HUKUM

Sidang Gugatan Perdata Pencabutan Kuasa Bharada E Kembali Ditunda

Jakarta, FNN - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menunda sidang gugatan perdata pencabutan surat kuasa Bharada E terhadap Deolipa Yumara, dikarenakan hakim ketua berhalangan hadir pada sidang Rabu.Sidang diambil alih oleh hakim anggota II Anry Widyo Laksono yang menyatakan sidang ditunda selama satu minggu dan kembali digelar pada Rabu (5/10) mendatang dengan memerintahkan kepada penggugat II dan memanggil penggugat II.“Saya sebagai hakim anggota II saja. Ketua majelis hari ini belum bisa hadir. Jadi saya tentukan untuk persidangan besok jam satu. Tetapi setelah itu biar nanti ketua majelis yang menentukan. Ditunda satu minggu jam satu siang perintah untuk memanggil penggugat II. Sidang ditutup,” kata Hakim Anry.Dalam sidang tersebut sempat diwarnai perdebatan terkait waktu sidang pekan depan, antara Deolipa Yumara selaku penggugat II dan Ronny B Talapesy selaku tergugat II yang merupakan pengacara resmi Bharada Richard Eliezer (Bharada E) saat ini.Ditemui usai persidangan, Ronny Talapesy menyatakan tidak hadirnya penggugat II dalam persidangan tadi mengganggu konsentrasi pihaknya dalam menghadapi sidang pidana yang dijalankan oleh Bharada E (kasus pembunuhan Brigadir J). “Kami sampaikan bahwa Bharada E sudah tidak mau pengacara yang lama. jadi mau dipaksa seperti apa pun tidak akan bisa,” kata Ronny.Ronny juga menegaskan soal gugatan Rp15 miliar yang diajukan oleh Deolipa bahwa kliennya tidak punya uang untuk membayar gugatan tersebut. “Kalau seandainya mencari Rp15 miliar itu klien kami tidak punya uang,” ujar Ronny.Sementara itu, kuasa hukum Bharada E untuk kasus perdata, Rory Sagala menyebutkan gugatan Rp15 miliar itu mengada-ngada. Karena jika pengacara Deolipa ditunjuk oleh negara, maka dalam KUHAP disebut sebagai pro bono.“Jadi tidak ada dasarnya dia (Deolipa) menuntut Rp15 miliar. Jadi gugatan ini tidak berdasar, tidak ada kontrak, bahkan kalau ada kontrak itu ranahnya wanprestasi. Itu sama sekali enggak ada kontrak. kami yakni bahwa penggugat tidak akan bisa membuktikan dalil-dalil di persidangan,” kata Rory. (Sof/ANTARA)

Tersangka Perdagangan Anak Ditangkap Polres Bogor

Kabupaten Bogor, FNN - Polisi Resor Bogor di Jawa Barat menangkap pria berinisial SH (32) yang diduga melakukan tindak pidana perdagangan anak sejak awal 2022. \"Dia mengumpulkan ibu hamil yang tidak bersuami, dengan iming-iming dibantu proses persalinannya, kemudian setelah anaknya lahir, diberikan kepada orang tua adopsi, dengan membayar Rp15 juta,\" ungkap Kepala Polres Bogor, AKPB Iman Imanuddin, saat pengungkapan kasus kriminal di kantornya, di Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu.Ia  menyebutkan, SH dalam menjalankan aksinya menggunakan kedok yayasan bernama Ayah Sejuta Anak, dengan menampung para ibu hamil yang tak bersuami.Kemudian, bayi yang ditampung di yayasan tersebut diberikan kepada orangtua yang mengadopsi dengan imbalan uang Rp15 juta. Namun, adanya tebusan Rp15 juta itu tidak diketahui ibu kandung bayi itu. Ia menerangkan, SH beralasan kepada ibu kandung bayi, bahwa uang itu untuk mengganti biaya persalinan di rumah sakit. \"Selama proses persalinan, ditanggung BPJS dan tidak dipungut biaya. Pelaku itu, mengumpulkan ibu hamil yang rata-rata di luar nikah menggunakan media sosial,\" kata dia.Menurut dia, berdasarkan keterangan dari tersangka, bayi-bayi yang sempat ditampung telah dijual ke berbagai daerah. Ia menyebutkan, saat penangkapan, polisi mendapati adanya lima orang ibu hamil sedang menanti proses melahirkan di kediaman pelaku, Perumahan Grand Viona, Desa Kuripan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor.Para ibu hamil dan anak yang sempat diadopsi, kini ditangani oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor, untuk diberikan perlindungan serta penanganan sampai selesai melahirkan. Sementara sang bayi akan dijamin hidupnya oleh negara.Atas perbuatannya, tersangka terancam dijerat pasal 83 jo 76F UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau pasal 2 UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. \"Hukuman penjara paling sebentar tiga tahun dan denda Rp60 juta. Hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp300 juta,\" ujar dia. (Ida/ANTARA)

