ALL CATEGORY
Respon Ubedilah Badrun Terhadap Sikap KPK
Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Oleh: Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) SEBAGAIMANA diketahui publik bahwa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam jumpa pers saat penyampaian kinerja semester I KPK di Jakarta pada Jumat (19/8/22) menyampaikan bahwa laporan yang saya sampaikan kepada KPK tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Berkaitan Dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) Relasi Bisnis Anak Presiden Dengan Grup Bisnis Yang Diduga Terlibat Pembakaran Hutan dinyatakan sejauh ini masih sumir karenanya kasus diarsipkan. Argumennya karena Gibran dan Kaesang bukan pejabat publik dan belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan atau data dukung terkait dengan penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara negara. Terhadap jawaban KPK tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa tidak ada kaitanya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara negara. Padahal secara nyata-nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara (Presiden Republik Indonesia). Selain itu Gibran adalah penyelenggara negara karena saat dilantik sebagai Wali Kota ternyata Gibran masih menjabat sebagai komisaris utama perusahaan yang saya sebut dalam laporan. Lebih jelasnya, pada tanggal 26 Februari 2021 Gibran dilantik menjadi wali kota Solo. Pada saat yang sama Gibran juga masih terdaftar (belum mundur) sebagai komisaris di PT. Siap Selalu Mas (memiliki 47 % saham PT.Harapan Bangsa Kita), dan Komisaris utama PT. Wadah Masa Depan (memegang 19,7 % saham). Sebagai informasi, korupsi itu bukan hanya mengambil uang negara (APBN/APBD) yang bukan haknya, tetapi menurut buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah gamblang dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis, salah satunya memberi hadiah atau gratifikasi. Perlu diingat juga bahwa dalam kasus yang saya laporkan juga ada pengangkatan penyelenggara negara yaitu pengangkatan Duta Besar yang sebelumnya ia sebagai Managing Director di PT. SM. Ia bukan diplomat karir. Dimana putra dari Duta Besar yang diangkat pada tanggal 17 November 2021 tersebut diketahui menjalin kerjasama bisnis yang sangat inten dengan Gibran dan Kaesang, ada peralihan kepemilikan saham, hingga bisnis putra Presiden tersebut mendapat kucuran dana penyertaan modal dari sebuah perusahaan ventura. Suntikan penyertaan modal ini hingga kini terjadi sebanyak tiga kali ( 17-8-2019, 23-11-2020, 6-6-2022). Terkait dugaan \'transaksi yang mencurigakan\' dan terkait dugaan gratifikasi jabatan, dugaan gratifikasi kepemilikan saham, serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah tugas KPK untuk mengusut secara tuntas agar menjadi terang demi tegaknya kepastian hukum yang adil. KPK dapat meminta kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk menelusuri transaksi yang diduga mencurigakan tersebut. Selain itu KPK juga memiliki kewajiban hukum untuk mencegah dan memberantas KKN dengan menelusuri seluruh perusahaan lainnya milik putra Presiden itu yang jumlahnya kurang lebih 20 perusahaan yang didirikan oleh putra Presiden tersebut. Termasuk misalnya pembelian saham 40 % PT Persis Solo Saestu oleh Kaesang bersama Erick Thohir. Apakah benar pembelian saham itu berasal dari uang pribadi atau perusahaan milik Kaesang? Tugas mulia KPK merupakan Amanat Reformasi 1998 yang tertuang dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Terkait dengan pernyataan Nurul Ghufron yang menyatakan belum adanya data dukung, sebenarnya telah dijawab pada tanggal 26 Januari 2022 saat saya dipanggil KPK selama dua jam dengan menyampaikan data-data awal dan penjelasan hukum yang lebih detail kepada KPK pada saat itu. KPK semestinya bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang untuk mengusut tuntas dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan tersebut. Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Demikian respon ini saya sampaikan. Jakarta, 20 Agustus 2022. (*)
Di Lampung, LaNyalla Ajak Warga PSHT Kembali ke UUD 1945 Agar Kedaulatan di Tangan Rakyat
Bandar Lampung, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menegaskan bahwa kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat. Caranya, kembali ke UUD 1945 naskah asli dan kemudian disempurnakan dengan adendum. Penegasan itu disampaikan LaNyalla kepada ratusan warga Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Provinsi Lampung di SCC Universitas Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (20/8/2022). Ketua DPD RI didampingi Anggota DPD RI asal Provinsi Lampung Bustami Zainuddin yang juga Ketua Dewan Pembina PSHT Provinsi Lampung, Anggota DPD asal Provinsi Lampung Abdul Hakim, Anggota DPD RI Sulawesi Selatan Andi Muh Ihsan dan Sekjen DPD RI Rahman Hadi. “Kenapa hal itu yang saya suarakan? Karena UUD hasil amandemen 1999-2002 jelas-jelas melupakan Pancasila. Sejak saat itu pasal-pasalnya