AGAMA

I am Ready Imam!

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundations MUNGKIN masih pada ingat? Beberapa waktu lalu saya menulis sekaligus mengirimkan video masuk Islamnya seorang pasien di sebuah rumah sakit di Kota New York. Pasien ini oleh Dokter telah divonis akan hidup hanya beberapa hari lagi. Beliau menderita penyakit kanker darah dan telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Bahkan telah memakan sel-sel vital jantungnya. Beberapa kali saya berkunjung kepadanya untuk memberikan motivasi sebagai bagian dari tugas saya sebagai “spiritual care provider” (pelayanan spiritulitas) di sebuah rumah sakit di kota ini. Pada kunjungan ketiga atau keempat itulah beliau tiba-tiba ingin masuk Islam. Padahal selama ini saya tidak pernah bicara mengenai agama. Hanya memberikan motivasi umum agar kuat, sabar, dan optimis. Walau memang beliau tahu kalau saya Muslim dan seorang Imam. Sekitar empat bulan lalu itulah dalam keadaan lemah, suara hampir tidak terdengar lagi, bahkan sesungguhnya beliau tidak lagi mampu bergerak. Seringkali ketika saya datang, beliau meminta agar tangannya dipegang seolah ingin menyampaikan sesuatu. Alhamdulillah walau ketika itu Dokter memvonis akan hidup singkat (beberapa hari saja) ternyata bertahan hingga empat bulanan. Di rumah sakit itupun beliau dipindahkan beberapa kali di antara ruang ICU dan ruang lainnya. Minggu lalu sekembali saya dari Indonesia, saya kembali menjenguk beliau. Walau masih sebagai tugas profesional saya, namun kunjungan saya sejak beliau masuk Islam terasa sebagai silaturrahim kepada saudara. Hari Jumat lalu, sekitar pukul 10 pagi saya menjenguk beliau. Saya melihat beliau seperti tertidur. Tapi saya tetap mendekat. Ketika masuk ruangannya saya salam dengan suara yang agak besar/nyaring. Ternyata beliau seperti merespon. Beliau tidak berkata apa-apa. Tapi, tangan beliau seolah bergerak meminta saya mendekat. Saya menyentuh tangannya dan terasa agak dingin. Ketika saya memegang tangan itu saya memperhatikan wajahnya. Dari mata beliau nampak meneteskan airmata. Saya bisa menangkap beliau ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak bisa lagi berkata-kata. Saya kemudian mendekat dan membisik: “Brother, say Laa ilaaha illallah…”. Saya menuntun beliau secara pelan. Beliau nampak tenang dan seperti tertidur. Saya tuntun mengucapkan “tahlil” itu hingga 30 menit lebih. Karena saya harus bersiap ke Jum’atan saya berbisik menyampaikan bahwa saya akan ke masjid sholat Jum’at. Sayapun berjanji akan mendoakan secara khusus di masjid nanti. Beliau tampak berusaha ingin menggerakkan tangannya seolah ingin bersalaman. Tapi beliau tidak mampu lagi. Saya hanya melihat beliau kembali meneteskan airmata. Saya tidak ketemu lagi dengan beliau hingga Selasa kemerin. Karena Sabtu dan Minggu libur. Lalu Senin juga adalah hari libur Nasional Amerika. Maka saya tidak masuk kerja. Kemarin ketika saya masuk kerja tiba-tiba saja saya teringat beliau. Segera bergegas menemuinya tanpa mengecek daftar pasien rumah sakit pagi hari. Ternyata ketika saya sampai di depan ruangan kamarnya, ruangan itu telah kosong. Saya segera ke tempat perawat. Bertanya tentang pasien di Kamar yang dimaksud. Jawaban mereka: “he died last Friday around 7 pm” (dia meninggal dunia Jum’at lalu sekitar jam 7 sore). Saya merasa bersalah. Karena seharusnya saya tetap mendampinginya hari Jum’at itu. Saya sebenarnya merasakan betapa tangannya di hari Jumat itu telah dingin. Tapi, Allah menentukan lain. Semoga kalimat “Laa ilaaha illallah” yang saya bimbingkan ke beliau menjadi kunci akhir hayatnya dengan husnul khatimah. Hanya satu yang selalu saya ingat. Empat bulan lalu setelah saya bimbing bersyahadat, beliau dengan suara yang hampir tidak kedengaran berkata ke saya: “I am ready Imam!”. Selamat jalan Saudaraku. Kepulanganmu adalah sesuatu yang dirindukan banyak orang beriman. Semoga kita ketemu di syurga kelak. Amin! New York, 6 Juli 2022. (*)

