraksi asal ketua MPR jika ketua MPR berasal dari salah satu Fraksi atau Kepada Kelompok DPD jika Ketua MPR berasal dari Kelompok DPD. Masing-masing kelompok menetapkan nama Pengganti Calon Pimpinan MPR selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat Pimpinan MPR. Nama calon Pengganti Ketua MPR disampaikan kepada Ketua MPR. Apa Alasan yang Dapat Dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 10. Bahwa Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Tatib MPR Nomor 1 Tahun 2019 telah menegaskan Pimpinan MPR dapat berhenti dari jabatannya salah satunya karena “diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dengan ketentuan ini Pimpinan MPR dari unsur Kelompok DPD dapat saja diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pengusulan penggantian yang disampaikan oleh anggota-anggota MPR Kelompok DPD RI. Meskipun alasan ini dapat dijadikan dasar untuk pemberhentian, namun Tatib MPR Nomor 1 Tahun 2019 tidak mengatur secara rigid apa saja kondisi-kondisi yang dapat membuat Kelompok DPD berhak mengusulkan penggantian Pimpinan MPR di tengah masa jabatannya. 11. Bahwa apabila merujuk kepada Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”), ketentuan Pasal 135 ayat (1) menyatakan “calon Pimpinan dari unsur DPD dipilih dari dan oleh Anggota dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Pimpinan DPD”. Ayat (2) menyatakan “Anggota DPD yang telah menjadi calon Pimpinan DPD tidak dapat lagi menjadi calon Pimpinan MPR”. 12. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga telah menentukan persyaratan khusus bagi Anggota untuk dapat dipilih dan diusulkan menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1) disebutkan “Calon Pimpinan MPR unsur DPD seabgaimana dimaksud dalam Pasal 135 harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas; b. Berjiwa kenegarawanan; c. Memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara; dan d. Menandatangani pakta integritas”. 13. Bahwa pakta integritas yang dimaksud dalam ketentuan di atas, diperjelas dalam pasal 136 ayat (2) yakni “Pacta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat kesediaan calon pimpinan MPR unsur DPD untuk: a. Mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih dengan menaati peraturan perundang-undangan; b. Tidak melakukan politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk pemberian dan gratifikasi serta janji yang dilakukan sendiri atau melalui orang lain; c. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan lembaga negara lain; dan d. Bersedia mengundurkan diri sebagai Pimpinan MPR unsur DPD apabila dikemudian hari ternyata ditemukan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c. 14. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga menentukan mekanisme pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD. Dalam ayat (1) disebutkan “Pemilihan calon Pimpinan MPR dari unsur DPD dilakukan dengan prinsip mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan keterwakilan wilayah”. Sementara ayat (2) menyatakan “Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara”. 15. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tidak memerinci mekanisme Penggantian Pimpinan MPR Unsur DPD lewat mekanisme pengusulan oleh Anggota MPR Kelompok DPD. Namun Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 mewajibkan Pimpinan MPR unsur DPD menyampaikan laporan kinerja setiap tahun. Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 138 ayat (1) yang menyatakan “Pimpinan MPR dari unsur DPD menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD setiap 1 (satu) tahun sidang”. Sementara Ketentuan Pasal 138 ayat (2) menyatakan “Kelompok Anggota DPD di MPR menindaklanjuti laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 16. Bahwa merujuk kepada ketentuan pasal 135 ayat (1) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 di atas, dapatlah dipahami bahwa Anggota MPR dari Kelompok DPD adalah Pemilik Hak Pilih sah atas calon Pimpinan MPR unsur Kelompok DPD. Para Anggota DPD memilih Calon Pimpinan MPR dari Unsur DPD dengan mekanisme musyawarah dan/atau Pemungutan Suara (voting ). Pemilihan Pimpinan MPR dari unsur DPD lewat musyawarah ataupun lewat voting bukanlah pemberian wewenang secara atributif (atribusi ) ataupun pelimpahan wewenang (delegasi). Melainkan sekedar pemberian mandat dari Kelompok Anggota DPD kepada salah satu anggotanya untuk menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dengan begitu Pimpinan MPR unsur DPD hanyalah sekedar pemegang mandat (mandataris ) dari para anggota yang diwakilinya. Kewenangan dan hak-hak suara dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di MPR tetap milik anggota-anggota DPD yang duduk di MPR. 17. Bahwa bukti Pimpinan MPR Unsur DPD hanyalah mandataris Kelompok Anggota DPD yang menunjuknya, dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 yakni “MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum”. Hal yang sama juga dipertegas oleh ketentuan tentang Pengambilan Keputusan. Dalam ketentuan Pasal 90 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan bahwa Kuorum pengambilan keputusan untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 adalah sah apabila dihadiri 2/3 (dua pertiga) anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1. Usul Pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden adalah sah apabila dihadiri ¾ (tiga per empat) anggota dan disetujui minila 2/3 (dua pertiga) anggota MPR yang hadir. Begitupun untuk sidang selain dua hal itu, pengambilan keputusan sah apabila dihadiri minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota hadir. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) 1Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2022, Pimpinan MPR unsur DPD juga diwajibkan menyampaikan laporan Tahunan dalam rapat paripurna dan Anggota MPR Kelompok DPD menindak lanjuti laporan tersebut. Dengan begitu, jelaslah pemilik kewenangan dan hak untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan tugas-tugas MPR ada pada anggota, bukan pada pimpinan MPR. 18. Bahwa olehkarena kewenangan kelompok anggota DPD tidak beralih sekalipun dilakukan pemberian mandat, maka atas mandat yang telah diberikan kepada Pimpinan MPR unsur DPD dapat dilakukan pencabutan kapan saja oleh Pemberi Mandat. Itulah mengapa, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 mengatur pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD dapat diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara teknis karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, atas dasar itu penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. Apakah “Mosi Tidak Percaya” Termasuk Mekanisme Pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD RI yang Sah Menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf E Tatib Mpr Ri Nomor 1 Tahun 2019 19. Bahwa mosi tidak percaya dari segi istilah memang hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer dan tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensil. Namun jika hal itu dipersoalkan, apa yang diajukan Kelompok Anggota DPD di MPR hanyalah sekedar persoalan peristilahan saja. Sekalipun nama yang disematkan adalah “mosi tidak percaya” namun secara substansial tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Atas dasar itu, tindakan 97 anggota DPD tersebut dapatlah dianggap sebagai pelaksanaan penarikan mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e yakni “pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD dengan cara diusulkan penggantian oleh Kelompok DPD”. 20. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 telah menentukan dua cara dalam melakukan pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD, yakni (1) lewat musyawarah atau (2) lewat pemungutan suara (voting). Sekalipun tidak ada mekanisme yang terperinci bagaimana melaksanakan penarikan mandat dalam pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, namun semenjak penunjukan mandat itu dilakukan melalui musyawarah atau voting, maka penarikan mandatnya pun mutatis mutandis dapat dilakukan dengan mekanisme yang sama yakni melalui musyawarah atau voting. 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD telah menyatakan keputusan tertulisnya. Pernyataan tertulis itu jika diakumulasi secara keseluruhan dapatlah dikategorikan sebagai pemungutan suara atau voting . Dengan demikian, secara hukum 97 (sembilan puluh tujuh) anggota MPR unsur DPD telah menyatakan hak suaranya untuk menarik mandat pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Dengan begitu, secara hukum pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad telah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. Kesimpulan Pendapat Hukum Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan pendapat hukum sebagai berikut: 1. Pimpinan MPR dari Kelompok DPD dapat berhenti dari jabatannya karena 5 (lima) alasan yakni : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPD; e. diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Setelah pimpinan MPR dari Kelompok DPD berhenti, Pimpinan MPR menyurati Kelompok DPD. Kelompok DPD memiliki waktu selambatnya 30 (tiga Puluh) hari untuk menetapkan nama Pengganti dan menyampaikannya kepada Pimpinan MPR. 2. Pemilihan Pimpinan MPR unsur Anggota DPD adalah sebuah mekanisme pemberian mandat. Atas dasar itu Pemberhentian Pimpinan MPR unsur DPD melalui mekanisme dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 adalah sebuah mekanisme penarikan mandat. Itulah mengapa teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara rinci karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, maka penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. 3. Mosi tidak percaya memang tidak dikenal dalam Negara Republik Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Akantetapi, tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Tindakan penarikan mandat oleh 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD juga telah sesuai dengan mekanisme pemilihan Pimpinan MPR unsur DPD dalam ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022. Semenjak pemilihannya (pemberian mandat) dilakukan dengan musyawarah atau pemungutan (suara), maka penarikan mandat juga dapat dilakukan dengan cara yang sama. Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Demikianlah pendapat hukum ini saya sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. (*)
Menuju Transformasi Polri, Negara Tak Boleh Kalah oleh Mafia!
