AGAMA

Rocky Gerung Meminta Indonesia Belajar dari Bahaya Islamofobia di India

Jakarta, FNN – Indonesia dianjurkan berkaca pada kasus Islamofobia yang kini menggerogoti negara India, soal pemenggalan kepala seorang penjahit beragama Hindu di Udaipur karena mendukung politikus partai berkuasa, Bharatiya Janata (BJP), yang menghina Nabi Muhammad. Berbagai bentuk ujaran kebencian dan kebijakan pemerintah, termasuk di negara-negara bagian, kini India dilabeli dengan negara yang membenci Islam atau Islamofobia.  Pengamat politik, Rocky Gerung, mengatakan hal yang sama juga berpotensi terjadi di Indonesia mengingat Indonesia dan India sama-sama negara demokrasi.  “Banyak hal yang membuat kita berpikir ulang bahwa dunia memang sedang mengalami frustrasi, karena kesulitan ekonomi, disparitas antara kaya miskin itu lalu datang mereka yang masih berupaya untuk mengambil keuntungan dari keadaan itu dengan sinyal-sinyal yang justru memperparah berpecah terutama di dalam negeri kita karena ada isu Agama,” kata Rocky Gerung dalam wawancara dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief di kanal YouTube Rocky Gerung Offcial, Sabtu (2/7/22). Melihat kemarin Indonesia juga digemparkan dengan penghinaan bukan hanya Nabi Muhammad tetapi Bunda Maria juga di dalam Promo dari Hollywings, namun untungnya kita cepat menangani itu meskipun pada awalnya mau digoreng-goreng ini berkaitan dengan langkah Anies Baswedan menutup 12 cabang outlet Hollywings di Jakarta.  India sering disebut sebagai negara demokrasi nomor satu, nomor dua dan segala macam tetapi di dalam berkehidupan kebudayaan yang disebut sebagai communities could tidak mungkin kita hilangkan yang disebut politik identitas dan demokrasi. Rocky mengingatkan bahwa kasus Islamofobia di India yang disebabkan pergolakan demokrasi juga bisa terjadi di Indonesia karena pemburukan demokrasi yang terjadi di Indonesia. Selain itu, menurutnya demokrasi Indonesia juga dihalangi, di mana kemampuan kita untuk mengevaluasi diri itu justru dihalangi oleh mereka yang tidak menginginkan terciptanya semacam percakapan public, kalau percakapan publik macet maka terjadi percakapan komunitas itu yang disebut kasak-kusuk, diskusi yang saling kirim untuk saling ngomporin. “Nah ini sebetulnya intinya yang seringkali dalam teori kita sebut sebagai politik identitas tapi sebetulnya di belakang itu ada permainan kartel bisnislah atau agama, yang mencari cara untuk menimbulkan sebut aja ketidak legaan berwarganegara di Indonesia itu makin terasa,” ujar filsuf jebolan Universitas Indonesia itu. (ida/lia)

