ALL CATEGORY

Mengharap Rekognisi

Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Oleh: Shamsi Ali, NYCHHC. Chaplain KEINGINAN untuk diakui (being recognized) itu biasa dan wajar saja. Semua manusia punya tendensi egoisitk. Bahkan terkadang diselimuti oleh kepura-puraan tidak mau pengakuan. Tapi kepura-puraan itu pun tidak bisa menyembunyikan tabiat alami manusia yang punya dorongan “اناني” (keakuan) itu. Yang tidak wajar kemudian adalah ketika keinginan diakui itu tidak seimbang bahkan tidak pada kapasitas diri seseorang. Islam mengakui ini ketika Al-Quran menggariskan: قل كل يعمل علي شاكلته. (Hendaknya setiap diantara kalian bekerja sesuai skill (keahlian) masing-masing). Bahkan Al-Quran lebih jauh menyebutkan bahwa manusia diciptakan dan dikarunia kapasitas (kemampuan) sesuai qadarnya masing-masing. “Maha Suci Tuhanmu Yang Maha Agung. Yang telah mencipta dan membentuk. Dan Yang telah memutuskan dan menunjuki” (Surah Al-A’laa). Ayat Al-Quran di atas menegaskan bahwa antara penciptaan (khalaqa), bentukan (sawwa), kapasitas (Qaddara) dan keahlian (hadaa) itu saling terkait. Allah yang mencipta, Allah pula yang membentuk apa dan bagaimana seorang hamba. Lalu Allah yang menentukan keadaan, Allah juga yang memudahkan keahlian hambaNya. Seseorang yang dorongan keakuannya besar, apalagi jika dorongan itu lebih dibesarkan lagi oleh kompetisi atau persaingan, kerap tertipu dan terjadi pemaksaan diri secara berlebihan. Realita seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berujung pada drama kehidupan yang menggelikan. Konon di sebuah kampung nun jauh di seberang sana, hidup seorang tamatan madrasah, hafal Quran, telah kenamatkan enam buku hadits yang paling mu’tamad (terpercaya), bahkan diakui oleh warga dengan keahliannya di bidang fiqh dan agama. Di kampung itu juga ada seorang pekerja kebun yang rajin, bahkan ahli perkebunan. Pekerja kebun ini selain ahli, juga penuh dedikasi dalam mengembangkan kebunnya. Sehingga oleh sebagian diakui sebagai ahli pada bidangnya. Di suatu masa terjadi musim kemarau. Kebun-kebun pada kekeringan. Petani-petani di kampung itu, termasuk petani tadi, turun pamornya karena dinilai tidak lagi kelihatan kehebatannya di tengah-tengah warga. Di satu sisi, karena kebanyakan petani memiliki waktu lowong, masjid menjadi lebih ramai. Jamaah lebih besar dan peserta kajian juga semakin bertambah. Pengakuan pada Kyai kampung itu juga semakin bertambah. Petani yang hebat di kampung itu yang tadinya aktif di mesjid, bahkan jadi pengurus dan aktivis masjid, mulai dimainkan oleh sebuah perasaan lain. Dia yang tadinya diakui (recognized) kini lambat laun dilihat biasa saja oleh warga sekitar. Dia pun merencanakan sesuatu yang awalnya dianggap baik-baik saja. Sekali-sekali mengundang tetangga BBQ-an di kebun belakang rumah. Tentu saja diselingi sholat berjamaah di rumahnya. Dan sekali-sekali ada kultum. Tapi semua itu berakhir dengan membentuk jamaah dan kelompok pengajian sendiri. Tidak tanggung-tanggung demi pengakuan “heroisme” dan ketokohan sang tukang kebun itu bahkan mendeklarasikan diri sebagai “spiritual leader” dan “Imam” bagi jamaah dan kelompok pengajian BBQ-an itu. Pada sisi lain jamaah masjid di kampung itu mulai resah. Sebagian kecil bersimpati dan menjadi pengikut spiritual leader dan imam dadakan itu. Sebagian besar yang lain mendongkol, kecewa bahkan marah pada perilaku tukang kebun itu. Tanpa terasa warga kampung pun retak, bahkan saling mengucilkan. Waktu berlalu, situasi pun berubah. Musim hujan tiba, kebun pun menjadi makmur. Warga di kampung itu kembali memuji sang pekerja kebun dengan keahliannya. Sang Ustadz pun tergiur. Dia terjun ke kebun bertani.  Sang Ustadz tidak lagi peduli dengan tangggung jawabnya. Tapi juga gagal total berkebun karena bukan keahliannya. Hanya untuk sebuah rekognisi sesaat dari warga sekitar. Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Tapi jika itu dipaksakan maka tunggu akibat buruk yang akan terjadi. Apalagi kalau yang melandasi semua itu adalah sakit hati dan dendam yang membara. Pesan moral dari renungan Subway NYC ini adalah hendaknya setiap orang sadar akan potensi dirinya. Biarkanlah potensi dirinya itu berkembnag dan termaksimalkan sesuai kadarnya (porsinya) dan pada “qadar” (ketentuan) yang Allah berikan. Jangan pernah paksakan diri pada hal-hal yang bukan pada porsinya dan kapastitasnya. Karena pada akhirnya hanya melahirkan drama lucu yang menggelikan…! Renungan pagi Subway, 12 Agustus 2022. (*)