SAAT ini, tak pernah satu detik pun media massa dan medsos lepas dari berita soal kebiadaban “Polisi Sambo”. Komentar dan celoteh netizen se-Nusantara menghujat mantan Kadiv Propam Polri itu tiada henti. Mereka penasaran dan hendak terus mengawal sampai di mana kasus ini berakhir. Dan inilah yang sudah layak kita sebut sebagai “People Power as Digital Netizen of Indonesia“. Maklum, rekayasa demi rekayasa setiap saat diproduksi polisi. Tanpa rasa malu, dan seolah tutup mata dan telinga. Ini menimbulkan sikap skeptis masyarakat dan mendorong agar kepolisian berlaku Jujur dan Transparan. Negara tak boleh kalah hanya oleh seorang Sambo. Institusi Polri tak boleh takluk hanya karena komplotan Sambo Cs. Mengapa? Sebab permasalahan utama skandal besar tersebut dimulai ketika terbongkarnya skenario pembunuhan terhadap Brigadir Joshua di Duren Tiga Jakarta Selatan. Catat! Semua peristiwa hukum yang telah direkayasa Sambo Cs merupakan perbuatan melawan hukum berat yang dilakukan oleh para aparat negara yang berada di garda terdepan penegakan hukum Indonesia. Sangat wajar dan logis jika akhirnya netizen mengaitkan dan mulai berasumsi tentang tragedi KM 50? Kematian 816 petugas KPPS? Hilangnya politisi Harun Masiku? Kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, Kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis, serta ribuan kasus lainnya yang termasuk “outstanding” di Komnas HAM. Publik tahu, jabatan Kadiv Propam yang diduduki oleh Irjen Ferdy Sambo ini sebelumnya, bukanlah jabatan biasa. Propam itu ibarat Polisinya bagi Polisi. Yang menangkap, memproses, dan mengadili secara kode etik setiap anggota polisi apapun pangkat dan jabatannya ketika melakukan pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik. Artinya, kejahatan yang dilakukan oleh Sambo Cs tak bisa lagi kita kerdilkan, itu adalah “perilaku oknum” semata. Ini adalah sebuah kejahatan besar yang tersistem, mendasar, komprehensif, dan integral melanda korps Bhayangkara ini. Meskipun kita tentu pula tak bisa juga menggeneralisir semua Polisi itu jahat. Masih banyak Polisi yang baik dan berintegritas, namun secara hukum alam mereka tersingkir karena idealismenya. Tak bisa kita pungkiri lagi saat ini, bagaimana kewenangan Polisi yang luas pada masa reformasi khususnya rezim Jokowi akhirnya memakan korban internalnya sendiri. Kewenangan Polisi yang begitu luas, menjadikan Polri seolah institusi paling “Super Power, Super Body, Full Power” di negara ini. Melihat sepak terjang Satgassus Sambo Cs ini, kita jadi ingat sejarah Savak, polisi khusus di Iran. Atau SS di era Nazi Jerman. Yang begitu sadis, kejam, dan berkuasa atas negaranya. Polri saat ini tidak saja memiliki persenjataan dan teknologi Cyber mutakhir, tetapi juga memiliki “senjata kewenangan” hukum sosial politik yang tanpa batas dan menjadi “anak emas” karena di bawah presiden yang membuatnya menghujam dalam masuk pusaran arus politik. Berbeda dengan TNI yang tunduk pada \"Supremasi Sipil\" di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Akibatnya, Polri hari ini terjebak seakan menjadi alat dan