ALL CATEGORY
Kampanye di Medsos Rawan Konflik Politik
Tanjungpinang, FNN - Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Bismar Arianto berpendapat kampanye di media sosial (medsos) rawan konflik politik akibat perbedaan kepentingan.\"Bawaslu perlu membuat peraturan khusus yang mengatur soal kampanye di medsos untuk mencegah atau meminimalisir konflik tersebut. Peraturan itu juga sebagai upaya menutup ruang abu-abu dalam penegakan aturan,\" ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji itu, di Tanjungpinang, Kamis.Menurut dia, sampai sekarang belum terlihat ada peraturan (Bawaslu, Red) yang kuat, yang menjangkau sistem kampanye di media sosial. Padahal ini penting, karena merupakan tantangan dan ancaman yang perlu dijawab menjelang Pemilu dan Pilkada 2024.Pada era digitalisasi, menurut dia lagi, para kontestan pemilu dan pilkada akan semakin memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye. Berbagai penelitian menyebutkan kampanye di media sosial jauh lebih efektif dan efisien dibanding kampanye konvensional.Pengurus partai politik, kandidat presiden, caleg, dan peserta pilkada dipastikan lebih masif mempergunakan media sosial sebagai sarana untuk mensosialisasikan diri dan program. Selain itu, sebagian penelitian akademik juga menemukan bukti bahwa buzzer dikerahkan peserta pemilu dan pilkada untuk membangun citra mereka, dan menjatuhkan citra rival politiknya.Jauh sebelum tahapan Pemilu 2024 dimulai (14 Juni 2024), aksi para buzzer sudah dapat dilihat di sejumlah media sosial, bahkan viral. Aktivitas buzzer sebagai tim yang mengendalikan media sosial untuk pemenangan kandidat tertentu kerap menuai komentar yang panas dan tidak pantas, selain kritikan pedas. Kondisi ini yang potensial menimbulkan konflik politik hingga di dunia nyata.\"Hasil penelitian ditemukan pengaruh negatif dari aksi para buzzer di tengah masyarakat, seperti terbentuk faksi atau kelompok tertentu. Bahkan aksi itu menimbulkan permusuhan dan persaingan tidak sehat. Padahal pemilu dan pilkada bertujuan melahirkan pemimpin yang berkualitas,\" katanya lagi.Atas persoalan tersebut, Bismar berpendapat bahwa ruang gerak para buzzer harus dibatasi melalui peraturan. Pengaturan kampanye di media sosial juga harus menjawab permasalahan dari hilir ke hulu untuk menciptakan pemilu dan pilkada yang kondusif.\"Unsur lainnya yang perlu disiapkan adalah sumber daya manusia yang ahli di bidang IT dan juga peralatan pendukung,\" kata dia.Sebelumnya, anggota Bawaslu Kepulauan Riau Indrawan membenarkan bahwa kampanye yang dilakukan peserta pemilu dan peserta Pilkada Serentak 2024 di media sosial rawan konflik.\"Konflik terjadi lantaran perbedaan kepentingan politik, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan lain, seperti ketersinggungan hingga pergesekan antarkelompok pendukung,\" kata Indrawan.Penggunaan kalimat yang tidak baik, saling mengejek atau menghina pribadi peserta pemilu maupun pendukungnya, menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan hal-hal negatif lainnya potensial mengubah konflik di dunia maya menuju dunia nyata. Padahal kondisi seperti itu tidak perlu terjadi jika seluruh peserta Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dapat menahan diri, dan saling menghormati.Perdebatan di grup media sosial seperti WhatsApp dan Facebook cenderung memanas lantaran salah satu pihak atau masing-masing pihak mempertahankan argumen atau persepsi. Belum lagi persoalan yang muncul akibat akun bodong, yang ikut dalam perdebatan itu, dan cenderung bernada provokatif.