diganti, sehingga memberi ruang lebar pada oligarki ekonomi dan politik menguasai negeri ini. Di mana salah satunya kekayaan kita yang sangat melimpah ini dikuasai oleh asing,” ujarnya. Makanya, LaNyalla yang juga Dewan Pembina PSHT mengajak warga PSHT untuk berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat. “Kalau tidak kita rebut kedaulatan itu, negara akan diatur oligarki. Kekayaan alam kita semakin dikeruk habis dan rakyat tambah miskin. Padahal seharusnya sumber daya alam itu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dan oleh segelintir orang,” jelasnya. “Warga PSHT, yang senior dan terutama yang muda-muda harus mulai sadar dan mencermati. Harus mulai berpikir apakah saat ini kita benar-benar menggunakan UUD 45 yang asli atau bukan jika melihat kondisi bangsa dan keadaan rakyat sekarang,” tambah dia. Untuk itulah, LaNyalla akan menyebarkan peta jalan kembali ke UUD 1945 naskah asli, supaya warga PSHT paham upaya itu merupakan satu-satunya solusi permasalahan bangsa. “Silakan pelajari peta jalan kembali ke UUD 45 yang saya buat. Apabila masih kurang mengerti, bisa diskusi dengan anggota DPD RI dari sini, Pak Bustami dan Pak Hakim atau dengan lainnya. Setelah paham benar, resonansikan gagasan ini kepada masyarakat lainnya. Sadarkan mereka bahwa inilah satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat kita,” tutur Ketua Dewan Pembina PSHT itu. Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyinggung legalitas PSHT yang sempat menjadi polemik. Menurutnya, PSHT yang dipimpin oleh Drs. R. Murjoko HW merupakan organisasi yang benar, legal dan hak-haknya diakui pemerintah yang sah. Sebab, sebagai Ketua DPD RI LaNyalla sudah mempelajari dengan seksama, bahkan ikut memperjuangkan legalitas PSHT hingga mendapatkan pengakuan legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. “Karena itu jangan sampai di bawah masih ada komponen masyarakat, juga pemerintah dan aparatur negara yang meragukan legalitas organisasi PSHT. Kalau masih ragu-ragu, silahkan buka sendiri di situs Kemenkumham, maka saudara akan tahu siapa pemilik nama dan badan hukum Persaudaraan Setia Hati Terate, yakni Kangmas Drs. R. Murjoko HW, bukan yang lain,” tegasnya. PSHT, lanjutnya, juga harus memberikan sumbangsih dengan membantu Pemerintah Daerah mensukseskan program pembangunan. Terutama dalam pembangunan karakter dan jati diri bangsa, serta kesehatan jasmani dan rohani generasi muda. Kehadiran Ketua DPD RI di Lampung mendapat apresiasi dari Sekum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Provinsi Lampung Ria Gusria. Harapannya aspirasi rakyat Lampung, termasuk aspirasi PSHT dan masyarakat pencak silat Provinsi Lampung bisa disuarakan. “Karena saya tahu persis bahwa Pak Ketua DPD RI berani sekali menyuarakan aspirasi rakyat. Saya juga berdoa semoga gagasan dan pikiran Pak Ketua bisa terwujud dengan baik,” ucapnya. Ketua Perwakilan Pusat PSHT Provinsi Lampung, Brigjen TNI Yuswandi meminta warga PSHT terus mendukung pemerintah pusat dan daerah guna menjadikan Lampung lebih maju. “PSHT harus menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah daerah dan Forkopimda untuk membantu menjaga ketertiban dan keamanan. PSHT harus berkontribusi besar untuk ikut Memayu Hayuning Bawono,” tuturnya. M. Firsada, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Lampung yang mewakili Gubernur Lampung menegaskan bahwa PSHT merupakan aset besar bagi Lampung. Oleh karena itu harus dikelola dengan baik dan membantu mewujudkan misi Gubernur Lampung, yaitu menjadikan Lampung Berjaya. Selain Kepala Badan Kesbangpol Lampung, M Firsada, hadir Sekum IPSI Lampung Ria Gusria dan Ketua Perwakilan Pusat PSHT Lampung, Brigjen TNI Yuswandi, Anggota Dewan Pengurus Pusat PSHT Laksamana TNI Sidiq Mustofa, Rektor Universitas Saburai Lampung Lina Maulidiana, Para Ketua Cabang PSHT Kabupaten dan Kota se-Provinsi Lampung dan Warga Baru PSHT se-Provinsi Lampung. (mth/*)
Renungan Kemerdekaan
Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle RAKYAT Indonesia beberapa hari belakangan ini gelisah, karena Indonesia ini berjalan entah ke mana. Tidak jelas tujuan dan limbung, sebentar ke kiri, lalu sebentar ke kanan. Katanya sudah merdeka 77 tahun, tapi makna dan fakta kemerdekaan itu terasa semakin jauh. Tidak jelas dan limbung, karena negara dan pengelolanya berjalan tanpa moralitas kekuasaan yang jelas, sementara rakyat mengais-ngais secercah harapan untuk hidup saat beban ekonomi menaik. Lihatlah beberapa hal berikut ini, pertama, kita melihat Istana saat hari perayaan kemerdekaan menteri-menteri berjoget ria, lagu cinta, yang dibawakan anak belum dewasa. Biasanya peringatan kemerdekaan dilakukan dengan lagu-lagu kebangsaan, yang membuat seluruh orang hikmat dan merinding. Misalnya, lagu Padamu Negeri, ciptaan Kusbini. Atau setidaknya lagu Merah Darahku, ciptaan musisi Gombloh. Dengan lagu kebangsaan, secara sosiologis, manusia akan terhubung dengan perjuangan yang belum selesai. Kemerdekaan yang belum