OPINI

Gibran Tetap Berada di Ujung Tanduk

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK) pada hari Selasa 7 Nopember 2023 telah mengakhiri sidang pemeriksaan terhadap Hakim MK dengan membacakan Putusan yang pada pokoknya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, menyatakan Saldi Isra tidak melanggar soal dissenting opinion, memberi sanksi teguran tertulis kepada Arif Hidayat serta sanksi teguran lisan kepada enam hakim lainnya.  Seluruhnya secara kolektif dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik meski dengan tingkat pelanggaran beragam dan bertingkat.  Di samping itu MKMK menyatakan tidak berwenang untuk menilai Putusan MK dan menegaskan bahwa Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Saldi Isra ditetapkan untuk memimpin pemilihan Ketua MK baru. Perubahan Putusan menjadi kewenangan MK bukan MKMK.  Putusan MKMK dinilai lunak karena untuk kategori \"pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim\" semestinya Anwar Usman bukan hanya diberhentikan dari jabatan Ketua MK tetapi sesuai UU No 48 tahun 2009 dan PMK No 1 tahun 2023 Pasal 41 c dan 47 maka sanksi yang layak adalah \"diberhentikan dengan tidak hormat\".  Putusan MKMK dinilai inkonsisten di satu sisi tidak berwenang menilai Putusan MK akan tetapi di sisi lain MKMK menilai dan menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Darimana kewenangan MKMK yang berada di area \"etik\" masuk ke penafsiran UU tentang Kekuasaan Kehakiman? Meski demikian Gibran tetap dberada diujung tanduk karena: Pertama, jika Pasal 17 ayat (5) berlaku dan menjadi alasan konflik kepentingan Anwar Usman terhadap Gibran, mengapa ayat (6) tidak berlaku, padahal kedua ayat tersebut berada dalam \"satu paket\" atau sangat berkaitan erat ?Hakim MK dapat mengabaikan Putusan MKMK.  Kedua, MK dengan komposisi baru nanti berhak untuk melakukan pemeriksaan ulang untuk membatalkan Putusan 90/PUU-XXI/2023 apalagi Putusan tersebut sangat kontroversial karena \"hanya\" didukung oleh 3 (tiga) hakim dari 9 (sembilan) hakim. Putusan demikian adalah rekor Putusan terburuk di dunia.  Gibran tetap berada di ujung tanduk karena rakyat tetap mengkritisi lolosnya Gibran atas rekayasa dan peran paman Anwar Usman. Nepotisme itu sangat terang benderang terjadi di depan mata. Anwar Usman sendiri di samping terkena sanksi administrasi juga terancam sanksi pidana sebagaimana ketentuan UU No 28 tahun 1999 Pasal 22. Gibran yang berada di ujung tanduk membawa konsekuensi bahwa Prabowo pun berada di ujung tanduk. Jika MK \"baru\" melakukan perubahan pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 maka akan berakibat rontok atau batal pasangan Prabowo-Gibran.  Rakyat akan terus mendesak MK \"baru\" untuk segera mengoreksi putusan kontroversial, memalukan dan memilukan tersebut. Kembalikan kewarasan cara berhitung bahwa 3 (tiga) lawan 6 (enam) itu yang menang adalah 6 (enam) bukan 3 (tiga) !  Bandung, 8 Nopember 2023

Jokowi Akan Terhina

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"Penguasa paling celaka adalah penguasa yang membuat rakyatnya sengsara\". (Umar bin Khathab) Keruntuhan etika yang melanda Mahkamah Konstitusi tidak terlalu mengejutkan saat kekuasaan, para politisi dan law makers sudah bersekutu mencampakkan standard etika nya ke tong sampah. Saat jagad politik sudah diawaki oleh hukum kekuasaan yang dijalankan oleh boneka atas remote bandit, badut dan bandar politik, berjalan digdaya di negara ini. Demi perintah kekuasaan MK dengan jumawa bisa merubah UU yang bukan wewenangnya. Ketika hiruk pikuk rakyat, aktifis, dan pakar hukum di seluruh Nusantara bereaksi protes, DPR buru buru ambil posisi melaksanakan perintah MK segera menyesuaikan UU tentang syarat anak ingusan agar lolos sebagai cawapres. Jokowi seperti memiliki ilmu gendam dari warisan nenek moyangnya dengan pengawalan para suhu Oligargi begitu digdaya DPR hanya sendiko dawuh melaksanakan titas majikannya. Negara sudah tidak ada lagi  aturan atau konstitusi yang mengikat ketaatan para penguasa dan kekuasaan, semua bisa di rekayasa sesuai syahwat,  birahi, nafsu,  kepentingan dan kekuasaan politiknya. Republik ini sudah membusuk sejak UUD 45 diganti UUD 2002. Jagad politik nasional  diperankan oleh perampok politik yang membuat hukum demi penguasa  untuk melegalisasi perampokan kekuasaan secara berjamaah.  Lagi lagi publik tanpa kecuali yang merasa sebagai para pendekar hukum dan pakar politik  tenggelam, harus setia sebagai jongos politik, menelan kegalauan dan kepiluan berkepanjangan.  Sebagian aktifis oposisi siuman sadar  ketidak keberadaannya selalu keok ketika main dadu. Sesekali tetap cuap cuap, marah marah, gusar, mengeluh tanpa arah dan kanal yang tidak jelas. Kesadaran merasa hina dan dihinakan mereka dipaksa harus menjadi budak, bahkan akan digembalakan anak ingusan. Harapan tinggal pada kesadaran dan keberanian rakyat semesta Indonesia, negara sudah diujung senja bubar atau masih bisa dipertahankan ketika  penguasaan sudah liar, bebas berdansa pesta mabok kepayang ala UUD 2002. Para penguasa saat ini mau sadar atau tidak, jangan pernah berpikir sedikit pun bahwa rakyat dalam monarki, teokrasi dan aristokrasi,  demokrasi, taat hukum tak ada artinya. Semua sudah terbukti bahwa penguasa yang berkuasa di punggung harimau ia akan jatuh menyedihkan. Apa belum cukup pelajaran dari Soekarno dan Soeharto dimana keduanya memiliki jasa besar dan kekuasan yang besar dalam waktu yang panjang tapi tetap saja harus terhina diujung hidupnya. Jokowi sudah sangat dekat akan mengalami kehinaan dan kepedihan di ujung kekuasaannya.****

