ALL CATEGORY

Lebih Baik Tidak Ada Pemilu Kalau Timbulkan Perpecahan, Kata Surya Paloh

Banda Aceh, FNN - Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh mengatakan lebih baik tidak ada penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) apabila pesta demokrasi itu mengakibatkan perpecahan bangsa Indonesia.\"Lebih baik tidak ada pemilu jika itu memberikan konsekuensi pada perpecahan bangsa ini,\" kata Surya Paloh di Banda Aceh, Senin.Surya Paloh mengatakan hal itu dalam sambutannya saat meresmikan Kantor DPW Partai NasDem Provinsi Aceh, di Banda Aceh. Dia menambahkan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 telah dijadwalkan untuk dilaksanakan, sehingga proses itu harus diikuti karena merupakan amanah dari konstitusi.\"Tapi, saya katakan sebagai Ketua Umum NasDem, untuk apa buat pemilu kalau bangsa ini harus terpecah?\" tegasnya.Menurut dia, pemilu harus dilaksanakan dengan syarat semua pihak yang terlibat menghormati perhelatan pesta demokrasi tersebut, menjaga keutuhan, serta merawat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.\"Maka, kita perlu mengambil pelajaran dari pemilu sebelumnya agar kualitas pemilu ke depan ini jauh lebih baik dari apa yang sudah kita lalui,\" katanya.Harus diakui, katanya, Pemilu 2019 sudah meninggal kesedihan, kepedihan, dan luka di hati sebagian masyarakat Indonesia, bahkan menimbulkan trauma. Menurutnya, perpecahan terjadi tidak hanya di kalangan masyarakat, melainkan hingga di lingkungan keluarga.Oleh karena itu, tambahnya, semua pihak harus memetik pelajaran dari apa yang sudah terjadi sebelumnya.\"Praktik polarisasi, pendiskreditan telah membawa ujaran yang tidak membesarkan hati, bahkan mengadu domba. Ini tidak boleh terulang,\" katanya.Dia meminta semua pihak dapat memiliki misi dan tanggung jawab serupa, baik partai maupun peserta pemilu legislatif harus mendorong pemilu lebih baik dan berkualitas, bukan merasa hebat atau paling benar sendiri.\"Posisi saat ini yang dibutuhkan bangsa, kelompok manapun itu, buang. Mari bersama membangun Indonesia,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)

Maksiat Politik

Negara ini seolah sudah menjadi miliknya dan mereka merasa paling berhak untuk mengatur dan kelola negara ini. Deal-deal politik yang terjadi selama tak ubahnya hanya untuk kepentingan pribadi/keluarga dan kelompoknya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih POROS merupakan salah satu bagian dari elemen mesin yang berputar di mana fungsi untuk meneruskan daya dari satu tempat ke tempat yang lain. Terjadinya fenomena poros koalisi partai politik akibat adanya Presidential Treshold (PT) 20% adalah gambaran sebuah poros yang pengungkit rodanya sudah patah, dari pijakan rakyatlah pemilik kedaulatan negara. Kemacetan proses Pilpres mendatang diakibatkan oleh gerakan serba semu. Elektabilitas hanya bersandar pada survei data palsu, pencitraan, dan tebar pesona, serta politik transaksional yang sudah menyentuh semua lini, yang menjadikan semua serba buram dan semu. Bahkan akhir-akhir ini viral tokoh capres muncul badut-badutan memakai slayer syal identitas umat Islam, mereka sudah tidak malu-malu lagi sedang mempermalukan dirinya sendiri – mereka masuk pada alam alienasi yang mereka sendiri tidak mengenalinya, hanya ingin memburu simpati untuk memanipulasi data dan politik identitas sempit Negara diselimuti praktik suap-menyuap, korupsi saling membagi, saling menjaga dan membentengi diri. Kabur siapa yang harus diawasi/dijaga dan peran siapa yang harus mengawasi dan menjaga. Negara sudah seperti hutan belantara yang terisi makhluk liar, siapa kuat dialah yang akan memenangkan pertarungan. Carut-marut kehidupan berbangsa semakin parah, dan semakin sulit untuk direstorasi ke kondisi semula. Sistem konstitusi palsu menjerumuskan negara menjadi berantakan, seperti bangunan yang sudah melampaui kapasitas elastisnya. Kehidupan negara ini sudah tanpa bentuk, kehidupan masyarakat semakin getas sehingga rapuh. Seperti kaca, bangunan itu rentan untuk pecah dan berantakan yang akhirnya ambruk. Negara masuk ke alam ketidaksadaran diri (kesurupan) tidak mengerti, benar- benar tidak paham, buta dan tidak menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan kemampuan umpan-balik untuk melakukan koreksi diri. Kewarasan sistem bernegara ini sudah kehilangan arah, buta, tuli, bisu dalam alam gelap, ini negara sedang meluncur menjadi negara maksiat politik. Akibat hampir semua pejabat negara sudah kesurupan masuk perangkap makhluk  Taipan dan Oligarki. Status negara sudah masuk klasifikasi negara gagal dan diperparah terjadinya krisis konstitusi, semua akibat salah kelola tanpa arah dan mengatur negara yang ugal ugalan. Akibat Pemimpin negara yang minim kapasitas, kemampuan dan kering kerontang dari sikap dan watak negarawan. Saat ini episentrum para Capres sudah jatuh pada perilaku dengan berbagai polah tingkah kemaksiatan politik yang serba liar. Bahkan, sampai ada politisi yang wanti-wanti jangan sampai cari pasangan tukang bakso segala. Padahal, dia lupa kalau selama ini, diantara pendukung partainya itu adalah mereka yang mencari nafkah dengan berjualan bakso. Lebih mulia tukang bakso ketimbang tukang malak bansos yang bukan haknya. Mereka pimpinan parpol sejatinya juga telah berbuat maksiat politik dengan memaksakan kehendaknya untuk menyodorkan kadernya menjadi Capres, meski kinerjanya tidak ada prestasi gemilang sama sekali. Negara ini seolah sudah menjadi miliknya dan mereka merasa paling berhak untuk mengatur dan kelola negara ini. Deal-deal politik yang terjadi selama tak ubahnya hanya untuk kepentingan pribadi/keluarga dan kelompoknya. Bisa disebut, negara ini sudah diatur oleh “mafioso politika” yang berkedok atas nama demokrasi. Bisa bisa disebut juga, bagian dari maksiat politik di Indonesia.     Bung Rocky Gerung saat wawancara dengan Bung Hersubeno Arief, sangat indah menggambarkan bahwa kemaksiatan politik akibat para Capres hanya bersandar pada survei data palsu, pencitraan, tebar pesona, terjebak pada PT 20 dan budaya suap-menyuap yang telah merambah di semua sudut praktek kemaksiatan politik. (*)

