ALL CATEGORY

Kekacauan Bernegara Terjadi Karena Mahkamah Konstitusi

Jakarta, FNN - Indonesia saat ini terkooptasi oleh partai politik. Praktik bernegara mengindikasikan jika politik hanya boleh melalui parpol yang representasinya ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menegasi peran yang lain. Kritik tersebut dilontarkan oleh Pengamat Politik Rocky Gerung dalam acara Dialog Kebangsaan Kelompok DPD di MPR, Kamis (7/7). “Filosofi bernegara kita kacau. Di politik itu tidak boleh terbagi habis oleh parpol. Karena itu perlu LSM, ada pers, karena itu ada DPD,” tukasnya. Rocky Gerung yang lama menyandang titel sebagai pengajar filsafat politik dan hukum di Universitas Indonesia menilai, hegemoni satu elemen politik tertentu meminggirkan yang lain sehingga demokrasi menjadi tidak sehat. Dalam nada menggugat, Rocky mempertanyakan, apakah betul politik sama dengan parpol. Termasuk dalam suksesi kepemimpinan nasional yang harus disaring dan dijaring hanya melalui parpol. Sementara di saat yang sama, upaya mengoreksi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) terus digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalil penggugat tidak punya legal standing.  “Kekacauan (berdemokrasi) ini terjadi karena Mahkamah Konstitusi tidak paham tentang fungsi dia sebagai mahkamah,” terang Rocky. Ia menguraikan, sejarah legal standing muncul untuk mencegah aksi bar-bar di luar koridor konstitusi. Legal standing dalam Revolusi Prancis diwarnai dengan darah dan pemenggalan kepala raja. Rocky melihat MK buta huruf tentang filosofi konstitusi. MK diberi diskresi moral untuk mengintip potensi penyalahgunaan kekuasaan yang disebut sebagai judicial activism, namun tidak dimanfaatkan. Sebaliknya, hak rakyat untuk mereview konstitusi, bahkan untuk berbicara, ditutup oleh MK. Menyinggung soal langkah-langkah politik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di bawah kepemimpinan La Nyalla Mattalitti, Rocky melihat harapan karena masih ada lembaga negara yang mau berpikir dan berjuang untuk demokrasi.  “DPD menghasut universitas Senayan ini seperti lokasi untuk mengumpulkan pikiran. DPD menjadi forum pemikiran tentang konstitusi dan bangsa,” imbuhnya. Menurut Rocky, legislasi paling representatif adalah legislasi yang dibuat oleh anggota DPD. Setiap angota DPD punya hak membuat RUU. Atas nama mandat sebagai senator. Seorang Anggota DPD mempertanggunjawabkan legislasi langsung kepada konstituen. Tidak perlu rapat fraksi. Tidak perlu rapat partai. “Representasi itu artinya melekat dengan rakyat. Tidak diedit oleh amplop,” tutur Rocky. “Karena itu saya mau usulkan supaya setiap anggota DPD punya hak membuat rancangan undang-undang atas nama dia, karena dia senator,” ujar Rocky di Gedung DPD, Kompleks Parlemen, Senayan.(JD/FNN).

Putusan MK tentang Presidential Threshold adalah Sebuah Tragedi Demokrasi

Oleh Yusril Ihza Mahendra - Ketua Umum PBB Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, walaupun para Pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.  Dalam permohonan kali ini, MK menyatakan permohonan para anggota DPD tidak punya legal standing, maka dinyatakan “tidak dapat diterima”. PBB punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya. MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai “yurisprudensi” yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 45 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 45. Tapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri  bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional. Selain itu MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang. UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara. Tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan “penguatan sistem Presidensial” sebagaimana selama ini didalilkan MK. Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap. Pasal 222 itu adalah “open legal policy” Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstutusional. Dalam pandangan saya MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang. Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan “qaul jadid” atau pendapat baru, dan meninggalkan “qaul qadim” atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.  MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikririk para akademisi, sehingga terkesan “jumud” dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita. Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR. Hal yang paling aneh dalam demokrasi kita akan terjadi. Calon Presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan  treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.  Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita. (*)