Gawat! PN Surabaya Legalkan Pernikahan Beda Agama

Jakarta, FNN – Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang melegalkan atau memperbolehkan pernikahan beda agama Islam dan Kristen menjadi bahan kontrevensi dan perhatian publik.  Humas PN Surabaya Suparno mengatakan, pertimbangan hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama tersebut adalah untuk menghindari praktik kumpul kebo serta memberikan kejelasan status pada pasangan itu. Persoalaan ini mendapat berbagai kritikan dari berbagai pihak, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, ia menilai putusan hakim tersebu tidak benar dan tepat. Deding Ishak, Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, mengatakan MUI akan melaporkan hakim ke Komisi Yudisial (KY) untuk diselidiki. Bahkan, Mahkamah Agung diminta turun tangan untuk memeriksa hakim tersebut. Langkah ini diambil karena putusan hakim tidak sesuai dan menyimpang secara substansial dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara hukum jelas bahwa perkawinan yang sah harus mengikuti agama dan kepercayaan masing-masing. “Pasal 1 sudah jelas, artinya dalam praktik perkawinan harus tunduk pada norma, syariat agama, dalam hal ini Islam,” ujarnya, Selasa (23/6/22). Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Rabu (6/7/22), ia mengatakan persoalan ini penting untuk disikapi dengan profesional, bukan sekedar hak kebebasan orang untuk menikah dengan siapa, tetapi ada konsekunsi yang dipertimbangan terutama dari hukum dan agamanya. Tidak ada istilah perkawinan campuran yang berbeda agama. Misalnya, jika seorang perempuan muslim menikah dengan bule, dia harus mematuhi hukum dan harus dari agama yang sama. Setiap pembuatan Undang-Undang harus memiliki  tiga landasan. Ketiga landasan tersebut adalah filosofis, yuridis dan sosiologis. Komisi Yudisial (KY) angkat bicara mengenai hakim yang mengesahkan pernikahan beda agama di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, KY menyatakan akan mengkaji putusan perkara itu guna memastikan adanya pelanggarannya atau tidak. “Saya kira orang yang menjalankan pernikahan seperti ini mungkin tidak memikirkan dari segi agamanya,” tutup Hersu (Lia)

Haji Itu Mengikut Sunnah Rasul

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation HAJI adalah ibadah yang mendasar dalam Islam. Bahkan, salah satu rukunnya. Maka sudah pasti tuntunannya sangat jelas dan rinci dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan: “ambillah dariku manasikmu (cara melaksanakan haji)”. Maknanya bahwa untuk benar dan diterimanya ibadah haji Anda, lakukanlah sesuai dengan cara dan ketentuan yang Rasulullah SAW telah ajarkan. Memang salah satu kekeliruan fatal di kalangan sebagian Umat ini adalah karena sebagin ketika menunaikan ibadah haji mengikut kepada tradisi atau budaya turunan. Padahal ibadah harus terbangun di atas dasar “al-ittiba’” (mengikut sunnah) tadi. Tiga Type Ibadah Haji Dalam tuntunan Rasulullah SAW ada tiga cara dalam melakukan ibadah haji: Ifrad, Qiran, Tamattu’. Haji Ifrad adalah dalam musim haji tahun itu seseorang hanya meniatkan melakukan ibadah haji. Sehingga, ketika memulai ihramnya, niat yang dilafazkan semata bertujuan untuk menunaikan ibadah haji. Bentuk niat Ifrad adalah: “labbaika allahumma hajjan”. (Ya Allah aku datang memenuhi panggilanMu untuk berhaji). Ketika berhaji dengan cara Ifrad tersebut, maka sang haji tidak diharuskan menyembelih-sembelihan. Sembelihan ini lazimnya disebut “DAM” yang berarti “darah”. Karena menyembelih hewan itu identik dengan “mengalirkan darah”. Haji Qiran adalah ketika seseorang dalam bulan-bulan haji berniat untuk Umrah dan haji sekaligus. Karena niatnya memang melakukan umrah dan haji sekaligus, maka Lafaz niat ihramnya menyebutkan keduanya. Bentuk niat Qiran adalah “Labbaika allahumma hajjan wa umratan” (ya Allah kami datang memenuhi panggilanmu untuk berhaji dan berumrah). Haji dengan cara Qiran (menggabung) atau menggabung pelaksanaan haji dan umrah mengharuskan pelakunya untuk memotong hewan seekor kambing atau domba. Haji Tamattu’ adalah ketika dalam sebuah bulan-bulan haji seseorang berihram (berniat) untuk melakukan umrah, lalu pada musim yang sama kembali berihram untuk melakukan haji. Artinya, seseorang yang akan berhaji dengan Cara tamattu’ ini ketika berihram pertama kali hanya menyebutkan niat umrah saja. Lafaznya adalah “Labbaika allahumma umratan” (ya Allah saya hadir memenuhi panggilanMu untuk berumrah). Tamattu’ berarti “bersenang-senang”. Berasal dari kata “mataa’ (kesenangan). Kata ini relevansinya adalah karena orang yang ihram untuk umrah itu setelah melakukan umrah kembali bersenang menikmati kehidupan normal. Dia tidak lagi terikat oleh aturan/larangan ihram. Seorang haji yang melakukan hajinya secara tamattu’ juga diwajibkan untuk menyembelih binatang kambing atau domba. Lalu mana yang terbaik dari tiga cara berhaji itu? Jawabannya tidak ada yang pasti. Walau Rasulullah SAW melakukan Qiran, beliau justeru setuju dengan sahabatnya melakukan Ifrad atau Tamattu’. Saya kira keistimewaan masing-masing ditentukan oleh niat dan tatacara pelaksanaannya (benar atau kurang benar). Rukun-Rukun Haji Mayoritasnya ulama menyebutkan lima rukun ibadah haji: Ihram, Wukuf Arafah, Thawaf, Sa’i, dan Tahallul. Ada pula yang menggantikan Tahallul dengan melempar Jamarat sebagai salah satu rukun haji. Rukun artinya amalan-amalan haji yang tidak boleh sama sekali ditinggalkan. Meninggalkan salah satunya berarti haji tidak sah atau batal dengan sendirinya. Seorang yang sudah ihram misalnya, lalu Wukuf di Arafah, tapi karena satu dan lain hal dia tidak melakukan thawaf di sekitar Ka’bah maka hajinya batal. Ihram Ihram itu berarti “mensucikan atau kesucian”. Dari kata “ahrama, yuhrimu, ihram” atau kesucian. Masjid Mekah dinamai “Al-Haram” karena posisinya yang begitu suci. Ihram sesungguhnya adalah kata lain dari “niat” untuk melaksanakan ibadah haji. Maka substansi dasar atau esensi terpenting dari Ihram itu adalah niatnya. Bukan pakaiannya seperti sering disalah pahami oleh banyak orang. Ada beberapa hal yang menjadi kewajiban di saat melakukan Ihram itu. Salah satu yang terpenting adalah melakukan niat (melafazkan niat ihram: Labbaika allahumma hajjan, misalnya) di luar dari batas yang disebut “miqat”. Miqat adalah tempat yang telah ditetapkan untuk memulai niat untuk berhaji atau umrah. Jika karena satu dan lain hal seorang haji mengucapkan niatnya setelah melewati batas miqat tadi maka dia diharuskan memotong DAM sebagai denda. Hal-hal lain yang menjadi sunnahnya adalah mandi (seperti mandi besar), potong rambut yang perlu, beruwudhu jika harus, melepaskan semua pakaian regular yang berjahit. Setelah itu bagi pria memakai dua helai kain putih. Bagi wanita dengan pakaian Muslimah lengkap. Sunnahnya mengucapkan niat setelah sholat. Walau sebagian besar ulama mengatakan bahwa dalam hukum Syariah sesungguhnya tidak ada yang disebut “sholat sunnah Ihram”. Maka sunnah melafazkan niat Ihram hendaknya dilakukan setalah sholat. Setelah melafazkan niat sesuai cara haji tadi; Ifrad, Quran atau Tamattu maka seluruh larangan-larangan selama ihram berlaku. Di antara larangan-larangan itu adalah: memakai wangian, memotong kuku atau rambut, mencabut pepohonan, membunuh binatang yang tidak membahayakan, bercumbu apalagi berhubungan suami isteri. Menikah atau menikahkan juga dilarang. Khusus bagi pria dilarang menutupi mata kaki dan kepala (yang melekat). Kalau tidak melekat di kepala, payung atau tenda tidak masalah. Untuk wanita secara khusus tidak boleh menutup wajahnya. Masing-masing larangan di atas jika dilanggar ada denda yang harus dilakukan. Yang terbesar adalah ketika melakukan hubungan suami isteri di saat Ihram maka pelakunya diharuskan memotong onta dan harus kembali tahun berikutnya untuk menunaikan ibadah haji. Pelanggaran lainnya ditebus sesuai aturan masing-masing yang diatur oleh hukum fiqh yang telah menjadi baku dalam hukum agama. NYC Subway, 5 Juli 2022. (*)