Evaluasi Peleburan Lembaga Riset di Indonesia

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia PELEBURAN lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. AIPI meminta dilakukan evaluasi agar kerusakan yang telah terjadi tidak semakin parah. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai bahwa peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Perlu evaluasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah. Sejak awal AIPI sudah mengingatkan bahwa peleburan lembaga riset yang memiliki identitas berbeda-beda akan memicu masalah. Setelah setahun ini, kita bisa melihat dampaknya. Dan, BRIN telah melakukan perubahan drastis dan menghilangkan identitas lembaga riset yang sebagian sudah berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga ini sudah puluhan tahun, masing-masing sudah punya kultur kerja. Tiba-tiba dilebur dan dihilangkan identitasnya dengan fungsi dan kegiatannya berbeda sekali. Agar BRIN tidak menjadi lembaga superbodi karena akan memperpanjang rantai birokrasi. Di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi, sehingga setiap lembaga riset punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal. Dari segi kendali, akan sulit memberdayakan dan mengembangkan sekian ratus ribu peneliti dalam satu lembaga. Daripada melebur berbagai lembaga ini, saya menyarankan fungsi koordinatif. Pemusatan fasilitas riset bisa menyebabkan hilangnya sumber daya peneliti di daerah, terutama di kawasan Indonesia timur. Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi brain drain dengan kepergian para peneliti dari Papua dan juga ditariknya fasilitas Pusat Riset Laut Dalam di Ambon. Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih. Lihat, Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Kalau masih mungkin, sebaiknya peralatan dikembalikan ke pusat-pusat riset yang ada, termasuk di daerah. Justru, untuk pemerataan sumber daya riset, pusat riset di daerah harus diperkuat dengan diberi dana dan akses peralatan. Daerah seperti Papua yang sudah telanjur ditinggalkan peneliti ini harus segera dicarikan solusi dengan mencari peneliti lokal sebagai pengganti walaupun prosesnya menjadi tidak mudah. Pusat-pusat riset di daerah dan sumber dayanya harusnya diperkuat, termasuk diberi kemudahan dana dan akses peralatan, jangan semua dipusatkan. Ini kemunduran jika dipusatkan. Sebagai Ketua AIPI, saya telah mengirim surat resmi ke Presiden Joko Widodo guna memberikan masukan agar ekosistem riset di Indonesia membaik, bukan justru mengalami kemunduran seperti saat ini. Jika tidak ada evaluasi, saya khawatir terjadi kemunduran semakin jauh dan demotivasi yang dialami peneliti semakin dalam. Untuk mengembalikan, tidak akan mudah. Harapan adanya evaluasi integrasi lembaga riset ke dalam BRIN ini juga disampaikan peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi Sirkular, BRIN, Maxensius Tri Sambodo. Melalui Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), Maxensius juga telah menyampaikan temuan mengenai sejumlah masalah setelah integrasi BRIN ke DPR dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam dokumen tertulis yang dibuat MPI, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan MPI, yaitu manajemen transisi dan birokrasi yang buruk yang menyebabkan pemborosan aset, sumber daya manusia, hingga reputasi lembaga yang sudah lama terbangun. Masalah kedua adalah adanya sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit, yang menyebabkan ekosistem riset justru memburuk. Masalah ketiga, BRIN dinilai mengabaikan program strategis nasional yang sebelumnya tengah dikerjakan oleh sejumlah lembaga riset yang kemudian dilebur. Beberapa riset, seperti vaksin Merah Putih dan Drone MALE Kombatan, saat ini terhambat. Sementara masalah keempat skema program BRIN dinilai tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Hal ini terjadi karena hingga saat ini BRIN belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) yang telah disahkan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Ketiadaan Renstra-KL, dinilai MPI, berdampak pada manajemen kinerja pegawai BRIN. Hal ini, di antaranya, menyebabkan pegawai tidak mempunyai tugas kedinasan secara definitif sesuai peraturan perundangan yang menjadi temuan Ombudsman sebelumnya, banyak pegawai BRIN menganggur. Sementara masalah kelima terjadinya pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena riset di BRIN lebih diorientasikan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, dengan mengabaikan peran-peran lain yang selama ini telah dijalankan lembaga yang ada. (*)