Glembuk Jokowi Vs Gertak Emak Banteng

Semoga saja glembuk itu tidak ditujukan sekaligus mendapatkan deal dengan Megawati guna menambah masa jabatan presiden tiga priode. Sekurangnya memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun dengan berbagai alasan.  Dalam tenggang waktu itu, bisa dimanfaatkan menaikkan elektabilitas Puan sambil mereduksi elektabilitas Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Andhika Perkasa.  Adakah deal itu yang tentu saja dapat dikategorikan  sebagai \"permufakatan jahat\" elit mengkhianati konstitusi bakal menjadi kenyataan.  Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.  DALAM talkshow Indonesia Lawyers Club ( ILC) terbaru, yang disiarkan Channel YouTube TVOne Jumat (25/6) malam, saya  menyebut istilah \"Glembuk Jokowi\". Glembuk -- dikenal sebagai strategi politik dalam kultur Jawa -- berhasil digunakan Presiden Jokowi untuk melunakkan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri yang murka pada hari pembukaan Rakernas partainya, Selasa (21/6). Dalam  pidatonya Megawati awalnya menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. \"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati. Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,\" kata  Megawati lantang.  Dia tidak menyebut nama, tapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju.\" Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out!,\" sambungnya lagi dalam _tone_ yang sama lantangnya.  Ekspresinya pun menyokong itu.  Pidato Megawati itulah yang diangkat dalam diskusi ILC yang dipandu wartawan legendaris Karni Ilyas. Temanya, \"Suhu Politik Makin Panas, Sebenarnya Mega Marah Sama Siapa?\" Para pembicara : Rocky Gerung, Adian Napitulu, Prof Tjipta Lesmana,  Ray Rangkuti, Efendy Choiri, Ruhut Sitompul, dan Ilham Bintang.   Diskusi berlangsung Lebih kurang 100 menit. Karni menyusun rapi penampilan pembicara, saya yang diminta mengawali dan Rocky Gerung yang mengakhiri.  \"Saya persilahkan Ilham berbicara pertama karena dia yang hari Rabu langsung menulis komentar tentang Ibu Megawati di Ceknricek.com, \" Karni membuka. Dalam artikel, \"Belum Pernah Saya Melihat Ibu Mega Semurka Itu,\" saya menyayangkan Megawati murka pada acara pembukaan Rakernas PDI-P. Kasihan. Seharusnya, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) Mbak Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan PDI-P. Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmatNya.\" Artikel tersebut juga dimuat di FNN.co.id. Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu,  dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei tetap  menempatkan PDI-P pada posisi elektabilitas tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK.  Hasil survei Litbang Kompas teranyar, PDI-P bukan hanya masih  bertengger di puncak rangking, tetapi mengalami kenaikan pesentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah.  Kurang apa lagi? Gelar Doktor (sudah 9 dan menyusul lagi 5, menurut Mega) dan bahkan gelar Professor kehormatan pun sudah diraih. Tak cuma itu. Lihat juga kedigdayaan Megawati dalam pertemuan sebelumnya dengan Jokowi di ruang kerjanya. Presiden Jokowi menghadapnya dalam posisi seperti menghadap Ratu. Dalam video yang sengaja diunggah (entah oleh siapa) Mega  seakan berpesan kepada publik, kepada lawan-lawan politiknya dia lah yang terhebat. Namun,  sayang dalam pidatonya di Rakernas Megawati pun \"jebol\". Tidak bisa menyembunyikan kemurkaannya.  \"Marah kepada siapa,\" tanya Karni.  Ya, kepada banyak pihak. Persis seperti banteng terluka menyeruduk siapa saja yang mengganggu dan menghalangi jalannya. Tetapi, fokusnya kepada Jokowi dan Ganjar Pranowo. Sudah jadi rahasia umum, sejak awal tahun ini hubungan Jokowi dan Megawati renggang. Jokowi mengakui sendiri keadaan itu (hubungan renggang) karena sebagai anak, dia memang kadang nakal kepada ibu (Megawati).  Protes Warga  Perlakuan Mega ketika menerima Jokowi di ruang kerjanya, benar saja : memantik reaksi masyarakat. Pegiat media sosial Ade Armando memprotes  ketika menonton  video viral berisi suasana pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri itu.  Ia menyoroti beberapa hal di video viral tersebut. Pertama, dia mengkritik soal kursi yang diduduki  Jokowi pada pertemuan tersebut. \"Tidak pantaslah presiden diberi kursi semacam itu, \" tulis Ade di akun Instagram pribadinya @adearmando1961. Keduanya kemudian dipisahkan sebuah meja. Tampak, Jokowi duduk di kursi kayu, sementara Megawati duduk di kursi hitam yang  empuk. Ade juga menyoroti sikap Puan Maharani yang _selfie_ dengan membelakangi Presiden Jokowi. Pengamat politik senior Abdillah Toha ikut mengecam pertemuan yang terkesan melecehkan Presiden Jokowi.  Soal Ganjar Meski tidak menyebut nama, kemurkaan Megawati jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo. Dia menganggap Ganjar \"melangkahinya\". Melecehkan putusan Kongres PDI-P yang telah memberinya hak prerogatif  memutuskan calon presiden dari PDI-P.  Setelah diam sekian lama, rupanya Megawati turut  terganggu atas hasil survei yang menempatkan elektabilitas kadernya selalu teratas. Juga pada aksi deklarasi relawan \"Ganjar Pranowo RI-1 \".  Terbaru, Ganjar masuk pula dalam daftar bakal capres  2024 Partai Nasdem. Padahal, tidak bisa ditutupi  calon PDI-P adalah Puan Maharani, karena dia representasi trah Bung Karno. Itu dikonfirmasi oleh Puan sendiri ketika ditanya wartawan dalam kunjungannya bersama Jokowi ke Ibu Kota Negara Baru, di Penajam, Kalimantan Timur, tiga hari lalu. Beberapa bulan terakhir ini banyak kader PDI-P  yang sudah lebih dulu secara terang benderang menyerang Ganjar. Dalam konteks itulah saya menyayangkan sikap Megawati yang bukannya menengahi, malah terprovokasi menunjukkan kemurkaannya secara terbuka. Saya khawatir kemarahan yang berlebihan kepada Ganjar bisa menjadi bumerang baginya dan PDI-P. Justru serangan itu dapat mengantarkan Ganjar  ke Istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.  