Jabotabek Level 1, Pemerintah Gak Paham Menghidupkan Ekonomi Butuh Kepastian

MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian membatalkan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jabodetabek ke Level 2. Dengan pembatalan itu, status Jakarta tetap PPKM Level 1 hingga 1 Agustus 2022.   Pembatalan itu diketahui dari dokumen Instruksi Mendagri Nomor 35 Tahun 2022 tentang PPKM Pada Kondisi Covid-19 di Wilayah Jawa-Bali. Ketentuan ini juga berlaku untuk wilayah aglomerasi Jabodetabek. Dalam aturan itu termaktub Jakarta berstatus PPKM Level 1. “Khusus kepada Gubernur DKI Jakarta untuk wilayah kabupaten/kota dengan kriteria Level 1,” begitu bunyi Inmendagri yang ditandatangani Tito Karnavian pada 5 Juli 2022.  Instruksi ini berlaku mulai 6 Juli hingga 1 Agustus 2022. Padahal, baru saja pemerintah pusat mengumumkan perpanjangan PPKM Jawa dan Bali yang naik ke level 2. Dasar hukumnya tertuang dalam Imendagri Nomor 33 Tahun 2022 yang berlaku 5 Juli-1 Agustus 2022.  “Beberapa daerah terpaksa harus dinaikkan menjadi Level 2, yaitu seluruh kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota/Kabupaten Bogor, Kota/Kabupaten Bekasi, Kota Depok, dan Kabupaten Sorong,” ujar Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA lewat keterangan tertulis, Selasa, 5 Juli 2022. Peraturan tentang PPKM Level 2 Jabodetabek ini kemudian direvisi dalam Inmendagri 35/2022. Poin ke-14 Imendagri 35/2022 tertulis, Inmendagri 33/22 dicabut. Pada saat Instruksi Menteri ini berlaku, maka Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2022 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.  Jadi jelas, di sini Pemerintah tampak bingung. Pengusaha juga bingung. Yang paling bingung justru rakyat. Persoalan ini pun dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (7/7/2022). Petikannya. Pemerintah kemarin sudah membatalkan pemberlakuan PPKM level 2 di daerah Jabodetabek. Itu hanya sehari saja diberlakukan. Sehari kemudian diralat. Ini memang disambut dengan lega oleh para asosiasi pengusaha mall. Tapi mereka sering mengaku bingung dengan kebijakan pemerintah. Apalagi Pak Luhut (Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan) juga memberlakukan syarat booster yang dua minggu lagi akan diberlakukan. Aturan pemerintah membuat mereka bingung. Pada akhirnya kita masuk dalam semua jenis kebingungan dan kebingungan itu pertanda bahwa pemerintah nggak bisa bikin ekstrapolasi dari problem. Kan dia bisa proyeksikan kenapa musti level 2. Kalau nggak ada dasar itu artinya asal-asalan saja. Dan bisnis tentu membutuhkan kepastian, kalau mau larang ya larang supaya kami enam bulan ke depan bisa bikin proyeksi penyesuaian strategi rencana bisnis. Jadi kelihatannya pemerintah juga nggak paham bahwa untuk menghidupkan ekonomi itu butuh kepastian. Model kepastian bentuknya eksternalities, yaitu hal-hal yang menghambat tidak ada soal. Yang penting bisnis itu konsisten di dalam perencanaan. Itu sebetulnya yang diinginkan oleh teman-teman para pebisnis. Ketidakkonsistenan itu menunjukkan bahwa memang koordinasi makro di Istana enggak ada. Bahkan orang bisa menilai kalau begitu akal-akalan ini dalam rangka seolah-olah serius saja kan. Apalagi lalu dibilang ya sudah dibatalkan yang level 2 diturunkan ke level 1, tapi harus booster dulu. Ya sama juga problemnya itu. Kan musti dibuktikan bahwa booster itu efektif untuk mencegah. Faktanya rakyat justru melihat banyak betul orang yang sudah dibooster sampai vaksin tiga kali tetap saja kena. Jadi, meyakinkan publik itu yang dari dulu nggak bisa dipastikan pemerintah. Pak Luhut nanti bingung sendiri lagi, lalu dia ngomong bahwa yang dimaksud bukan booster tapi mereka yang sadar untuk vaksin tiga kali. Tapi, intinya memang ini republik yang membingungkan. Ya kan pasti ketika menentukan level 2 atau level 1 ada justifikasi yang jelas. Tiba-tiba kalau kemudian level dua lalu hanya sehari diubah lagi menjadi level satu, ya wajar kalau nanti pemerintahnya bingung, pengusaha bingung, rakyat juga bingung. Walhasil karena bingung ya orang memutuskan lagi ya sudah di rumah saja, jangan ke mall lagi karena nanti pasti akan repot juga. Jadi itu yang disebut kemampuan untuk melihat hasil, untuk membayangkan hasil, justru dibatalkan oleh asumsi-asumsi yang kacau. Kan kalau hasilnya kita ingin supaya Jakarta itu turun jumlah infeksinanya, mustinya dari awal dipastikan saja kan. Jadi nanti orang bilang oh kalau begitu sudah enak nih, sudah level 1, bisa jalan-jalan lagi. Dua hari kemudian naikin level 2 lagi tuh. Padahal nggak ada data yang bagaimana mengambil data dari periode yang cuman satu hari. Lalu apa gunanya Pak Luhut sebagai raja bigdata kalau tidak bisa bikin prediksi. Lo, pemerintah selalu basisnya begitu, yang kita lakukan semua berdasarkan bigdata. Bahkan, kita sedot data publik itu lewat aplikasi-aplikasi yang tidak dimaksudkan untuk fungsi itu. PeduliLindungi dipakai buat beli migor itu kan demi nyolong big-data. Pertamina untuk masuk aplikasinya musti tulis hobi Anda apa? Itu apa urusannya hobi dengan orang membeli bensin. Jadi memang pemerintah mau nyolong bigdata sebetulnya dengan cara yang buruk. Itu yang kemudian orang pertanyakan. Lo, kalian kan punya bigdata kok dalam waktu yang singkat big datanya bisa terombang ambing. Jadi ini big lie juga akhirnya. Jadi big bohonglah. Jadi ini cuma menambah keyakinan publik bahwa berbohong itu memang kebiasaan yang diresmikan oleh negara. Berbohong dalam negeri sampai berbohong luar negeri. (mth/sws)