selesai. Jika dengan lagu cinta-cintaan, “Ojo Dibandingke”, apalagi mengeksploitasi anak kecil sebagai penyanyi, tentu tidak terhubung dengan “public domain” atau “public interest”. Persoalan kedua tentang moralitas kekuasaan, tentu saja soal pembunuhan Brigadir J (Joshua). Supremasi Hukum adalah kata kunci “Justice”. Sebuah negara didirikan untuk mendistribusikan keadilan bagi rakyat semua. Tanpa meletakkan hukum sebagai tulang punggung, tentu semuanya akan kacau-balau. Bagaimana mengatur hukum bagi kepentingan semua orang? Negera tugasnya membangun institusi penegakan hukum dan keadilan. Salah satunya adalah Kepolisian. Kita sudah melihat dalam bulan kemerdekaan ini, beberapa jenderal polisi, terlibat kasus melakukan pembunuhan dan saling bantu dalam pembunuhan tersebut, yakni Ferdy Sambo dkk. Jika kita nonton film “City of Lies”, Jhonny Deep, di HBO, polisi di Los Angeles, Amerika, juga terjadi hal yang sama, yakni polisi berkelakuan mafia. Tapi, yang kita alami dalam 77 tahun merdeka ini adalah ternyata jenderal-jenderal ini merupakan bagian dari kekuasaan negara, bukan soal pribadi. Mengapa demikian? Karena dalam rezim Presiden Joko Widodo, polisi bekerja bukan saja untuk urusan penegakan hukum, melainkan juga menghancurkan lawan-lawan politik dari rezim yang berkuasa. Bahwasanya Jokowi selama ini menyandarkan penyingkiran oposisi pada polisi. Sambo adalah intinya polisi saat kemarin itu, Kadiv Propam dan Komandan institusi ekstra kuat, Satgassus Merah Putih. Jadi wajah Sambo, sekali lagi, adalah refleksi wajah kepolisian. Mahfud MD mengungkapkan tanpa adanya polisi bintang 3 yang bermoral, kemungkinan Sambo akan bebas. Tentu saja karena Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga ingin bertransformasi ke arah yang benar. Persoalan ketiga adalah ekonomi rakyat kecil. Jokowi, via Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, sudah menyatakan akan menaikkan harga BBM, pekan depan. Selama ini pemerintah menyatakan bahwa negara terlalu banyak mensubsidi rakyat, sekitar Rp 500 triliun. Tentu saja rakyat akan memikul beban kenaikan harga yang sangat besar. Sebelum kenaikan BBM, pertalite dan solar, saat ini rakyat sudah mengalami beban mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal upah tidak naik atau naik tidak signifikan. Belum kita melihat yang PHK, semakin banyak. Mengharap pada keluarga besar (extended family) sebagai sistem perlindungan sosial tradisional, semakin sulit. Karena, semua orang juga semakin sulit. Lalu ke mana berharap, jika negara mencabut subsidi? Jika subsidi dipangkas? Persoalan terakhir adalah demokrasi dan kebebasan rakyat. Kita melihat bahwa beberapa ulama masih di penjara. Alasannya adalah membuat onar, seperti kasus Habib Bahar Smith, Edi Mulyadi, Bunda Meri di Lampung, dan kasus-kasus yang dicurigai polisi sebagai teroris. Menghukum lawan-lawan politik karena mengganggu kekuasan adalah ajaran Machiavelli. Niccollo Machiavelli, filosof Florence era 1500-an, mengatakan penguasa tidak perlu berharap dicintai, tapi berharaplah untuk ditakutin rakyat. Ketakutan rakyat lebih mulia daripada dicintai. Ini adalah moral iblis. Dimana negara dan kekuasaannya dibangun untuk merampok kekayaan bangsanya, bukan menciptakan keadilan sejati. Di era modern, di mana kontrol sosial dari “civil society” diperlukan,. justru kebebasan, kritik dan perbedaan pendapat haruslah menjadi tiang utama negara. Jokowi sudah mengingatkan agar tidak ada lagi politik identitas. Sebenarnya siapa yang berlindung dalam isu politik identitas itu? Di era sebelum Jokowi justru ketika rezimnya menganut demokrasi, tidak ada kekerasan politik atau permusuhan politik horisontal di masyarakat. Pemenjaraan dan penangkapan ulama serta aktivis politik hanya gencar di era rezim Jokowi. Itu paralel dengan kekuasaan aparatur polisi, begitu besarnya. Catatan Akhir Negara adalah sebuah institusi representasi kepentingan rakyat. Untuk benar-benar bisa memberi fungsi keadilan, maka diperlukan moralitas kekuasaan. Moralitas itu adalah sebuah nilai-nilai yang di dalamnya kepentingan pribadi ditransfer menjadi kepentingan publik. Orang-orang harus melihat pemimpinnya meneteskan air mata ketika acara kemerdekaan di istana, dengan lagu lagu kebangsaan yang menggugah spirit, bukan berjoget-joget lagu cinta. Orang-orang harus terkoneksi dengan sejarah. Hukum dan keadilan harus tumbuh dalam fundamental nilai-nilai. Penegak hukum harus mengerti bahwa dia adalah teladan. Kalau bisa moralitasnya berbasis agama, rajin ibadah dan membenci uang-uang haram. Penegak hukum dan perangkat hukum tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik rezim, dia harus adil terhadap siapapun. Tidak boleh digunakan untuk mendukung seseorang dalam pemilu atau lainnya. Moralitas kekuasaan dengan nilai-nilai kecintaan pada rakyat harus merujuk pada maksud Indonesia Merdeka. Keadilan untuk semua rakyat. Saat ini kita berada pada kerapuhan moralitas kekuasaan. Tapi kita, saat melihat misalnya masih ada jenderal bermoral di kepolisian, kita masih bisa berharap bahwa masih ada harapan ke depan. Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Pemimpin itu seharusnya merakyat. Subsidi pangan dan energi pokok harus dipertahankan. Serta demokrasi diutamakan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-77. Tetap Berharap. Tetap Semangat! Depok, 19 Agustus 2022. (*)
