ALL CATEGORY

Efek Puan dan Ganjar, Adu Kuat Megawati vs Jokowi

Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN BEREDAR narasi di medsos seperti berikut ketika berlangsungnya Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2022. “Kok melas banget yaaa? Malah dia yg hrs menghadap. Emaaaak. Udah menghadap kursinya yg diduduki gak layak untuk seorang kepala negara. Emaaaknya duduk di kursi lebih waaah. Dan menghadap meja besarnya”.  “Bentuk lain dari keangkuhan dan kebodohan? Kok bisa perlakukan Presiden, spt staf koorlap sedang menghadap manajer”. Dalam video berdurasi 7 menit yang sudah ditonton 31,2 ribu tayangan itu, tampak sekali Presiden Joko Widodo menghadap Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Tampak pula Ketua DPR RI Puan Maharani disaksikan kakaknya, Prananda Prabowo, sedang mengambil gambar saat Presiden Jokowi menghadap Mega. Dalam narasi yang beredar, video ini diambil sebelum pembukaan Rakernas PDIP tersebut.    Entah petuah apa yang disampaikan kepada Jokowi, sayangnya nyaris tidak terdengar suaranya. Namun, jika melihat posisi tempat duduknya, layaknya seorang anak buah yang sedang menghadap The Godfather seperti dalam film mafioso. Jokowi tampak gelisah seakan sedang dimarahi Megawati. Sikap Megawati itu baru diketahui ketika Mega menyampaikan pidatonya. Ia bicara keras kepada kader PDIP yang dinilai “menyimpang” dari kebijakan partai. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Tidak salah, peringatan keras itu jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Apalagi, belakangan ini Ganjar memang sibuk bermanuver untuk membangun citranya untuk kepentingan Pilpres 2024 mendatang. Ganjar telah melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Teguran keras Megawati itu tampaknya juga ditujukan kepada Jokowi yang dinilainya bermain di “dua-tiga kaki” dan ikut bermanuver untuk muluskan Ganjar jika manuver tiga periode dan perpanjang masa jabatan presiden itu ternyata gagal total. Untuk mengantisipasi semua, maka Jokowi bersama Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai orang kepercayaannya, menyiapkan Ganjar sebagai “sekoci” Jokowi. Mereka menyiapkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP. Di sisi lainnya pula, Partai NasDem ternyata memasukkan nama Ganjar yang menjadi salah satu dari tiga nama yang bakal diajukan NasDem sebagai calon presiden 2024. Nama Ganjar muncul bersama Gubernur DKI Anies Baswedan dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Mungkin inilah yang dimaksud main di “tiga-kaki” itu. Jurnalis Senior Asyari Usman menggambarkan ceramah pembukaan Rakernas oleh Megawati itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Sekoci darurat ini disiapkan Jokowi untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap Gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bahwa Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Teguran keras Megawati ini masih patut dipertanyakan. Apakah benar ini untuk partai atau pribadi terkait dengan keinginan putrinya, Puan Maharani, yang juga mengincar tiket Capres PDIP itu. Manuver Ganjar ini pula yang menyebabkan perpecahan Banteng dan Celang di Jawa Tengah. Banteng mendukung Puan. Sedangkan Celeng menyokong Ganjar. Untuk meredakan amarah Megawati sebenarnya tidak terlalu sulit. Coba ikuti saran saya. Satukan dua kekuatan PDIP ini: Puan dan Ganjar. Apalagi, PDIP sendiri, jika mengikuti aturan Presidential Threshold 20%, toh bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri tanpa “kerjasama” dengan partai lainnya. Dan, sebagai “petugas partai”, sebaiknya Ganjar mengalah dulu, dia Cawapres dan Puan sebagai Capresnya. Ganjar baru boleh nyapres setelah dua periode Puan jabat presiden. Jadi, Ganjar bisa maju Capres pada Pilpres 2034 nanti. Maka, pada saat itu, tidak akan ada lagi penghalang bagi Ganjar untuk maju Pilpres, karena toh Puan – atas nama Undang-Undang – jabatan Presiden itu dibatasi 2 periode saja. Jadi, Ganjar akan mulus menuju Kursi Presiden. Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Ini agar Ganjar tak “dibajak” oleh NasDem yang sudah memasukkan namanya sebagai salah satu Capres juga berpeluang diusung NasDem pada Pilpres 2024 sebagai Capres. Terkait Ganjar, Asyari Usman menulis, Megawati tidak akan sampai hati jika memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Tidak Pantas Perlakuan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang seolah sedang mengadili Jokowi di dalam “ruang rektor” yang videonya tersebar luas itu, sangat “tidak pantas”. Jabatan Presiden itu tidak identik dengan Jokowi. Sekalipun saat ini kursi itu sedang di tempati oleh “petugas” partai bernama Jokowi, toh faktanya, Jokowi itu adalah Presiden Republik Indonesia yang sah secara hukum. Sejak dilantik MPR, Jokowi itu presiden Rakyat Indonesia. Mungkin ada rasa tidak suka, bahkan benci kepada Jokowi. Tapi, seharusnya Megawati tidak memperlakukan Jokowi seperti layaknya seorang anak buah mafioso yang sedang “diadili” oleh The Godfather PDIP. Sebagai rakyat yang menyaksikan perlakuan atas Presiden Jokowi, tentunya tidak salah kalau kita marah, kecuali kita memang sudah menganggap bahwa kita sudah tidak punya presiden lagi. Artinya, keberadaan Jokowi sudah kita anggap, tidak ada! Ketika menerima Jokowi, seharusnya Megawati menemuinya di sofa yang ada di ruang tamu sehingga posisi duduknya bisa melingkar dan tampak santai. Saat itulah Megawati bisa memberikan petuah jika ada perilaku Jokowi yang dinilainya “salah langkah”. Sebagai sesepuh PDIP, tugas Megawati itu menasehati dan mengayomi semua “petugas” partai. Kalau dia sakit, Megawati harus mengobati. Jabatan Presiden menempati tempat tersendiri. Jabatan presiden silih berganti. Ketika Presiden sedang lupa diri, jangan hanya ditertawai, meskipun terlihat kerjanya hanya menyakiti rakyat dengan beragam kebijakannya. Lepas kendali konstitusi, melepas kebijakan halusinasi yang penuh hanya fantasi. Sehingga, semua larut hanya ikut berimajinasi. Jangan perlakukan nista saat masih ditugasi sebagai Presiden. Jangan merasa tersaingi. Jabatan Presiden harus tetap dihormati. Jangan saling mengunci dan melucutinya. Apalagi dengan rasa iri dan dengki. Jokowi harus tetap didampingi. Sebagai Ketum PDIP, Megawati seharusnya bisa menasehati, saling melengkapi. Bukan apriori, seolah merasa membawahi Jokowi. Melihat kejadian itu semua merasa ngeri. Terkesan Presiden sedang diadili oleh Ketum Parpol. Mawas dirilah dan hormati, jabatan Presiden itu milik negeri. Bukan milik Partai! (*)

