ALL CATEGORY
Polda Sulut Diminta Kupas Tuntas Kasus Tanah Gogagoman dengan Terlapor Stella Mokoginta Cs
Jakarta, FNN – Tak ada kata lelah dan patah semangat bagi kedua bersaudara ini, Prof Ing Mokoginta dan dr Stinje Mokoginta yang menunggu sampai kapan Polda Sulut berani mengungkap kasus tanah Gogagoman secara transparan dan tegas karena proses laporan polisi yang ditangani tidak berprogres selama ± 5 tahun. Kuasa Hukum kedua kakak beradik itu, LQ Indonesia Lawfirm, mengingatkan kepolisian untuk tetap bekerja secara efektif menemukan kebenaran materil dalam penanganan perkara agar tidak timbul presepsi #PercumaLaporPolisi. Menurut Kuasa Hukum Pelapor, Advokat Jaka Maulana dari LQ Indonesia Lawfirm, penyidik pada LP 3 (tiga) dan LP 4 (empat) tidak memiliki alasan apapun untuk tidak memeriksa Terlapor, Stella Mokoginta Cs dan membuat Laporan Polisi Pelapor menjadi mandeg pada proses pemeriksaaan. Berdasar kepada surat yang diterbitkan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kotamobagu No. HP.02.03/136.71-74/VII/2022, menyatakan bahwa sertifikat hak milik (SHM) Nomor 2661 s/d 2786 atas nama Stella Mokoginta Cs telah dibatalkan dan dicoret oleh BPN Kotamobagu. “Tidak ada alasan pembenaran lagi bagi penyidik untuk membuat kasus tanah Gogagoman ini mandeg, karena laporan polisi yang dibuat kliennya sudah melalui pertimbangan sangat matang, dimana Stella Mokoginta Cs diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan semua bukti-bukti sudah disampaikan kepada penyidik. Lima tahun cukuplah mempelajari kasus, kalau serius pasti sudah ada tersangka bahkan bisa jadi sudah ada putusan, tetapi yang terjadi sampai sekarang apakah Terlapor sudah diperiksa? Jika belum, maka wajar bila kesimpulan sementara kami #PercumaLaporPolisi,” ujar Jaka dalam rilis, Kamis (18/8/2022). Advokat Jaka mengatakan, dalam perkara ini proses penyelesaian sangat sederhana. Pelapor sudah memiliki putusan inkrah Pengadilan Tata Usaha Negara dan surat BPN Kotamobagu yang menyatakan sertifikat Stella Mokoginta Cs dibatalkan dan dicoret. Namun alasan lain membuat rumit perkara tersebut akibat adanya oknum- oknum yang tidak bertanggungjawab seperti disampaikan Ditreskrimum Polda Sulut, Kombes Gani F Siahaan bahwasannya mantan Kapolda Sulut Royke Lumowa turut serta mengintervensi proses pemeriksaan. Sementara itu diketahui kedekatan Royke Lumowa (RK) dengan suami Stella Mokoginta, Harry Kindangen (HK) selain pernah satu sekolah dan juga sama-sama memiliki jabatan strategis pada PT Hasjrat Abadi, sesuai akta No 277 Tahun 2021, RK kedudukannya sebagai Komisaris Independen dan HK sebagai Komisaris Plus Pemegang Saham. “Semenjak ada putusan inkrah dan surat BPN sertifikat milik Stella Mokoginta Cs/Terlapor sudah dicabut dan dicoret, maka tidak perlu lagi mikir panjang penyidik, bukti sudah ada dan kuat, sehingga atas kasus tanah Gogagoman, pemilik sah adalah klien kami, jadi bila terlapor masih berasumsi dengan hak kepemilikan atas tanah maka itu keliru dan tindak pidana,” terang Jaka. “Kami sangat terkejut setelah mendengar kalimat peran serta RK dalam kasus ini, Kombes Gani mengungkapkan di ruangannya saat kami berkunjung bulan lalu, dan itu bukan pertama, bahkan di depan keluarga pelapor juga pernah menyampaikan hal yang sama. Lalu sampai kapan keadilan dan kepastian hukum bisa dirasakan klien kami selama LP 3 dan LP 4 ada di Polda Sulut, kami menunggu bukti keberanian Kombes Gani,” tutur Jaka. Ditambahkan Siska Runturambi yang merupakan Kuasa Hukum Pelapor mengatakan, kesalahan praktik yang dilakukan penyidik selama ±5 tahun dalam menangani perkara atas tanah Gogagoman tidak lagi menjadi rahasia umum karena sebelumnya ada 4 Laporan Polisi yang dibuat di Polda Sulut, diantaranya LP 1 dan LP 2 telah SP3, tetapi penyidik dinyatakan bersalah oleh Propam Polri dan kini LP 3 dan LP 4 sudah tahap sidik namun SPDP belum diterima kejaksaan. “Tugas dan fungsi pokok Polri sudah diatur dalam ketentuan UU kepolisian beserta turunannya, menurut kami semua sudah ‘by setting’ dan Polda Sulut/ penyidik sangat tidak jujur. Pada LP 1 dan LP 2 di SP3 tetapi penyidiknya dinyatakan bersalah oleh Propam Polri, lalu pertanggungjawaban hukumnya bagaimana? Kini LP 3 dan LP 4 mau dibuat dengan hal sama?” katanya. “Terkait SPDP, kami sudah konfirmasi langsung dan pihak kejaksaan belum terima yang terbaru, kami tetap fokus dan usut termasuk LP sebelumnya. Kasus ini sudah ditangani 6 Kapolda tetapi tidak bisa menyelesaikan kasus sederhana ini, akibatnya menjadi preseden buruk bagi institusi Polri, kasus ini mandeg karena ulah oknum-oknum dan itu sangat membahayakan penegakan hukum,” ujar Siska dengan rasa kesal. Dalam kasus ini, LQ Indonesia Lawfirm mengakui independensi penyidik sangat diragukan dalam penanganan perkara, terbukti selama bertahun-tahun mandeg tanpa progress, sehingga untuk menjaga keindependenan penyidik, sangat wajar bila dimintakan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera melimpahkan penangan perkara ini ke Mabes Polri. “Situasi penyidikan di Polda Sulut sangat tidak menguntungkan bagi klien kami maka demi keadilan dan kepastian hukum kami meminta kepada Kapolri untuk memberikan kepercayaan ke Mabes Polri dalam hal menarik perkara dan ditangani oleh Bareskrim Polri atas seluruh kasus tanah Gogagoman, sudah terlalu vulgar oknum-oknum itu bertindak, kekuasaan itu sangat nyata, perkara sederhana dengan bukti kuat dapat dipersulit dengan berbagai alasan. Polri butuh polisi yang jujur dan punya integritas agar bisa menjaga wibawa Polri yang presisi. Kapolda Sulut sebagaimana pimpinan kepolisian di Manado seharusnya memberikan atensi agar baik citra Polri,” tutup Siska dengan tegas dan jelas. (mth)
