ALL CATEGORY

Sebelum Amandemen, Konsep Public Goods UUD Sesuai dengan Konsep Islam

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika konsepsi pengelolaan public goods Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945 naskah asli telah sesuai dengan konsep Islam.  Tetapi setelah amandemen tahun 1999-2002, Konstitusi, ruang penguasaan public goods dibuka total untuk dapat dikuasai segelintir orang. Demikian disampaikan LaNyala saat menyampaikan Keynote Speech dalam Sarasehan Kebangsaan Pimpinan Pusat Syarikat Islam di Jakarta, Minggu (14/8/2022). Oleh karena itu, menurut LaNyalla bangsa ini harus kembali ke penjelasan pasal 33 yang dihapus total saat amandemen. Dijelaskannya, tujuan bangsa memproklamirkan diri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah untuk mewujudkan hakikat dari kemerdekaan. Yaitu menjadi negara yang menyejahterakan rakyat dalam keadilan sosial.  Makanya Pasal 33 dalam naskah asli UUD 1945, dimasukkan di dalam Bab tentang Kesejahteraan Sosial, dimana tertulis dengan sangat jelas pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karena sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.  “Konsepsi tersebut sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam,” tuturnya.  Menurut LaNyalla, dalam Islam komoditas kepemilikan publik atau Public Goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis. Yaitu air, ladang atau hutan, serta api, yaitu energi, baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semua itu harus dikuasai Negara.  “Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Goods,” terangnya lagi.  Hal ini tertulis dalam Hadist Riwayat Ahmad. “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya,” kata LaNyalla. Sehingga jelas bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi.  “Tetapi komoditas publik yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 naskah asli, sudah dihapus total sejak Perubahan UUD di tahun 1999 hingga 2002 silam,” katanya. Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, sejak itu UUD hasil Amandemen, atau UUD 2002, tidak memiliki lagi Penjelasan.  “Sehingga Pasal 33 bisa ditambah 2 ayat lagi, yaitu Ayat 4, yang kalimatnya tidak karu-karuan dari segi tata bahasa, sekaligus memberi ruang masuknya swasta ke ruang Public Goods. Serta Ayat 5 yang standar,” ucapnya. “Dari sini kita akan memahami mengapa Naskah Penjelasan di dalam UUD 1945 yang asli dihapus saat perubahan itu. Dari sini juga kita mengetahui negara memang sudah tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” sambungnya. Berdasar fakta tersebut, LaNyalla menawarkan Peta Jalan untuk mengembalikan Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat dengan cara mengembalikan UUD 1945 naskah asli, kemudian disempurnakan kelemahannya dengan cara yang benar. Bukan dengan mengobrak-abrik, sehingga menjadi Konstitusi Baru yang malah menjabarkan ideologi liberal kapitalisme. “Dalam hasil penelitian akademik Profesor Doktor Kaelan dari UGM, pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah tidak koheren dan sudah tidak menjabarkan lagi nilai-nilai Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm negara ini. Ini yang harus kita kembalikan,” tukasnya. Harapan LaNyalla, peta jalan kembali ke UUD 1945 itu bisa menjaga kekayaan alam negara ini, sehingga tidak dirampok oleh bukan Orang Indonesia Asli secara sistemik melalui agresi non-militer.  “Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di bumi pertiwi ini. Bayi-bayi yang lahir di negeri yang sebenarnya kaya-raya ini,” tutur dia. Dalam acara tersebut, LaNyalla didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin.  Hadir pula Gus Aam (cucu KH Wahab Chasbullah, pendiri NU), Politis Partai Gelora Dedi ‘Miing’ Gumelar, Presiden Pimpinan Pusat Syarikat Islam, Hamdan Zoelva, Sekjen Syarikat Islam, Ferry Juliantono, dan para pimpinan Syarikat Islam lainnya.  Sedangkan narasumber Sarasehan hadir Ekonom Faisal Basri, Pengamat politik Rocky Gerung dan Pengamat hukum Refly Harun. (Ida/LC)

Telusuri Pemicu Penembakan Brigadir J, Timsus Polri ke Magelang

Jakarta, FNN - Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Pol. Agus Andrianto menyebutkan, penyidik tim khusus Polri berangkat ke Magelang untuk menelusuri peristiwa yang sebenarnya terjadi hingga memicu kemarahan Ferdy Sambo dan merencanakan pembunuhan atau penembakan terhadap Brigadir J.“Tim sedang ke Magelang untuk menelusuri kejadian di sana secara utuh kejadian bisa tergambar,” ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Minggu.Menurut Agus, penelusuran ini untuk mengetahui faktor pemicu penembakan terhadap Brigadir J sebagaimana yang diungkapkan Irjen Pol. Ferdy Sambo saat diperiksa sebagai tersangka di Mako Brimob Polri, pada Kamis (11/8) lalu, bahwa dirinya marah setelah mendapat laporan dari istrinya Putri Candrawathi.   “Faktor pemicu kejadian sebagaimana diungkapkan Pak FS,” ujarnya. Penyidik, kata dia, akan mengumpulkan barang bukti yang dibutuhkan untuk dalam penyidikan kasus tersebut.Sebagaimana diketahui, karena sebelum penembakan terjadi di tempat kejadian perkara (TKP) rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, Jumat (8/7), para tersangka, saksi dan juga korban baru pulang perjalanan dari Magelang.Ferdy Sambo dalam berita acara pemeriksaannya (BAP) mengaku marah dan emosi setelah mendapatkan laporan dari istrinya, karena mengalami tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang oleh Brigadir J.“Rangkaian peristiwanya begitu kan enggak bisa kami hilangkan. Yang pasti apa yang terjadi ya Allah SWT, almarhum dan Ibu PC. Kalaupun Pak FS dan saksi-saksi lainnya seperti Kuat, Ricky, Susi dan Richard hanya bisa menjelaskan sepengetahuan mereka,” kata Agus menerangkan.Dalam penelusuran ke Magelang ini, kata Agus, penyidik tidak menyertakan Putri Candrawathi. Namun, penyidikan menjadikan keterangan Putri sebagai dasar dalam proses penyiidkan.“Kami juga mendasari keterangan yang bersangkutan (Putri) juga dalam proses penyidikan yang kami lakukan,” ujarnya.Dalam kasus ini, peristiwa dugaan pelecehan terhadap Putri Candrawathi dengan terlapor Brigadir J telah dihentikan laporannya, pada Jumat (12/8) usai gelar perkara, karena tidak terjadi peristiwa pidana tersebut. Termasuk juga laporan dugaan percobaan pembunuhan terhadap Bharada E oleh Brigadir J, dihentikan.Agus menambahkan, tim khusus Polri secepatnya untuk menuntaskan kasus penembakan terhadap Brigadir J sesuai arahan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo. “Semoga segera bisa dituntaskan,” kata Agus.Penyidik tim khusus Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo yang terjadi Jumat (8/7) lalu. Keempat tersangka adalah Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR dan Kuat Maruf alias KM.Keempat tersangka dijerat dengan pasal pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (Ida/ANTARA)

