ALL CATEGORY

Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan RI, Inilah Masa Keemasan Oligarki

Jakarta, FNN –  Bangsa Indonesia seharusnya menikmati kemerdekaan secara nyata. Merdeka dari kebodohan, kesengsaraan, kemiskinan, dan cengkeraman oligarki. Peran tinggi yang menjadikan kesenjangan sosial merajalela disebabkan oleh kekuasaan oligarki. Maka, kita harus kembali serius mengenai ketatanegaraan kita. Demikian disampaikan anggota DPD RI 2019-2024 mewakili Sulawesi Selatan, Drs. H Tamsil Linrung saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik dengan tema ‘Refleksi  77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab,’ yang digagas Forum News  Network (FNN) di aula Soho Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (10/08). “Kita harus serius mengenai kajian ketatanegaraan kita, UUD sekarang bukan 1945 tetapi 2002, karena itu kalau kita mau melakukan refleksi 77 tahun Indonesia, apa yang selama ini dikawal FNN tidak relavan, karena isi dari mukadimah UUD RI 1945 salah satunya membahas mengenai ‘mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap masyarakat dan tumpah darah Indonesia, mensejahterahkan masyarakat umum. Namun, faktanya semua ini kita semakin jauh dari lapangan, survei membuktikan kesenjangan,” tegasnya. Tamsil merasa prihatin lantaran adanya ketidaksetaraan politik dan bagaimana kehidupan masyarakat semakin jauh dari sejahtera, serta angka kemiskinan semakin bertambah. Ada kondisi di mana masyarakat masih banyak yang kelaparan, mereka hanya mengkonsumsi nasi dan garam, lalu ada beberapa aktivitas masyarakat yang tidak menghasilkan. Sungguh sangat menyedihkan apabila berpendidikan tinggi tetapi tidak punya pekerjaan, ini merupakan tujuan awal untuk mengembalikan makna bernegara. Problem hari ini lanjut Tamsil adalah masalah kekuasaan oligarki yang sangat kuat. Pemimpin Indonesia kehausan jabatan. Semua berada di bawah cengkraman oligarki. Negeri ini terlalu memanjakan dan menempatkan oligarki. Maka, masa keemasan tumbuh subur di Indonesia di tahun ini juga. “Tema yang dicanangkan yaitu mengenai Ekonomi, Politik, dan Hukum yang menjadi fokus dan berada dalam lingkup DPD RI, adalah untuk mengembalikan kedaulatan ke masyarakat,” jelasnya. Menurut Tamsil, ketidaksesuaian juga berdampak pada kondisi saat ini, yang mencanangkan pemilu. Pada dasarnya, spirit dari tonggak reformasi dahulu menggaungkan bahwa presiden tidak lebih dari tiga periode. Merujuk pada Putusan MK sebelum proglegnas DPD RI memprioritaskan apa yang menjadi bahasan UU RI Tahun 2017 Pasal 222, mengenai Presidential Threshold yang kalau dirangkai UUD 1945 Pasal 6A Ayat (2) mengenai paket-paket calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Kedua pasal tersebut, kata Tamsil benar-benar tidak sejalan. Karena kondisi krisis kepemimpinan (Pemilu) menjadi penghambat kedaulatan yaitu adanya angka 25% mandat partai atau gabungan partai. Sudah saatnya kepemimpinan kembali mengambil dasar-dasar nilai keutamaan yang ada pada UUD 1945 dengan addendum. Tamsil dan DPD RI mengajak masyarakat terus mengawal apa yang seharusnya makna dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Acara ini dilaksanakan oleh portal berita Forum News Netwotk (FNN) pada Rabu, 10 Agustus 2022, bertempat di Gedung Soho lt. 9, Jl. MT Haryono, Pancoran, Tebet, Jakarta Selatan. Acara berlangsung mulai dari pukul 13.00 hingga 17.00 dengan pembicara kunci AA LaNyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI), Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD untuk MPR RI), Rocky Gerung (pengamat politik),  Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, dan Ahmad Yani (praktisi hukum). Acara ini dipandu  oleh wartawan senior FNN Harsubeno Arief. (ind)

Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia, LaNyalla: Tujuan Bernegara Sudah Dihapus Total Sejak 2002

Jakarta, FNN – Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk memberikan dukungan kepada negara dan bangsa ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya dengan mengajak masyarakat untuk mengetahui isu-isu dan situasi dalam negara serta memikirkan dan bertindak mencari  solusinya. Sebagai bentuk kepedulian atas kondisi bengsa yang semakin memprihatinkan, Forum News Network menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka memperingati HUT RI  ke-77 yang berjudul \"Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka, Membangun Ekonomi, Politik dan Hukum yang Beradab\". Acara ini dilaksanakan pada Rabu, 10 Agustus 2022, bertempat di Gedung Soho lt. 9, Jl. MT Haryono, Pancoran, Tebet, Jakarta Selatan. Acara berlangsung mulai dari pukul 13.00 hingga 17.00 dengan pembicara kunci AA LaNyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI), Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD untuk MPR RI), Rocky Gerung (pengamat politik),  Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), Ahmad Yani (praktisi hukum) dan MS Kaban (mantan Menteri Kehutanan). Acara ini dipandu oleh Harsubeno Arief, selaku Dewan Redaksi FNN. Sebagai pembicara kunci dalam acara , LaNyalla mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak bisa merefleksikan kemerdekaan dengan uji cita-cita dan tujuan bangsa. \"Karena sangat jelas cita-cita dan tujuan nasional yang terdapat di dalam Pembukaan serta Pancasila sudah tidak nyambung lagi dengan isi pasal-pasal di dalam konstitusi itu,\" papar LaNyalla. \"Lebih parah lagi naskah penjelasan undang-undang Dasar 1945 yang sangat terang benderang untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002,\" tambahnya. Hal itu bermula pada 13 November 1998 Tap MPR XVIII/MPR/1998 telah mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai materi pendidikan ideologi yang diterapkan melalui penataran P4 dengan pertimbangan karena Materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Dengan tegas LaNyalla mengatakan bahwa sumber masalah yang terjadi lantaran terjadinya amandemen UUD 1945 yang ugal-ugalan. \"Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai identitas konstitusi dilakukan secara malu-malu tapi mau atau malu-malu kucing, sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang,\" tegasnya. Di akhir pernyataannya, LaNyalla berdoa untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, juga mengajak untuk selalu bersatu. \"Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar dengan cara addendum sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm agar Indonesia kembali dengan sistemnya sendiri,\" ucapnya sambil terisak menahan kesedihan. Tujuan digelarnya acara ini, untuk mengingatkan kembali kepada rakyat tentang keadaan Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini. Selain itu juga untuk mengingatkan bahwa Indonesia sekarang sedang berada dalam kondisi kritis, serta membuka wadah aspirasi bagi masyarakat. (fik)