Menag: Arafah Jauh Lebih Nyaman Dibanding Haji Sebelumnya

Mekkah, FNN - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan pelayanan di Arafah jauh lebih baik dari sebelumnya dan lebih nyaman karena tersedia kasur dan bantal dengan jarak yang lebih lebar antarjamaah.\"Saya pernah jadi jamaah reguler tahun 2004, gak karuan. Ini jauh lebih nyaman,\" kata Menag di Arafah, Selasa.Menag meninjau Arafah jelang proses puncak haji 1443 H. Menag memastikan kesiapan layanan yang akan diberikan kepada jamaah haji Indonesia selama di Arafah.Menag yang akrab disapa Gus Men juga sebelumnya meninjau toilet di maktab di Arafah dan mencoba keran air untuk memastikan air mengalir.Setelah itu, Menag meninjau tenda jamaah yang sudah dilengkapi dengan karpet dan kasur serta bantal. Bahkan Menag juga mencoba kasur busa yang berukuran 50x175 cm.\"Enak sekarang, saya sudah coba tadi kasurnya. Saya juga mencoba di karpet tidak enak sakit punggung karena tanahnya tidak rata,\" kata Menag.Namun kenyamanannya jangan dibandingkan dengan hotel karena harus sebanding, jika dibandingkan dengan pelaksanaan haji sebelumnya tentu saat ini lebih nyaman.Pada haji sebelumnya di Arafah saat wukuf jamaah hanya tersedia tenda yang beralaskan karpet. Tahun ini sudah ditambah dengan kasur busa dan bantal.\"Tapi menilai nyaman tidak nyaman harus apple to apple, kalau dengan hotel ya jauh,\" kata Gus Men.Di tengah cuaca yang sangat panas, Menag berharap AC yang dipasang di tiap tenda bisa lebih dingin. Sebab, suhu yang lebih dingin di tenda akan memberi kenyamanan jamaah dalam beribadah.Menag melihat itu juga sudah disiapkan lebih banyak, termasuk sejumlah toilet portabel. Ini menurutnya penting agar jamaah tidak lama mengantre, baik saat akan mandi, bersuci, maupun buang hajat. \"Air juga sudah mengalir,\" sebutnya.\"Saya berharap, toilet portabel juga bisa ditambah untuk jamaah perempuan. Sebab, jumlah jamaahnya lebih banyak dan butuh waktu lebih lama di toilet,\" sambungnya.Menag menambahkan harus dilihat apakah layanan yang disiapkan sesuai dengan kenaikan biaya Masyair. \"Nanti kita hitung ulang negosiasi lagi dengan muasasah. Overall lebih baik dari pelayanan haji sebelumnya meski ada catatan yang akan kita bicarakan dengan muasasah,\" kata Menag. (mth/Antara)