Penetapan Ferdy Sambo sebagai Tersangka Merupakan Upaya Kapolri Perbaiki Citra Polri

Jakarta, FNN - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Moh Ali Irvan mengatakan penetapan Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka merupakan upaya Kapolri untuk memperbaiki citra Polri.Dosen Komunikasi UIN Jakarta, Moh. Ali Irvan mengapresiasi langkah Kapolri yang menetapkan Irjen Ferdy sambo sebagai tersangka kasus penembakan Brigadir J.\"itu merupakan upaya Kapolri untuk mengembalikan citra kepolisian dan kepercayaan publik,\" katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.Pakar Komunikasi itu menegaskan kasus Brigadir J bukan hanya kasus penembakan, tetapi ada upaya menutup-nutupi hingga merekayasa kasus yang dilakukan oleh oknum internal kepolisian.Menurut Ali, untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dengan mengusut tuntas upaya rekayasa yang dilakukan oleh kelompok kepolisian pada kasus penembakan Brigadir J.\"Kapolri jangan ragu untuk menuntaskan kasus ini. Tindak tegas jika ada oknum di kepolisian yang mencoba menhambat pengungkapan kasus ini,\" katanya menegaskan.Ali Irvan yang merupakan Ketua Harian Ikatan Keluarga Alumni UIN (IKALUIN) Jakarta juga menyoroti dugaan adanya manuver dari oknum petinggi Polri untuk sengaja memperlambat penyelesaian kasus Brigadir J ini.Dalam hal ini, Ali meminta kepada Kabareskrim yang secara khusus bertindak dalam penanganan kasus ini untuk segera menuntaskan kasus ini agar bisa segera dibawa ke pengadilan.\"Kabareskrim jangan main-main. Jutaan rakyat menunggu babak akhir dari kasus ini. Jangan berlarut-larut seperti sinetron,\" katanya.Sebelumnya, Tim Khusus Polri menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan sangkaan pembunuhan berencana, keempatnya terancam dengan pidana maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa malam, menyebutkan keempat tersangka adalah Bharada Dua Polri Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Bripka Ricky Rizal atau Bripka R, Kuat, dan Irjen Pol. Ferdy Sambo.“Berdasarkan hasil pemeriksaan keempat tersangka, menurut perannya masing-masing, penyidik menetapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun,” kata Agus. (Ida/ANTARA)