\"Itu pengalaman hasil pengawasan Pemilu Tahun 2019 dan Pilkada Tahun 2020,\" ujarnya lagi.Indrawan mengemukakan media sosial dan media siber potensial menjadi sarana utama yang dimanfaatkan peserta Pemilu 2024 untuk kampanye, karena pelaksanaan tahapan kampanye pada Pemilu 2024 diperkirakan lebih singkat dibanding pemilu sebelumnya.Masa kampanye Pemilu 2024 diperkirakan hanya 75 hari, sementara pada Pemilu 2019 mencapai 90 hari. Tahapan pemungutan suara dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sehingga tahapan kampanye berakhir pada 10 Februari 2024 atau sebelum memasuki masa tenang.\"Artinya, tahapan kampanye mulai diselenggarakan pada Desember 2023,\" katanya pula.Masa kampanye yang relatif singkat itu, kemungkinan dimanfaatkan peserta kampanye dengan mensosialisasikan diri dan program melalui media sosial dan media siber.\"Karena media sosial dan media siber dianggap memiliki jangkauan yang lebih luas, dan lebih efisien,\" ujar dia. (Sof/ANTARA)
Reformasi Sistem Pemilu Mencegah Politik Uang
Jakarta, FNN - Peneliti Antropologi Politik Komparatif dari University of Amsterdam Ward Berenschot mengatakan Indonesia perlu melakukan reformasi terhadap sistem pemilihan umum (pemilu) untuk mencegah praktik politik uang dalam pesta demokrasi.\"Smart reform, dengan menganalisis sistem elektoral yang ada di Indonesia untuk menemukan titik bagaimana mengubah sistem supaya tingkat money politics turun,\" kata Ward dalam diskusi daring Pemilu 2024: Pertaruhan Demokrasi Indonesia seperti dipantau dari Jakarta, Kamis.Dia mencontohkan reformasi sistem pemilu tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk menghentikan praktik politik di masyarakat saat pemilihan umum.Peneliti Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) itu mengatakan salah satu acuan pengawas pemilu adalah lembaga pengawas pemilu flying squads di India.\"Menurut saya, sekarang Bawaslu tidak diberi kemampuan yang cukup untuk menghentikan money politics. Saya kira, Bawaslu bisa di masa depan, tapi perlu kewenangan yang lebih luas dan anggaran juga yang cukup, contoh negara lain,\" katanya.Terkait reformasi sistem pemilu, Ward mengusulkan sejumlah reformasi sistem pemilu yang menurutnya dapat membuat kampanye pemilu menjadi lebih murah.Usulan pertama adalah integrasi pemilihan untuk parlemen dan pemilihan kepala daerah. Dia menilai integrasi tersebut dapat dilakukan dengan menempatkan calon di urutan pertama dalam daftar partai terbesar di parlemen untuk secara otomatis menjadi bupati atau kepala daerah.Selanjutnya, tambahnya, ialah dengan memberlakukan e-voting untuk mengurangi kebutuhan saksi pemungutan suara serta melarang atau mencegah calon membayar mahar politik kepada partai.\"Tapi, yang menurut saya penting adalah perkumpulan ilmuwan politik orang Indonesia untuk membuat sebuah proposal reformasi pemilu dan membawa itu ke DPR,\" katanya.Dia menilai para politikus di parlemen akan sepakat dengan usulan reformasi pemilu.\"Mereka seperti orang berjudi sekarang, harus keluar banyak uang tetapi tidak tahu hasilnya. Setelah pemilihan umum banyak orang masuk rumah sakit. Jadi, ini tidak sehat untuk mereka juga. Saya kira ada titik masuk di sana yang mana mereka juga mau mengubah sistem,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)
Megawati: Pemimpin yang Dicari Tidak Hanya Mengandalkan Elektoral
Jakarta, FNN - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan bahwa dirinya tidak mencari pemimpin atau calon presiden yang hanya mengandalkan elektoral semata. \"Pemimpin yang saya cari tidak hanya yang mengandalkan elektoral semata,\" kata Megawati dalam sambutannya pada Penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDI Perjuangan Tahun 2021, di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis. Namun, lanjut dia, sosok pemimpin yang dicari harus menjadi dambaan rakyat dan memiliki kepribadian yang mampu memimpin pemerintahan. \"Pemimpin yang didambakan rakyat adalah sosok yang kuat secara