Haji dan Perbekalan Hidup

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation IBADAH haji adalah sebuah ibadah yang memerlukan persiapan yang menyeluruh. Hal itu karena haji merupakan penggambaran kehidupan itu sendiri. Intinya haji itu sejatinya miniatur dari kehidupan itu sendiri. Dan karenanya perbekalan haji juga sejatinnya penggambaran dari perbekalan hidup itu sendiri. Maka sungguh kekeliruan jika persiapan haji sekedar dipahami dengan persiapan finansial. Karena bekal hidup manusia bukan hanya material. Apalagi hanya sekedar finansial. Kehidupan bukan hanya fisikal atau fiskal. Perbekalan dasar hidup manusia itu  mencakup tiga dasar: fisik, akal dan ruh. Demikian pula persiapa haji untuk menunaikan ibadah haji juga mutlak memerlukan tiga hal itu. Selain materi (zaad wa rahilah) juga keilmuan (akal) dan batin (ruh). Sedemikian urgensinya perjalanan itu maka Al-Quran secara khusus telah memerintahkan: “Dan persiapkanlah perbekalan (tazawwaduu). Dan sebaik-baik perbekalan adalah ketakwan”. Kata takwa adalah kata jaami’ (menyeluruh) mencakup ketiga elemen mendasar dari persiapan perjalanan haji tadi. Perbekalan fisik/materi menjadi sangat penting dalam perjalanan haji. Selain karena memang perjalanan yang jauh yang pastinya membutuhkan biaya yang cukup besar, juga karena perjalanan ini membutuhkan tenaga besar. Pada tahun 2022 ini jika memakai standar Amerika minimal $17,000 atau sekitar 200-an juta Rupiah. Belum lagi biaya-biaya lain seperti hajj fee atau ongkos haji yang mulai diterapkan oleh pemerintah Saudi. Juga harga pembelian kambing atau domba bagi mereka yang berhaji tamattu’ atau qiraan. Bekal fisik juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena dari tahun ke tahun, walau fasilitas semakin membaik, jumlah jamaah juga semakin bertambah. Hal ini menjadikan pelaksanaan ibadah haji juga semakin hari semakin memerlukan perbekalan fisik yang prima. Baik di Mina, di Muzdalifah, bahkan ketika Tawaf dan Sa’i. Perbekalan kedua adalah akal atau keilmuan. Semua ibadah dalam Islam dipersyaratkan untuk dilaksanakan atas dasar ilmu. Maka haji sebagai salah satu Ibadah pokok dalam Islam harus dilaksanakan juga dengan keilmuan. Karenanya ilmu-ilmu dasar tentang pelaksanaan haji menjadi keharusan. Apa saja yang menjadi fardhu, wajib, dan sunnah-sunnah haji. Atau sebaliknya apa yang menjadi larangan, dan jika terjadi pelanggaran apa jalan keluarnya. Tata cara melaksanakan ibadah haji atau lebih dikenal dengan Manasik Haji mendasar sebagai bagian dari perbekalan itu. Rasulullah SAW menegaskan: “khudzu anni manasikakum” (pelajari dariku cara kamu melakukan ibadah haji). Karenanya mempelajari tatacara melaksanakan ibadah haji sesuai sunnah Rasul menjadi keharusan bagi semua calon jamaah. Kalaupun karena satu dan lain hal, ada jamaah yang sangat terbatas dalam memahami tatacaranya, maka pembimbing hajilah yang kemudian mengambil alih tanggung jawab itu. Di sini saya ingatkan pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Agama, agar memilih pembimbing haji bukan asal-asalan. Jangan jadikan tugas pembimbing haji itu sebagai sekedar sarana haji mumpung. Tapi pembimbing haji harus memang berilmu (paham tatacara) dengan semua yang terkait dengan Ibadah haji. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah perbekalan hati atau spiritual preparation. Elemen ini menjadi sangat menentukan. Betapa banyak yang berangkat haji hanya karena punya duit atau punya kesempatan untuk melakukannya. Tapi sesungguhnya batinnya atau hatinya tidak sepenuh siap untuk melakukannya. Jamaah yang seperti inilah yang seringkali ketika berada di tanah haram, prilaku dan pikirannya justeru semakin materialis. Seringkali godaan belanja melebihi semangat ibadahnya. Orang-orang seperti inilah juga yang paling rentang kehilangan kesabaran. Mudah marah bahkan ketika sedang berada di masjidil haram sekalipun. Mereka saling sikut dan menyakiti orang lain, bahkan di saat menjalankan ritualnya. Ibadah tidak jarang justeru jadi jalan memenuhi hawa nafsu. Karenanya persiapan yang paling mendasar dalam perjalanan ini adalah bekal batin atau hati. Hal itu karena perjalanan ini memang adalah “safar ibadah” (perjalanan ibadah) yang mutlak dibangun di atas fondasi niat yang benar. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah: “Semua amalan itu didasarkan kepada niatnya” (hadits). Kesimpulan dari perbekalan hati itu ada pada konsep “tazkiyah” dalam agama. Tazkiyah atau purifikasi hati menjadi tuntutan mendasar sebelum menjalankan ibadah besar ini. Kesimpulannya adalah perjalanan Ibadah haji itu merupakan gambaran kecil dari perbekalan hidup manusia. Dari persiapan fisik (jasad/mal), ilmu atau akal, hingga ke persiapan hati (batin/ruh). Ketiganya mutlak sebagai “zaad” (perbekalan) untuk menjalankan ibadah haji yang efektif. Semoga jamaah haji dimudahkan dan dikaruniai haji mabrur. Amin! New York City, 4 Juli 2022. (*)

