HUKUM

Cara WNA Tiongkok Memperoleh Paspor Palsu Masuk Indonesia, Didalami Imigrasi

Jakarta, FNN - Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI masih mendalami cara dua orang warga negara asing (WNA) asal Tiongkok yang memperoleh paspor palsu Meksiko untuk masuk ke Indonesia.\"Itu yang lagi kami dalami. Informasi terakhir yang kami peroleh dua WNA Tiongkok ini bertransaksi di luar,\" kata Koordinator Penyidikan Keimigrasian pada Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kemenkumham Hajar Aswad di Jakarta, Rabu.Aswad mengatakan pihaknya belum mengetahui siapa saja yang diduga ikut membantu menerbitkan paspor palsu Meksiko bagi dua warga Tiongkok, Chen Yongtong dan Wu Jinge.\"Saya belum tahu itu orang Indonesia atau orang asing,\" tambahnya.Dia menegaskan Ditjen Imigrasi akan berkoordinasi dengan Direktorat Intelijen untuk menelusuri dan mendalami hal tersebut, serta memastikan apakah kedua WNA Tiongkok yang masuk ke Indonesia itu terlibat sindikat tertentu atau tidak.Apabila ditemukan adanya indikasi mengarah sindikat kejahatan tertentu, lanjutnya, Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan instansi terkait lainnya akan membongkar hingga tuntas. Aswad menjelaskan pihaknya akan mendalami alasan kedua WNA Tiongkok tersebut bisa lolos saat pemeriksaan oleh petugas di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.\"Ditjen Imigrasi bersama Direktorat Intelijen akan mendalami penyebab dua WNA asal China tersebut bisa lolos dari pemeriksaan petugas,\" katanya.Namun, dari keterangan petugas di bandara, pemeriksaan terhadap Chen Yongtong dan Wu Jinge telah dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).\"Karena di sistem, visanya itu masih berlaku dan tidak ada masalah. Paspornya awalnya juga oke secara fisik. Namun, pas didalami oleh forensik dan dikonfirmasi ke kedutaan, ternyata paspornya tidak terdaftar,\" ujar Hajar Aswad.Dia menegaskan lolosnya dua WNA asal China tersebut dari pemeriksaan petugas di bandara sama sekali tidak ada unsur kesengajaan. (Ida/ANTARA)

Publik Tidak Percaya Hasil Otopsi Ulang Brigadir Yoshua

Jakarta, FNN – Pengumuman hasil otopsi ulang atau ekshumasi Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat merupakan berita yang dinanti-nanti oleh publik, terutama pihak keluarga Brigadir Yoshua. Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) akhirnya membongkar hasil otopsi ulang Brigadir Yoshua. Ketua PDFI Ade Firmansyah menyampaikan bahwa luka di tubuh almarhum adalah murni luka senjata api, tidak ditemukan adanya bekas penganiayaan di jenazah. “Saya bisa yakinkan sesuai dengan hasil pemeriksaan kami baik saat melakukan autopsi, pemeriksaan penunjang dengan pencahayaan, dan mikroskopik bahwa tidak ada luka-luka di tubuhnya selain luka akibat kekerasan senjata api,” kata Ketua Tim Dokter Forensik dr Ade Firmansyah di Mabes Polri, Jakarta, Senin (22/8/22). Hal ini membuat publik tidak percaya, karena apa yang dipaparkan oleh Tim Dokter Forensik ini jauh berbeda dengan temuan yang diumumkan oleh pengacara keluarga Kamaruddin Simanjuntak. Berikut perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Selasa (23/8/22) di Jakarta. Agi Betha menyampaikan hasil pantauan dari media sosial ramai sekali komentar masyarakat yang mengatakan tidak puas dengan hasil otopsi tersebut. “Suara masyarakat itu saya pantau dari media sosial, saya lihat ramai sekali komentar masyarakat yang mengatakan tidak puas dengan hasil otopsi tersebut. Apalagi mereka memang berharap Brigadir Yoshua ini mengalami penyiksaan,” ungkap Agi. Menurut Agi, dugaan sebelumnya yang disampaikan oleh Kamaruddin Simanjuntak itu karena pihak keluarga melihat dan mendokumentasikan jenazah yang memang terdapat bekas luka, tetapi mereka belum mengetahui bahwa luka itu diakibatkan tembakan peluru dalam jarak dekat. Narasi awal diduga almarhum ditembak dari belakang kepala hingga jebol sampai ke hidung depan. Pas dibuka bagian perut sampai ke kepala ditemukan otaknya yang pindah kebagian perut. Kemudian Agi menjelaskan dari hasil penelusurannya mengenai otopsi ulang yang terjadi di Eropa, Amerika maupun Asia, sesudah dilakukan otopsi kemudian otak itu dipindahkan, itu merupakan hal yang biasa. “Di Eropa terjadi hal seperti itu, berdasarkan tulisan ilmiah yang saya baca, dalam hal Yoshua menurut pihak forensik sesudah ditembak kepalanya itu dalam keadaan bocor. Kalau kita lihat literasi lagi, otak itu sekian persen isinya air, yang artinya ketika itu sudah tidak berfungsi maka bisa mengeluarkan cairan yang banyak. Sehingga makanya itu diletakkan di dalam plastik dan kemudian di tempatkan yang aman, tidak di kepala lagi karena kepalanya sudah bocor,” jelas Agi. Lebih lanjut, Agi mengatakan kalau ini  memang merupakan sesuatu yang baru kita ketahui, karena menurutnya pak Kamaruddin pun juga baru satu kali ini menangani kasus seperti ini. “Ya ini disebut pengalaman, karenan pengalaman itu selalu berawal dari satu peristiwa,” tuturnya. Hersubeno sangat mengapresiasi Kamaruddin, karena dialah yang mengubah jalan cerita saat menemui kejanggalan di jenazah yang dikirim oleh pihak keluarga. “Kalau kemarin keluarga tidak berani melawan polisi dan dokumentasi jenazah, saya kira ini tidak akan terbuka kasusnya,” ungkap Hersu. Menurutnya, tidak heran kenapa netizen marah dengan hasil otopsi ini, karena dari awal kasus ini dimulai dengan kebohongan. “Kalau kepercayaan publik tidak ada lagi, ya seperti ini apapun yang benar ya tetap tidak dipercaya. Makanya kita hidup harus diawali dengan kepercayaan,” pungkasnya. (Lia)