Rocky Gerung: Apapun yang Kalian Ajukan, Pasti Kami Tolak!

AKHIRNYA Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan (Presidential Threshold-PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. Seperti halnya gugatan PT lainnya, MK menilai DPD tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.   Dalam perkara serupa, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya, Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy (kewenangan pembuat Undang-Undang).  Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.  “Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla di Makkah, Saudi Arabia, Kamis (7/7/2022).  Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada 1999-2002 silam.  “Dan, kita menjadi bangsa yang telah durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tegasnya.  Terkait putusan MK tersebut, wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung membahasnya di kanal Rocky Gerung Official. Berikut petikannya. Topik ini sangat serius karena hari ini sudah diputuskan gugatan Presidential Threshold 20 persen Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ditolak MK. Waktu itu mengusulkan kalau sampai ditolak maka bubarkan saja Mahkamah Konstitusi karena ini kan lembaga tinggi negara, berarti ini akan terjadi konflik antara kedua lembaga tinggi negara, Mahkamah Konstitusi dan DPD. MK memutuskan, mungkin dia akan sebut itu seperti biasa, alasan formilnya nggak terpenuhi. Yang kedua bahwa kasus ini sudah diajukan berkali-kali, masuk dalam prinsip nebis in idem, misalnya. Jadi semua hal yang sebutnya kita bisa proyeksi, itu akan jadi alasan penolakan. Dan kelihatannya memang itu, karena bagaimana kita mau pastikan bahwa MK ini punya kemuliaan kalau semua orang atau semua kasus diajukan dengan dalil yang sama, tapi kemudian ditolak juga dengan dalil yang itu juga. Jadi, ini nebis in idem, sebuah kasus yang sudah diadili, tidak boleh diadili lagi. Ini open legal policy. Apalagi Anda nggak punya legal standing. Sekarang partai punya legal standing tapi akan dicarikan ya Anda punya legal standing tapi belum 20%. Kira-kira begitu. Kalau DPD itu mungkin dianggap itu karena Pak LaNyalla mau nyapres maka Pak La Nyalla akan berupaya supaya DPD punya hak untuk nyapres, bikin calon juga. Jadi, hal-hal begini akan dimanipulasi oleh pakar-pakar hukum tatanegara yang memang sudah disewa untuk dipersiapkan memberi argumen. Jadi tetap kita anggap bahwa kita musti terus lakukan saja kan judicial review. Sebab di ujungnya akhirnya MK akan bingung sendiri. Kalau begitu bagaimana kita buat dalil baru kalau di awal sudah ditutup kemungkinan untuk judicial review. Jadi bilang saja dari awal bahwa kami MK, apapun yang kalian ajukan itu akan kami tolak. Jadi gampang, tapi bagus juga ini akan jadi perlawanan politik. Tetap saya percaya Pak LaNyalla itu, dia betul-betul orang yang paham bahwa tidak boleh ada sedikitpun penyimpangan konstitusi. Lain dengan DPR yang mau zig-zag saja. Jadi DPD ini betul-betul yang disebut penjaga konstitusi yaitu DPD akhirnya, melalui profil LaNyalla Mattalitti yang terus menyala. Orang mulai sorot beliau sebagai, dia punya ambisi. Ya kenapa memang kalau beliau punya ambisi, dalam rangka memperlihatkan, ada alternatif. Ternyata musti biasakan melihat bahwa DPD itu wakil rakyat yang riil, bukan wakil partai. Karena dia dipilih langsung. Itu juga berarti bahwa politik Indonesia nggak harus melalui partai di DPR. Lewat DPD bisa. DPD bukan partai, tapi bisa mengajukan calon harusnya untuk memimpin negeri. Berkaitan dengan itu sekarang sudah ada partai yang mengajukan judicial review kemarin, PKS setelah kita dorong-dorong, kita tunggu sekian lama gitu akhirnya muncul juga. Dan formulasinya menarik. Dia tidak ingin membatalkan PT 20% tapi dia menyatakan 7-9 persen. Dan itu ada reasonnya, yaitu rerata suara terbawah di DPR. Ya ini antara idealisme dan pragmatisme. Jadi resultantenya ujung paling kanan idealisme, ujung paling kiri pragmatisme dengan tegangan oportunisme. Jadi orang menilai PKS tanggung juga. Kalau mau jujur atau mau lurus bilang saja, oke kami menginginkan tujuh persen karena itu setara dengan rata-rata minimal yang harus dihasilkan dalam pemilu, misalnya. Tapi, yang kami maksudkan tujuh persen itu adalah hasil pemilu 2024. Jadi pemilihan legislatifnya didahului, dong. Itu lebih jujur. Kan tetap point adalah pakai tiket yang kadaluarsa. Kalau dibikin tiket yang baru juga tetap dasarnya ini kadaluwarsa. Jadi musti lebih terang-terangan PKS.  Oke, kami setuju ada negoisasi politik ya karena memang politik semacam dukungan legitimasi di parlemen. Tapi, legitimasi setelah diketahui bahwa kebutuhan legitimasi itu sekian persen oleh hasil pemilu 2024. Itu sebetulnya gampang saja kan. Kita juga setuju kalau soal angka kita bisa bilang, mungkin bisa disamakan dengan threshold parlemen, empat persen atau dua persen juga enggak ada soal. Tetapi jangan pakai tiket lama, itu yang kita selalu anggap bahwa ini curang. Anda mau masuk dalam garis start yang Anda tentukan sendiri itu. Bukan begitu. Kita tentukan sama-sama. Kapan ditentukannya itu. Ya setelah kita lihat hasil legislatif. Nah itu memang konsekuensinya musti dipisah pemilihan. Tunggu saja. Nggak apa-apa. Tunggu dua bulan setelah registrasi anggota legislatif dipilih kan gampang saja. Jadi demi menyelamatkan demokrasi, jangan tidak jujur. Seolah-olah mau menggugat, tapi di belakangnya tetap tidak paham bahwa yang mereka usulkan itu juga tiket lama. Kita mau minta kejelasan dari PKS sebetulnya. Kan PKS temen kita juga. Teman berkonstitusi. (mth/sws)