Rocky Gerung Meminta Indonesia Belajar dari Bahaya Islamofobia di India

Jakarta, FNN – Indonesia dianjurkan berkaca pada kasus Islamofobia yang kini menggerogoti negara India, soal pemenggalan kepala seorang penjahit beragama Hindu di Udaipur karena mendukung politikus partai berkuasa, Bharatiya Janata (BJP), yang menghina Nabi Muhammad. Berbagai bentuk ujaran kebencian dan kebijakan pemerintah, termasuk di negara-negara bagian, kini India dilabeli dengan negara yang membenci Islam atau Islamofobia.  Pengamat politik, Rocky Gerung, mengatakan hal yang sama juga berpotensi terjadi di Indonesia mengingat Indonesia dan India sama-sama negara demokrasi.  “Banyak hal yang membuat kita berpikir ulang bahwa dunia memang sedang mengalami frustrasi, karena kesulitan ekonomi, disparitas antara kaya miskin itu lalu datang mereka yang masih berupaya untuk mengambil keuntungan dari keadaan itu dengan sinyal-sinyal yang justru memperparah berpecah terutama di dalam negeri kita karena ada isu Agama,” kata Rocky Gerung dalam wawancara dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief di kanal YouTube Rocky Gerung Offcial, Sabtu (2/7/22). Melihat kemarin Indonesia juga digemparkan dengan penghinaan bukan hanya Nabi Muhammad tetapi Bunda Maria juga di dalam Promo dari Hollywings, namun untungnya kita cepat menangani itu meskipun pada awalnya mau digoreng-goreng ini berkaitan dengan langkah Anies Baswedan menutup 12 cabang outlet Hollywings di Jakarta.  India sering disebut sebagai negara demokrasi nomor satu, nomor dua dan segala macam tetapi di dalam berkehidupan kebudayaan yang disebut sebagai communities could tidak mungkin kita hilangkan yang disebut politik identitas dan demokrasi. Rocky mengingatkan bahwa kasus Islamofobia di India yang disebabkan pergolakan demokrasi juga bisa terjadi di Indonesia karena pemburukan demokrasi yang terjadi di Indonesia. Selain itu, menurutnya demokrasi Indonesia juga dihalangi, di mana kemampuan kita untuk mengevaluasi diri itu justru dihalangi oleh mereka yang tidak menginginkan terciptanya semacam percakapan public, kalau percakapan publik macet maka terjadi percakapan komunitas itu yang disebut kasak-kusuk, diskusi yang saling kirim untuk saling ngomporin. “Nah ini sebetulnya intinya yang seringkali dalam teori kita sebut sebagai politik identitas tapi sebetulnya di belakang itu ada permainan kartel bisnislah atau agama, yang mencari cara untuk menimbulkan sebut aja ketidak legaan berwarganegara di Indonesia itu makin terasa,” ujar filsuf jebolan Universitas Indonesia itu. (ida/lia)

Haji Itu Simbol Kesempurnaan Islam

Oleh: Imam Shamsi Ali, Haji itu simbol kesempurnaan Islam  KATA haji itu sendiri sesungguhnya  sangat unik. Arti epasnya adalah “melakukan safar atau perjalanan ke tempat yang jauh”. Namun jika kita lihat lebih dekat lagi, kata ”hajj” (ح ج ج) ternyata melahirkan beberapa nuansa pemaknaan.  Kata haji itu berasal dari kata ”hajja” tadi   minimal mengahasilkan dua makna: Bisa membawa kepada ”hajja-yahijju-hajjun”. Atau “hajja-yahijju-hijjun”.  Yang pertama adalah “Hajjun” (dengan haa fatha) adalah bentuk mashdar atau asal kata itu sendiri. Sementara “hijjun” (dengan haa kasrah) itu adalah bentuk ism atau kata benda dari amalan ini.  Tapi yang lebih menarik lagi adalah kata “hajja” juga bisa menghasilkan: ”yahujju-hujjatun” (dengan haa dhomma).  Hujjatun dalam bahasa Arab kita kenal bermakna dalil, alasan atau argumen. Tapi juga bisa bermakna tanda atau bukti.  Jika bentuk pertama (hajjun dan hijjatun) lebih menggambarkan makna kasat dari haji, maka hujjatun lebih menggambarkan makna hakiki dari haji. Hajjun atau hijjun dalam ”syariah” berarti perjalanan jauh (ke tanah suci) untuk melakukan ritual Ibadah karena Allah SWT.  Penggambaran makna ini diekspresikan dalam bahasa Al-Quran dengan: “ya’tuuka rijaalan wa ’alaa kulli dhoomir”. Yang menjelaskan bahwa jamaah dalam memenuhi panggilan haji itu ”akan datang ke tanah suci dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta-onta yang jinak. Dan mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh”. Semua hal yang relevansinya dengan “hajjun wa hijjatun” ini berada pada ruang lingkup pembahasan fiqh haji. Yaitu tatacara atau aturan melaksanakan haji. Atau lebih mayshur dengan istilah “manasik haji”.  Sementara kata ”hajja-yahujju-hujjatun” lebih banyak berhubungan dengan makna-makna spiritual atau hakiki dari pelaksanaan ibadah haji. Sesuatu yang ketika berbicara tentang ritual dalam Islam banyak terlupakan (ignored).  Haji disebut hujjatun yang berarti dalil, alasan atau bukti (proof) dimaksudkan bahwa haji adalah penutup dari rangkaian rukun Islam. Sebuah kewajiban sekali dalam hidup manusia. Maka melaksanakannya sekaligus sebuah komitmen pembuktian kesempuranaan seseorang dalam berislam.  Tidak mengherankan jika figur sentra dari seluruh rangkaian ritual ibadah haji adalah Ibrahim AS. Karena beliaulah sosok yang dikenal telah menyempurnakan semua perintah Allah (atammahunna).  Ibrahim dikenal sebagai ”penghulu monoteisme”. Dalam bahasa agama beliau dikenal sebagai ”abul ambiya”. Bapak dari para nabi.  Ibrahim AS juga merupakan sosok yang telah menjadi ”uswah” dalam perjalanan menuju kepada kesempurnaan Islam. Mulai dari proses mencari tuhan yang sebenarnya hingga pengorbanan tanpa pamrih dalam peribadatan kepada Rabbul alamin. Maka sangat wajar jika kemudian dalam Islam Ibrahim AS dikenal sebagai orang pertama yang digelari ”Muslim”.  Tentu penobatan gelar yang maksud bukan pada hakikatnya saja. Karena secara hakikat semua manusia diyakini  terlahir Muslim. Dan semua nabi dan rasul adalah pembawa risalah Islam.  api bagi Ibrahim kata Muslim di sini adalah penyebutan “institutional”. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quran: ”huwa samaakumul muslimiina min qabl”. Bahwa sebelum Muhammad SAW atau sebelum Al-Quran, Allah SWT memberikan gelar “muslim” pertama kali kepada Ibrahim AS. Bahkan dengan tegas Al-Quran menegaskan: ”Ibrahim bukan Yahudi, tidak juga Nasrani. Tapi seorang Muslim yang hanif”. Semua realita itulah yang menjadikan ibadah haji terkait erat dengan Ibrahim AS. Sebab sekali lagi haji menjadi bukti kesempurnaan Islam seperti komitmen Ibrahim dalam beragama. Dan yang lebih penting lagi, haji berarti hujjah atau bukti karena dengan haji seorang Mukmin membuktikan keislamannya. Sehingga meninggalnya seseorang dengan haji mabrur adalah pembuktian bahwa seseorang itu meninggal dalam keadaan Muslim.  Sebagaimana diingatkan oleh Al-Quran: ”wa laa tamutunna illa wa antum Muslimun” (janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Muslim”.  Maka haji yang mabrur menjadi jawaban dan pembuktian. Sehingga sangat wajar jika ”haji mabrur balasannya tiada lain selain syurga”. (hadits).  New York, 2 Juni 2022. (*)