Koordinator Bela Ulama Kerahkan 40 Pengacara Membela Farid Okbah Dan Kawan-kawan
Jakarta, FNN – Koordinator Bela Ulama Ismar Syafruddin all out atau mati-matian membela Ustaz Farid Okbah dan kawan-kawan dengan mengerahkan 40 orang penasihat hukum atau pengacara. Ketiga ustaz itu adalah Farid Okbah, Dr. Zain Annazah, dan Dr. Anung Alhamad. Mereka disangkakan sebagai orang yang menyembunyikan informasi terkait terorisme. “Oleh karena itu, kami akan fokus dan berupaya secara maksimal melakukan pembelaan dalam sidang perdana, 24 Agustus 2022,” kata Koordinator Bela Ulama, Ismar Syafruddin kepada pers, di Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2022. Di antara 40 penasihat hukum itu, kata Ismar, ada Dr. Herman Kadir, SH MH, Dr. Fahmi Bachmid, Djujuk Purwantoro, Abdullah Alkatiri, Thoriq dan Dr. Sulistyowati dan Srimiguna, SH MH pengurus Peradi Pusat. Para penasihat hukum itu, sudah terbiasa beracara dalam membala kasus besar yang terkait politik dan teroris. “Kasus teroris oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kadang dibedakan dengan kasus pidana umum lainnya, karena dinilai punya bobot atau risiko yang tinggi, seperti pemberian berkas, dakwaan hingga Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak mudah mendapatkannya seperti halnya pidana umum lainnya,” kata Ismar Syafruddin. Ketiga ulama itu disangkakan menyembunyikan informasi sesuai Pasal 15 J Pasal 7 atau Pasal 13 huruf c Undang-undang no 5 Tahun 2018 Jo UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pebemrantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman pidana di atas 5 tahun. “Undang-undang ini, awalnya dari Perpu No 1 tahun 2022 kemudian dijadikan UU, sehingga materinya banyak yang dapat merugikan orang-orang yang disangka teroris oleh Densus 88 Polri,\" kata Ismar, seraya memberikan contoh sulitnya mengakses korban di penjara untuk melakukan pendampingan maksimal. Para penasehat hukum, katanya, telah siap dan fokus melakukan pembelaan kepada tiga ulama itu, karena sesungguhnya dakwaan JPU yang bersumber dari Berita Acara Pemeriksaan Densus 88 relatif lemah atau tidak ditemukan fakta yang berkaitan dengan penyembunyian informasi seperti yang tertera dalam UU Terorisme. Ismar Syafruddin menambahkan, pihaknya akan menyampaikan fakta-fakta di lapangan bahwa penangkapan hingga penahanan tiga ulama tersebut banyak keganjilan, termasuk kemungkinan terjadi pelangagran HAM atau Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri, melalui Kabag OPS Komisaris Besar, Aswin Siregar mengatakan, Farid Okbah, Ahmad Zain An-Najah, dan Anung Al Hamat yang menjadi tersangka dugaan terorisme, resmi ditahan. Ketiganya diduga terlibat dalam yayasan amal milik teroris Jamaah Islamiyah (JI), yakni Lembaga Amal Zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA). \"Sudah, sudah ditahan,” ujar Aswin Siregar. Belum Bisa Ditemui Ismar Syafruddin juga mengeluhkan sulitnya menemui kliennya itu setelah mereka dipindah dari Tahanan Densus 88 di Polda Metro Jaya ke tahanan Mako Brimob, Cikeas. “Semenjak tahanan dipindah di Cikeas, para penasehat hukum belum bisa menemui klien. Apakah hal ini tidak melanggar HAM? Kami penasihat hukum ingin memberikan pembelaan secara maksimal, tetapi terhambat prosedur yang justru menyimpang dari UU itu utamanya KUHAP dan HAM,” kata Ismar. Ia menambahakan, penasihat hukum itu sangat tunduk dan berpegang pada KUHAP. \"Saya berharap JPU lebih longgar dalam memberikan akes jangan justru lebih regit dianding dengan penyidik Densus 88,” katanya. Ismar mengatakan, tiga ulama itu saat ini sudah ditahan lebih dari 7 bulan, tahanan Densus 120 hari dan diperpanjang oleh JPU. Ketiganya ditahan di rumah tahanan (rutan) milik Densus 88, baik di Polda Metro Jaya dan di Mako Brimob Cikeas. “Kami akan segera membebaskan mereka dari tuduhan terlibat kegiatan pengumpulan dana terafiliasi JI. Hal itu tidak benar dan tidak berdasar. Oleh karena itu akan kami buktikan dalam sesi persidangan dan dalam nota eksepsi hingga pledoi nanti. Mudah-mudahan para hakim akan melihat fakta-fakta itu secara fair dan jernih,” kata Ismar. (Anwar)
Kehilangan
