ALL CATEGORY
Mahfud MD : Ada “Code Of Silence” pada Pengungkapan Kematian Brigadir Yoshua
Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD blak-blakan mengatakan ada tersangka baru dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Kasus yang awalnya penuh misteri itu kini menunjukkan kemajuan signifikan. Hal itu lantaran permasalahan politik dan hierarki yang disebut Mahfud MD sebagai psikopolitis dan psikohierarkis sudah bisa dieliminir. Berikut analisis dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (9/8/22). “Tekanan publik semakin besar, dan media sudah menulis mengenai pengakuan bharada e terkait peristiwa ini yang memenuhi unsur-unsur pidana, kini publik bertanya-tanya sampai kapan Irjen Ferdy Sambo hanya diperiksa soal kode etik saja,” tutur Agi. Mahfud MD menilai jika pengungkapan kasus kematian Brigadir Yoshua memiliki kode senyap atau \'code of silence\'. Menurut Mahfud MD, kode senyap atau ‘code of silence’ adalah di mana seorang petugas memilih diam, menahan informasi sesuai keinginan sendiri atau adanya tekanan pihak lain. “Perkembangannya sebenarnya cepat, kasus yang seperti itu yang punya \'code of silence\' itu sekarang sudah ada tersangka, kemudian pejabat-pejabat tingginya sudah dimutasi,” kata Mahfud MD. Sebelumnya, melalui hasil pemeriksaan terakhir, penyidik telah merilis penetapan dua tersangka kasus tewasnya Brigadir Yoshua. Pertama, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dengan sangkaan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Adapun Brigadir RR ditersangkakan lantaran ada dua bukti yang sudah cukup kuat mendukung keputusan tersebut. Sayang, bukti itu belum bisa dibagikan ke muka publik. Menambah daftar pelaku, satu nama kini dihadirkan penyidik untuk melengkapi keping teka-teki penembakan itu. Penetapan tersangka baru ini, menurut Mahfud MD kemungkinan besar akan mengarah pada peran dari Bharada E dan Brigadir RR, serta tersangka lain sebagai eksekutor atau intelektual. (Lia)
Bunuh Diri Akibat Rentenir Masih Marak, LaNyalla: Salah Satu Dampak Kemiskinan Struktural
Jakarta, FNN – Masih maraknya kasus bunuh diri akibat terjerat utang pada rentenir, membuat Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, miris. Menurutnya, selain pendidikan keluarga dan minimnya ilmu agama, semakin berkuasanya Oligarki ekonomi dan Oligarki politik, maka semakin banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Sekadar informasi, peristiwa tersebut terjadi di Kulonprogo. Tepatnya menimpa ibu rumah tangga, Trimurni (54). Korban mengakhiri hidup karena tak kuat menghadapi tekanan ekonomi. Sebab, selain dikejar rentenir, anaknya pun selalu meminta uang untuk membeli motor. “Sangat miris jika kita melihat kondisi keluarga-keluarga yang harus terjerat masalah ekonomi. Karena, sebagian dari mereka memilih meminjam uang dari rentenir untuk menghadapi masalahnya. Ini kemiskinan yang sudah sangat akut. Sangat terstruktur di masyarakat kita. Rakyat kita sudah banyak yang menangis,” tutur LaNyalla, Selasa (9/8/2022). Padahal, terang LaNyalla, masyarakat yang datang ke rentenir bukan sedang menyelesaikan masalah. Sebaliknya memperbesar masalah yang didapat. “Inilah yang membuat kasus bunuh diri karena terjerat utang rentenir kembali terulang. Faktanya, tekanan ekonomi yang berat dan menjadi tekanan mental banyak dihadapi oleh kelompok rentan. Ini harus dihentikan di bangsa kita tercinta ini. Bangsa ini sejatinya kaya, tapi rakyatnya miskin,” katanya. Pria yang lahir di Jakarta, besar di Surabaya dan berdarah Bugis itu menegaskan jika oligarki ekonomi dan oligarki politik merupakan biang keladi yang membuat bangsa tetap miskin meski memiliki Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Dijelaskan LaNyalla, Indonesia sesungguhnya merupakan negeri yang berpotensi menjadi bangsa yang besar dan menjadi negara adidaya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. Menurutnya, Indonesia merupakan negeri yang bisa menjamin ketersediaan pangan dan air bagi penduduk bumi di masa depan. LaNyalla mengingatkan agar jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer “Oleh karena itu saya selalu utarakan bahwa kita harus kembali kepada Pancasila. Saya mengajak semua elemen bangsa untuk berpikir dalam kerangka negarawan.Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di Bumi Pertiwi ini,” tegas Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu. Berangkat dari pemahaman tersebut, LaNyalla menilai persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini atau soal Presiden hari ini. “Persoalan bangsa ini sesungguhnya adalah adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka, ini harus dihentikan,” ujar LaNyalla. (Ida/LC)