Haji Sebagai Kewajiban dan Tiang Agama

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation  MENHADI kesepakatan ummah bahwa haji merupakan kewajiban (tardho) bagi seluruh orang yang beragama Islam, dan telah memenuhi persyaratan kewajibannya.  Terdahulu telah disebutkan ayat Al-Quran: ”dan bagi Allah atas manusia untuk melakukan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya”.  Bahkan lebih jauh Rasul SAW menetapkan Ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun Islam: ”Islam didirikan di atas lima dasar: Syahadah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”.  Oleh karena merupakan kewajiban sekaligus rukun agama, semua umat sepakat (ijma’ al-ummah) menerimanya sebagai fardhu. Bahkan, melakukan ibadah haji menjadi impian semua umat.  Pada masa lalu menunaikan ibadah haji itu bahkan dilabeli sebagai ”panggilan” khusus. Sebagian yang tidak atau belum menunaikan haji menjadikan hal ini sebagai alasan. ”ah belum ada panggilan”, kata mereka. Juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama jika haji itu kewajibannya hanya sekali dalam hidup. Artinya kewajibannya menjadi selesai ketika melakukannya pertama kali. Kalaupun seseorang melakukan haji berkali-kali setelah itu maka hajinya bukan kewajiban. Melainkan ibadah sunnah yang mendapat pahala dari sisiNya.  Ketika perintah haji disampaikan kepada para sahabat mereka bertanya: ”apakah setiap tahun ya Rasul? Ditanya seperti itu beliau diam. Ditanya lagi hal yang sama tapi beliau diam. Hingga pada pertanyaan ketiga beliau menjawab: “kalau saja saya katakan iya, maka telah wajib atasmu setiap tahun”.  Karenanya beliau diam untuk menegaskan bahwa sebuah perintah yang jelas jangan lagi dipertanyakan. Karena akibatnya bisa menjadi lebih rumit dan membebankan. Oleh karena kewajiban haji hanya sekali, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah harus segera melakukan kewajiban itu? Atau dapatkah ditunda dan kapan saja selama masih hidup?  Semua ulama memberikan jawaban tegas bahwa kewajiban haji harus dilakukan sesegera mungkin jika ”syarat-syarat kewajiban” itu telah terpenuhi. Yang membolehkan menunda pelaksanaan kewajiban haji hanya Imam Syafi’i. Itupun dengan sebuah persyaratan. Bahwa orang yang menunda menunaikan ibadah haji, padahal sudah memenuhi syaratnya, harus yakin untuk tidak mati hingga dia melaksanakannya.  Persyaratan ini sesungguhnya adalah persyaratan penegasan saja. Bahwa kalau dia sudah mampu, tapi tetap tidak melaksanakannya dan mati maka dia akan mati dalam keadaan berdosa besar. Bahkan matinya dimiripkan sebagai mati dalam keadaan ”nashronian atau yahudian”.  Kembali kepada syarat-syarat kewajiban haji di atas, para ulama.menyebutkan lima syarat wajibnya haji atas seseorang.  Pertama, bahwa orang itu memang beragama Islam.  Kedua, orang tersebut balig (pada lelaki ditandai dengan mimpi basah biasanya. Pada.wanita dengan datangnya haid pertama).  Ketiga, yang bersangkutan berakal sehat. Ketiga syarat di atas menjadi syarat semua ibadah dalam Islam. Non Muslim, anak-anak di bawah umur, dan yang sedang gila tidak diwajibkan melaksanakan ibadah dalam Islam. Lalu syarat keempat dari kewajiban haji adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang merdeka. Pada masa lalu aturan ini merupakan ”rahmah” bagi para budak yang menjadi Muslim. Karena mereka masih dalam kepemilikan tuannya. Dan itu tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakannya.  Dan yang kelima adalah bahwa yang bersangkutan memang memiliki isthitho’ah. Yaitu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hadits-hadits ditegaskan dua hal tentang kemampuan ini.  Satu, adalah menyangkut perjalananan (rahilah) atau bisakah seseorang itu sampai ke sana?  Pada masa lalu ini menyangkut onta, kuda atau kemampuan berjalan hingga sampai ke tanah suci. Saat ini saya yakin itu terkait dengan alat transportasi. Jika dibawa ke rana faktualnya maka mampukah yang bersangkutan membeli tiket pesawat?  Kedua, menyangkut perbekalan (zaad). Saya yakin semua ini masuk dalam kategori ONH (Ongkos Naik Haji). Ujung-ujungnya juga adalah apakah uang tersedia atau tidak. Dalam hal istitho’ah ini memang banyak pertanyaan yang terkait. Misalnya bagaimana jika masih ada utang? Termasuk misalnya utang ansuran bayar membeli rumah bulanan atau mortgage?  Hal itu akan dibahas pada masanya. Tapi intinya adalah kewajjban haji adalah masuk dalam kewajiban utama Islam. Dan hendaknya segera dilakukan jika persyaratan wajibnya telah terpenuhi.  Pertanyaan yang terkait barangkali, khususnya yang dari negara mayoritas Muslim seperti Indonesia adalah masalah quota.  Dengan aturan quota dari pemerintah Arab Saudi, bagaimana yang terjadwal berangkat 20 tahun mendatang tapi meninggal sebelum berangkat? Saya dengar saat ini dengan krisis Covid 19 sebagian malah menunggu hingga 90 tahunan. Dapat dipastikan jamaah yang bersamgkutan tidak akan berangkat. Lalu bagaimana status hukumnya? Jawabannya dia sudah terlepas dari kewajiban haji. Karena sejak mendaftar dia sudah berniat melaksanakan kewajjbannya. Tapi karena satu dan lain hal yang bersangkutan belum sempat. Namun niatnya sudah dihitung sebagai ibadah haji di sisi Allah SWT.  Semoga Allah mengaruniai haji mabrur bagi mereka yang berhaji. Amin... New York, 1 Juli 2022. (*)