Bagaimana dengan Jokowi?  Saya melihat Megawati  tampak lebih melunak dan bahkan \"lumat\" dibuat oleh Jokowi hari itu. Ayah Gibran dan mertua Bobby Nasution tersebut menggunakan strategi politik Glembuk Jawa. Sebelumnya, Jokowi sambil bercanda - canda  jujur mengakui memang sering nakal.  Puncaknya, pada pembukaan Rakernas PDI-P Megawati dibuat \"meleleh\" dengan Glembuk itu.  Dengarkan pujian Jokowi  di awal sambutannya. \"Sejak pagi saya perhatikan, Ibu Megawati memang sangat cantik sekali dan kharismatis,\" ucapnya.  Dan, Megawati pun merespons lebih banyak memberi pujian kepada Jokowi daripada yang diterimanya. Semoga saja Glembuk itu tidak ditujukan untuk sekaligus mendapatkan _deal_ dengan Megawati untuk menambah masa jabatan presiden tiga priode. Sekurangnya memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun dengan berbagai alasan.  Dalam tenggang waktu itu, bisa dimanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas Puan sambil mereduksi elektabilitas Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Andhika Perkasa.  Adakah _deal_ itu yang tentu saja dapat dikategorikan  sebagai \"permufakatan jahat\" elit mengkhianati konstitusi bakal menjadi kenyataan. Strategi Glembuk Di dalam tayangan ILC saya tidak sempat mendeskripsikan tentang Glembuk mengingat durasi berbicara yang terbatas. Banyak yang menagih saya penjelasan mengenai Glembuk itu.  Sekarang sedikit saya jelaskan. Dalam literatur, Glembuk dalam kultur Jawa, adalah cara atau tekhnik mengambil dan melunakkan hati kawan maupun lawan dengan cara antara lain merendahkan diri sambil memuji kelebihan kawan. Glembuk juga menjadi strategi merangkul dan menaklukkan musuh.  Sejak mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI strategi itu melekat pada Jokowi.  Mulai dari masuk gorong-gorong, serta penampakan kesederhanaan dalam berpakaian menjadi antitesa umumnya para pejabat. Puncaknya ketika berhasil \"meringkus\" Prabowo Subianto menjadi pembantunya di kabinet, dari sebelumnya sebagai kompetitor dalam dua kali pilpres.  Dalam penelitian Bambang Hudayana, seorang antropolog UGM yang menulis  \"Glembuk, Strategi Politik Dalam Rekrutmen Elite Penguasa di Desa Pulungsari Yogyakarta\" ia mengkonfirmasi bagaimana glembuk bekerja. Glembuk di artikan sebagai suatu cara “halus” untuk membujuk masyarakat atau tokoh memberikan dukungannya saat pemilihan kelak. Bujukan ini bisa diartikan dalam lingkup yang banyak. Bisa berupa memberikan jabatan tertentu atau memberikan berupa “sumbangan” kebutuhan masyarakat atau desa. Dalam glembuk, kata kunci yang tepat adalah sedikit merendah dan dengan sikap halus. Tak peduli itu lawan sekali pun. Menggunakan glembuk berarti juga mencoba merangkul lawan politik agar mau mengalah dan memberikan dukungannya. Tentu ada “imbalan” dalam prosesi ini. Desa Pulungsari yang dijadikan tempat penelitian Bambang Hudaya mengalami arti glembuk yang sebenarnya. Dengan sikap “basa-basi” dan halus, para elit warga yang hendak menjadi pemimpin di desa itu mendatangi para tokoh warga. Memberikan sumbangan dan kebutuhan tertentu, dianggap sebagai balas jasa yang harus dilakukan demi mendapat sebuah restu. Tentu ini menarik, sesuatu yang dianggap politik uang, diterjemahkan menjadi sebuah imbal jasa yang wajar.  Rocky Bintang ILC Rocky Gerung kembali menjadi bintang ILC malam itu. Dalam sehari penayangannya, tercatat ILC ditonton hampir 500.000 orang  dengan komen sebanyak 5.300, yang hampir seluruhnya memuji Rocky. Like ILC 9300 dan nol dislike.   Malam itu, Rocky kembali menyatakan, gegeran tidak akan berhenti dalam dunia politik di Indonesia selama   Presidential Threshold yaitu minimal punya 20% suara/kursi partai di parlemen untuk mengajukan calon presiden, masih berlaku.  \"Selama ketentuan  mengenai  ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh Parpol tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, jangan berharap ada demokrasi di negeri kita,\" ucap Rocky. Dunia politik Indonesia, sambung Rocky, selamanya hanya akan melahirkan tragedi seperti dalam dramaturqi Yunani. Akan selalu ada pengkhianatan, pembangkangan dan darah. \"Sebab, dengan presidential threshold sebesar itu demokrasi Indonesia hanya menjadi permainan oligarki. Mereka sudah mengantongi tiket untuk kompetisi, sementara banyak parpol masih harus banting tulang seperti anjing yang mengumpulkan tulang-tulang atau remah-remah dari sisa makanan di bawah meja makan pesta oligarki,\" papar Rocky bermetafora.  Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk \"sedikit\" dan \"memerintah\".  \"Bung Rocky diberikan kesempatan terakhir berbicara setelah menangkap konsep dan pemikiran para narasumber yang bercerita, berasumsi, beretorika plus sugesti. Dalam kurang dari 10 menit, berhasil memberikan pencerahan pada filosofi demokrasi sebagai executive summary . Klimaks. Terima kasih Bang Karni Ilyas sudah menjadi sutradara drama ini. Dan, para nara sumber lainnya yang sudah berperan apik sesuai perannya masing-masing. \"Sesungguhnya rakyat Indonesia lah atas kekuasaan tertinggi di negara ini. Jadi, siapa pun nanti di atas yang mewakili suara rakyat, jangan ambil peran sebagai komparador-komparador di panggung sandiwara politik ini, \" itu komentar netizen atas nama Indra Maret. Izin komentar itu saya jadikan penutup tulisan ini. (*)

Masih Mungkinkah Prabowo Subianto Menjadi Presiden?