Hersubeno: Apa yang Dikatakan Edy Mulyadi Merupakan Peran Pers
Jakarta, FNN - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara ‘tempat jin buang anak’ dengan terdakwa Edy Mulyadi, Selasa (9/8/22). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi meringankan terhadap kasus Edy Mulyadi. Dua saksi yang dihadirkan, yaitu Ahmad Khozinuddin dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief. Ahmad Khozinuddin merupakan seorang pengacara dan juga seseorang yang mengundang Edy sebagai narasumber dalam kegiatan yang ia inisiasikan pada 17 Januari 2022 lalu Ahmad mengatakan semua yang Edy sampaikan adalah data-data yang dikutip langsung dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait persoalan tambang di wilayah yang direncanakan akan dibangun Ibu Kota Negara (IKN). Usai saksi Ahmad memberikan keterangan dalam sidang, Edy dipersilahkan oleh Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar untuk memberikan tanggapan. “Benar semua keterangan dari saksi. Terima kasih,” tutur Edy. Pada kesempatan itu Edy sempat meneteskan air mata dan melepaskan kacamatanya, lalu mengusap matanya dengan sapu tangan. Ia menyampaikan alasannya menangis dalam persidangan. Menurutnya, Ahmad merupakan sahabatnya juga selaku saksi yang sangat menguasai persoalaan yang terjadi. “Saya terharu karena Ahmad ini memang sahabat saya. Kita keliling-keliling dan yang paling penting dia dalam fasilitas saksi dan lawyer sangat menguasai persoalan. Pembelaan-pembelaan itu begitu clear. Memang tentu ada unsur subjektivitas, tapi saya rasa unsur objektivitasnya dengan fakta-fakta itu membuat saya terharu,” ungkapnya. Selanjutnya, Hersubeno juga memberikan pembelaan terhadap Edy, menurutnya, apa yang disampaikan Edy itu merupakan peran pers melakukan advokasi terhadap kepentingan publik, karena Edy merupakan seorang wartawan dari Forum News Network (FNN). Hersu menegaskan bahwa Bang Edy Channel merupakan bagian dari produk jurnalistik FNN yang sudah didaftarkan di Dewan Pers. “Peran dari jurnalisme itu selain menyebarkan informasi, edukasi, ada juga advokasi yaitu berkepihakan kepada publik. Apa yg dilakukan Edy adalah salah satu peran pers dalam berkepihakan kepada publik,” kata Hersu. Kemudian, Hersu juga menjelaskan tugas pers itu ialah mengkritisi mereka yang sedang berkuasa bukan menjilat para penguasa,“kalau dia tidak kritisi terus itu bukan pers, namanya humas,” tambahnya. Edy memberikan tanggapan terhadap pernyataan Hersubeno bahwa saksi menjelaskan dengan sangat clear. “Alhamdulillah kedua saksi menjelaskan dengan sangat clear, seperti yang dikatakan saksi kedua yakni Hersubeno bahwa wartawan itu harus kritis dan skeptis, untuk masalah lingkungan walhi sudah sangat kredibel dan sungguh sangat layak dikutip,” pungkas Edy. Dalam catatan FNN, Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dan penyebaran berita bohong atau hoax pada 31 Januari 2022. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia lantas ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Edy terjerat perkara ini karena komentarnya terkait Ibu Kota Negara (IKN) baru sebagai tempat pembuangan jin. Padahal ia sudah minta maaf atas pernyataannya itu. Edy Mulyadi tetap harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022) sebagai sidang perdana. (Lia)
Pemeriksaan Ferdy Sambo oleh Komnas HAM Dijadwalkan Kamis