Sore Ini Polri Ambil Surat P21 Kasus Ferdy Sambo di Kejagung

Jakarta, FNN - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengatakan penyidik Bareskrim mengambil surat pemberitahuan berkas perkara Ferdy Sambo dan kawan-kawan yang menyatakan telah lengkap atau P-21 di Kejaksaan Agung pada Rabu sore ini. “Karena pukul 16.00 WIB ini penyidik baru mengambil surat P-21,” kata Dedi saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.Kejaksaan Agung menyatakan berkas perkara lima tersangka pembunuhan berencana Brigadir J dan tujuh tersangka menghalangi penyidikan atau obstruction of justice sudah lengkap secara formil maupun materiil, selanjutnya penyidik diwajibkan menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (Tahap II) kepada jaksa untuk segera disidangkan. Untuk jadwal pelimpahan tahap II (tersangka dan barang bukti), Dedi mengatakan penyidik akan menindaklanjutinya setelah surat P-21 diterima dari Kejaksaan Agung. “Nanti penyidik ke JPU untuk mengambil surat P-21-nya dan dipersiapkan langkah-langkah lanjutnya oleh penyidik terkait tahap II,” ujar Dedi.Menurut Jenderal bintang dua itu, sejak awal Polri, tim khusus dan Kejaksaan Agung terus berkoordinasi untuk segera merampungkan dua perkara (pembunuhan berencana Pasal 340 dan obstruction of justice) untuk segera dibuktikan di persidangan. Hingga akhirnya hari ini berkas dinyatakan lengkap.“Sejak awal Polri, tim khusus dan Kejaksaan Agung terus berkoordinasi untuk segera merampungkan dua perkara itu. Sejak awal semangat kami adalah mengusut tuntas kasus tersebut,” kata Dedi.Mantan Kapolda Kalimantan Tengah itu mengatakan telah dinyatakan lengkap berkas perkara Ferdy Sambo sebagai bukti dan komitmen Polri untuk menuntaskan dua kasus tersebut.“Komitmen Polri untuk menuntaskan kasus 340 dan obstruction of justice sudah terbukti berkas perkara dinyatakan lengkap dan penyidik akan mempersiapkan tahap dua secepatnya,” kata Dedi.Terpisah, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Andi Rian Djajadi mengatakan penyidik punya waktu 14 hari setelah berkas dinyatakan lengkap (P-21) untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum. “(Tahap II) sesuai ketentuan paling lambat 14 hari,” kata Andi.Andi menambahkan, sore ini penyidik Bareskrim Polri menemui jaksa penuntut umum terkait P-21 berkas perkara Ferdy Sambo.Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana menyatakan berkas perkara pembunuhan berencana Brigadir J dan berkas perkara obstruction of justice yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan 11 tersangka telah lengkap.Fadil juga menekankan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap secara formil dan materi, sesuai KUHAP Pasal 138, Pasal 139 dan Pasal 8 ayat (3) penyidik menyerahkan tanggungjawab tersangka dan barang bukti kepada jaksa untuk segera disidangkan.“Tahap II sudah terjadwal, saya sudah perintahkan kepada direktur, untuk pelaksanaan tahap II tidak boleh terlalu jauh dari diterbitkannya P-21, karena KUHAP mengandung asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan supaya mendapatkan kepastian hukum, dan keadilan bagi tersangka maupun korban,” kata Fadil.Dalam perkara Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP ada lima tersangka, yakni Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal Wibowo, Kuat Maruf dan Putri Candrawati.Sedangkan perkara obstruction of justice ada tujuh orang, yakni Ferdy Sambo, Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, Kompol Chuck Putranto, Kompol Baiquni Wibowo, Kombes Pol. Agus Nur Patria, AKBP Arif Rahman Arifin dan AKP Irfan Widyanto. (Ida/ANTARA)