Sidang ke-11 Kasus “Jin Buang Anak”, Saksi Menganggap Tempat Pesugihan

Jakarta, FNN – Daniel hadir sebagai saksi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) pada lanjutan sidang ‘Jin Buang Anak’ di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kamis, 7/7). Daniel merupakan ex-mahasiswa yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur. Dia melaporkan  Edy Mulyadi ke Polda Kaltim, Senin (24/1) karena merasa sakit hati dengan pernyataan Edy ‘tempat jin buang anak’ yang didengar dari YouTube Bang Edy Channel berjudul \'Tolak Pemindahan Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat\'.  “Saya marah dan merasa sakit hati karena dalam video tersebut terdapat kata-kata mengucilkan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai tempat ‘jin buang anak’, kuntilanak, kemudian terdakwa juga menyebut petinggi negara, banyak lubang tambang, dan kata-kata Cina,” ujar Daniel  Daniel mengartikan tempat jin buang anak itu sebagai tempat pesugihan. \"Menurut saya “tempat jin buang anak” itu merupakan tempat pesugihan, tempat makhluk halus, dan saya merasa sangat terhina, ini adalah tempat lahir saya, tempat yang membesarkan saya,” katanya penuh percaya diri. Beda dari saksi sebelumnya yang hanya melaporkan terdakwa satu sampai dua point, namun untuk saksi kali ini melaporkan terdakwa dengan banyak point seperti yang ia katakan di atas. Ia menyebut Edy membuat berita hoax dengan menyebut lubang tambang di IKN akibat perusahaan milik Luhut Pandjaitan. Di dalam persidangan Daniel mengaku pernah melalukan perjalanan ke IKN tepatnya ke titik nol km, tetapi Daniel tidak mengelilingi seluruh wilayah IKN tersebut. “Apakah Anda pernah melihat di seluruh wilayah IKN terdapat lubang tambang?,” tanya hakim. “Saya tidak melihat ada lubang tambang,” jawabnya. Hal ini membuat hakim mendalami jawaban Daniel tersebut, bagaimana bisa saksi mengatakan tidak ada lubang tambang di wilayah IKN, padahal ia tidak mengelilingi wilayah tersebut secara keseluruhan.(Lia)