Haji Itu Simbol Kesempurnaan Islam

Oleh: Imam Shamsi Ali, Haji itu simbol kesempurnaan Islam  KATA haji itu sendiri sesungguhnya  sangat unik. Arti epasnya adalah “melakukan safar atau perjalanan ke tempat yang jauh”. Namun jika kita lihat lebih dekat lagi, kata ”hajj” (ح ج ج) ternyata melahirkan beberapa nuansa pemaknaan.  Kata haji itu berasal dari kata ”hajja” tadi   minimal mengahasilkan dua makna: Bisa membawa kepada ”hajja-yahijju-hajjun”. Atau “hajja-yahijju-hijjun”.  Yang pertama adalah “Hajjun” (dengan haa fatha) adalah bentuk mashdar atau asal kata itu sendiri. Sementara “hijjun” (dengan haa kasrah) itu adalah bentuk ism atau kata benda dari amalan ini.  Tapi yang lebih menarik lagi adalah kata “hajja” juga bisa menghasilkan: ”yahujju-hujjatun” (dengan haa dhomma).  Hujjatun dalam bahasa Arab kita kenal bermakna dalil, alasan atau argumen. Tapi juga bisa bermakna tanda atau bukti.  Jika bentuk pertama (hajjun dan hijjatun) lebih menggambarkan makna kasat dari haji, maka hujjatun lebih menggambarkan makna hakiki dari haji. Hajjun atau hijjun dalam ”syariah” berarti perjalanan jauh (ke tanah suci) untuk melakukan ritual Ibadah karena Allah SWT.  Penggambaran makna ini diekspresikan dalam bahasa Al-Quran dengan: “ya’tuuka rijaalan wa ’alaa kulli dhoomir”. Yang menjelaskan bahwa jamaah dalam memenuhi panggilan haji itu ”akan datang ke tanah suci dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta-onta yang jinak. Dan mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh”. Semua hal yang relevansinya dengan “hajjun wa hijjatun” ini berada pada ruang lingkup pembahasan fiqh haji. Yaitu tatacara atau aturan melaksanakan haji. Atau lebih mayshur dengan istilah “manasik haji”.  Sementara kata ”hajja-yahujju-hujjatun” lebih banyak berhubungan dengan makna-makna spiritual atau hakiki dari pelaksanaan ibadah haji. Sesuatu yang ketika berbicara tentang ritual dalam Islam banyak terlupakan (ignored).  Haji disebut hujjatun yang berarti dalil, alasan atau bukti (proof) dimaksudkan bahwa haji adalah penutup dari rangkaian rukun Islam. Sebuah kewajiban sekali dalam hidup manusia. Maka melaksanakannya sekaligus sebuah komitmen pembuktian kesempuranaan seseorang dalam berislam.  Tidak mengherankan jika figur sentra dari seluruh rangkaian ritual ibadah haji adalah Ibrahim AS. Karena beliaulah sosok yang dikenal telah menyempurnakan semua perintah Allah (atammahunna).  Ibrahim dikenal sebagai ”penghulu monoteisme”. Dalam bahasa agama beliau dikenal sebagai ”abul ambiya”. Bapak dari para nabi.  Ibrahim AS juga merupakan sosok yang telah menjadi ”uswah” dalam perjalanan menuju kepada kesempurnaan Islam. Mulai dari proses mencari tuhan yang sebenarnya hingga pengorbanan tanpa pamrih dalam peribadatan kepada Rabbul alamin. Maka sangat wajar jika kemudian dalam Islam Ibrahim AS dikenal sebagai orang pertama yang digelari ”Muslim”.  Tentu penobatan gelar yang maksud bukan pada hakikatnya saja. Karena secara hakikat semua manusia diyakini  terlahir Muslim. Dan semua nabi dan rasul adalah pembawa risalah Islam.  api bagi Ibrahim kata Muslim di sini adalah penyebutan “institutional”. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quran: ”huwa samaakumul muslimiina min qabl”. Bahwa sebelum Muhammad SAW atau sebelum Al-Quran, Allah SWT memberikan gelar “muslim” pertama kali kepada Ibrahim AS. Bahkan dengan tegas Al-Quran menegaskan: ”Ibrahim bukan Yahudi, tidak juga Nasrani. Tapi seorang Muslim yang hanif”. Semua realita itulah yang menjadikan ibadah haji terkait erat dengan Ibrahim AS. Sebab sekali lagi haji menjadi bukti kesempurnaan Islam seperti komitmen Ibrahim dalam beragama. Dan yang lebih penting lagi, haji berarti hujjah atau bukti karena dengan haji seorang Mukmin membuktikan keislamannya. Sehingga meninggalnya seseorang dengan haji mabrur adalah pembuktian bahwa seseorang itu meninggal dalam keadaan Muslim.  Sebagaimana diingatkan oleh Al-Quran: ”wa laa tamutunna illa wa antum Muslimun” (janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Muslim”.  Maka haji yang mabrur menjadi jawaban dan pembuktian. Sehingga sangat wajar jika ”haji mabrur balasannya tiada lain selain syurga”. (hadits).  New York, 2 Juni 2022. (*)