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menjadwalkan pemeriksaan dengan meminta keterangan Irjen Pol. Ferdy Sambo, Kamis (11/8), berkaitan dengan kasus kematian Brigadir J.\"Kami sedang mencari jadwal yang pasti dan sedang bernegosiasi; tapi sebisa mungkin di Komnas HAM,\" kata Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Terkait materi atau gambaran apa saja yang akan ditanyakan Komnas HAM kepada Ferdy Sambo, Taufan enggan memberitahu karena hal tersebut masuk ke ranah penyelidikan.Sebelum jadwal pemeriksaan Ferdy Sambo, Komnas HAM mengagendakan permintaan keterangan terkait uji balistik dengan Tim Khusus (Timsus) Polri pada Rabu (10/8). Agenda tersebut sebelumnya mengalami penundaan beberapa kali karena permintaan dari Polri.\"Kami sangat berharap timsus maupun penyidik Mabes Polri supaya agenda besok yang sudah disepakati betul-betul dipenuhi agar tidak tertunda-tunda,\" imbuhnya.Sementara itu, Selasa, tim Komnas HAM baru saja selesai meminta keterangan dari Polri terkait siber. Pemeriksaan tersebut diketahui tidak berlangsung lama yakni sekitar 30 menit.Taufan menjelaskan permintaan keterangan siber melengkapi bahan yang telah dikumpulkan. Semua bahan dan keterangan tersebut akan dianalisis secara internal untuk kemudian dibuat kesimpulan.\"Bahannya tentu saja semakin banyak memberikan informasi dan data-data yang memperjelas masalah ini,\" jelasnya.Sementara itu, Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan pihaknya menggunakan skenario urutan waktu sendiri dalam penyelidikan kasus kematian Brigadir J.Terkait adanya perbedaan keterangan Bharada E di awal dan setelahnya, hal tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Komnas HAM dalam mengusut kasus itu. \"Kami belum bisa simpulkan saat ini,\" ujar Anam. (Ida/ANTARA)
Penetapan Tersangka Tak Menghambat Penyelidikan, Tegas Komnas HAM
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan penetapan tersangka sejumlah ajudan Irjen Polisi Ferdy Sambo oleh kepolisian tidak menghambat proses penyelidikan yang dilakukan lembaga HAM tersebut.\"Sejak awal, Pak Wakapolri dan Pak Irwasum bersepakat dengan Komnas HAM untuk bersinergi,\" kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Hingga saat ini, tegas Taufan, koordinasi dengan kepolisian berjalan sesuai komitmen di awal. Bahkan, jika ada hal-hal yang kurang jelas, baik Komnas HAM maupun Polri bisa saling bertanya.\"Jadi tidak ada sama sekali yang menghambat,\" ujarnya.Taufan mengatakan Tim Khusus Polri bekerja untuk mencari fakta sama halnya dengan tim dari Komnas HAM yang juga mencari fakta terkait kematian Brigadir J. Sehingga, tidak ada pihak-pihak yang menghambat penyelidikan maupun penyidikan.Pada kesempatan itu, Taufan mengatakan adanya perbedaan pernyataan atau keterangan yang disampaikan oleh Bharada E saat awal diperiksa dan sesudahnya, Komnas HAM akan kembali memeriksa yang bersangkutan. \"Sangat mungkin kita periksa ulang,\" ucap dia.Senada dengan itu, Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan sejak awal lembaga itu berangkat dari permintaan keterangan keluarga Brigadir J di Provinsi Jambi, termasuk pacar Brigadir J.Setelah itu, Komnas HAM mulai menata konstruksi peristiwa termasuk masalah waktu dan sebagainya. Kemudian barulah dilakukan permintaan keterangan terhadap semua pihak yang masuk dalam peristiwa tersebut.Permintaan keterangan kepada Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri, tim siber, ajudan dan lain sebagainya tersebut berangkat dari semua konstruksi peristiwa yang diperoleh Komnas HAM dari Jambi. (Ida/ANTARA)
Jangan Sampai Kasus Brigadir J Merusak Citra Polri, Tegas Jokowi
Jakarta, FNN - Presiden RI Joko Widodo menegaskan pengusutan perkara meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J harus tuntas agar tidak merusak citra dan kepercayaan terhadap Polri di hadapan publik.\"Ungkap kebenaran apa adanya sehingga jangan sampai menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Itu yang paling penting, citra Polri apa pun tetap harus kita jaga,\" kata Presiden Joko Widodo di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa.Hingga kini penyidik baru menetapkan dua orang tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir J, yakni Bharada E dan Brigadir Ricky Rizal (RR). Keduanya disangkakan lakukan pembunuhan berencana dari Pasal 340 juncto Pasal 338 jo. Pasal 351 ayat (3) jo. Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.