ideologis, mumpuni, dan memiliki kemampuan memimpin tata kelola pemerintahan untuk sebuah negara Indonesia yang begitu besar,\" kata Megawati. Menurut dia, dalam mencari sosok seorang pemimpin adalah yang bisa melihat tantangan ke depan. Kemudian memikirkan jalan keluar berbagai tantangan tersebut. \"Seperti yang telah dikatakan Bapak Presiden Jokowi saat Pembukaan Rakernas bahwa beliau merasa prihatin. Karena apa, tantangan ke depan yang tidak ringan, seperti ketidakpastian global, ancaman resesi dunia, krisis pangan, dan masih banyak lainnya,\" ucap Megawati. Presiden Kelima RI ini mengaku banyak ditanya soal kapan akan mengumumkan capres dan cawapres dari PDIP untuk Pilpres 2024. \"Tentu semuanya berpikir kenapa ya ibu? \'Sudah banyak itu pertanyaan kapan mau mendeklarasikan calon presiden dan calon wakil presiden?\' ya sabar lah sedikit,\" kata Megawati disambut tepuk tangan kader. Menurut dia, penyelenggaraan Pilpres 2024 masih terbilang lama, oleh karena itu, dia tak mau terburu-buru dalam mengumumkan nama capres-cawapres yang akan diusung. \"Waktunya masih dua tahun lah, ya boleh dong, saya \'umpetin\' aja terus,\" tuturnya. (Sof/ANTARA)
Megawati: Perhitungan Terkait Capres Belum Selesai
Jakarta, FNN - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengaku belum selesai melakukan perhitungan terkait calon presiden (capres) yang akan diusung partai berlambang banteng moncong putih tersebut. \"Saya sebagai ketua umum harus menghitung gitu loh, jadi perhitungan saya belum selesai,\" kata Megawati sambil makan krupuk pangsit bakso malang usai Penutupan Rakernas II PDIP 2021 di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis. Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani yang ikut makan bakso malang menimpali, \"masih pakai kalkulator ya\". Dalam Pidato Penutupan Rakernas II PDIP 2021, Megawati mengaku tak mau terburu-buru dalam mengumumkan nama capres dan cawapres yang akan diusung. \"Waktunya masih dua tahun lah, dua tahun lah ya boleh dong, saya \'umpetin\' aja terus,\" tuturnya. Presiden Kelima RI ini mengaku banyak ditanya soal kapan akan mengumumkan capres dan cawapres dari PDIP untuk Pilpres 2024. \"Tentu semuanya berpikir kenapa ya ibu? Sudah banyak itu pertanyaan kapan mau mendeklarasikan calon presiden dan calon wakil presiden?\' ya sabar lah sedikit,\" kata Megawati disambut tepuk tangan kader. Saat makan bakso malang, Puan Maharani sempat mengatakan sudah ada nama kandidat capres yang akan diusung. Puan lalu menanyakan kepada Megawati yang juga ibu kandungnya, apakah ada pengurus PDIP yang mengetahui itu atau tidak. \"Ibu, apakah ada yang tahu pengurus DPP PDIP yang mengetahui capres PDIP?\" tanya Puan ke Megawati. \"Tanya aja langsung ke DPP-nya,\" jawab Megawati. (Sof/ANTARA)
Saksi Asbun dan Tidak Tahu Isi Surat yang Ditandatangani
Jakarta, FNN - Kaleb Elevansi yang melaporkan Edy Mulyadi ke Bareskrim Polri pada 24 Januari 2022 lalu, hadir sebagai saksi kelima yang diajukan jaksa penuntut umum di sidang lanjutan \'Jin Buang Anak\' di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kamis, 23/6). Sayangnya meski memberikan kesaksian dengan sangat berapi-api, pernyataan Kaleb banyak keluar dari konteks dan membuat Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar tersenyum geli. Kepolosan Kaleb tampak saat mengaku tidak pernah mendengar istilah \'jin buang anak\' seumur hidupnya, padahal ia adalah sarjana bahasa (Inggris). Jadi istilah \'jin buang anak\' pertama kali ia dengar dari YouTube Bang Edy Channel yang berjudul \'Tolak Pemindahan Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat\'. Ia pun langsung mengartikan tempat jin buang anak itu sebagai tempat yang terkutuk. \"Menurut saya kata jin dan buang anak itu sudah tidak baik. Buang