Rocky Gerung Sebut Kasus ‘Jin Buang Anak’ Adalah Hinaan Terhadap Profesi Jurnalis

Jakarta, FNN - Rocky Gerung hadir sebagai saksi ahli filosofi kebijakan publik dalam sidang ‘Jin Buang Anak’ Edy Mulyadi, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/8/22). Rocky Gerung tampak membela kasus yang menimpa Edy Mulyadi. Secara tegas, ia menyebut kasus tersebut merupakan hinaan terhadap profesi jurnalis. “Ini yang mesti kita sebut bahwa kasus ini sampai ke pengadilan berarti ini merupakan hinaan terhadap profesi jurnalis,” kata Rocky Gerung kepada awak media setelah persidangan selesai. Rocky menyebut  ‘Jin Buang Anak’ adalah  kalimat metafor, yang mana hakikatnya sebagai alat untuk menegakan komunikasi dan mengakrabkan percakapan. “Kalimat metafor banyak juga di daerah-daerah yang tujuannya untuk memperindah bahasa. Di Betawi orang mengatakan ‘Jin Buang Anak’ tentu tidak ada yang tersinggung, mereka ketawa. Namun orang Kalimantan merasa tersinggung, tetapi kalau udah diterangkan pasti mereka ngakak,” ujar Rocky. Lebih lanjut, Rocky mengatakan bahwa sesungguhnya metafor ‘Jin Buang Anak’ itu tidak disalah artikan dengan masyarakat Kalimantan, namun di provokasikan agar terlihat salah artinya. “Jadi yang awalnya hakikat metafor itu untuk mengakrabkan percakapan, justru menjadi membelah percapakan akibat provokasi tersebut,” lanjutnya. Bahkan, Rocky Gerung membandingkan metafor yang diucapkan Edy Mulyadi dengan Pak KH. Agus Salim yang dimetaforkan sebagai ‘mbe, mbe’ (suara kambing) oleh seorang audiens karena jenggotnya. Lalu KH. Agus Salim membalas dengan menyampaikan sebuah metafor kembali kepada audiens, bahwa dia hanya mengundang manusia saja bukan kambing. Yang kemudian membuat audiens tersebut mundur secara perlahan. “Bandingkan dengan apabila KH. Agus Salim berkata secara langsung untuk mengusir orang tersebut pasti akan terjadi keonaran,” tuturnya. Maka dari itu Rocky menegaskan bahwa metafor dalam kasus ini tidak layak untuk masuk ke dalam persidangan seperti ini. “Ngapain metafor dibawa ke pengadilan, nanti semua orang masuk ke pengadilan hanya karena bikin metafor,” pungkasnya. Sebagai informasi, Edy Mulyadi dianggap telah melecehkan masyarakat Kalimantan mengenai pernyataan \'Jin Buang Anak\' yang dimaksudkan untuk mengkritisi kebijakan pemindahan ibu kota negara (IKN) oleh Presiden Jokowi. Atas perbuatannya, polisi menjerat Edy Mulyadi dengan Pasal 45 A Ayat 2, jo Pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Lalu, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 Jo pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 156 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara. (Lia)