Setengah Kemerdekaan, Merayakan Proklamasi Dalam Ironi

Oleh: Yusuf Blegur |  Ketua Umum BroNies - Relawan Bro Anies TNI, Polri dan hampir semua institusi negara  belum menunjukkan performans terbaiknya. Alih-alih berprestasi dan secara hakiki mampu menjaga kedaulatan rakyat dan negara, kebanyakan aparatur pemerintahan justru terus mereduksi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Distorsi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti menjadi representasi para perilaku pejabat dan pemimpin yang  tak berbudi pekerti dan tak manusiawi. Kasihan rakyat dan betapa miris* *kehidupannya,  suasana 77 tahun kemerdekaan Indonesia tak ubahnya terasa merayakan proklamasi dalam ironi. Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah yang mengalami kehancuran akibat perang dan pergolakan kekuasaan di dalam negerinya. NKRI juga belum mengalami kebangkrutan seperti yang telah menimpa Srilangka belakangan ini. Apa yang telah terjadi di beberapa negara di semenanjung Arab dan Asia Selatan itu, memang belum menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila dan semangat nasionalismenya yang pernah merangsang kemerdekaan bangsa-bangsa  Asia Afrika  melalui Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 silam. Namun gejala menjadi negara gagal, kini mulai dirasakan dalam sekujur struktur sosial politik kebangsaan Indonesia. Pemerintahan dan rakyat tak ubahnya sebuah habitat yang berhimpun menjadi republik pesakitan, larut dalam kemunduran peradaban dan kemiskinan kemanusiaan, terutama dalam memaknai kemerdekaan negara bangsanya.  77 tahun sudah merayakan hari kemerdekaannya, rakyat Indonesia benar-benar mengalami banyak keganjilan. Proklamasi kemerdekaan yang pernah dikumandangkan ke seantero dunia, seakan tak pernah menemukan bentuk yang sesungguhnya, tak implementatif dan tak kunjung jua meraih tujuannya. Keinginan menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta ikut menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, seperti menjadi kenyataan yang jauh api dari panggang. Proses  penyelenggaraan negara dan realitas kehidupan rakyat, menjadi begitu kontradiktif dari apa yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tidak sekedar kehilangan akal sehat, menjadi bangsa dungu dan terbelakang dari kemajuan yang sesungguhnya. Bahkan indikasi bangsa yang korup dan hipokrit telah menghinggapi segenap aparatur pemerintahan dan sebagian besar rakyat, yang negerinya kaya kebhinnekaan dan kemajemukan budaya serta sumber daya alamnya. Setidaknya ada tiga keganjilan, jika belum pantas disebut kegagalan seandainya negara bangsa Indonesia mau melakukan refleksi sekaligus evaluasi secara jujur dan obyektif dari perjalanan 77 tahun kemerdekaannya. Pertama, negara melalui kinerja pemerintahannya telah lama gagal mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa yang praksis. Apa yang kemudian menjadi sistem nilai yang terkandung di dalam lima silanya, hampir secara umum dan keseluruhan telah lama meninggalkan hakekat dan prinsip-prinsip kebangsaan aspek menyeluruh kehidupan rakyat. Tata-kelola negara dan dinamika kebangsaan semakin tercerabut dari akar dan value, serta tatanan etos dan mitos  Pancasila. Sekian lama dan untuk jangka waktu yang panjang, mayoritas bangsa Indonesia justru menjadikan ideologi dan gaya hidup di luar pakem Pancasila. Bangsa Indonesia cenderung menjadikan  keyakinan, tradisi dan orientasi bangsa luar sebagai panutannya. Sebut saja kapitalisme dan komunisme yang begitu kuat mencengkeram dan digdaya di belahan global maupun bumi nusantara ini. Bukan Pancasila, bahkan bukan juga agama, liberalisasi dan sekulerisasi telah menjadi \"the way of life\" hampir seluruh populasi manusia Indonesia. Udara kapitalisme  dan komunisme yang menyebarluaskan aroma materi dan kecintaan pada dunia, dihirup dalam-dalam dan  menjadi nafas  segenap rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Ketuhanan telah menjadi seolah-olah. Banyak yang beragama tapi sesunguhnya tak bertuhan. Kemanusiaan tampil kebalikannya. Hanya terlihat di sana-sini kebiadaban dan tregedi kemanusiaan. Persatuan juga telah menjadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu dan seketika dapat menyemburkan konflik dan perpecahan bangsa. Pembelahan sosial semakin tajam dan menyayat luka yang sulit terobati. Permusyawaratan rakyat juga menjelma menjadi pesta demokrasi yang hedon, glamour dan transaksional. Bukan orang jujur dan baik, tapi orang kaya yang berhak menjadi pemimpin dan perwakilan rakyat. Logika konstitusi formal dan normatif terus memproduksi pemimpin boneka dan badut. Sementara keadilan hanya hadir bagi yang punya uang, jabatan dan kekuasaan. Pancasila telah sempurna dan begitu indah dalam mimpi, namun menjadi begitu horor dan mengerikan dalam praktek dan kenyataannya. Rakyat Indonesia terlanjur terobsesi dan uthopis terhadap Pancasila, sembari menikmati kenyataan pahit bernegara. Sengsara dan hidup menderita jauh lebih keji dari zaman  kolonialisme, begitulah rakyat menjalani meski hidup dalam alam kemerdekaan dan era modern. Kemerdekaan hanya menghantarkan rakyat Indonesia berada  pada satu penjajahan ke penjajahan yang lain. Penjajahan dari bangsa asing menuju penjajahan oleh bangsanya sendiri. Terus seperti itu silih berganti, terkadang oleh konspirasi keduanya. Kedua, kegagalan UUD 1945 dalam implementatif.Selain telah terjadi manipulasi dan kamuflase UUD 1945 yang bertopeng amandemen dan berujung UUD 2002 dst hingga ke omnibus law dan mungkin UU KUHP. Usai itu, konstitusi sakral negara telah menjadi alat kekuasaan yang melegalkan orang-orang jahat dalam pemerintahan. Merubah abdi negara, menjadi abdi penguasa. Praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka dan  terselubung,  telah menjadi kejahatan resmi aparatur negara. Seiring itu kejahatan susulan menjadi trend dan serba permisif, tampil mewah, berwibawa dan arogan memamerkan kebobrokannya. Konsitusi bukan hanya sekedar berwujud hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahkan perilaku  para penguasa itu telah menjadi hukum dan di atas hukum dari negeri yang dihuni banyak para bedebah dan bajingan ini. UUD 1945 kini telah lama tenggelam di dasar kenistaan bangsa.  Pasal dan klausulnya direkayasa dan dibuat sedemikian rupa untuk memuliakan,  melindungi dan melanggengkan kekuasaan, sembari terus menghina, merendahkan dan menganiaya serta membunuh rakyatnya sendiri. Rakyat sesak napas dan mengurut dada, dieksplotasi membiayai pemerintah dan  aparatur negara. tanpa disadari rakyat,  rakyat  babak-belur bertubi-tubi mengenyam kedzolima rezim kekuasaan yang dihidupinya sendiri. Ketiga, NKRI yang terus melesat menuju negara gagal. 77 tahun menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, alat-alat negara hanya mampu menghasilkan masyarakat tanpa pemerintahan dan negara tanpa pemimpin. Ketiadaan para pemimpin yang mutlak yang berahlak mulia, menjadi faktor fundamen dan signifikan menyebabkan kemerosotan moral dan degradasi kebangsaan. NKRI cenderung melepaskan substansi dan esensi kemerdekaannya yang susah payah diraih dengan pengorbanan keringat, darah dan nyawa, karena ulah para pejabat dan pemimpinnya. Penguasa memegang kendali pemerintahan yang berwatak tiran, otorier dan diktator.  Negara telah nyata meski samar tapi tetap terlihat dikuasai oleh para oligarki. Birokrat, politisi dan sebagian pemuka agama telah berkembang-biak dan subur menjadi ternak-ternak oligarki. Partai politik juga tak lepas dari irisan para pemilik modal. Perpanjangan tangan partai politik telah merambah begitu dominan dan hegemoni dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan yang menindas rakyat, mengangkangi amanat para \"the founding fathers\" dan mengebiri cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitulah elit kekuasaan menampakan wajah dan perangainya. Teriak keras sembari  mengonggong, mengaku  paling Pancasila, paling NKRI dan saya paling cinta Indonesia, namunbersamaan dengan itu,  tak tahu malu menjadi pelacur dan penghianat negeri ini. NKRI dalam pengertian hakiki, berangsur-angsur bubar dan terlepas dari genggaman rakyat, meski secara seremonial saban tahun diperingati hari kemerdekaannya. Demikian tiga aspek yang menjadi indikator keterpurukan negara bangsa Indonesia. Suatu hal yang mengenaskan terlebih dalam momentum memperingati hari kemerdekaannya. Negara telah keluar dari treknya, menyimpang jauh dari apa yang menjadi tujuan nasional. Penyelenggara negara telah membuat \"broken bridge\", menghancurkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah menjadi jembatan emas yang telah diperjuangkan dan dibangun para pendiri bangsa dan para pahlawan lainnya. Penyimpangan perilaku aparatur negara secara terstruktur, sistematik dan masif telah mengubur mimpi  rakyat Indonesia, menikmati keadilan dan kemakmuran dalam hasrat negara kesejahteraan. Indonesia memang tidak mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.             mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.