Partai Gelora: Indonesia Bisa Jadi Model Kombinasi Agama, Demokrasi dan Kesejahteraan

Jakarta, FNN  - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta merasa prihatin dengan kondisi umat Islam sekarang, mayoritas namun kecil dari arti mindset-nya. Akibatnya, kondisi tersebut dimanfaatkan betul oleh partai politik (parpol) sebagai pendorong bagi mobil yang mogok dalam konteks berpolitik secara nasional. Namun, setelah mesin mobilnya bergerak, lalu begitu saja ditinggalkan.  \"Sebagai kelompok mayoritas dari warga negara Indonesia, peran umat Islam belum dioptimalkan secara penuh, seperti hanya dibutuhkan sebagai pendorong mobil mogok, setelah jalan, lalu ditinggalkan,\" kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk: Politik Dorong Mobil Mogok: Menentukan Visi Baru Politik Keumatan, yang digelar secara daring, Rabu (6/7/2022) sore. Menurut Anis Matta, sudah saatnya umat Islam mengubah aksi kerumunan selama ini menjadi sebuah kekuatan dan mampu menciptakan perubahan besar dalam peta politik nasional.  Hal itu, harus dilakukan umat Islam sekarang, kalau tidak mau lagi menjadi pendorong mobil mogok di Pemilu 2024 mendatang.  \"Jadi jangan hanya ibarat badai yang berada didalam secangkir kopi. Orientasinya harus perubahan besar, dan harus konsolidasi dengan arah serta perjuangan bersama,\" ujarnya. Karena itu, kata Anis Matta, umat Islam perlu mengajukan visi baru masa depan Indonesia. Dalam pandanganya, ada Lima Visi Perjuangan Keumatan Indonesia sekarang ini. \"Jadi sebenarnya, umat Islam sudah menyadari agama bukan sekadar identitas, tetapi lebih serius dari itu. Umat Islam besar, namun kesejahteraan minim, dan dalam berdemokrasi juga tidak mengalami perubahan,\" katanya. Padahal potensi umat Islam begitu besar dalam mewarnai hajatan politik, termasuk dalam Pemilu 2024 mendatang.  \"Umat muslim harus ambil alih atau berperan lebih besar dalam kepemimpinan. Jangan yang terjadi malah seperti minoritas, atau tukang tepuk tangan saja,\" tegas Anis Matta. Anis Matta ini berharap Indonesia bisa menjadi model pemberlakuan kombinasi antara agama, demokrasi dan kesejahteraan di tengah upaya perubahan sistem tatanan global baru sekarang. Kombinasi tersebut, akan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan lima besar dunia. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunato atau yang akrab di panggil Cak Nanto ini menilai umat Islam sekarang tidak memiliki gagasan besar dan visi kebangsaan, Sehingga setiap kelompok tidak mencapai titik temu, termasuk dalam hal perjuangan visi politik. \"Inilah problem umat Islam sekarang yang harus diurai.  Jadi kalau menurut saya, tidak hanya sebagai pendorong mobil mogok saja, tapi ini mobilnya juga rusak berantakan, karena setiap kelompok tidak memiliki titik temu,\" kata Sunanto. Sunanto menyadari bahwa untuk menjelaskan mengenai problematika umat Islam sekarang seperti mencari \"ayam dan telur \", duluan mana yang ada terlebih dahulu.  \"Tapi yang paling penting sekarang adalah target utama membangun kerukunan, persatuan dan kesatuan. Kita tidak bisa lagi sekedar teriak-teriak, tapi tidak bisa mempengaruhi kebijakan,\" katanya. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini mengatakan, umat Islam terus membangun kesadaran berpolitik dengan gagasan-gagasan yang berbeda dengan satu nilai kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Raihan Ariatama menilai identitas politik dalam konteks ke-Indonesia-an juga harus dilihat dari keberagaman dan budaya lokal. Karena keberagaman itu, akhirnya melahirkan berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis dan lain-lain yang menghormati tradisi keagamaan di masing-masing daerah.  \"Tentunya ini merupakan satu fakta yang harus kita ketahui, bahwasanya kekuatan politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai wilayah dan berbagai macam konsep lain, selain dari Islam. Ada juga nasionalis demokratis dan segala macamnya. Inilah, inilah titik persoalan yang harus kita pahami hari ini,\" ujar Raihan Ariatama.  Raihan sependepat dengan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta, bahwa Umat Islam harus memiliki visi besar, tidak hanya untuk kepentingan Pemilu 2014 saja, tapi juga Indonesia Emas 2045. \"Kita tidak bisa lagi tonjolkan politik identitas, karena hanya menyebabkan polarisasi. Hari ini, Umat Islam harus memiliki visi besar hingga tahun 2045,\" katanya. Dai dan Muballigh Nasional Haikal Hassan Baras meminta  umaI Islam harus cerdas sekarang. Tidak lagi menjadi korban politik parpol tertentu, yang dimanfaatkan untuk mendorong mobil mogok. \"Mobil yang didorong tidak hanya mogok, tapi sudah mobil rongsokan. Tidak pantas sebenarnya mereka didorong umat Islam. Umat Islam ini korban, dan itu jangan terjadi lagi di Pemilu 2024,\" katanya. Sebagai Dai dan Muballigh Nasional, Haikal Hasan menyadari bahwa dirinya dicap sebagai provokator tatkala menyampaikan berbagai komentar terkait berbagai permasalahan publik. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk kecintaannya terhadap Pancasila dan NKRI. Sebab, Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman para kapitalis nya dan oligarki kekuasaan. \"Saya ingin menyadarkann umat Islam, bahwa Pemilu 2024 diperlukan sebuah persatuan, dan persatuan itu akan mendatangkan kekuatan. Jadi gaya provokatif saya semata-mata untuk membangkitkan kesadaran karena yang datar-datar saja kadang-kadang tidak didengar oleh telinga,\" tandasnya. (sws)