Kerusakan Institusi POLRI Akibat Kebijakan Presiden yang Salah
Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SADAR atau tidak berawal dari keberadaan positioning POLRI langsung di bawah Presiden RI, Polisi dipersenjatai melebihi kekuatan senjata TNI oleh Presiden, dengan imbalan loyalitas buta Polisi pada Presiden, inilah petaka awal terjadi kerusakan di tubuh Polri. Perselingkuhan Presiden dengan Polri penyebab kewenangan dan kekuasaan Polri bukan terkendali, justru menjadi liar. Terjadi Abuse of Power oleh Polisi, menjadi kekuatan super body, menabrak siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan, itu akibat Presiden telah memanjakan Polri melampaui peran, fungsi, dan tupoksinya. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi itu hanya tiga: Penegak hukum; Menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi; dan Melindungi masyarakat. Tapi, kini masuk ke ranah politik sebagai pengaman presiden, mengatasi/menindak siapapun yang berseberangan dan melawan kekuasaan. Konon, peran politis ini sudah dirancang jarak-jauh sejak Tito Karnavian sebagai Kapolri, bukan hanya sebagai kekuatan mengamankan suara hasil Pilpres tetapi memenangkan suara untuk kemenangan Presiden. Kata Bung Anton Permana: “imbalan politisnya Presiden menempatkan Polisi hampir di semua urusan negara. Di setiap departemen hampir ada Polisi, di Bulog, Kumhan, Parekraf, atau ada empat puluh empat (44) jabatan diisi oleh polisi. Tito Karnavian sendiri langsung mendapatkan jatah sebagai Mendagri”. “Lebih liar lagi tugas TNI seperti dalam penanganan terorisme, separatisme, pengamanan objek vital, pengamanan wilayah perbatasan juga diambil-alih polisi. Padahal itu jelas dan tegas tugas TNI sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004,” katanya lebih lanjut. Presiden tak tanggung-tanggung mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk menambah kekuasaan Polri agar lebih luas karena tidak ada dalam UU Polisi. Padahal secara hirarki perundangan, Perpres itu di bawah Undang-Undang. Yang muncul di kemudian hari kekuasan Polisi merambah kemana-mana: Polisi bertindak cepat mengkriminalisasi tokoh-tokoh siapapun yang menentang dan berbeda pandangan dengan sang penguasa. Kriminalisasi ulama, begitu sadis cara menangani demo dengan kekerasan di luar batas perikemanusiaan. Bahkan, di mana-mana berperan sebagai body guard Oligarki, sebagai penjaga rampasan tanah jarahannya dari gangguan. Diduga kuat ikut mengamankan TKA asing, khususnya dari China masuk berbondong-bondong ke Indonesia. TNI dianak-tirikan, bahkan terkesan dilemahkan. TNI melalui binternya di amputasi, TNI masuk desa sebagaian kemanunggalan TNI dan rakyat tidak terdengar lagi. Kewenangannya juga banyak dicabut atas nama kekuasaan Presiden untuk mengamankan kekuasaan Presiden dan menempatkan Polri sebagai body guard-nya. Kesombongan Polri membesar ketika merasa bahwa Polri langsung di bawah Presiden dan TNI di bawah kordinasi Kementerian Pertahanan. Presiden berdalih menambah kekuasaan Polri adalah untuk memerankan Polri perang melawan perang asymetris. Perang yang tidak tampak seperti; perang ideologi, perang ekonomi, perang dagang, perang pemikiran, dan perang sosial-budaya. Melebar mengamankan perjudian dan perdagangan narkoba serta perdagangan terlarang lainnya. Dampak ikutan akibatnya bukan keamanan yang tercipta, justru kegaduhan, perpecahan dan kekacauan di masyarakat semakin parah. Apa yang terjadi saat ini? Oknum kekuatan polisi menyalahgunakan kekuasaannya. Muncullah polisi Sambo yang liar bersentuhan dengan praktik hitam melebar ke mana-mana. Awal kejadian sangat jelas, akibat salah kelola kepolisian oleh presiden sendiri yang menempatkan polisi sebagai alat kekuasaan politik. Menempatkan dan memfungsikan polisi dengan wewenang sangat besar sebagai alat kekuasaan politik. Maka terjadilah saat ini skandal Polisi Sambo. Kebijakan Presiden memakan tuan Presiden sendiri. Perintah untuk secepatnya mengatasi kasus Sambo berlarut larut karena ternyata kasusnya memang sangat berat, penyakitnya sudah akut melebar ke mana-mana. Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Republik ini adalah negara hukum dilihat dari kinerja Polri sebagai penegak hukum, menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat, yang setia pada janjinya sebagai Bhayangkara Negara, telah dihianati, maka Polri adalah malapetaka negara. Back to zero. Saatnya Polri direformasi total atau Republik ini ambruk. Tiba saatnya negara harus secepatnya melakukan Reformasi Polisi, sekarang! Police Reform, Now!. (*)
Purnawirawan dan Geruduk Polsek Lembang