Ichsanuddin Noorsy: Ada Tiga Hal yang Menandai Indonesia Belum Merdeka

Jakarta, FNN – Menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-77, masyarakat antusias memasang bendera dan umbul-umbul. Sesungguhnya jika ditelaah lebih dalam, tujuh puluh tujuh tahun Indonesia dilahirkan, akan tetapi Indonesia masih belum merdeka. \"Saya mulai dengan cerita era Soekarno. Sebenarnya Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 itu adalah asal muasal Indonesia dijajah. Jadi, setelah merdeka, habis-habisan bertahan, aksi militer satu, aksi militer dua. Maka sejak KMB 27 Desember 1949 melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS) maka sesungguhnya hingga saat ini Indonesia masih belum merdeka,\" kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi publik \'Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab\' yang diselenggarakan oleh Forum News Network (FNN) di aula lantai 9 Soho Pancoran, Jakarta Selatan (10/8/22). Dalam pandangan Ichsan – panggilan akrabnya -  bahwa ada tiga hal yang menandai Indonesia belum merdeka. \"Pertama adalah Indonesia ingin tetap tertib mempertahankan birokrasi di perusahaan-perusahaan asing. Yang kedua, Indonesia diminta untuk mematuhi ketentuan ekonomi dan keuangan yang ditetapkan oleh IMF. Dan yang menarik adalah ketiga, bahwa Indonesia diminta untuk melunasi utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 4,5 miliar gulden. Padahal utang itu dibuat dalam rangka Belanda menyerang Indonesia,\" paprnya. Ichsan mengartikan ketiga hal itu sebagai bentuk penundukan dan penerimaan terhadap invasi, intervensi, infiltrasi, interferensi, dan intimidasi. Dalam upaya melawan penjajahan tersebut, mantan anggota DPR RI tersebut mengatakan bahwa Soekarno membatalkan perjanjian KMB pada 1956. \"Padahal KMB adalah salah satu wujud intervensi, invasi, infiltrasi, interferensi, dan intimidasi, dibatalkan oleh Soekarno. Apa artinya? Soekarno tidak ingin membayar utang yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, Soekarno tidak mau menjadi anggota IMF, dan Soekarno tidak ingin perusahaan-perusahaan Belanda mengeruk habis harta. Maka dilakukanlah nasionalisasi,\" jelas Ichsanuddin. Faktor ekonomi yang begitu disoroti oleh Ichsanuddin Noorsy menjadi faktor yang sangat menentukan masa depan. Bahkan Ichsanuddin memaparkan kemungkinan terjadi atau tidaknya sebuah krisis ekonomi. Dan pada akhir pernyataan, Ichsanuddin yang pernah menjadi wartawan itu mengajak untuk menjalankan visi dan misi bangsa Indonesia. \"Kita kembali ke dalam visi dan misi Indonesia. Visi Indonesia adalah Indonesia yang bebas, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, alinea kedua Undang-undang Dasar. Dan misinya adalah aliena keempat,\" pungkasnya. Selain Ichasnuddin Noorsy, pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain anggota DPD RI, Tamsil Linrung, mantan Menteri Kehutnana MS Kaban, dan pengamat politik Rocky Gerung, praktisi hukum Ahmad Yani dengan moderator Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti hadir dalam bentuk rekaman video menyampaikan keynote speaknya. Di ujung pidatonya, LaNyalla tampak ingin menangis menahan kesedihan dan kekecwaaan yang mendalam menyaksikan perjalanan bangsa Indonesia. (rac)