Berkas Ferdy Sambo Sudah P-21

Jakarta, FNN - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Fadil Zumhana menyatakan berkas perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan berkas perkara obstruction of justice yang melibatkan Ferdy Sambo telah lengkap.“Persyaratan formil dan materiil telah terpenuhi,” ucap Fadil kepada wartawan di Lobi Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu.Fadil menyatakan bahwa berkas perkara pembunuhan berencana dan berkas perkara terkait obstruction of justice telah memenuhi persyaratan formil dan materiil sehingga dinyatakan lengkap P-21 dan akan segera disidangkan.Mengenai obstruction of justice, terberat primer adalah tindak pidana melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya dan/atau dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dan/atau menghalangi, menghilangkan bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 juncto pasal 33 dan/atau pasal 48 ayat (1) juncto pasal 32 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau pasal 221 ayat (1) ke-2 dan/atau pasal 233 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.“Untuk pelaksanaan tahap dua tidak boleh terlalu jauh dari ditetapkannya P-21,” ucap Fadil.Hal tersebut selaras dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Asas tersebut bertujuan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi tersangka dan korban.Mengenai penggabungan perkara, Kejaksaan Agung memastikan bahwa lembaga penegak hukum itu akan menggabungkan perkara pembunuhan berencana dan obstruction of justice yang dilakukan oleh mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo yang sebelumnya sudah dipecat dari kepolisian. “Untuk lebih efektif dalam proses persidangan karena melanggar dua tindak pidana, satu tersangka, jadi satu dakwaan. Kumulatif, dua tindak pidana digabungkan,” ucap Fadil.Pada Rabu, 14 September 2022, Jampidum Kejaksaan Agung menerima pelimpahan berkas perkara pembunuhan berencana Brigadir J dengan lima tersangka, salah satunya Ferdy Sambo setelah dilakukan perbaikan sesuai petunjuk jaksa penuntut umum.Kelima berkas tersebut adalah tersangka Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma\'ruf, dan Putri Candrawathi (istri Ferdi Sambo).(Ida/ANTARA)

Irma Hutabarat Geram Dengan Terjalnya Kasus Kematian Brigadir J

Jakarta, FNN - Irma Hutabarat berpendapat bahwa banyak kekeliruan yang nyata ketika Obstruction of Justice. Sudah memasuki babak 3 bulan kematian Brigadir J tidak menemukan jalan terang. Aktivis perempuan bernama Irma Hutabarat hadir sebagai pembicara dalam \"Diskusi Publik Obstruction of Justice: Terjalnya Poroses Pencarian Keadilan Kasus Joshua\" yang dilaksanakan Selasa (28/09) di Hotel Grand Mahakam, Jl. Mahakam, Jakarta Selatan. \"Terjalnya ini sedari awal. Hasil otopsi yang pertama bukan hasil yang sesungguhnya. Menurut saya, itu hanya rehabilitasi, pemindahan mayat yang berdarah-darah saja,\" tegas Irma. Kemudian, hasil otopsi pertama seharusnya tidak dikenakan kepada pelaku (Pihak Sambo). Irma merasa geram karena laporan yang masuk hanya ada dua, yaitu pelecehan dan percobaan pembunuhan yang dilakukan terhadap orang yang mati (Brigadir Joshua). Dari 97 orang yang terlibat, tidak ada yang melaporkan bahwa ada mayat di rumah Jendral (Sambo). \"Kalau oknum kita bisa mengatakan 1 atau 2, tetapi ini 97 orang. Sambo adalah suatu sistem yang rusak,\" tambahnya. Dalam penutup, Irma berharap tidak ingin Sambo mati begitu saja, cukup Sambo dihukum dengan setimpal, yang dapat mengubah reformasi polisi, ketimbang hilangnya nyawa Sambo (hukum mati), lebih banyak manfaatnya untuk negara. (Ind)