Rocky Gerung: People Power Itu Bukan Orang Berkerumun Menjatuhkan Kekuasaan

Jakarta, FNN -  People power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice.  Demikian paparan pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 14 Agustus 2022.  Rocky juga menegaskan bahwa sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. “Sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai,\" paparnya. Publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya. “Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah,\' tegasnya. Berikut wawancara lengkapnya: Hersu: Oke, walaupun akhir pekan termyata kita tetap membahas topik Ferdy Sambo dan istrinya yang makin seru. Tapi, kita tidak akan masuk ke detil persoalan kriminalnya atau pidananya, tetapi impact-nya.  Nah, ini saya membaca KNPI katanya berencana akan mengajukan gugatan judicial review Undang-undang Kepolisian karena mereka melihat bahwa ini dampak dari undang-undang kepolisian yang begitu powerful. Kira-kira begitu. Dan ini juga ada teman kita yang menulis sebuah artikel Gede Sriana. Dia mengingatkan publik bahwa ternyata kalau publik bersatu, tidak terpecah dalam kelompok kadrun dan cebong, agenda-agenda yang lebih serius bisa selesai kita kawal, termasuk bagaimana kasus ini terbongkar karena menyatunya civil society. Saya kira ini topik yang menarik dan perlu kita dalami soal ini. RG: Betul, akhirnya orang berdiri pada kecemasan terhadap keadaan institusi-institusi reformasi kita: kepolisian, DPR, Mahkamah Konstitusi, KPK. Jadi, betul suatu pengamatan yang bagus dari Gede Sriana bahwa ada hal yang sebetulnya bisa diucapkan ulang, yaitu reformasi seluruh institusi. Itu intinya. Hal yang bagus dimulai dari kepolisian, supaya DPR juga mereformasi cara dia berpikir, MK begitu, KPK juga begitu. Semua reputasi yang kita buat dulu di awal reformasi, itu dimaksudkan untuk membuat bangsa ini teduh secara politik, supaya bisa menghasilkan kembali pertumbuhan ekonomi. Kalau dulu Pak Harto melakukan stabilisasi dan itu artinya ada kekuatan militer di belakang proses pembangunanisme develomentalisme pada waktu. Sekarang dalam era demokrasi mustinya institusi-institusi yang berfungsi, bukan lagi stabilisasi. Pak Jokowi seringkali juga agak kacau menganggap bahwa stabilitas penting. Bukan stabilitasnya yang penting, tapi profesionalitas dari institusi-institusi itu. Ini intinya kenapa KPK bagus, dia mendorong untuk reformasi dan rakyat memang melihat bahwa ini momentum untuk ya sudahlah soal pemilu gampanglah itu. Tetapi, kalau pemilu sendiri dilakukan dan dikawal oleh institusi-institusi yang rapuh itu artinya demokrasi tidak akan tumbuh. Bayangkan misalnya kita mau pemilu satu setengah tahun lagi dan kepolisian masih berantakan semacam ini, KPK masih mudah tebang pilih, Mahkamah Konstitusi tidak paham fungsi konstitusional yang diberikan pada dia, yaitu judicial activism. Jadi kalau Pemilu dibuat 2024 nanti dalam keadaan institusi-institusi demokrasi kita rapuh, itu akan menghasilkan juga pemimpin yang juga rapuh. Itu poinnya. Jadi kalau kita berpikir secara makroskopik, kita dapat poin bahwa ini adalah momentum yang disediakan sejarah untuk mengubah kembali atau menata ulang institusi-institusi utama dari demokrasi kita.  Hersu: Nah, kan kita tahu bahwa penataan ulang dari institusi-institusi kita itu berkaitan sebenarnya power game. Ini politisi, kita teringat dulu pada masa orde baru bagaimana TNI itu ditarik ke ranah politik itu sebenarnya karena kepentingan dari politisi, dalam hal ini tentu saja Pak Harto, ada faktor yang sering disebut oleh Doktor Salim Said sebagai faktor push dan pull, faktor daya tarik dan daya dorong internal TNI (ABRI waktu) untuk terlibat dalam day to day politik. Nah sekarang polisi juga begitu. Apa yang terjadi ini kita melihat bahwa oke kepolisian juga ditarik-tarik ke ranah politik dan ini juga mainan dari para politisi gitu. RG: Ya, itu tadi satu paket itu mereformasi kultur politik kita. Di zaman orde baru itu memang ada semangat dunia yang disebut developmentalism yang pasti menyeret tentara. Karena pada waktu itu pasca-komunisme tahun 60-an atau 70-an bahkan di tahun 70-an masih ada khmer merah segala macam sehingga ada kekhawatiran bahwa kalau tidak stabil negara-negara di Asia Tenggara itu bisa diatur pada domino efek dari komunisme di Asia Selatan. Tapi kemudian kita masuk dalam era yang betul-betul menganggap bahwa perselisihan ideologi selesai maka diperlukan reformasi. Pak Harto tentu tahu bahwa keadaan sudah berubah. Dan karena itu dia nggak paksa lagi untuk meneruskan jabatannya. Jadi memang sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. Ini juga tidak terduga ada kasus Pak Sambo, lalu orang bongkar semua soal yang menyangkut kekacauan dalam institusi kepolisian. Tapi saya tahu ada banyak perwira yang betul-betul profesional, hanya mau belajar dan memahami kepolisian sebagai institusi yang membanggakan mereka. Mereka ini justru yang bisa dipromosikan. Kan nanti kita kesulitan juga kalau