ALL CATEGORY
Jokowi Bawa Misi Hentikan Perang dan Bangun Perdamaian Ukraina-Rusia
Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo membawa misi membangun dialog, menghentikan perang, dan membangun perdamaian dalam rencana kunjungan ke Ukraina dan Rusia untuk menemui pemimpin kedua negara tersebut pada akhir Juni 2022.Presiden dijadwalkan menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Kiev, Ukraina, dan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow, Rusia, setelah menghadiri KTT G7 di Jerman 26-28 Juni 2022. Pertemuan Jokowi dengan Zelensky dan Putin diperkirakan dilakukan antara tanggal 29 dan 30 Juni 2022.\"Setelah dari Jerman saya akan mengunjungi Ukraina dan akan bertemu dengan Presiden Zelensky, misinya adalah mengajak Presiden Ukraina, Presiden Zelensky, untuk membuka ruang dialog dalam rangka perdamaian,\" kata Kepala Negara dalam keterangannya soal rencana kunjungan ke empat negara yakni Jerman, Ukraina, Rusia dan Uni Emirat Arab yang dimulai sejak Minggu (26/6).Presiden Jokowi menyampaikan pertemuan dengan Presiden Zelensky juga dilakukan guna mendorong terbangunnya perdamaian antara Ukraina dan Rusia, sebab perang harus dihentikan, dan rantai pasok pangan harus diaktifkan kembali.Setelah bertemu Zelensky di Kiev, Jokowi akan bertolak ke Moskow, Rusia, menemui Vladimir Putin.Presiden akan membawa misi serupa dalam pertemuannya dengan Putin, baik membuka ruang dialog perdamaian, mendorong dilakukannya gencatan senjata sesegera mungkin, hingga menghentikan perang.Presiden Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Kiev dan Moskow sejak konflik kedua negara terjadi.Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam keterangannya beberapa waktu lalu menyampaikan langkah Presiden Jokowi menemui Zelensky dan Putin untuk menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap isu kemanusiaan, serta memberikan kontribusi mengenai krisis pangan akibat perang.Menlu Retno menegaskan meskipun situasi sulit dan kompleks, namun Presiden Jokowi memilih berkontribusi untuk mengatasi perang yang terjadi antara Ukraina dan Rusia, dan tidak memilih untuk diam. (mth/Antara)
Presiden Bertolak ke 4 Negara Hadiri KTT G7 Hingga Upayakan Perdamaian
Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo bertolak mengunjungi empat negara, yakni Jerman, Ukraina, Rusia hingga Uni Emirat Arab (UEA), dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu.Dalam keterangannya sebelum keberangkatan, yang disaksikan secara daring dari Jakarta, Minggu, dia menyampaikan bahwa kunjungan ke Jerman dalam rangka menghadiri KTT G7 yang diselenggarakan pada 26-28 Juni 2022.Posisi Indonesia dalam G7 adalah sebagai negara mitra sekaligus diundang sebagai negara ketua G20.Setelah itu, dia akan menemui Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, di Kiev, Ukraina, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, di Moskow, Rusia, untuk mengajak keduanya membuka ruang dialog perdamaian atas perang yang terjadi antara kedua negara.Kemudian setelah itu Jokowi akan berkunjung ke Uni Emirat Arab guna melanjutkan kembali pembahasan kerja sama ekonomi dan investasi antara Indonesia dengan Uni Emirat Arab.\"Kunjungan ini bukan hanya penting bagi Indonesia tetapi juga penting bagi negara-negara berkembang untuk mencegah rakyat negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem dan kelaparan,\" kata dia. (mth/Antara)
Aba-Aba Oligarki
Pasca deklarasi PKS Is Not for Sale to Oligarch, PDIP membuat statemen: tidak akan berkoalisi dengan PKS. Salah seorang sahabat berkomentar, seharusnya PKS yang memutuskan untuk tidak berkoalisi dengan PDIP. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta AZYUMARDI Azra berpendapat bahwa secara objektif Calon Presiden Republik Indonesia (Capres) dalam perhelatan Pemilu 2024 yang terkuat adalah Anies Baswedan yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. Meminjam ungkapan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebaik apa pun seseorang, pasti tetap ada pihak yang tak menyukainya. Dengan kalimat lain, tentu saja ada pihak yang tidak sependapat dan/atau tidak suka dengan opini Azyumardi Azra tersebut. Berkenaan dengan bursa Capres-Cawapres 2024 jauh hari sebelumnya, Rocky Gerung, pengamat politik berpendapat bahwa bilamana Anies berpasangan dengan Puan Maharani, dia akan dikerjai Oligarki. Opini Rocky tersebut bertolak dari momentum Perlombaan Formula E di mana Puan Maharani dengan senang hati selfi bersama Anies tanpa menghiraukan Jokowi yang berada di sampingnya. Menyusul prediksi 4 koalisi partai pengusung empat pasang Cawapres yang dikeluarkan oleh Cakra Nusantara, muncul daftar pilihan favorit dari Capres-Cawapres versi media sosial bulan Juni beserta prediksi parpol pengusungnya. Pertama, Ridwan Kamil-Erick Thohir dengan pengusung Golkar-PPP-PAN. Kedua, Puan Maharani-Ganjar Pranowo dengan pengusung tunggal partai PDI Perjuangan. Ketiga, Anies Baswedan-Agus Harimurti dengan pengusung Nasdem dan Partai Demokrat. Keempat, Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar dengan pengusung Gerindra dan PKB. Membaca polarisasi parpol-parpol pengusung dan Capres-Cawapres yang diusung itu, tampaknya PKS konsisten dengan keputusannya. Rapimnas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merekomendasikan sejumlah nama Capres kepada Majelis Syura PKS, salah satunya Anies Baswedan. Dengan demikian PKS tak mungkin berkoalisi mendukung pasangan Capres-Cawapres Puan-Ganjar atau Prabowo Subianto-Muhaimin. Alternatifnya empat koalisi mengerucut menjadi tiga, yakni PKS, Gerindra, dan PKB bergabung jadi satu dengan Nasdem dan Demokrat mengusung Anies-Agus Harimurti. Pasca deklarasi PKS Is Not for Sale to Oligarch, PDIP membuat statemen: tidak akan berkoalisi dengan PKS. Salah seorang sahabat berkomentar, seharusnya PKS yang memutuskan untuk tidak berkoalisi dengan PDIP. Memperhatikan perkembangan bursa pencapresan terkini naga-naganya Aba-Aba Oligarki kepada PDIP adalah Asal Bukan Anies... Asal Bukan Anies! (*)
Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!
Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Pidato Kebangsaan Ketua DPD RI Diskusi Publik Komite Peduli Indonesia Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan Bandung, 26 Juni 2022) SAYA sampaikan terima kasih kepada Komite Peduli Indonesia (KPI), yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara Diskusi Publik Kebangsaan yang diselenggarakan hari ini. Tema yang diangkat cukup menarik. “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan”. Ini kalau dalam kalimat yang lebih singkat, padat dan jelas adalah; “Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!” Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kalau kedaulatan ada di tangan rakyat. Tetapi hari ini kita menyaksikan kesibukan ketua umum Partai Politik melakukan rapat-rapat terbatas. Pertemuan-pertemuan tertutup. Untuk membangun koalisi. Untuk menyiapkan pergantian pemimpin nasional. Dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan ini hanya menjadi penonton. Mengapa ini semua bisa terjadi? Karena memang kita sebagai bangsa telah memberikan kewenangan penuh kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sejak kapan itu terjadi? Sejak kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu. Karena sejak saat itulah, kita sudah meninggalkan sistem Demokrasi Permusyawaratan. Dimana kedaulatan rakyat ada di Lembaga tertinggi. Yang posisinya equal dengan DPR sebagai representasi Partai Politik. Karena di situ ada Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Saya tidak mengatakan bahwa perilaku politik yang terjadi di era Orde Baru adalah baik. Tetapi sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa ini, adalah sistem yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita memang wajib untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Termasuk pembatasan masa jabatan presiden. Dan penyempurnaan itu harus dilakukan melalui Adendum. Bukan mengganti sistem secara total. Di sinilah inti dari problem fundamental bangsa ini. Karena dari penelitian akademik yang dilakukan oleh Profesor Kaelan dari UGM, Konstitusi hasil amandemen 20 tahun yang lalu itu, sudah bukan lagi konstitusi yang lahir dari semangat Proklamasi. Bahkan disebut oleh Profesor Kaelan bahwa Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu sudah tidak ada. Akibatnya Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Bukan partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat dan Mamur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa. Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya. Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu melemahkan perjuangan tersebut. Sehingga harapan para pendiri bangsa agar tumbuh generasi yang lebih sempurna tidak terwujud. Karena hari ini yang tumbuh subur adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi dari sini harus kita awali; Rakyat Juga Menyusun Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan Indonesia yang lebih baik. Sebelum mengakhiri pidato ini, saya ingin sampaikan, bahwa saya sebagai Ketua DPD RI yang mewakili daerah, saya sudah berkeliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya bertemu langsung dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara. Saya menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan. Inilah yang menurut saya persoalan fundamental bangsa ini. Karena tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral. Karena penyebabnya ada di hulu. Bukan di hilir. Yaitu negara ini yang semakin menjadi negara yang sekuler, liberal dan kapitalistik. Karena itu saya harus memutuskan untuk bertindak dan berpijak sebagai Negarawan. Sehingga saya tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral. Sehingga bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas kepada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja. Tetapi harus lebih fundamental dari itu. Saya bisa saja egois, dan hanya mendorong penguatan DPD RI melalui gagasan Amandemen berikutnya. Tetapi sebagai negarawan, saya harus adil sejak dalam pikiran. Harus jernih sejak dari hati. Dan harus memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Karena persoalan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Persoalan ini menyangkut kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Dan persoalan inilah yang menimbulkan ketidakdilan dan kemiskinan struktural. Sehingga menyebabkan negara ini tidak bisa mewujudkan hakikat dari cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada pilihan bagi saya, untuk terus mendorong kesadaran seluruh elemen bangsa, bahwa kita harus kembali ke Pancasila. Kita harus kembalikan Konstitusi Negara ini kepada nilai-nilai Pancasila yang tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita. Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita. Dengan ciri utama adalah; semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Semoga ikhtiar kita untuk melakukan perubahan demi Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Sehingga ketidakadilan yang telah melampaui batas ini dapat kita akhiri dengan satu keyakinan, yaitu; Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! (*)