Umat Islam Saatnya Ubah Kerumunan Jadi Kekuatan, Kalau Tidak Mau Dorong Mobil Mogok di Pemilu 2024

Jakarta, FNN – Anis Matta, Ketua Umum Partai Gelora Masyarakat (Gelora) Indonesia, prihatin dengan kondisi Islam saat ini, mayoritas namun kecil dari arti minsed-nya. Padahal dalam perkembangan saat ini, Anis mengakui bahwa berbagai survei menunjukkan umat Islam memiliki kesadaran agama yang jauh lebih baik. Dalam survei tersebut, menurutnya, tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam lebih dari 70%. Partai politik (parpol) dinilai masih cenderung memanfaatkan masyarakat muslim seperti layaknya pendorong bagi mobil yang mogok dalam konteks berpolitik secara nasional. Setelah mesin mobilnya bergerak, lalu begitu saja ditinggalkan. Dalam diskusi Gelora Talks bertajuk: Politik Dorong Mobil Mogok: Menentukan Visi Baru Politik Keumatan, yang digelar secara daring, Rabu (6/7//22) sore, Anis Matta mengatakan sebagai kelompok mayoritas dari warga negara Indonesia, peran umat Islam belum dioptimalkan secara penuh, lantas hanya dibutuhkan sebagai pendorong mobil mogok, setelah jalan, lalu ditinggalkan, Hadir dalam diskusi tersebut Haikal Hassan Baras, Dai dan Muballigh Nasional, Sunanto, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, serta Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI. “Umat Islam yang mayoritas ini harus mampu membuat perubahan besar dalam peta politik nasional. Jangan seperti badai dalam secangkir kopi. Jadi orientasinya harus perubahan besar, dan perlu konsolidasi dengan arah dan perjuangan bersama,” urainya. Hal itu, harus dilakukan umat Islam sekarang, kalau tidak mau lagi menjadi pendorong mobil mogok di Pemilu 2024 mendatang. Anis menegaskan diperlukan visi baru untuk melakukan upaya-upaya mencegah terjadinya medan tempur kekuatan global  yang terjadi di Indonesia. Dalam pandanganya, ada Lima Visi Perjuangan Keumatan Indonesia sekarang ini. “Jadi sebenarnya, umat Islam sudah menyadari agama bukan sekadar identitas, tetapi lebih serius dari itu. Umat Islam besar, namun kesejahteraan minim, dan dalam berdemokrasi juga tidak mengalami perubahan,” kata Anis Padahal potensi umat Islam sangat besar untuk mewarnai hajatan politik, termasuk pada pemilu 2024 mendatang.  “Umat Islam perlu mengemban atau berperan lebih besar dalam kepemimpinan. Jangan sampai terjadi sebagai minoritas, atau hanya tepuk tangan saja,” tegas Anis Matta. (Lia)