kita bubarkan semuanya terus siapa nantinya yang mengatasi kekacauan. Jadi mulai dari sekarang, mungkin Pak Listyo bikin semacam panitia pemantau potensi atau sebut saja reformasi jilid dua lembaga kepolisian. Nah itu memang mulai dari merevisi atau mereformasi minimal undang-undang tentang kepolisian. Tapi, setelah itu kemudian mental dari para politisi juga harus direformasi yang berupaya untuk memanfaatkan kepolisian sebagai peralatan politik. Itu buruknya. Kita masuk pada ide baru bahwa kesempatan ini justru memungkinkan perseberangan ideologi antara Kadrun dan Cebong bisa dihentikan supaya kita fokus pada penguatan institusi. Tetapi, saya masih melihat beberapa kecenderungan untuk favoritisme pada satu kelompok di dalam kepolisian dan itu beberapa potensi yang sebetulnya harus dihasilkan ulang itu kemudian tercegah oleh dari kelompok-kelompok ini, kelompok masyarakat sipil terutama, yang seolah-olah kehilangan akses pada kepolisian. Pada kita memang ingin supaya kepolisian itu tidak punya akses ke mana-mana selain yang berurusan dengan ketertiban. Jadi itu masyarakat sipil tidak boleh juga numpang pada kepolisian, apalagi masyarakat politik supaya betul-betul polisi itu tampil secara profesional. Itu pooinnya.  Hersu: Iya. Kalau kita belajar dari reformasi atau waktu itu disebutnya TNI atau ABRI, itu waktu back to basic. Itu kan juga ada faktor push dan pull. Faktor publik juga ada keinginan agar TNI tidak lagi menjadi alat kekuasaan dari penguasa dan juga tidak terlibat dalam day to day politik. Dari internal TNI kita kenal orang-orang seperti SBY, Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, dan teman-teman yang lain. Itu mereka yang terwesternisasi dan mereka melihat bahwa memang praktik-praktik dalam dunia demokrasi itu under skip in control. Dan tadi Anda melihat bahwa potensi yang sama juga ada di dalam kepolisian. RG:  Iya betul kita ingat pada waktu itu menemukan istilah back to basic saja itu supaya nggak ada back to barrak, kembali ke barak itu artinya seolah-olah tentara nggak punya fungsi lain selain pertahanan. Indonesia punya sejarah lain, yaitu tentara perjuangan, tentara rakyat. Karena itu dipilihlah kembali ke basic, bukan kembali ke barak. Kalau kembali ke barak itu betul-betul profesional tentara Amerika, tentara Barat. Jadi kita mau ingat kembali demikian juga soal kepolisian. Kepolisian itu dibentuk dalam upaya menggantikan polisi-polisi Belanda yang juga beroperasi mengintai rakyat secara polisional. Jadim betul bahwa reformasi TNI sudah berhasil dan di ujungnya masih ada semacam upaya partai politik untuk mempunyai akses pada beberapa tokoh TNI dalam pertandingan atau persaingan untuk jadi Panglima, demikian juga di kepolisian. Jadi, sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai. Jadi dasarnya dia adalah sipil. Bukan karena senjata maka orang takut, justru karena dia sipil orang hormati, orang hargai, maka diberi dia senjata. Kan itu dasarnya. Beda dengan tentara yang betul-betul peralatan utama dia adalah senjata. Polisi peralatan utamanya bukan senjata, tetapi bahasa. Itu bedanya. Kalau bahasa polisi sekarang mengancam atau seringkali terlihat arogan, itu juga bukan fungsi yang betul. Kita tahu bahwa beberapa sebut saja satu generasi di dalam yang berupaya untuk mengembalikan polisi pada citra yang sipil, tapi sekaligus berwibawa. Nah, kewibawaan itu yang diminta oleh publik, bukan polisi memperlengkapi senjatanya. Ada section-section khusus pada kepolisian yang memang harus kita persenjatai lengkap, tapi secara umum institusi itu institusi sipil.     Hersu: Nah, jadi ini sekarang kita dorong KNPI untuk menguji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, nanti orang skeptis lagi terhadap MK.  RG: Nah, itu bercampur semua. Kita minta Mahkamah Konstitusi untuk membuka pikirannya dan ada problem yang macam-macam, tapi justru kita lagi nggak percaya sama MK. Jadi, keadaan kita ada di dalam dilema itu. Tetapi dilema itu bisa kita atasi kalau ada kesepakatan masyarakat sipil untuk mendorong terus proses ini. Maka kalau Mahkamah Konstitusi mau keras kepala itu akan dianggap sebagai mahkamah dungu kalau nggak mau memperhatikan pikiran publik karena publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya.  Hersu: Iya. Dan ini kita juga diingatkan betapa dahsyatnya potensi people power. Sebenarnya fenomena yang terjadi pada Ferdy Sambo ini sebetulnya fenomena people power juga. RG:  Ya, betul itu. Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah. Itu poinnya. Juga kemarin buruh. Buruh kemarin juga ada yang mengakui bahwa nggak akan terjadi ternyata Saudara Jumhur itu bisa memimpin mungkin sampai satu juta buruh karena di daerah-daerah juga ada gerakan. Jadi yang kita sebut sebagai people power itu datang dari kesepakatan batin rakyat. Dari cara ide diucapkan dalam bentuk protes, bukan menggiring manusia sebagai massa, tapi massa itu di dalamnya ada ide. Nah, people power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice. (ida, sof)