\"Sejak awal \'kan saya sampaikan, sejak awal saya sampaikan usut tuntas. Jangan ragu-ragu. Jangan ada yang ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya,\" tegas Presiden.Inspektorat Khusus (Irsus) Timsus Polri dalam perkara tersebut telah memeriksa 25 personel Polri yang melanggar prosedur tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara (TKP) Duren Tiga, Jakarta Selatan.Dari 25 orang tersebut, empat di antaranya ditempatkan di tempat khusus, salah satunya Irjen Pol. Ferdy Sambo selama 30 hari di Mako Brimob Kelapa Dua Depok untuk pemeriksaan.Tim gabungan Itsus melakukan pengawas pemeriksaan khusus terhadap Irjen Pol. Ferdy Sambo atas dugaan melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir J di Rumah Dinas Kadiv Propam Polri.Tim telah memeriksa 10 saksi dan beberapa bukti terkait dengan dugaan pelanggaran prosedur oleh Ferdy Sambo dalam penanganan TKP Duren Tiga.Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo juga telah mencopot tiga perwira dari jabatannya, yaitu Irjen Pol. Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam), Brigjen Pol. Hendra Kurniawan dari jabatan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Polri menjadi pati Yanma Polri, selanjutnya Brigjen Pol. Benny Ali dicopot dari jabatan Karo Provost Div Propam Polri menjadi pati Yanma Polri.Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan kepada wartawan bahwa sudah ada tiga orang sebagai tersangka. Selain Bharada E, juga ada sopir dan ajudan Putri Chandrawathi berinisial Brigadir RR dan K. (Ida/ANTARA)
Bunuh Diri Akibat Rentenir Masih Marak, LaNyalla: Salah Satu Dampak Kemiskinan Struktural
Jakarta, FNN – Masih maraknya kasus bunuh diri akibat terjerat utang pada rentenir, membuat Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, miris. Menurutnya, selain pendidikan keluarga dan minimnya ilmu agama, semakin berkuasanya Oligarki ekonomi dan Oligarki politik, maka semakin banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Sekadar informasi, peristiwa itu terjadi di Kulonprogo. Tepatnya menimpa ibu rumah tangga, Trimurni (54). Korban mengakhiri hidup karena tidak kuat menghadapi tekanan ekonomi. Sebab, selain dikejar rentenir, anaknya pun selalu meminta uang untuk membeli motor. “Sangat miris jika kita melihat kondisi keluarga-keluarga yang harus terjerat masalah ekonomi. Karena, sebagian dari mereka memilih meminjam uang dari rentenir untuk menghadapi masalahnya. Ini kemiskinan yang sudah sangat akut. Sangat terstruktur di masyarakat kita. Rakyat kita sudah banyak yang menangis,” tutur LaNyalla, Selasa (9/8/2022). Padahal, terang LaNyalla, masyarakat yang datang ke rentenir bukan sedang menyelesaikan masalah. Sebaliknya memperbesar masalah yang didapat. “Inilah yang membuat kasus bunuh diri karena terjerat utang rentenir kembali terulang. Faktanya, tekanan ekonomi yang berat dan menjadi tekanan mental banyak dihadapi oleh kelompok rentan. Ini harus dihentikan di bangsa kita tercinta ini. Bangsa ini sejatinya kaya, tapi rakyatnya miskin,” katanya. Pria yang lahir di Jakarta, besar di Surabaya dan yang berdarah Bugis itu menegaskan jika oligarki ekonomi dan oligarki politik merupakan biang keladi yang membuat bangsa tetap miskin meski memiliki Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Dijelaskan LaNyalla, Indonesia sesungguhnya merupakan negeri yang berpotensi menjadi bangsa yang besar dan menjadi negara adidaya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. Menurutnya, Indonesia merupakan negeri yang bisa menjamin ketersediaan pangan dan air bagi penduduk bumi di masa depan. LaNyalla mengingatkan agar jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer. “Oleh karena itu saya selalu utarakan bahwa kita harus kembali kepada Pancasila. Saya mengajak semua elemen bangsa untuk berpikir dalam kerangka negarawan. Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di Bumi Pertiwi ini,” tegas Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu. Berangkat dari pemahaman tersebut, LaNyalla menilai persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini atau soal Presiden hari ini. “Persoalan bangsa ini sesungguhnya adalah adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka, ini harus dihentikan,” ujar LaNyalla. (mth/*)
Listrik Terancam Padam: Rakyat Melawan Rezim Pro Oligarki!