Miskin Ahlak dan Kefakiran Jiwa
Terlihat dan terkesan sebagai aktifis pergerakan, rajin menyemburkan kata-kata perjuangan, akan tetapi sesungguhnya yang tak tampak tapi nyata, tak lebih dari mengidap penyakit hati yang akut. Bukan hanya sekedar pendusta yang penuh hasad, dengki dan fitnah, memecah belah kalangan perlawanan. Perwujudan nilai berjuang, hanya mampu dimaknai dengan beras, baju dan uang. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI MANUSIA Indonesia, dalam kehidupan personal, saat membentuk kelompoknya, hingga membangun hubungan dalam ikatan kebangsaannya. Terasa semakin terus mengalami degradasi moral. Ada gejala merosotnya kualitas lahir batin dalam hidupnya. Interaksi sosial yang terjalin di antara sesamanya, semakin memprihatinkan dan jauh meninggalkan nilai-nilai. Norma-norma dan etika terbiasa diabaikan, semudah menerobos lampu merah dan aturan lalu-lintas lainnya. Hukum positif negara dan syariat keagamaan, layaknya lagu pop kontemporer yang mudah dinikmati dan disukai, namun semudah melupakan dan menjadikannya kenangan. Kecuali pada penguasa, sebagian besar rakyat Indonesia kerapkali mengeluh pada kenyataan-kenyataan hidup bernegara dan berbangsa. Isu dan tema-tema demokrasi, HAM, kepemimpinan nasional dan masih banyak lagi pembahasan krusial lainnya. Tak pernah berhenti menjadi bahan pergunjingan saban hari dan saban tempat. Diskusi atau musyawarah tak lagi dapat dibedakan, untuk mencari solusi atau sekedar panggung isu, intrik dan fitnah. Niat, tata-cara dan tujuan pergaulan sosial tersebut kecenderungannya telah menjadi sarana bercampurnya kebaikan dan keburukan. Ada indikator kuat betapa menjadi serba permisif ketika memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kebatilan. Harus diakui dan tak terbantahkan, bahwasanya negara sedang tidak baik-baik saja bahkan boleh dibilang dalam keadaan emergensi. Semua boleh saja menyebut kekuasaan dikendalikan oleh rezim yang dzolim. Membuat ilustrasi pemerintahan yang thogut sekalipun atau bahkan pemimpin yang tak ubahnya sosok Firaun di jaman modern. Realitas potret sosial dari publik yang melahirkan pandangan kritis dan geliat perlawanan. Tapi sayang dan miris, upaya rakyat dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu tak sekedar memunculkan konflik vertikal, perlawanan rakyat terhadap rezim yang mewakili pertarungan kelas atas dan kelas bawah.. Lebih dari itu, telah berdampak juga pada sesama kelas bawah dan sesama kelas menengah. Rasa permusuhan dan kebencian kini menyelimuti sesama anak bangsa. Bahkan perseteruan yang terjadi di antara mereka tanpa mereka sadari, sesungguhnya korban juga dan yang selama ini menjadi kaum tertindas oleh sistem. Namun jauh lebih hebat pertarungan sesamanya ketimbang kepada rezim. Dengan pembawaan pikiran dan perilaku yang penuh syak wasangka, dilumuri oleh sifat hasad dan dengki serta hati yang terbiasa senang melhat orang susah dan susah melihat orang senang. Sesama rakyat jelata dan marginal itu, pada akhirnya hanya akan menodai ruh dan semangat perjuangan pembebasan. Mencoreng marwah kekuatan pergerakan, karena menuduh yang lain tercela dan hina, sembari melupakan fakta dirinya justru diselimuti hal tersebut. Tanpa eling dan intropeksi, dipenuhi syahwat mengagungkan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Mengaku dan berkoar-koar pejuang tapi sejatinya penghianat dan pecundang. Mengumumkan ke publik dirinya revolusioner, akan tetapi sebenarnya hanyalah kontra revolusioner dan penghianat bagi rakyat, negara dan bangsa serta kemanusiaan pada umumnya. Kini, kekuasaan yang absolute dan absolut korup, semakin langgeng dan digdaya. Bukan karena rezim yang kuat dan tak bisa dikalahkan, melainkan karena lemah dan rapuhnya gerakan kesadaran kritis dan perlawanan. Kekuatan oposisi terus asyik saling mengigit sesamanya, menebarkan sikap merendahkan, dzolim dan menganiaya kemurniaan perjuangannya sendiri. Kekuasaan yang mengendalikan uang, senjata dan birokrasi, hanya bisa dihadapi dengan kebiasaan ghibah dan saling menghujat sesama aktifis pergerakan. Atau jangan-jangan banyak yang sekedar mengaku-aku dan klaim sebagai pejuang, padahal sesungguhnya membawa gen dan sifat kemudharatan dan distorsi kekuasaan. Perilaku kekuasaan yang ditentangnya dan oleh karena itu sering terlontar hujatan dari mulutnya yang penuh fitnah dan keji juga. Aduhai kasihannya, sudah hidup menganiaya dan menindas dirinya sendiri, terbelenggu pula oleh miskinnya ahlak dan kefakiran jiwa. Antara penguasa dzolim dan yang menggugatnya beda-beda tipis. Sampai kapan sanggup memakai topeng?. Munjul-Cibubur, 26 Juni 2022
Bung Karno Ajarkan Putrinya dengan Segala Suku, Megawati Melarang Anaknya dengan Tukang Bakso!