Pelajaran Berharga Ferdy Sambo

Mahfud menegaskan Kapolri Jenderal Listyo Sigit sudah menjelaskan masih ada 28 anggota polisi lain yang akan diperiksa terkait pelanggaran etik dari total 31 orang di kasus penembakan Brigadir J. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies SEBUAH pelajaran sangat berharga, jangan sewenang-wenang saat berkuasa. Siapapun bisa jatuh tanpa terduga. Pelaku kejahatan akan mendapat balasan setimpal. Semoga eksekutif, legislatif dan yudikatif belajar dari peristiwa ini: jalankan tugas demi keadilan. Apakah eksekutif, legislatif, yudikatif sudah menjalankan tugas dengan adil, untuk kepentingan rakyat banyak? Apakah Omnibus Law, IKN adil? Apakah pengelolaan SDA, penanganan hukum dan korupsi, sudah adil? Apakah PT 20% adil? Kalau belum, segera perbaiki! Jangan sampai terlambat. Melansir CNN Indonesia, Rabu (10 Agu 2022 07:10 WIB), mantan Kepala Divisi dan Profesi Pengamanan (Kadivpropam) Polri Irjen Ferdy Sambo dijerat pidana dengan ancaman hukuman mati usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Sambo dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP. Pasal 340 mengatur pidana terkait pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun. “Penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun,” kata Kabareskrim Komjen Agus Andrianto dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022). Komjen Agus menyebut bahwa aksi dugaan pelecehan seksual oleh Brigadir J terhadap Putri Chandrawati besar kemungkinan tidak terjadi. Hal tersebut disampaikan Agus pasca Tim Khusus mengumumkan bahwa tak ada fakta tembak-menembak antara Brigadir J dan Bharada E di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan itu. Sehingga kepolisian menerapkan jerat dugaan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP. “Kalau Pasal 340 KUHP diterapkan, kecil kemungkinannya itu (pelecehan oleh Brigadir Yosua),” ujar Komjen Agus kepada wartawan di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022). Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya masih mendalami motif penembakan yang menewaskan Brigadir J. “Motif, saat ini sedang dilakukan pendalaman terhadap saksi-saksi dan juga terhadap ibu Putri. Jadi saat ini belum bisa kita simpulkan namun yang pasti ini jadi pemicu utama terjadinya pembunuhan untuk apa kesimpulannya tim saat ini terus bekerja,” terangnya. Listyo Sigit memastikan, Sambo melakukan penembakan dengan senjata milik Brigadir J berkali-kali ke dinding untuk merekayasa agar terkesan telah terjadi tembak-menembak. Dalam kasus ini, Polri telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka. Mereka ialah Bharada E alias Richard Eliezer, Bripka RR alias Ricky Rizal, KM alias Kuat serta Irjen Pol Ferdy Sambo. Bharada E dijerat dengan Pasal 338 Jo 55 dan 56 KUHP. Sementara itu, tiga tersangka lainnya termasuk Irjen Ferdy Sambo dikenakan Pasal 340 Sub 338 Jo Pasal 55 dan 56 KUHP. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan motif Ferdy Sambo memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J merupakan persoalan sensitif. Dia mengatakan alasan yang mendasari perintah penembakan itu belum bisa diungkap ke publik. “Yang penting sekarang telurnya sudah pecah, itu yang kita apresiasi dari Polri. Soal motif, hanya boleh didengar orang dewasa yang nanti dikonstruksi Polisi,” kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Selasa (9/8/2022). Mahfud menegaskan Kapolri Jenderal Listyo Sigit sudah menjelaskan masih ada 28 anggota polisi lain yang akan diperiksa terkait pelanggaran etik dari total 31 orang di kasus penembakan Brigadir J. “Kalau ditemukan etik itu berhimpitan dengan pidana. Misalnya, ketika dia mencopot CCTV, itu bukan sekadar tidak profesional tapi sengaja agar terjadi hilangnya jejak ya, bisa dipidana juga. Kita tunggu. Yang penting sekarang telur pecah dulu,” tegas Mahfud. (*)

DPR Memang Seperti Taman Kanak Kanak

Ke depan dugaan kuat, akan ada ledakan yang membahayakan kalau benar kasus FS terkait dengan uang haram yang beredar diantara oknum pejabat negara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PRESIDEN keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah bikin berang DPR. Gus Dur pernah menyebut para anggota dewan yang gemar ribut itu seperti di Taman Kanak-kanak (TK) saja. Ucapan itu membekas di masyarakat dan menjadi kesan buruk bagi DPR, sekalipun Gus Dur mengatakan bahwa ucapannya sekedar humor. Analog dengan kasus Irjen Ferdy Sambo dan Brigadir Yosua saat ini, Presiden Joko Widodo sudah 3 kali meminta kasusnya dibuka secara transparan dan tidak boleh ada rekayasa untuk ditutupi. Mengkopulhukam Mahfud MD mungkin merasa kesal melepas kritik bahwa sikap DPR khususnya Komisi III, dan fakta secara kelembagaan hanya diam. Membuat beberapa anggota DPR ribut dan berang. Ketua DPR RI memberikan komentar yang terkesan ada emosi ingin membela FS bahkan sempat dilaporkan ke Dewan Kehormatan buru-buru membela diri bahwa dirinya tidak ada maksud membela apalagi melindungi FS, dan malah menyampaikan apresiasi kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas kasus tindakan tegasnya, terkesan gagap karena serba terlambat. Beberapa anggota DPR paska Kapolri menetapkan FS sebagai tersangka baru mulai muncul komentar bersifat pribadi. Tetap saja secara kelembagaan DPR RI khususnya Komisi III hanya diam, tertutup untuk membela diri dengan cara apapun, termakan dan sudah tenggelam oleh waktu. Fenomena tersebut menggambarkan reaksi beberapa anggota DPR aneh, lucu-lucu dan serba terlambat bereaksi atas kejadian yang harusnya menjadi fokus perhatian dan pengawasan DPR. Ironi, baru bereaksi setelah DPR diawasi dan diingatkan oleh Menkopolhukam baru ramai-ramai membela diri. Memori muncul fenomena ini persis seperti yang digambarkan Gus Dur saat itu, suka ribut seperti Tanam Kanak kanak. Idealnya DPR RI sejak kasus pembunuhan Yosua bereaksi lebih cepat bereaksi menjalankan fungsi pengawasan. Bukan kalah cepat dengan reaksi Presiden, Mengkopulhukam dan Kapolri. Reaksinya tersebut akan ideal dengan segera memanggil semua pejabat negara terkait untuk ungkap kasusnya dengan cepat, transparan dan segera lakukan reformasi di tubuh Polri. Pembusukan di tubuh Polri tidak lepas akibat penggantian serampangan atas UUD 1945 menjadi UUD 2002 yang memberi kekuasaan monopolistik dan kerusakan peran di semua organ lembaga negara. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid (Presidium KAMI Jatim), kondisi tersebut telah berbuah tata kelola keamanan dan ketertiban yang keliru di mana Polri hanya menjadi alat kekuasaan yang brutal serta melindungi the untouchables elit politik dan cukong. Prof. Din Syamsudin (Presidium KAMI Nasional) menyampaikan, “proses penanganan kasus FS  memang terkesan dramatis. Selain memakan waktu lama juga proses tersebut penuh dalih yang kontroversial dan artifisial”. “Penanganannya terkesan sangat berhati-hati karena mungkin sensitif dan bisa membuka kotak pandora penegakan hukum yang menyimpan misteri”. Hentikan DPR RI membela diri, sudah serba terlambat antisipasinya justru muncul reaksi aneh-aneh seperti anak TK, bukan hanya memalukan tetapi sangat naif itu terjadi di tubuh lembaga terhormat sekelas DPR RI. Ke depan dugaan kuat, akan ada ledakan yang membahayakan kalau benar kasus FS terkait dengan uang haram yang beredar diantara oknum pejabat negara. Dan, kalau itu benar bahkan nyrempet pada oknum anggota DPR RI, bisa mempercepat akan terjadinya revolusi negara ini, menuntut negara ditata ulang. (*)