Rocky Gerung: Jokowi Wariskan Cara Berpolitik Pada Gibran

PUTRA Presiden Joko Widodo yang menjabat sebagai Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mulai dilirik oleh sejumlah partai politik untuk maju bertarung pada Pilkada 2024 mendatang. Dan yang menarik, “Cerita lama ini terbukti juga soal kemungkinan Gibran akan maju menjadi Gubernur sebelum bapaknya turun dari jabatan, karena ia sudah bertemu Pak Prabowo, Ibu Mega, dan Mbak Puan, bahkan ia didorong untuk menjadi Gubernur di dua daerah, Gubernur DKI Jakarta atau Jawa Tengah,” ungkap wartawa senior FNN Hersubeno Arief di kanal Rocky Gerung Official, Senin (20/6/2022). Bagaimana tanggapan pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung melihat hal ini? Berikut jawabannya kepada Hersubeno Arief. Ini kalau di luar negeri biasanya dikasih oleh koran kuning itu dikasih sinyal yang judulnya mungkin “Diplomasi di kandang kuda”. Kira-kira begitu, karena ini mengingatkan juga diplomasi dengan Pak Jokowi  juga di tempat yang sama. Jadi ada pewarisan cara berpolitik. Pak Jokowi wariskan pada anaknya cara melobi itu ya di kandang kuda. Sebab kalau di kandang bebek jauh ke Kalimantan. Biar Pak Jokowi sendiri yang suka ngumpet di kandang bebek. Tapi kita mau lihat itu serius bahwa semua analis boleh saja bikin kalkulasi tentang rasionalitas politik Jokowi, rasionalitas politik Prabowo. Tetapi, base line-nya tetap, Presiden Jokowi sudah land duck. Karena itu dia ingin ada backup yang paling dia percaya tentu politik dinasti dia tuh. Jadi dengan mudah kita tahu bahwa Pak Jokowi tetap berupaya untuk jadi Presiden tiga periode. Kalau dia gagal, dia musti siapkan pengganti dia yang akan dijamin bahwa dia tidak akan dipersoalkan secara politik nanti. Bagaimana kalau gagal? Ya kalau gagalpun, yang paling aman ya siapkan dinastinya. Itu rumus yang paling sederhana. Jadi Gibran ada di sana itu pasti disiapkan dengan maksud yang jelas supaya jadi Gubernur DKI. Sebab, itu lompatan paling bagus nanti ke periode berikutnya. Artinya, Pak Jokowi membebani bangsa ini dengan politik tuker tambah semacam itu. Jadi betul dari parsial trade-off dan Pak Prabowo juga ngerti itu. Trade off itu artinya Pak Prabowo ingin dapat game lebih banyak. Pak Prabowo kan sangat ahli dalam soal political trading semacam ini. Iya, kalau sinyal itu diberikan ke Pak Prabowo ya silakan masuk jadi gubernur segala macam, ya itu Pak Prabowo sudah tahu sinyalnya lebih dahulu. Jadi, sebelum diucapkan mending Pak Prabowo duluan. Begitu juga Ibu Mega. Kalo Ibu Mega itu ada ukuran-ukuran kecil. Kalau Pak Prabowo itu betul-betul soal taktik Pak Prabowo saja. Kalau Ibu Mega mengucapkan itu, itu betul-betul ada tuker tambah. Kalau Gibran dianjurkan masuk jadi Gubernur DKI bersama-sama Mbak Puan juga mempersoalkan hal yang sama. Tapi di atas kertas begitu dibawa kertas tetapi ini ada desain Presiden Jokowi untuk mempertahankan dinastinya. Jadi sekarang jadi ngeh bahwa kenapa kemarin Pilkada 2020 yang naik di situ Gibran dan menantu Pak Jokowi di Medan, Bobby, tetap diadakan di tengah masa pandemi. Tapi kemudian dengan alasan yang serupa Pilkada berikutnya ditunda sampai 2024. Jadi betul-betul sudah dihitung matang time frameny. Rocky Gerung menambahkan bahwa yang sibuk itu kan surveyor yang kita tahu dari awal menyiapkan bantalan untuk rel kereta baru. Kan seperti itu. Jadi bantalannya dibikin di Jakarta, di Medan. Itu lebih mudah karena langsung riil pegang kekuasaan. Ya bagaimanapun Pak Jokowi itu adalah seorang player, pemain politik yang memang ingin agar ekspansi kekuasaannya betul-betul bisa dia kontrol. Kalau polisi kan tetep saja bisa ditipu. Pak Jokowi merasa jadi lebih baik kalau dia siapkan juga jalan keluar lain, yaitu perpanjang dinastinya. Itu mudah sekali diterangkan. Apalagi kalau kita ingat bahwa Pak Jokowi hidup dalam kultur politik Jawa, yang hanya keluarga yang bisa memastikan keamanan kekuasaan. Jadi, pewarisan legacy itu sebenarnya bukan infrastruktur yang sudah pasti gagal, akhirnya legacy-nya adalah dinasti. Jadi, kita gambarkan ini atau kita buat deskripsi saja bahwa begitulah politik dalam pengertian senyatanya-nyatanya. Nah, terlihat jelas infrastrukturnya sudah mulai disiapkan sangat serius berkaitan dengan Gibran. Kalau Bobby saya belum lihat bagaimana track record-nya, tapi saya kira kalau dari Medan kemudian menjadi gubernur Sumatera Utara itu kan tinggal satu langkah. Kalau Gibran agak berputar kalau dia ke Jakarta. Ketua PBNU Jakarta sudah menyebut nama Gibran dengan Gus Gibran, walaupun tradisi NU Jakarta beda, tidak kenal dengan seperti itu. KNPI Yogyakarta juga sudah menyerukan supaya dia jadi Ketua Umum KNPI. CSIS juga sudah membuat survei para ahli skor kepemimpinan Gibran itu termasuk sepuluh besar, bahkan mengalahkan skornya Riza Patria, Wakil Gubernur DKI, dan nama Ahmad Syahroni, ketua fungsionaris Nasdem yang kemarin sukses menggelar Formula One. Kita tahu sebetulnya sudah ngerti apa yang ada di belakang otak CSIS. kita hafal political gimmick-nya telah kita tahu, siapa yang mendesain soal-soal protoleransi propluralisme segala macam. Politik Jokowi mulai sekarang sudah jelas bahwa Jokowi akhirnya berupaya untuk memperlihatkan bahwa di ujung kekuasaannya ia menghendaki bahwa siapapun yang terpilih harus di bawah pengaruh dia. Jadi sudah clear desainnya seperti apa Jokowi sudah kebaca semua berkaitan dengan Gibran terutama. (mth/sws)

Megawati Hajar Jokowi dan Ganjar, Mungkinkah Mereka Diam Saja?

Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bicara keras. Tidak tanggung-tanggung, Bu Mega menyindir dan mempermalukan Presiden Joko Widodo, juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di depan Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, 21 Juni 2022. Mega menceramahi, tepatnya memarahi, Jokowi dan Ganjar. Megawati menghajar kedua “petugas partai” itu terkait dua hal. Pertama, langkah Jokowi menyiapkan kendaraan pilpres untuk Ganjar. Kedua, soal “prime minister” (perdana menteri) Jokowi – dalam hal ini Luhut Binsar Panjaitan. Harus diakui, Bu Mega cukup piawai. Beliau menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi yang telah kenyang dengan pengalaman. Ceramah pembukaan Rakernas itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Kita lihat substansi yang pertama, yaitu langkah Jokowi menyiapkan sekoci darurat untuk Ganjar pada pilpres 2024. Sekoci darurat ini disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bu Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Beliau memperingatkan Jokowi dan Ganjar agar tidak melakukan politik dua-kaki, tiga-kaki, dst. Dia mengancam akan memecat mereka dari PDIP. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Peringtan keras ini jelas tertuju kepada Ganjar. Sejak setahun ini, dia sibuk bermanuver untuk membangun jalan menuju pilpres. Ganjar melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Sedangkan Jokowi –melalui orang kepercayaannya, Luhut Binsar Panjaitan – menyiapkan koalisi beberapa partai politik, yaitu Golkar, PAN, dan PPP. Melalui sejumlah kader PDIP, Megawati memperingatkan agar Jokowi tidak mengusahakan tiga periode atau penundaan pilpres. Masinton Pasaribu, misalnya, langsung menggempur Luhut soal ini. Sedangkan Puan Maharani menyindir Ganjar yang tidak berbuat apa-apa untuk Jawa Tengah. Substansi kedua adalah soal peranan Luhut di pemerintahan. Bu Mega memang tidak menyebutkan secara langsung kekuasaan besar Luhut di kabinet Jokowi. Tetapi, dia mengatakan bahwa pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial. Bukan sistem parlementer. Bu Mega agak kesulitan ketika menggunakan analogi sistem parlementer ini untuk menyindir Luhut. Tetapi, sangat jelas bisa dipahami bahwa Bu Ketua Umum menegur keras Jokowi karena menyerahkan begitu banyak tugas kepada Menko Marinves (Kemaritiman dan Investasi) itu. Bahkan, banyak kekuasaan yang berada di luar lingkup dan keahliannya juga diserahkan kepada Luhut. Dengan peringatan keras dan sindiran tajam tentang penyiapan Ganjar sebagai capres, apakah Jokowi akan diam saja? Dan, apakah Ganjar tidak takut dipecat kalau terus sibuk dengan pilpres? Terkait Jokowi, yang perlu diingat bahwa dia sebetulnya lebih merasa dirinya sebagai “kader oligarki” ketimbang sebagai kader PDIP. Artinya, Jokowi tidak akan berhenti menyiapkan Ganjar untuk pilpres 2024 sampai dia pasti masuk ke Istana. Jokowi sekarang merasa sudah sangat kuat. Bagi dia, peringatan keras Bu Mega itu bisa dijinakkan melalui diskusi-diskusi tertutup tentang sistem moneter, sistem barter, investasi politik, tentang ‘how to make money from power’, atau diskusi mengenai operasi penggantian “kelamin politik” menjadi “kelamin uang”. Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Terkait Ganjar, Bu Mega tidak akan sampai hati memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Jadi, tak diragukan lagi bahwa Jokowi akan jalan terus untuk menyiapkan Ganjar; dan Ganjar akan berkampanye semakin gencar. Medan, 22 Juni 2022. (*)