itu kan artinya sampah, dan yang melakukan jin, jadi sama saja itu tempat terkutuk,\" katanya penuh percaya diri. Lucunya saat hakim bertanya apakah Kaleb pernah melihat jin? Ia menyebut pernah melihat di televisi. \"Waktu saya masih kecil, suka nonton serial \'Jin dan Jun\',\" jelasnya yang membuat para hadirin di sidang tersenyum. Dalam pertanyaan berikutnya Kaleb juga memberikan jawaban-jawaban yang \'ajaib\' hingga hakim sempat memperingatinya. \"Kalau ditanya 1 centimeter jawabnya jangan 5 centimeter,\" tegur hakim ketua. Hakim sendiri akhirnya menemukan kejanggalan dalam surat penolakan untuk dimediasi mengingat Edy adalah seorang wartawan dan Kaleb juga mengakuinya. Diketahui dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 2/DP/MoU/II/2017, Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan, dalam Pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa apabila pihak kepolisian menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca atau opini/kolom antara wartawan/media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers maupun proses perdata. Jadi, berdasarkan MoU tersebut harusnya Kaleb terlebih dahulu ditawarkan langkah-langkah yang bertahap dan berjenjang. Tapi faktanya Kaleb tidak pernah tahu ada MoU tersebut dan tidak tahu isi surat penolakan yang ia tanda tangani. “Pada saat saudara melaporkan kasus ini, apakah saudara membuat surat penolakan, sehingga kasus ini sampai di persidangan saat ini?\" tanya hakim. “Iya, karena saya ingin kasus ini lanjut ke proses hukum, karena ini negara hukum,\" jawab Karleb. “Saudara masih ingat tidak surat itu untuk apa? Dan bagaimana surat penolakan yang saudara buat?” tanya hakim. “Saya tidak ingat isi penolakan yang saya buat sendiri. Saya tidak tahu menolak apa, saya hanya mau ini sampai ke persidangan,\" jawab Karleb. Menanggapi hal tersebut, hakim memberitahu saksi untuk mempelajari mekanisme persidangan agar saksi mengetahui bagaimana prosesnya. \"Belajar lagi ya, belajar lagi. Termasuk belajar tentang UU IKN, karena itu dari uang kita. Pemerintah boleh berganti tapi negara harus terus berdiri,\" kata Hakim Adeng bijak. (Lia)
Sidang Jin Buang Anak, Saksi Keberatan dengan Kata Kuntilanak
Jakarta, FNN - Sidang ke-7 kasus terdakwa ‘Jin Buang Anak’ Edy Mulyadi, jaksa menghadirkan saksi pelapor Mei Christy dari Kalimantan Timur. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (23/6/2022), ternyata tidak ada pergantian majelis hakim, meski sebelumnya Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar meminta jaksa mengajukannya, Mei mengaku bukan bertindak sebagai pribadi tapi mewakili Aliansi Perempuan Kalimantan. Hakim Adeng sendiri sejak awal sidang dibuka meminta semua pihak menahan diri agar tidak terjadi situasi yang memanas seperti di sidang sebelumnya. Ia membuka pertanyaan dengan bertanya mana surat mandat yang bisa mengantarkan Mei sampai ke persidangan. “Apakah saudara mendapatkan mandat untuk melaporkan hal ini sampai di persidangan?” tanya hakim. “Saya tidak ada surat mandat untuk sampai di persidangan, tidak ada surat kuasa, saya mewakilkan kelompok perempuan atas nama aliansi,” jawab Mei. Begitu pun saat ditanya alamat kantor Aliansi Perempuan Kalimantan itu, Mei menyebut mereka tidak punya kantor. Hakim pun tidak melanjutkan pertanyaan mengenai \'Aliansi\' ala Mei dan langsung menanyakan subtansi apa yang membuatnya laporan ke Polda Kalimantan Timur. Ternyata saksi mengaku hanya kata kuntilanak, genderuwo dan tempat jin buang anaklah yang membuatnya melaporkan Edy. “Saya keberatan, Kalimantan Timur, tepatnya IKN, ada komunitas adat yang turun-menurun, memiliki martabat, dan ada manusia yang tinggal sana. Kami bukan kuntilanak, kami bukan jin, kami bukan genderuwo, kami manusia,” ujar Mei Mei