Oleh Marwan Batubara | IRESS Pada awal Januari 2022, puluhan juta pelanggan PLN terancam pemadaman listrik akibat krisis pasokan batubara, energi primer untuk puluhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dioperasikan PLN. Untuk menghindari pemadaman, pemerintah lantas menerbitkan larangan ekspor batubara (Surat KESDM No.B-1605/DJB.B/2021). Sekitar dua minggu berselang, karena kondisi disebut “membaik” ekspor kembali dibuka. Guna mencegah terulangnya krisis pasokan batubara, pemerintah menyatakan akan melakukan berbagai “perbaikan” kebijakan. Ternyata kebijakan utama yang memihak rakyat hingga kini tak kunjung terbit, sehingga ancaman krisis pasokan dan pemdaman ada di depan mata. Padahal krisis terjadi akibat ulah para pengusaha oligarkis berburu untung BESAR karena naiknya harga batubara dunia. Mereka lebih memilih mengekspor batubara dibanding menjual ke PLN yang volume dan harganya mengikuti ketentuan domestic market obligation (DMO, 25%) dan domestic price obligation (DPO, US$ 70/ton untuk kalori 6322). Ternyata pemerintah tidak optimal melindungi kepentingan PLN. Pemerintah pun tak mampu menertibkan dan memaksa para pengusaha memenuhi ketentuan DMO dan DPO. Pemerintah justru terpengaruh dan memihak kepentingan para pengusaha oligarkis! Padahal energi tersebut berdampak bukan saja kepada puluhan juta pelanggan yang berpotensi terkena pemadaman, tetapi lebih dari 260 juta rakyat konsumen listrik. Sebab, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik tergantung pada biaya energi primer pembangkit. Jika harga energi primer naik, maka BPP listrik juga naik, dan berujung pada naiknya tarif listrik yang harus dibayar pelanggan PLN, atau disubsidi APBN demi menjaga keuntungan pengusaha. Sebaliknya, pemerintah menebar informasi tidak akurat, tendensius, dan mengungkap berbagai kambing hitam. Dikatakan, krisis batubara antara lain terjadi karena PLN gagal pasok akibat kontrak bermasalah, PLN gagal fokus bisnis inti, PLN Batu Bara (PLNBB, anak usaha PLN) berbisnis dengan trader, Pelayaran Bahtera Adhiguna (PBA, anak usaha PLN) gagal bayar, PBA menerapkan skema FOB, bukan CIF, dll. PLNBB dan PBA *dilabel* sebagai biang krisis, sehingga harus dibubarkan atau dipisahkan dari PLN. Guna mengelabui, menggiring opini dan melindungi pengusaha oligarkis sebagai biang kerok krisis, sejumlah menteri menerbitkan kebijakan berbau kamuflase. Maka, dicopotlah Direktur EP PLN, Rudy H.P. Menko Marves LBP mengatakan pembelian batubara dari trader dihapus, skema FOB diganti CIF, DPO US$ 70 akan dirubah jadi harga pasar, PLN harus diholdingisasi (mangsa oligarki) dan Badan Layanan Umum (BLU) Batubara akan dibentuk. Padahal berbagai alasan yang ditebar mengada-ada, tidak kredibel dan tidak objektif. PLNBB dan PBA merupakan anak usaha yang sangat menunjang operasi dan sekaligus menguntungkan PLN, sehingga berkontribusi atas terjaganya BPP listrik. Justru kedua anak usaha tersebut berperan mengamankan kebutuhan batubara PLN, dan sekaligus menangkal pengusaha oligarkis yang ingin menguasai berbagai rantai bisnis PLN. Sejalan dengan kebijakan yang merugikan BUMN di atas, pemerintah juga menerbitkan Kepmen ESDM No.13.K.HK.02.MEM.B/2022 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batubara Ke Luar Negeri, dan Pengenaan Denda Serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri. Setelah terbitnya Kepmen ESDM No.13/2022, para pengusaha serakah pelanggar kewajiban DMO dibiarkan kembali berbisnis as usual, tanpa ketegasan sanksi hukum. Jangankan sanksi finansial yang adil dan berefek jera, mengumumkan daftar perusahaan pelanggar DMO saja pemerintah “tak mampu”. BLU Batubara Ternyata setelah terbitnya Kepmen ESDM No.13/2022 dan pernyataan Menko Marves LBP pengusung BLU Batubara, peraturan dasar implementasi BLU tak kunjung terbit. LBP, pencetus BLU karena ingin menghapus DPO, belakangan nyaris tak terdengar suaranya. BLU akan berperan memungut iuran batubara. Harga batubara akan dilepas sesuai mekanisme pasar. Namun, tiga industri yang wajib dipasok sesuai DMO 25%, masih menerima harga khusus (domestic price obligation, DPO) yakni PLN, DPO = US$ 70, serta industri pupuk dan semen, DPO = US$ 90 per ton. Para pemasok batubara untuk ketiga industri tersebut akan menerima kompensasi dari BLU berupa selisih dari harga pasar dengan harga DPO. Kementerian ESDM menyatakan draft peraturan tentang BLU telah disusun dan dibahas dengan Kemenkeu. Namun peraturan tersebut tampaknya tidak