Tugas Baru Menko Luhut: Urus Kuota Haji

SETIDAKNYA ada dua berita yang cukup menarik untuk dibahas. Pertama, keputusan Mahkamah Konstitusi agar Ketua MK yang juga adik ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, dan Wakil Ketua MK Asmanto didemo KAHMI Pare-Pare di rumahnya harus mundur. “Tapi ini mundurnya sebagai Ketua dan Wakil Ketua, tidak mundur sebagai Hakim Konstitusi,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam dialog dengan pengamat politik Rocky Gerung di kanal Rocky Gerung Official, Selasa (21/6/2022). Berita kedua yang menarik adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang dapat jabatan baru dari Presiden Jokowi yang ke-28 untuk mengurus kuota haji. Bagaimana Rocky Gerung melihat dua berita ini? Berikut petikan wawancara Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung. Kita mulai soal Ketua Mahkamah Konstitusi dulu. Menurut Anda? Ini akal-akalan, sebetulnya atau dalam ilmu hukum penyelundupan hukum. Walaupun terkesan bahwa mulai ada pengertian tentang yang disebut conflict of interest. Tetapi kita mesti tahu bahwa memang dia nggak bisa diberhentikan karena dijamin oleh Undang-Undang sampai 70 tahun segala macam. Itu jaminan legal. Yang dipersoalkan publik adalah jaminan etisnya. Karena Mahkamah Konstitusi itu adalah lembaga etis pertama-tama, baru lembaga hukum. Itu yang dimaksud dengan prinsip the guardian of the constitution. Menjaga konstitusi itu artinya seseorang paham dari awal kedudukan dia yang sebetulnya mewakili semacam devine order yang biasa disebut begitu, tatanan surga. Jadi tidak ada urusan dengan undang-undang. Undang-undang itu mengatur administrasi dari seseorang yang jadi hakim. Tetapi batin dan integritasnya tidak diatur oleh undang-undang. Justru ini dianggap sebagai hakim yang sudah makrifat maka nggak perlu lagi lirik-lirik undang-undang tentang soal etis. Jadi itu intinya. Jadi kalau betul bahwa ketua dan wakil ketuanya diminta mundur, itu artinya dari awal memang ada pelanggaran etis. Nah kita teruskan saja pelanggaran etis itu tidak boleh setengah-setengah, ya mundur sekalian gitu. Jadi mundur separuh itu setengah melanggar etis berati masih etis. Jadi hal ini yang nggak bisa dipahami teman-teman di Mahkamah Konstitusi. Memang kemudian ya kami bersih-bersih dari dalam. Ya bukan itu soalnya. Keteguhan kita untuk mendalilkan kemahkamahan, itu disebut mahkamah, karena ada kemuliaan di situ. Prinsip yang biasa disebut dalam bahasa Perancis oblesse noblesse, semakin tinggi semakin noblesse. Semakin dia mulia (noble) maka semakin dia dituntut untuk peka. Kewajiban untuk peka itu yang disebut oblesse noblesse. Tetapi, itu tidak berlaku di kita, karena selalu mengincar celah, maka ditemukanlah celah hukumnya itu. Oh, iya mengundurkan diri karena aturan ini, tetapi bukan tentang aturan yang lain. Tukar tambah begitu tetap justru memerosotkan nilai noblesse-nya dari Mahkamah Konstitusi. Jadi kalau ada mahasiswa bikin skripsi ini bagus. Bahwa Mahkamah Konstitusi menyelundupkan hukum untuk membenarkan conflict of interest. Jadi bagian-bagian ini yang ingin kita benahi dari awal. Tidak ada maksud kita untuk cemburu atau mengurusi privasi orang. Justru sifat noblesse nobelty dari MK. Kita sebut dia mahkamah, itu sudah di atas hukum positif. Etika itu yang mesti didahulukan. Kalau misalnya Pak Ketua MK bilang, oke saya sekaligus mengundurkan diri karena saya mendengarkan pembicaraan Rocky Gerung dan Hersubeno Arief. Itu yang namanya bermutu. Karena hasilnya bermutu dia akan diingat. Dia justru akan dicatat dalam sejarah Mahkaman Konstitusi bahwa Hakim pertama yang mengerti tentang prinsip oblesse noblesse tersebut, tentang kemakrifatan Mahkamah Konstitusi itu adalah Pak Anwar ini, yang adalah ipar Presiden. Jadi akan ditunjukkan justru karena dia adalah ipar maka dia paham tentang etika tertinggi dari MK. Itu keren banget. Akan ada lagi disertasi yang akan menulis tentang: etik dan politik, studi kasus Ketua Mahkamah Konstitusi yang adalah ipar Presiden Jokowi. Itu keren banget. Sudah dapat kan dua desertasi. Pak Jokowi juga dapet point dong. Hal-hal begini sebetulnya yang ingin kita ajarkan lewat FNN Channel. Karena kita serius ini. Kalau kita lihat kemarin Gibran (Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo), katanya dia mendapat nasihat dari Prabowo, Megawati, dan Puan Maharani untuk maju Pilkada DKI atau Jawa Tengah. Saya kira tanpa mendapat nasihat pun dan tanpa dapat saran pun kita tahu pasti dia akan maju pada pilkada 2024. Bobby (Bobby Nasution, Walikota Medan, menantu Presiden Jokowi) begitu juga di Sumatera Utara. Jadi potensi-potensi konflik Pilkada ini kan muaranya semua nanti ke MK. Jadi, tetap saja nanti, seperti sekarang sudah ditunjukkan Anwar Usman, ketika ada kepentingan dia sendiri dia bisa bersikap adil. Kalau toh adil orang tetap curiga, apalagi kalau tidak adil. Menang kemudian dimenangkan orang curiga, kalah dimenangkan orang lebih curiga lagi. Ya ini kita mau dorong sebelumnya Pak Anwar Usman supaya betul-betul jadi figur yang membersihkan proses peradilan kita. Jadi kalau Pak Anwar Usman melakukan suatu tindakan radikal maka orang akan ingat, Presiden Jokowi memang tidak menghendaki adanya conflict of interest. Itu berarti hakim-hakim di tingkat bawah juga akan lihat itu sebagai sinyal. Jadi kita ingin ada sinyal-sinyal mulia dari mahkamah yang mulia, supaya tadi kecurigaan orang berhenti. Kan tetap orang itu anggap bahwa memang dipersiapkan untuk membela kepentingan Istana kalau terjadi gugatan konstitusional karena pemilu dan yang lain-lain. Jadi tetap itu nggak akan hilang. Pak Anwar lebih baik lakukan secara paripurna dan publik akan kasih hadiah, yaitu hadiah moral yang baik betul buat Pak Anwar. Jadi sebuah peristiwa seringkali di belakangnya ada sesuatu yang tersembunyi. Yang kita inginkan sebetulnya bukan mengusir Pak Anwar dari MK, tapi Pak Anwar mengusir persepsi publik tentang conflict of interest dengan cara dia mundur sepenuhnya. Dan itu yang akan menandakan bahwa Pemilu ada jaminan dari Mahkamah Konstitusi kelak akan bersifat imparsial. Jadi, sinyal-sinyal moral itu yang hilang dari bangsa ini sebetulnya, yang justru diajarkan oleh orang-orang yang mendirikan bangsa ini dan bermutu semua. Iya karena kalau saya lihat Anwar Usman tahun ini usianya 65 jalan 66 tahun. Jadi seperti memang sudah memasuki usia pensiun. Tetapi, karena undang-undang yang baru, undang-undang nomor 7 tahun 2020, itu sekarang mengatur bahwa hakim konstitusi baru pensiun pada usia 70 tahun. Artinya, pada tahun 2026. Dan itu melewati tahun 2024, yang menjadi tahun-tahum politik. Ya itu skandal-skandal kan ada di 2024 akhir atau 2025 awal. Itu skandalnya masih ada di situ dan nanti orang berhitung oh memang ditunda dulu karena masih akan terima banyak skandal politik yang akan masuk ke MK. Makin buruk citra yang akan dipersepsikan orang terhadap Pak Anwar sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. Jadi hitungan ini yang kita sebut selalu hitungan etis. Itu intinya. Lagi-lagi teman-teman juga yang lain dalam mahkamah juga, sebetulnya ikut bersalah karena tidak mau bikin semacam kasih public address bahwa kami disenting opinion terhadap Keputusan Mahkamah kami sendiri. Kan begitu. Supaya DPR juga tahu kalau undang-undang itu sebetulnya dimaksudkan hanya untuk mengatur administrasi kepejabatan. Bukan soal moral. Kan itu soal perpanjangan segala macam. Waktu DPR bikin undang-undang itu, dia cuman menghitung bahwa setiap Hakim yang akan memperpanjang masa jabatannya, sekaligus sampai 70 tahun itu moralnya bagus itu. Kan dia enggak dihitung bahwa oh nanti pada 2022 ada perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan adik presiden. Itu nggak pernah dibayangkan terjadi, tapi justru karena itu Pak Anwar ingatkan bahwa prinsip undang-undang itu hanya mengatur administrasi masa tugasnya, bukan mengatur etika. Etika itu diatur dari dalam hati. Dari kesepakatan di dalam para hakim sendiri yang disebut sebagai community of ethics. Jadi, Mahkamah Konstitusi itu adalah community of ethics, bukan community of low. Itu intinya. Ya kemarin ada dua orang yang menyampaikan “disenting opinion” tapi saya kira itu bukan berkaitan dengan usia 70 tahun, tapi lebih pada masa jabatan tadi. Karena tadi Anda menyinggung tahapan-tahapan yang orang kemudian bisa saja curiga jangan-jangan memang sudah disiapkan karena sudah ada presedennya. Ini berkaitan dengan soal majunya Gibran dan Bobby ke Pilkada 2024. Kita ingat lagi tahun 2020 ketika sedang sangat tinggi-tingginya pandemi justru pada waktu itu dipaksakan tetap ada Pilkada. Alasan yang dibuat Kementerian Dalam Negeri, dengan adanya kepala daerah yang definitif nanti penanganan dari covid bisa jauh lebih efektif. Sekarang kemudian ketika tahun 2022, ketika ada sejumlah kepala daerah akan pensiun, termasuk salah satunya Anies Baswedan, itu kemudian ditunda tahun 2024 dengan alasan juga yang sama. Sekarang pandemi benar sudah berakhir. Jadi itu alasan bisa dibatalkan sekarang ini. Iya mungkin mereka bikin peraturan itu, terutama Makhkamah Konstitusi (karena) belum divaksin Booster. Jadi, kalau kita masukkan, semuanya sudah divaksin 70 persen, dan boosting-nya juga sudah banyak, ngapain lagi. Jadi hal-hal yang semacam itu yang kemudian kita ingat sebagai cara ngakali demi kepentingan politik. Jadi akal-akalan ini kan kalau cari akal-akalan ya cari yang lebih kongkritlah atau yang lebih rumit. Kalau ini kan jadi skandal, covid dijadikan dasar. Kata covid ngapain gua nggak ikut pemilu. Jadi, bagian ini yang bahayanya. Kalau kita bikin satire nanti, jika undang-undang ini digugat musti dibawa ya virus covid buat jadi saksi ahli. Balik pada soal tadi, ini akal-akalan. Dan akal-akalan itu akan membuat legitimasi pemilu menjadi buruk. ‘ Demikian juga dengna penyelenggaranya, yaitu Presiden. Presiden Jokowi penyelenggara pemilu. Jadi orang akan menganggap ini dipersiapkan oleh penyelenggara, yaitu presiden. Kan perintah undang-undang, presiden yang menjalankan Pemilu. Ya semua sinyal seminggu ini menunjukkan, semuanya sudah dirancang dari awal dan sekarang mulai dicicil dibuktikan itu. Luhut Urus Kuota Haji Oke jadi tadi itu termasuk anomali hukum. Kita sekarang lanjutkan dengan anomali kekuasaan. Tadi kita singgung Luhut ini tiba-tiba sekarang ngurusi kuota haji karena kemarin bertemu dengan MBS (Muhammad bin Saud, Raja Arab Saudi) ini diposting di instagram-nya Luhut. Yang menarik, yang diajak itu Ketua PBNU, bukan Menteri Agama. Memang Ketua PBNU itu kakak kandung dari Menteri Agama. Ini jangan dikaitkan dengan agama ya, memang kebetulan Luhut agamanya bukan Islam, tapi ini soal tupoksi, tugas pokok dan fungsinya. Ya tidak ada soal sebetulnya, siapapun bisa mengurus haji karena haji kan urusan administrasi. Urusan teologinya itu adalah pada kelompok-kelompok itu sendiri yang punya pengatur rohaninya. Tentunya Pak Luhut tidak akan mengatur rohani ibadahnya, tetapi dia mau memuluskan perjanjian-perjanjian penyelenggaraan itu, terutama kuota. Tapi kalau itu ditaruh di Instagram, itu sesuatu yang jadi politik juga karena seolah mau memberitahu bahwa saya non-muslim, saya yang ngurus itu. Sebetulnya nggak ditaruh di IG juga publik tahu bahwa Pak Luhut itu bisa menyelesaikan banyak hal, termasuk apa saja soal ibadah haji. Yang musti tersinggung mustinya Menteri Agama. Itu tugas Menteri Agama, mengurus administrasi orang beragama. Menteri Agama bukan mengurusi iman orang tapi mengurus administrasi orang beragama. Administrasi Islam itu adalah haji, administrasi Kristen, Budha, dan segala macam. Jadi administrasinya yang dia urus. Kalau administrasinya diambil alih oleh Pak Luhut, kita mau tanya lalu gaji yang diberi rakyat pada Menteri Agama untuk mengurus administrasi kenapa diterima? Kan ini intinya. Menerima gaji tapi tidak menjalankan fungsi. Saya kritik itu dari segi public policy. Menteri Agama teman baik saya. Nggak ada soal saya kasih kritik pada beliau dalam kedudukannya sebagai Menteri. Jadi orang di belakang Ini menghitung itu, ada apa? Kenapa Pak Luhut yang mengambil alih lagi. Mungkin sekali sedang dipersiapkan satu upaya untuk membedakan Pak Luhut mengerti semua masalah, termasuk dalam masalah-masalah keagamaan. Karena itu sahlah Pak Luhut menjadi Perdana Menteri. Atau sedang diupayakan untuk dicalonkan jadi presiden oleh Presiden Jokowi. Jadi diperlihatkan kemampuan itu. Kalau soal kapasitas Pak Luhut itu sudah over-lah, sudah semuanya bisa dia tangani. Yang menjadi masalah adalah sistem bernegara kita. Suatu waktu mungkin nanti menteri Pak Prabowo atau Menteri Pariwisata, Kementerian Koperasi, yang mengurus jatah ibadah haji. Jadi soal ini yang orang pertanyakan, di mana yang disebut sebagai meritocracy profesionalism di dalam kabinet Jokowi. (mth/sws)