Peluk Haru dan Cium Kening Sang Jenderal

Oleh Ady Amar | Kolumnis  BERTEMU kawan lama memeluknya erat sambil menempelkan pipi dengan pipi--ada pula yang mengecup dahi segala--itu hal biasa dalam pertemanan. Bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa-biasa saja. Itu tanda keakraban. Tapi ada yang buat kepo manusia se-Indonesia saat video singkat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (FI) bertemu mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (FS). Video itu beredar luas. FI memeluk FS dengan erat, sambil tangannya menepuk-nepuk punggung FS. Tak ketinggalan adegan kecup kening dari FI, itu menandakan keakraban luar biasa antarkeduanya. Sambil masih tetap memeluk erat, dan dengan sedikit menempelkan mulut dekat telinga, FI mengucapkan sesuatu. Sambil sedikit mengguncang-guncang badan FS, sebagai tanda agar ia bersabar dan tetap kuat. Apa yang dibisikkan FI, itu buat publik kepo. Tentu yang tahu cuma mereka berdua dan Tuhan. Boleh juga jika publik ingin merabah apa yang dibisikkan FI. Menyebut itu hanyalah sekadar kalimat normatif yang diucap, guna menguatkan kawan yang tengah terpuruk. Tapi boleh juga jika ada yang merabah dengan mengatakan makna lain, kalimat menenangkan FS, bahwa ia akan berakhir aman-aman saja. Peluk cium itu terjadi pada tanggal 13 Juli. Artinya, beberapa hari setelah adegan \"tembak-tembakan\" di rumah dinas FS, yang menewaskan Brigadir Yosua (J). Peluk cium itu dilakukan saat masih hangat-hangatnya peristiwa Duren Tiga itu merebak. Peluk erat dan cium kening dari FI, itu hal manusiawi. Mestinya bisa dianggap biasa-biasa saja. Tapi jika jadi kehebohan tersendiri, itu tidak terlepas dari peristiwa yang melatarbelakangi. Publik sudah punya penilaian tersendiri tentang keduanya. Sepertinya publik ingin menariknya pada peristiwa KM 50. Kasus yang oleh Komnas HAM disebut sebagai unlawful killing. Tanggal 14 Juli, Irjen FI perlu beri klarifikasi atas viralnya video peluk cium itu. Katanya, sebagai senior ia cuma menguatkan sohibnya atas peristiwa yang dialaminya. Sepertinya FI ingin menghentikan spekulasi kepo publik atas peluk cium dan bisikannya itu. Meski saat itu belum terbuka siapa dalang sebenarnya yang menghabisi Brigadir J hingga tewas. Spekulasi bisa menjadi lepas jika diteruskan: saat itu apa FI tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, atau hanya tahu ada tembak-tembakan yang mematikan Brigadir J. Mestinya ia sudah menerima laporan dari anak buahnya, setidaknya dari Kapolres Jakarta Selatan tentang peristiwa yang sebenarnya. Setelah penetapan FS sebagai otak pembunuhan Brigadir J (Selasa, 9 Agustus), video adegan peluk haru dan cium kening itu di viralkan lagi. Entah apa maksudnya. Publik sepertinya ingin beri penegasan. Dan itu menarik  FI dalam kasus ini. Tentu itu pengharapan tidak semestinya. Tidaklah perlu berpikir yang bukan-bukan. Biarlah proses Durian Tiga ini berjalan dengan semestinya. Publik cukup mengawasi dengan seksama. Jangan berharap pada yang tidak seharusnya. Penilaian publik memang tidak mesti benar, bisa juga salah. Tapi nalar publik punya penilaiannya sendiri, yang itu tidak atau belum bisa dijawab oleh keadilan yang diharapkan. Keadilan atas terbunuhnya 6 laskar FPI dalam kasus KM 50. Dua orang itu, FI dan FS, dalam benak publik, ada di balik peristiwa itu. Sekali lagi, bahwa penilaian publik belum pasti benar. Penilaian itu dimunculkan oleh jalannya pengadilan yang tidak sesuai dengan harapan. Kasus KM 50 itu menyisakan luka menganga lebar yang sulit bisa diobati. Mustahil bisa disembuhkan dengan pengadilan tanpa ada keadilan dihadirkan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  membebaskan 2 jagal pembunuhnya, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Tanpa menyentuh siapa otak di balik peristiwa KM 50. Tapi jelas, dua orang itu adalah anggota Satgasus, yang dikomandani FS. Setelah kasus Duren Tiga, Satgasus itu dibubarkan Kapolri. Maka, publik bisa simpulkan bahwa ada FS pada kasus KM 50. Perlakuan hukum antara kasus KM 50 dan kasus Duren Tiga, sangat jauh berbeda. Itu dalam keseriusan mengungkap peristiwanya. Pada kasus KM 50, tampaknya yang disasar adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), dan Front Pembela Islam (FPI). HRS dipenjarakan dengan kasus yang (seperti) dibuat-buat. Sedang FPI ditarget untuk dibubarkan. Kasus KM 50 seolah hanya kesalahan dua oknum polisi--sebenarnya tiga polisi, tapi yang satu mati duluan sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan--tanpa menyentuh aktor intelektualnya. Jauh berbeda dengan kasus Duren Tiga, yang sampai Presiden Joko Widodo perlu memberi perhatian khusus, agar kasus ini dibuka seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutupi. Belum lagi sikap Prof Mahfud MD, melihat kasus Duren Tiga, seperti layaknya lebih dari Kapolri. Pada kasus KM 50, FI tampil dalam konferensi pers segala. Menunjukkan senjata pistol dan pedang yang tampak berkarat, yang itu dinyatakan milik laskar yang terbunuh itu. Padahal senjata api maupun tajam tidak dikenal dalam akrivitas laskar FPI. FI tampak bersemangat padahal kasusnya tidak terjadi di wilayah Polda Metro Jaya. Tapi sebaliknya pada kasus Duren Tiga, ia justru pasif. Padahal lokasi kejadian ada di Jakarta Selatan. Maka publik yang melihat  peluk haru dan cium kening FI pada FS, itu menjadi wajar jika lalu menariknya pada kasus KM 50. Publik dengan logika sederhananya mampu mengurai korelasi antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Wallahu a\'lam (*)