Jakarta, FNN – Ada pemandangan menarik di area depan kantin di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (23/6/2022). Terparkir dua gerobak Bakso Malang. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri berjalan pelan menuju salah satunya. Ia mendekat ke gerobak, lalu memesan semangkok Bakso Malang. Setelah itu, Megawati duduk santai di sebuah kursi yang berada di depan penjual bakso. Tampak Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Wiryanti Sukamdani terlebih dulu ada di sana. Ada beberapa politikus PDIP seperti Yasonna Laoly terlihat duduk di sebelah Megawati yang menunggu semangkok bakso tiba. Begitupun Bendahara Umum PDIP Olly Dodokambey. Sementara itu, Ketua DPP PDIP Muhammad Prananda Prabowo duduk di sebelah kanan Yasonna. Mas Nanan, sapaan Prananda, terdengar meminta awak media yang meliput kegiatan Megawati mau menyantap bakso, bisa sejenak melepaskan kerja. “Ayo bisa sembari. Nanti dilanjut lagi,” kata Mas Nanan mengajak awak media juga memesan bakso. Beberapa menit berselang, semangkuk bakso berikut kerupuk bakwan tiba untuk Megawati. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang berada di dekat Megawati sedang duduk kemudian menyebut aktivitas menyantap bakso sebenarnya bukan hal asing. “Ini keseharian kami, setelah kami rapat,” ucap Hasto. Adakah kehadiran tukang bakso itu terkait dengan pernyataan Megawati saat pidato dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP, Senin (21/6/2022) yang dikritisi netizen karena dianggap melecehkan profesi tukang bakso? Dalam pidato di Rakernas PDIP, Megawati bercerita tentang pesannya kepada Puan saat mencari pasangan. Dalam video yang beredar di media sosial itu, Megawati menyatakan, dia mewanti-wanti agar tiga anaknya tidak membawa menantu yang kayak tukang bakso. “Jadi ketika saya mau punya mantu nih, saya sudah bilang sama anak saya tiga (orang), awas loh kalau nyarinya yang kayak tukang bakso,” ungkapnya yang disambut tertawa oleh para kader PDIP yang datang. Bahkan, Presiden Jokowi dan Puan Maharani, juga ikut tertawa menanggapi candaan ibunya. Pernyataan Megawati itu kemudian mengundang berbagai reaksi publik. Banyak warganet yang juga menyayangkan pernyataan perempuan 75 tahun itu karena dianggap mendiskreditkan sebuah profesi. “Ini balik lagi pada soal tadi bahwa politik Indonesia artinya diasuh berdasarkan hubungan Bapak Ibu doang,” komentar akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung. “Itu bahayanya. Kan ini negara, ini ada institusi itu. Bukan karena dua kader yang ada di dalam satu partai bergembira lalu kita ikut bergembira. Ada juga yang nggak bergembira hari ini, yang masih merenung, yaitu tukang bakso,” ujar Rocky Gerung saat dialog dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (25/6/2022). “Kan tukang baksonya sudah langsung diundang dan Bu Megawati dan Mbak Puan juga sudah langsung menikmati bakso itu,” tukas Hersubeno Arief. “Ya, tapi itu undangan setelah kerusakan terjadi karena dari awal kita sudah bisa baca psikologi Ibu Mega yang bandingkan, misalnya dengan dulu Bung Karno bilang, ini saya punya Putri, Ibu Mega yang saya ingin dia menikah dengan segala macam suku bangsa,” ungkap Rocky Gerung. Menurutnya, itulah sebetulnya yang musti kita ingat perbandingan dengan ayahnya, Bung Karno. Jadi tidak ada satu sinyal pun dari Bung Karno yang memungkinkan kita membuat interpretasi kurang berwawasan kebangsaan. Bung Karno selalu final di dalam soal urusan kebangsaan dan urusan wong cilik. “Ibu Mega kemarin terpeleset lidah. Dan, karena itulah langsung dibetulkan oleh timnya keplesetan lidah itu dengan mengundang tukang bakso supaya ada lidah yang tiba di bola bakso dengan makan bakso bersama,” lanjutnya. Hersubeno mengungkap, pernah terjadi juga waktu masalah rebus-rebusan dulu itu, soal Megawati yang mempersoalkan emak-emak kenapa meributkan harga-harga minyak, kemudian dibikin acara rebus-rebusan di PDIP. Rocky menjelaskan, kalau analis menganggap ada pola yang sudah final pada Megawati, yaitu kurang paham tentang empati pada rakyat kecil. Bahwa Mega adalah pemimpin wong cilik itu simbol perlawanan yang dari zaman Orde Baru kita justru jagokan Megawati. Tetapi, setelah itu Megawati jadi elitis dan ketika mengkritisinya kurang tepat sebetulnya dalam menyapa wong cilik. “Kan tukang bakso tetap merasa bahwa kok didiskriminasikan, lalu diundang. Itu namanya dikasih gula-gula setelah dapat kopi pahit,” kata Rocky Gerung. “Jadi kita tetap musti waspadai karena ini bangsa yang sangat peka dengan soal-soal