Ketika itu pula kehidupan di negeri ini jauh dari kasih sayang. Ketika itu pula semua anak bangsa merasa terbuang dan meradang. Ketika itu pula akhirnya kemerdekaan dan kedaulatan republik hanya sekedar bayang-bayang. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI SENANDUNG lagu bertajuk kehilangan dari Rhoma Irama, terasa kental dalam suasana kekinian. Kalau sudah tiada baru terasa, kehadirannya itu sungguh berharga. Dalam konteks kehidupan kebangsaan, rakyat Indonesia baru bisa merasakan pentingnya arti kemerdekaan ini, setelah merasakan kembali penjajahan, yang mirisnya dilakukan oleh bangsanya sendiri. Setelah 77 tahun merdeka, nyatanya bangsa Indonesia tak pernah merasakan kehidupan yang bebas bahkan untuk 5 tahun saja. Akumulasi penjajahan sepanjang tahun itu karena 5 tahun ada pemilihan anggota DPR, 5 tahun pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan 5 tahun pemilihan presiden beserta bonus para menteri dan pejabat lainnya. Lima tahun dalam satu periode yang menyesakkan dada rakyat ini, semakin bertambah buruk saat semua abdi negara itu minta penambahan periode. Ada yang ngotot berjibaku untuk 3 periode, 5 periode hingga perpanjangan jabatan seumur hidup, meski prestasinya hanya berupa kedzoliman terhadap rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Lima tahun yang simultan mengarah menjadi abad penjajahan Indonesia. Meski 77 tahun bebas dari penjajahan, selama itu pula penghianatan terhadap cita-cita proklamasi terus berlangsung. Perjuangan para pendiri bangsa dan pengorbanan para pahlawan seakan tiada arti, tak ada tanggungjawab moral, bahkan sekedar untuk meneruskan amanatnya. Rakyat seperti keluar dari mulut Harimau, kemudian masuk ke dalam mulut buaya. Lepas dari penjajahan bangsa asing, kemudian hidup dalam suasana penjajahan bangsanya sendiri. Jadi, pada hakekatnya, rakyat dan negara bangsa Indonesia telah kehilangan kemerdekaan yang diraihnya dengan membutuhkan pengorbanan tinggi dan terseok-seok. Negara sepertinya bisa dipahami menjadi wadah konspirasi dari segelintir bangsa sendiri yang hipokrit dan geragas serta bangsa asing yang eksploitatif dan ekspansif. Kolonialisme dan imperialisme modern itu, kini berwajah oligarki, politisi dan sistem birokrasi serta aparatur pemerintahan yang keji pada rakyat sendiri. Demi memenuhi syahwat kekuasaan dan kenikmatan dunia, para pemangku kepentingan publik berwatak kapitalis dan komunis yang terbiasa membunuh kemakmuran dan keadilan. Bukan hanya perampasan dan perampokan, penganiaan dan penyiksaan serta tak segan menghilangkan nyawa rakyat. Petinggi negara tak ubahnya menjadi penjahat dan para bajingan yang menjadi momok dan ancaman bagi siapapun. Jangankan kepada rakyat, kepada sesama koleganya sendiri para penguasa itu dapat bertindak brutal dan sadis. Insitusi negara tak ubahnya menjadi tempat berkumpulnya para penjahat berdasi yang berlindung di balik konstitusi. Rakyat tetap saja kehilangan kemerdekaan dan kedaulatannya. Semua pikiran, ucapan dan tindakan para pejabat yang tak layak disebut pemimpin itu, dipenuhi kebohongan yang disusul dengan pelbagai kejahatan institusional. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI tak lebih dari sekedar basa-basi. Negara semakin pasti mewujud organisasi kejahatan. Hanya ada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta genosida pada kemanusiaan. Distorsi penyelenggaraan negara begitu terorganisir, terstruktur dan sistematik. Perilaku menyimpang dan cenderung psikopat menghiasi wajah kekuasaan di negeri ini. Elit politik telah lama menjadi mesin pembunuh yang begitu masif, efisien dan efektif membantai rakyatnya sendiri. Memeras keringat, mengucurkan darah, dan menghilangkan nyawa orang-orang pinggiran dan kaum lemah. Pejabat terbiasa menikmati pesta pora, makan minum dan bejoget penuh kesenangan di atas penderitaan rakyat. Mereka para mandataris rakyat menjadi serba boleh menyeru kebaikan seraya melakukan kejahatan. Tinggal rakyat saja, tetap sengsara meratapi nasibnya sambil berusaha menyadari sejatinya tetap hidup terjajah. 77 tahun usia kemerdekaan Indonesia, coba kita tanyakan pada rakyat, telah benar-benar menikmati atau kehilangan rasa itu? Sebuah kehilangan yang maha penting dan mendasar. Kemerdekaan yang telah lepas dari genggaman rakyat dan dikuasai segelintir orang. Kemerdekaan yang begitu terasa berharga ketika fakta dan obyektifnya rakyat tengah merasa kehilangan itu. Bangsa Telanjang Ketika Pancasila tidak lagi hidup dalam jiwa dan sanubari rakyat. Ketika UUD 1945 tidak lagi menjadi acuan dan melindungi kehidupan rakyat. Ketika NKRI meminggirkan agama dan tanpa sesungguhnya berketuhanan tak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi rakyat. Ketika seperti orang asing di negeri sendiri itu yang terjadi pada rakyat. Ketika kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan asing dan segelintir orang. Ketika utang negara hanya dinikmati para broker proyek segelintir orang. Ketika korupsi dan perampokan merajalela dilakukan oleh segelintir orang. Ketika kejahatan yang telah menganiaya dan menghilangkan nyawa terbuka dipertontonkan segelintir orang. Ketika politik tidak ada lagi ruang debat, semua yang berbeda disikat. Ketika ekonomi dikelola secara gegabah dan akhirnya menyebabkan kehidupan yang mudharat. Ketika hukum menempatkan pejabat beserta kroninya menjadi bermartabat meski penuh maksiat, dan menjadikan orang kecil sekarat. Ketika keamanan minggat dan tak lagi bersahabat, menimbulkan konflik dan kebiadaban hebat. Ketika itu pula kehidupan di negeri ini jauh dari kasih sayang. Ketika itu pula semua anak bangsa merasa terbuang dan meradang. Ketika itu pula akhirnya kemerdekaan dan kedaulatan republik hanya sekedar bayang-bayang. Ketika itu pula kejahatan yang masif dan sistemik disaksikan semua orang secara telanjang, ya tanpa malu dan kehormatan ketika bangsa ini sebulat-bulatnya telanjang. Munjul-Cibubur - 18 Agustus 2022. (*)