Ferdy Sambo Tuduh Brigadir Yoshua Lukai Harkat dan Martabat Putri di Magelang

Jakarta, FNN - Cerita misterius pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di kediaman Irjen Ferdy Sambo telah bergulir selama satu bulan lebih. Kini kisah kusut itu mulai terurai. Kepingan puzzle kasus kematian Brigadir Yoshua sedikit mulai tersusun. Penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka dilakukan Kapolri pada Selasa malam lalu, 9 Agustus 2022. “Sebagai informasi pada hari Rabu (8/8/22) itu pertama kalinya Ferdy Sambo diperiksa dengan statusnya sebagai tersangka, kalau kemarin kan dia hanya sebagai pelanggar kode etik saja,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam perbincangan dapur redaksi bersama Agi Betha di kanal YouTube Off The Record FNN, Jumat (12/8/22) di Jakarta. Berdasarkan hasil penyelidikan awal, Ferdy Sambo mengaku merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua. Sambo berdalih dirinya marah karena Brigadir melukai harkat dan martabat isrtinya, Putri Candrawathi, saat berada di Magelang. Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengungkapkan Ferdy Sambo mengetahui adanya dugaan pelecehan tersebut berdasar pengaku istrinya.  \"Dalam keterangannya tersangka FS (Ferdy Sambo) mengatakan, bahwa dirinya menjadi marah dan emosi setelah mendapat laporan dari istrinya PC (Putri Candrawathi) yang mengalami tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang yang dilakukan almarhum Yosua,\" kata Andi dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/8/22). Atas hal itu, selanjutnya Sambo mengajak Brigadir RR alias Ricky Rizal dan Bharada E alias Richard Eliezer untuk melakukan pembunuhan berencana.  Namun, Andi belum menjawab dengan tegas, apakah Sambo memerintahkan Bharada E dan Brigadir RR untuk menembak Brigadir Yoshua. Meski demikian, motif pembunuhan tersebut baru sekedar pengakuan Sambo saat menjalani pemeriksaan sebagai tersangka untuk pertama kalinya di Mako Brimob. “Jadi begini rekan-rekan, pengakuan tersangka kan kita tahu semua ya. Syukur ini tersangka bunyi. Kalau engga ngomong sekalipun tidak ada masalah. Kita sudah punya alat bukti untuk memberikan sangkaan terhadap yang bersangkutan dan siap untuk kita bawa ke pengadilan,” kata Andi Rian. Mencermati hal itu, Hersubeno menyampaikan kepada publik untuk underline pengakuan itu dari tersangka yang disampaikan oleh penyidik. “Ini tetap saja kita harus underline bahwa itu pengakuan dari tersangka yang disampaikan oleh penyidik, jangan seperti pak Benny Mamoto yang mengatakan Bharada E jago tembak, dia tidak memberikan kontribusi bahwa itu klaim atau penjelesan,” ujarnya. Lebih lanjut, Agi juga mengatakan bahwa persoalaan ini nanti akan menjadi sebuah pengadilan yang seru sekali, “Ya nanti di sana akan beredar bukti faktual yang ada di lapangan,” pungkasnya. (Lia)