Oleh Asyari Usman Jurnalis Senior FNN  Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo mendominasi percakapan publik terkait pilpres 2024. Singkatnya, salah satu diantara mereka “hampir pasti” akan masuk ke Istana. Premisnya, kalau tidak Anies, pasti Ganjar; kalau tidak Ganjar, pasti Anies. Premis ini didasarkan pada kalkulasi sosial-politik yang ada saat ini. Artinya, peluang serius untuk menjadi presiden pada 2024 itu hanya ada pada mereka berdua. Tetapi, apakah Anies dan Ganjar bisa dikatakan menutup pintu bagi figur-figur lain? Rata-rata pemerhati politik melihat seperti itu. Ini diperkuat oleh hasil survei Polmatrix yang menempatkan Anies di posisi teratas (20.8%), Prabowo (19.3%), Ganjar (18.8%). Nah, bagaimana dengan Prabowo Subianto? Apakah beliau tidak diperhitungkan lagi? Jika dicermati gelagat publik, memang preferensi pemilih tertuju pada figur-figur yang lebih muda. Namun, ini bukan satu-satu faktor. Ada sisi kapabilitas dan integritas. Muda, kapabel, dan berintegritas. Tiga karakter ini yang menjadi tuntutan rakyat.  Jika ini parameternya, masih mungkinkah Prabowo menjadi presiden? Secara normatif, masih mungkin. Beliau bisa maju bersama Ketum PKB Muhaimin Iskandar seperti terlihat dari koalisi dua partai yang mereka bentuk. Bisa saja. Cuma, situasi yang dihadapi Prabowo tak sesuai dengan isyarat yang menjanjikan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bu Ketum selama ini mengesankan bahwa Prabowo akan menjadi capres “nomor jadi” untuk 2024. Belakangan ini, itu tidak terlihat lagi. Megawati pelan-pelan meninggalkan Prabowo. Ada agenda lain di kubu Banteng. Seiring dengan ambisi beliau untuk menaikkan Puan Maharani ke, setidaknya, kursi wakil presiden. Artinya, Prabowo akan menghadapi realitas yang jauh lebih menyakitkan dibanding tipu muslihat pilpres 2019. Dia akan melihat betapa figur politik yang sangat ia hormati dan ia harapkan di pilpres 2024, akan kembali memperdaya dirinya.[]

Di Depan Keluarga Pinrang, LaNyalla Sebut Pasal 222 MK Koyak Persatuan Bangsa

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali lagi menegaskan Mahkamah Konstitusi harus menghapus Presidential Threshold yang diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain tidak derifatif dengan Konstitusi, pasal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu polarisasi di masyarakat yang mengoyak semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, DPD RI sebagai Lembaga Negara yang secara resmi telah mengajukan gugatan Judicial Review ke MK terkait pasal tersebut masih menunggu sikap MK sebagai lembaga penjaga konstitusi. “Apakah MK akan membiarkan Pasal 222 tersebut terus-menerus menjadi pemicu polarisasi di masyarakat dan merugikan bangsa? Ataukah akan berdiri bersama rakyat Indonesia,” kata LaNyalla secara virtual dalam Pelantikan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Pinrang (BPP KKP) 2022-2027, di Jakarta, Ahad (26/6/2022). Dijelaskannya, aturan presidential threshold memaksa partai politik bergabung untuk dapat mengusung calon. Sehingga dalam dua kali pilpres, rakyat hanya diberi dua pasang calon. “Saya selalu sampaikan bahwa polarisasi bangsa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir harus kita akhiri. Polarisasi di masyarakat jelas sangat tidak produktif dan menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika. Polarisasi juga mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa,” papar dia. Selain itu, ambang batas juga menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi untuk ikut membiayai proses Pilpres yang mahal. Hal inilah yang kemudian menyandera Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam mengambil kebijakan dan mewujudkan janji kampanye. “Siapapun capres dan cawapres tahun 2024, selama oligarki ekonomi terlibat membiayai, maka akan sulit untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya. Sudah menjadi watak oligarki ekonomi, apalagi yang sudah menyatu dengan oligarki politik, untuk menyandera kekuasaan dan memaksa kebijakan negara berpihak kepada kepentingan mereka,” ucapnya lagi. Itulah inti dari permasalahan kebangsaan hari ini. Permasalahan yang bersifat fundamental dan berada di wilayah Hulu, bukan di wilayah Hilir. Sehingga penyelesaiannya juga harus dengan pendekatan yang fundamental. “Pendekatan fundamental yang saya maksud adalah dengan memurnikan kembali demokrasinya. Yaitu mengembalikan demokrasi dari kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur,” tegasnya. Dan untuk dapat melakukan itu, kita harus kembali kepada Pancasila sebagai falsafah dari Konstitusi kita. Sebagai sumber inspirasi dari semua Pasal-Pasal yang ada di dalam Konstitusi kita. “Karena Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa adalah grondslag yang paling sesuai dengan karakter dan DNA asli bangsa ini,” imbuhnya. Makanya LaNyalla menegaskan, organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat seperti Kerukunan Keluarga Pinrang mutlak diperlukan sebagai bagian dari yang menggugah kesadaran kita sebagai bangsa. Bahwa oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat. Sebab, Kedaulatan Rakyat semakin terkikis sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002 silam. “Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila, dimana semua elemen bangsa yang berbeda-beda harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara. Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan, meninggalkan perekomian berdasar azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun oleh mekanisme pasar,” tukas LaNyalla. Makanya, untuk menghentikan kerusakan di negara ini, LaNyalla mengajak kembali kepada sistem Demokrasi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila. Hadir dalam acara itu Ketua Umum BPP KKP Abdillah Natsir beserta jajaran pengurus, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, perwakilan Gubernur Sulawesi Selatan, Rektor Universitas Hasanuddin selaku Ketua Dewan Pakar BPP KKP, Bupati Pinrang, Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Pinrang, Pengurus KKP Tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota se-Indonesia, tokoh masyarakat Pinrang dan warga KKP se-Jabodetabek. (mth/*)

Damaikan Ukraina-Rusia: Indonesia Bahaya, Bisa Diabaikan Amerika!