mengaku ia pertama kali melihat unggahan potongan Vidio dari YouTube Bang Edy Channel di akun Facebooknya, lewat tangging dari seorang rekannya. Setelah itu Mei mencari video aslinya tapi hanya fokus melihat pada menit 17 yang mencuplikan ucapan kuntilanak, genderuwo, dan jin buang anak. “Terkait 3 kata-kata itu saya lebih menekankan kata kuntilanak, karena kuntilanak itu perempuan, tidak ada laki-laki, sebutan kuntilanak berarti merepresentasikan perempuan di Kalimantan itu bukan manusia tetapi kuntilanak, sedangkan kami ini manusia. Bapak bisa lihat saya cantik, saya bukan kuntilanak,” ujar ibu empat anak ini lagi. Subtansi lain dari Vidio berjudul \'Tolak IKN, Oligarki Makan Uang Rakyat\' Mei tidak tahu sama sekali. Bahkan ia juga tidak tahu dalam konteks apa Edy menyebut kata \'Jin Buang Anak\' dan mengaku tak pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Di akhir sidang Mei mengaku saat ia melaporkan memang belum terjadi demo di wilayahnya juga di Kalimatan lain. Demo terjadi justru setelah ia melaporkan. (Lia)
Hancur NKRI-Ku!
Oleh: Sugeng Waras, Kolonel Purnawirawan TNI Tanpa mengurangi rasa hormat, bersama ini saya kirimkan secarik untaian surat yang dikemas dalam lukisan hati nurani dan tetesan air mata, dengan tema: Hancuuurr NKRI Ku! INI kesalahan dan dosa-dosa TNI-POLRI yang harus didobrak, diingatkan, dan diluruskan! Mohon maaf kepada TNI-Polri, saya hanya sebagai pensiunan Kolonel TNI AD, barangkali soal ilmu dan pengalaman ibaratnya bumi dengan langit dibanding Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa atau Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Namun saya berniat mempertanggungjawabkan ilmu saya yang pernah saya berikan kepada mantan PASIS (Perwira Siswa) SESKO TNI, dulu Sesko ABRI, sejak saya berdinas di Sesko TNI tahun 1996-2004 sebagai Dosen, Paban, Kadep ops, Ka Kor dos, dan Dir Dik Jar Sesko TNI. Saya Angkatan 1973 berpangkat terakhir Kolonel, digantikan oleh Brigjen TNI Nartono alumni 1974 dan selanjutnya Dirdik/jar Sesko TNI dijabat seorang yang berpangkat Brigjen TNI hingga saat ini. Antara Sesko TNI dan LEMHANAS hanya beda-beda dikit ilmu yang diajarkan 11-12. Yang membedakan signifikan adalah PASIS-nya, di Sesko TNI khusus militer TNI AD, AL, AU dan Siswa Tamu dari Polri serta Pasis Manca Negara, sedangkan di Lemhanas terdiri Militer, Polisi, dan Sipil Saya bangga melihat mantan siswa-siswa saya menduduki jabatan-jabatan strategis seperti Bapak Goris Mere, Bapak Muldoko, Bapak Muklas Sidik dan lain-lain, namun saya kecewa implementasi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, khususnya tentang OMP (Operasi Militer Perang) dan OMSP (Operasi Militer Selain Perang) saat ini berjalan tidak sesuai yang kita harapkan. Sesungguhnya ada 13 macam Operasi dalam OMSP antara lain (ops pamwal pres/wapres, ops pamwal tamu pejabat penting negara asing, ops teror bersenjata, ops gangguan laut dan udara, ops perdamaian Luar Negeri). Semuanya dipimpin oleh seorang TNI, Polisi membantu, ops penanggulangan Bencana Alam Oleh Pejabat Daerah/Basarnas, sedangkan ops Kepolisian oleh Polisi dibantu TNI (besar kecilnya bantuan TNI/Polri bukan atas keinginan Pimpinan TNI/Polri tapi berdasarkan UU). Jadi, hanya ada satu macam operasi saja dalam OMSP yang dipimpin polisi, sedangkan yang lain dipimpin oleh TNI di mana polisi berstatus BKO (Bawah Kendali Operasi). Saya juga tidak paham, ini salah siapa? UUD 1945 menyebutkan, Presiden sebagai panglima tertinggi TNI, dengan makna lain presiden harus tahu dan mampu membina dan memanfaatkan TNI secara benar dan tepat. Sebaiknya, TNI-Polri dalam posisi dan kedudukan yang seimbang, karena harus saling mendukung dan sulit untuk dibedakan mana yang lebih urgent terhadap bangsa dan negara ini. Pada sisi