Din Syamsudddin: "Satgassus Harus Dibubarkan Karena Tidak Diperlukan!"

Jakarta, FNN - Kasus terbunuhnya Brigadir Joshua yang menjadikan mantan Kadiv Propam Polri Irjen (Pol) Ferdy Sambo sebagai tersangka sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan tersebut disampaikan oleh M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015. “Bahwa aparat penegak hukum melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. Jika hal ini benar terjadi maka akan meruntuhkan sendi Negara Indonesia yang berdasarkan hukum,” ungkap Ketua Umum MUI 2015 itu. Proses penanganan kasus tersebut, dinilai Din, memang terkesan dramatis. Selain memakan waktu lama juga proses tersebut penuh dengan dalih yang kontroversial dan artifisial. “Penanganannya terkesan sangat berhati-hati karena mungkin sensitif dan bisa membuka kotak pandora penegakan hukum yang menyimpan misteri,” lanjutnya. Menurut Din, sebenarnya sudah menjadi opini umum bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahwa penegakan hukum mengusik rasa keadilan sebagian masyarakat. Dan, “Penegakan hukum tak luput dari mafia,” ujar Din. Keberadaan Satgassus di tubuh Polri yang disinyalir menjadi super body dan  rentan terhadap mafia adalah berbahaya karena bisa menghalangi penegakan keadilan dan membuka jalan bagi kezaliman (lawan dari keadilan). “Saya sependapat bahwa Satgassus semacam itu harus dibubarkan karena tidak diperlukan,” tegas Din Syamsuddin.   Menurutnya, dugaan bahwa Satgassus tersebut berhubungan dengan kasus pelanggaran hukum seperti pembunuhan enam anggota Laskar FPI, praktik judi online, dan pembunuhan Brigadir Joshua itu sungguh menyedihkan. “Kalau itu nanti terbukti maka akan merupakan malapetaka nasional,” lanjut Din Syamsuddin. Sebenarnya masalah yang ada bukan hanya keberadaan sebuah Satgasus di tubuh Polri, tapi posisi Polri itu sendiri. Apakah posisi Polri seperti sekarang ini sudah tepat atau justru perlu dikoreksi. Din Syamsuddin, menyebut, seperti di banyak negara kepolisian cukup di bawah sebuah departemen/kementerian. Dan, “Yang perlu dihindari jangan sampai Kepolisian Negara menjadi semacam super body yang represif, menjadi alat kepentingan politik (bukan alat negara), dan tidak tersentuh hukum itu sendiri,” ujarnya. Solusi terhadap semuanya sangat menuntut political will dari Presiden Joko Widodo, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. “Apakah ucap dan laku bersesuaian ataukah tidak?” tandas Din Syamsuddin. (mth/MD)