Kasus Jin Buang Anak, Matinya Pers dalam Penggunaan Metafora

Jakarta, FNN - Terdakwa Edy Mulyadi (EM) kembali menjalani persidangan pada Selasa, 23 Agustus 2022 yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kali ini EM dan penasihat hukum mendatangkan dua saksi ahli dalam persidangan. Rocky Gerung dihadirkan sebagai saksi ahli untuk kebijakan publik, serta Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai saksi ahli linguistik forensik. Persidangan dimulai dengan Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai ahli linguistik forensik. Prof. Dr. Aceng membuka dengan menjelaskan pengertian Linguistik Forensik. Bahwa linguistik forensik ini adalah salah satu cabang ilmu yang merupakan turunan dari ilmu-ilmu humaniora dan juga linguistik yang dapat menganalisis berbagai fenomena penggunaan bahasa yang berdampak hukum. \"Objek kajian linguistik forensik itu, adalah proses hukum itu sendiri seperti yang sedang berlangsung sekarang itu bisa dianalisis sejauh mana penggunaan bahasanya bisa berdampak hukum. Atau produk hukum, undang-undang, peraturan, tata tertib itu bisa dianalisis di tingkat penggunaan bahasanya sejauh mana menuju ke sebuah tindakan-tindakan yang bisa merujuk sebagai tindakan yang berdampak hukum. Yang terakhir adalah bukti hukum itu sendiri, yang merupakan sebuah tindakan yang diduga itu berdampak hukum,\"  ujarnya. Prof. Dr. Aceng juga menambahkan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam kajian analisis linguistik forensik. Pertama adalah bahasa itu sendiri, baik lisan maupun teks, kedua penutur, ketiga ditujukan untuk siapa tuturan tersebut, dan keempat kapan dan di mana, serta untuk apa konteks tuturan tersebut. Saudara EM melakukan pekerjaannya yaitu sebagai wartawan. Saksi ahli Lingusituk Forensik ini memberikan keterangan dengan profesi terdakwa dan menjelaskan bahwa wartawan bertugas dalam dua hal, yakni memproduksi berita dan menyajikan opini yang bisa berupa saran, kritik, himbauan dan ada yang berdampak hukum dan ada juga yang tidak. Dalam keterkaitan profesi terdakwa EM dengan kasusnya, Prof. Dr. Aceng berbicara tentang batasan kritik yang tidak masuk ke dalam penghinaan, pencemaran nama baik maka baru dapat berdampak hukum. \"Ketika masuk ke dalam wilayah penghinaan, pencemaran nama baik, itu berdampak hukum. Tapi ketika sebatas kritik, itu merupakan hak yang dijamin oleh undang-undang ya. Dan untuk memperkarakannya bukan tempatnya di sini (pengadilan negeri) ya, itu di dewan pers karena tuturan itu melekat kepada pekerjaan seperti itu,\" ucap Prof. Dr. Aceng \"Yang harus diverifikasi sejauh mana tuturan yang diujarkan berbanding lurus dengan objek yang dirujuknya. Jadi kebenaran materil dari tuturan itu harus diperiksa dulu, sebelum diperkarakan kasus tuturannya itu sendiri. Kalau itu tuturannya benar kualitatif, memenuhi syarat-syarat jurnalistik tidak ada masalah secara hukum, itu sebuah kebenaran. Tapi ketika ada kebohongan di dalamnya, tidak berbanding lurus dengan peristiwa kejadian yang sesungguhnya yang berkaitan dengan IKN, itu adalah kebohongan,\" tambahnya. Prof. Dr. Aceng melihat dari prosedur pekerjaan jurnalistik, pihak yang dirugikan harus menunjukkan kerugian materialnya dari tuturan tersebut. Apabila mengacu ke undang-undang UU ITE dengan tambahan kesepakatan antara Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Menkominfo disebutkan bahwa perilaku tuturan yang diduga mengandung SARA, penghinaan, pencemaran nama baik, harus menunjukkan bukti material dari pihak yang melaporkan. Tak hanya itu, saksi ahli bahasa berbadan hukum tersebut juga heran dengan fungsi dan peran dewan pers. Karena suatu profesi wartawan dapat dilihat kredibilitas melalui kode etik. Jika ada pelanggaran dapat dilakukan sidang kode etik terlebih dahulu. Berawal dari kritiknya di kanal YouTube tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hingga celetukan kata \"Jin Buang Anak\", Edy Mulyadi ditetapkan sebagai terdakwa kasus ujaran kebencian berdasarkan SARA, serta penyebaran berita bohong atau hoaks pada tanggal 31 Januari 2022. (Fik & Ind)

Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri

Oleh Artha Siregar +Analis Politik Keamanan, Peneliti Indonesia Future Studies) KASUS Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari keresahan publik terhadap institusi Polri belakangan ini. Sebelum kasus kematian Brigadir J, polisi memang sudah sering menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus. Dimulai dari tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, hingga sikap dalam merespons kasus. Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020 hingga agenda perpanjangan masa jabatan presiden, polisi cenderung merespons demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan. Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK pada 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa yang berdemonstrasi. Tindakan represif polisi juga kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di Desa Wadas polisi menangkap secara sewenang-wenang sekitar 60 warga sipil yang menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban tewas dari masyarakat sipil yang berdemonstrasi karena diduga ditembak oleh polisi. Terkait respons terhadap laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik publik karena dianggap membiarkan beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di media sosial. Kemudian diikuti kasus-kasus terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan seperti menjadikan korban begal yang membela diri sebagai tersangka di NTB, serta insiden salah tangkap seorang guru ngaji yang dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi. Fenomena-fenomena tersebut terjadi di antara individu, rentang waktu, dan wilayah yang berbeda, namun respons atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B. Taylor menyebutkan bahwa budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum dan tradisi yang diterima oleh individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari satu generasi ke generasi lain. Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respons dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum. Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan. Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang. Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan. Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik. Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power. Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias. Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan. Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri. Bersikukuh melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas. Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekadar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.

Sejak Ferdy Sambo Tersangka, Buzzer Rp Diam-Diam Tenggelam

Jakarta, FNN - Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di kediaman mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo terus menjadi sorotan publik. Hampir semua menaruh simpati dan dukungan pada keluarga Brigadir Yoshua dan mengecam jenderal bintang dua itu. Namun begitu, ada satu kelompok yang justru menghilang dan tidak menyinggung Ferdy Sambo, yang kini telah ditetapkan menjadi tersangka pembunuhan keji itu. Dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (22/8/22) menyebutkan bahwa kelompok itu adalah Buzzer Rp. Sebutan bagi kelompok yang selama ini getol mendukung pemerintah dan diduga dibayar untuk aksinya. Kelompok tersebut juga terkadang menggunakan beragam istilah untuk menyudutkan lawan. Sejauh ini, tekanan masyarakat untuk mengungkap “rekayasa cerita” Sambo terbilang efektif. Setidaknya Sambo berhasil ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Yoshua. “Semenjak itu, Buzzer Rp tampak diam dan gerah untuk berkomentar atas kasus ini,” ujar Agi Betha. Agi menyebutkan salah satu Buzzer tersebut adalah Denny Siregar CS. Sejak awal kasus ini muncul di publik, pengacara keluarga Brigadir Yoshua, Kamarudin Simanjuntak mengatakan bahwa ada Buzzer yang menyerangnya dalam menangani kasus tersebut. Namun sekarang, Denny Siregar kena batunya, ribuan fansnya sekarang berbalik menghujatnya.“Buzzer ini mencoba membela Sambo namun sekarang malah dihajar teman-temannya sendiri,” Ungkap Hersubeno. Baru-baru ini, Denny Siregar mengunggah cuitan pendek di akun twitternya @dennysiregar7.  Dalam cuitannya Denny Siregar seakan mengajak untuk melupakan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo. Cuitan tersebut langsung mendapat respon dari salah satu buzzer lain, Niluh Djelantik. Niluh Djelantik turut memberikan teguran pada sebuah unggahan pegiat media sosial Denny Siregar.  Dalam pesannya pada Denny Siregar, Niluh Djelantik meminta Denny Siregar apabila tak punya empati, lebih baik diam. Pernyataan Denny Siregar membuat Niluh Djelantik mengingatkannya agar melihat dari sisi keluarga Brigadir Yoshua yang masih membutuhkan dukungan agar penyebab kematian bisa diungkap dan keadilan berjalan.(Lia)