Gugatan Presidential Threshold DPD-RI Ditolak MK

Jakarta, FNN ---Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD-RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK menilai DPD tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.   Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy policy (kewenangan pembuat Undang-Undang).  Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, Ketua DPD-RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan bahwa hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.  “Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla di Makkah, Saudi Arabia, Kamis (7/7/2022).  Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam.  “Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tukasnya.  Hukum ada untuk manusia Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika mejelis hakim MK yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.  “Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla.  Seperti diberitakan sebelumnya, saat menghadiri acara 25 tahun Mega-Bintang di Solo, Jawa Tengah, 5 Juni 2022 yang lalu, LaNyalla menyatakan MK layak dibubarkan jika membiarkan Oligarki Ekonomi menguasai negara melalui celah Presidential Threshold. “Karena Pasal 222 adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka,” ujar Senator asal Jawa Timur itu. LaNyalla menjelaskan, Pasal 222 yang menyumbang besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Karena itulah, DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK. (TG)

Pencabutan Izin ACT Tidak Proporsional

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  LANGKAH pemerintah, cq Mensos Muhadjir Effendi, mencabut izin operasional Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah tindakan yang tidak proporsional. Tidak adil. Alias Sewenang-wenang. Izin dicabut berdasarkan surat keputusan Kemensos tertanggal 5 Juli 2022. Super cepat. Padahal, semua kesalahan atau pelanggaran yang dituduhkan kepada ACT masih dalam kategori dugaan. Bukan kesimpulan audit. Bukan pula hasil investigasi final yang dilakukan secara resmi oleh lembaga penegak hukum. Laporan utama majalah TEMPO tentang kebocoran dana lembaga sosial ini seratus persen terfokus pada kejanggalan dalam sistem penggajian jajaran manajemen tinggi dan menengah di ACT. Tetapi, dalam waktu sehari saja tiba-tiba PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) muncul dengan sangkaan-sangkaan yang tendensius. Lembaga pemantau transaksi perbankan ini menyebutkan ada idikasi bahwa ACT mengirimkan dana ke berbagai pihak, khususnya penerima di luar negeri, yang berisiko digunakan untuk kegiatan terorisme. Nah, mengapa perluasan sangkaan penyalahgunaan dana ACT yang ditonjolkan? Bukankah masalah terbesarnya adalah soal penggajian? Hal-ihwal penggajian inilah yang harus diatasi. Dan, ternyata proses pelurusan sistem penggajian itu sudah dilakukan oleh manajemen baru yang mengambil alih pengelolaan ACT sejak 11 Januari 2022. Sekarang tidak ada lagi yang bergaji di atas 100 juta per bulan. Ini pun layak ditinjau ulang. Kalau fokus tindakan diarahkan ke soal penyeleweangan dana umat dalam hal besaran gaji pimpinan ACT, tentulah tidak perlu sampai pada pencabutan izin operasional lembaga sosial yang telah nyata kontribusinya untuk masyarakat yang mengalami kesusahan. Mengapa harus membakar lumbung kebaikan gara-gara satu-dua orang yang dikatakan bergaya hidup mewah di ACT? Mengapa harus diarahkan ke isu terorisme? Dan mengapa baru sekarang diarahkan ke isu ini? Wajarlah masyarakat menilai tindakan pemerintah membunuh ACT karena motif politik. Misalnya, lembaga yang lahir dari kesadaran filantrofis umat Islam ini menjadi besar dalam waktu singkat, hanya 17 tahun. Artinya, jutaan warga penyumbang percaya kepada ACT. Hingga lembaga sosial ini menerima donasi lebih dari setengah triliun (lebih 500 miliar) per tahun. Tindakan Mensos mencabut izin ACT pantas diduga karena termakan gorengan para buzzer bayaran. Para buzzer membully dan melecehkan habis ACT. Mereka menggambarkan lembaga ini sebagai musuh negara. Sangat keterlaluan. Tetapi, rundungan dari buzzer bayaran itu tidak mengherankan. Sebab, mereka akan menyerang apa saja yang terkait dengan kiprah positif umat Islam. Apa saja yang mengangkat citra umat, pasti akan segera dikeroyok. Mereka memang dibayar untuk itu. Para buzzer memang gerombolan anjing yang ditugaskan untuk menggonggongi kemaslahatan umat. Yang sulit dimengerti adalah tindakan sewenang-wenang Menteri Sosial Muhadjir Effendi. Mengapa beliau bisa masuk perangkat buzzer? Mengapa Pak Muhadjir bertindak berdasarkan gonggongan para buzzer itu? Kalau memang pemerintah mencurigai keterkaitan penyaluran donasi ACT dengan kegiatan terorisme, selayaknyalah diberi waktu untuk rangkaian penyelidikan yang menyeluruh. Bukan langsung mencabut izin operasional. Publik tahu manajemen ACT tidak mungkin bertindak sangat bodoh dengan mengirimkan donasi ke pihak-pihak yang terverifikasi melakukan kegiatan terorisme. ACT tidak mungkin menyembunyikan itu. Jadi, pemerintah tidak perlu berlebihan. ACT bisa diaudit kapan saja. Lakukan audit lengkap, bila perlu. Hanya dengan ini pemerintah memiliki landasan yang faktuql dan rasional dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus memulihkan status ACT agar mereka dapat segera melakukan kegiatan sosial yang sangat diperlukan masyarakat. Para penguasa tidak boleh bertindak berdasarkan asumsi yang dipaparkan oleh media yang kredibilitasnya justru bermodalkan asumsi juga.[]