Krisis Jadi Peluang Bagi Partai Gelora untuk Gantikan Kepemimpinan Lima Tahunan

Jakarta, FNN  - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menegaskan, bahwa tidak semua masyarakat kita saat ini berwajah \'pragmatis\' seperti sebagian politisi sekarang. Justru masyarakat yang memiliki idealisme jauh lebih banyak ketimbang pragmatis. Bahkan mereka siap berkorban untuk mendukung partai yang membawa narasi perubahan seperti Partai Gelora. \"Saya melihat, bahwa masyarakat kita tidak punya satu wajah, yaitu wajah pragmatis. Dan tidak seluruh masyarakat, seluruhnya pragmatis,\" kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk \'Peluang Partai Baru Pada Pemilu 2024 : Narasi Vs Pragmatisme\', Rabu (10/8/2022). Menurut Anis Matta, masyarakat sebenarnya menantikan orang-orang atau partai politik (parpol) yang membawa narasi perubahan di tengah krisis berlarut akibat ketidakpastian situasi global. \"Masyarakat kita sebenarnya menantikan orang-orang yang membawa narasi, bahkan siap berkorban untuk membantu mereka-mereka yang seperti ini,\" katanya. Sebagai partai baru, kata Anis Matta, Partai Gelora kerap mendapatkan pertanyaan fulusnya dari mana? untuk biaya operasional partainya. Pertanyaan itu datang dari berbagai pihak, tidak hanya masyarakat, tetapi juga dari para pengamat yang se-akan tidak memberikan ruang pada idealisme. \"Kita terus didera pertanyaan itu di lapangan, karena dibenak mereka ini nasi, bukan narasi. Tetapi berdasarkan pengalaman pribadi saya ketika bertemu dengan masyarakat, ternyata yang penting itu narasi, bukan nasi,\" ungkap Anis Matta. Artinya, tantangan dalam menghadapi pragmatisme masyarakat tersebut, bisa dilewati. Partai Gelora, lanjutnya, memiliki banyak cara untuk mengatasi pragmatisme masyarakat. \"Kita punya banyak cara idealisme untuk mensiasati  keterbatasan sumber daya dengan adanya idealisme narasi yang kita bawa, terutama ketika kita berhadapan dengan pragmatisme masyarakat,\" ujarnya. Karena itu, berdasarkan pengalaman pribadi, Anis Matta berpandangan bahwa antara \'nasi dan narasi\' sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, karena pada mulanya politik itu industri pemikiran. \"Itu yang saya percaya sejak awal, sampai sekarang. Dan Partai Gelora, adalah partai yang akan memimpin gelombang perubahan yang akan mengubah pragmatisme masyarakat,\" tegas Anis Matta. Hal senada disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Bona Simanjuntak. Menurut Bona, sebagai partai baru, PKN perlu memperkenalkan dirinya melalui narasi. PKN, kata Bona, memiliki narasi nusantara dalam pembangunan dengan menggerakkan semangat kedaerahan. Sebab, politik itu juga dibangun diatas narasi-narasi masing-masing.  Seperti Orde Lama dibangun narasi nasionalisme, Orde Baru dengan narasinya pembangunan, serta Orde Reformasi dibangun dengan narasi liberalisme dan kapitalisme.  \"Reformasi sudah tidak sesuai cita-cita, karena reformasi lebih membangun sektoral kapital. Makanya PKN bangun lagi narasi nusantara kembali,\" kata Bona Simanjutak. Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Median Rico Marbun mengatakan, kondisi krisis global saat ini memberikan peluang partai baru menjadi pilihan. Khususnya di tengah masyarakat yang merasakan kesulitan ekonomi. \"Harapan hadirnya perubahan baru sangat dinantikan masyarakat. Seperti kontrak rumah, yang bisa diisi orang berbeda-beda dalam lima tahunan. Wadahnya sama, namun penghuninya bisa bergantian,\" kata Rico Marbun. Ketua Bapilu Partai Gelora ini mengatakan, partai-partai yang mengedepankan pragmatisme masyarakat, ternyata gagal dalam menjamin kemenangan dalam beberapa Pemilu terakhir. Apalagi kondisi sekarang ini, menurut Rico Marbun, banyak memberikan tekanan kepada masyarakat, sehingga hal ini menjadi peluang bagi partai baru untuk melakukan perubahan.  \"Masyarakat menurut survei, merasakan tekanan adanya krisis. Muncul perasaan marah, gundah, buruk yang dirasakan mayoritas publik. Adaya keresahan yang membutuhkan suasana baru,\" terangnya. Sementara itu,  Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indobarometer Muhammad Qodari berpendapat, perlunya relasi antara parpol dan masyarakat, terlebih dalam situasi sekarang. Relasi antara parpol dengan pemilih, kata Qodari, seperti produk dengan konsumennya. Dimana setiap produk memiliki karakter yang cocok bagi konsumen tertentu. Sehingga, susah membayangkan ada parpol yang cocok dengan semua pemilih.  \"Sebab, kata kunci untuk mendapatkan suara pemilih bukan pada gagasan, melainkan relasi antara penyampai gagasan dengan pemilih,\" Qodari. Dimana parpol pemilik suara terbesar adalah yang memiliki relasi terbanyak dengan pemilih. Sehingga, tokoh nasional, tokoh lokal dan kader parpol harus mampu membangun relasi. (sws)