PRESIDEN Joko Widodo bertolak mengunjungi empat negara, yakni Jerman, Ukraina, Rusia hingga Uni Emirat Arab (UEA), dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Ahad (26/6/2022). Dalam keterangannya sebelum keberangkatan, yang disaksikan secara daring dari Jakarta, dia menyampaikan bahwa kunjungan ke Jerman dalam rangka menghadiri KTT G7 yang diselenggarakan pada 26-28 Juni 2022.Posisi Indonesia dalam G7 adalah sebagai negara mitra sekaligus diundang sebagai negara Ketua G20. Agendanya, setelah itu, Jokowi akan menemui Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky di Kiev, Ukraina, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin di Moskow, Rusia, untuk mengajak keduanya membuka ruang dialog perdamaian atas perang yang terjadi antara kedua negara.Kemudian setelah itu Jokowi akan berkunjung ke Uni Emirat Arab untuk melanjutkan kembali pembahasan kerja sama ekonomi dan investasi antara Indonesia dengan Uni Emirat Arab. Jokowi berinisiatif ingin menjadi “juru damai” masalah Ukraina dengan Rusia. Topik menarik ini dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (27/6/2022). Berikut ini petikannya. Jokowi kemarin terbang ke Jerman itu menghadiri acara G7. Sebenarnya fokus G7 lebih pada kredensial, ketemu-ketemu soal kerjasama. Tapi ada yang serius yaitu Jokowi ke Ukraina dan Rusia. Sebenarnya apa agendanya yang diharapkan Jokowi dari kunjungannya itu, mengingat bagaimanapun profil Indonesia sekarang ini di dunia internasional bukan high-profile lagi. Ini beliau bukan diundang tapi mencoba menginisiatif untuk mengupayakan perdamaian di kawasan itu. Ya itu problemnya karena bagi publik atau pengamat politik internasional kita akan jadi penengah di situ. Apalagi yang datang figur Presiden Jokowi, yang dianggap oleh dunia internasional kemampuan dia untuk berdiplomasi rendah sekali. Kan kalau kita menjadi penengah kita musti punya moral standing yang kuat bahwa bangsa ini juga utuh sehingga akan didengar oleh internasional. Bahwa ekonomi kita cukup tangguh untuk menjadi landasan, kita tidak ada problem dalam negeri, lalu ingin keluar negeri menyelesaikan masalah orang lain. Kan dia disebut sebagai daya tahan dalam negeri untuk dijadikan profil dalam diplomasi internasional. Kalau sekedar ingin ketokohannya, Jokowi bisa kirim beberapa orang yang mungkin justru lebih diterima di dunia internasional, Pak JK (Jusuf Kalla) atau Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) misalnya, yang punya pengalaman diplomasi. Jadi kalau langsung Presiden Jokowi datang ke Ukraina dan Rusia, itu artinya dia mau bikin headline di dalam negeri, bukan di luar negeri. Kan tidak akan dianggap oleh luar negeri, ini ngapain presiden. Lain kalau misalnya ada keputusan PBB minta beberapa negara, termasuk Indonesia, untuk jadi semacam yang dulu biasa disebut komisi penengah. Jadi ini sebetulnya orang akan anggap pencitraan saja. Apalagi kalau politik internasional itu dikaitkan dengan financial player yang melihat Indonesia ini negara yang bakal mengikuti Sri Lanka, mau bangkrut, karena enggak mampu mengolah inflasi, enggak mampu mengelola utang, segala macam. Jadi soal-soal semacam ini akan diulas dengan sangat tajam oleh masyarakat internasional. Tapi okelah karena Indonesia punya semacam prinsip ikut serta dalam membangun perdamaian dunia, lalu dianggap sebagai itu sesuatu yang sensasional. Padahal, sebetulnya waktu kita menyebutkan Indonesia itu non-blok dan ikut memberi perdamaian dunia, itu betul-betul karena faktor figur dari Presiden Soekarno yang sangat kuat kemampuan dia untuk tampil secara profesional dan intelektual di forum internasional. Nah ini Jokowi bisa berbahaya kalau ada wawancara dengan Jokowi tentang apa sebetulnya yang sekarang relevan untuk dijadikan dasar Indonesia ikut dalam perdamaian dunia. Enggak ada. Enggak ada point-nya nantinya. Itu bahayanya di Asia Tenggara, Indonesia sudah bukan lagi pemimpin Asia Tenggara, Indo-Pasifik, Indonesia diabaikan oleh Amerika Serikat. Jadi soal-soal semacam itu. Tapi kita mau lihat ini sebagai seperti yang saya terangkan, akan jadi berita di dalam negeri lalu dieksploitasi oleh buzer atau pendengung bahwa kita berhasil bertemu. Bukan bertemu point kita, apa yang akan diusulkan. Amerika Serikat tentu tetap dalam posisi, Indonesia ini mencla-mencle. Tak tahu apa posisinya tiba-tiba ada di sana di tengah-tengah ketegangan NATO dan Rusia. Padahal Amerika Serikat menginginkan posisi Indonesia dalam politik proksi. Indonesia ambil inisiatif. Inisiatif itu nggak ada basisnya. Kira-kira begitu jika saya gambarkan percakapan yang sekarang berlangsung. Mungkin pers Eropa sekarang udah dapat redaksi untuk cari tahu apa point-nya yang akan kita tanyakan pada presiden Indonesia. Kira-kira kita perlu mengucapkan ini dengan serius, bukan kemudian dianggap kita selalu nyinyir kepada Jokowi. Tapi serius kita pertanyakan soal ini karena sekali ini buzer tidak mungkin bisa menggoreng seperti biasa saja karena pers International pasti langsung menyoroti itu. Dan saya kira ini sangat berbahaya. Itu bisa menjadi satu dari itu beberapa hal yang (kalau memang tidak ada pokoknya) akan semakin memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Karena