Usman Hamid Sebut Proses Penindakan Pelaku Kasus Joshua Belum Optimal

Jakarta, FNN – Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyebut bahwa proses penindakan pelaku Obstruction of Justice yang menangani kasus pembunuhan Brigadir J belum optimal. Hal ini disampaikannya kepada para undangan awak media dalam diskusi publik yang diselenggarakan pada Selasa (27/09) yang berlokasi di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan.  Usman, berbicara dari perspektif hukum pidana, memaparkan OOJ dari kasus Brigadir Joshua dapat dijerat dengan Pasal 233 dan Pasal 52 KUHP. Pasal 233 KUHP tentang kesengajaan menghancurkan, merusak, atau menghilangkan barang untuk membuktikan terancam pidana penjara 4 tahun. Sedangkan pasal 52 KUHP mengatur tentang penambahan sepertiga waktu pidana berdasarkan jabatan.  Dalam diskusi yang dipandu oleh Daud, perwakilan Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia dan Penguatan Demokrasi (KP-UHPD), Usman menyoroti unsur pelanggaran etik yang dikenakan kepada para polisi yang menangani kasus Joshua. Menurutnya, tindakan para pelaku OOJ dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena melakukan kriminal.  \"Karena itu proses pengusutan terhadap mereka yang menghalangi, merusak barang bukti dalam perkara pembunuhan Joshua semestinya diletakkan sebagai mereka yang melakukan tindak pidana. Mereka melakukan tindakan kriminal, bukan sekadar tindakan yang tidak etis,\" jelas Usman dalam diskusi yang bertema \"Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua\".  Usman juga mengomentari bahwa proses penindakan pelaku ini belum optimal. Tidak hanya dari segi proses penindakan, namun juga proses berkas perkara dari kepolisian ke kejaksaan yang belum jelas.  \"Proses penindakan terhadap para pelaku obstruction of justice belum optimal. Karena itu, kita lihat perkara ini seperti mengalami anti-klimaks. Bukan hanya dari segi proses penindakan etis yang tidak menyentuh pokok perkara,  yaitu tindak pidana pengrusakan alat bukti, tetapi juga dengan bolak baliknya berkas perkara dari kepolisian dan kejaksaan,\" kata Usman.  Dewan Pakar PERADI tersebut menyarankan agar kasus ini didorong penyidikan lanjutan oleh kejaksaan. Ia juga sempat menyinggung adanya intimidasi kepada kelompok kritis yang dilakukan melalui peretasan, seperti yang sedang dialami para jurnalis Narasi. (oct)

Novel Baswedan: Kelalaian Penegak Hukum Termasuk Praktik Perbuatan Korupsi

Jakarta, FNN – Novel Baswedan, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti permasalahan penegakan hukum di Indonesia dalam diskusi publik bertemakan \"Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua\" yang diselenggarakan di Hotel Gran Mahakam, Jl. Mahakam, Jakarta Selatan, Selasa (27/09). Novel mengatakan bahwa penanganan kasus pembunuhan Brigadir J yang cenderung ditutup-tutupi merupakan masalah kejahatan serius.  \"Tapi kalau kemudian penanganannya justru malah mengaburkan, menghilangkan, menutupi dan lain-lain. Ini tentunya masalah kejahatan serius,\" ujar Novel dalam diskusi publik yang digelar oleh Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia dan Penguatan Demokrasi (KP-UHPD) bersama Public Virtue Research Institute (PVRI) dan Indonesian Corruption Watch (ICW), Selasa, 27 September 2022. \"Dalam pandangan saya, saya tidak melihat ada pasal khusus terkait dengan hal itu. Saya tidak tahu yang ditangani sekarang pasalnya apa, saya tidak tahu karena saya tidak terlalu mengikuti dengan detail. Tapi saya lebih melihat bahwa itulah praktik korupsi di penegakan hukum,\" tambahnya. Dilihat dari perspektif penyidik, kelalaian penegak hukum dalam menjalankan kewajiban yang kemudian menghasilkan dampak termasuk dalam praktik perbuatan korupsi, menurut Novel. \"Ketika dia (penegak hukum) melalaikan kewajiban. Dia melakukan sesuatu dan kemudian ada dampaknya, maka itu sebetulnya adalah praktik perbuatan korupsi,\" ujar Novel. Kemudian, Novel juga membahas fenomena tentang maraknya praktik penegak hukum yang justru menghalang-halangi penanganan perkara. Menanggapi hal tersebut, ia berkomentar bahwa perlu adanya aturan hukum yang mengatur tentang penegak hukum yang melakukan Obstruction of Justice untuk meminimalisasi praktik tersebut ke depannya. Dalam penutupnya, Novel berharap penanganan kasus Brigadir J serta kasus lain yang belum selesai dapat diselesaikan oleh penegak hukum secara objektif dan jujur. \"Kita berharap penegakan hukum bisa dilakukan dengan objektif dan jujur serta apa adanya,\" tutupnya. (oct)

Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua

Jakarta, FNN - Public Virtue Research Institute (PVRI), Indonesian Corruption Watch (ICW), serta Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia dan Penguatan Demokrasi (KP-UHPD) mengadakan diskusi publik dengan tema “Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua”, bertempat di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan pada Selasa (27/9/22). Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjutak mengatakan bahwa kasus kematian Brigadir J menjadi momentum untuk membenahi sistem hukum di Indonesia agar ada peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, proses penyelidikan kasus ini seharusnya disertai dengan pengawasan dari pihak penuntut atau kejaksaan. Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Ia menegaskan perlunya proses penyidikan lanjutan dalam kasus Brigadir J ini oleh kejaksaan bukan kepolisian. Usman menilai seharusnya perkara obstruction of justice dalam kasus ini perlu ditindaklanjuti melalui persidangan pidana, bukan hanya melalui persidangan etik yang berlangsung di kepolisian. Usman menyebut terdapat dua pasal hukum pidana yang dapat memberatkan para oknum kepolisian tersebut, yaitu pasal 233 dan pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Jadi seluruh anggota polisi yang terlibat dalam obstraction of justice dalam kasus pembunuhan Yoshua seharusnya dapat dijerat atau diperiksa dengan pasal 233 dan pasal 52 KUHP,” ujarnya. Selanjutnya, Hakim Agung periode 2011-2018, Gayus Lumbuun mengungkapkan bahwa Ferdy Sambo bisa saja lolos dari hukuman mati di kasus Brigadir J, asalkan Kadiv Propam Polri itu kooperatif untuk membuka kasus kematian Brigadir J. “Kalau ada manfaatnya si pelaku membuka jaringan-jaringan di lembaganya menjadi Polri yang baru kenapa tidak, dia tidak usah dihukum mati. Minimal (pasal) 338 18 tahun. Itu sangat memungkinkan di hakim. Bermanfaat, dia akan membongkar semuanya. Dia membongkar sehingga kita mempunyai Polri yang baru,” ungkapnya. Lebih lanjut, Novel Baswedan, berbicara dari perspektif penyidik, memilih tidak membicarakan tentang pokok perkara. Namun, ia menyampaikan apresiasinya terhadap langkah Kapolri yang telah mengungkap kasus tersebut. Novel membicarakan bahwa Obstruction of Justice ada pada tindak pidana korupsi. Permasalahan utama adalah maraknya praktik penegak hukum yang justru menghalang-halangi penanganan perkara. Novel mengaitkan hal tersebut dengan kasus Brigadir J, bahwa penegak hukum mempunyai kewajiban-kewajiban yang diatur dan dilakukan. Terdapat dua kemungkinan masalah yang muncul apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan, baik faktor ketidaktahuan atau kesengajaan. Menurutnya, penanganan yang telah melibatkan mengaburkan, menghilangkan, menutupi dan sebagainya merupakan masalah kejahatan serius yang seharusnya diatur dalam pasal khusus. Diskusi ini juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Edwin Partogi (Wakil Ketua LPSK), Soleman B Ponto (Dewan Pakar PERADI), Irma Hutabarat (Aktivis Perempuan), Miya Irawati (Direktur Public Virtue Research Institute), Sugeng Teguh Santoso (Ketua IPW), dan Laola Ester (Peneliti ICW). (Lia)