Peringatan HUT Ke-77 RI Berkonsep Sejarah Bangsa

Jakarta, FNN - Sekretariat Presiden mengungkapkan Peringatan HUT ke-77 Republik Indonesia mengusung konsep sejarah bangsa Indonesia yang dituangkan dalam dekorasi di kawasan Istana Merdeka, Jakarta.\"Konsepnya adalah kita menggali sejarah-sejarah bangsa Indonesia. Adanya kejayaan kita, kejayaan Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram kita gali, kita jadikan satu, termasuk menggali kebudayaan-kebudayaan yang ada zaman dulu,\" kata Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono saat ditemui di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu.Heru menjelaskan kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lampau menjadi inspirasi bagi konsep dan dekorasi untuk Peringatan Detik-Detik Proklamasi Memperingati HUT Ke-77 RI pada 17 Agustus 2022.Berbeda dengan dua tahun terakhir, Sekretariat Presiden akan menyelenggarakan rangkaian Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi dan Upacara Penurunan Bendera Merah Putih dengan kondisi seperti sebelum COVID-19.Salah satunya, yakni anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) akan diturunkan secara penuh sesuai formasi 17-8-45 pada dua sesi upacara tersebut.Kemudian, Istana juga menyelenggarakan kembali kirab atau arak-arakan Sang Saka Merah Putih dan Naskah Proklamasi dari Monumen Nasional menuju Istana Merdeka.\"Perbedaannya adalah ketika kirab itu Bendera Sang Saka Merah Putih dengan (naskah) Proklamasi kita letakkan, kemudian kita turunkan dari mimbar utama. Tahun-tahun lalu kan dari samping menuju mimbar utama,\" kata Heru.Adapun Bendera Merah Putih Pusaka nantinya tidak akan dikibarkan, begitu juga dengan Naskah Proklamasi yang disimpan dalam kotak khusus sehingga tidak diperkenankan kedua benda bersejarah tersebut untuk disentuh.Sementara itu, busana adat yang akan dikenakan Presiden Joko Widodo saat menjadi Inspektur Upacara masih dipilih. \"Sedang dipilih. Kandidat daerah belum tahu, masih ada tiga daerah,\" kata Heru.Istana pada hari ini (Minggu) masih melakukan gladi kotor kedua kali untuk persiapan rangkaian kegiatan Peringatan Detik-Detik Proklamasi Memperingati HUT Ke-77 RI pada Rabu, 17 Agustus 2022.Pada Senin (15/8), Istana akan melakukan gladi bersih untuk menyamakan waktu atraksi \"fly pass\" oleh TNI AU dengan Detik-Detik Proklamasi di Istana Merdeka. Kemudian pada sore harinya, Presiden dijadwalkan mengukuhkan anggota Paskibraka. (Ida/ANTARA)

Di Sarasehan Kebangsaan Syarikat Islam, Rocky Gerung Sebut LaNyalla Nyalakan Pikiran