Kapan Reshuffle Presiden?

Sang presiden baru saja melakukan reshuffle kabinet, sebuah jurus usang menyalahkan kinerja menteri yang notabene sebagai pembantunya. Presiden seperti sedang memainkan lakon, seorang supir yang mabuk dan ugal-ugalan, kemudian menyalahkan kondektur karena kecelakaan pada bis yang dikemudikannya sendiri. Memang  kambing hitam, kambing putih ataupun kambing warna lainnya,  terbiasa untuk dipelihara, dijual dan dipotong untuk dimakan sendiri atau dikurbankan. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI Belum lama ini presiden melakukan pergantian menteri dan pengangkatan wakil menteri di tengah negara yang terus mengalami kemerosotan ekonomi dan politik. Sayangnya, pemilihan menteri baru itu tidak serta-merta menunjukan sosok yang penuh integritas dan dapat  membangun kepercayaan publik. Mengingkari janjinya sendiri, presiden masih mengakomodir representasi partai politik dan mengesankan  kebiasaan bagi-bagi kursi jabatan dan kompromi politik sebagai siasat menghadapi pemilu dan pilpres 2024. Presiden tidak hanya menelanjangi diri sendiri, ia juga membongkar aib dari kerumunan gerombolan politik yang berlindung di balik belenggu konstitusi dan  tirani kekuasaan. Presiden bahkan tidak mampu melihat realitas di depan mata dan sekelilingnya, mana yang bisa bekerja dan mana yang ngga becus meski sekedar menyandang gelar pejabat. Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presideh seharusnya mampu membedakan mana orang jujur dan  baik serta mana orang jahat yang bersemayam dalam istana dan institusi negara lainnya. Mirisnya lagi  ketika reshuffle kabinet, menteri barunya selain tidak kompeten dan kapabel, juga dirundung kontoversi dan  polemik. Ada menteri yang masih tersandera kasus pidana korupsi, ada juga yang perwakilan partai politik yang elektabilitasnya 0%. Lucunya lagi banyak menteri lama yang masih bertengger di singgasana kabinet, padahal kinerjanya. buruk, disinyalir terseret kasus korupsi dan banyak melakukan distorsi kebijakan yang ikut memperburuk kondisi negara dan bangsa. Terlebih ada seorang menteri yang kekuasaanya melebihi presiden, menjadi menteri segala urusan dan menentukan semua persoalan rakyat. Menteri senior itu masih kuat bertahan dan  tak ada siapapun yang dapat mengusiknya. Pada akhirnya publik menilai, antara hubungan presiden dengan menterinya,  sangat sumir siapa sesungguhnya yang jadi presiden dan siapa yang jadi pembantunya. Ada seloroh sebagian besar masyarakat, bahwasanya ada menteri yang rasa presiden, ada presiden yang rasa pembantu. Bahkan secara ekstrim ada yang menyebut presiden sebagai boneka atau setidaknya jongos dari kekuatan yang lebih besar, semisal oligarki atau para pemilik modal besar. Dengan tidak adanya korelasi yang signifikan antara pergantian menteri dengan perbaikan kondisi negara dan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan politik, perbaikan kualitas demokrasi, disipin dan keteladanan para pemimpin, tanggap darurat terhadap kesengsaraan dan penderitaan hidup rakyat akibat pandemi serta krisis multi efek yang ditimbulkannya. Membuat rakyat semakin yakin pada satu konklusi terhadap apa yang menyebabkan dan siapa yang paling bertanggungjawab terhadap keterpurukan rakyat, negara dan bangsa selama hampir  dua periode ini. Bukan hanya kalangan oposisi, sebagian besar dari dalam lingkar kekuasaan dan irisannya. Belakangan meski tak bersuara nyaring juga sudah mulai gelisah, menjaga jarak dan saling menyalahkan. Ada keengganan untuk melakukan kritik oto kritik dari para menteri dan pejabat lainnya kepada pimpinannya dalam hal ini sang presiden. Entah karena takut tersingkir dan terlempat dari zona nyaman atau takut tak bisa ikut juga menikmati kue kekuasaan yang menggiurkan. Orang disekelilingnya dan para pendukungnya ramai-ramai berjamaah berlaku asal bapak  senang (abs) dan menjadi penjilat kekuasaan. Ikut secara sadar dan sukarela membenarkan kesalahan atau penyimpangan  yang dilakukan presiden. Kalau sudah seorang presiden yang menjadi sumber dan akar masalah pemerintahan, negara dan bangsa. Maka semua masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk dan menggunung, akan menjadi krisis yang terstruktur, sistematik dan masif. Rakyat akam menanggung semua bebannnya dan negara bangsa telah berada diambang kehancuran. Tidak ada pilihan lain dan tak ada solusi kongkrit untuk menyelamatkan Indonesia dan generasi masa depannya, kecuali kemauan dan keberanian rakyatnya sendiri. Tentunya sambil melakukan refleksi dan evaluasi perjalanan  kebangsaan selamai ini. Seluruh  kompomen rakyat  selayaknya mulai menyadari dan mengingatkan  kapan berlangsungnya  reshuffle presiden? (*)