Bahkan Seorang Goenawan Mohamad Pun Merasa Dibohongi

Oleh Yarifai Mappeaty | Pemerhati Sosial Politik  GOENAWAN Mohamad, siapa yang tak kenal? Beragam label telah disematkan kepadanya. Mulai dari aktifis, penulis handal, budayawan, sastrawan, bahkan kadang ada yang menyebutnya sebagai filsuf. Semua itu menunjukkan jikalau ia memang seorang pesohor.  Pada era 1980-an, GM, begitu ia kerap disebut, melalui “Catatan Pinggir-nya” di Majalah Tempo, adalah salah satu yang menginspirasi gerakan mahasiswa menentang Soeharto dan Orde Baru. Karena itu, saya  menjulukinya sebagai si Caping Tunggal. Julukan itu diinspirasi oleh Saur Sepuh milik Niki Kosasih, yang juga amat popular di masa itu. Maklum, penggemar Saur Sepuh. Jujur, saya sangat gandrung pada GM dengan Capingnya. Dan, salah satu hasrat terbesarku saat itu, adalah bertemu dengannya. Bayangkan, sangking gandrungnya, kapan dan di mana pun menemukan Majalah Tempo, saya harus berhasil meminjamnya barang sebentar, dan berusaha memfotokopi lembaran terakhirnya.  Bahkan tidak hanya itu. Suatu waktu di Jakarta pada 1990, saya pernah memasukkan sebuah buku ke dalam ranselku tanpa seizin pemiliknya. Buku itu adalah Catatan Pinggir Jilid 2. Masih baru. Bahkan mungkin pemiliknya belum sempat membacanya. Saya sadar kalau itu salah, tetapi memilikinya, ada kebanggaan yang jauh lebih besar. Berpuluh tahun kemudian, hasrat bertemu dengannya kesampaian juga di Cikini pada suatu siang di 2019. Kala itu, saya menghadiri diskusi filsafat di mana GM adalah salah satu pembicara kunci. Namun, setelah menyimaknya, saya bukannya suka, tapi malah merasa aneh. Sebab GM yang saya temui saat itu, sama sekali berbeda dengan si Caping Tunggal yang tertinggal di benakku. Bagiku, Caping Tunggal adalah sosok kritis yang konsisten menjaga jarak dengan kekuasaan. Sedangkan GM yang berbicara di hadapanku, adalah sosok pembela rezim (Jokowi). “Kok, bisa berubah seperti ini?” batinku.   Menurut penilaianku, pendiri Majalah Tempo itu, memang sudah berubah.  Ia rupanya telah pensiun dari oposisi kritis dan memilih menjadi pecinta Jokowi. Sehingga tak heran jika selama ini tak terdengar suara kritisnya terhadap sejumlah kebijakan Jokowi yang dinilai tidak pro-rakyat. Termasuk upaya pelemahan KPK yang terjadi pada 2018 Lalu. Merasa tak betah, saya kemudian meninggalkan acara itu sebelum usai. Semenjak itu, saya pun tak lagi punya hasrat mendengar tentangnya. Namun dari belakang, GM seolah berteriak padaku, “Hei bung, sungguh tak mudah menempuh jalan sunyi.”  Tetapi yang namanya pesohor, biar pun hanya batuk kecil, tetap saja terdengar, dan sulit bagiku untuk menepisnya. Hingga beberapa hari lalu di acara Rosi di Kompas TV, Mas Goen, begitu ia disapa, kembali mengalami “batuk”, tapi kali ini, ia benar-benar batuk sungguhan sampai matanya berkaca-kaca. Pada akhirnya, Goenawan Mohammad tak bisa lagi menutup mata atas prilaku Jokowi yang dinilai makin maruk kekuasaan. Di Rosi, ia tumpahkan segala kekecewaannya karena merasa dibohongi Jokowi yang memaksakan putra sulungnya menjadi Cawapres Prabowo.  Mas Goen sungguh tak terima Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi benteng terakhir penjaga konstitusi negara ini, sampai harus diobrak-abrik demi untuk meloloskan Gibran. Tetapi, apakah semata karena itu? Hemat menulis, tidak. Air mata Mas Goen itu sesungguhnya adalah air mata penyesalan karena pernah menanggalkan diri sejatinya sebagai si Caping Tunggal. Lalu menjadi pecinta Jokowi dan mendukungnya tanpa sekalipun pernah bersikap kritis.  Tapi itu belum seberapa. Mas Goen hendaknya lebih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang jauh lebih buruk terjadi selanjutnya. Jangan sampai membuat Mas Goen mati berdiri. Sebab tragedi di MK itu baru awal. Bahkan boleh jadi hanya semacam tes ombak.  Sebab kekhawatiran Mas Goen sangat beralasan. Jika MK saja dibuat seperti itu demi meloloskan Gibran, maka untuk memenangkan Prabowo - Gibran, bukan tidak mungkin tindakan Jokowi akan jauh lebih brutal. Mau apa jika seluruh kekuasaan di tangannya, terutama infrastruktur sipil dan militer, dikerahkan untuk itu? Belum lagi jika si Paman Anwar masih Ketua MK, selesai. Namun, patut disyukuri bahwa pada usianya yang sudah renta, GM masih sempat kembali sebagai si Caping Tunggal yang telah dikutuk menemukan kebahagiaannya, hanya di jalan sunyi. [ym]