ZIS Jadi Pondasi Ekonomi Rakyat Aceh

Banda Aceh, FNN --- Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, mengatakan zakat Infaq dan sadaqah atau ZIS menjadi pondasi ekonomi rakyat Aceh.  \"Sungguh saya bangga dan terharu, bahwa hari ini kita dapat menyaksikan kekuatan serta kebenaran ajaran Islam tentang bagaimana zakat, Infaq dan sadaqah dapat membantu ummat keluar dari berbagai persoalan ekonomi,\" ujar Gubernur Aceh pada peletakan batu pertama Pembangunan Rumah Baitul Mal Aceh, di Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Jumat (1/7 2022).  Rumah tersebut dibangun dengan pembiayaan melalui dana infaq masyarakat Aceh. Kegiatan itu turut dihadiri oleh Ketua DPS Baitul Mal Aceh, Prof Alyasa Abubakar, Ketua Badan Baitul Mal Aceh, Mohammad Haikal, Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah, Anggota Komisi VI Tezar Azwar dan beberapa kepala SKPA terkait lainnya. \"Peletakan batu pertama pondasi ini, bukan hanya menjadi sekadar tanda bahwa sebuah proyek pembangunan akan dimulai, namun juga menjadi simbol bahwa zakat Infaq dan sadaqah akan menjadi pondasi ekonomi umat. Pondasi terbaik, yang akan membawa masyarakat Aceh ke dalam sebuah masa depan yang gemilang,\" kata Nova Iriansyah.  Ia berharap, pembangunan rumah tersebut menjadi contoh bagaimana kekuatan ajaran Islam dapat meningkatkan taraf hidup umatnya.  Rumah Baitul Mal Pemerintah Aceh melalui Baitul Mal Aceh, telah melakukan pendataan sejak tahun 2018 atas calon penerima rumah. Namun, upaya pembangunan Rumah Baitul Mal itu terkendala regulasi.  \"Ahamdulillah, setelah diterbitkannya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, pembangunan rumah Baitul Mal dapat dilanjutkan,\" kata Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh, Rahmad Raden.  Pada tahap pertama ini, Baitul Mal akan membangun rumah bagi 144 mustahik di lima kabupaten dan kota, yaitu di Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Pidie dan Aceh Jaya. Pelaksanaan pembangunan rumah tersebut dilakukan secara swadaya melalui kelompok masyarakat.  \"Alhamdulillah perangkat desa sangat koperatif membantu kami,\" kata Rahmad Raden. Gubernur Aceh Nova Iriansyah, mengatakan dengan dimulainya pembangunan rumah bantuan itu, artinya zakat, infaq dan sadaqah dari ummat yang terkumpul selama ini, telah disalurkan secara patut dan tepat sasaran.  Terkait pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan swakelola, Nova mengingatkan agar Baitul Mal Aceh dan perangkat gampong yang terlibat untuk melakukan upaya terbaik agar tidak terjadi penyimpangan. Karenanya semua pihak diharuskan untuk mengawasinya secara bersama-sama agar tidak terjadi penyimpangan.  Kepada penerima, Nova berpesan agar memanfaatkan dan memelihara rumah itu dengan baik. \"Ini titipan saudara-saudara kita semua. Konsekwensi penerimanya ya harus pelihara dengan baik,” ujar Nova. Radiah (57), penerima Rumah Baitul Mal asal Punge Blang Cut, menyampaikan terima kasih kepada gubernur atas bantuan yang diberikan kepadanya. Ia merupakan salah satu korban tsunami, yang rumahnya itu tidak layak huni. Saat ini ia bekerja sebagai penjaja kios yang lokasinya berada tepat di depan rumah lama, yang kini sudah dirobohkan.  \"Terima kasih atas bantuan bapak Gubernur. Insya Allah saya akan menjaga rumah ini dengan baik,\" kata Radiah.  Kepada Radiah, Gubernur Nova kemudian juga menjanjikan untuk membangun kembali kios di depannya rumahnya, pasca pembangunan rumah baitul mal selesai. (SMH/REL/TG)