Jakarta, FNN – Pengamat politik, Rocky Gerung, melontarkan pujian untuk Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurutnya, sosok seperti LaNyalla lah yang harus pindah ke istana dan menyuarakan kesejahteraan rakyat. Pujian disampaikan Rocky Gerung dalam Sarasehan Kebangsaan 2 yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Syarikat Islam di Rumah Kebangsaan Syarikat Islam Jakarta, Minggu (14/8/2022), yang juga diikuti LaNyalla. Sarasehan bertema “Menuju Kemerdekaan Sejati: Kedaulatan Ekonomi dan Keadilan Sosial” itu, menghadirkan narasumber Ekonom Faisal Basri, Pengamat politik Rocky Gerung dan Pakar hukum tatanegara Refly Harun. Rocky Gerung mengaku memimpikan suatu saat ada sosok seperti LaNyalla yang pindah ke Istana Negara dan berpidato soal langkah-langkah untuk  mewujudkan kesejahteraan rakyat. “Iya, saya ingin ada orang yang di sini, seperti Pak Nyalla, pindah ke istana. Pidato soal mewujudkan kemakmuran rakyat, soal pencapaian dan pengentasan kemiskinan dan lain-lain,\" ujar dia. Karena menurut Rocky, LaNyalla selalu panas dengan terus memproduksi pikiran-pikiran bernas dan fundamental. LaNyalla pikirannya berapi terus dan ingin menyalakan akal sehat. Salah satunya adalah pikiran LaNyalla yang menggagas peta jalan kembali ke UUD 1945 naskah asli untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. \"Semua yang di sini, termasuk Pak LaNyalla panas karena memproduksi panas pikiran. Di sisi lain ada seseorang yang diberi mandat sebagai kepala negara justru kepalanya tidak memproduksi pikiran,\" papar dia. Rocky Gerung juga mengaku sepakat dengan gagasan Ketua DPD RI terkait kembali ke UUD 45 naskah asli kemudian disempurnakan dengan adendum. Konstitusi bangsa ini, menurutnya, memang harus kembali ke desain dasar. Bukan menjadi bangsa yang liberalisme dan kapitalistik yang terjadi sekarang ini. \"Asal-usul kontitusi adalah anti kolonialisme dan imperialisme. Semangatnya adalah itu. Tapi kenapa justru ada model penjajahan baru akibat keserakahan oligarki sehingga terjadi disparitas yang semakin jauh,\" tegas dia. Sementara itu Refly Harun menjelaskan jika bicara soal perubahan Konstitusi, ada tiga kelompok yang berperan. Pertama ada pihak yang tak mau Konstitusi berubah, inginnya status quo. Artinya Konstitusi yang sekarang saja yang dijalankan. \"Kelompok kedua yaitu Konstitusi perlu disempurnakan dengan konsep perubahan kelima UUD. Dalam hal ini mengakomodir capres perorangan,\" ujar dia. Sedangkan yang ketiga adalah pihak yang kembali ke UUD 45 naskah asli sesuai konsep PPKI, lalu disempurnakan dengan adendum. \"Pada prinsipnya, sebagai bangsa yang mau maju negara ini tidak boleh tertutup. Harus berpikiran maju, sesuai perkembangan untuk menyejahterakan rakyat. Apalagi Konstitusi tidak bisa diubah secara parsial,\" tuturnya. Ekonom Faisal Basri lebih banyak berbicara tentang rintihan bangsa karena semakin lama kekayaan alam semakin habis karena dieksploitasi oleh oligarki. \"Kita ini sekarang soal pangan tak berdaulat, soal barang industri kita defisit. Bahkan kalau kita perang, diserang dan diblokade, kita habis karena tidak punya kedaulatan ekonomi,\" paparnya. Pada sarasehan itu, LaNyalla hadir didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin. Hadir juga Gus Aam (cucu KH Wahab Chasbullah, pendiri NU), Politisi Partai Gelora Dedi \'Miing\' Gumelar, Presiden Pimpinan Pusat Syarikat Islam, Hamdan Zoelva, Sekjen Syarikat Islam, Ferry Juliantono, dan para pimpinan Syarikat Islam lainnya. (mth/*)

Sebelum Amandemen, Konsep “Public Goods” UUD Sesuai dengan Konsep Islam

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika konsepsi pengelolaan public goods Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945 naskah asli telah sesuai dengan konsep Islam. Tetapi setelah amandemen tahun 1999-2002, Konstitusi, ruang penguasaan public goods dibuka total untuk dapat dikuasai segelintir orang. Demikian disampaikan LaNyala saat menyampaikan Keynote Speech dalam Sarasehan Kebangsaan Pimpinan Pusat Syarikat Islam di Jakarta, Ahad (14/8/2022). Oleh karena itu, menurut LaNyalla bangsa ini harus kembali ke penjelasan pasal 33 yang dihapus total saat amandemen. Dijelaskannya, tujuan bangsa memproklamirkan diri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah untuk mewujudkan hakikat dari kemerdekaan. Yaitu menjadi negara yang menyejahterakan rakyat dalam keadilan sosial. Makanya Pasal 33 dalam naskah asli UUD 1945, dimasukkan di dalam Bab tentang Kesejahteraan Sosial, dimana tertulis dengan sangat jelas pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karena sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. “Konsepsi tersebut sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam,” tuturnya. Menurut LaNyalla, dalam Islam komoditas kepemilikan publik atau Public Goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis. Yaitu air, ladang atau hutan, serta api, yaitu energi, baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semua itu harus dikuasai Negara. “Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Goods” terangnya lagi. Hal ini tertulis dalam Hadist Riwayat Ahmad. “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya,” kata LaNyalla. Sehingga jelas, katanya, bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi. \"Tetapi komoditas publik yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 naskah asli, sudah dihapus total sejak Perubahan UUD di tahun 1999 hingga 2002 silam,” katanya. Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, sejak itu UUD hasil Amandemen, atau UUD 2002, tidak memiliki lagi Penjelasan. “Sehingga Pasal 33 bisa ditambah 2 ayat lagi, yaitu Ayat 4, yang kalimatnya tidak karu-karuan dari segi tata bahasa, sekaligus memberi ruang masuknya swasta ke ruang Public Goods. Serta Ayat 5 yang standar,” ucapnya. “Dari sini kita akan memahami mengapa Naskah Penjelasan di dalam UUD 1945 yang asli dihapus saat perubahan itu. Dari sini juga kita mengetahui negara memang sudah tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” sambungnya. Berdasar fakta itu, LaNyalla menawarkan Peta Jalan untuk mengembalikan Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat dengan cara mengembalikan UUD 1945 naskah asli, kemudian disempurnakan kelemahannya dengan cara yang benar. Bukan dengan mengobrak-abrik, sehingga menjadi Konstitusi Baru yang malah menjabarkan ideologi liberal kapitalisme. “Dalam hasil penelitian akademik Profesor Doktor Kaelan dari UGM, pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah tidak koheren dan sudah tidak menjabarkan lagi nilai-nilai Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm negara ini. Ini yang harus kita kembalikan,” tukasnya. Harapan LaNyalla, peta jalan kembali ke UUD 1945 itu bisa menjaga kekayaan alam negara ini, sehingga tidak dirampok oleh bukan Orang Indonesia Asli secara sistemik melalui agresi non-militer. “Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di bumi pertiwi ini. Bayi-bayi yang lahir di negeri yang sebenarnya kaya-raya ini,” tutur dia. Dalam acara tersebut, LaNyalla didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin. Hadir pula Gus Aam (cucu KH Wahab Chasbullah, pendiri NU), Politis Partai Gelora Dedi \'Miing\' Gumelar, Presiden Pimpinan Pusat Syarikat Islam, Hamdan Zoelva, Sekjen Syarikat Islam, Ferry Juliantono, dan para pimpinan Syarikat Islam lainnya. Sedangkan narasumber Sarasehan hadir Ekonom Faisal Basri, Pengamat politik Rocky Gerung dan Pengamat hukum Refly Harun. (mth?/)