Joko, Macan Culun Yang Kini Berkuku dan Bertaring Sempurna

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  NASI sudah menjadi bubur, kata pepatah. Buburnya pun kena tahi ayam. Kalimat kedua ini cuma tambahan saja. Untuk menggambarkan betapa malangnya nasib rakyat di bawah kekuasaan Joko. Dalam bahasa yang berbeda-beda, semua pendukung Joko mengaku salah pilih. Mereka menyesal. Tetapi sesalan itu sudah sangat terlambat. Semua telah menjadi bubur. Celakanya, bubur tak bisa dimakan sama sekali. Ada tumpukan kotoran ayam di situ. Tidak ada yang bisa dikais-kais untuk dihidangkan. Sekarang, para pendukung Joko yang berikrar “nyawaku untukmu”,  ramai-ramai tersentak. Sambil marah-marah. Sekaligus sangat sedih telah mendukung Joko. Ada yang mencucurkan air mata di depan publik. Tapi, tentunya, tangisan itu tiada berguna. Joko sudah berubah total. Dia kini sudah menjadi Macan yang sempurna. Kuku, taring dan tenaganya sedang prima. Anak macan yang dulu dielus-elus, kini menerkam apa saja yang ada di sekitarnya. Dia tidak lagi kenal orang-orang yang membesarkannya. Sang Macan menguasai seluruh kampung tempat dia diasuh oleh para pemujanya. Dia menjadi raja belukar yang sekarang ditakuti semua orang. Para pemuja Joko kewalahan. Macan yang telah sempurna itu tidak mau lagi mendengarkan arahan tuannya. Tuannya berteriak-teriak agar Macan berhenti mengobrak-abrik sudut-sudut kampung. Tapi, Sang Macan yang dulu selalu menyenangkan itu, tak menghiraukannya. Ketika masih kecil, si anak Macan tidak pernah membantah. Kenapa setelah besar dia melawan? Para ahli mengatakan Macan dewasa sama seperti makhluk-makhluk nyata (bukan ghaib) lainnya. Dia perlu tempat pelampiasan berbagai nafsunya. Dia perlu melatih dan menjaga keturunannya agar bisa menjadi macan-macan sempurna juga. Dia perlu mengumpulkan makanan sebanyak mungkin untuk anak-anaknya, kelak.  Dia perlu mendidik anak-anaknya supaya tangkas mencari dan menangkap mangsanya sendiri. Dia perlu menunjukkan kepada anak-anaknya tentang cara menyimpan hasil tangkapan agar tidak terdeteksi oleh macan-macan lain. Puncaknya, si Macan Ayah secara naluriah mengajarkan kepada para Macan Anak tentang perlunya mendirikan dinasti. Agar kampung yang dikuasai dan diacak-acak oleh si Macan Ayah hari ini, bisa tetap berada di tangan mereka. Jadi, inilah yang mungkin tidak dipahami oleh si Tuan yang sekaligus Pawang si Macan Ayah. Dia bukan lagi anak macan yang selama ini lucu, culun, dan belum berkuku bertaring. Dia bukan lagi boneka hidup yang tempohari bisa dikuis-kuiskan dengan ujung kaki. Bukan lagi macan kecil yang kenyang dengan satu-dua ekor kelinci. Dia banyak belajar dari tuannya sendiri tentang cara mencari makanan besar. Juga banyak belajar dari macan-macan lain di sekitarnya. Dia lihat bagaimana harimau yang duduk di Pohon Beringin mencari mangsa-mangsa besar. Dia baca juga sejarah harimau-harimau senior yang dulu menguasai kampung. Termasuk Induk Asuh yang saat ini dia hardik dan dia cakar.  Di samping itu, diam-diam si Macan Ayah belajar dari Harimau Sumatera yang bermusuhan dengan si Tuan. Macan Ayah dilatih oleh Harimau Sumatera yang sudah lama dia kenal. Dia dilatih tentang cara melepaskan diri dari cengkeraman Induk Asuh. Si Macan Ayah mendapat banyak ilmu dari Harimau Sumatera. Termasuk cara memguasai klan-klan kerbau yang ada di kampung. Diajarkan bagaimana cara mencucuk hidung para ketua kerbau yang berbadan besar tapi tak bertaring itu. Dia sukses belajar dari Harimau Sumatera yang pintar dan berpengalaman merangsek kekayaan kampung. Harimau Sumatera, yang saat ini sedang disfungsional, mengajarkan cara mencari mangsa besar. Terima kasih telah menyimak kisah “Joko, Macan Yang Kini Berkuku dan Bertaring Sempurna”.[]