Haji Sebagai Kewajiban dan Tiang Agama

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation  MENHADI kesepakatan ummah bahwa haji merupakan kewajiban (tardho) bagi seluruh orang yang beragama Islam, dan telah memenuhi persyaratan kewajibannya.  Terdahulu telah disebutkan ayat Al-Quran: ”dan bagi Allah atas manusia untuk melakukan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya”.  Bahkan lebih jauh Rasul SAW menetapkan Ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun Islam: ”Islam didirikan di atas lima dasar: Syahadah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”.  Oleh karena merupakan kewajiban sekaligus rukun agama, semua umat sepakat (ijma’ al-ummah) menerimanya sebagai fardhu. Bahkan, melakukan ibadah haji menjadi impian semua umat.  Pada masa lalu menunaikan ibadah haji itu bahkan dilabeli sebagai ”panggilan” khusus. Sebagian yang tidak atau belum menunaikan haji menjadikan hal ini sebagai alasan. ”ah belum ada panggilan”, kata mereka. Juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama jika haji itu kewajibannya hanya sekali dalam hidup. Artinya kewajibannya menjadi selesai ketika melakukannya pertama kali. Kalaupun seseorang melakukan haji berkali-kali setelah itu maka hajinya bukan kewajiban. Melainkan ibadah sunnah yang mendapat pahala dari sisiNya.  Ketika perintah haji disampaikan kepada para sahabat mereka bertanya: ”apakah setiap tahun ya Rasul? Ditanya seperti itu beliau diam. Ditanya lagi hal yang sama tapi beliau diam. Hingga pada pertanyaan ketiga beliau menjawab: “kalau saja saya katakan iya, maka telah wajib atasmu setiap tahun”.  Karenanya beliau diam untuk menegaskan bahwa sebuah perintah yang jelas jangan lagi dipertanyakan. Karena akibatnya bisa menjadi lebih rumit dan membebankan. Oleh karena kewajiban haji hanya sekali, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah harus segera melakukan kewajiban itu? Atau dapatkah ditunda dan kapan saja selama masih hidup?  Semua ulama memberikan jawaban tegas bahwa kewajiban haji harus dilakukan sesegera mungkin jika ”syarat-syarat kewajiban” itu telah terpenuhi. Yang membolehkan menunda pelaksanaan kewajiban haji hanya Imam Syafi’i. Itupun dengan sebuah persyaratan. Bahwa orang yang menunda menunaikan ibadah haji, padahal sudah memenuhi syaratnya, harus yakin untuk tidak mati hingga dia melaksanakannya.  Persyaratan ini sesungguhnya adalah persyaratan penegasan saja. Bahwa kalau dia sudah mampu, tapi tetap tidak melaksanakannya dan mati maka dia akan mati dalam keadaan berdosa besar. Bahkan matinya dimiripkan sebagai mati dalam keadaan ”nashronian atau yahudian”.  Kembali kepada syarat-syarat kewajiban haji di atas, para ulama.menyebutkan lima syarat wajibnya haji atas seseorang.  Pertama, bahwa orang itu memang beragama Islam.  Kedua, orang tersebut balig (pada lelaki ditandai dengan mimpi basah biasanya. Pada.wanita dengan datangnya haid pertama).  Ketiga, yang bersangkutan berakal sehat. Ketiga syarat di atas menjadi syarat semua ibadah dalam Islam. Non Muslim, anak-anak di bawah umur, dan yang sedang gila tidak diwajibkan melaksanakan ibadah dalam Islam. Lalu syarat keempat dari kewajiban haji adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang merdeka. Pada masa lalu aturan ini merupakan ”rahmah” bagi para budak yang menjadi Muslim. Karena mereka masih dalam kepemilikan tuannya. Dan itu tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakannya.  Dan yang kelima adalah bahwa yang bersangkutan memang memiliki isthitho’ah. Yaitu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hadits-hadits ditegaskan dua hal tentang kemampuan ini.  Satu, adalah menyangkut perjalananan (rahilah) atau bisakah seseorang itu sampai ke sana?  Pada masa lalu ini menyangkut onta, kuda atau kemampuan berjalan hingga sampai ke tanah suci. Saat ini saya yakin itu terkait dengan alat transportasi. Jika dibawa ke rana faktualnya maka mampukah yang bersangkutan membeli tiket pesawat?  Kedua, menyangkut perbekalan (zaad). Saya yakin semua ini masuk dalam kategori ONH (Ongkos Naik Haji). Ujung-ujungnya juga adalah apakah uang tersedia atau tidak. Dalam hal istitho’ah ini memang banyak pertanyaan yang terkait. Misalnya bagaimana jika masih ada utang? Termasuk misalnya utang ansuran bayar membeli rumah bulanan atau mortgage?  Hal itu akan dibahas pada masanya. Tapi intinya adalah kewajjban haji adalah masuk dalam kewajiban utama Islam. Dan hendaknya segera dilakukan jika persyaratan wajibnya telah terpenuhi.  Pertanyaan yang terkait barangkali, khususnya yang dari negara mayoritas Muslim seperti Indonesia adalah masalah quota.  Dengan aturan quota dari pemerintah Arab Saudi, bagaimana yang terjadwal berangkat 20 tahun mendatang tapi meninggal sebelum berangkat? Saya dengar saat ini dengan krisis Covid 19 sebagian malah menunggu hingga 90 tahunan. Dapat dipastikan jamaah yang bersamgkutan tidak akan berangkat. Lalu bagaimana status hukumnya? Jawabannya dia sudah terlepas dari kewajiban haji. Karena sejak mendaftar dia sudah berniat melaksanakan kewajjbannya. Tapi karena satu dan lain hal yang bersangkutan belum sempat. Namun niatnya sudah dihitung sebagai ibadah haji di sisi Allah SWT.  Semoga Allah mengaruniai haji mabrur bagi mereka yang berhaji. Amin... New York, 1 Juli 2022. (*)