Ada Informasi, Ferdy Sambo Menebarkan Uang Kepada Anggota DPR
Jakarta, FNN – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santosa mendapatkan bocoran informasi soal ada dugaan aliran sumber dana yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo dalam kasus penembakan Brigadir Joshua Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief mengatakan dalam channel-nya yang berjudul “IPW: Ada Informasi Dapat Aliran Dana Dari Ferdy Sambo”. “Saya mendapat informasi mengenai pengucuran dana besar-besaran ke cipta kondisi untuk skenario FS,” kata Sugeng. Menurut Sugeng, Cipta Kondisi menerima dana besar-besaran itu berdasarkan pengakuan dari seorang staf LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), setelah mereka mengadakan pertemuan di kantor Ferdy Sambo, ketika masih menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonedia (Kadiv Propam Polri). Pertemuan itu mereka laksanakan pada 13 Juli 2022 atau dua hari setelah kasusnya dilaporkan kepada Mabes Polri. Saat itu seorang staf dari Ferdy Sambo memberikan map dan dalam map itu berisi dua buah amplop coklat, yang diberikan kepada mereka, sambil berkata, “Ini dari Bapak.” Bapak yang dimaksud adalah Ferdy Sambo. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo membenarkan bahwa amplop yang diberikan Ferdy Sambo itu dilakukan setelah mereka membicarakan terkait permohonan perlindungan terhadap Barada E dan istri Sambo, Putri Chandrawati. Menko Polhukam Mahmud MD pada waktu itu juga sempat mempertanyakan, mengapa anggota DPR yang biasanya memanggil sana atau memanggil sini, tetapi dalam kasus Ferdy Sambo ini DPR hanya bisa diam saja. Dalam kasus penembakan Brigadir Joshua, banyak sekali pernyataan yang dibuat Mahmud MD. Akan tetapi, pernyataan itu sempat membuat anggota DPR bingung. Seperti diketahui, selain jabatan Menko Polhukam, Mahfud juga membawahi keamanan, termasuk kepolisian. Dia juga dikenal sebagai Ketua Kompolnas atau Komisi Kepolisian Nasional. Dalam perbincangan Mahmud saat mengisi podcast Deddy Corbuzuier, dia menyatakan, “Waktu itu Ferdy Sambo menangis-nangis di depan anggota Kompolnas demi meyakinkan bahwa itu adalah tembak-menembak yang terjadi di rumah dinasnya,” ungkapnya. Bahkan, dia sempat mengatakan, akibat peristiwa itu telah merusak harga dirinya, termasuk saat istrinya dilecehkan oleh Brigadir Joshua. “Seandainya dia ada di situ juga, sudah pasti dia akan menembak Brigadir Joshua juga,\" lanjut Mahfud, mengutip keterangan Sambo di hadapan anggota Kompolnas. (Anw/Imi)
Tujuh Puluh Tujuh Tahun Merdeka, Indonesia Masih Terjajah
Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Oleh: Abdullah Hehamahua, PUKUL 10 pagi kemarin, 77 tahun lalu, berkumpul sejumlah tokoh di Jalan Pegangsaan Timur, 56 Jakarta. Namun, ada tujuh figur yang sangat berperan. Mereka adalah Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Subardjo, Fatmawati, Soekarni, Latief Hendraningrat, dan S. Suhud. Mereka berkumpul di rumah Faradj bin Said Awad Martak, warga negara Indonesia keturunan Arab – Yaman. Bukan keturunan Jawa, Batak, Papua, apalagi China. Di pekarangan rumah yang dihibahkan keluarga Martak ke Soekarno inilah, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan. Penculikan Soekarno – Hatta Soekarno, Hatta, dan sejumlah anggota BUPK baru saja kembali dari Dalat, Vietnam, 13 Agustus 1945. Mereka berencana akan memulai lagi sidang BUPK pada bulan September. Namun, tanggal 16 Agustus dinihari, Soekarno dan Hatta diculik sekelompok anak muda dan ditempatkan di Rengasdengklok, Kerawang. Mereka paksa Soekarno dan Hatta agar memproklamasikan Indonesia pada waktu itu juga. Soekarno dan Hatta menolak. Sebab, mereka tidak bisa melakukan hal tersebut tanpa keikutsertaan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Soekarno, sekembalinya dari Rengasdngklok, terserang penyakit beri-beri dan malaria. Said Martak memberi madu dari Hadramaut sehingga Soekarno dapat pulih dan bisa membaca teks proklamasi, besok paginya. Penyusunan Teks Proklamasi Soekarno menulis di atas selembar kertas kosong. Judul yang ditulisnya: “Proklamasi”. Judul ini diberi garis bawah dengan dua garis yang tidak terlalu lurus. Waktu itu, pukul 03.00 dinihari. Mengapa dinihari.? Sebab, masa itu, bulan Ramadhan. Semuanya muslim, sehingga harus menyantap sahur. Achmad Subardjo, putera Aceh, beribu Sunda. Beliau, salah seorang anggota Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta. Piagam tersebut yang kemudian menjadi “Pembukaan” UUD 1945. Achmad Subardjo meminta agar Soekarno menulis: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, sebagaimana yang ada di Piagam Jakarta. Bung Hatta mengusulkan kata-kata: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Selesailah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi Bertempat di pekarangan rumah keluarga Martak, tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul sejumlah tokoh, tua maupun muda. Mereka mengikuti peristiwa bersejarah, proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta mengenakan stelan jas putih-putih. Soekarno mengenakan peci hitam, salah satu atribut orang Islam. Mengapa? Sebab, Soekarno adalah salah satu murid sekaligus mantu dari guru bangsa, HOS Tjokroaminoto. Tidak hanya itu. Soekarno juga mantu dari Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu. Sebab, ketika berada di pembuangan (Bengkulu), Soekanrno jatuh cinta terhadap Fatmawati. Dia anak Hasan Din dan Situ Chadijah ini aktif di Aisyiyah, organ perempuan Muhammadiyah. Fatmawati, isteri ketiga dari Soekarno ini, menjahit bendera merah putih dengan tangan sendiri. Bahan bendera berwarna putih, diambil dari sprei tempat tidur. Kain merah diambil dari tukang jual soto. Namun, kisah lain menyebutkan, bahan bendera tersebut berasal dari seorang perwira Jepang, Shimizu, yang simpati dengan perjuangan Indonesia. Kisah ini menunjukkan banyaknya kesimpang-siuran sejarah. Salah satu contoh konkrit yang bekaitan dengan daerah saya (Maluku), Pattimura disebutkan beragama Nasrani. Padahal, beliau seorang muslim dengan nama asli Ahmad Lussy. Kakeknya berasal dari kampung saya, Iha, Saparua yang berhijrah ke desa Latu, Seram. Bendera Indonesia, merah putih berasal dari saran Habib Kwitang. Waktu itu, Soekarno dan isteri kedua, Inggit dalam pengejaran Belanda, bersembunyi di rumah Habib Kwitang, Jakarta. Di rumah inilah, Soekarno mendapat nasihat agar menggunakan bendera Nabi Muhammad yang berwarna merah putih. Jum’at pagi itu, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, pukul 10, Soekarno didampingi Hatta dan beberapa tokoh, membaca teks proklamasi. Selesai, Latief Hendraningrat didampingi Suhud, mengerek bendera merah putih yang dijahit sendiri dengan tangan Fatmawati. Tahun berikut, 17 Agustus 1946, Sayyid Husein Muttahar, pemuda keturunan Arab kelahiran Semarang, menciptakan Paskibraka di Istana Negara. Beliau pula yang menyelamatkan bendera pusaka saat Soekarno dan Hatta ditangkap dan dibuang Belanda ke Bangka pada masa agresi kedua. Hakikat Kemerdekaan Setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya, air mata membasahi pipiku. Sebab, setiap menyanyikan lagu itu, alam bawa sadarku menuju Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jogjakarta, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Ternate, dan kampungku sendiri di Maluku. Di daerah-daerah tersebut, timbul perlawanan para sultan, ulama, dan tokoh Islam. Mereka mengorbankan waktu, harta, pikiran, dan bahkan nyawa demi memertahankan aqidah Islam. Sebab, penjajah, selain merampas kekayaan Indonesia, juga melakukan pemurtadan terhadap penduduk pribumi yang 98 persen waktu itu beragama Islam. Itulah sebabnya, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, inti ajaran Islam yang dikenal sebagai tauhid. Sila pertama tersebut diabadikan dalam pasal 29 ayat 1 UUD 45: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, Indonesia ini negara tauhid. Bukan negara kapitalis, sekuler, apalagi komunis. Ayat 2 pasal 29 ini menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, hakikat kemerdekaan itu, secara ubudiyah bahwa umat Islam bebas melaksanakan ajaran Islam dan menjadikannya sebagai hukum positif bagi mereka. Secara muamalah, hakikat kemerdekaan, seperti tertuang dalam alinea keempat Piagam Jakarta: menjaga dan melindungi NKRI, mencitakan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, serta berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Fakta hari ini, eksistensi NKRI terancam bubar karena intervensi oligarki politik dan ekonomi, asing dan aseng. Kesejahteraan umum bak khayalan di siang bolong. Sebab, empat orang terkaya di Indonesia setara dengan apa yang dimiliki 100 juta penduduk miskin. Tragisnya, 10 persen penduduk Indonesia menguasai 70 persen aset nasional. Bahkan, gini ratio Indonesia mencapai 0,384, urutan keempat di dunia. Pada waktu yang sama, utang luar negeri mencapai 17 ribu triliun rupiah. Di bidang pendidikan, kualitas manusia Indonesia mencapai 72,29 (2021), rangking 107 dari 189 negara di dunia. Tragisnya, Indonesia berada di rangking kelima Asia Tenggara. Di dunia internasional, Indonesia sangat terpinggirkan. Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Simpulan Pada usia senja, 77 tahun, bangsa dan negara Indonesia masih terjajah juga. Terjajah di bidang politik, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Tidak ada pilihan lain, kecuali: (1) Halau para oligarki asing dan aseng yang menggeroti eksistensi NKRI. (2) Hentikan utang luar negeri dengan cara eksplorasi sumber daya alam Indonesia oleh anak negeri sendiri, sesuai UUD 45 (asli). (3) Pendidikan nasional harus dikembalikan ke Pancasila dan UUD 45 yang asli di mana target pendidikan, terciptanya warga negara yang beriman dan bertakwa. (4) MPR segera menggelar sidang istimewa untuk kembali ke UUD 45 yang asli. Semoga !!! Depok, 17 Agustus 2022. (*)
Fahri Hamzah : Tantangan Paling Besar Negara Indonesia Yakni Negara Hukum Ini