Politik Jokowi Jebol Berantakan

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  PERILAKU politik di Indonesia semua sudah dengan standar uang. Pepatah Inggris mengatakan, ‘’There is no such a free lunch in the world’’, tidak ada makan siang gratis di dunia. Merujuk pada filosofi materialisme dalam masyarakat Barat yang mengukur segala sesuatu dengan materi dan uang. Di masyarakat Barat, waktu pun diukur dengan uang, ‘’Time is money’’, waktu adalah uang. Di sisi lain sudah kehilangan etika dan  moral, seperti dipoles  oleh Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D.,  Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Surabaya bahwa \"keruntuhan etika, yang melanda Mahkamah Konstitusi minggu minggu ini tidak terlalu mengejutkan saat para politisi sebagai law makers sudah mencampakkan standard etika nya ke tong sampah sejak reformasi\" \"Mereka seharusnya menetapkan standard etika tertinggi melebihi dokter dan hakim. Saat jagad politik lalu diawaki oleh para bandit, badut dan bandar politik, sedang publik hanya jongos politik, maka para glembuk, gendam dan copet akan makin memenuhi ruang publik. Kita tinggal bersiap memasuki kebuntuan konstitusi, lalu menghitung mundur nasib Republik ini\" Even politik meloloskan Gibran sebagai Cawapres oleh MK yang di komandani  Anwar Usman sekalipun sebaga keluarga besar Jokowi, patut diduga ada harga yang harus dibayar, pelanggan etika dan ada tujuan lain yang ingin dicapai, bukan sekedar menang Gibran sebagai Wapres, target Presiden sekaligus. Manuver tipuan Presiden Jokowi dengan basa basi politik tipuan murahan adalah sudah terbaca dengan terang benderang menjadi watak, kepribadian dan prilakunya yang sulit untuk disembunyikan dengan rekayasa atau cara apapun. Pasangan Prabowo dan Gibran, Jokowilah  sebagai aktor intelektual utama yang menjadi arsitek rekayasa tersebut tidak bisa di nafikan sebagai sejarah hitam pekat di Indonesia. Adalah sebuah rekayasa politik Jokowi untuk mengamankan keamanan diri dan keluarganya paska lengser dari kekuasaannya. Wajar muncullah gelombang tamparan, gempuran, cercaan serta serangan masyarakat  ke arah Jokowi dan otomatis memposisikan Jokowi terpojok  defensif. Panggung dramaturgi politiknya terlalu kasar dan fulgar, sangat jauh dari etika, moral atau standar perilaku politik yang bermartabat dan terhormat. Skenario panduan politiknya penuh intrik,  untuk menjebak dan menghabisi lawan-lawan yang tidak berada di kubunya.  Manuvernya asal menang dalam Pilpres 2024 mendatang apapun akan dilakukan saat menggenggam kekuasaannya. \"Benar yang dikatakan DR. Mulyadi dosen politik dari UI bahwa kekuasaan buruk Jokowi bisa di dekati teori politik standar, ciri praktek politik  menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo; dan korup\" \"Jalan yang  dilalui, akan selalu melakukan  manipulasi politik, propaganda politik, agitasi politik, dan suap politik untuk meningkatkan pembelahan politik dan  koersi politik melalui political assassination yaitu teror intimidasi.\" Jokowi akan terus menampilkan gimmick politiknya yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain. Gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Sebagai bagian dari pertahan politik Jokowi , sesungguhnya sudah jebol berantakan.*****