Piagam Jakarta adalah Kompromi Bangsa

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TERJADI perdebatan gagasan mengenai dasar negara dalam Sidang BPUPKI 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Kutub besarnya adalah antara konsepsi dasar negara Islam dengan konsepsi netral atau kebangsaan. Sebutan mudahnya antara kubu agamis dengan kubu kebangsaan. Solusi BPUPKI adalah membentuk panitia kecil untuk merumuskan dasar negara yang belum final dan menjadikan dokumen itu sebagai teks proklamasi. 1 Juni adalah hari lahirnya panitia kecil. Sidang BPUPKI ditutup untuk mempersilahkan panitia kecil bekerja.  Komposisi panitia kecil berjumlah 9 (sembilan) orang itu dari kubu agamis (Islam) 4 orang yaitu Prof. A Kahar Muzakir, SH, Abikusno Tjokrosujoso, KH Wahid Hasyim, dan H Agus Salim. Sedangkan kubu kebangsaan juga 4 orang yaitu Ir. Soekarno, Drs Moh Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Mr Moh Yamin. Satu orang Kristen yaitu Mr. A.A Maramis. Pada tanggal 22 Juni 1945 panitia kecil yang dikenal sebagai Panitia Sembilan tuntas menunaikan tugasnya.  Hasil konsensus dengan prosedur yang manis ini menghasilkan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Dasar negara adalah sebagaimana rumusan Pancasila saat ini. Hanya sila pertama berbunyi \"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari\'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya\". Prof Soepomo menyebut konsensus itu sebagai \"Perjanjian Luhur\" sedangkan Dr. Sukiman menyebutnya sebagai \"Gentlemen Agreement\". Rumusan Piagam Jakarta inilah yang diamanatkan sebagai teks proklamasi yang harus dibacakan saat kemerdekaan.  Meskipun ada AA Maramis yang beragama Kristen rumusan sila pertama yang ditetapkan 22 Juni 1945 itu tidak dirasakan sebagai masalah. Moh Hatta menulis dalam \"Mohammad Hatta : Memoir\" bahwa \"Mr Maramis.. tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah diskriminasi\". Akhirnya dalam Sidang PPKI 18 Agustus 1945 sebagaimana diketahui \"tujuh kata\" sila pertama Pancasila itu dihapus. Dengan proses penghapusan yang  juga alot dan dramatis bahkan mungkin kontroversial. Namun kubu Islam akhirnya memahami dan dapat menerima \"Ketuhanan Yang Maha Esa\".  Pancasila adalah hadiah dari umat Islam.  Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 telah dinyatakan final sebagai \"konsensus kedua\" setelah 22 Juni 1945. Bangsa Indonesia berpedoman pada rumusan akhir ini.  Masalahnya adalah adapula yang mencoba menarik ke area beda pandangan atau konflik masa lalu yaitu dengan adanya penetapan 1Juni sebagai \"hari lahir Pancasila\" bahkan melalui Keputusan Presiden segala. Hal ini bertautan dengan upaya melemahkan makna Pancasila 18 Agustus 1945 khususnya dalam kaitan dengan sejarah dan peran umat Islam.  Adalah \"bid\'ah politik\" mengangkat 1 Juni dengan melupakan 22 Juni. Hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945 masih pro dan kontra. Jika kubu \"kebangsaan\" mendeklarasikan 1Juni 1945  sebagai hari lahir Pancasila, maka kubu \"Islam\" wajib untuk mendeklarasikan 22 Juni 1945 sehagai hari lahirnya Pancasila. Piagam Jakarta adalah kompromi bangsa.  Umat Islam sudah dapat menerima untuk menyelesaikan konflik pandangan dengan menyepakati hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Akan tetapi jika tetap dipaksakan bahwa lahir dan makna dinisbahkan pada Pancasila 1 Juni 1945, maka umat Islam wajar untuk kembali pada lahir dan makna Pancasila 22 Juni 1945.  Dekrit Presiden Ir. Soekarno 5 Juli 1959 menyatakan :  \"Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut\" Remember Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Bandung, 22 Juni 2022

Hotel Bebas Inlander

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  Litho di atas Der Nederlander Hotel di Rijswijk yang selesai dibangun 1898/9. Lokasi sejalan dengan Istana Merdeka.  Seperti halnya Hotel Des Indes, Der Nederlander juga tak terima tamu pribumi dan Atab.  Ada seorang Arab kaya bin Abdat tahun 1920-an ditolak bermalam di Des Indes. Kesalnya dilampiaskan dengan bikin Hotel Des Galeries di Jl Hayam Wuruk seberang Des Indes yang di Jl Gajah Mada (narsum: Hussein Bajerei). Ketidak-adilan dalam penerimaan tamu2 oleh beberapa hotel milik Belanda memang sejalan dengan ketentuan gemeenteraad van Nederlands Indie tentang peringkat kewargaan; 1. Hollander en Europeaner 2. Vreemde Oosterlingen: Chinezen, Japon, n Arabieren 3. Inlander Jaman Orde Lama mérek dagang harus diIndonesiakan. Der Nederlander jadi Dharma Nirmala. Dharma bekerja. Nirmala nir + mala, nir zonder, mala bencana. Zonder bencana. Untung bukan Dharma Nirlaba, hotel  zonder untung. Jaman Orba Dharma Nirmala dirombak jadi Bina Graha, office Presiden.  Jaman Orla berdiri Hotel Indonesia. Hotel ini jadi icon Jakarta. Berdirinya HI dengan biaya pampas an perang Jepang. Tak ada khobar skandal penggunaan pampasan. Proyek yang dirancang dibiayai pampasan semua terwujud, tak ada yang mangkrak. Hotel Des Indes sejak awal Orba sudah dirontokan tak bersisa.  Bersamanya ikut rontok bukti sejarah kezaliman rasialisme penjajah Belanda terhadap native Indonesia. (RSaidi)

Edy Mulyadi Tolak Semua Keterangan Saksi Pelapor Pada Sidang Jin Buang Anak’

Jakarta, FNN -  Terdakwa kasus ‘jin buang anak’, Edy Mulyadi menolak semua keterangan saksi pelapor yang menyebutkan ucapannya berpotensi menimbulkan  keonaran. Saksi pelapor adalah Bintang Wahyu Saputra,  Ketua Umum Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI). Ia melaporkan Edy Mulyadi karena dianggap melakukan tindakan diskriminatif yang bisa mengarah pada perpecahan negara. Bintang mengaku pertama kali melihat keterangan itu dari media online sehingga ia langsung membuka Channel Youtube Edy Mulyadi untuk menontonnya. Kemudian ia mendapatkan desakan dari SEMMI Kalimantan Timur supaya  mengencam pernyataan Edy Mulyadi itu. SEMMI Kalimantan Timur merasa tersinggung karena daerah mereka disebut tempat ‘jin buang anak’. Motivasi Ketum SEMMI  melaporkan Edy Mulyadi karena dalam usaha membela kesatuan negara terutama saudara di Kalimantan. Bintang melaporkan Edy dengan alat bukti flashdisk yang berisi 3 video. Dalam persidangan ke-6 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 21 Juni 2022,  Hakim Ketua, Adeng Abdul Kohar menanyakan kepada Bintang, di bagian mana laporannya yang berpotensi menimbulkan keonaran dan memecah belah persatuan bangsa. Bintang menjawab,  pada bagian Edy  menyebutkan kalimat ‘Kalimantan Tempat Jin Buang Anak dan Tempat Tinggal Gendoruwo’. Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar menanyakan, apakah Bintang paham tentang ‘tempat jin buang anak’. “Setahu saya tempat jin buang anak itu hanya hutan belantara yang tidak berpenduduk yang dihuni makhluk halus,” ujar Bintang. Sebelumnya, Bintang mengaku mengetahui Edy Mulyadi sejak lama, karena dia aktivis senior, wartawan senior, dan juga caleg PKS pada 2019 lalu. Edy Mulyadi  didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kontennya yang berjudul ‘Tolak Pemindahan Ibu Kota Negara: Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat’. Dari konten tersebut dapat diketahui ada pernyataan Edy ‘tempat jin buang anak’. Dalam pengakuan saksi pelapor, statement ‘tempat jin buang anak’ itu bukan sebagai pengertian yang esensial. Oleh karena itu, seharusnya saksi  tidak melaporkan hal tersebut kepada kepolisian. “Saya menolak semua statement dari saksi pelapor. Terlebih saksi mengakui bahwa ‘tempat jin buang anak’ merupakan sebuah frasa,” ujar Terdakwa Edy Mulyadi. (SKA/Job).       