Mengapa Joshua Dibunuh, Dia “Tahu Banyak dan Banyak Tahu”?

Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) AKHIRNYA Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang sebelumnya dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Duren Tiga 46 Jakarta Selatan. “Bapak Kapolri sudah menghentikan Satgassus Polri, artinya sudah tidak ada lagi Satgassus Polri,“ ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dalam jumpa pers, Kamis (11/8/2022). Sekadar diketahui, Satgassus Merah Putih dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo. Tim ini awalnya dibentuk oleh mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meredam “Aksi 411” pada 4 November 2016 yang memprotes ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap menghina agama Islam. Polisi menyiagakan 7.000 personel untuk mengamankan aksi protes. Pasukan TNI dikerahkan untuk menjaga kawasan Pecinan di Jakarta Barat. Sebagian warga Tionghoa khawatir aksi 4 November 2016 berakhir seperti kerusuhan 1998. Sejumlah gereja juga dijaga ketat oleh aparat keamanan. Namun, semua kekhawatiran itu tidak terjadi. Aksi massa berakhir damai, meski setelah acara terjadi insiden akibat provokasi kelompok kecil beratribut “HMI”. Tapi, secara keseluruhan, aksi massa berlangsung damai.   Dua pekan setelah Aksi 411, Ahok yang menjabat Gubernur DKI Jakarta non aktif telah ditetapkan polisi sebagai tersangka penistaan agama. Tak berhenti sampai di sini. Aksi massa pun berlanjut pada Jum’at, 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan “Aksi 212”. Aksi 2 Desember atau yang disebut juga Aksi 212 dan Aksi Bela Islam III yang jatuh pada hari Jum’at itu, dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan pejabat tinggi lainnya, berlangsung damai juga tanpa ada kericuhan berarti. Selesaikah misi Satgassus Merah Putih seiring dengan selesainya “Aksi 212” itu? Ternyata tidak. Satgassus Merah Putih dibentuk untuk melaksanakan Tugas Kepolisian di Bidang Penyelidikan dan Penyidikan. Dasar Hukum UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia; UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Demikian yang tertuang dalam Sprin nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019. Satgasus Merah Putih ini merupakan jabatan Non Stuktural di Kepolisian. Khusus untuk Satgasus Merah Putih, satuan tugas ini pertama kali dibentuk pada 2019, oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Jabatan Kasatgasus Merah Putih pertama kali diemban Kabareskrim era Tito, Komjen Idham Azis. Sementara Ferdy Sambo ketika itu menjadi Koorspripim Polri ditugaskan sebagai Sekretaris Satgasus. Ketika itu, Ferdy Sambo masih berpangkat Kombes. Satgassus Merah Putih sempat membongkar sejumlah kasus besar dan mayoritas narkotika. Tahun 2017, Satgassus membongkar penyelundupan 1 ton sabu di bekas bangunan Hotel Mandalika, Anyer, Serang, Banten. Ketika itu tim yang terlibat membongkar kasus tersebut diantaranya Kombes Nico Afinta dan Kombes Herry Heryawan. Nico Afinta saat ini menjadi Kapolda Jawa Timur dengan pangkat Irjen. Sedangkan Herry Heryawan saat ini berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Dirsidik Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Setelah Jenderal Idham Azis menjabat Kapolri, jabatan Kasatgassus kemudian diserahkan kepada Brigjen Pol Ferdy Sambo sejak 20 Mei 2020. Dia mendapat amanah sesuai dengan Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020. Saat itu, Brigjen Ferdy Sambo masih mengisi posisi sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Sosok yang menjabat Sekretaris Satgasus adalah AKBP Dedy Murti Haryadi dan pada saat itu menjabat Pjs Koorspripim Polri. Melansir Tribun-Timur.com, Brigadir Joshua juga menjadi anggota Satgassus pada saat itu dan pangkatnya masih Briptu. Sprin Satgassus 2022 seperti diungkap Amnesty International Indonesia terbit pada 1 Juli 2022, Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Secara Struktural Polri sudah mempunyai Satuan Tugas tersebut dan diketahui Presiden. Pertanyaannya, mengapa Polri masih membentuk Satgassus Non Struktural? Apakah Presiden mengetahui adanya Satgassus Non Struktural? Jika Presiden tak tahu, maka jelas para Elit Polisi ini bermain di belakang Presiden. Padahal, secara Struktural Polri sudah mempunyai Satgas itu dan diketahui Presiden. Dalam Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020 pada 20 Mei 2020, Ferdy Sambo sudah menjadi Kasatgassus (daftar nomor 16). Pada saat itu Brigadir Joshua juga menjadi Anggota Satgassus Merah Putih (nomor 41). Sementara para Pembunuh KM 50 dalam kasus pembunuhan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada akhir 2020 itu ada di dalam daftar anggota Satgassus, diantaranya: Almarhum Ipda Elwira Priadi Zendrato (No. 282), Ipda M Yusmin Ohorella (No. 283), Briptu Fikri Ramadhan Tawainella (No. 287). Dan nama lain yang terlibat di antaranya: Kompol Handik Zusen (No. 273) dan Bripka Guntur Pamungkas (No. 285). Malansir Tribunnews.com, Handik Zusen disebut-sebut sebagai komandan pengejaran Laskar FPI, dan pengemudi mobil Toyota Avanza berwarna hitam dengan nopol B 1392 TWQ adalah Guntur Pamungkas. “Mereka juga menjadi bagian dari Satgassus Merah Putih, jadi jangan heran jika para Pelaku Pembunuhan KM 50 ini bisa bebas dari jerat Hukum. Lalu bagaimana dengan Pembunuh Brigadir Joshua?” tulis Opposite6890. Mungkinkah Brigadir Joshua dibunuh karena “banyak tahu dan tahu banyak” perihal aktivitas Satgassus Merah Putih, terutama Ferdy Sambo. Sehingga diduga, ada “kesepakatan” diantara anggota Satgassus untuk membungkam mulut Joshua selamanya? Apalagi, tudingan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo Ny. Putri Chandrawati yang sebelumnya selalu dinarasikan pihak polisi, sekarang ini justru dianulir, sehingga penyidikannya dihentikan (SP3). Karena tidak ada pelecehan! Dari sini saja sudah bisa dicari alasan pembunuhan Joshua. Apalagi, sebelum terjadi pembunuhan, sudah ada petunjuk adanya ancaman terhadap Joshua, seperti diungkapkan pengacara keluarganya, Kamaruddin Simanjuntak. Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Perlu dicatat, waktu pertama kali dibentuk Jenderal Tito Karnavian, sebagai Kapolri, Tito otomatis menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Demikian pula Jenderal Idham Azis dan Jenderal Listyo Sigit Prabowo begitu menjabat Kapolri, otomatis Kapolri menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Pembubaran Satgassus Merah Putih yang anggotanya diperkirakan lebih dari 300 polisi dari pangkat perwira tinggi, perwira menengah, dan bintara, hingga tamtama itu, patut diapresiasi. Kapolri telah mengambil pilihan tepat! (*)