ZIS Jadi Pondasi Ekonomi Rakyat Aceh

Banda Aceh, FNN --- Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, mengatakan zakat Infaq dan sadaqah atau ZIS menjadi pondasi ekonomi rakyat Aceh.  \"Sungguh saya bangga dan terharu, bahwa hari ini kita dapat menyaksikan kekuatan serta kebenaran ajaran Islam tentang bagaimana zakat, Infaq dan sadaqah dapat membantu ummat keluar dari berbagai persoalan ekonomi,\" ujar Gubernur Aceh pada peletakan batu pertama Pembangunan Rumah Baitul Mal Aceh, di Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Jumat (1/7 2022).  Rumah tersebut dibangun dengan pembiayaan melalui dana infaq masyarakat Aceh. Kegiatan itu turut dihadiri oleh Ketua DPS Baitul Mal Aceh, Prof Alyasa Abubakar, Ketua Badan Baitul Mal Aceh, Mohammad Haikal, Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah, Anggota Komisi VI Tezar Azwar dan beberapa kepala SKPA terkait lainnya. \"Peletakan batu pertama pondasi ini, bukan hanya menjadi sekadar tanda bahwa sebuah proyek pembangunan akan dimulai, namun juga menjadi simbol bahwa zakat Infaq dan sadaqah akan menjadi pondasi ekonomi umat. Pondasi terbaik, yang akan membawa masyarakat Aceh ke dalam sebuah masa depan yang gemilang,\" kata Nova Iriansyah.  Ia berharap, pembangunan rumah tersebut menjadi contoh bagaimana kekuatan ajaran Islam dapat meningkatkan taraf hidup umatnya.  Rumah Baitul Mal Pemerintah Aceh melalui Baitul Mal Aceh, telah melakukan pendataan sejak tahun 2018 atas calon penerima rumah. Namun, upaya pembangunan Rumah Baitul Mal itu terkendala regulasi.  \"Ahamdulillah, setelah diterbitkannya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, pembangunan rumah Baitul Mal dapat dilanjutkan,\" kata Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh, Rahmad Raden.  Pada tahap pertama ini, Baitul Mal akan membangun rumah bagi 144 mustahik di lima kabupaten dan kota, yaitu di Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Pidie dan Aceh Jaya. Pelaksanaan pembangunan rumah tersebut dilakukan secara swadaya melalui kelompok masyarakat.  \"Alhamdulillah perangkat desa sangat koperatif membantu kami,\" kata Rahmad Raden. Gubernur Aceh Nova Iriansyah, mengatakan dengan dimulainya pembangunan rumah bantuan itu, artinya zakat, infaq dan sadaqah dari ummat yang terkumpul selama ini, telah disalurkan secara patut dan tepat sasaran.  Terkait pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan swakelola, Nova mengingatkan agar Baitul Mal Aceh dan perangkat gampong yang terlibat untuk melakukan upaya terbaik agar tidak terjadi penyimpangan. Karenanya semua pihak diharuskan untuk mengawasinya secara bersama-sama agar tidak terjadi penyimpangan.  Kepada penerima, Nova berpesan agar memanfaatkan dan memelihara rumah itu dengan baik. \"Ini titipan saudara-saudara kita semua. Konsekwensi penerimanya ya harus pelihara dengan baik,” ujar Nova. Radiah (57), penerima Rumah Baitul Mal asal Punge Blang Cut, menyampaikan terima kasih kepada gubernur atas bantuan yang diberikan kepadanya. Ia merupakan salah satu korban tsunami, yang rumahnya itu tidak layak huni. Saat ini ia bekerja sebagai penjaja kios yang lokasinya berada tepat di depan rumah lama, yang kini sudah dirobohkan.  \"Terima kasih atas bantuan bapak Gubernur. Insya Allah saya akan menjaga rumah ini dengan baik,\" kata Radiah.  Kepada Radiah, Gubernur Nova kemudian juga menjanjikan untuk membangun kembali kios di depannya rumahnya, pasca pembangunan rumah baitul mal selesai. (SMH/REL/TG)