segera terbit dengan berbagai alasan sumir. Sebaliknya, pengusaha oligarkis tidak merasa penting atas terbitnya peraturan BLU. Mereka memilih kondisi status quo sesuai Kepmen No.13/2022. Dengan demikian mereka berkesempatan untung BESAR akibat masih terus naik dan tingginya harga batubara. Saat ini batubara PLN dipasok sejumlah perusahaan yang berkontrak dengan PLN. Dengan kondisi harga batubara global yang terus naik, para kontraktor ini memilih untuk tidak memperpanjang kontrkak. Lambat laun hal ini membuat pasokan batubara PLN tidak aman. PLN memang bisa berkontrak dengan kontraktor/pengusaha baru. Namun para pengusaha ini enggan berkontrak dengan PLN, karena peluangnya terbuka oleh pemerintah. Sesuai Kepmen ESDM No.13/2022, perusahaan yang tidak berkontrak dengan PLN hanya dikenai penalti US$ 18/ton (kalori 4600). Karena tingginya harga global (awal Agustus 2022: US$ 390/ton), maka jelas pengusaha lebih memilih membayar penalti dibanding menjual ke PLN. Untuk mengamankan pasokan batubara bagi PLN, Menteri ESDM memang berwenang menerbitkan penugasan kepada perusahaan tertentu. Ketentuan penugasan ini tercantum dalam Kepmen ESDM No.13/2022. Namun hal ini bersifat darurat dan sangat berrisiko gagal pasok. Sehingga, secara keseluruhan, dari ketiga opsi yang ada, pasokan batubara PLN menjadi tidak aman dan berpotensi pemadaman listrik pelanggan. Tuntutan Rakyat Sepanjang tahun 2021 harga rata-rata batubara global sekitar US$ 160/ton. Sepanjang 2022 hingga Agustus harga rata-rata naik jadi US$ 340/ton. Jika diasumsikan konsumsi PLN adalah 120 juta ton, harga DPO US$ 60/ton (asumsi kalori 5000) dan harga rata-rata jual sepanjang 2022 adalah US$ 320/ton (asumsi kalori rata-rata 6000), maka pendapatan yang diperoleh dari selisih harga ekspor dengan harga DPO sekitar: US$ (320 – 60) x 120 juta = US$ 28,8 miliar. Jika diasumsikan biaya produksi US$ 40/ton, kurs US$/Rp = Rp15.000, serta perbandingan untung pengusaha dan bagian negara: 40% : 60%, maka keuntungan bersih para pengusaha pengekspor adalah US$ (28,8 miliar – (120 juta x 40)) x 40% = US$ 9,6 miliar = Rp 144 triliun. Jika diasumsikan pengusaha mematuhi kewajiban DPO sekitar 20%, maka keuntungan para pengusaha pengekspor oligarkis tahun 2022, hanya dari melanggar DMO sekitar Rp 115 triliun. Tambahan untung Rp 115 triliun tersebut (belum dikurangi penalti alakadarnya) sangat besar untuk dilewatkan dan “dimanfaatkan”. Maka “berbagai cara bernuansa moral hazard” pun potensial dilakukan pengusaha oligarkis. Sebagai *HASILnya:* Kepmen No.13/2022 tetap berlaku dan implementasi BLU Batubara ditunda. Namun dampaknya adalah pasokan batubara PLN bisa kritis dan listrik puluhan juta pelanggan bisa padam. Pemerintah tinggal pilih, memihak rakyat atau pengusaha. Jika kebijakan moral hazard berlanjut, maka saatnya rakyat bangkit melawan rezim oligarkis![] Jakarta, 9 Agustus 2022
Bubarkan Satgasus Merah Putih
Ada kesan dari mayatakat, Sambo sebagai Kepala Satgassus Merah Putih seperti Kapolri Bayangan, dengan kekuasaan besar terlibat dan melibatkan diri terhadap apapun yang menjadi target dan sasarannya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SATGASSUS (Satuan Tugas Khusus) Merah Putih dibentuk semasa Jenderal (Pol) Purn Tito Karnavian masih menjabat sebagai Kapolri sekitar 2016. Ketika itu, pembentukan Satgassus Merah Putih mendapat kritik keras dari sebagian anggota Komisi III DPR RI. Saat ini Jabatan Irjen Ferdy Sambo sebagai Kepala Satgassus Merah Putih dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International, terkait dengan pengusutan kasus kematian Brigadir Yosua atau Brigadir J. Jagad media sosial tiba tiba dikejutkan dengan informasi di medsos tentang kiprah dan sepak terjang Satgasus Merah Putih, yang menorehkan kesan cukup mengejutkan, sekalipun sebagai organ non struktural di tubuh internal Polri. Alasan dibentuknya Satgassus Merah Putih tersebut untuk melaksanakan Tugas Kepolisian di Bidang Penyidikan dan Penyelidikan. Secara Struktural POLRI sudah mempunyai Satuan Tugas tersebut, sehingga keberadaannya sebenarnya tidak diperlukan. Apalagi kalau kerja peran dan fungsinya ada indikasi memasuki di wilayah politik yang bukan tugasnya, dengan formasi yaitu para personil Polri yang terseleksi