tameng kekuasaan. Dalam peran Multifungsi Polri. Seperti ada semacam hubungan mutualisme antara Polri dan penguasa. Diberi kewenangan dan fasilitas kekuasaan, tapi (juga) bekerja sebagai garda utama pendukung kekuasaan. Siapa yang melawan, gebuk, habisi, urusan benar salah, itu belakangan. Sampai akhirnya skandal besar Sambo Cs ini terkuak kepada publik, barulah banyak yang tersadarkan bahwa memang telah terjadi sebuah kerusakan sistematis, disorientasi kewenangan dalam tubuh Polri. Yang membuat rakyat marah santero negeri, dan sulit percaya lagi pada Polisi, bila institusinya saja tidak dapat dijaga namanya, bagaimana dengan rakyat? Ajudan pribadi kesayangannya saja dibunuhnya dengan kejam, apalagi rakyat biasa? Meski demikian, kita tetap harus memberikan apresiasi pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah berupaya keras membersihkan institusi Polri dan juga telah menangkap sejumlah 83 polisi, serta menetapkan istri Sambo, Putri Candrawathi sebagai tersangka. Ini langkah konkrit yang bagus. Apalagi Satgassus juga sudah dibubarkan, secara administrasi. Namun, hal itu belumlah cukup. Karena harus dilakukan segera transformasi Polri dimulai dari repositioning, meletakkan Polri secara mandiri lagi di bawah koordinasi kelembagaan kementerian. Tidak boleh lagi langsung ada di bawah Presiden. Berbahaya! Selanjutnya, bagaimana pemurnian kembali pemahaman keamanan nasional (National Security) sebagai sebuah konsep dengan pemahaman keamanan ketertiban masyarakat sebagai fungsi. Jangan disama ratakan. Tujuan polisi dipisahkan dari ABRI melalui TAP/MPR/VI/2000 agar Polisi menjadi sipil yang humanis bersenjata untuk melumpuhkan penjahat dan membawanya ke meja pengadilan. Itu Polisi moderen. Polisi sesuai amanah konstitusi, non-kombatan, bukan untuk tempur dan jadi mesin pembunuh rakyatnya sendiri. Karena, Polisi itu seharusnya mengayomi masyarakat, bukan monster dan pengawal penguasa oligarki ?? Sudah saatnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia direvisi dan direkonstruksi ulang, baik secara substansi, struktural, kultural, dan orientasi. Begitu juga fungsi Polisi kombatan yang tidak sesuai dengan UU dan konvensi Jenewa 1949 tentang HAM, di mana Polri juga tergabung dalam IOSCE yang sepakat menempatkan tugas kepolisian sebagai Polisi yang humanis dan menjunjung tinggi HAM. Polisi adalah institusi kebanggaan masyarakat Indonesia. Jangan sampai diperalat dan dijadikan tameng kekuasaan para politisi jahat. Transformasi total Polisi adalah sebuah keniscayaan. Stop wacana dan lawan upaya rezim ini yang selalu membenturkan dan mengadu domba Polisi dengan rakyat khususnya yang berseberangan pilihan politiknya. Cukup! Polisi jangan mau diperalat lagi oleh politik kekuasaan. Mari bersama kita kembalikan citra baik Polisi kepada publik. Kita dukung Kapolri hari ini, Jenderal Sigit melakukan pembersihan dan transformasi total terhadap institusi Polri. Kita tunggu dan awasi bersama. Negara tak boleh kalah oleh hanya komplotan Sambo Cs. Jayalah Polisiku.. Jayalah Negeriku! (*)
Mengapa Harus Mendiskreditkan Muslim dan Sunda?