kesenjangan ekonomi dan rasialisme. Saya mau terangkan itu bukan untuk membongkar ulang peristiwa itu tapi untuk mengingatkan bahwa Bung Karno mengajarkan kebangsaan, kesamarataan,” tegas Rocky. “Nggak ada sinyal sedikit pun di situ tentang rasialism atau pelecehan profesi. Kita di FNN membahas ini karena masih viral dan banyak orang kadang lupa konteksnya, maka kita kasih konteks akademis. Bahkan sudah ada istilah bahwa Ibu Mega kok pakai istilah rekayasa genetik,” lanjut Rocky. “Mungkin Ibu Mega kurang mengerti masalah itu dan harusnya dikoreksi oleh kalangan itu. Kan istilah rekayasa genetika itu istilah fasis. Istilahnya Adolf Hitler. Eaugenic, mengagung-agungkan satu gen. Eau artinya yang bagus; genic artinya gen,” tambahnya. “Nggak ada gen yang bagus pada diri manusia, karena itu enggak perlu ada rekayasa genetika. Itu soalnya. Jadi, humanity first, itu yang hendak kita beritahu pada Ibu Mega,” ungkap Rocky. Jadi kita memberitahu sesuatu yang secara faktual di dalam sejarah dunia itu buruk, istilah rekayasa genetika. Semoga Megawati mengerti sebagai seorang Profesor bahwa soal-soal sejarah itu penting untuk kita koreksi, lepas dari soal retorika yang akan dibela oleh PDIP. “Tapi saya sebagai akademisi yang pernah mengajar bertahun-tahun soal sosiologi dan genetik itu harus terangkan itu,” tegasnya. Menurut Hersubeno, kemarin juga sempat dipersoalkan aktivis HAM Natalis Pigai, ada Wamen dari Papua yang kader PDIP, Megawati menganalogikan seperti kopi dan susu, itu ternyata menjadi persoalan juga buat teman-teman di Papua. “Jadi saya kira memang poinnya adalah kita lihat bahwa bagaimanapun Ibu Mega adalah tokoh bangsa ini dan beliau jadi panutan. Jadi, next memang kelihatannya beberapa hal yang disampaikan mesti lebih hati-hati supaya tidak disalahpahami. Mungkin maksudnya memang bercanda,” tegasnya. (mth/sws)
Menuju “Poros Perubahan Nasional”
Selamat dan sukses pada dialog kebangsaan kedua di Bandung. Negara harus kembali ke UUD ‘45 Asli. Atas dasar itulah dialog Nasional merasa perlu untuk membentuk “Poros Perubahan Nasional”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA tanggal 26 Juni 2022 para tokoh Nasional akan melanjutkan dialog ke-2 di Bandung, untuk konsolidasi menyatukan tekad berjuang mengembalikan negara ini yang telah menyimpang dari tujuan kiblat bangsa. Pada dialog kebangsaan pertama yang dihadiri oleh beberapa tokoh Nasional bertepatan dengan Peringatan Lahirnya Mega Bintang ke-25 di Kota Solo telah sepakat untuk berjuang melalui wadah bernama Poros Perubahan Nasional. Gagasan munculnya Poros Perubahan Nasional dari dialog Nasional di Solo tersebut karena keprihatinan atas telah terjadinya ketidakadilan yang meluas yang dirasakan oleh masyarakat dan kemiskinan struktural yang diabaikan oleh penguasa negara. Negara telah berubah menjadi seluler, liberal, dan kapitalis. Kedaulatan rakyat terkikis telah hilang, bahkan negara telah lepas kendali dari Pancasila sebagai gronslag negara dan UUD 1945 diganti dengan UUD 2022. Amandemen UUD ‘45 menjadi UUD 2022 telah mengakibatkan negara berjalan tanpa arah, menimbulkan banyak masalah, negara menyimpang dari tujuan negara. Rezim saat ini seperti tidak menyadari bahayanya ketika negara telah mengganti UUD ‘45 dan melepaskan diri dari nilai nilai dasar Pancasila. Keadaan negara makin terpuruk, dan bahkan menuju pada kerusakan hingga kehancurannya adalah akibat negara telah dikendalikan oleh Oligarki sangat kuat mencengkeram, mengarahkan, dan mengendalikan tata kelola negara dan bayang bayang kekuatan China yang riil berpotensi menjadi penjajah gaya baru. Dalam kendali Oligargi, negara menyimpang jauh dari tujuan negara, yaitu: \"untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selamat dan sukses pada dialog kebangsaan kedua di Bandung. Negara harus kembali ke UUD ‘45 Asli. Atas dasar itulah dialog Nasional merasa perlu untuk membentuk “Poros Perubahan Nasional”. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak untuk menyusun Koalisi: Koalisi Rakyat Bersatu untuk Poros Perubahan Nasional menuju Indonesia Kembali UUD ‘45 Asli, musnahkan Oligarki, dan selamatkan Indonesia dari kehancurannya. Untuk memusnahkan Oligarki dan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran yang sudah di depan mata adalah kita harus segera memberlakukan kembali UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena, amandeman UUD ’45 itulah penyebab tatanan kehidupan berbangsa dan negara menjadi rusak. Berbagai produk perundangan hasil amandemen UUD ’45, seperti UU Minerba dan UU Omnibus Law, merugikan rakyat. Implementasi Pasal 33 UUD 1945, tidak ada sama sekali. Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4). Ambillah contoh implementasi pada pasal 33 ayat 2 dan di atas. Siapa yang menguasai ribuan hingga jutaan hektar lahan di Sumatera, Kalimatan, dan wilayah provinsi lainnya dengan konsesi lahan adalah Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik. Rasanya saya tidak perlu menyebut siapa saja mereka ini. Silakan googling sendiri. Di sana banyak data dan informasi mengenai penguasaan lahan oleh segelintir orang dan kelompok oligarki. Mungkikah Presiden Joko Widodo berani mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli? Rasanya tidak akan berani. Karena, salah satu penopang “investasi politik” yang menjadikan Jokowi presiden adalah oligarki. Untuk mewujudkan kembalinya UUD 1945, maka kehadiran Poros Perubahan Nasional diharapkan menjadi penggerak perubahan situasi politik Indonesia lebih baik. (*)
Memecah Mitos Mahfud
Jika orang-orang yang waras enggan atau masa bodoh atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung di sekitarnya, maka Allah SWT akan membiarkan mereka, dan doa-doa mereka tidak diijabah-Nya. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta SALAH satu stasiun televisi nasional menayangkan program dialog dalam kemasan “Mitos atau Realitas”. Misalnya, laki-laki berumur lebih panjang daripada perempuan, itu mitos; ngopi bisa mempererat persahabatan, itu realitas. Mahfud MD pernah menulis di twitter, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek, karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa menjadi iblis juga.” Dalam sebuah meme lengkap dengan foto wajah Mahfud MD tertera narasi demikian, “Malaikat sekalipun akan berubah menjadi iblis bila berani masuk ke dalam sistemnya Indonesia saat ini.” (Mahfud MD/Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2013). Pada tanggal 9 November 2017 Mahfud MD menulis lagi, “Setiap kasus bisa dicari pasal benar atau salahnya menurut hukum. Tinggal siapa yang lihai mencari atau membeli. Intelek tukang bisa mencarikan pasal-pasal sesuai dengan pesanan dan bayarannya.” Beredar juga tulisan Mahfud MD, “Saya nantang siapa saja, dimana saja, di dalam forum terbuka. Yang bisa menunjukkan kepada saya, tentang adanya khalifah atau khilafah sebagai sistem pemerintahan di dalam Al-Quran dan Hadis,” kata Mahfud MD usai jadi pembicara seminar di IAIN Salatiga, Kamis (7/12/2017). Bahwa Pak Menteri pernah mengajukan pernyataan tantangan untuk berdiskusi tentang Khilafah, karena itu pernyataan ini penting untuk ditindaklanjuti dalam kerangka berdakwah, menjelaskan esensi khilafah dari hukum hingga urgensinya. Adapun untuk waktunya, kami persilakan Pak Menteri untuk dapat mengagendakannya. Kami berusaha menyesuaikan waktunya. Untuk konfirmasi 081290774763 a/n Ahmad Khozinudin, Jakarta (19/4/2022). “Saya tak ada waktu melayani dialog yang hanya sensasi,” kata Mahfud MD (democrazy.id). Apakah ini bentuk kebohongan Pak Mahfud? Demikian kata Ahmad Khozinudin. Prof. Daniel Mohammad Rosyid menulis, “Saya ingat almarhum ayah kami alumni FH UGM 1961 melarang kami kuliah di FH. Beliau bilang, itu FH Bengkong, “dadio dokter opo tentara”. Ini karena praktek hukum di Indonesia makin memuakkan. Lalu ayah berhenti jadi pengacara, pindah jadi pedagang.” Penulis lain menyebutkan bahwa di USA memang penegakan hukum (rule of law) sangat “stricht” sekali. Keputusan pengadilan (hukum) tidak ditentukan oleh hakim, tetapi oleh “juries” ... hakim cuma sabagai moderator, bukan pengambil keputusan atas nama Tuhan seperti di Indonesia. Sistem Hukum di Indonesia memang warisan kolonial Belanda yang menempatkan hakim sebagai “wakil” Tuhan ... eh, pemerintah/penguasa. Penulis yang lain punya kawan/senior yang baik, alm Trimoelja D. Soerjadi SH, pengacara/pembela Kasus Marsinah. Pernah menasehati agar jangan sekali-kali coba berurusan dengan hukum (pengadilan) di negeri ini. “Waktu almarhum bicara begitu saya masih belum paham maksudnya, sampai suatu saat almarhum minta serta mengajak saya masuk menjadi anggota ad hoc Dewan Kehormatan Peradi (Jatim), dan di situlah saya betul-betul paham bagaimana sulitnya menegakkan kebenaran dan mencari keadilan di negeri ini.” Pledoi alm Trimoelja untuk kasus Marsinah diberi judul “The Republic of Fear”. Pembelaan yang betul-betul bikin ramai saat itu, karena harus melawan rezim Soeharto yang sangat represif, keras-menindas, waktu itu. Keberanian membela kebenaran yang berisiko hancurnya