Enam Belas Anggota Polri Menjalani Sidang Etik Terkait Sambogate

Jakarta, FNN - Sebanyak 16 dari 35 anggota Polri terduga pelanggar etik terkait kasus \"Sambogate\" penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, menjalani sidang etik, 15 orang di antaranya telah diputuskan bersalah dan menjalani beragam sanksi.\"Betul, 15 anggota Polri sudah disidang etik dan sudah diputus, satu sidang masih berlangsung,\" kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol. Nurul Azizah, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.Satu terduga pelanggar yang saat ini menjalani sidang etik yakni atas nama AKBP Raindra Ramadhan Syah, mantan Kasubdit 1 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Sidang dilangsungkan pukul 10.00 WIB tadi di Ruang Sidang DivPropam Gedung TNCC Mabes Polri Jakarta.Dari 35 anggota Polri yang terlibat pelanggaran etik terkait kasus \"Sambogate\", tersisa 19 orang lagi yang menunggu giliran untuk disidang. Tiga di antaranya merupakan para tersangka obstruction of justice kasus Brigadir J, yaitu Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, AKBP Arif Rahman Arifin dan AKP Irfan Widyanto.Sebelumnya, Jumat (23/9), Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengatakan Biro Pertanggungjawaban Profesi (Rowabprof) DivPropam Polri telah menjadwalkan sidang etik untuk Brigjen Pol. Hendra Kurniawan pada pekan ini.Dedi menyebutkan jadwal sidang etik menjadi kewenangan Biro Wabprof, semua jadwal diatur sedemikian rupa karena hakim (pimpinan) sidang etik hanya ada dua tim. \"Dua tim harus menyelesaikan berkas perkara 35 orang. Yang sudah melaksanakan sidang sudah 15 orang, masih punya 20 orang lagi diselesaikan, harus dikejar secara maraton,\" ucap Dedi.Adapun sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap terduga pelanggar 35 anggota Polri dimulai sejak Kamis (25/8) untuk pelanggar Ferdy Sambo. Sidang berlangsung selama hampir 18 jam, putusan sidang dibacakan pada Jumat (26/8) dini hari dengan keputusan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) terhadap mantan Kadiv Propam Polri itu. Permohonan banding ditolak Senin (19/9), resmi dipecat sebagai anggota polisi.Kemudian, Kamis (1/9) sidang etik digelar terhadap terduga pelanggar Kompol Chuck Putranto, mantan Kasubbagaudit Baggak Etika Rowabprof Divisi Propam Polri, sanksi PTDH dan mengajukan banding. Jumat (2/9), sidang etik terhadap Kompol Baiquni Wibowo, mantan Kasubbag Riksa Baggaketika Rowaprof Divisi Propam Polri, sanksi PTDH dan mengajukan banding.Sidang etik selanjutnya digelar Selasa (6/9) atas terduga pelanggar Kombes Pol. Agus Nur Patria, mantan Kaden A Ropaminal Divisi Propam Polri, sanksi PTDH. Selanjutnya, Kamis (8/9) sidang etik terhadap AKP Dyah Chandrawathi, sanksi mutasi bersifat demosi selama satu tahun. Kemudian, sidang etik Jumat (9/9) atas nama AKBP Pujiyarto, mantan Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya dijatuhi sanksi meminta maaf.Pelaksanaan sidang etik berikutnya Jumat (10/9) untuk terduga pelanggar AKBP Jerry Raymond Siagian, mantan Wadirkrimum Polda Metro Jaya. Sidang berlangsung hingga Sabtu (11/9) dini hari, dan hasil sidang diumumkan Senin (12/9) dengan putusan PTDH, pemohon mengajukan banding.Selanjutnya, selama satu pekan sidang etik dilaksanakan untuk terduga pelanggar kategori ringan, yakni Bharada Sadam, mantan sopir Ferdy Sambo, sidang dilaksanakan Senin (12/9), pelanggar dijatuhi sanksi mutasi bersifat demosi selama satu tahun.Sidang etik Selasa (13/9) untuk pelanggar Briptu Frillyan Fitri Rosadi, mantan BA Roprovos Divpropam Polri dijatuhi sanksi mutasi bersifat demosi selama dua tahun. Rabu (14/9), sidang etik Briptu Firman Dwi Ardiyanto, mantan Banum Urtu Roprovos Divpropam Polri, dijatuhi sanksi mutasi bersifat demosi selama satu tahun.Lalu hari Kamis (15/9) sidang etik Ipda Arsyad Daiva Gunawan, mantan Kasubnit I Unit I Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan, ditunda Senin (26/9) dan keputusan sidang menjatuhkan sanksi mutasi bersifat demosi selama tiga tahun dan wajib mengikuti pembinaan mental.Sidang etik berlanjut pada Senin (19/9) terhadap Briptu Sigid Mukti Hanggono, mantan Banit Den A Ropaminal Divpopam Polri, dijatuhkan sanksi demosi selamas atu tahun dan wajib mengikuti pembinaan mental. Selasa (20/9) sidang etik terhadap Iptu Januar Arifin, mantan Pamin Den A Ropaminal Divpropam Polri dijatuhkan sanksi demosi selama dua tahun dan wajib pembinaan mental.Berikutnya, sidang etik Rabu (21/9) terhadap AKP Idham Fadilah, Panit II Unit III Den A Ropaminal Divpropram Polri dijatuhkan sanksi demosi satu tahun dan wajib pembinaan mental. Dan Kamis (22/9) sidang etik terhadap Iptu Hardista Pramana Tampubolon, mantan Panit I Unit 1 Den A Ropaminal Divpropam Polri dijatuhkan sanksi demosi satu tahun dan wajib pembinaan mental. (Sof/ANTARA)