Go Ahead ACT

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa PRAHARA menimpa Aksi Cepat Tanggap (ACT). Hal biasa sebagai dinamika sebuah lembaga atau organisasi. Jatuh bangun, pasang surut, hadapi satu masalah ke masalah lain, semua ini diperlukan untuk mematangkan dan mendewasakan organisasi.  Hari ini, Rabu 6 Juli 2022, ijin ACT untuk crowdfunding dicabut oleh Kemensos, dan 60 rekening di 33 bank dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Artinya, ACT tidak bisa lagi bergerak. Input dan outputnya ditutup. Sampai kapan? Semua berharap ini tidak akan lama. Segera ijin dibuka kembali, sehingga program-program ACT dalam membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, menolong korban bencana maupun korban konflik tetap bisa dijalankan. Tidak kurang dari 281.000 kali ACT dengan 78 cabangnya melakukan aksi sosial di 47 negara. Ini prestasi yang harus juga jadi pertimbangan. Perlu diberi kesempatan bagi pihak berwenang untuk audit dan melakukan investigasi yang diperlukan. Semakin cepat, ini akan semakin baik. Supaya semua clear dan segera beroperasi kembali. Apa yang menimpa ACT jangan disikapi terlalu berlebihan. Perlu sikap obyektif dan bijak. Hindari semua bentuk opini yang keluar dari obyek dan fokus persoalan. Tidak perlu emosional, apalagi jika anda tidak punya data dan informasi memadai. Ibarat rumah, ada genteng rusak, itu biasa. Panas dan hujan terkadang membuat genteng itu rapuh. Tak ada yang abadi, dan tak ada juga yang sempurna. Kalau genteng retak, ganti dan perbaiki. Kalau cat kusam warna dan terkelupas, cat ulang. Jangan robohkan rumah, biaya terlalu besar dan belum tentu bisa membangun kembali. Begitulah dengan lembaga, termasuk ACT. Januari awal tahun ini ACT sudah mulai melakukan renovasi rumah. Ada penyesuaian-penyesuaian. ACT telah melakukan restrukturisasi. Wajar, setelah 17 tahun perlu melakukan rekonstruksi organisasi. Di antaranya ACT melakukan perbaikan manajemen, efisiensi karyawan dan anggaran operasional, serta rekruitmen SDM dengan skill yang dibutuhkan. Kita ingin ACT tetap eksis dan terus menebar manfaat buat umat manusia. Ada ratusan lembaga model ACT di Indonesia. Ketika kita tidak bisa terlibat, setidaknya tidak ikut memperkeruh suasana. Hari ini prahara sedang menimpa ACT, boleh jadi besok menimpa yang lain. Perlu saling menguatkan. Memang, setiap lembaga berbasis sosial dan keagamaan dituntut dengan standar moral dan integritas yang sangat tinggi. Bahkan kadang terlalu tinggi dan tidak rasional. Harus ikhlas terima gaji misalnya, meski pas-pasan atau bahkan kurang untuk kebutuhan normal bagi keluarga. Dianggap makruh punya rumah besar, haram pakai mobil mewah, pamali take home pay tinggi, dan sejenisnya. Salah dikit, ramai-ramai dihakimi atas nama pertanggungjawaban sosial dan integritas agama. Semoga mereka yang berjuang di lembaga-lembaga sosial berbasis agama kuat mentalnya. Apa yang terjadi di ACT mesti pertama, menjadi pelajaran bersama untuk bertindak lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam mengelola dana amanah. Sebab, lembaga sosial akan selalu melibatkan publik untuk ikut aktif memantau semua kinerjanya. Ini konsekuensi logis yang harus diterima.  Kedua, publik tidak hanya dituntut untuk melihatnya secara obyektif, tapi juga adil, arif dan bijak. Penilaiannya mesti berbasis pada banyak aspek yang lebih komprehensif. Tidak sepotong-sepotong yang justru bisa menggiring terciptanya public distrust. Ini malah jadi kontra-produktif. Ketiga, support publik dibutuhkan untuk mendorong lembaga-lembaga seperti ACT tetap eksis sesuai aturan dan harapan publik, agar semakin besar kontribusinya kepada bangsa dan dunia.  Puncak Bogor, 6 Juli 2022