mobil almarhum yang parkir di depan rumah, ditabrak lari, dan bentuk-bentuk teror lainnya. Alhasil, terdakwa (palsu) disangkakan sebagai pembunuh Marsinah dibebaskan oleh Hakim, dan DanRem di mana kasus Marsinah terjadi dicopot dan dipindahkan. Berkenaan dengan tragedi berdarah di muka bumi kita ingat komentar Ali Syari\'ati, pemikir revolusi Iran yang ikut menjungkalkan Syahreza Pahlevi, bahwa Kabil adalah inspirator penumpahan darah di bumi. Siapa saja yang melakukan pembunuhan dapat disebut sebagai ahli waris darah dingin Kabil. Al-Quran mentahbiskan bahwa siapa saja yang membunuh jiwa tanpa kesalahan bagaikan membunuh semua insan, dan begitu sebaliknya. Motif orang melakukan kejahatan itu bermacam-macam, akan tetapi jika dilacak bisa ditemukan akarnya pada watak dan karakter negatif manusia, yakni iri, dengki, dan dorongan nafsu hewani. Al-Quran menarasikan kisah Nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya. Ketamakan manusia juga digambarkan dalam kisah dua orang yang beperkara yang mengadu kepada Nabi Daud AS. Dalam kehidupan sosial-politik, Ratu Saba\' di masa Nabi sekaligus Raja Sulaiman, putra Raja-Nabi Daud, menarasikan bahwa para raja bila memasuki suatu wilayah cenderung destruktif, merusak stabilitas dengan menistakan kalangan yang terhormat. Tidak jauh berbeda, para pemuda pada masa penguasa tertentu terpaksa menyelamatkan akidahnya dengan mengasingkan diri dalam sebuah gua. Dalam sepenggal kisah Nabi Musa menuntut ilmu, ternyata ia tidak sanggup menahan diri, bersabar untuk tidak berkomentar atas apa saja yang dilakukan oleh guru spiritualnya, yakni merusak kapal yang ditumpanginya. Tuhan memperingatkan tentang azab yang diturunkan, yakni tidak hanya menimpa para pelaku kejahatan. Karakter orang-orang beriman bertolak belakang dengan karakter orang-orang munafik. Orang-orang munafik mengajak berbuat jahat, dan mencegah berbuat baik. Akhir drama di panggung dunia adalah mahkamah Illahi pada hari akhir nanti yang menampakkan kontras kondisi orang-orang yang tidak beriman dengan mereka yang bertakwa kepada Tuhan. Rasulullah SAW jauh hari sebelumnya telah mengingatkan perlunya peduli dalam kehidupan bersama. Jika orang-orang yang waras enggan atau masa bodoh atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung di sekitarnya, maka Allah SWT akan membiarkan mereka, dan doa-doa mereka tidak diijabah-Nya. Dalam kondisi bagaimanapun orang-orang beriman tidak boleh putus asa dan menyerah pada situasi dan kondisi yang membelenggunya. Salah seorang penulis merumuskan 15 falsafah hidup KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai berikut. 1. “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.” 2. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu.” 3. “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi toleransinya.” 4. “Agama mengajarkan pesan-pesan damai. Tapi ekstremis memutarbalikannya. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah.” 5. “Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.” 6. “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.” 7. “Esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.” 8. “Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, maka kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.” 9. “Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apa pun perilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.” 10. “Perbedaan dalam berbagai hal, termasuk aliran dan agama, sebaiknya diterima, karena itu bukan sesuatu masalah.” 11. “Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” 12. “Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan, terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” 13. “Kepemimpian yg baik dapat membawa hasil yang baik tanpa banyak menumpahkan darah.” 14. “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” 15. “Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan.” Siapa saja yang masih mempunyai benih-benih kebaikan, sebarkanlah, walaupun kiamat sudat dekat.] Tegakkan kebenaran dan keadilan kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, walaupun langit akan runtuh. Semua manusia setara di muka hukum, demikian pula di muka Tuhan Yang Maha Esa. (*)
Peta Jakarta 1618. Kyai Arya Patih Majakatera