Doa Orang Terzalimi dalam Kasus KM 50

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Nabi SAW bersabda \"ittaqi da\'watal mazluumi, fainnahu laisa bainahaa wa bainallahi hijaabun\" (Waspadalah pada do\'a orang yang dizalimi, sesungguhnya antara ia dan Allah tidak ada penghalang)-- HR Bukhori-Muslim.  Marak berita atau tulisan yang mengaitkan peristiwa Duren Tiga dengan do\'a Habib Rizieq Shihab saat diadili di Pengadilan Negeri atau mubahalah keluarga 6 anggota Laskar FPI di Dewan Da\'wah Indonesia. Baru diketahui bahwa Kadiv Propam atau Kasatgasus dengan tim ternyata terlibat dalam penanganan Kasus Km 50. Adapun do\'a HRS yang dibacakan di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah memohon kepada Allah agar pelaku, perekayasa, serta semua yang terlibat dalam pembunuhan keji atas enam anggota Laskar FPI di Jalan Tol Jakarta Cikampek itu dihukum dan dihancurkan dengan sehancur-hancurnya oleh Allah SWT.  Demikian juga mubahalah keluarga keenam syuhada yang meyakini bahwa putera mereka telah dianiaya dan dibunuh oleh aparat dengan keji. Memohon bagi yang berdusta untuk mendapat laknat dan adzab dari Allah SWT. Keluarga itu merasa terzalimi akibat cerita sandiwara pihak Kepolisian.  Do\'a dan permohonan kepada Allah SWT baik yang dilakukan HRS maupun oleh keluarga keenam anggota FPI nampaknya mulai menunjukkan bukti-bukti. Hebatnya itu timbul dari peristiwa unik di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Ada persamaan modus yang terbongkar jalan cerita nya.  Persamaan itu soal tembak menembak, aparat yang dikorbankan, rusak dan hilang CCTV, rekayasa alat bukti, penganiayaan, pembunuhan berencana, hingga Komnas HAM yang ikut dalam permainan. Duren tiga dapat membuka tabir Km 50. Ternyata Divisi Propam ikut menangani kasus pembunuhan 6 laskar FPI. Keterlibatan Irjen Ferdy Sambo entah sebagai Kadiv Propam atau Kasatgassus.  Do\'a adalah senjata orang beriman, penegak agama, cahaya langit dan bumi (HR Abu Ya\'la). Do\'a juga alat mengubah kemungkaran walau dikategorikan sebagai selemah-leman Iman. Ada cara mengubah dengan kekuatan dan perkataan. Ketika mu\'min merasa dirinya tidak berdaya maka do\'a adalah enerji pamungkas.  Doa orang-orang terzalimi dalam kasus Km 50 akan didengar Allah SWT. Peristiwa ini akan terkuak sebenarnya termasuk pelaku dan perencana. Penjahat itu dapat bersembunyi sesaat tetapi tidak untuk selama-lamanya. Ada kunci pembuka yang Allah berikan dan kunci itu menempel di pintu rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.  Kasus Km 50 adalah hutang Polri dan Jokowi yang harus segera dibayar. Kesadaran lebih baik daripada penagihan paksa oleh Allah Yang Maha Kuasa. Do\'a HRS dan mubahalah keluarga enam anggota Laskar serta sakit hati kaum muslimin yang peduli akan menggentarkan dan menggoyahkan.  Kesombongan dan kebohongan itu berbatas waktu dan ruang.  Bandung, 13 Agustus 2022

Jaringan Ulama Revolusi

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  TANGGAL 17 Agustus 1945 jatuh pada bulan Ranadhan. Ali Alhamidi seorang ulama yang tinggalnya tak jauh dari Pegangsaan, tempat proklamasi. Ustaz Ali, begitu ia dipanggil, merancang bikin shalat Ied di halaman Pegangsaan dengan Imam dan Khatib M. Natsir yang kala itu tinggal di Bandungl. Bung Karno akur. Beberapa hari jelang lebaran Natsir beri tau Ustaz Ali yang beliau tak dapat ke Jakarta karena tak ada spoor (KA). Tapi shalat Ied tetap jalan, dengan imam dan khatib Ustaz Ali. Buat saya sulit sekali wawancara Ustaz Ali karena beliau tak henti berjenaka, harus tahu cara menyela.  Menurut Mufreni Mukmin perancang rapat raksasa di Gambir tanggal 19 September 1945 untuk medukung proklamasi  Mr Roem dan  Mufreni. Mereka kontak Kyai Nur Ali Bekasi, Haji Darip Klender, Kyai Syam\'un Kampung Mauk untuk mengerahkan massa. Saya pernah bertemu Kyai Nur Ali. Orangnya jarang bicara, ia lebih suka mendengar. Dengan Haji Darip juga saya sempat bertemu. Guru Mansur Jembatan Lima keponakan Junaid al Batawi juga kerahkan massa ke Gambir. Kyai Soleh Iskandar juga datang dari Bogor membawa massa.  Rapat raksasa itu sukses. Januari  1946 Belanda menduduki kembali Jakarta. Peristiwa ini direspons oleh Guru Mansur dengan mengibarkan bendera di menara masjid Jembatan Lima. Rumah Guru Mansur dikepung tentara NICA. Belanda itu suruh Guru Mansur menurunkan merah-putih, Guru Mansur menolak. NICA menembaki sang saka yang berkibar di menara masjid. Lalu tentara NICA itu pergi, dan sang saka tetap berkibar. Para ulama itu: Kyai Nur Ali, Syam\'un, Ali Al Hamidi, Guru Mansur, Soleh Iskandar tetap bersahabat sampai hari tua mereka. Dengan Mr Roem mereka juga terus berhubungan baik. (RSaldi).