Sedu Sedan PDIP, Jokowi dan Pilihan Jalan Machiavellisme

Oleh: Ady Amar | Kolumnis TIDAK mampu membayangkan betapa remuknya hati Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, dan seluruh jajaran partai hari-hari ini. Setelah secara keras mencoba bertahan dengan menahan diri untuk tidak mempercayai apa yang bakal terjadi di luar yang tidak bisa dibayangkannya. Meski tanda-tanda akan ditinggal dengan ditelikung, itu sebenarnya terpampang benderang. Tapi entah mengapa PDIP seperti tak hendak mempercayai sesuatu yang sejatinya itu nyata. Dengan tak bersikap, itu seakan berharap ada keajaiban yang sebaliknya. PDIP seperti tak siap menerima badai dahsyat mengguncang seluruh persendiannya. Memang berat bisa meraba suasana kebatinan yang dialami PDIP, yang beyond expectation itu  bisa menimpa PDIP. Siapa sangka anak kandung sendiri yang diantar hingga ke puncak prestasi tertinggi. Menjadi orang nomor satu di negeri ini, bahkan hingga 2 periode, itu bisa meninggalkan rumah yang membesarkannya. Meninggalkan rumah di akhir masa jabatannya dengan membawa subyektivitas ingin berkuasa lebih lama lagi. Keinginan untuk 3 periode, yang konon itu ditentang PDIP, karena konstitusi tak membolehkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu seperti anak kandung yang dibesarkan dalam pengasuhan PDIP. Disayang dan ditimang sejak lebih dari 2 dekade. Jika dihitung sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan lalu Presiden RI. Menoreh masa panjang kebersamaan. Tidak cukup di situ, bahkan sang anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka, juga anak menantunya Bobby Nasution, dapat previlage bisa terbang tinggi menjadi Wali kota Solo dan Medan. Semua itu sepertinya masih kurang buat jabatan yang memang menggiurkan, yang jika mungkin bisa terus dijabat selamanya, lalu bisa diteruskan sampai pada anak cucunya. Membangun dinasti politik layaknya pemerintahan monarki. Langkah itu dihentikan PDIP. Merasa tak mendapat respons atas keinginannya, maka pencarian yang memungkinkan bisa terwujud terus diikhtiarkan untuk tetap berkuasa. Dan, itu dengan memajukan sang anak Gibran sebagai penerusnya. Tidak perduli jika harus meninggalkan rumah yang membesarkannya. Jokowi menjelma jadi sosok kuat, yang mampu mengendalikan partai-partai baru di luar PDIP yang menyokongnya. Setelah itu ia memilih meninggalkan rumah yang membesarkannya, yang dianggap bagian dari perjalanan masa lalu. Karenanya, menjadi pantas jika mesti ditinggalkan. Jangan bicara etika politik, atau sikap tega, dan hal sentimentil lainnya untuk memojokkan sikap yang diambil Jokowi. Semua itu bisa dilakukan tanpa pakewuh, jika syahwat politik lebih dominan menguasai sukma berkuasa. Ambisi itu sudah setengah matang terlihat. Gibran sang putra andalan sebagai penerusnya digadang menjadi cawapres pada Pilpres 2024. Disandingkan dengan Prabowo Subianto, rivalnya dalam dua pilpres sebelumnya, 2014 dan 2019. Nalar sehat akan tertawa terbahak melihat apa yang terjadi. Nalar tak mampu menjelaskan politik pagi dele sore tempe macam itu. Rasanya sulit bisa menjelaskan, jika yang dipakai parameter ideal. Mari kembali mencermati suasana kebatinan PDIP. Dan, coba sedikit menganalisa sikap politiknya pasca ditinggal Jokowi dan anaknya, konon menyusul sang anak menantu pun akan memilih jalan yang sama meninggalkan PDIP. Suasana kebatinan PDIP pastilah terkaget bak disambar petir, kenapa ini bisa terjadi. Suasana marah, meski itu tak ingin ditampakkan. Hanya beberapa senior dan elite PDIP yang menyampaikan kekecewaan, dan itu lebih sebagai kemarahan yang ditekan, yang pastilah menyiksa. Suara kemarahan yang ditekan itu bisa terlihat dari ungkapan politisi seniornya Panda Nababan yang menyatakan, ia tidak percaya itu bisa dilakukan seorang Jokowi, yang PDIP sudah memberikan segalanya untuknya. Panda masih menahan untuk tidak mengatakan Jokowi sebagai pengkhianat, tapi tersirat apa yang dikatakannya itu juga bermakna pengkhianat. Panda Nababan mengulang ketidakpercayaan itu berulang dalam berbagai kesempatan wawancara. Katanya lagi, Ini di luar logikaku bisa mempercayai apa yang terjadi, ujarnya dengan suara tergagap. Politisi senior itu seperti jadi bulan-bulanan dan tertawaan logikanya sendiri. Ia seperti lahir di zaman yang begitu cepat berubah. Padahal yang dilakukan Jokowi itu hal biasa. Machiavelli telah mengajarkan politik \"Pak Tega\" zonder moral, itu sejak abad ke-16 lalu. Dan, Jokowi cuma menegaskan, bahwa jalan machiavellisme itu masih berlaku, dan layak jika diteruskan. Politik memang pilihan untuk memilih, bahkan memilih yang tak pantas untuk dipilih, tapi mesti dipilih/diambil. Jokowi memilih-mengambilnya, tentu dengan segala konsekuensi yang bakal diterimanya. Tidak persis tahu apakah ini masuk dalam perhitungannya. Karenanya, tahu akan konsekuensi yang nantinya diterima. Konsekuensi yang mestinya bisa digambarkan, itu justru terkadang terlupakan, terlena pada kawan koalisi barunya yang belum teruji sebagai kawan, yang pada masa lalu kerap disakitinya. Mustahil itu bisa dilupakan oleh mereka yang pernah disakiti dengan melenakan mereka yang pernah menyakiti. PDIP mau tidak mau mesti menerima kondisi apa pun yang terjadi pasca ditinggal anak kandungnya sendiri, yang bisa jadi akan menjadi lawan kontestasi dalam memenangkan sang anak. Move on menjadi kata kunci mengakhiri rengekan yang tak perlu. Karena PDIP tanpa Jokowi itu tetaplah PDIP, sedang Jokowi tanpa PDIP itu justru sulit bisa dibayangkan. Meski Jokowi punya \"mainan baru\" sekian partai politik besar dan kecil melingkarinya. Semua paham bahwa koalisi partai politik yang mengusung Gibran sebagai cawapres dari Prabowo, itu lebih pada keterpaksaan yang dipaksakan. Gibran diusung lebih karena ia anak Presiden Jokowi, yang akan cawe-cawe sebagaimana yang dijanjikan. Dan, itu seolah jaminan kemenangan pada pasangan Prabowo-Gibran. Jaminan yang tak menjamin menang, jika rakyat tetap dengan pilihan politik yang diyakininya, yang tak bisa dipengaruhi oleh kekuatan sekuat apa pun. Pilpres 2024--14 Februari 2024--diikuti 3 pasang calon. Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang diusung NasDem, PKB, PKS. Dan, 2 pasang lainnya yang akan head to-head. Ganjar Pranowo-Mahfud MD versus Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bisa disimpulkan akan berhadap-hadapan antara Megawati versus Jokowi. Seru. Banyak kemudian yang menyebut, bahwa perjalanan menuju pilpres akan keras. Sebagai pemegang kuasa, Jokowi akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Namun demikian, semua akan ditentukan oleh rakyat si pemegang hak suara, siapa yang akan dipilihnya. Selanjutnya, rakyat akan tampil menjadi pengawas yang baik dalam menjaga suaranya, agar tak terbang menghilang.**

Konstitusi 2002 Dirusak, Kembali ke UUD 1945 Asli Menggema: Waspada Jangan Sampai Dikhianati