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS pembunuhan Letkol Purn. Muhammad Mubin terus menggelinding. Kejanggalan dan rekayasa mulai terkuak. Dari tersangka \"diludahi\" dan \"pukul memukul\" dalam keterangan awal menjadi \"penyerangan langsung\" dengan menusukkan pisau ke leher, dada, dan perut. Karenanya bergeser juga tuduhan dari \"penganiayaan\" menjadi \"pembunuhan\" bahkan \"pembunuhan berencana\". Pemeriksaan awal di tingkat Polsek Lembang maupun Polres Cimahi nampak ada upaya menutupi identitas tersangka. Yang bersangkutan berdasarkan pengetahuan lingkungan adalah warga yang dahulu disebutnya WNI keturunan. Demikian juga dalam pemberitaan yang bersangkutan disebut \"Aseng\". Nama aslinya entah Henry Handoko atau Henry Hernando. Saat ditangkap Henry tidak bertopi akan tetapi sewaktu pemeriksaan foto yang beredar berpeci mengesan sebagai muslim, bahkan hingga keluarnya SPDP ke Kejaksaan Henry Hernando disebut \"bin\" nya pula. Ketika Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang, Kapolres Cimahi yang turut hadir berulang menyatakan tersangka itu \"Sunda\". Akhirnya soal \"Sunda\" dan \"Cina\" menjadi bahasan serius dan hangat dalam dialog. Penonjolan status \"Muslim\" dan \"Sunda\" ini aneh untuk kejahatan sadis Aseng atau Henry Hernando yang membunuh mantan Dandim Tarakan. Status dibuat secara berlebihan. SARA yang dijadikan proteksi. Sebelumnya dalam kasus mengguncangkan pembunuhan Brigadir J di kediaman Kadiv Propam, maka Irjen Ferdy Sambo atau lainnya yang menjadi tersangka tidak disebut atau diangkat identitas \"Kristen\" \"Toraja\", \"Batak\", atau lainnya. Agama dan suku diabaikan dan memang tidak relevan. Dalam kasus Henry Hernando berbeda, di samping terjadi kebohongan atau rekayasa juga ternyata ada penonjolan identitas itu. Apa maksudnya ? Mungkin pihak Kepolisian ingin menghindari aspek sentimen SARA bahwa pembunuh adalah \"Cina\" atau dahulu disebut WNI keturunan yang sensitif dalam masyarakat. Ada sentimen kuat atau sorotan terhadap etnis ini yang dinilai sebagai minoritas yang hidup lebih makmur dibanding mayoritas pribumi dan tidak jarang bersikap arogan. Terbiasa pula mengandalkan \"beking\" dari aparat di belakangnya. Implikasi penonjolan atau penggiringan identitas ini justru bernuansa dan berbahaya. Henry Hernando yang dicitrakan \"Muslim\" dan \"Sunda\" dengan mengaburkan atau mengubur \"Cina\" adalah sikap yang mendiskreditkan. Seolah-olah \"Muslim\" dan \"Sunda\" itu si pembunuh sadis tersebut. Menutupi fakta \"Cina\" yang membunuh \"Pribumi\" atau \"Bumiputera\". Kepolisian sebaiknya mengoreksi penggunaan pola \"menutupi SARA dengan SARA\" biarlah kasus ini berstatus apa adanya. Pengusaha Henry Hernando yang membunuh sadis Letkol TNI Purn. Muhammad Mubin. Jangan biarkan pula publik bertanya lebih menukik benarkah Henry itu \"Muslim\" dan benarkah pula Henry itu \"Sunda\" ? Bandung, 23 Agustus 2022
Istana Negara 28 September 1965
Oleh Ridwan Saidi Budayawan BUNG Karno tahun 1963 sepakat USA menjadi penengah dalam perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Jaksa Agung Robert Kennedy, adik Presiden John Kennedy, diutus ke Jakarta. Selain bertemu BK, Robert juga ceramah umum di UI. Tatkala melintas halaman, mahasiswa CGMI (onderbouw PKI) melempari Robert dengan tomat busuk. Dubes USA ketika itu Howard P Jones. Pada suatu rapat raksasa di Main Stadium BK dari pentas pidato teriak memanggil-manggil Dubes USA, Jones where are U. Dubes Jones berdiri, come here. Dubes naik pentas. BK cuma minta confirmasi perundingan Irian Barat sedang berlangsung. Dubes Jones manggut lalu kembali ke tempatnya. Keterlaluan! Hanya untuk confirmasi Dubes dibegitukan. Beberapa bulan jelang Gestapu meledug Howard P Jones kembali. Penggantinya Marshall Green. Saya bertemu dengan beliau di Jakarta, kemudian di Washington tahun 1971. Saat itu beliau sudah di Kemlu USA. Saya menemui beliau dengan rekan-rekan dari negara2 ASEAN. Aku kaget bukan main, dalam jarak 10 meter Marshal Green memanggil namaku sambil senyum, Saidi. Pada tanggal 28 September 1965 BK gelar jamuan, dubes-dubes berhadir. Bung Karno menawarkan durian pada Dubes Green sambil diantarkannya ke meja Dubes. Semua orang tahu kalau orang Barat tak suka durian karena aromanya. Protokol istana sudah siapkan pemandu sorak, makan makan makan. Teriakan ini menggema di ruang Istana. Dubes Green dengan tenang santap itu duren. Mungkin yang diharapkan Dubes Green muntah-muntah, dan itu tak terjadi. 2 hari kemudian 30 September 1965 Gestapu/PKI meledug. Indonesia ramah tamah, itu motto pariwisata kita. Kenapa hal-hal terurai di atas mesti terjadi dan masih terjadi up to now. Dan itu kepada USA saja. Belum lama seorang menteri ceramah di Singapore puji-puji China dan hajar USA tanpa jelas urusannya. Dan ada lagi mentri nantang-nantang embargo USA. Urusannya apa sih? Kelakuan model begini tak patut dipelihara, karena risiko rakyat yang pikul. (RSaidi)