Bola Panas di DPR, Kompolnas, dan Komnas HAM

Agenda proses transformasi Presisi Polri lahir dari ruang Komisi III DPR RI, jangan diartikan tunduk pada Komisi III. Tidak hati-hati bisa berbalik arah menamparnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PEMBUNUHAN terhadap Brigadir J karena dugaan awal bermula dari masalah konten wanita. Kini telah melebar, ada kaitannya dengan tata kelola sabu, judi dan miras, kata Kamaruddin Simanjuntak, saat tampil dalam acara Hot Room yang dipandu Hotman Paris Hutapea di stasiun Metro TV, Rabu (10/8/2022) malam. Semua terperangah dengan dugaan  tindak ilegal di seputar lingkaran Irjen Ferdy Sambo. “Ada yang memberi informasi ke saya,” ungkap Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga Brigadir J. Spontan sikap beraninya ini mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Dalam forum yang sama Kadiv Humas Polri Irjen Dedy Prasetyo kemudian meminta pihak-pihak yang melontarkan kecurigaan, untuk segera melapor dan membawa bukti. Sehingga, apa yang disampaikan itu bisa diusut oleh Mabes Polri. “Silakan saja kalau punya bukti, semuanya disampaikan ke Bareskrim. Dan ingat bang Hotman, komitmen bapak Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) kalau kita akan tindak tegas siapapun anggota yang terbukti bersalah,” kata Dedy. Irjen Dedy kembali menegaskan, jika apa yang disampaikan Kamaruddin Simanjuntak benar adanya, pasti semua yang terlibat bakal ditindak tegas. “Kalau itu ada buktinya, silakan dilaporkan. Dan, kalau itu buktinya dapat dibuktikan oleh penyidik dan oleh Irwasum, akan ditindak tegas,” kata Dedy. Komentarnya yang standar ini ada petunjuk positif tersambung ke arah yang dimaksud. Dalam dialog antara Kamaruddin Simanjuntak, Hotman Paris Hutapea, dan Irjen Dedy Prasetyo, netizen yang mencermati dengan serius langsung bisa menangkap sinyal-sinyal dan arahnya. Bola panas bukan hanya bersemayam di internal Polri untuk mereka yang diduga terlibat, tetapi telah melebar ke anggota DPR, khususnya Komisi III, Kompolnas, dan Komnas HAM. Proses hukum pasti harus ada bukti atau berdasar pembuktian. Maka saat ini peran PPATK adalah menjadi penting untuk menelusuri dana yang dikelola oleh Satgassus Merah Putih kemana saja beredarnya. Hal itu memang sensitif, tetapi kalau benar apa yang dikatakan Komarudin Simanjuntak, dana kaitannya dengan tata kelola sabu, judi, dan miras, harus ditelusuri kemana dana itu disalurkan. Secara terpisah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana, merasa belum ada permintaan, dihubungi Kantor Berita Politik RMOL pada Kamis (11/8/2022). Ivan dikonfirmasi soal apakah PPATK sudah diminta menelusuri aliran dana Ferdy Sambo, mengingat pengacara mendiang Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, menyebut motif pembunuhan diduga berkaitan dengan penanganan narkoba, miras, dan judi online. Terkait sikap diam Komisi III selama ini (selain komentar pribadi pribadi), Komisi III telah kehilangan momentumnya untuk memanggil siapapun dari pejabat negara yang harus dimintai kejelasannya tentang kasus FS yang akan melebar kemana-mana justru terkendala dari komentar beberapa anggotanya yang sejak awal terkesan membela dan melindungi FS. Bola panas sudah masuk di DPR RI khususnya di Komisi III, hanya mereka yang mengetahuinya. Masyarakat luas terpantau melalui media sosial telah mencurigai ada yang tidak beres pada Komisi III. Khususnya terkait dengan aliran dana dari mata bandar/mafia judi online, narkoba dan miras seperti yang diungkap oleh Komarudin Simanjuntak. Sebaiknya Komisi III tidak usah buru-buru memanggil siapapun terkait kasus FS, tetapi segera rapat internal mencari tahu, syukur sudah merasa tahu ada bahaya yang bisa menerkamnya, apabila benar terkait dengan aliran uang panas. Dan, apabila dugaan terlibat aliran dana dari Satgassus Merah Putih yang merupakan uang panas itu benar (tanpa harus menunggu proses pengadilan FS dan tersangka lainnya), segeralah ramai-ramai mengembalikan ke pihak awal pemberi dana tersebut. Karena Satgassus adalah organ non struktural tentu tidak ada kaitan dengan kas negara. Jangan lagi tampil angkuh dan sok kuasa karena hukum jika tiba saatnya bisa saja menyentuh tanpa pandang bulu dan berakibat fatal bagi siapapun yang terkait dan terlibat. Agenda proses transformasi Presisi Polri lahir dari ruang Komisi III DPR RI, jangan diartikan tunduk pada Komisi III. Tidak hati-hati bisa berbalik arah menamparnya. Termasuk berlaku bagi Komnas HAM dan Kompolnas, yang sejak kasus KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek di mata masyarakat sudah mandul peran dan fungsinya, bahkan diduga/dicurigai terlibat dengan pihak yang membuat skenario pembunuhan tersebut, sudah banyak tuntutan minta untuk dibubarkan. (*)

Hilangnya Jaminan Seorang Presiden Harus Asli Indonesia!