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Seperti sudah diduga, konstitusi 2002 sangat rentan, sangat mudah dipermainkan, dimanipulasi dan dikhianati. Hanya sembilan orang, hanya sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, mampu merusak (konstitusi) Indonesia. Bukan, bukan sembilan. Malah hanya satu hakim konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi, mampu mengacak-acak Indonesia. Puncaknya, Mahkamah Konstitusi mempermainkan persyaratan batas usia minimum pencalonan wakil presiden. Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, adik ipar presiden Jokowi, memberi jalan kepada keponakannya, Gibran, untuk bisa dicalonkan sebagai wakil presiden 2024. Semua pihak tersentak. Terkejut. Begitu mudahnya konstitusi 2002 dirusak. Sebelumnya, banyak pihak sudah menyuarakan, konstitusi 2002 lebih banyak mudaratnya. Khususnya sejak 2014, sejak Jokowi menjabat presiden. Terlihat jelas, Jokowi memanfaatkan konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi, untuk kepentingan kelompoknya, untuk memperkaya kroni-kroninya dengan cara membuat UU yang terindikasi jelas melanggar konstitusi. Antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan. Seiring dengan rusaknya konstitusi 2002, seruan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Asli menggema kembali. Lebih keras. Kembali ke UUD 1945 Asli memang merupakan sebuah keharusan. Bukan hanya terkait masalah pemilihan presiden, apakah dipilih rakyat atau MPR. Tetapi jauh lebih fundamental dari itu. UUD 1945 Asli merupakan dokumen kesepakatan antar masyarakat dari berbagai daerah Indonesia, untuk membentuk negara Indonesia pada tahun 1945. Setiap daerah menyerahkan kedaulatannya, dan tunduk pada kesepakatan UUD 1945 Asli tersebut. Salah satu butir yang sangat fundamental di dalam UUD 1945 Asli adalah demokrasi musyawarah, yang juga dikenal dengan Concensus Democracy, serta keterwakilan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Demokrasi musyawarah menjamin hak dan melindungi kepentingan semua daerah, termasuk daerah minoritas, yang dengan suka rela telah menyerahkan kedaulatan daerahnya ke dalam negara Indonesia. Sedangkan konstitusi UUD 2002 menganut konsep demokrasi one-man-one vote, di mana pihak yang kuat akan mengambil kekuasaan sepenuhnya. The winner takes all. Sedangkan kepentingan daerah minoritas akan terabaikan, bahkan tertindas, karena mereka tidak mempunyai perwakilan di MPR yang dapat memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.  The winner takes all sangat mudah melucuti kedaulatan rakyat dan kedaulatan daerah. Alhasil, kekayaan alam daerah dikuasai oleh sekelompok elit politik dan pengusaha. Sedangkan banyak rakyat di daerah dibiarkan miskin. Tentu saja, UUD 1945 Asli masih perlu perbaikan dan penyempurnaan, mengingat perumusan UUD Asli hanya dilakukan dalam waktu sangat singkat, menurut kebutuhan masa itu, masa memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi, secara prinsip fundamental, UUD 1945 Asli masih sangat patut dipertahankan. Di tengah kerusakan konstitusi yang semakin parah, sekelompok tokoh nasional yang mempunyai wawasan kebangsaan yang tidak perlu diragukan lagi, terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini, menyelamatkan konstitusi, melalui “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli”, yang akan dideklarasikan pada Selasa, 7/11, di Gedung Joang, Jakarta Pusat. Masyarakat patut mendukung “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih berkeadilan sosial. Tetapi, momentum “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini juga harus diwaspadai. Jangan sampai gerakan yang sangat mulia ini diselewengkan untuk kepentingan sekelompok pengkhianat, untuk dijadikan “kendaraan” untuk memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi. Oleh karena itu, setiap upaya “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” yang melibatkan Jokowi harus ditolak keras. Dalam bentuk apapun. Karena Jokowi berambisi memperpanjang masa jabatannya, seperti disuarakan oleh beberapa menteri kabinetnya. Semua itu diungkap oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.  “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” juga tidak boleh melibatkan MPR periode ini. Masyarakat kehilangan kepercayaan, khususnya kepada ketua MPR, yang beberapa kali melontarkan pernyataan untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi. Dikhawatirkan, MPR bermain mata dengan Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi, dengan “membajak” UUD 1945 Asli. Oleh karena itu, Kembali ke UUD 1945 Asli harus dilakukan oleh MPR periode 2024-2029. —- 000 —-