lain, Presiden adalah Kepala Pemerintahan yang juga Kepala Negara, namun tetap sebagai pengelola negara dan bukan pemilik negara, yang harus seimbang, selaras, serasi, dan harmonis dengan seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman, hendaknya perlu kita luruskan dan sesuaikan pelaksanaan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dengan fakta di lapangan. Jangan lupakan sejarah, Operasi Woyla pada Thailand 1981 yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan dari Kopassus berhasil melumpuhkan teroris dan melahirkan DENSUS 81/Gultor. Jadi, saya memohon, marilah kita simak baik-baik peran, fungsi, dan tugas pokok masing-masing, TNI-Polri baik dalam hal pertahanan dan keamanan Negara secara konsisten, konsekuen dan profesional sehingga tidak tumpang-tindih baik dalam hal komando, kendali, kordinasi, informasi dan administrasi untuk kemaslahatan negara dan bangsa. Bersyukurkah bagi yang bernasib menjadi TNI-Polri, karena tanpa mengabaikan pihak-pihak lain Anda dianugerahi amanah rakyat dan negara sebagai garda terdepan dan benteng terakhir negara. TNI-Polri kuat bersama rakyat, sebaliknya cepat atau lambat TNI-Polri akan lemah, bahkan runtuh tanpa dukungan rakyat. Negaramu sangat luas dan menarik bagi asing. TNI-Polri tidak akan sanggup menghadapi intervensi/invasi secara fisik/non fisik dari negara lain yang super maju dan super kuat persenjataanya, maka telusuri dan aksi terhadap membludaknya TKA-TKA China yang tak menutup kemungkinan sudah tersebar di seluruh pelosok tanah air, baik legal maupun illegal sebagai kekuatan pendahulu yang menguasai titik-titik penting yang akan berfungsi potensial nantinya. Di pundakmulah wahai TNI-Polri, rakyat mempercayakan pertahanan dan kedaulatan wilayah negara, keselamatan rakyat, perlindungan, pengamanan, dan ketentraman lahir-batin siang dan malam. Ingat dan dekati rakyatmu, insha Allah NKRI akan maju dan sejahtera. Polri harus sadar, paham, dan ikhlas serta kurangi semangat militernya, kembalilah pada kodrat dan habitat Anda untuk menjadi alat negara yang bersemangat kepolisian, niscaya akan menjadi kemuliaan nama polisi. Singkatnya, Polri sebagai bukan militer (Low Force) tidak menangani langsung masalah-masalah berat atau gangguan bersenjata. Jika menurut pandangan Polri dianalisis/diprediksi ada seorang atau kelompok teror bersenjata, maka segera disampaikan kepada TNI dan TNI akan menindak lanjuti (polisi terikat hukum HAM) yang bermuara pada penyelesaianya berupa tindak pidana yang melibatkan peran, fungsi, dan tugas pokok hakim dan jaksa. Sedangkan TNI, sebagai institusi (Kill or tobe Kill) bisa mengabaikan hukum HAM dalam situasi dan kondisi yang tepat. Bangsa Indonesia cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan. Usir dan jauhkan segala hal yang berpotensi bisa merugikan dan membahayakan NKRI seawal mungkin! Allahu Akbar! Merdeka! Bandung, 22 Juni 2022. (*)
Kemenkumham Minta Masukan Forum Pemred untuk Mengawal RKUHP
Jakarta, FNN - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI meminta masukan dari Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), aliansi masyarakat sipil, dan aliansi nasional KUHP untuk mengawal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).\"Forum kali ini kami mendengarkan pandangan koalisi dan Forum Pemred terhadap isu-isu krusial dalam RKHUP,\" kata Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dhahana Putra di Jakarta, Kamis.Jika melirik perjalanan RKUHP warisan kolonial Belanda tersebut, kata Dhahana, telah memakan waktu yang cukup panjang.Sebanyak tujuh presiden, 15 menteri, bahkan 17 guru besar telah berpulang dalam upaya pembahasan RKUHP sejak 1958 tersebut.Setelah itu, diadakan konferensi nasional pada tahun 1964 yang merekomendasikan hasil kajian RKUHP. Hal itu hampir bersamaan dengan pidato Menteri Kehakiman periode 1959—1962 Dr. Saharjo yang mengubah penjara menjadi pemasyarakatan di Lembang, Bandung.Pemerintah, kata dia, sejak 1984 terus melakukan kajian, sosialisasi, dan seminar sehingga hampir setiap pasal dalam RKUHP melalui proses kajian dan penelitian.