Bersihkan Dulu Tubuh Polri, Baru Bicara Isu Radikalisme di Dunia Pendidikan

Saat ini Polri baru disorot atas kebobrokannya di level puncak terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai dalangnya. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo DI tengah isu hangat pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua oleh “polisinya polisi”, yakni Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo, Divisi Humas Polri melalui akun FB melansir sebuah pemberitaan terkait dengan pernyataan Wakapolri yang bertitel: “Waspadai Paham Terorisme Masuk Dunia Pendidikan”. Disebutkan bahwa Wakapolri Komjen Pol. Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono, MSi, menegaskan, memasuki tahun ajaran baru, di dunia pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan. Khususnya yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut antara lain intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Lebih lanjut ditampilkan data bahwa berdasarkan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan sepanjang 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia, korban dunia mencapai 7.141 jiwa. Ada satu hal yang saya perlu dicermati. Yakni pernyataan Wakapolri yang menuturkan, data yang dimiliki Densus 88 Antiteror Polri, terkait tingginya aksi dan penangkapan terorisme menunjukkan penyebaran paham maupun gerakan radikalisme dan intoleransi yang menyasar kalangan anak-anak muda hingga masuk ke wilayah pendidikan. Lalu dinyatakannya: “Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan,” kata Wakapolri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8). Atas pernyataan ini saya berpendapat, sebenarnya data Densus ini terkait dengan pelaku teror. Jadi pelaku teror itu ada anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta sehingga disimpulkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan. Apakah simpulan ini dapat diterima dan lalu tepat dihubungkan dengan dunia pendidikan? Jika alurnya demikian, maka ending-nya dapat dipastikan pada usulan terkait dengan regulasi pencegahan dan pemberantasan radikalisme – yang sering dianggap sebagai pangkal terorisme – dalam dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang selama ini regulasinya dianggap kurang mencukupi. Terkait dengan masalah regulasi radikalisme di kampus, saya ingatkan bahwa pemberitaan yang diusung oleh Antara NTB tanggal 4 Juni 2022 mengusung warta dengan titel “Akademisi sebut perlu regulasi tanggulangi radikalisme di kampus”. Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Weda Kupita menilai perlu adanya regulasi yang mampu menindak tegas oknum atau individu yang menyebarkan paham radikal dan terorisme di kampus. “Karena regulasi yang sekarang sudah ada seperti yang saya sampaikan tadi bahwa belum bisa memenuhi sebagai suatu standar untuk penanggulangan paham-paham radikal tadi itu, jadi belum ada regulasinya,” lanjut Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (PMD BNPT). Menurut Weda, hal ini terkait dengan terbatasnya ruang gerak aparat penegak hukum dalam rangka menertibkan oknum penyebar narasi radikal terutama di lingkungan kampus. Menurut saya, regulasi untuk menanggulangi radikalisme di kampus tidak perlu, karena memang kampus itu harus RADIKAL. Radikalisme kampus atau radikalisme di kampus itu hanya propaganda yang bertujuan untuk membungkam sikap kritis civitas akademika. Regulasi justru akan semakin membuat kampus menjadi menara gading yang makin jauh dari kemanfaatannya bagi masyarakatnya. Terfokus pada soal radikal-radikul yang nomenklaturnya saja masih obscure dan lentur. Bukan narasi atau nomenklatur hukum melainkan politik. Semua Perguruan Tinggi itu sebenarnya sudah mempunyai perangkat untuk mendeteksi kegiatan mahasiswa, apakah itu di organisasi mahasiswa (BEM, SENAT, UKM dll). Pegawai pun bisa dipantau lewat Kabag, Wadek, dekan hingga para Wakil Rektor, Senat Unive dan puluhan kelembagaan struktural lainnya. Perangkat aturannya juga sudah ada, mulai dari Peraturan akademik, Kode Etik dll. Semua memang tergantung bagaimana atmosfer kampus. Jika kampus diwarnai dengan perwujudan nilai kebenaran dan keadilan, saya yakin warga kampus tidak akan aneh-aneh apalagi melakukan perbuatan radikal peyoratif (merusak, mengancam, kekerasan). Untuk membuat regulasi tentang RADIKALISME, harus dipenuhi tata cara pembentukan per-UU sebagaimana diatur dlm UU No. 12 Tahun 2011 jo perubahannya dgn UU No. 15 Tahun 2019. Formulasinya harus memenuhi unsur-unsur kepastian hukum dan pembicaraannya harus benar-benar komprehensif serta melibatkan seluruh elemen bangsa. Tidak boleh gegabah, apalagi hanya dibuat PERPPU. Menurut hemat saya bahwa usulan tentang RUU anti Radikalisme terlalu dini, mengingat urgensinya yang terkesan terlalu diada-adakan dan potensi untuk mengarah pada munculnya orde represif layaknya penggunaan UU Subversi sebagaimana terjadi pada era orde baru sangat besar sekali. Sebagaimana diketahui bahwa radikalisme selama ini cenderung menyerang Islam saja. Definisinya masih lentur dan \'obscure\' terjun bebas diarahkan untuk memukul dakwah Islam, terlebih lagi terhadap dakwah khilafah ajaran Islam yang seringkali diidentikkan dengan ISIS. Seperti yang kita ketahui, bahwa ISIS mengklaim sebagai Khilafah, padahal ISIS tidak memenuhi syarat disebut sebagai Khilafah yang sesuai metode kenabian. Banyak kejadian teror yang mengklaim pelaku adalah dari ISIS, hal ini juga membuktikan bahwa dakwah mereka tidak ahsan bil ma\'ruf dan mengikuti tuntunan Nabi Saw. Yang perlu disayangkan adalah bahwa tuduhan terorisme dan radikalisme dipukul rata kepada umat Islam, lebih-lebih umat Islam yang mendakwahkan Islam kaffah dan khilafah sebagaimana telah disinggung di muka. Atas dasar pemikiran di muka, RUU anti radikalisme bisa diprediksikan akan menjadi alat pukul dakwah Islam yang bisa mengenai siapa saja, karena definisi radikalisme masih tidak jelas dan tidak akan jelas. Sebaiknya jangan terlalu dini menggagas RUU anti radikalisme, karena memungkinkan akan merugikan umat Islam dan ajaran Islam yang selama ini mendapatkan tudingan radikalisme. Saat ini Polri baru disorot atas kebobrokannya di level puncak terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai dalangnya. Saya kira lebih baik bersihkan dulu tubuh Polri, baru bicara soal lainnya, Pak. Malu kita! Kita masih menanti “pemberantasan terorisme” di Papua. Itu lebih dahulukan. Mereka teroris, separatis, kriminalis yang sudah pasti membahayakan NKRI. Dunia Pendidikan memang harus radikal, ramah, terdidik dan berakal! Tabik..! Semarang, Ahad: 14 Agustus 2022. (*)

Kasus Jenderal Bunuh Ajudan, Perlawanan Balik Genk Sambo Dipatahkan Timsus Polri

Jakarta, FNN - Irjen Ferdy Sambo bersama genknya mencoba terus meyakinkan publik melalui surat terbuka yang dibacakan pengacaranya Arman Anis terkait isu pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir Nofriansyah  Yoshua Hutarabat terhadap istrinya Putri Chandrawathi. Persoalaan pelecehan seksual tetap dicoba dihidupkan dalam pengakuan Ferdy Sambo ketika diperiksa pertama kalinya oleh Timsus dalam status sebagai tersangka. Namun melihat perkembangan saat ini, skenario permainan yang dilakukan Ferdy Sambo dan genk dipatahkan oleh Tim Khusus (Timsus) bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Timsus telah mematahkan perlawanan balik yang dilakukan oleh genk Ferdy Sambo. Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi pada Jumat malam mengumumkan dua laporan terhadap Brigadir Yoshua dihentikan. Penghentian laporan tersebut dilakukan lantaran tidak adanya unsur pidana dalam laporan itu. Pasalnya, laporan itu tidak benar terjadi adanya terhadap sang istri Ferdy Sambo. Timsus tidak main-main, kedua laporan tersebut masuk dalam bagian obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Yoshua.  Laporan pertama soal pelecehan seksual yang dilayangkan oleh Putri Candrawathi, sementara laporan kedua terkait percobaan pembunuhan terhadap Bharada E yang dilayangkan oleh Briptu Martin G. “Dengan dihentikannya kedua laporan tersebut, maka skenario permainan yang dilakukan oleh genk Ferdy Sambo dipatahkan bahkan ini hancur lebur,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (13/8/22) di Jakarta. Semula kedua laporan tersebut ditangani oleh Polda Metro Jaya, namun dengan alasan efektivitas semua ditarik ke Mabes Polri dan ditangani oleh Timsus bersamaan dengan laporan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Kini publik tentu bertanya-tanya, motif apa yang sebenarnya terjadi, tampaknya publik akan terus menduga-duga dan bersabar sampai pengadilan digelar. (Lia)