dengan ketat, sebagai kesatuan elit yang bisa bergerak ke semua arah. Berdasarkan Sprint Kapolri atas dasar Undang Undang KUHP, Psikotropika, Narkotika, Tipikor, Pencucian Uang, ITE. Namun yang terjadi sebaliknya, konon bergerak seperti bebas masuki ranah politik. Satgas ini indikasi menjalankan Black Ops dan beranggotakan Kelompok Elit Polri yang masih muda-muda dari berbagai Level dan Struktur, yang dijamin kualitas pangkat dan jabatannya. Keanggotaan mereka di bawah penunjukan resmi Pimpinan tertinggi Polri dalam bentuk Sprint. Tidak sembarangan polisi bisa bergabung dengan Satgassus Merah Putih ini, mereka menekankan loyalitas dan militansinya pada kelompok mereka. Diduga, Satgasus Merah Putih ini bisa bermain menutup semua kasus besar yang terjerat hukum, bebas proses hukumnya. Kalau itu benar, bisa ditebak semua berproses dengan segala konsekuensinya, yaitu sebagai simbiosis mutualismenya. Muncul rumor, apakah ada kaitannya dengan kasus Pembunuhan 6 laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek dan Pembunuhan Brigadir Yosua, yang melibatkan anggota Satgassus Merah Putih. Hanya internal POLRI yang mengetahuinya. Seandainya Satgassus Merah Putih melakukan tindakan taktis terkait dengan rekayasa melanggengkan kekuasaan, jelas tindakan ini harus diakhiri dan atau dihentikan. Apabila terlibat melakukan tugas yang sifatnya mendukung kelompok politik tertentu, menjelang Pilpres 2024 dengan dana mereka yang luar biasa besar akan mempengaruhi jalannya Pemilu 2024 mengulangi kesuksesan pemilu lalu, kalau itu terjadi adalah tindakan tidak benar. Anggaran mereka pasti sangat besar, namun Satgas Non Struktural seperti Satgassus Merah Putih ini tidak mengunakan anggaran dinas, tapi mereka kumpulkan dari sumber lain. Masyarakat tidak akan mengetahui sumbernya secara transparan dan PPATK juga katanya kesulitan untuk mengaudit sumbernya. Muncul spekulasi dari masyarakat apa dananya bersumber dari dana backup yang dilakukan, akan melalui proses yang luar biasa. Bisa terjadi menangkap selundupan narkoba, judi online dengan jumlah yang fantastis besar, tangkap mereka dan proses hukumnya dihentikan, dan atau aktor pelakunya bebas. Merebaknya judi online bebas terjadi di Indonesia, DPD RI dan masyarakat sudah sangat keras meminta segera ditutup. Tapi, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) seperti tak berdaya untuk menutupnya, sangatlah mungkin ada kekuatan yang menghalanginya. Apakah judi online ada jaminan dan yang melindunginya siapa saja yang menampung dana setor deposit Judi Online. Cepat atau lambat harus dibongkar semuanya. Sumber dana operasional Satgasus Merah Putih harus diinformasikan kepada masyarakat secara transparan. Bagaimanapun masyarakat adalah mitra kerja kepolisian. Terkait kasus Yosua, Presiden Joko Widodo sampai 3 kali meminta agar kasus Yosua harus diungkap secara transparan. Maknanya tak boleh ada kekuatan apapun kalau berkehendak akan menutupi dan atau akan menghilangkan jejak kasusnya. Jangan sampai terjadi lagi seperti kasus KM 50, Penyiraman air keras Novel Baswedan, dan kasus besar lainnya menguap di tengah jalan dan menyisakan awan hitam yang tidak akan bisa dilupakan oleh waktu. Terus menyimpan misteri dan gelap gulita. Konon, Satgasus Merah Putih juga memegang kendali penuh atas peralatan penyadapan maupun peretasan media komunikasi dan sosmed yang harga alatnya sangat besar dan operatornya oleh tenaga ahli yang mereka miliki. Satgasus Merah Putih sangat mudah mendeteksi akun yang vokal terhadap pemerintah untuk menjadi target mereka. Terpantau para Buzer adalah dalam kendali dan binaan mereka. Ada kesan dari mayatakat, Sambo sebagai Kepala Satgassus Merah Putih seperti Kapolri Bayangan, dengan kekuasaan besar terlibat dan melibatkan diri terhadap apapun yang menjadi target dan sasarannya. Harapan dan dukungan masyarakat kepada Kapolri sangat besar untuk segera memulihkan Polri dari aib yang sedang terjadi saat ini. Pulih kembali sebagai lembaga negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Satgasus Merah Putih yang merupakan organ non struktural yang fungsinya sebenarnya tidak diperlukan, akan lebih bijak dibubarkan. Lebih cepat lebih baik. (*)
Memburu Pembunuh Brigadir J: Mengapa Harus Lewat Pelanggaran Etik?