kemarin kita juga membahas bahwa Jokowi ini sudah mulai disorot dunia internasional dalAm soal menggunakan isu radikalisme untuk menindak musuh-musuhnya di dalam negeri. Yang kedua, ini kan juga masuk ke wilayah yang sangat berbahaya kalau kita masuki. Meskipun ada pengamanan yang sangat ketat, risikonya sangat tinggi. Jadi jujur memang, saya dalam beberapa hari ini bertanya-tanya kenapa Pak Jokowi tetap mengambil langkah itu. Okelah kalau bertemu dengan dengan Zalensky mungkin itu bisa dianggap sebagai sebuah dukungan, tapi bertemu dengan seorang Putin yang profilnya di dunia internasional luar biasa tinggi, yang dia dengan negara-negara besar seperti Amerika dan negara Eropa pun dia bisa abaikan, apalagi dengan Indonesia? Ini yang bahaya adalah pasca-kunjungan itu, yang nggak ada point. Kan tetap orang melihat point Indonesia apa? Mungkin Putin juga akan memakai kaus oblong. Ellon Musk saja pakai kaos doang. Putin bagaimanapun juga ingin memanfaatkan posisi Indonesia sebagai bemper di dalam persaingan dengan Amerika Serikat. Jadi idenya tentu bagi Putin ya gue manfaatin saja, mumpung Presiden Jokowi datang, lalu dia puter headline-nya nanti bahwa Indonesia itu sebetulnya lebih cocok bergaul dengan Rusia karena Presiden Soekarno dulu juga ada di dalam blok Rusia. Itu lebih gila lagi. Lalu Amerika marah besar dan kita nggak punya kemampuan untuk menahan kemarahan Amerika. Karena, bahkan satu peluru pun kita masih tergantung pada Amerika dalam soal persenjataan. Jadi hal-hal semacam ini memungkinkan kita untuk pada akhirnya harus merumuskan bahwa Presiden Jokowi sedang berupaya untuk menaikkan elektabilitasnya, yang sebetulnya nggak perlu lagi itu. Justru itu berbahaya bagi bangsa ini karena kan tetap ketegangan itu soal keputusan, mau pro NATO atau pro Blog Rusia dan proksinya China itu. Jadi, sekali lagi, bagi mereka yang ingin mengamati politik dunia di dalam gejala kita sekarang kita masuk dalam realisme itu bahwa NATO sudah siap-siap buat menyerbu; Amerika Serikat sebagai superpower menganggap China sebagai pengganggu sementara, walaupun China pasti blingsatan juga kalau diancam betul-betul secara resmi oleh Amerika. Karena ekonomi China nggak mampu untuk membiayai perang yang panjang, sementara Amerika menguasai ekonomi dunia, walaupun ada stagnasi tapi tetap orang pakai parameter Amerika, terutama kekuatan dolarnya. Jadi kita balik lagi tadi bahwa Indonesia kalau mau menyatakan diri misalnya, kami ingin ada perdamaian. Di dalam negeri sendiri Islamofobi masih tumbuh, pembelahan-pembelahan segmented antara kaya dan miskin itu juga kuat sekali terjadi. Jadi tidak ada dasarnya Indonesia ikut campur atau berupaya menunjukkan diri sebagai mampu untuk jadi jembatan konflik di Eropa. Jadi, sekali lagi, ya bagus juga sekedar memberitahu bahwa ya kita peduli, tapi kepedulian itu kan basisnya adalah kematangan politik dalam negeri yang justru fatal dalam banyak hal. Ya, saya sepakat dengan Anda tadi bahwa harusnya begini ini mestinya level-levelnya, jangan langsung presiden. Presiden ini kan (kalau istilah permainan sepakbola) tinggal mengegolkan. Kalau ada proses, di level-level bawah atau ministing tingkat kementerian baru kemudian ke level presiden. Ini kan langsung Pak Jokowi terjun bebas. Tapi, apapun kita berharap Pak Jokowi bisa pulang dengan selamat, dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, meskipun jujur kita mesti mengatakan kita pesimis. Itu point kita selalu. Kan dalam diplomasi ada yang dibereskan supaya begitu presiden datang mutunya itu tinggalkan wawancara, atau tinggal deklarasikan bahwa sudah ada point yang dibuat Indonesia. Di sini nggak ada satu berita bahwa Departemen Luar Negeri sudah lakukan semacam pertemuan Menteri Luar negeri, Departemen Pertahanan sudah bujuk-bujuk Putin supaya nahan sedikit-sedikit. Itu tidak terjadi. Tiba-tiba presiden datang ke situ. Itu artinya, sama seperti pionnya belum berjalan, rajanya sudah maju ke depan. Lalu sasaran tembaknya terbuka di dalam the fields yang masuk ke ranah bidiknya. Kan berbahaya itu. Ya, dalam hal ini, karena Pak Jokowi ini ke dunia internasional, ke luar negeri, ini mewakili bangsa Indonesia, mewakili kita semua juga. Tetapi kita musti menyuarakan itu karena ini wajah kita juga dipertaruhkan oleh Pak Jokowi di dunia internasional. Itu point kita sudah begitu. Bahwa wajah Presiden itu adalah wajah bangsa. Tiba-tiba datang ke sana dan orangnya cerca atau orang lecehkan. Ngapain ini anak kecil ngikut-ngikut pertarungan orang gede-gede. Kira-kira begitu. Itu kalkulasi yang musti kita hitung. Lain kalau kita memang sudah pastikan kita punya profil kuat maka kita akan didengar oleh Putin dan itu akan menjadi point bagi Amerika untuk mengukur kembali kekuatan Putin. Jadi kita mau kasih pesan pada Amerika sebetulnya, bukan pada Putin. Dan Putin menganggap ya apa iya dia boleh, tapi ya ini kayak lampiran yang ditaruh di nomor 12 mungkin dalam desain politik Rusia. Atau jangan-jangan lampiran yang nggak sempat dijepret sehingga tercecer di mana-mana. Mudah-mudahan pesimisme kita ini enggak terbukti. Kita selalu berharap yang terbaik untuk bangsa. (mth/sws)