Polisi Terlalu Cepat Mengatakan Hoax Bunker 900 M
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo terlalu cepat mengatakan bunker berisi 900 miliar milik Ferdy Sambo, dipastikan hoax. Menurut Dedi, informasi mengenai bunker 900 M tidak benar. Di sini, Pak Dedi tidak peka. Sensitivitasnya hilang. Gaya bicara dan pemahamannya tidak berubah dari cara dia menjelaskan “tembak-menembak” yang menyebabkan Brigadir Yoshua (Brigadir J) tewas. Kemudian, Sambo terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigdir J. Sejak itu, publik tak percaya lagi kepada Kepolisian. Tapi, kelihatannya, Kadiv Humas tidak merasakan seperti itu. Dia tetap bersikap bahwa publik akan menelan begitu saja pernyataan atau penjelasan Polisi. Mengatakan bunker 900 M itu hoax adalah tindakan yang terlalu cepat. Gegabah. Penyelidikan tentang dugaan ini tidak transparan. Dalam suasana minus kepercayaan publik itu, Dedi seharusnya tidak mengeluarkan dikte-dikte yang akan ditertawakan orang. Sepatutnya Irjen Dedi memahami bahwa setiap penjelasan tentang Sambo, tidak akan diterima oleh publik kalau memihak ke mantan Kadiv Propam itu. Tindakan Sambo berbohong dan merekayasa cerita tentang Brigadir J membuat publik tidak percaya lagi kalau ada yang membantah dugaan kejahatan-kejahatan lain yang dituduhkan kepada polisi sadis ini. Publik sangat percaya Sambo punya jaringan mafia yang bekerja mengumpulkan uang besar. Dibantah sekeras apa pun soal bunker 900 M itu, tidak akan diterima publik. Masyarakat malah akan mencurigai bantahan itu sebagai modus untuk menyembunyikan uang bunker itu. Rakyat meyakini bahwa Sambo selama ini mengumpulkan uang besar. Jumlahnya besar karena Sambo diduga kuat melindungi berbagai bisnis hitam yang beromzet besar seperti judi online, narkoba, mafia kasus, mafia tambang, pengambilalihan barang bukti kasus-kasus penipuan yang melibatkan uang besar, dlsb. Ini yang disangkakan publik terhadap Sambo dan jaringan mafianya. Mantan Kadiv Propam ini disebut-sebut memiliki jaringan yang sangat kuat. Yang dikatakan melibatkan para petinggi kepolisian. Artinya, sangat logis kalau jumlah uang yang ditimbunnya sangat besar. Tak mungkin uang receh sebatas puluhan miliar. Sebuah diagram atau silsilah yang beredar belum lama ini menunjukkan betapa masifnya jaringan Sambo. Melibatkan banyak jenderal berbintang dua, berbintang satu, kombes, AKBP, kompol, AKP, dan yang berpangkat rendah. Ini artinya tidak mungkin duit yang mereka kumpulkan hanya 100-200 miliar. Diagram itu sangat profesional. Kerapian dan kedatailan diagram memperlihatkan bahwa yang membuatnya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan, dan sangat tahu tentang, sepak terjang Sambo. Di halaman pertama dari enam halaman diagram yang diberi judul “Kaisar Sambo dan Konsorsium 303” itu tertulis bahwa “Setiap tahun Ferdy Sambo dan kroninya menerima setoran lebih dari 1.3 triliun”. Isi diagram ini belum tentu benar. Tapi belum tentu pula salah. Karena itu, dugaan yang cukup meyakinkan ini sebaiknya diusut dengan melibatkan para wartawan dan lembaga pemantau kepolisian. Biarkan dulu berlangsung pengusutan tuntas dan transparan. Lakukan semuanya di depan kamera, tidak ada yang disembunyikan. Hanya dengan pengusutan yang berkualitas dan dengan kadar akuntabilitas yang tinggi, publik bisa pelan-pelan mengembalikan kepercayaan kepada Polri. Jadi, Kadiv Humas tidak perlu buru-buru mengatakan bunker 900 M itu hoax. Pak Dedi tidak perlu khawatir. Yang hoax pasti hoax. Hoax akan terbentuk dengan sendirinya jika semua pihak rela pengusutan kasus Sambo dilepas apa adanya. Orang paham bahwa Polri perlu membalas skor 10-0 yang sangat memalukan sekarang ini. Tetapi, gol balasan yang diragukan kebersihannya malah akan menambah keruh kepercayaan penonton satu stadion. Hoax bunker 900 M adalah gol balasan yang tidak “clean” dan tidak “clear”. Publik malah menyorakinya. Penonton menilainya sebagai gol tipuan.[] 22 Agustus 2022.