Jakarta, FNN - Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah menyampaikan sambutan dan apresiasi kepada narasumber yang hadir. Turut hadir sebagai narasumber di kegiatan Gelora Talks dengan topik pembahasan 77 Tahun Kemerdekaan: Negara Hukum dan Masa Depan, Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara) dan Benny K Harman (Ketua Fraksi Demokrat MPR RI). Selanjutnya, mantan kader PKS ini juga mengatakan cara terhormat memaknai 77 tahun Kemerdekaan Indonesia ini dengan duduk melakukan refleksi. \"Karena kita tidak bisa ikut refleksi di tempat-tempat lain, mungkin kita refleksi di channel ini, dan saya percaya bahwa refleksi hari ini punya makna yang besar sekali. Karena temanya yang sangat penting yaitu Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia,\" kata Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah secara daring, Rabu (17/8/22). Menurut Fahri, tantangan paling besar dari negara Indonesia yakni negara hukum ini. Dalam perubahan UUD 1945, perubahan konsep tentang kedaulatan rakyat dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen:” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dengan demikian antara kedaulatan rakyat dan hukum ditempatkan sejajar dan berdampingan, sehingga menegaskan dianutnya prinsip “Negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis”. “Hal itu sudah tertuang di dalam UUD 1945 yang menegaskan posisi indonesia negara hukum,” ungkap Fahri. Selanjutnya, hal yang serupa disampaikan oleh Refly Harun tentang hukum, dimana menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dan direnungkan. Seperti halnya substansi hukum. \"Saya lihat misalnya substansi hukum. Jadi, subtansi hukum itu terkait dengan apa isi atau norma yang terkandung dalam setiap aturan itu. Jadi, di sini hukum sebagai aturan. Entah dia di dalam konstitusi, undang-undang atau perubahan yang di bawah undang-undang,\" papar Pakar Hukum Tata Negara ini. RH menyebutkan tahun 2024 nanti konstitusi Indonesia akan berusia 25 tahun, sejak perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999. \"Saat itu memang, secara dingin kita harus melakukan evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan kita, basic fundamental kenegaraan kita yaitu konsitusi, jangan lupa, Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi konstitusional,\" ungkapnya. Demokrasi dan konstitusi itu bersanding. Indonesia tidak hanya negara hukum, tetapi negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Karena Hitler pun berhukum katanya tetapi hukum yang otoriter. “Karena itu demokrasi dan konstitusi harus kita sandingkan,\" tutup Refly Harun. (Lia)
Benny Harman Sebut Penanganan Kasus Brigadir Yoshua Bertele-tele
Jakarta, FNN - Diskusi publik Gelora Talks edisi kali ini menghadirkan para narasumber yang berkompeten dengan topik yang akan diangkat. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan pihaknya sengaja mengundang Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman lantaran memiliki kapasitas di bidangnya, yakni hukum tata negara. Fahri menyebut dalam beberapa kejadian-kejadian belakangan ini Komisi III DPR RI sulit diandalkan. \"Saya kira Pak Benny masih ada pemberontakan di hatinya melihat kejadian-kejadian yang terakhir terjadi juga. dan bagaimana Komisi III menjadi semakin sulit untuk diandalkan,\" ujarnya dalam diskusi Gelora Talks bertajuk \'Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia\', secara daring Rabu (17/8/22). Dalam kesempatan itu, Benny mengomentari penanganan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo sangat bertele-tele. Sejak awal diungkapkan ke publik, ada skenario palsu yang dibuat seolah-olah telah terjadi baku tembak, namun fakta yang terungkap adalah penembakan atau pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Benny mendesak agar pihak-pihak yang terlibat membuat skenario kasus tewasnya Brigadir Yoshua diproses secara hukum. “Menurut saya pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam membangun skenario, membangun narasi menutup-nutupi kejahatan ini harus juga dihukum seberat-beratnya. Seberat-beratnya seperti pelaku kejahatan yang membunuh Brigadir Yoshua itu,\" kata Benny. Benny mengatakan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo bisa terancam hukuman mati bila terbukti sebagai pelaku utama. “Kalau itu Sambo sebagai pelaku utama apalagi dengan berencana, maka ancamannya hukuman mati. Tapi kalau Sambo hanya melihat aja, menonton aja atau pelaku peserta istilah hukumnya itu, tentu hukumannya lain,\" ujarnya. Benny menuturkan dari kasus tersebut menunjukkan bahwa aktor-aktor penegak hukum di Tanah Air bekerja secara monoton, formalistik. \"Tapi ini kan perkembangan, ini salah satu model contoh bagaimana sebetulnya aktor-aktor penegak hukum kita ini bekerja secara monoton, secara formalistik, teknik birokratik begitu yah,\" ungkapnya. Lebih lanjut, Benny mengatakan dengan tegas kasus tewasnya Brigadir Yoshua di rumah dinas Sambo membuat publik heran. Sebab, kata dia, Mabes Polri menyampaikan informasi bohong yang awalnya disebut terjadi tembak menembak, namun belakangan dikatakan tidak. \"Ini yang membuat publik juga ya kalau lembaga resmi aja menyampaikan informasi bohong begitu siapa lagi yang kita percaya? Dan itu resmi. Mereka yang bikin sendiri, mereka lagi yang ralat,\" pungkasnya. (Lia)
Dalam Suasana Sakral Mereka Berjoged Ria
Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih NEGARA ini akan dibawa ke mana, seperti dikatakan oleh Prof. Daniel M. Rosyid: “Para pendiri bangsa sudah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tapi kita tidak cukup bernyali memasukinya karena tidak sanggup bertanggungjawab memikul konsekuensi menjadi bangsa merdeka”. “Pembangunan dikerdilkan hanya sekedar menambah jumlah gedung dan panjang jalan, serta koleksi motor dan mobil, bukan upaya memperluas kemerdekaan. Bahkan kita sanggup kehilangan kebebasan demi keamanan dan ketertiban, serta kemakmuran semu”. Memaknai dan merasakan makna kemerdekaan telah hilang dari para petinggi negara. Pemandangan menakjubkan muncul paska upacara HUT RI ke-77 yang sangat sakral di Istana Negara yang seharusnya penuh penghayatan untuk mengenang para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan, berjoged ria persis seperti anak asuhan Oligarki yang sudah jinak, semua masuk dalam hedonis. Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai jasa para pahlawannya. Para pahlawan yang sudah terbujur di makam-makam pahlawan, bukan saja mereka lupakan tetapi sudah mereka nistakan dengan berjoget ria. Berjuang tidak harus dengan nyawa, setidaknya cipta, rasa dan karsa tetap ada dalam diri pemimpin bangsa ini, tidak terlihat makin kering dan hampa. Mereka memiliki tugas dan tanggung jawab meneruskan perjuangan para pahlawan kita untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Seperti tidak sadar negara sedang kembali dijajah oleh para Oligarki, berubah menjadi negara liberal dan kapitalis oleh penjajah bentuk baru saat ini. UUD 1945 telah diganti, Pancasila telah dimusnahkan seperti mereka tidak sadari, tragis sekali. Renungan mendalam di saat saat upacara kemerdekaan diisi dengan berjoget ria. Apa mereka sedang menikmati sebagai anak manja Oligarki, dengan prilakunya merusak negara ini. Apakah mereka tidak sadar kondisinya makin mengerikan dan berbahaya. Apa tidak terlintas dalam getaran nurani dan rasa bahwa kemerdekaan ini kerja para Bumi Poetra bermodal nekad, dengan bambu runcing, berolah juda di antara debu mesiu, sementara sekujur badannya berlumuran darah. Hanya satu semangat merdeka atau mati, Demi keselamatan dan masa depan anak cucunya. Benturan peradaban terus berlangsung telah memasuki ruang privasi pada leluhur bangsa yang menyimpan tinta emasnya. Episode yang dibangun secara sistematis menuju masa depan untuk anak cucu telah diubah dan tanpa sadar akan dihancurkan. Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Miskin visi - miskin NKRI, kata Ihsanudin Nursi menjadi relevan dengan miskin sejarah dan kering dari penghayatan makna peringatan kemerdekaan yang sakral malah diisi dengan jogedan, tanpa rasa malu. Tragis tragis dan tragis tetapi itu benar-benar terjadi di Istana Merdeka! (*)
Mengungkap Kasus KM 50 Lewat Kasus Duren Tiga: Tuhan Tidak Diam
Oleh Ady Amar | Kolumnis Tembak-tembakan Duren Tiga yang menewaskan Brigadir Yosua. Tokoh intelektualnya sudah dipastikan, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Tembak-tembakan--versi polisi--di KM 50 yang menewaskan 6 laskar FPI, pengawal Habib Rizieq Shihab, juga ada jejak Ferdy Sambo di sana. Tembak-tembakan anak buah Ferdy Sambo di rumah dinas Polri, itu cuma skenario yang dibuatnya. Yang benar adalah Brigadir Yosua (Brigadir J) \"diadili\" dengan ditembak berkali-kali hingga tewas. TKP dibuat seolah terjadi tembak-tembakan antara Brigadir Yosua dan Bharada Eliezer. Keduanya adalah pengawal Ferdy Sambo dan keluarga. Setelah penyelidikan dari Tim Khusus (Timsus) yang dibentuk Kapolri, memastikan bahwa tembak-tembakan itu sekadar skenario, seolah terjadi saat Fredy Sambo sedang tidak berada di TKP. Tembak-tembakan seperti jadi skenario favorit yang dipakai. Bisa jadi itu skenario pengulangan dari kasus KM 50, yang dianggap sukses mampu menyumpal nalar publik. Pengadilan dihadirkan cuma jadi tontonan hukum sekadarnya. Pembunuhnya lolos dari jerat hukum dianggap membela diri. Setelah aksi \"tembak-tembakan\" dinihari di KM 50, siang harinya (7/12/2020), dilakukan konferensi pers. Dihadirkan di situ senjata api, pedang samurai yang nyaris berkarat, dan celurit. Disebut milik FPI. Hadir di sana Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman (jabatan saat ini sebagai Kasad), Brigjen Hendra Kurniawan, Karopaminal Divpropam Polri (saat ini ditahan terkait kasus Duren Tiga). Nalar publik disumpal untuk mempercayai tidak saja \"tembak-tembakan\", tapi juga senjata yang dituduhkan milik FPI. Padahal laskar FPI terlarang membawa senjata tajam apalagi senjata api. Tapi kisah dibuat demikian. Dipaksa dengan skenario \"tembak-tembakan\". Untuk sementara memang itu sukses. Pada kasus Duren Tiga, pada awalnya skenario itu tampak mulus-mulus saja. Tapi keluarga Brigadir Yosua tidak percaya begitu saja. Merasa ada yang janggal dari bangunan skenario yang dibuat. Berteriak kencang, bahwa anakku mati tak wajar. Teriakan campur tangisan saat peti jenazah dibuka. Ditemukan kematian tak wajar. Ditubuh Brigadir J ditemukan seperti bekas siksaan. Pada kepala belakang lubang bekas tertembus peluru. Mustahil peluru yang ditembakkan dengan saling berhadapan bisa berputar mengenai tengkorak kepala bagian belakang. Masih banyak kejanggalan lainnya. Keluarga