Umat dan Kepemimpinan Global

Jika tidak maka Umat ini hanya akan mampu bahkan pintar bernostalgia dengan kegemilangan masa lalu. Sejarah pun menjadi kebanggaan. Tapi gagal mengembalikan kegemilangan sejarah itu. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation/NYCHHC Chaplain UMAT ini memang ditakdirkan untuk hadir dengan misi kepemimpinan. Dengan kata lain kepemimpinan adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab keumatan. Sehingga dengan sendirinya umat harus mampu menampilkan diri sebagai pemimpin. Ada beberapa dasar keagamaan (religious basis) kenapa Umat ini hadir dengan tanggung jawab kepemimpinan itu. Pertama, karena Umat ini adalah ummatan wasathan atau Umat pertengahan. Kata wasathiyah tidak sekedar “imbang” di posisi pertengahan. Tapi minimal mencakup tiga karakter dasar: a. bahwa Umat ini adalah Ummah with excellence. Umat yang memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tentu dalam arti positif. Bukan keangkuhan seperti keangkuhan rasial sebagian orang putih. b. bahwa Umat ini memiliki tunas yang kuat. Wisthus syajarah juga bermakna tunas dari sebuah pohon. Umat ini tunasnya adalah iman yang tumbuh bagaikan pohon yang sehat dan kokoh. c. bahwa Umat ini adalah Umat dengan ketauladanan. Dan, ketauladanan merupakan esensi kepemimpinan. Sebagimana Rasulullah sebagai “uswah” (juga dimaknai pemimpin) bagi Umat ini. Kedua, karena Umat ini adalah “Khaer Ummah” atau Umat terbaik. Kata “KhaerIyah” atau terbaik pada ayat ini sama dengan kata excellent pada ayat di atas. Bahwa Umat ini punya keistimewaan, kapasitas, potensi dan integritas untuk kepemimpinan itu. Keadaan Umat Masa Kini Melihat keadaan Umat masa kini tentu kita harus jujur bahwa posisi kepemimpinan itu telah lama hilang dari mereka. Realitanya Umat menjadi terpimpin (makmum) bagi orang lain, hampir dalam segala aspek kehidupan. Umat Muslim di negara-negara mayoritas Muslim pada umumnya bermental minoritas dan diperlakukan bagaikan minoritas. Seringkali justeru mereka yang di posisi minoritas mengontrol hampir semua lini kekuasaan. Umat Muslim di negara-negara minoritas Muslim masih menjadi bulan-bulanan mispersepsi bahkan phobia dari banyak pihak. Seringkali kesalah pahaman dan phobia itu menjadikan mereka menjadi target kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikis. Belum lagi tentang Umat yang memang jadi korban berbagai kezholiman di berbagai belahan dunia. Dari Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, hingga ke Myanmar dan Xingjian (Uighur) China, Kashmir dan India. Bahkan yang klasik dan semakin suram adalah Saudara-Saudara kita Palestina yang hingga detik ini masih menjadi target kezholiman penjajah Israel. Secara umum Umat tidak saja menjadi makmum bagi Umat lain. Tapi menjadi korban dan mangsa bagi orang lain yang punya kepentingan. Faktor Hilangnya Kepemimpinan Tentu tidak mudah merincikan penyebab kenapa Umat ini kehilangan posisi kepemimpinan itu. Salah satunya karena Umat ini tidak monolith (bersifat tunggal). Umat ini sangat ragam dan memiliki kapasitas yang berbeda dan ragam pula. Namun secara ringkas dapat disebutkan beberapa faktor itu. Pertama, melemahnya akidah dan iman Umat ini. Sebuah pernyataan klasik dan umum. Tapi sesungguhnya memilki makna yang dalam. Dengan lemahnya akidah dan iman Umat, terporosot pula “izzah dzatiyah” atau self confidence (rasa bangga dan percaya diri) Umat. Akibatnya Umat merasa lemah dan terkalahkan sebelum dilemahkan dan dikalahkan oleh siapapun. Tragisnya hal itu terjadi dengan segala potensi Umat yang dahsyat. Baik itu potensi SDM (Umat beragama terbesar dunia), potensi SDA (potensi kekayaan alam dunia Islam) yang luar biasa, dan lain-lainnya. Kedua, kebekuan pemikiran Umat. Umat ini harusnya Umat yang berkarakter IQRA’. Yaitu Umat yang memiliki wawasan atau mindset yang luas (broaden). Sayangnya ciri keumatan yang mendasar ini melemah. Akibatnya Umat seringkali didominasi oleh tendensi sentimen atau emosi yang tidak terkontrol. Hal ini kerap melahirkan keadaan pahit Umat yang gampang menjadi mainan kepentingan orang lain. Ketiga, melemahnya karakter Umat yang bercirikan akhlakul karimah. Hal ini membawa kepada, tidak saja bahwa ketauladanan Umat melemah. Lebih buruk lagi Umat seringkali justru menjadi hijab keindahan Islam di mata dunia. Keempat, gagalnya Umat membangun shaf dalam kehidupan sosialnya. Membangun shaf bagi Umat ini  mendasar, baik pada sisi ritualnya maupun pada sisi kehidupan sosialnya. Secara ritual Umat hebat dalam membangun shaf. Masjid-masjid pun ramai. Haji antrian. Tapi secara sosial Umat ini tercabik-cabik bahkan saling merobek. Kelima, melemahnya semangat Dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, menjadi salah satu “non official” pilar Islam. Sehingga kalau saja ada rukun Islam keenam, hal inilah yang menempatinya. Sekuat apapun Umat ini jika dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkin diabaikan pada akhirnya akan bertekuk lutut pada musuh-musuhnya. Tentu banyak faktor lainnya. Sebagai misal saja wawasan keagamaan yang terpenjara oleh aspek ritual. Saya menyebutnya dengan “ritual centric” dalam beragama. Juga ada kecenderungan “jalan pintas” masuk syurga. Banyak yang ingin mati di jalan Allah. Tapi tidak ingin hidup di jalanNya. Dua Sisi Kepemimpinan Dan karenanya untuk Umat ini dapat meraih kembali kepemimpinan itu, baik kepemimpinan internal (imaman lil-muttaqin) maupun kepemimpinan global (imaaman linnas) Umat perlu mengembalikan semua Karakter utama Umat di atas. Jika tidak maka Umat ini hanya akan mampu bahkan pintar bernostalgia dengan kegemilangan masa lalu. Sejarah pun menjadi kebanggaan. Tapi gagal mengembalikan kegemilangan sejarah itu. Wallahu Al-Musta’an wa ilahi at-tuklaan! Manhattan City, 10 Agustus 2022. (*)