Pidato Megawati Hanya Basa Basi Politik’

Pidato Megawati ada benarnya tetapi dari substansi dan praktek kenyataan dalam pemerintahan saat ini – pidato tersebut hanya basa-basi politik. Karena PDI-P dengan Koalisi gemuknya telah mempertontonkan praktek kenegaraan yang keliru dalam sistem presidensial. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KETUA Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri mengatakan, tidak ada sebutan koalisi di Indonesia. Hal ini mengingat sistem tata negara menganut sistem presidensial dan bukan parlementer.  Megawati menilai, cocok penyebutan kerja sama politik dibandingkan koalisi. Hal ini disampaikan di hadapan Presiden Joko Widodo yang menghadiri acara Rakernas PDI-P, Selasa (21/6/2022). “Kalau kerja sama, yes,” kata Megawati dalam Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kalau hanya dari definisi bahasa apa bedanya koalisi dengan kerja sama? Koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerjasamanya, yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Hanya dalam praktik yang umum ditemui, pembentukan koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial sejatinya merupakan praktik yang salah kaprah. Pembentukan koalisi dan oposisi partai politik (parpol) hanya ada dalam sistem parlementer. Koalisi tersebut memiliki peran yang substansial dan berbeda dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan hanya bertujuan untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sampai di sini pidato Megawati tersebut ada benarnya, tapi tidak menyentuh substansi dan realitas yang terjadi selama ini.   Untuk apa kalau hanya soal nama (koalisi dan kerjasama) tetapi mengabaikan prakteknya PDI-P sebagai pemenang pemilu lalu sekaligus tampak menempati posisi sebagai leader koalisi gemuk di kabinet selama ini. Kondisi tersebut membuat check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial tidak bisa berjalan dengan maksimal bahkan ditengarai lumpuh total, bahkan banyak netizen memberi stigma legislatif hanya sebagai stempel pemerintah. Mengapa tidak masuk pada substansinya bahwa terjadinya koalisi gemuk di kabinet akan merusak tatanan, khususnya peran chek and balance macet total, dan PDI-P via Ibu Megawati harusnya disampaikan dengan jelas dan PDI-P menolak adanya koalisi gemuk dalam kabinet saat ini. Terjadinya kemandulan fungsi pengawasan dari legislatif terhadap eksekutif mestinya disadari oleh PDIP. Karena dalam sistem presidensial, presiden dan anggota parlemen terpilih secara terpisah dalam dua pemilu (legislatif-eksekutif) yang berakibat daulat kuasa antara keduanya relatif sama secara langsung lahir dari rakyat. Oleh karena presiden berposisi cukup kuat, serta dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada kewajiban membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Karenanya, koalisi dalam membentuk pemerintahan nyaris tidak perlu. Jadi urusan koalisi atau kerjasama bukan hanya dibahas menjelang akhir masa jabatan Presiden dan hanya menjelang Pilpres 2024. Sejak awal pemerintahan Jokowi semua partai termasuk PDI-P selalu berebut jabatan menteri. Artinya sebenarnya sangat jelas, tidak ada kebutuhan yang mendasar bagi Presiden sendiri untuk membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan, membagi rata jabatan menteri asal asalan dari wakil partai. Tanpa terasa, logika seperti itu sebenarnya merusak kepercayaan publik atas pemerintahan, terlebih atas janji-janji yang selama ini dibahasakan Presiden dengan keinginan membangun kabinet yang zaken. Dan, rongrongan partai untuk meminta jabatan menteri sebenarnya adalah gangguan atas prerogatif itu sendiri. Rasanya penting menjadi perhatian khusus Ibu Megawati bahwa prerogatif Presiden dalam menunjuk menteri-menteri kabinet tidaklah perlu dikaitkan dengan dukungan pada pemilu. Ini sebabnya, mengapa sedari awal sebenarnya kita harus menolak model threshold yang mengada-ada ala presidential threshold. Ibu Megawati harus mengingatkan Ketua DPR RI Puan Maharani yang nota bene putrinya (otomatis kader PDI-P) yang membuat pernyataan meminta semua pihak menghormati aturan ihwal ambang batas presidential threshold. Ia menegaskan PT sudah final dan tidak dapat diubah. “Di DPR revisi undang-undang sudah final tidak akan dibahas lagi, itu sesuai dengan kesepakatan yang ada,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021). Sama sekali tidak ada perlawanan dari anggota dewan semua diam dengan tenang dalam koalisi partai gemuk, partai partai dengan istana. Kalaulah tanpa nama koalisi tedtapi memakai nama kerja sama seperti saat  ambang batas bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan capres atau cawapres atau presidential threshold dipakai dengan seakan-akan menyamakan kepentingan koalisi dalam membentuk pemerintahan dan menjalankan pemerintahan, semua terjebak dalam basa-basa politik belaka. Jebakan logika ini sangat terlihat, sehingga bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.53/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian presidential threshold pun mengikuti tabuhan genderang kepentingan politik ini. Sehingga menyamakan pengajuan syarat menjadi capres dengan cita-cita sistem presidensial. Logika tersebut adalah logika sesat. Hal ini bahkan dibahas secara sangat baik dalam dissenting opinion pada putusan itu. Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan bahwa rezim ambang batas itu dalam pencalonan yang menggunakan hasil pemilu legislatif sesungguhnya tidak relevan, dan logika mempertahankan dukungan besar pada presiden malah bisa menjadi perangkap menjadi pemerintahan otoriter. Pidato Megawati ada benarnya tetapi dari substansi dan praktek kenyataan dalam pemerintahan saat ini – pidato tersebut hanya basa-basi politik. Karena PDI-P dengan Koalisi gemuknya telah mempertontonkan praktek kenegaraan yang keliru dalam sistem presidensial. Dikutip dari Jurnal Comparative Political Studies, pembentukan koalisi (koalisi partai politik) dalam Pemilihan Umum menyebabkan polarisasi dalam sistem pemerintahan presidensial. Kondisi tersebut membuat check and balances di dalam sistem pemerintahan presidensial tidak bisa berjalan dengan maksimal atau sesungguhnya terjadi kemacetan yang fatal dalam sistem Presidensial. (*)