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS pembunuhan sadis Letkol TNI Purn H Muhammad Mubin oleh pengusaha Henry Hendono bukan kasus sederhana. Perhatian besar dari institusi TNI khususnya Angkatan Darat cukup besar. Kodam III SIliwangi menurunkan Tim Hukum untuk mengawasi dan mendampingi demikian juga dengan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) yang telah membentuk dan menugaskan tim hukum pula. Purnawirawan lain yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) pimpinan Kol (Purn) Sugeng Waras hari ini akan menggeruduk Polsek Lembang untuk melakukan upacara duka cita dan do\'a bagi almarhum. Dilanjutkan dengan ta\'ziah ke rumah duka di Bandung. Upacara didukung beberapa Ormas dan elemen masyarakat termasuk eks Tri Matra pimpinan Ruslan Buton. Perhatian Purnawirawan TNI menjadi unjuk rasa keprihatinan atas arogansi Aseng terhadap pribumi khususnya Purnawirawan TNI. Aksi solidaritas Purnawirawan dinilai penting agar kejahatan pembunuhan berencana yang dinilai sadis ini tidak berulang. Pelaku harus diberi hukuman berat. Profil mantan Dandim Letkol Purn Muhammad Mubin adalah figur teladan yang secara bersahaja menjadi sopir di sebuah perusahaan meubel. Selalu mengantar putera majikannya ke sekolah. Sayangnya justru ia dinistakan oleh seorang pengusaha keturunan yang melakukan pembunuhan sadis hanya dengan alasan parkir di depan toko atau gudangnya. Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang sudah tepat karena dari sini awal penanganan atas perbuatan pidana. Ada kejanggalan dalam penanganan. Waktu itu Polsek hanya mengenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP kepada tersangka padahal diduga pembunuhan yang dilakukan Aseng atau Henry Herdono ini direncanakan. Ada cerita bohong para saksi karyawan Aseng soal pertengkaran ataupun adu pukul. Setelah penyidikan diambil alih oleh Polda Jawa Barat maka tersangka dikenakan primer Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana. Tentu subsidair Pasal 338 KUHP dan atau 351 ayat 3 KUHP. Fakta yang didapat ternyata tidak ada pertengkaran atau pukul memukul. Yang terjadi adalah penyerangan langsung dengan pisau yang telah disiapkan. Ada niat sengaja untuk membunuh. Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) saat dideklarasikan menyatakan keprihatinan atas kondisi negeri. Karenanya bertekad untuk berjuang menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Mengingatkan semua elemen agar tidak menjual atau menggadaikan kedaulatan negara kepada penjajah politik, ekonomi dan budaya. Kepedulian Purnawirawan terhadap kasus pembunuhan Aseng ini nampaknya di samping solidaritas juga menjadi bagian dari upaya untuk menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Pada situasi politik yang karut marut ini para Purnawirawan nampaknya lebih maju ke depan dalam mengoreksi keadaan. Old soldiers never die, they just fade away, kata sebuah ungkapan. Akan tetapi hari ini old soldiers itu \"not just fade away\". Mereka ada di sana. Membela sesama. Bandung, 21 Agustus 2022
Kali Ciliwung
Oleh Ridwan Saidi | Budayawan SEMENJAK Ciliwung tercipta, setahu saya baru 1 novel terbit bertema Ciliwung;, judul Brandal-brandal Tjiliwung, tahun 1950-an oleh Achmad MS anak Kwitang. Juga cuma ada satu lagu Indonesia yang dicipta bertema Ciliwung oleh penyanyi Said Effendi pada tahun 1950, judulnya Kali Ciliwung. Sebagian liricnya: Kali Ciliwung Kali yang pantas disanjung Terletak di tengah-tengah kota Ibu negeri Indonesia Air mengalir Deras menuju ke hilir Membawa semua kenang-kenangan Kebahagian nan silam Saya mendusin ada lagu bagus ini justru dari tokoh politik senior Malaysia sekarang Dato Anuar Ibrahim, waktu saya bertemu dengannya untuk kedua kali di Jakarta pada tahun 1969. Ia mengatakan lagu daripada Indonesia yang ia suka Kali Ciliwung. Segera saya mencari lagu ini. Masa kecil saya adalah Ciliwung. Aku bermandi-manda di kali ini yang nengalir ke Kota. Di sepanjang kali yang melintasi Hayam Wuruk sampai Mangga Besar ramai sekali dengan ibu-ibu yang mencuci, anak-anak tanggung yang berenang- renang, dan ada juga yang memandikan kuda. Semua dengan kedamaian. Senua mencintai alam dan tak ada yang mengotorinya dengan membuang hajat. \"Hajat\" tak boleh dibuang sembarangan. Kali salah satu sumber kehidupan manusia, kalau menyebutnya saja dengan partikel Chi, sejatinya Che. Che Liwung. Saya tidak tahu arti Liwung. Anak-anak yang mahir berenang masuk kali meloncat dari jembatan Gg Ketapang atau Mangga Besar. Tentu saja mereka menunggu kesempatan tak ada rakit, atau géték, yang melintas. Ciliwung sering dilintas rakit yang membawa bambu. Tiba di tujuan rakit dibongkar dan dijual berikut bambu. Rakitnya juga bambu \'kan. Dalam reffrein Effendi mengenang: Sungguh besar jasamu Kenangan masa lalu Ya, masa lalu tak kunjung berlalu. (RSaidi)
APBN Rp3000 Triliun di Tahun Sulit, Serupiah Pun Harus Dipertanggungjawabkan