Mubahalah Berefek Domino

Oleh Ady Amar | Kolumnis  Dalam narasi yang lain, tapi substansi lebih kurang hampir sama--banyak yang menyebut demikian--bahwa tangan Tuhan sedang bermain. Tembak-tembakan antarpolisi di rumah polisi, dan terbunuh satu polisi, seperti mengindikasikan itu semua. Tembak-tembakan sebagai skenario pertama. Kedigdayaan rapuh-remuk tak berbekas. Runtuh meninggalkan tangis dan derita berganti. Meski tangis tanpa air mata masih dirasakan para keluarga 6 syuhada FPI, yang mati dilibas oknum polisi--peristiwa KM 50--tetap menyisakan derita panjang atas nama ketidakadilan. Pencarian keadilan akan dituntut sampai kapan pun. Air mata keluarga para syuhada memang sudah tak lagi menetes, meski tangisan panjang seperti nyanyian sedih gunda gulana terus dinyanyikan. Itulah panjatan doa mubahalah pada mereka yang zalim--untuk anak-anak mereka yang dibantai oleh kedigdayaan--terus berharap Tuhan Sang Pengadil hadir dengan keadilan-Nya. Tangan Tuhan seperti sedang bermain. Menjadikan skenario tampak dangkal, sebenarnya tidak demikian. Tembak-tembakan yang menewaskan Brigadir J--skenario awal itu dimentahkan oleh pengakuan Bharada E--bahwa bukan dia pelaku tunggal pembunuhan itu. Tuhan seperti ingin menggeret mempertontonkan aktor kezaliman dalam skenario yang dibuat-Nya. Skenario melingkar berputar seperti tak beraturan, menyasar mereka yang pantas disasar.   Skenario tembak-tembakan dimentahkan lewat skenario berikutnya, pengakuan Bharada E, menyebabkan Irjen FS sang digdaya pengatur skenario \"tembak-tembakan\", dilucuti oleh atasannya dengan dakwaan pelanggaran etik. Ditahan untuk 30 hari. Nasibnya selanjutnya akan ditentukan. Motif kematian Brigadir J masih diliputi misteri. Skenario awal, teriakan perempuan bernama PC, istri Irjen FS. Mengaku bahwa ia dilecehkan Brigadir J di kamarnya, dan dengan ancaman pistol segala. Nalar bodoh sekalipun akan berkata, berani benar bawahan satu ini masuk ke kamar istri sang Bos yang tengah istirahat, melecehkan sambil menodongkan pistol. Bharada E lalu datang, dan adegan tembak-tembakan terjadi. Brigadir J meninggal tertembus peluru yang ditembakkannya. Bukan satu peluru tapi 5 peluru bersarang di tubuhnya. Kisah dalam skenario awal tak dipercaya ayah-ibu dan keluarga besar Brigadir J: anakku tak mungkin melakukan perbuatan nista demikian. Jenazah dibuka, meski ada larangan untuk dibuka oleh utusan polisi si pengantar jenazah. Tetapi jenazah tetap dibuka, dan dilihat di sana-sini seperti ada penyiksaan di tubuh sang anak. Meradang penuh amarah. Kemarahan tak cuma berhenti di keluarga Brigadir J, tapi meluas pada etnis Batak yang tak terima dan menuntut balas keadilan. Dibunuhnya Brigadir J belum tahu apa penyebabnya. Mengapa ia sampai harus dihabisi dengan cara sadis--sedang pembantaian 6 syuhada FPI sudah jelas karena ia mengawal HRS, ulama lurus yang lantang berkata kebenaran, bukan penjahat tapi dimusuh layaknya penjahat besar. Mulai terbuka perlahan skenario berikutnya, lewat nyanyian Bharada E. Katanya, saya lihat tangan Irjen FS memegang pistol, sedang Brigadir J ada di sampingnya. Indikasi siapa yang menembak sudah mulai tersibak. Bukan cuma dirinya seorang. Lalu muncul nyanyian lainnya dari Bharada E, dimunculkan nama Brigadir RR dan KM, ajudan dan sopir sang nyonya, yang ikut  bersamanya. Ikut ramai-ramai menembak Brigadir J. Kemudian, muncul nyanyian-nyanyian lain yang sampai mentersangkakan 31 anggota polisi berbagai tingkatan kepangkatan. Sore kemarin, Rabu (9 Juli), Kapolri mengumumkan, Irjen FS terlibat sebagai otak yang menewaskan Brigadir J. Lewat perintahnya Bharada E, Bripka RR dan KM melakukan penembakan. Mereka semua akan dituntut hukuman mati atau seumur hidup. Ini bisa disebut efek domino mubahalah, menyasar banyak polisi pangkat tinggi atau rendahan, langsung maupun tidak langsung, yang terlibat dalam pembantaian KM 50. Konon Irjen FS juga tangani kasus KM 50, adakah ia otak skenario unlawful killing itu, semua pada waktunya akan tersibak. Tuhan pastilah tidak diam. Skenario-Nya seperti dimulai dari kasus tewasnya Brigadir J. Tuhan mencengkeram dengan tangan kuasa-Nya. Menghadirkan banyak korban menangis pilu merana, bahkan lebih dahsyat dari tangisan keluarga para syuhada, yang menerima kekejian tanpa keadilan dihadirkan dalam ruang pengadilan. Sepertinya ini baru awal dari skenario Tuhan dimainkan. Belum akan berakhir menyasar dalang tertinggi dan para eksekutor biadab yang menari-nari dalam keriangan saat anak manusia meregang nyawa, tanpa sedikit pun nurani dimiliki. Tangisan panjang keluarga para syuhada KM 50--tangisan dan doa berbaur berharap diijabah --memporak-porandakan kedigdayaan semu. Secepat bahkan lebih cepat dari membalik telapak tangan, menjadikan tangis itu berganti jadi kesyukuran, bahwa Tuhan mengabulkan doa keluarga para syuhada. Efek domino mubahalah akan terus mencari siapa dalang dan jagal peristiwa KM 50, cepat atau lambat akan disasar untuk dimangsa-Nya. Ada waktu tersisa jika yang dipilih adalah jalan pertobatan sesungguhnya dengan mendatangi keluarga para syuhada, meminta maaf setulusnya--atau lebih memilih Tuhan menghinakan dengan menamparnya penuh kesakitan, yang dirasakan diri dan keluarganya hingga waktu panjang--dunia dan akhirat. (*)