Haji dan Sejarah Religiositas Manusia

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA indikasi kuat bahwa haji atau amalan-amalan ritual di Tanah Haram sudah ada sejak awal turunnya manusia ke atas bumi ini. Hal itu terbukti dengan jejak-jejak sejarah kedua orang tua manusia, Adam dan Hawa, yang diturunkan ke bumi ini di sekitar wilayah tanah haram itu. Belakangan kita ketahui bahwa pertama kali mereka turun atau diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka pun saling mencari didorong oleh rasa “rahmah” (kasih sayang) yang ada pada keduanya. Maka atas kasih sayang Allah mereka dipertemukan di sebuah bukit yang juga dikenal dengan “rahmah” (bukit kasih sayang). Bukit itu memang lebih dikenal saat ini dengan nama “Jabal Rahmah”. Sudah pasti tidak ada catatan sejarah mengenai mereka berdua. Tidak ada catatan tinta kasat, kecuali narasi-narasi yang berkembang dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya seolah menjadi catatan sejarah resmi.  Belakangan disebutkan bahwa Adam sendiri meninggal di kota suci Mekah. Beliau dikuburkan di sekitar “lokasi suci” sekitar Ka’bah. Ada yang menyebutkan bahwa Adam dikuburkan di sebuah lokasi antara Ka’bah dan Sumur Zam-Zam saat ini. Sementara Hawa melakukan perjalanan hingga ke pinggiran pantai di sebuah daerah di luar kota suci Mekah. Daerah pinggiran pantai itu sekarang dikenal sebagai sebuah kota metropolitan di Saudi Arabia bernama Jeddah. Di sanalah Nenek manusia itu dikuburkan. Bahkan kuburannya hingga kini menjadi salah satu destinasi ziarah kota Jeddah. Namun demikian, catatan sejarah tentang ritual haji yang paling jelas dalam literasi agama kembali kepada sejarah Ibrahim AS dan keluarganya. Ibrahimlah dan keluarganya, khususnya anak isterinya Hajar dan Ismail AS, yang kemudian menjadi tema sentra dalam pembicaraan tentang haji dan tanah suci. Ibrahim menjadi sebutan yang berulang dalam membahas tentang haji dan Tanah Haram. Dari Ihram, ke Wukuf, Muzdalifah, Mina, hingga ke Thawaf dan Sa’i. Semuanya tidak terlepas dari sejarah napak tilas Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS. Walau tidak sepopuler Ibrahim, ternyata ada juga riwayat jika Musa AS juga pernah melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Entah kapan dan bagaimana? Memang hanya Allah yang Maha mengetahui. Tapi yang pasti memang Ka’bah-lah dalam sejarah agama yang pertama kali dijadikan sebagai pusat “ibadah”. Karenanya sangat wajar jika manusia secara turun-temurun telah menjadikan tempat ini sebagai pusat “peribadatan”. Al-Quran menyebutkan: “sesungguhnya Rumah (tempat ibadah) yang pertama ditempatkan di bumi adalah yang ada di Bakkah Yang Suci itu” (Al-Quran). Demikian dalam sejarahnya kita kenal juga bahwa jauh sebelum Rasulullah SAW dilahirkan di Tanah Mekah, kaum Arab dan tetangga-tetangganya telah menjadikan Ka’bah sebagai pusat ritual ibadah mereka. Hanya saja mereka melakukan itu tanpa Syariah (aturan agama) yang benar. Salah satu yang kita baca dalam sejarah bahwa kaum Arab sebelum Nabi Muhammad SAW hadir melakukan thawaf di sekitar Ka’bah dan Da’i di antara Shofa-Marwa tanpa menutup badan. Demikian seterusnya tempat yang dikenal dengan Tanah Haram ini menjadi pusat peribadatan sepanjang sejarah. Belakangan dengan kehadiran Ibrahim dan putranya Ismail yang mendoakan: “Wahai Tuhan kami, jadikan hati sebagian manusia cinta kepadanya (Mekah)” hal itu semakin mengakar. Puncak dari semua itu adalah diutusnya Rasul dan Nabi penutup Muhammad SAW, yang menjadikan praktek ritual bersejarah itu menjadi “hukum” atau Syariah yang baku. Bahkan dalam agama Islam haji menjadi salah satu pilar (tiang) agama itu sendiri. Karenanya melaksanakan ibadah haji sesungguhnya adalah sekaligus merupakan “napak tilas” perjalanan sejarah “religiositas” manusia. Pusat ketaatan kepada Tuhan bermuara dari pusat dunia yang memang dikenal sebagai “Ummul Qura” (Ibu negeri). Para ulama menyebutkan jika di sekitar Bait al-Ma’muur di sekitar Arsy Allah malaikat tiada henti melaksanakan thawaf menyembah dan membesarkan Asma Allah. Maka di bumi di sekitar Ka’bah tempat para hamba Allah dari kalangan manusia tiada hentinya menyembah Allah dan membesarkan AsmaNya. Dengan melaksanakan ibadah haji kita diingatkan kembali perjalanan “keagamaan” dan “ketaatan” manusia  kepada Tuhan. Seolah dengan perjalanan haji kita menyegarkan dan membangun kembali komitmen keagamaan dan ketaatan yang telah terjadi sepanjang sejarah interaksi manusia dengan Penciptanya. New York City, 30 Juni 2022. (*)