Haji dan Sejarah Religiositas Manusia

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA indikasi kuat bahwa haji atau amalan-amalan ritual di Tanah Haram sudah ada sejak awal turunnya manusia ke atas bumi ini. Hal itu terbukti dengan jejak-jejak sejarah kedua orang tua manusia, Adam dan Hawa, yang diturunkan ke bumi ini di sekitar wilayah tanah haram itu. Belakangan kita ketahui bahwa pertama kali mereka turun atau diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka pun saling mencari didorong oleh rasa “rahmah” (kasih sayang) yang ada pada keduanya. Maka atas kasih sayang Allah mereka dipertemukan di sebuah bukit yang juga dikenal dengan “rahmah” (bukit kasih sayang). Bukit itu memang lebih dikenal saat ini dengan nama “Jabal Rahmah”. Sudah pasti tidak ada catatan sejarah mengenai mereka berdua. Tidak ada catatan tinta kasat, kecuali narasi-narasi yang berkembang dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya seolah menjadi catatan sejarah resmi.  Belakangan disebutkan bahwa Adam sendiri meninggal di kota suci Mekah. Beliau dikuburkan di sekitar “lokasi suci” sekitar Ka’bah. Ada yang menyebutkan bahwa Adam dikuburkan di sebuah lokasi antara Ka’bah dan Sumur Zam-Zam saat ini. Sementara Hawa melakukan perjalanan hingga ke pinggiran pantai di sebuah daerah di luar kota suci Mekah. Daerah pinggiran pantai itu sekarang dikenal sebagai sebuah kota metropolitan di Saudi Arabia bernama Jeddah. Di sanalah Nenek manusia itu dikuburkan. Bahkan kuburannya hingga kini menjadi salah satu destinasi ziarah kota Jeddah. Namun demikian, catatan sejarah tentang ritual haji yang paling jelas dalam literasi agama kembali kepada sejarah Ibrahim AS dan keluarganya. Ibrahimlah dan keluarganya, khususnya anak isterinya Hajar dan Ismail AS, yang kemudian menjadi tema sentra dalam pembicaraan tentang haji dan tanah suci. Ibrahim menjadi sebutan yang berulang dalam membahas tentang haji dan Tanah Haram. Dari Ihram, ke Wukuf, Muzdalifah, Mina, hingga ke Thawaf dan Sa’i. Semuanya tidak terlepas dari sejarah napak tilas Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS. Walau tidak sepopuler Ibrahim, ternyata ada juga riwayat jika Musa AS juga pernah melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Entah kapan dan bagaimana? Memang hanya Allah yang Maha mengetahui. Tapi yang pasti memang Ka’bah-lah dalam sejarah agama yang pertama kali dijadikan sebagai pusat “ibadah”. Karenanya sangat wajar jika manusia secara turun-temurun telah menjadikan tempat ini sebagai pusat “peribadatan”. Al-Quran menyebutkan: “sesungguhnya Rumah (tempat ibadah) yang pertama ditempatkan di bumi adalah yang ada di Bakkah Yang Suci itu” (Al-Quran). Demikian dalam sejarahnya kita kenal juga bahwa jauh sebelum Rasulullah SAW dilahirkan di Tanah Mekah, kaum Arab dan tetangga-tetangganya telah menjadikan Ka’bah sebagai pusat ritual ibadah mereka. Hanya saja mereka melakukan itu tanpa Syariah (aturan agama) yang benar. Salah satu yang kita baca dalam sejarah bahwa kaum Arab sebelum Nabi Muhammad SAW hadir melakukan thawaf di sekitar Ka’bah dan Da’i di antara Shofa-Marwa tanpa menutup badan. Demikian seterusnya tempat yang dikenal dengan Tanah Haram ini menjadi pusat peribadatan sepanjang sejarah. Belakangan dengan kehadiran Ibrahim dan putranya Ismail yang mendoakan: “Wahai Tuhan kami, jadikan hati sebagian manusia cinta kepadanya (Mekah)” hal itu semakin mengakar. Puncak dari semua itu adalah diutusnya Rasul dan Nabi penutup Muhammad SAW, yang menjadikan praktek ritual bersejarah itu menjadi “hukum” atau Syariah yang baku. Bahkan dalam agama Islam haji menjadi salah satu pilar (tiang) agama itu sendiri. Karenanya melaksanakan ibadah haji sesungguhnya adalah sekaligus merupakan “napak tilas” perjalanan sejarah “religiositas” manusia. Pusat ketaatan kepada Tuhan bermuara dari pusat dunia yang memang dikenal sebagai “Ummul Qura” (Ibu negeri). Para ulama menyebutkan jika di sekitar Bait al-Ma’muur di sekitar Arsy Allah malaikat tiada henti melaksanakan thawaf menyembah dan membesarkan Asma Allah. Maka di bumi di sekitar Ka’bah tempat para hamba Allah dari kalangan manusia tiada hentinya menyembah Allah dan membesarkan AsmaNya. Dengan melaksanakan ibadah haji kita diingatkan kembali perjalanan “keagamaan” dan “ketaatan” manusia  kepada Tuhan. Seolah dengan perjalanan haji kita menyegarkan dan membangun kembali komitmen keagamaan dan ketaatan yang telah terjadi sepanjang sejarah interaksi manusia dengan Penciptanya. New York City, 30 Juni 2022. (*)