LaNyalla: Hilangnya Pancasila Sebagai Identitas Konstitusi Jadi Pangkal Utama Karut Marut Bangsa

Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut adalah dihilangkannya Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. \"Penghilangan Pancasila itu dilakukan bangsa ini secara \'malu-malu tapi mau\', atau \'malu-malu kucing\'. Sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan, karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang,\" kata LaNyalla secara virtual dalam Diskusi Publik Forum News Network (FNN) di Jakarta, Rabu (10/8/2022). Menurut LaNyalla, Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam berbangsa dan bernegara sejak tahun 2002. Atau sejak penggantian Konstitusi tuntas dikerjakan oleh MPR.  \"Meminjam istilah Profesor Kaelan dari UGM, sejak saat itu kita telah menggunakan UUD baru, yaitu UUD 2002. Bukan lagi UUD 1945,\" papar dia. Menurut LaNyalla, sangat jelas cita-cita dan tujuan nasional di dalam Pembukaan UUD 1945 serta Pancasila sudah tidak nyambung lagi dengan isi Pasal-Pasal di dalam Konstitusi.  Bahkan, Naskah Penjelasan UUD 1945 yang sangat terang benderang menjelaskan bagaimana mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002.  \"Ini bisa kita baca di Aturan Tambahan UUD Hasil Amandemen 1999-2002 di Pasal II, yang tertulis; ‘Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,\" tukas Senator asal Jawa Timur itu. Belum lagi di masa Reformasi, tepatnya tanggal 13 November 1998,  MPR melalui Ketetapan (TAP) MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 telah mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4.  Pertimbangannya materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Ini artinya materi P4 yang merupakan penjabaran nilai-nilai dan butir-butir Pancasila di tataran fraksis dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. \"Jadi kalau hari ini kita melakukan refleksi 77 Tahun Indonesia merdeka, dengan tonggak Proklamasi 17 Agustus 1945, menjadi tidak nyambung lagi. Karena negara Proklamasi sudah bubar, sejak tahun 2002,\" kata LaNyalla dalam diskusi bertema Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka, Membangun Ekonomi, Politik dan Hukum yang Beradab itu. \"Penggantian Konstitusi yang dilakukan di tahun 1999-2002 telah memenuhi unsur-unsur pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dimana nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia dan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru suatu negara sudah ditiadakan. Juga dokumen nasional yang mengandung suatu perjanjian luhur bangsa, sebagai identitas nasional dan lambang persatuan sudah dihilangkan,\" imbuhnya. Dari situlah, awal bangsa ini mulai dipisahkan dari Ideologinya. Awal bangsa ini mulai meninggalkan Pancasila sebagai grondslag dan Staatsfundamentalnorm. Juga menjadi awal persoalan bangsa semakin kompleks karena ketidakadilan dan kemiskinan struktural terjadi. Ditambahkannya, saat ini bangsa Indonesia sedang dalam proses pencaplokan oleh bukan orang Indonesia asli dan mereka ingin menguasai tiga sektor kunci. Yaitu sistem politik, perekonomian dan kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan UUD 2002 membuka peluang untuk itu terjadi. Karena Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.  \"Jika tiga epicentrum penting tersebut sudah dikuasai oleh bukan Orang Indonesia Asli, maka Anda semua akan bisa apa? Anda akan tersingkir dan menjadi penduduk kelas bawah yang tidak kompeten dan tidak mampu bersaing, karena Anda miskin. Dan lingkaran setan kemiskinan struktural inilah yang dilanggengkan,\" beber dia lagi.  Oleh karena itu, LaNyalla mengajak semua elemen bangsa untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian disempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Agar Indonesia kembali dengan sistemnya sendiri, seperti diucapkan oleh H.O.S Cokroaminoto yaitu; Zelfbestuur.  \"Mari kita kembali ke sistem yang paling cocok dengan watak bangsa yang super majemuk dan bangsa kepulauan yang terpisah oleh lautan,\" katanya. Semua elemen bangsa ini, katanya, harus berpikir dalam kerangka Negarawan. Memikirkan masa depan anak cucu kita. Karena negeri ini sebenarnya kaya-raya dengan kekayaan alam dan iklim serta berada di garis katulistiwa. Negeri yang sungguh bisa besar dan menjadi adi daya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. \"Jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer.  Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan. Mereka menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” sebuah semboyan yang kini mungkin terasa absurd di ruangan ber-AC ini. Tetapi itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia; agar tumbuh generasi yang lebih sempurna,\" tuturnya. Hadir dalam kesempatan itu Pemimpin Redaksi FNN, Mangarahon Dongoran, Ketua Kelompok DPD di MPR RI, Senator Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung, Pengamat Politik, Rocky Gerung, Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dan Pengamat Hukum, Ahmad Yani. (mth/*)