Proses Penyidikan Lukas Enembe Tak Akan Dihentikan

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan proses penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi tidak akan dihentikan meskipun Gubernur Papua Lukas Enembe mengklaim memiliki tambang emas. \"Maksud kami kan, kemarin seakan-akan kan mereka bisa menunjukkan ada tambang emas itu kemudian mau dihentikan, tidak seperti itu prosesnya,\" kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa.Nawawi menegaskan tidak ada proses pembuktian di tahap penyidikan. Pembuktian, kata dia, hanya ada dimuka persidangan. \"Ada tidaknya mengenai soal yang bersangkutan memiliki tambang emas atau apa pun itu silakan disampaikan di dalam pemberian keterangan di depan teman-teman penyidik. Bukan seakan-akan terjadi proses pembuktian di tahap penyidikan itu tidak pernah ada yang seperti itu. Sampaikan aja di depan penyidikan,\" ucap dia.Lebih lanjut, ia pun menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. \"Jadi, sekali lagi tidak ada proses pembuktian di tahap penyidikan. Penghentian penyidikan menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP, hanya dilakukan dalam hal. Pertama, tidak ditemukan kecukupan bukti. Kedua, peristiwa itu bukan merupakan perbuatan pidana atau ketiga, penyidikan dihentikan demi hukum,\" ujar Nawawi.Sebelumnya, Stefanus Roy Rening selaku kuasa hukum Lukas Enembe mengungkapkan soal kepemilikan tambang emas kliennya yang berlokasi di Distrik Mamit, Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Ia mengaku mendapat informasi tersebut langsung dari Lukas Enembe.Kuasa hukum menyebut pengurusan izin pertambangan tersebut masih dalam proses. \"Bapak punya tambang tidak? sendiri di kampung? \'Oh, saya punya di kampung ya di Tolikara di Mamit itu sedang dalam proses\',\" ucap Roy Rening saat jumpa pers di Gedung Penghubung Pemerintah Provinsi Papua di Jakarta Selatan, Senin (26/9).Ia mengatakan jika proses perizinan tersebut telah selesai maka pihaknya bakal memberi tahu KPK untuk melihat langsung tambang emas tersebut. \"Sekarang prosesnya sedang dibuat semua, dokumentasi-nya, termasuk videonya dan saya kemarin sudah coba mengajak kalau bisa kita karena Pak Marwata (Alexander Marwata/Wakil Ketua KPK) yang minta \'mari kita sama-sama ke Mamit, kita sama-sama ke Tolikara, kita lihat itu tambang\',\" ucapnya.KPK telah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.KPK belum mengumumkan secara resmi soal status tersangka Lukas Enembe. Adapun, untuk publikasi konstruksi perkara dan pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka akan dilakukan pada saat telah dilakukan upaya paksa baik penangkapan maupun penahanan terhadap para tersangka. (Sof/ANTARA)