Kohesi Anies dan Partai Politik

Di Indonesia, kehadiran partai politik tidak bisa dilihat dan dimaknai secara hitam putih. Sebagai kekuatan politik yang mampu membentuk konstitusi, melahirkan para pemimpin nasional dan sistem yang secara masif menggerakan serta  menentukan proses penyelenggaraan negara dan bangsa. Partai politik tak ubahnya seperti sebuah keniscayaan. Kehadirannya menjadi kebutuhan dan begitu digandrungi oleh banyak kalangan, namun tak sedikit yang skeptis dan apriori melihat sikap dan tindak-tanduknya. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI  Rakyat terus mengalami pasang surut hubungannya dengan partai politik. Dari jaman ke jaman, dari pemilu ke pemilu dan dari satu partai politik ke partai politik yang lain. Rakyat seakan abadi menunggu dan menggantungkan nasibnya dengan kebijakan partai politik. Melalui kaki-kaki dan perpanjangan tangannya, nasib rakyat sangat ditentukan oleh kekuatan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang selamanya menyusui pada partai politik. Rakyat seakan kekal mengalami fase \"trial and error\" dari partai politik yang sejatinya berorientasi kekuasaan. Ada aksioma yang kuat terjadi dalam iklim sosial  masyarakat kontemporer, politik itu untuk merebut kekuasaan, bukan untuk  mengurus kemakmuran dan keadilan rakyat.   Pun demikian, rakyat seakan menikmati konser dari panggung politik yang dihelat partai politik saat menyajikan harapan, impian dan bahkan uthopia dari upaya mewujudkan negara kesejahteraan. Berjuta kampanye, agitasi dan propaganda termasuk kontrak politik dengan partai politik, menjadi sajian menu simalakama yang tak bisa dihindari rakyat. Rakyat seperti lapar namun kenyang karena menelan mentah-mentah pepesan kosong dari janji-janji politik. Begitupun sebaliknya, rakyat merasa kenyang dengan perasaan dan jiwa yang penuh sesak dijejali  asupan manipulasi dan kamuflase politik, tak urung  kerapkali merasakan penghianatan dari penguasa yang memenangkan hati rakyat.   Memang ada sedikit pengecualian, meski menjadi minoritas, kaum pinggiran dan terseok-seok. Partai politik terkadang ikut membantu persalinan  kebijakan dan beberapa pemimpin yang mampu menghilangkan dahaga rakyat akan capaian kelayakan hidup. Kalaupun itu terjadi dan muncul di permukaan, maka bisa dipastikan akan ada pengawasan dan kontrol yang kuat dan mengikat, bahwasanya tidak ada personifikasi dan insitusional yang tidak dalam pengaruh dan kehendak partai politik. Pada fase ini banyak tokoh dan pemimpin partai politik tidak bisa  menjadi dirinya sendiri dan tergadai oleh mekanisme partainya.   Pendiri dan  kader termasuk petugas partai politik, seperti  mengalami nasib yang sama dengan rakyat saat bersentuhan sekaligus  menjalankan roda  pemerintahan dan program-program pro rakyat. Ada pseudo demokrasi dan oligarki yang mencengkeram dan  membelenggu aspirasi rakyat. Ada parade hawa nafsu yang menjelma menjadi sistem yang menyuburkan kerakusan dan keserakahan pada harta dan jabatan. Rangkaian sistem yang kuno dan klasik yang menamai dirinya dengan  kapitalisme dan komunisme global,  semakin digdaya pada modernitas  dan mampu membonsai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bukan ideal Tapi Mampu Merangkul Sebagai seorang figur pemimpin yang terus bertumbuh dengan prestasi dan apresiasi publik. Anies kian kemari terus menuai harapan sekaligus dukungan sebagian besar rakyat. Keinginan dan kehendak rakyat, seolah ingin menasbihkan  Anies sebagai presiden dalam perhelatan pilpres 2024. Sebuah dinamika demokrasi yang patut mendapatkan respek dari semua pihak, karena mau menempuh mekanisme formal dan normatif. Terbersit, dari pilihan mengikuti konstestasi ajang transisi kekuasaan itu, menegaskan Anies sebagai pemimpin yang taat konstitusi termasuk tunduk pada aturan UU pemilu. Anies pada tahap awal sudah dapat melewati aspek fundamental dalam proses pencapresannya. Ia secara eskalatif dan akumulatif terus menuai dukungan rakyat. Setidaknya basis dukungan pemilihnya sudah bisa dihitung dan menghidupkan kompetisi dan rivalitas di antara kandidat capres. Realitas dan kemunculan progesif Anies dalam pilpres 2024 mendatang, tentu saja menimbulkan resonansi dan geliat tersendiri, baik baik dari kalangan partai politik yang mengusung capresnya sendiri maupun partai politik yang berlanggam \'wait and see\' dan masih melakukan penjajakan. Selain hasil survei ada partai politik yang tentunya ingin membangun kompromi dan kesepakatan pada capres tertentu. Fenomena Partai politik dalam menentukan pilihan capres serta upaya memoles dan menjualnya. Harus tetap dilihat sebagai proses politik yang tidak parsial. Selain tingkat elektabilitas  dan akseptabilitas,  partai politik juga tidak berdiri sendiri mengurus capresnya,  terutama terkait pembiayaan kontestasinya baik untuk capresnya  maupun kepentingan partai politik itu sendiri.  Sebagai contoh, partai politik akan mensyaratkan daya dukung capres terkait dana kampanye atau khususnya pembiayaan saksi saat pilpres berlangsung. Juga akan banyak dibebani kebutuhan lain dalam hajatan politik lima tahunan  berbiaya maha besar. Atmosfer capres dan partai politik yang seperti itu, semakin mengokohkan betapa demokrasi di Indonesia terutama pemilu pada umumnya dan pilpres  khususnya, tak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni aspek kapitalistik dan transaksional. Wajar saja jika desain, proses pelaksanaan dan hasil dari pemilu maupun pilpres beraroma kental peran para pemilik modal atau yang populer disebut oligarki. Dalam hal ini eksistensi partai politik tak bisa mengelak dari intervensi para borjuasi korporasi dan borjuasi birokrasi. Secara umum publik telah menilai, partai politik cenderung terpolarisasi dan menjadi subkoordinat kelompok \'the have\' pemilik kekuasaan informal tapi signifikan menentukan hajat hidup rakyat. Bagi Anies sebagai capres paling potensial yang jejak rekamnya relatif bersih ketimbang capres lainnya, ditambah dukungan rakyat yang tak terkendali mengidolakannya. Selayaknya Anies mampu membangun komunikasi politik dan meyakinkan kepercayaan publik yang ada pada dirinya kepada partai politik. Betapapun kalau mau jujur menelusuri esensi dan substansinya, partai politik sekarang sedang memasuki masa gamang dan absurd. Partai politik  benar-benar sedang mengalami pergulatan pemikiran dan batin terutama yang menghinggapi para ketua umumnya dan pembisik tingkat dewa di sekelilingnya. Anies yang memiliki harga diri tinggi dan tidak bermental pengemis apalagi hanya untuk kehormatan berlabel status dan jabatan, tentunya akan memiliki tantangan tersendiri jika berhadapan dengan partai politik. Menjadi keharusan dan tak terbantahkan, partai politik menjadi penentu nasib Anies pada capres dalam pilpres 2024, bahkan pada saat bisa atau tidaknya sekedar dalam pencalonan. Baik bagi Anies maupun partai politik, keduanya berhadapan dengan pilihan yang sulit antara mengedepankan  politik realitas atau politik ideal. Mana yang lebih penting dan mendesak untuk diperjuangkan, memenangkan pilpres kemudian mengambil kekuasaan terleb8h dahulu atau teguh memegang prinsip-prinsip demokrasi yang memulakan nilai-nilai, norma dan etika. Menjungjung tinggi kebenaran dan keadilan serta menjaga keberadaban. Atau tak peduli mekipun menjadi pengikut Machiavellis. Sebagai pemimpin yang mungkin saja belum menenuhi kriteria ideal. Anies terbilang mumpuni sebagai pemimpin yang mampu merangkul keberagaman bangsa. Hanya Anies dan partai politik utamanya para ketua umum dan sedikit sinyal dari para pemilik modal yang mampu memainkan domain dan irisan pilpres ke depan. Jika saja tidak terjadi kohesi antara Anies dan partai politik, setidaknya Anies memiliki modal mulia dan terhormat berupa kejujuran d an kerja kerasnya mengangkat harkat hidup orang banyak. Setidaknya, walau tak lolos partai politik Anies menjadi pemimpin yang tinggal menunggu waktu mendapat  legalitas dan legitimasi dari rakyat Indonesia serta yang terpenting menerima mandat dari pemilik kekuasaan yang  hakiki. Wallahu a\'lam bishawab.