sederhana ini tak mungkin mampu membayar jasa lawyer untuk mengungkap peristiwa kematian sang anak. Tapi para lawyer bermunculan dari etnis Batak--tidak perlu dibayar, itu pastilah rasa solidaritas sesama etnis--hadir membersamai keluarga Brigadir J. Mereka bekerja maraton tak kenal lelah. Lebih-lebih lagi tak kenal rasa takut, bahwa yang dilawan itu institusi kepolisian. Mereka terus \"bernyanyi\" dengan suara keras meminta keadilan sesungguhnya. Melihat antusiasme etnis Batak dalam membela Brigadir J, memaksa Presiden Joko Widodo meminta Kapolri untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Bahkan presiden sampai perlu mengulang tiga kali, semacam \"ancaman\" pada Kapolri. Dibuatlah Timsus untuk menyelidiki kasus Duren Tiga dengan serius. Maka skenario \"tembak-tembakan\" dicoret, dan mulai terkuak dalang dari peristiwa yang sesungguhnya. Nalar publik tak lagi mampu disumpal, dan mencari kebenarannya sendiri. Spekulasi liar muncul, menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Peran Menko Polhukam, Prof Mahfud MD pada kasus Duren Tiga, seperti ada \"bersama\" keluarga korban (Irjen J). Prof Mahfud sangat aktif, ingin kasus ini terbongkar dengan sejujurnya. Komen-komen Prof Mahfud lebih dahsyat dari Kapolri. Bahkan pada beberapa bagian terkesan mendahului institusi kepolisian. Pantas saja ayah dari Brigadir J perlu mengapresiasi Presiden Jokowi dan terkhusus pada Prof Mahfud. Itu hal wajar, karena tanpa campur tangan Jokowi dan Prof Mahfud, kasus itu akan mulus dengan skenario \"tembak-tembakan\", dan dalang sebenarnya tidak terungkap. Jangan tanya peran Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Prof Mahfud MD terhadap terbunuhnya 6 laskar FPI. Presiden Jokowi tidak sampai meminta Kapolri untuk mengungkapnya, apalagi sampai tiga kali. Prof Mahfud pun tak tampak peran serius untuk mengungkapnya. Soal itu bisa dilihat dari jejak digital yang ditinggalkan. Tapi doa Habib Rizieq Shihab atas terbunuhnya 6 laskar FPI yang mengawalnya, doa yang disampaikan di hadapan majelis hakim di PN Jakarta Timur, sungguh menyayat hati, agar keadilan pada kasus KM 50 Allah hadirkan. Juga mubahalah keluarga dari 6 laskar yang terbunuh, itu sudah mulai bisa dipetik hasilnya. Tuhan Tidak Diam, mengijabah doa-doa mereka yang terzalimi. Setidaknya beberapa nama sudah terseret, Irjen Ferdy Sambo dan Brigjen Hendra Kurniawan dan yang lainnya--konon Irjen Fadil Imran sudah mulai diperiksa--dan tampaknya satu per-satu _ngantri_ untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat. Skenario Tuhan memang indah dan dahsyat, memakai kasus Duren Tiga untuk membuka dan menghukum mereka yang terlibat pada kasus KM 50. Tidak itu saja, bahkan Tuhan memberi bonus dengan membuka jaringan bisnis ilegal--melibatkan banyak petinggi polri--yang dipimpin \"kaisar\" Fredy Sambo. Jaringan kekuasaan yang dipunya, itu sebelumnya seperti tidak tersentuh hukum, hancur lumat seketika, serasa bangunan kokoh yang hancur hanya tertiup angin.Subhanallah. (*)
Gara-gara Vivere Pericoloso, Orde Lama Ngegeloso
Oleh Ridwan Saidi | Budayawan PEMILU 1955 PKI pemenang ke-4. Media PKI Harian Rakyat diikuti koran non-partai Sin Po lalu ganti nama Warta Bhakti, dan Bintang Timur, semua di Jakarta, menjadi makin agresif menyerang lawan-lawannya terutama Masyumi. Bintang Timur, mungkin kebetulan, dalam Belanda de Ster van het Oosten. Ini nama synagog jaman Belanda buat ritual Jewish. Jaman merdeka gedung ini dikuasai pemerintah, kemudian jadi Bappenas. Media Masyumi kebanyakan majalah seperti Hikmah, Daulah Islamiyah yang terbit bulanan. Koran cuma Abadi pimpinan Suardi Tasrif yang beretika. Akhirnya tokoh pemuda Islam Firdaus Ahmad Naquib dan teman-temannya mendirikan Front Anti Komunis. DN Aidit kelojotan, kami tidak bermaksud membalas dengan bikin Front Anti Masyumi. Diresponi Firdaus, Front Anti Komunis bukan anti PKI saja. Firdaus bikin tabloid mingguan Anti Komunis. Kubu media komunis dan simpatisannya dapat imbang tangguh. Setelah pemerintah Indonesia mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia, lalu Bung Karno dalam pidato Agustusan 1964 umumkan tahun Vivere Pericoloso, menyerempet bahaya, disingkat Tavip. Tavip jadi nama gang di-mana-mana. Di Grogol ada Gang Tavip. Kepala RT ada yang dipanggil warga pak Tapip. Kedutaan Inggris sering didemo Pemuda Rakyat. Pihak kedutaan merespons dengan parede grup yang memainkan music Scott. Presiden Sukarno melalui Menlu Subandrio mendirikan poros Jakarta-Peking. Peking itu Beijing. Kemudian datang rombongan dukun-dukun (sinshe) China. Katanya mau mengobati Bung Karno. Koran-koran kiri menyiarkan berita dan ulasan-ulasan yang selalu hebat-hebati China, yang dulu disebut Tiongkok. PKI pajang potret Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung di jalan-jalan. Koran kiri sebut Mao Tse Tung Paman Mao. Saya kadang-kadang kalau amati politik kok sering ingat jaman Paman Mao bekend di mari. Itulah situasi Vivere Pericoloso. Hidup susah, mau cari hiburan susah, bioskop putar film China semua, se-waktu-waktu film Korut. Kapan ya ini jaman berakhir? Tahu-tahu percobaan kudeta Gestapu/PKI meledug. BK, PKI, Orde Lama ngegeloso. Terjerembab. (RSaidi).