Haji dan Panggilan Kemanusiaan

Oleh: Imam Shamsi Ali - Presiden Nusantara Foundation SAAT ini umat Islam di seluruh dunia bersiap-siap menyambut datangnya hari-hari penting di bulan haji. Bahkan saat ini pun musim haji yang penuh hiruk pikuk itu telah mulai terasa. Penerbangan jamaah haji dari berbagai negara dunia sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir. Haji memang adalah ibadah yang paling menghebohkan. Tentu selain karena merupakan kewajiban sekali se umur hidup. Juga karena haji itu memerlukan persiapan yang banyak. Apalagi dalam konteks Indonesia yang antriannya di saat suasana tidak normal ini mencapai 99 tahun di beberapa daerah. Sehingga wajar ketika seseorang terpilih melaksanakan ibadah ini menjadi kebahagiaan sekaligus kehormatan komunal yang besar. Di berbagai daerah diekspresikan dengan berbagai tradisi yang berbeda. Tapi yang pasti ada satu hal yang menarik dari panggilan menunaikan ibadah haji ini dalam Al-Quran. Allah SWT tidak lagi menggunakan kata spesifik “orang-orang beriman”, yang biasanya dipahami secara konsensus sebagai panggilan kepada umat Islam.  Ketika Allah memanggil orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah haji, justeru penggilan itu bersifat kemanusiaan. Panggilan yang bersifat universal, seolah tanpa batas.  Hal ini dapat kita lihat pada ayat-ayat berikut:   “Dan kumandangkan kepada ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu berjalan kaki atau dengan onta-onta jinak. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh”. (S. Al-Haj: 28). “Dan bagi Allah atas ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya” (S. Ali Imran: 97). Penyebutan “an-naas” dalam ayat-ayat haji di atas merupakan indikasi jelas akan panggilan universal ini. Sekaligus deklarasi umum bahwa Islam adalah “hudan lin-naas” atau petunjuk universal bagi seluruh manusia.  Panggilan universal kemanusiaan ini juga sekaligus menggaris bawahi persaudaraan universalitas dalam Islam. Bahwa dalam Islam semua manusia itu bersaudara secara asal. Semua berasal dari Adam dan Hawa. Dan Adam berasal dari tanah. Panggilan universalitas ini juga sekaligus mengingatkan saya tentang rasisme dan tendensi meningginya “White Supremacy” di dunia Barat. Seolah manusia terkotak dan nilainya ada pada ras dan warna kulitnya.  Panggilan kemanusiaan universal juga mengingatkan universalitas “kesetaraan manusia” (human equality” yang pernah dideklarasikan Rasul Allah, Muhammad SAW, di Padang Arafah. Bahkan jauh sebelum Komisi HAM melakukan hal sama hanya diabad lalu.  Secara khusus, amalan-amalan haji pada galibnya berhubungan dengan Nabi Allah Ibrahim AS. Juga sebuah indikasi bahwa Islam itu adalah dasar dari agama-agama monoteisme. Ibrahimlah pertama kali yang sesungguhnya mengumumkan jika umat monoteis itu bernama “Muslim”.  “Dialah (Ibrahim) yang pertama kali menamaimu Muslim” (Al-Quran).  Dengan haji umat Islam akan terus menyadari dan memperjuangkan kesetaraan kemanusiaan itu. Dengan haji umat juga tersadarkan bahwa semua orang dalam agama ini memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sekaligus memilii peluang yang sama untuk menjadi “the best” (terbaik).  Jika di Amerika ada slogan “equal opportunity” atau peluang yang sama dalam dunia, maka di agama ini peluang sama itu juga ada dalam segala hal. Termasuk peluang menjadi yang terbaik dan termulia.  “sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).  Pesan-pesan haji akan kembali mengingatkan dan membangun kesadaran itu. Bahwa Islammu tidak ditentukan oleh kebangsaan dan rasmu. Tapi oleh iman, karakter dan karyamu. Kesemunya menyatu dalam satu kata: TAQWA. Sebuah terminologi yang tidak didefenisikan oleh apapun, kecuali hati (iman), karya (amal) dan karakter kepribadian (akhlak) manusia.  Dan haji yang diterima dengan sebutan “mabrur” itu ditandai oleh hadirnya perubahan hidup manusia dalam iman, amal, akhlaknya. Semoga jamaah haji kita dikaruniai kemabruran dalam berhaji. Amin! (sws)