Soal Ijazah, Jokowi Punya Nyali

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MEMASUKI sidang ketiga gugatan perbuatan melawan hukum ijazah palsu Jokowi Majelis Hakim PN Jakarta Pusat masih melakukan pemeriksaan identitas. Tergugat I Presiden Jokowi dalam persidangan pertama gagal menunjuk kuasa hukum yang sah. Bekal \"Surat Tugas\" dinilai tidak memenuhi syarat administrasi persidangan.  Pada persidangan kedua Kuasa Hukum dengan personal baru menyatakan membawa \"Surat Kuasa Substitusi\" tetapi ternyata tidak memiliki Surat Kuasa asal yang ditandatangani oleh Jokowi. Hakim pun menilai yang bersangkutan tidak memenuhi syarat dan tidak berhak berada di ruang sidang untuk mewakili Tergugat I Jokowi. Majelis Hakim mengusir dua wanita yang mengaku \"Kuasa Hukum\" tersebut.  Pada persidangan ketiga hari ini, para pihak diuji untuk terakhir kali tentang identitas yang dapat dikualifikasi memenuhi syarat hukum untuk beracara di muka persidangan. Jokowi sendiri meski seorang Presiden tetapi digugat secara pribadi karena menyangkut ijazah dirinya yang konon didapat dari kampus UGM.  Tergugat lain baik KPU, Bawaslu, DPR, MPR, UGM, Mendikbud, PN Surakarta, Mensesneg, dan Menkeu diharapkan dapat hadir dan membawa Surat Kuasa yang semestinya. Majelis Hakim menegaskan jika pada persidangan ini Tergugat ada yang tidak hadir atau tidak memenuhi syarat, maka persidangan akan dilanjutkan kepada tahap berikut.  Kini pertanyaan serius adalah apakah Tergugat I Jokowi akan hadir dengan Kuasa Hukum yang memenuhi syarat ? Ataukah akan mengulangi kembali \"kekacauan administrasi\" sebagaimana sebelumnya ? Ini menjadi indikator itikad baik Jokowi dalam menghormati hukum dan menjadikan proses hukum perdata ini sebagai kesempatan untuk membuktikan kepemilikan ijazah yang selama ini menjadi pertanyaan dan tuduhan publik.  Pertanyaan lebih serius adalah apakah Jokowi memiliki nyali untuk hadir atau mewakilkan melalui Kuasa Hukum untuk membuktikan dasar kepemilikan dan keaslian ijazahnya ? Bila ia memiliki nyali maka tahapan persidangan berikut menjadi sangat penting. Rakyat dapat menyaksikan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli tersebut.  Jika ternyata Jokowi tidak memiliki nyali untuk mengikuti proses persidangan dengan tidak hadir atau memainkan \"cacat administrasi\" maka rakyat sudah dapat menilai bahwa benar dugaan bahwa Jokowi memang tidak memiliki ijazah S-1 UGM.  Kalaupun ada, maka ijazahnya tersebut adalah palsu.  Pengadilan perdata gugatan ijazah palsu Jokowi di PN Jakarta Pusat ini adalah Pengadilan Rakyat. Maknanya bahwa rakyat diajak untuk mengikuti proses tahapan demi tahapan agar dapat melihat dan membuktikan apa yang selama ini dipertanyakan. Saatnya rakyat menilai sendiri untuk dua hal, pertama apakah memang Jokowi memiliki ijazah UGM dan kedua, apakah ijazah itu asli  ?  Dua pertanyaan akan terjawab dengan bantuan peran Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Tentu Hakim yang adil dan obyektif dan tidak terintervensi oleh kekuasaan atau lainnya. Meskipun Jokowi adalah seorang Presiden tetapi dalam hukum kedudukannya sama dan sederajat (equality before the law).  Nah, mari kita ikuti peristiwa penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia yang berkaitan dengan kejujuran dan kualifikasi seorang Presiden Republik Indonesia yang bernama Joko Widodo ini. Apakah ia Presiden yang bermartabat atau memang tukang tipu?  Bandung, 6 Nopember 2023

Kaesang Pangarep Anak Presiden Republik Indonesia: “Bangga Makan Babi?!”

Oleh Nazwar, S. Fil. I., M. Phil | Penulis Lepas Yogyakarta Luka, perasaan tidak enak, atau kegagalan jenis apa terobati dengan senyum Kaesang. Di berbagai wilayah, daerah orang berjibaku, pontang-panting cari pekerjaan bahkan untuk sekedar makan, ada yang dikabarkan kelaparan karena kemiskinan, serta menyaksikan berbagai peristiwa kemanusiaan, ketika melihat media dan menyaksikan senyum Kaesang, semua seolah hilang berganti perasaan senang dan penuh kebahagiaan. Bukan hendak merayu, atau langkah usaha memanfaatkan kesempatan, namun lebih tepatnya berusaha memahami kenyataan dengan kondisi yang penuh tantangan dan cobaan. Pengalaman di masa lalu menjadi cerminan untuk kehidupan saat ini dan rencana ke depan. Artinya, tidak ada yang bisa dielakkan dari apa yang disebut ketentuan Tuhan berupa ketetapan-ketetapan. Berbagai tantangan dan cobaan yang disebutkan tadi, dirasa perlu untuk diterjemahkan secara rasional atau ke dalam ranah pemikiran literatif, sebab bisa rumit jika hanya mengandalkan emosi atau perasaan. Luapan yang keluar jika berasal dari hal negatif dapat menghasilkan hal-hal negatif pula dan kondisi yang tidak terkontrol bahkan cenderung rusak. Kembali ke pembahasan tentang Kaesang, sedikit saja yang ingin dibahas kali ini, bagaimana selama ini dikenal, atau setidaknya yang ditampilkan media massa, menjadi penting tatkala sosok Kaesang tidak hanya sebagai putra seorang presiden Republik Indonesia namun juga sebagai pemimpin partai, meski tergolong baru dan kontroversi sebagai partai yang merepresentasi kaum muda. Dalam berbagai ulasan, katakanlah jejak digital, Kaesang tidak seramai diberitakan layaknya selebriti atau artis yang berbagai aktivitasnya senantiasa tersorot kamera. Namun jelas Kaesang jauh lebih beruntung dibanding pesohor sebut saja berada pada level pamor di bawah politikus, seperti influencer. Kaesang lebih beruntung, setidaknya dalam kaca mata karir dan kesempatan berkarir dibanding sebut Nama Lina Mukhrerjee misalnya. Jika Lina yang kini menghadapi kasus hukum, sebaliknya Kaesang menanjak tinggi. Meski mungkin keduanya tidak saling kenal, namun keduanya pernah mengalami cerita yang hampir serupa namun tidak sama. Betul! Keduanya sama-sama pernah mengkonsumsi, maaf penulis sebutkan, yaitu terhadap daging yang secara hukum terlarang dan termasuk jarang dilanggar, makan daging babi. Mari kita runut sekilas kejadian dan alasan yang melatarinya. Jika Lina Mukherjee memakan daging tersebut dengan cara penuh kontroversi, sedang Kaesang menjadikannya kontroversi. Lina secara sengaja makan dan disebarkan di media sosial, sedang Kaesang tidak sengaja karena sedang berada di negara lain dan tidak tahu bahwa itu daging yang terlarang untuk dimakan orang beriman, kemudian dia menyebarkan di media sosial. Selanjutnya, jika Lina mengaku sengaja dengan sebab emosional berkaitan permasalahan keluarga, meluapkannya dengan melakukan hal tersebut. Sedang ketidaksengajaan karena tidak tahu itu daging apa, Kaesang kiranya menyebarkan kekhilafannya tersebut sebagai konsumsi publik agar dapat diambil pelajaran. Mungkin terdapat peringatan untuk bersikap hati-hati ketika sedang berada di negeri orang, termasuk perihal makanan, meski disayangkan bahwa Kaesang mengaku menikmatinya. Apa pun itu, publik figur bukanlah posisi yang mudah dicapai serta penuh tantangan dan cobaan. Termasuk berada atau menempati posisi tersebut. Menjalani hidup sebagai publik figur juga tidak berati menjadikan segala sesuatu serba mudah dan enak, terdapat amanah dan tanggung jawab besar di belakangnya sebagai percontohan bagi orang banyak. Perbuatan bahkan berbagai hal tertentu tidak jarang menjadi sorotan dan berpengaruh pada masyarakat. Maka selanjutnya dapat dipahami kiranya setiap orang memikul beban yang perlu dipertanggungjawabkan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi di masa mendatang. Ketika setiap keputusan dibuat, itu mempengaruhi hasil yang didapat. Poin terakhir yang hendak penulis sampaikan, mungkin untuk direfleksikan bahwa Kebahagiaan, kenikmatan atau apa pun bahasanya yang berkaitan dengan proses, alasan ataupun tujuan tidak senantiasa identik dengan jumlah yang banyak, kepopuleran atau kekuasaan yang justru asal-asal dapat menjerumuskan ke jurang kerugian, kehinaan, serta kebinasaan, Allahu a’lam. (*)