Bersatu Kita Runtuh, Bercerai Kita Teguh

Tak ada kata yang lebih pas dan lebih tepat utuk melukiskan Indonesia,  selain dengan sebutan sebagai negara kontradiksi atau paradoks. Dasar negara dan falsafah hidup bangsanya Pancasila, tapi kehidupan rakyatnya ditopang prinsip-prinsip kapitalisme dan komunisme. Konstitusinya pun secara substansi dan esensi, bahkan  telah berubah dari UUD 1945 menjadi UUD 2002, meski secara tersurat masih menggunakan penamaan lama. Sementara NKRI, menjadi seolah-olah  di tengah dominasi kelompok minoritas, etnis tertentu yang berkuasa penuh  dan begitu maraknya dramatisasi  primordialisme, sektarianisme  serta politik identitas. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  SEGELINTIR orang kaya terus bertumbuh dan berkembang.  Di lain sisi kebanyakan rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan. Sumber daya alam yang berlimpah yang dikuasai negara, terlanjur diberikan dengan mudah dan cuma-cuma pada kalangan terbatas. Ada pejabat negara, ada politisi dan ada juga korporasi yang menikmati fasilitas dan aset negara secara berlebihan. Mereka semua yang secara perlahan namun cepat, telah menjadi mioritas yang menguasai mayoritas. Meniadi predator kecil yang mampu menerkam mangsa yang besar. Kekuatan oligarki dengan segala persekongkolannya dengan aparatur pemerintahan, secara terstruktur, sistematik, dan konstitusional berhasil menjadi kolonialis baru bagi rakyat, negara dan bangsa  Indonesia. Prose penyelengaraan negara mutlak dirasuki praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hukum telah menjadi senjata efektif dan mematikan bagi orang-orang berpengaruh. Membutan luka yang menyayat bagi rakyat jelata menjadi obat yang menyembuhkan bagi sakitnya para kelompok lingkar kekuasaan.  Jabatan dan harta telah menjelma menjadi agama baru, disembah dan menghadirkan ritual yang membunuh kemanusiaan. Politik diterjemahkan secara kotor dan keji sebatas siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Siapa yang menang dan  siapa yang dikalahkan, juga siapa yang memangsa dan siapa yang dikorbankan. Soal ekonomi, seperti perlombaan merebut sumber daya  makanan dan enegi, harus ada monopoli pasar yang berhak menentukan mana yang harus disuplai dan mana yang boleh ditelantarkan. Siapa saja yang boleh dipertahankan hidup sebagai manusia dan siapa saja yang wajar  harus mati layaknya binatang. Realitas obyektif suatu negara bangsa dimana hanya ada keuangan yang maha kuasa. Betapa mengerikan kehidupan rakyat yang menyerahkan jiwa raga sepenuhnya kepada yang memiliki otoritasa negara. Sepanjang sejarah dan peradabannya, rakyat utamanya yang kecl-kecil dan berada di pinggiran, akan selalu menjadi budak dan korban eksploitasi. Menjadi orang-orang tertindas dan teraniaya, dari jaman kuno hingga jaman modern. Dari kebijakan sistem dan perilaku bangsa asing maupun oleh bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus rela  dan ikhlas,  menjadi babu di negara lain dan menjadi jongos di negeri sendiri. Hidup sebagai bangsa yang begitu berlimpah kewajibannya namun cekak haknya sebagai warga negara. Kalau sudah begini dan kejadiannya seperti itu, rakyat  negara dan bangsa Indonesia mau apa lagi dan bisa bikin apalagi?. Kemana perginya cita-cita proklamasi yang didengungkan para pendiri bangsa tentang kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas?. Lalu bagaimana dengan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang dijamin konstitusi?.  Kemudian bagaimana juga dengan persatuan dan kesatuan bangsa, tentang gotong-royong, dan soal-soal keadilan yang ada pada manisnya slogan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI?. Kemana semua narasi dan jargon-jargon nasionalisme serta patriotisme yang  begitu memesona dan menggugah?. Di mana letak  tersembunyi kemanusiaan dan Ketuhanan  di negeri yang katanya religius?. Tampaknya, bangsa ini tak bisa lagi berhubungan mesra dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena begitu intim dan dalamnya merasakan kehangatan dan kenkimatan  liberalisasi dan sekulerisasi. Begitupun juga  kultur dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama tenggelam, terseret arus deras degradasi dan disintegrasi  sosial. Rakyat begitu mengabaikan  nilai-nilai ideal  dan terasa nyaman menikmati yang tidak ideal. Mungkin individualitas dan egosentris yang telah berkembangbiak lebih subur dalam negara yang masyarakatnya sarat spiritualitas. Boleh jadi yang perlu diprioritaskan selama ini berupa *\'terserah gue dan yang penting gue selamat\'*, telah menjadi nilai-nilai massal dalam masyarakat Indonesia. Hidup berkumpul dalam komuitas besar republik, namun mengambil lakon hidup masing-masing tanpa keharmonisan dan keselarasan. Terlanjur sayang dan larut dalam mabuknya suasana bersatu kita runtuh bercerai kita teguh.  Seakan membawa kenangan polemik klasik saat awal kelahirannya, Republik Indonesia lebih tepat sebagai negara kesatuan atau negara federalis?. Munjul-Cibubur, 27 Juni 2022.

Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia

Jakarta, FNN – Sekolah Legislatif Tamsil Linrung mengadakan edisi Dialog Pakar dengan tema “Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia” oleh Prof. Dr. Eko. Prasojo, Mag. rer. publ (Akademisi Universitas Indonesia / Wakil Menteri PANRB 2011-2014), Ahad (26/6/2022) di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong. Prof. Eko menyambut dengan baik dan gembira bahwa sekolah legislatif melakukan pendidikan politik kepada kader anak bangsa sebagai calon anggota legislatif dan calon pimpinan eksekutif dalam tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Pendidikan politik yang dilaksanakan sekolah legislatif ini sangat diperlukan dalam konteks pengembangan demokrasi dan birokrasi Indonesia. Ada tiga hal yang dibahas untuk menata ulang arsitektur Indonesia, pertama demokrasi itu sendiri, kedua ketatanegaraannya, ketiga birokrasinya. Sebab ada ketimpangan antara percepatan kita di dalam kehidupan demokrasi dengan kemampuan kita untuk melembagakan demokrasi di dalam layanan publik di masyarakat. Dalam hal ini, Prof. Eko menekankan ada dua ilmu yang paling penting untuk dipelajari yakni ilmu kebijakan publik dan ilmu manajemen publik. Kedua ilmu ini sangat penting untuk para anggota dewan, kalau ilmu politik tentu sudah banyak dipelajari. Indeks Demokrasi Indonesia menurut indikator 2020-2021 menurun di bawah enam puluh. Global Governance Index meliputi aktivitas pemerintahan dan bagaimana pemerintahan itu bisa memberi pelayanan kepada masyarakat. Dalam proses demokrasi Indonesia memiliki tiga problem, pertama penggunaan kekuasaan, kedua lemahnya kelembagaan pemerintahan, ketiga lemahnya persoalan kapabilitas kepemimpinan. Sebagai contoh, di Indonesia ini tidak ada lembaga yang betul-betul mengawasi uang dan kinerja, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu lebih ke financial audit bukan performance audit. Prof. Eko juga menyampaikan bahwa penyakit negara kita yang paling besar adalah korupsi. Penyakit sentralnya korupsi dan turun dengan berbagai macam penyakit turunan, seperti penyakit di ranah hukum dan di birokrasi. Biasanya korupsi itu melibatkan politik, birokrasi, dan penegak hukum, di belakangnya ada pengusaha yang tidak kelihatan (shadow government) yang biasa kita sebut oligarki. Kalau persoalan mengenai Pilpres, saat ini orang-orang hanya fokus pada popularitas, padahal seharusnya bukan hanya soal popularitas saja namun dengan capability untuk memimpin Indonesia seperti apa. Syarat menjadi presiden itu ada tiga, pertama memiliki popularitas yang tinggi, kedua memiliki partai politik yang mendukung, ketiga memiliki modal. Lebih lanjut, Prof. Eko mengusulkan untuk pilpres itu harus seimbang antara popularitas dan kapasitas, memang problem pilpres itu lebih ke modal. “Karateristik birokrasi kita itu patronis atau patronase atasan dan bawahan, kalau atasan bagus, cepat sekali bawahan mengikuti,” tegas Prof. Eko yang merupakan profesor termuda di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ketika masih berumur 33 tahun. Ia juga ahli di bidang Kebijakan Publik dan  merupakan guru besar Fakultas Ilmu Administrasi UI. (Lia)