Alumni Timur Tengah Minta Pemerintah Bebaskan Ulama dan Tahanan Politik

Jakarta, FNN - Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATI) meminta pemerintah RI untuk sungguh-sungguh melakukan rekonsiliasi nasional, dengan  membebaskan tokoh-tokoh ulama dan aktivis yang ditahan karena isu politik. Permintaan tersebut merupakan salah satu poin hasil Musyawarah Nasional I Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) yang digelar di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Jumat-Ahad, 17-19 Juni 2022.  Munas JATTI menetapkan Ustaz Bachtiar Nasir sebagai Ketua Umum DPP JATTI periode 2022-2025. Sementara M. Irawan Taqwa ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal dan KH Muhyiddin Junaidi sebagai Ketua Dewan Pembina. Ketua Umum JATTI Ustaz Bachtiar Nasir mengatakan, JATTI memiliki peran sebagai mitra pemerintah dan pelayan ummat (syariikul hukuumah wa khaadimul ummah). Untuk itu, Munas I JATTI menyepakati poin-poin rekomendasi yang memfokuskan pada peran tersebut. “Rekomendasi terdiri dari berbagai bidang, baik isu-isu nasional maupun internasional,” kata Ustaz Bachtiar Nasir kepada media, Kamis (23/6/2022). UBN, demikian sapaan Ustaz Bachtiar Nasir, menjelaskan poin-poin rekomendasi tersebut. Pada poin pertama bidang dakwah dan sosial, menyerukan segenap elemen bangsa untuk memproses dan mengawal peralihan kepemimpinan nasional 2024 berdasarkan nilai-nilai akhlak yang mulia dan menjauhi politik uang. Kedua, menghimbau partai-partai politik untuk membuka bursa kepemimpinan nasional 2024 bagi tokoh-tokoh umat yang memiliki kriteria jujur, amanah, cerdas, dan berintegritas. Ketiga, meminta pemerintah RI untuk sungguh-sungguh melakukan rekonsiliasi nasional, dengan  membebaskan tokoh-tokoh ulama dan aktivis yang ditahan karena isu politik. Keempat, mendorong ormas-ormas Islam meningkatkan kepedulian sosial untuk meringankan dampak pandemi Covid-19, seperti dengan mendirikan panti-panti sosial, menyediakan layanan pendidikan gratis, dan lain-lain. Kemudian pada bidang pendidikan ada tiga poin rekomendasi. Pertama, meminta pemerintah RI mengimplementasikan UU pesantren yang menghargai kemandirian pesantren dan madrasah diniyah; sebagai sokoguru pendidikan nasional yang berkontribusi nyata dalam mencerdaskan bangsa. Kedua, menuntut pemerintah RI untuk melakukan pemerataan anggaran dalam pembinaan serta pengembangan pesantren dan madrasah diniyah. Ketiga, mendorong ormas-ormas Islam untuk bersinergi mewujudkan Islamic World Class University. Bidang ekonomi keumatan, Munas I JATTI menghasilkan dua poin rekomendasi. Pertama, menuntut pemerintah RI mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang semakin berpihak pada pribumi, usaha kecil, serta mengeliminir dominasi oligarki. Kedua, menuntut pemerintah RI mengevaluasi tata kelola dan penyediaan kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, energi, dan lain-lain dengan harga yang terjangkau. Dukung Resolusi PBB Sementara untuk isu-isu internasional menghasilkan empat poin rekomendasi. Pertama, mendukung resolusi PBB tentang melawan Islamophobia, dan meminta pemerintah agar  mengimplementasikan resolusi internasional tersebut dalam perundang-undangan, kebijakan dalam negeri, maupun politik luar negeri Indonesia. Kedua, meminta kepada PBB untuk konsisten dalam mengimplementasikan resolusi melawan Islamophobia, dengan menjatuhkan sanksi kepada negara-negara yang melakukan praktik Islamphobia. Ketiga, menolak penyimpangan seksual LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer plus) dan segala bentuk propagandanya yang mengatasnamakan HAM, serta meminta pemerintah RI mengembangkan layanan terapi yang komprehensif dan layak untuk para penderita LGBTQ+. Keempat, mendukung penuh perdamaian dunia dan solusi komprehensif terhadap kemerdekaan Palestina, stabilitas Afghanistan, konflik Yaman, Suriah, Kashmir, Uyghur, Rohingya, dan Turkistan Timur, sesuai pembukaan UUD 1945. (TG)

Dewan Da'wah Ajukan Sebagai Pihak Terkait Dalam Sidang Gugatan Nikah Beda Agama

Jakarta, FNN – Sehubungan dengan adanya pihak-pihak yang berusaha menggugat kembali UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang melarang pernikahan beda agama ke Mahkamah Konstitusi, maka Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia telah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam Perkara Nomor: 24/PUU-XX/2022 Perihal Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Gugatan Dewan Dakwah itu diajukan Rabu (22/6/2022) melalui kuasa hukumnya  Abdullah Al Katiri. Beliau juga aktif sebagai Ketua Umum Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI). “Dewan Da’wah selama ini  terus memonitor dan mengawal setiap gugatan Undang-undang ke MK yang merugikan aqidah umat Islam di Indonesia” ujar Dr. Taufik Hidayat, Ketua Bidang Politik, Hukum dan HAM Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.  “Terakhir kami sukses mempertahankan UU terkait penodaan agama yang ingin dicabut oleh pihak -pihak yang ingin aliran sesat tumbuh subur di Indonesia” jelas Taufik Hidayat. Sementara itu Kuasa Hukum Dewan Da’wah Abdullah Alkatiri, menjelaskan bahwa pengajuan sebagai pihak terkait ini merupakan prosedur yang biasa dilalui jika ada pihak-pihak yang ingin memberikan sanggahan atau masukan kepada para hakim MK untuk nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengabulkan atau menolak permohonan perkara pihak pemohon.  ”Kita jangan sampai lengah terhadap usaha yang terus menerus dilakukan oleh pihak–pihak yang ingin merusak aqidah umat melalui jalan perundang-undangan. Mereka bekerja secara senyap yang terkadang kalau kita tidak hati-hati, kita bisa kecolongan” jelas pengacara senior yang selalu terdepan membela kepentingan umat. Abdullah Alkatiri  juga menyayangkan putusan PN Surabaya baru-baru ini yang mengabulkan permohonan nikah beda agama yang jelas- jelas melanggar UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. “Kami akan berjuang all out dengan para pakar dan ahli kami yang ada di keluarga besar Dewan Da’wah untuk mempertahankan agar jangan sampai UU Perkawinan ini dicabut yang akan menjadi malapetaka bagi generasi masa depan umat. Kami mohon doanya dan dukungannya” pungkas Taufik Hidayat.  Sebagai informasi, E. Ramos Petege (Pemohon) merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.  Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodir oleh UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut. Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.  Selain itu, Pemohon juga merasa kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. (TG)