IPW: Rumah Judi Sponsor Klub Sepakbola Harus Diproses Hukum
Jakarta, FNN – Sponsor rumah judi terhadap sepakbola Indonesia secara resmi telah dilaporkan ke kepolisian. Pihak Bareskrim Polri telah mengeluarkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi bernomor: STTL/301/VIII/2022/Bareskrim, tertanggal 22 Agustus 2022 untuk menangani pelegalan judi melalui promosi tersebut. Rilis Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan, laporan polisi itu bernomor: LP/B/0473/VIII/2022/Bareskrim,” sebut sumber, Senin (22/8/2022). Adapun peristiwa dugaan pidananya yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan perjudian juncto perjudian atau memberi kesempatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 303 KUHP. IPW menyebut, pihak yang dilaporkan dalam dugaan pidana itu adalah klub Sepakbola Persikabo 1973, PSIS Semarang, Arema Malang, PT. Liga Indonesia Baru dan PSSI. Sedang pelapornya, yakni Rio Johan Putra SE. SH. MSi. Ak CA BKP, seorang pecinta bola dan akademisi/dosen. Harapannya, kepolisian memproses perjudian dan iklan judi melalui sarana kompetisi sepak bola Liga 1 yang digulirkan PSSI melalui operatornya PT LIB. “Pasalnya, judi sebagai penyakit masyarakat masih dilarang oleh pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian,\" jelasnya. \"Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa pada hakekatnya perjudian bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila. Disamping membahayakan penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara,\" lanjutnya. Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai sponsor rumah judi pada klub-klub sepak bola Indonesia sangat merusak moral bangsa terutama generasi muda. \"Karenanya, orang-orang yang terlibat pada masuknya rumah judi untuk mensponsori klub-klub sepakbola di Indonesia harus ditangkap dan diproses hukum oleh kepolisian tanpa pandang bulu,\" tegasnya. Dalam Rilis disebut pelanggaran tindak pidana itu diduga dilakukan Persikabo 1973, PSIS Semarang dan Arema Malang. Persikabo 1973 dimasuki sponsor rumah judi SBOTOP yang dipasang di depan kostum timnya dan ada di adboard pinggir lapangan. SBOTOP merupakan situs judi yang mengklaim terpercaya, termurah, dan tercepat. Terpercaya untuk melayani pelanggan saat bertaruh di Sbobets. Termurah karena layanan deposit Sbobets termurah yang hanya dengan Rp 10.000 dapat bermain judi online. Tercepat bagi agen judi online dalam bertransaksi. Sedang PSIS telah bekerjasama dengan Skore88.news yang identik dengan rumah judi Skore88. Sementara Arema Malang bekerjasama dengan Bola88.fun yang berafiliasi dengan rumah judi Bola88. \"Penyimpangan dan pelanggaran ini harus diusut tuntas. Apalagi saat ini, pihak kepolisian sedang gencar-gencarnya memberantas perjudian termasuk judi online. Genderang perang itu langsung disuarakan pimpinan tertinggi Polri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam arahannya melalui video conference kepada seluruh jajaran se-Indonesia, Kamis (18/8/2022). \"Saya sudah perintahkan, yang namanya perjudian, saya ulangi yang namanya perjudian apapun bentuknya apakah itu darat, apakah itu online semua itu harus ditindak. Saya ulangi yang namanya perjudian apakah itu judi darat, judi online, dan berbagai macam bentuk pelanggaran tindak pidana lainnya harus di tindak,\" tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (mth)