Jakarta, FNN - Dalam acara diskusi Indonesia Leader Talk pada Jumat (19/08/22), Mardani Ali Sera mempertanyakan APBN itu untuk siapa? Hal itu merupakan upaya menanggapi pidato Presiden Joko Widodo pada sidang bersama DPR RI pada 16 Agustus lalu yang mengumumkan jumlah APBN sebesar 3041 triliun. Dalam video yang berjudul Merdeka, Kok APBN 3000T? yang disiarkan oleh kanal YouTube Rasil TV dan PKS TV itu, Mardani yang selaku politisi PKS dan salah seorang anggota DPR RI menjelaskan alokasi dari APBN tersebut. \"Di era pasca pandemi dan kita ingin coba bedah menjadi warga negara yang cerdas dan 3041 triliun itu pemerintah sudah jelaskan alokasinya ada sekitar 600 triliun untuk SDM, kemudian 479 triliun untuk safety net karena perlindungan sosial tetap, subsidi energi diturunkan dari 502 yang sekarang ini ke 336 triliun. Kemudian ada infrastruktur 392 termasuk IKN,\" tuturnya. Dirinya pun mengatakan bahwa masalah besar ini sudah terjadi sangat lama. \"Problem besar kita sudah terlalu lama, sejak zaman 1986 ketika pak Harto masih dipuncak-puncaknya. Kita ada dalam middle income trap, ya, ke jebakan negara berpenghasilan menengah. Sempat kita higher middle income, tapi karena pandemi kita lower middle income kembali,\" ungkapnya. Dari besaran APBN itu, Mardani pun mempertanyakannya, \"APBN ini untuk siapa? Ini yang harus kita bedah karena ini adalah anggaran negara dan negara perlu punya kepemihakan dan pemihakan itu mestinya kepada masyarakat menengah ke bawah. Dan itu dialokasikan dengan cerdas, bukan sekadar memberikan ikan, tapi juga memberikan kail dan ekosistemnya, termasuk bagaimana memberdayakan masyarakat.\" Dalam acara yang dimoderatori oleh Aldi dan juga pembicara lain mulai dari Faisal Basri selaku Pakar Ekonomi Universitas Indonesia, Antony Budiawan selaku Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), dan Rocky Gerung selaku pengamat politik. Dalam kesempatan tersebut Rocky Gerung mengatakan bahwa bukan sekedar soal politik anggaran, tetapi anggaran dipakai untuk berpolitik. Menanggapi hal tersebut, Antony menjelaskan hal yang melatarbelakangi belanja negara ditekan terus karena salah satunya dipakai sebagai alat politik. \"Di mana toko belanja negara tahun depan akan digenjot supaya di situ ada pertumbuhan di masa politik,\" ungkap Antony. Menjawab hal itu Mardani pun berpendapat, \"Masuk akal kalau ada budget politik karena memang penguasa selalu ingin mendapatkan insentif elektoral. Apalagi 2023 ini kan pemilunya Februari 2024, jadi memang harus digenjot. Makanya ketika 3041 triliun itu diumumkan, wow saya langsung berkomentar, ketika tahun sulit nggak nyambung gitu loh. Pak Jokowi bilang ini tahun sulit, tahun berat tapi anggarannya wow gitu loh.\" Dan dalam pernyataan penutupnya, Mardani mengingatkan kembali tentang usaha rakyat yang menjadi sumber anggaran, serta mengajak untuk mewujudkan rasa tanggung jawab. \"3000 triliun itu uangnya rakyat yang datang dari keringat, air mata, dan darah. Karena itu, kami di DPR mesti betul-betul bekerja keras mengawasi. Setuju sama prof Antony dan bang Faisal Basri, satu rupiah itu harus dipertanggungjawabkan. Tapi, itu akan sulit terwujud ketika keseimbangan oposisi koalisi tidak terwujud. Tetapi, itu bisa diwujudkan dengan koalisi bersama rakyat, koalisi bersama para pemegang etika dan logika, serta koalisi bersama hati nurani,\" terangnya. (rac)
Teladan Bung Natsir
Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) KETIKA awal kasus pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, suara anggota Komisi III DPR RI nyaris tidak terdengar sama sekali. Sampai akhirnya Menko Polhukam Mahfud MD menyindir dan mengkritiktisi sikap mereka. Kabar yang berhembus, konon, selama ini mereka menerima upeti dari Sambo yang masih memimpin Satgassus Merah Putih – sebelum dibubarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo – sebesar Rp 500 juta/bulan. Kalau benar seperti itu faktanya, tentunya upeti yang diserahkan ke pejabat DPR yang lebih tinggi bisa di atas angka setengah miliar rupiah. Dipastikan, Mahfud MD berani bicara dan mengkritik DPR karena dia pegang datanya. Apakah Ketua MPR Bambang Soesatyo yang terkesan membela Ferdy Sambo itu juga menerima kucuran dana haram dari jaringan sindikat narkoba dan judi online “kolega” Kaisar Sambo? Hanya dia dan Allah SWT yang tahu. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini anggota DPR sering bermain mata dengan pengusaha, pejabat korup, maupun pihak lain yang merasa terancam perilaku korupnya. Presiden Joko Widodo sendiri pernah buka-bukaan terhadap kasus-kasus korupsi yang saat ini tengah diselesaikan para penegak hukum di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah dipenjara. “Hingga hari ini sudah 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi,” ungkap Jokowi dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai Kartini, Jakarta di Balai Kartini, Kamis (1/12/2016). Sebanyak 23 anggota DPR, seperti ditulis Detik.com, berjudul Ahad (29 Sep 2019 10:08 WIB), “Jejak Para Anggota DPR 2014-2019 yang Terjerat Kasus Korupsi”, terjerat korupsi. Mereka ini dari berbagai partai politik maupun Komisi yang ada di DPR. Supaya mereka tidak terjebak dalam skandal korupsi, sebaiknya mereka bisa belajar dari sikap teladan Mohammad Natsir selama menjadi pejabat di DPR maupun eksekutif. Beginilah karakter politisi kita dahulu, sampai meninggal di usia lebih dari 80 tahun tetap dicintai dan dihormati jutaan rakyat. Bung Natsir Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama 4 adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya Mohammad Natsir dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka. Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956. Ketika itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam. Aba – demikian anak-anaknya memanggil Natsir – ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun ini. Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar begitu tahu ayahnya menolak tawaran dengan amat halus agar tak menyinggung perasaan tamunya. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” ungkap Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya. Nasihat itu begitu membekas di hati Lies (72 tahun). Aba dan Ummi Nurnahar – ibunda Lies – selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.” Ketika sang ayah menjadi Menpen pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Jogjakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim. Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menpen. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies. Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Jogjakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir. Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut pula. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim mengenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri. Penampilan Natsir tidak berubah ketika dia menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dinilai tak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi lengkap dengan perabotan, sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa. Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal. Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. “Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala,” ujar Lies. Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah menengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jaraknya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan, keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas. Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Saat masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Saat hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien. Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Saldonya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya. Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. “Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies. Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok “anak Menteng” menjadi “anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat, seorang pejabat pemerintah. Mereka menjalani “kehidupan nomaden”, terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur. Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (kini Jalan HOS Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan “harga teman”, tapi Natsir tetap tidak mempunyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun. Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru. Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan dari almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya. Itulah gambaran kesederhanaan mantan pejabat negara. Rasanya sekarang ini sangat sulit sekali menemukan pejabat semacam Natsir. (*)
Anthony Budiawan: APBN Meningkatkan Kemampuan Ekonomi hanyalah Ilusi
Jakarta, FNN – Indonesia Leaders Talk (ILT) seri ke-100 membahas rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2023 yang hampir mencapai 3000 Triliun. ILT mendatangkan empat pembicara ahli di antaranya, Mardani Ali Sera (Politisi PKS), Faisal Basri (Ekonom, Politikus), Anthony Budiawan (Pemerhati IKN-Kereta Cepat), dan Rocky Gerung (Pengamat Politik). Pemerhati IKN-Kereta Cepat, Anthony Budiawan memaparkan analisisnya melalui ILT yang bertajuk \"Merdeka, Kok APBN 3000T?\" yang disiarkan secara daring dalam kanal Youtube PKSTV pada Jumat, 19 Agustus 2022. Anthony menyoroti risiko fiskal secara makro bahwa pendapatan negara belum terealisasi. Kenaikan pendapat negara dari tahun-tahun sebelumnya masih cenderung stagnan. Namun, melihat keadaan ekonomi global dan dampak komoditas terhadap suku bunga yang kemungkinan akan kembali naik perlu diwaspadai. \"Seperti kita ketahui bahwa ekonomi global sedang memerangi inflasi. Artinya, mereka akan menaikkan suku bunga terus sampai inflasi itu terkendali. Saya yakin bahwa harga komoditas akan turun dan penerimaan akan tertekan. Jadi artinya, penerimaan negara sebesar Rp 2443 T ini ada risiko tidak tercapai,\" ungkap Anthony. Selain itu, Anthony juga mempertanyakan pembiayaan utang yang lebih besar