Ustaz Bachtiar Nasir Terpilih Jadi Ketua Umum JATTI

Jakarta, FNN --Ustaz Bachtiar Nasir terpilih sebagai Ketua Umum DPP Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) periode 2022-2025. UBN, demikian sapaan karibnya, terpilih secara musyawarah mufakat pada sidang pleno Musyawarah Nasional  ke- 1 JATTI di Hotel Grand Cempaka, Jakarta,  Sabtu (18/6/2022) malam. Berdasarkan pandangan peserta perwakilan wilayah maupun alumni beberapa negara meminta UBN memimpin JATTI. Pada musyawarah pemilihan, tidak ada calon lain yang diusulkan peserta selain nama UBN. Mereka menilai UBN memiliki kapasitas dari sisi ketokohan, keulamaan, tidak berpartai dan memiliki jaringan nasional maupun internasional. \"Kami sependapat, kami setuju mengusung KH Bachtiar Nasir untuk menjadi Ketua Umum JATTI,\" ujar Ustaz Ahmad Nasrau, peserta dari Papua Barat. Sementara itu, UBN mengatakan terpilih menjadi Ketua Umum JATTI merupakan bagian dari takdir Allah. Ia mengaku tak kuasa menolak hasil musyawarah para peserta yang memilih dirinya. \"Ini amanah berat dan separuh musibah buat saya. Semua berjalan secara syura dan saya tidak boleh mangkir dari amanah ini,\" kata UBN saat menyampaikan sambutan setelah proses musyawarah pemilihan. UBN menilai kedepan kerja JATTI semakin berat. Salah satu target yang ingin dicapai pada periode kepemimpinan UBN adalah ekspansi kepengurusan wilayah di seluruh Indonesia. “Kita insyaallah bisa penetrasi untuk ketua-ketua wilayah. Ini menurut saya paling berat. Perlu silaturahmi dengan organisasi-organisasi alumni,” ujar UBN yang merupakan alumni Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Untuk diketahui, Munas ke-1 JATTI yang diikuti peserta dari berbagai utusan wilayah ini juga menetapkan KH Muhyiddin Junaidi sebagai Ketua Dewan Pembina JATTI periode 2022-2025. Sebelum pelaksanaan Munas, JATTI menggelar Silaturahmi Nasional (Silatnas) dan dihadiri sejumlah tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, dan Ahmad Murzani. (TG)

Gerakan Islam Harus Bersatu Lawan Islamophobia

Jakarta, FNN - Anti Islamophobia atau anti kebencian terhadap Islam harus disambut secara total di Indonesia.  Gerakan-gerakan yang dimotori ormas Islam, khususnya Muhammadiyah, harus mampu melihat peluang ini, di mana super power Amerika sedang memotori gerakan anti Islamophobia di dunia. Demikian paparan Syahganda Nainggolan dalam Pengajian Hari Bermuhammdiyah dengan tema \"Islamophobia di Negara Kesatuan Republik Indonesia\", yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (18/6/2022).  Di masa lalu, Amerika memotori gerakan anti Islam dengan isu anti ekstrimisme dan radikalisme. Projek deradikalisasi di berbagai belahan dunia disponsori Amerika, bersamaan munculnya stigma negatif terhadap Islam.  Dengan berputar arahnya Amerika saat ini, tentu saja peluang bagi ummat Islam mendudukkan Islam sebagai ajaran mainstream yang sejajar dengan ajaran Kapitalisme dan Sosiliasi Demokrat di berbagai negara maju.  Peluang ini, menurut Syahganda tidak lama, karena tergantung masa kepresidenan Partai Demokrat di Amerika. Untuk itu Syahganda mendorong agar Muhammadiyah memotori arahan gerakan ormas Islam dalam isu anti Islamophobia dan juga menjadi mitra pemerintah Indonesia ataupun PBB dalam misi tersebut. Syahganda juga meminta jajaran ormas Islam mengkaji pikiran Ilhan Omar, tokoh anti Islamophobia Amerika, sekaligus sponsor \"UU International Combating  Islamophobia\", yang mampu menjelaskan bahwa isu terorisme yang selama ini dikembangkan Amerika adalah kebencian terhadap Islam.  \"Muhammadiyah sebagai ormas yang banyak cendikiawannya harus mampu mengkaji cara Ilham Omar membalikkan diksi terorisme di Amerika, seperti Omar mengatakan bahwa pemboman 9/11 dilakukan segelintir orang bukan dilakukan Islam\", kata Syahganda. Dengan ke cendikiawan, ummat Islam dapat mengklaim kembali hak-hak sejarahnya yang paling besar di Indonesia. Demikian Syaganda Nainggolan yang juga alumni ITB. (TG)