\"Pada tahun 1991 diumumkan bahwa Indonesia akan memiliki pidana nasional. Namun, hingga sekarang belum selesai juga,\" kata Dhahana.Menurut dia, saat ini Indonesia masih terjajah dalam konteks hukum pidana karena masih menggunakan warisan kolonial. Sementara itu, Belanda diketahui telah mengubah sebanyak 455 kali.Jika dilihat secara utuh, lanjut dia, pada dasarnya spirit dari RKUHP sesuai dengan konstitusi dan Pancasila, termasuk hak asasi manusia.\"Jadi, kalau kita lihat semangat para pembuat itu, sesuai dengan politik hukum negara,\" kata dia.Pemerintah juga menyadari peran serta masyarakat dalam memberikan masukan sangat penting. Oleh sebab itu, Pemerintah berharap Indonesia bisa menorehkan tinta emas dengan melahirkan hukum pidana nasional. (Ida/ANTARA)
Konsumen Muslim Gugat Kemenkes di PTUN Terkait Vaksin Halal
Jakarta, FNN - Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) menggugat Kementerian Kesehatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait dengan vaksin halal.Kuasa hukum YKMI Amir Hasan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, mengatakan gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 176/G/PTUN.Jkt.\"Gugatan ini sifatnya adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan ketentuan vaksin halal,\" ungkapnya.Amir Hasan menjelaskan alasan gugatan itu terkait dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1149/2022 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tanggal 28 April 2022.\"Kepmenkes ini terbit setelah putusan MA. Akan tetapi, isinya tidak mematuhi putusan MA,\" ungkap Amir.Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan Nomor 31P/HUM/2022 tanggal 14 April 2022 tentang kewajiban pemerintah menjamin kehalalan vaksin.Menurut dia, terbitnya Kepmenkes itu tidak mengacu pada putusan MA. Bahkan, putusan MA tidak dimasukkan dalam konsideran Kepmenkes sehingga jelas melanggar hukum.Dalam Kepmenkes itu disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan jenis vaksin yang berasal dari beberapa produk.\"Kepmenkes itu menyebut jenis vaksin yang digunakan dari 11 produsen, anehnya tak menyebut merek vaksinnya, ini jelas mengelabui masyarakat,\" kata Amir.Sementara itu, kuasa hukum YKMI lainnya, Ahsani Taqwim Siregar, menyebutkan dari 11 produk yang ditetapkan, hanya ada tiga produk vaksin yang memiliki sertifikat halal.\"Itu jelas melanggar hukum dan mengabaikan putusan MA,\" ujarnya.Gugatan YKMI itu merupakan kedua kalinya. Sebelumnya, mengajukan gugatan terkait dengan Surat Edaran Dirjen Perlindungan dan Pencegahan Penyakit Kemenkes tentang Vaksin Booster, yang sama sekali tak memberikan vaksin halal, yang teregister dengan nomor 50/G/PTUN.Jkt.Akan tetapi, gugatan itu dicabut karena adanya putusan MA tersebut. Namun, setelah putusan MA keluar, ternyata Kemenkes tetap tak menyediakan vaksin halal, YKMI pun mengajukan gugatan lagi ke PTUN. (Ida/ANTARA)
“Presidential Threshold” 20 Persen Tanpa Pilpres
Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PERHELATAN Pilpres akan dilaksanakan 2 tahun lagi, pada tahun 2024. Salah satu perubahan UUD 1945 melalui amandemen ialah tentang Pemilihan Presiden dan pembatasan masa jabatan Presiden. Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (sistem presidentil). Pemilihan presiden tersebut dilakukan langsung oleh rakyat di mana calon presiden dicalonkan dalam satu paket berpasangan dengan calon wakil presiden oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu. Pemenang adalah pasangan yang memperoleh suara 50% + 1 secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar sebagai mayoritas di paling tidak 2/3 provinsi. Bila tidak ada yang memperoleh dukungan demikian, maka digelar pemilihan ulang. Pemenang pertama dan kedua dalam putaran pertama akan bertanding lagi dalam putaran kedua. Kali ini pasangan yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang. Aturan ini ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan, masyarakat Indonesia itu tersebar dan amat majemuk. Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan dukungan jumlah suara 50% + 1 yang terpusat di daerah tertentu saja, tetapi Presiden bagi segenap bangsa dan tanah air. Tata cara Pemilihan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2017. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang akan datang masih menggunakan UU Pemilu 2017 yang telah digunakan pada Pilpres 2019 yang diikuti oleh dua pasang Capres-Cawapres, yakni Pasangan 01 Joko Widodo – Ma\'ruf Amin, dan Pasangan 02, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Dampak Pilpres 2019 lalu berupa pembelahan rakyat masih ada hingga kini yang dahulu populer dengan sebutan Cebong dan Kampret. Pasal 222 UU Pemilu adalah paling krusial, apalagi menyangkut Presidential Threshold 20%. Gde Siriana menulis di Twitter, 16 juni 2022, 20:56, “Sy melihat hanya ada 3 jenis Capres mendatang. 1) Capres Istana (penerus kekuasaan rezim dan Oligarki), 2) Capres Joki (Capres maju untuk kalah, hny sekedar penuhi syarat Pilpres demokratis), dan 3) Capres Perubahan (tetapi akan dihambat melalui syarat PT 20%). Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan dalam Musyawarah Daerah tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta, Sabtu (11/6/2022), bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Oleh sebab itu, secara kelembagaan DPD RI telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 tersebut. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur kongsi untuk menentukan siapa pimpinan nasional bangsa. Pasal 222 memaksa partai politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas. Akibatnya, Capres dan Cawapres yang akan dipilih oleh rakyat menjadi sangat terbatas. Pasal tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural, Pilpres. Dengan begitu janji-janji manis Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena, yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dari kebijakan yang tentu harus berpihak kepada mereka. LaNyalla mempertanyakan kemampuan seorang Capres untuk menghentikan impor garam, gula, dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendesain Capres itu bagian dari penikmat uang rente dari keuntungan Impor. Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar bila Oligarki Ekonomi yang membiayai Capres tersebut adalah penikmat konsesi lahan atas sumber daya alam hutan dan tambang? Seorang Capres juga tidak akan mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, jika Oligarki Ekonomi adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut. Bila LaNyalla berpendapat bahwa Presidential Threshold 20% adalah akar masalah ketidakadilan dalam Pemilihan Presiden, menurut hemat saya, akar dari akar masalah tersebut adalah Amandemen UUD 1945 yang menetapkan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Padahal Sila ke-4 Pancasila mengamanatkan Pemilihan Presiden melalui perwakilan. Pilpres pasca amandemen menganut prinsip demokrasi liberal, memberikan hak suara pada setiap warga negara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya. Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Jika hal itu benar-benar terealisasi, maka boleh jadi Presidential Threshold 20% tetap ada, tapi tanpa Pilpres 2024! (*)