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Peta tahun 1618, pra-VOC, dibuat orang Belanda yang dikoleksi Ijzerman. Ini port Jacatra, gerbang Jacatra yang batas selatannya Beos. Bukit-bukit Tambora yang melebar dari Glodok baru digusur XVIII M. Konsentrasi penduduk di Kapuk Muara, Blandongan, dan Jembatan Lima. Selain di kawasan dalam peta. Saat peta dibuat pembangunan Labuhan Kalapa II dan Kota Inten sudah selesai pada tahun 1540. Ke arah utara peta lokasi adalah Menara Syahbandar. Blok merah dalam peta adalah kawasan Patih Kyai Arya. Maka ada dua alat bukti tentang kepatihan Majakatera (Jacatra): 1. Dokumet perjanjian Portugis Malacca dan Sunda Kalapa 1521 yang menyebut Patih . Mundari 2. Peta Ijzerman yang memuat lokasi hunian Patih Kyai Arya. Dengan demikian terbantah claim Kesultananan Banten yang berdiri 1552 menjajah Sunda Kalapa. Peta ini juga menginformasikan gelar Kyai sudah dipakai di négeri Betawi paling tidak tahun 1618. Sebelah utara hunian Kyai Arya tertulis Batterij. Mestinya Ba\'cere, hunian Peru. Blok sebelah barat yang dibelah Kali Ciliwung dengan blok Timur adalah Port Jacatra. Inilah Kota Jacatra dimana ada pasar, alun-alun dan messigiet (mesjid). Port Jacatra bagian dari pembangunan labuhan Kalapa II 1522-1540. Bangunan mesjid yang tersisa hingga kini mihrab. Tetapi sulit disimpulkan bahwa ini mesjid tertua di Jakarta. Karena di sebelah barat Majakatera ada sumur bersuci yang dinamakan Mandi Rancan yang masih terpelihara hingga kini. Keberadaan Mandi Rancan dilaporkan Bujangga Manik dalam Lalampahan yang ditulis XIV M. (RSaidi).
Sekarang Saya Jawab…
Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak menyusul Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan yang lebih baik. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia SAYA sebenarnya tidak mau menanggapi banyaknya pertanyaan dan komentar di media sosial. Baik itu di grup WA, maupun di twitter dan medsos lainnya. Yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara ini. Dulu-dulu LaNyalla ke mana saja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam. Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Di lembaga negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di awal Pandemi Covid. Dan apa yang saya temukan? Ada dua persoalan yang hampir sama. Yaitu: Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan. Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan yang fundamental. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan, ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua lembaga negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu, saya terus-menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin sekuler, liberal, dan kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation. Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk taat dan menjalankan konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir, dan Dzikir. Saya melihat ada persoalan di dalam konstitusi kita. Di mana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Dan, puncak dari semua itu adalah saat kita tiba-tiba melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM Jogjakarta dalam hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa amandemen 1999-2002 silam bukanlah amandemen atas konstitusi. Tetapi penggantian konstitusi. Saya tidak perlu mengulas panjang lebar di sini. Silakan dibaca sendiri hasil penelitiannya. Tapi yang pasti, sejak amandemen itu, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang ketidakadilan dan kemiskinan struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan sistem demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Akibatnya tidak ada lagi ruang bagi elemen civil society non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu. Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan, negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati! Sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘agar tumbuh generasi yang lebih baik’. Tetapi hari ini yang tumbuh adalah oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Bukan partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di alinea kedua pembukaan konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di alinea keempat pembukaan konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya. Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu melemahkan perjuangan tersebut. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak menyusun Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan Indonesia yang lebih baik. Saya berharap para mantan aktivis progresif yang sekarang menjadi Komisaris-Komisaris di BUMN dan Pejabat Negara tidak berubah menjadi taqlid buta. Sehingga menjadi pejuang anti perubahan dan menjadi politisi yang berpikir keras tentang next election. Bandung, 25 Juni 2022. (*)