Syahganda: Sutiyoso Sudah Kasih Tahu, Presiden Sekarang Asli atau Tidak

Bandung, FNN – Sebuah pengakuan menarik disampaikan Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan. Syahganda mengaku telah mendapatkan bocoran dari intelijen soal apakah Presiden Joko Widodo benar-benar asli pribumi atau tidak. Hal tersebut diungkapkan oleh Syahganda dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Peduli Indonesia (KPI) bersama DPD RI berjudul “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan” di Ballroom Masjid Agung Trans Studio, Kota Bandung, Jawa Barat maupun melalui virtual, Ahad (26/6/2022). Awalnya, Syahganda menjelaskan, poros perubahan bertujuan agar negeri ini dikembalikan kepada konstitusi sesuai dengan tujuan Proklamator Soekarno-Hatta memerdekakan Republik Indonesia, yaitu untuk kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, Syahganda merasa heran, saat ini justru banyak oligarki yang telah menguasai harta dan tanah di Indonesia. Padahal, Indonesia bukan seperti Amerika yang sudah ditinggalkan oleh pribuminya.“Di Indonesia ini masih ada keturunan raja-raja seperti Jumhur ini. Kita banyak yang asli Indonesia, jadi Indonesia asli itu ada. Makanya Soekarno dan Hatta mengatakan Pasal 6 UUD 1945 itu harus presidennya orang Indonesia asli pribumi. Yang sekarang asli enggak? Yang bisa jawab dunia intelijen nih,” ujar Syahganda, Ahad (26/6/2022).Syahganda mengaku sudah pernah mendapatkan bocoran soal ini dari Letjen TNI Purn Sutiyoso yang merupakan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).“Saya sih sudah pernah dikasih tahu sama Sutiyoso. Apa dia benar pribumi, apa enggak. Biar Sutiyoso saja-lah yang harus mengungkapkan, jangan saya, karena saya bukan intelijen. Tapi Sutiyoso sudah kasih tahu saya, apakah yang sekarang asli (pribumi) atau tidak,” ungkap Syahganda.Syahganda lantas membandingkan kondisi di Indonesia dengan di Malaysia. Di mana, di Malaysia ketika pribumi berkuasa, harga minyak goreng bisa lebih murah dibanding di Indonesia.“Di Malaysia ketika pribumi Malaysia berkuasa, minyak goreng sampai sekarang harganya cuma Rp 7.600 per liter. Sementara pengkhianat bangsa ini membuat minyak goreng harganya puluhan ribu per liter. Yang sudah diungkapkan sendiri oleh menterinya, bahwa mereka itu ada mafia minyak goreng, yang mungkin menterinya juga bagian daripada mafia minyak goreng itu,” pungkasnya.Selain Syahganda, acara diskusi ini dihadiri oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang memberikan pidato kebangsaan. Juga sambutan dari Ketua KPI, Tito Roesbandi. Dilanjutkan dengan acara diskusi yang menghadirkan lima narasumber lainnya, yaitu Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat; Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B), Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman; Sekretaris Jenderal Syarikat Islam, Ferry Joko Juliantono; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira; dan pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah. (mth)

BI Mengingatkan Risiko Stagflasi Global yang Masih Akan Membayangi Ekonomi RI

Jakarta, FNN - Bank Indonesia (BI) mengingatkan risiko stagflasi global masih akan membayangi ekonomi Indonesia ke depan, meskipun telah banyak pemeringkat internasional yang masih sangat yakin dengan ekonomi di Tanah Air salah satunya S&P Global Ratings.Adapun S&P baru saja menaikkan peringkat proyeksi ekonomi Indonesia dari negatif ke stabil.\"Kami melihat situasi global ini masih sangat rentan sekali sehingga memang asumsi makro kita masih sangat rentan,\" kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, SeninIa menegaskan BI sendiri akan sangat berfokus kepada inflasi yang tahun ini kemungkinan akan melewati target dua persen sampai empat persen di tahun 2022, yakni di atas empat persen.Namun, inflasi akan kembali ke target pada tahun 2023 yakni dalam rentang dua persen sampai empat persen.Oleh karena itu, BI akan terus mewaspadai tekanan inflasi ke depan, khususnya dari inflasi harga bergejolak dan dampak pada ekspektasi inflasi\"Dalam hal ini kami akan gunakan seluruh kebijakan yang kami miliki, termasuk penyesuaian suku bunga apabila terdapat tanda-tanda kenaikan inflasi inti,\" tuturnya.Destry mengatakan saat ini inflasi inti masih berada dalam kisaran 3,6 persen dan BI akan terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).Selain itu, fokus bank sentral lainnya saat ini adalah nilai tukar rupiah yang saat ini sedang mengalami tekanan cukup tinggi.Kendati kini terdepresiasi, dirinya memperkirakan tekanan kurs Garuda pada tahun 2023 akan lebih reda didukung kondisi fundamental dalam negeri, defisit transaksi berjalan yang lebih relatif kecil tahun 2022 dan 2023, cadangan devisa yang masih kuat, serta prospek perekonomian yang tetap baik.Adapun kebijakan BI ke depan adalah akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai bekerjanya mekanisme pasar dan fundamental dari kurs Garuda tersebut untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan makro ekonomi. (Ida/ANTARA)