Jakarta, FNN – Dengan dihapusnya frasa \'Asli Indonesia\' dalam UUD akan memberikan peluang besar bangsa lain untuk masuk dan menguasai bangsa Indonesia dari dalam. Indonesia yang merdeka dari keringat dan darah para pejuang menghendaki kemerdekaan dan berdiri sendiri, tak terkecuali seorang pemimpin yang asli Indonesia. Dalam Kanal Hersubeno Point yang digawangi wartawan senior Forum News Network (FNN) Hersubeno Arief mengatakan, “Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan bahwa kita sebagai bangsa terutama bangsa yang asli pribumi untuk bersiap-siap tersingkir, karena kita akan dicaplok oleh mereka-mereka dari yang bukan asli Indonesia. Itu istilah yang saya kutip langsung dari LaNyalla Mahmud Mattalitti.” Dalam video yang berjudul \'Bersiaplah Orang Asli Indonesia Bakal Tersingkir\' yang diunggah pada Kamis (11/8/22), Hersu – panggilan akrab Hersubeno Arief – menerangkan alasan LaNyalla berkesimpulan demikian. “Berdasarkan amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang dihilangkan pada tahun 2002 itu frasa “asli Indonesia”. Itu sudah dihapuskan dan bukan hanya frasa \"asli Indonesia\" saja yang dihapuskan, karena mengutip pendapat dari atau penelitian yang dilakukan oleh Profesor Kaelan, seorang ahli hukum dari Universitas Gajahmada bahwa Undang-undang Dasar kita itu sekarang 98 persen sudah berubah.” Pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh LaNyalla dalam bentuk video dalam acara \'Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab\' yang diselenggarakan oleh FNN menjadi catatan kunci dalam diskusi publik tersebut. “Lebih parah lagi naskah penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sangat terang benderang untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002,” ucapnya. Dan, dengan tegas LaNyalla mengatakan apa yang menjadi sumber masalah, “Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai identitas konstitusi dilakukan secara malu-malu tapi mau atau malu-malu kucing, sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang,” tegasnya. Diskusi publik yang dihadiri oleh berbagai tokoh masyarakat mulai dari Ketua Kelompok DPD RI Tamsil Linrung, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, dan pengamat politik Rocky Gerung, praktisi hukum Ahmad Yani, memberikan kobaran semangat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik. Bahkan, dalam pernyataan penutupnya, LaNyalla berdoa penuh harap demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Dan, sekaligus menyampaikan soal kekecewaannya terhadap kondisi Indonesia saat ini. “Kita akan mengikuti kenapa logika dari Pak Nyalla ini, mengapa Pak Nyalla menyampaikan kesimpulan semacam itu? Karena nanti bangsa asli Indonesia itu bakal tersingkir. Karena sekarang ini dari sisi ekonomi, terutama dengan kekuatan politik sebenarnya kita sudah dikuasai oleh mereka,” kata Hersu. “Dan ini tinggal menunggu waktu saja ketika mereka nanti menjadi presiden, maka sempurnalah sudah penguasaan oleh orang yang bukan asli Indonesia terhadap Indonesia,” lanjut Hersu, cemas. (oct)

Motif Seksual dan Perjudian dalam Kasus Brigadir J, Netizen Pertanyakan Sistem Penegakan Hukum Indonesia

Jakarta, FNN – Kasus Brigadir Joshua yang telah melalui penyelidikan selama sebulan berhasil menyorot perhatian publik. Beredarnya informasi mengenai motif penembakan yang berkaitan dengan urusan seksual dan perjudian disampaikan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Sugeng menyebutkan setidaknya terdapat lima motif, 4 diantaranya terkait masalah seksual, sedangkan 1 lainnya berkaitan dengan perjudian. Berkaitan dengan berita itu, kanal Youtube Refly Harun membahas persoalan tersebut dalam siaran video yang bertajuk: “Ngeri-Ngeri (Tidak) Sedap! Motif Pembunuhan Yosua, IPW: Seksual dan Perjudian”, diunggah pada Kamis, 11 Agustus 2022. RH mengutip pernyataan Sugeng yang cenderung merahasiakan motif seksual saat dijumpai di salah satu program stasiun televisi. “Empat itu kan sudah tiga disebutkan Pak Mahfud (Menko Polhukam) dan satu informasinya terkait soal seksual, yang satu lagi boleh saya buka, tapi yang seksual tidak mau saya buka karena ini tentang aib,” ungkap Sugeng. Menanggapi hal ini, akun dengan nama Tina Marliana menuliskan dalam kolom obrolan dalam kanal diskusi yang dipandu oleh RH. “Heran, kasus pelecehan itu banyak di RI ini, cuma kasus si Sambo saja yang ditutup-tutupi motifnya,” komentar Tina dalam obrolan langsung (live chat) di kanal Youtube Refly Harun. Pihak kepolisian sebenarnya telah menyinggung persoalan transparansi ini saat Konferensi Pers pada Selasa (9/8/22) di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa itu sudah menjadi komitmen Polri untuk mengungkap kasus penembakan Brigadir J secara cepat, transparan, dan akuntabel. Tak hanya itu, netizen lain juga menyoroti kinerja institusi kepolisian tersebut. Komentar Al Ghifari memberikan masukan kepada pihak polisi. “Jika memang adanya motif seksual dan judi online dalam kasus Brigadir J, berarti memang revolusi akhlak yang baik untuk polisi,” tulis Al Ghifary. Komentar lain juga menimpalkan, “Ini institusi paling arogan dan culas. Kongkalikongnya sangat kuat, ngeri deh.” Diketahui, kasus penembakan yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu ini masih terus diselidiki. Irjen Ferdy Ssambo, pelaku yang menyusun skenario di balik pembunuhan Brigadir J, belum lama ini ditetapkan sebagai tersangka baru pada Konferensi Pers yang digelar Selasa lalu. Banyaknya pelaku yang berasal dari institusi kepolisian dan lambatnya proses penyidikan menyebabkan masyarakat bersikap skeptis menanggapi kasus ini. Di kesempatan kali ini, Refly Harun selaku pemandu acara juga menyinggung tentang perbaikan sistem pemerintahan agar lebih komprehensif. RH berharap dengan diselidikinya kasus Brigadir J ini bisa menjadi entry point bagi kasus-kasus yang belum terungkap sebelumnya. (oct).