dari pembiayaan anggaran negara. Dia mendesak adanya transparansi dari pihak DPR mengenai anggaran dana lain yang disebutkan untuk investasi berjumlah Rp175 T. Dalam semua pernyataan, investasi, modal negara, bahkan APBN diambil dari utang. Kemudian, Anthony juga menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara kompensasi dan subsidi sehingga keduanya tidak dapat disatukan. \"Menyatukan subsidi dengan kompensasi adalah sesuatu hal yang sangat salah karena di dalam APBN tidak dikenal nomenklatur yang namanya kompensasi. Kalau itu adalah benar-benar selisih harga, maka dia harus masuk kepada subsidi. Karena kalau tidak masuk pada subsidi, maka bisa menjadi liar,\" jelas Anthony. Persoalan dikaitkan dengan koordinasi harga BBM apabila dimasukkan sebagai kompensasi, maka ini menyalahi undang-undang keuangan negara. Berdasarkan infografis, kompensasi untuk tahun 2021 sebesar 100T dan tahun 2022 sebesar 200T dengan subsidi 206T, sehingga diperoleh total sekitar 502T. Anthony berpesan agar DPR mengklarifikasi agar rakyat mengerti perbedaan antara kompensasi dan subsidi. Dia juga menyoroti permasalahan investasi swasta yang stagnan karena berkompetensi dengan BUMN. Permasalahan besar negara ketika harga komoditas jatuh atau deposit komoditas habis. \"Inilah masalah-masalah dalam ekonomi kita, bahwa APBN dianggap bisa meningkatkan kemampuan ekonomi itu hanya ilusi saja.\" (oct)
Anggota DPR Sudah Berubah Menjadi Makhluk Ghaib
Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan membela kepentingan umum (rakyat) berubah menjadi kacung-kacung dan jongos-jongos petinggi partai politik. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEDAULATAN Rakyat (sovereignty of the people) berupa otoritas pemberi mandat berupa ijin dan persetujuan (government based upon the consent of the governed), kepada penerima mandat yang telah berubah menjadi makhluk ghaib – dipercaya sebagai anggota DPR, peran dan fungsinya menguap seperti hilang ditelan bumi. DPR di alamnya sendiri seperti hidup di dalam ghaib. Hal-hal penting yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, yang menyangkut kualitas hidup dan kehidupan rakyat banyak, bukan lagi urusannya. Bagi anggota DPR saat ini urusannya adalah dengan kembang menyan, selagi asap kemenyan dan dupa menyala bersama makhluk oligarki sebagai danyang pengendalinya, mereka akan menjadi abdi dalem yang penurut apapun yang harus dilakukan dan dikerjakan. Sebagian anggota DPR pun dugaan kuat sempat menjadi peliaraan Danyang Sambo, ketika tiba-tiba diretas oleh Mahfud MD, nampak kelabakan seperti demit yang kehilangan nalarnya. Kesana kemari saling membela diri. Lucu- lucu seperti anak-anak TK yang kebingungan. Makhluk ghaib seolah sudah bebas bertingkah karena merasa tidak ada beban sebagai wakil rakyat – bahkan sudah berubah sebagai wakil makhluk ghaib oligarki. Abuses of power di Indonesia terjadi sangat parah, bebas dari pengawasan DPR. DPR sendiri sedang ada masalah terkena pengaruh kekuatan ghaib telpon koin dan mereka diikat oleh ikatan partai politik dan PAW (Pergantian Antar Waktu). Semua anggota DPR-RI sudah diikat kaki, tangan, dan mulutnya untuk bisa berkerja sesuai fungsinya sebagai wakil rakyat, sudah tidak berani berbicara membela kepentingan umum atau kepentingan publik. Petinggi partai yang juga sudah menjadi piaraan makhluk ghaib oligarki, yang memiliki kuasa menarik anggota dewan dengan instrumen PAW jauh lebih ditakuti dari pemberi mandat kekuasaan, yang memang kontraknya sudah deal selesai hanya di bilik suara. DPR sudah tidak peduli dan sudah tidak kenal lagi apa itu abuse of power oleh penguasa Presiden dengan seluruh perangkat bawahannya, yang bebas dari pengawasannya DPR karena sudah ada kesepakatan sama-sama juga sebagai makhluk ghaib binaan para kapitalis. Kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia sudah dikudeta, dimanipulasi, dirampas dan direkayasa sedikit demi sedikit oleh petinggi partai politik lewat Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh kader-kader partai politik yang sudah diikat dengan hak PAW (Pergantian Antar Waktu) yang ada di UU MD3. Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan membela kepentingan umum (rakyat) berubah menjadi kacung-kacung dan jongos-jongos petinggi partai politik. Suara DPR juga sudah dirampas atau diambil-alih oleh para Buzer jalanan binaan penguasa. Lengkap sudah negara ini seperti hidup di alam Sambo, penuh kekerasan, penganiayaan, penuh rekayasa tipuan dan seenaknya membunuh manusia tanpa salah semata hanya menuruti nafsu makhluk ghaib yang ganas kejam dan bengis. Pada kondisi gedung DPR sudah berubah hanya dihuni makhluk ghaib, maka harus segera didatangkan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan negara. Segera ambil-alih dan caranya harus dengan kekuatan people power. Namun, people power tidak akan jalan jika mahasiswa diam saja. People power itu perlu untuk membubarkan DPR MPR yang sudah mandul dari peran fungsi dan tupoksinya. (*)