Free Palestine and Flee Israel

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PALESTINA harus merdeka dan Israel harus dibuat kabur atau mengambil langkah seribu. Free Palestine and flee Israel.  Kemerdekaan adalah hak segala bangsa karenanya penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.  Kemerdekaan Palestina adalah keniscayaan sedangkan penjajahan Israel harus dihilangkan. Ketika belum mampu kita menghapus Israel dari peta dunia, maka tugas utama dunia adalah membuat peta negara Palestina merdeka.  Serangan Hamas (Harakat Al Muqowama Al Islamiya) pada tanggal 7 Oktober 2023 mengejutkan Israel dan dunia. Israel langsung demam ketika lebih dari seribu warganya tewas oleh serangan kejutan (surprise attack) Hamas. Kini pembalasan Israel yang bertekad untuk membasmi Hamas dan meratakan Gaza dengan pembantaian (massacre) atau penjagalan (butchering) justru mendapat kutukan dunia.  Sidang Umum PBB 27 Oktober 2023 menghasilkan Resolusi dukungan mayoritas untuk gencatan senjata. Amerika, Israel, Austria dan negara kecil seperti Fiji, Papua Nugini, Nauru dan Tonga adalah penolak gencatan senjata. Negara Sekutu AS seperti Inggris, Jerman, Belanda, Kanada, Jepang, Korsel, Filipina justru abstain. 120 Negara mendukung gencatan senjata, 45 abstain dan 14 negara menolak. Gencatan senjata untuk jeda kemanusiaan.  Serangan brutal bombardir Israel yang menewaskan lebih dari lima ribu warga yang sebagian besar perempuan dan anak-anak merupakan kejahatan kemanusiaan. Ditambah dengan blokade makanan, air, listrik dan kebutuhan lainnya. Israel memang binatang berbaju manusia. Berkaki dua tetapi bertangan seribu. Tangan predator pencari mangsa. Zionis Israel adalah musuh umat manusia dan Iblis bertopi baja. Mengetuk-ngetuk kepala untuk mengosongkan otak dan jiwa.  Segera gencatan  senjata untuk jeda kemanusiaan sebagai realisasi resolusi. Buka perbatasan Mesir untuk pintu masuk bantuan. Pasukan perdamaian PBB mutlak dikirim untuk melindungi warga Gaza dari genosida. Hamas bukan pasukan yang mudah dibasmi, ia ada di akar rumput dan hati warga Gaza sendiri. Sudahi mimpi zionis untuk melakukan pengusiran. Justru Israel yang harus segera diusir dari tanah Palestina.  Gencatan senjata lalu fokus untuk Palestina merdeka. Inilah satu-satunya jalan bagi perdamaian itu. Hentikan kemunafikan negara adi daya yang ikut berpura-pura jadi manusia. Amerika harus memerdekakan diri terlebih dahulu dari penjajahan yahudi Israel. Bebaskan politik dan ekonomi Amerika dari sandera dan kepengecutan menghadapi Israel. Freedom from want and freedom from fear. Tidak perlu sesumbar palsu dengan freedom of religion and freedom of speech.  Bebaskan Palestina dan suruh angkat kaki Israel dari bumi Palestina.  Bersujud kepada Allah di Masjid Istiqlal dan bergerak menuju perjuangan untuk memerdekakan bangsa Palestina. Berkumpul di Monas satukan tekad melawan Israel sang binatang buas.  Free PALESTINE  and flee ISRAEL!  Bandung, 5 Nopember 2023