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN BARESKRIM Polri, cq Timsus kasus pembunuhan Brigadir J, menyatakan 25 anggota kepolisian dari pangkat rendah sampai beberapa jenderal bintang satu diduga melanggar kode etik. Tiga di antara mereka ditetapksan sebagai tersangka. Selebihnya, 22 pesonel, masih akan diperiksa lebih lanjut. Tetapi, mengapa Kapolri menempuh jalan kode etik? Mengapa tidak langsung pengusutan pidana terhadap ke-22 personel yang diduga melanggar etik itu? Bukankah Timsus sudah bisa melihat peranan mereka? Lagi pula, sebagian dari mereka yang 22 orang ini bukanlah personel yang sedang melakukan tugas investigasi sehingga mereka bisa dibawa ke ranah pelanggaran etik. Seharusnya mereka bisa dipastikan ikut atau tidak dalam pembunuhan Brigadir J tanpa memasukkan mereka ke koridor pelanggaran etik. Misalnya, kalau Timsus melihat personel A ikut merusak TKP, apakah ini bukan perbuatan pidana? Apakah ini pelanggaran etik? Mengapa harus disebut pelanggaran etik? Apakah personel atau para personel yang menghilangkan rekaman CCTV di rumah dinas Kadiv Propam hanya dianggap melanggar kede etik? Bukankah mereka telah merusak barang bukti? Apakah personel lain yang mengatur pembesihan TKP dari bercak darah atau jejak-jejak lainnya masih dianggap melanggar kode etik? Bukankah ini pelanggaran pidana? Atau, apakah personel B yang diketahui menyusun rekayasa kronologi pembunuhan tidak bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka? Apakah perbuatan ini bukan tindak pidana? Masihkah disebut pelanggaran etik? Logika apa yang digunakan? Sangat jelas bahwa orang atau orang-orang yang melakukan rekayasa ini telah mengarang cerita yang bertujuan untuk menyembunyikan perbuatan pidana. Dia atau mereka telah berbohong. Masih disebut pelanggaran etik? Sangat sulit dipahami. Sudah terang-benderang mereka itu melanggar pasal-pasal pidana, tetapi dibawa ke pelanggaran etik. Ini omong kosong. Tidak perlu menjadi ahli hukum pidana untuk melihat apakah para personel dimaksud melanggar etik atau melanggar pasal pidana. Ada contoh sederhana tentang pelanggaran etik. Seorang penyelidik atau penyidik diketahui melakukan pertemuan atau tatap muka dengan orang-orang yang terlibat dalam suatu perkara. Ini baru cocok disebut melanggar etik. Atau, seorang polisi yang menyelidiki satu kasus, kemudian dia menjalin hubungan asmara dengan pihak yang berperkara atau keluarga yang berpakara. Inilah pelanggaran etik. Kedua contoh ini memang bukan tindak pidana. Publik yang mengerti hukum sekalipun sulit memahami mengapa ke-22 personel yang diamankan itu tidak langsung ditersangkakan. Padahal, Timsus tahu peranan mereka dalam drama pembunuhan Brigadir J. Tapi, pimpinan Kepolisian masih berbasa-basi menyebut mereka semua tidak profesional dalam menangani TKP. Kita wajar bertanya: apakah pendekatan kode etik ini bertujuan untuk menyediakan pintu keluar (exit door) bagi personel-personel tertentu diantara 22 yang diamankan itu? Kecurigaan ke arah ini tidak berlebihan. Karena, sekali lagi, ke-22 personel itu, dalam batasnya masing-masing, dipastikan punya singgungan atau irisan dengan peristiwa pembunuhan Brigadir J. Kalau strategi penyidikan seperti ini (i.e. pendekatan kode etik) bertujuan untuk menenangkan suasana, mungkin bisa dipahami. Pimpinan Polri barangkali sengaja menempuh langkah bertahap terhadap para personel tersebut agar situasi tetap kondusif. Mereka disebut dulu sebagai terduga pelanggaran etik. Setelah itu, satu per satu akan dikenai pasal pidana. Ada dua kemungkinan. Pertama, pimpinan Polri (c.q. Timsus dan Irsus) sangat berhati-hati mengingat jumlah perwira tinggi dan perwira menengah yang diduga tersangkut dalam pembunuhan ini cukup banyak. Tiga jenderal bintang satu, lima kombes, tiga AKBP, dua kompol, tujuh perwira pertama, serta lima bintara dan tamtama. Kedua, pimpinan Polri menyadari bahwa mereka berhadapan dengan kelompok atau klan yang sangat kuat pengaruh dan jaringannya di Kepolisian. Dikatakan bahwa Irjen Ferdy Sambo –salah seorang dari 22 personel itu— adalah perwira tinggi yang dipatuhi oleh banyak perwira dan juga yang berpangkat rendah. Benar kata Menko Polhukam Mahfud MD. Ada psychological barrier (hambatan psikologis) dalam kasus ini. Termasuklah, barangkali, tidak mudah menjadikan mereka semua tersangka. Sebagai contoh, Ferdy Sambo adalah kolega dekat Kapolri Listyo Sigit Prabowo, sejak lama. Sebelum menjadi Kapolri. Bahkan ada kesan bahwa Ferdy dulu ikut mengangkat nama Sigit untuk menjadi Kapolri. Antara lain ketika Ferdy, bersama Listyo, membawa pulang koruptor besar Djoko Tjandra dari Malaysia pada akhir Juli 2020. Jadi, tidak mudah untuk langsung menjadikan mereka tersangka meskipun, mungkin, bukti-buktinya cukup.[]