Ternyata Ada Kakak Asuh yang Lebih Berkuasa di Belakang Ferdy Sambo

Jakarta, FNN – Isu kekuasaan Irjen Ferdy Sambo dalam grafik ‘Kaisar Sambo dan Konsorsium 303’ belakangan ini masih menjadi perbincangan hangat dan semakin memperlihatkan kuatnya kekuasaan mantan Kadiv Propam Polri ini. Terkait hal ini, wartawan senior FNN Hersubeno Arief memberikan tanggapan dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Minggu (21/8/22). “Kita bisa membayangkan betapa besarnya kekuasaan Ferdy Sambo, sekaligus menunjukkan luasnya pengaruh dia,” kata Hersubeno. Hal itu juga diakui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang menyebut bahwa Ferdy Sambo sangat berkuasa di Mabes. “Bintang dua rasa Bintang lima,” kata Mahfud MD. Sejauh ini publik menilai bahwa kuatnya kekuasaan Ferdy Sambo di Polri karena dukungan Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Karena alasan kedekatan dengan Listyo Sigit Prabowo pula yang diduga mempengaruhi pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Hersubeno menilai, dengan penetapan Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yoshua, Kapolri sudah tidak punya hubungan hierarki dengan Ferdy Sambo. Lebih lanjut, Hersubeno menyebut berdasarkan pernyataan penasihat Kapolri bidang Politik dan Keamanan, Prof. Muradi, bahwa Ferdy Sambo mempunyai geng di dalam tubuh Polri yang cukup berpengaruh. Geng Ferdy Sambo ini pula yang sempat mengusik pengusutan kasus pembunuhan Brigadir Yoshua. “Di atas Ferdy Sambo masih ada yang lebih berkuasa, yang disebut dengan kakak asuh,” ujarnya. Namun sayangnya Prof Muradi tidak menjelaskan sosok kakak asuh Ferdy Sambo secara detail, namun yang jelas sosok tersebutlah yang memimpin dan mengorganisir faksi ini. Prof Muradi menyebut sosok kakak asuh ini juga berperan penting dalam karir Ferdy Sambo yang mendadak melejit dan sukses menjadi bintang dua termuda di Polri.  Pada 2019 Ferdy sambo mendapat pangkat bintang satu, hanya selang setahun dia sukses merengkuh bintang dua dengan pangkat Irjen.  Sehingga Hersubeno menilai apabila Timsus bisa membuktikan keterlibatan kakak asuh maka penyelidikan terhadap Ferdy Sambo akan semakin mudah. Pasalnya hingga kini masih terasa tarik-menarik dalam penyelidikan kasus Ferdy Sambo. (Lia)

Komaruddin Simanjuntak Tangani Kasus Oknum Cina Bunuh Tentara

Bandung, FNN --– Sebuah peristiwa kriminal brutal dan sadis, terjadi di Bandung, Selasa 16 Agustus 2022 pagi. Korbannya adalah seorang purnawirawan TNI-Angkatan Darat bernama Letkol Purn Muhammad Mubin (63).  Mubin tewas setelah ditikam beberapa kali oleh seseorang di kawasan Lembang, Bandung, Jawa Barat.  Demi mengetahui peristiwa mengenaskan tersebut, Ketua Umum PPAD, Letjen TNI Purn DR HC Doni Monardo memerintahkan Sekjen PPAD, Mayjen TNI Purn Komaruddin Simanjuntak segera turun tangan. Dalam surat yang ditandatangani oleh Sekjen PP PPAD Mayjen TNI (Purn.) Komaruddin, tiga orang purnawirawan bidang hukum PPAD ditugaskan memantau dan mengawasi proses hukum terhadap pelaku pembunuhan.  Ketiganya adalah Mayjen TNI (Purn.) Mulyono, Brigjen TNI (Purn.) Djuhendi Sukmadjati, dan Kapten Chk (Purn.) Prastopo. \"Seterimanya Surat Tugas ini disamping tugas dan jabatannya, ditunjuk untuk mewakili Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) dalam proses penyelesaian hukum terhadap pelaku yang mengakibatkan terbunuhnya Letkol Purn H.Muhammad Mubin. “PPAD langsung mengirim tim, baik untuk pendampingan perkara, sampai pendampingan keluarga korban hingga kasus itu ditangani secara hukum,” ujar Sekjen PPAD Mayjen Pur DR (C)  Komaruddin Simanjuntak, di Jakarta, hari ini (19/8/2022). Komar yang juga mantan Pangdam Udayana itu, mengapresiasi kesamaan langkah cepat yang diambil oleh Pomdam III/Siliwangi. Termasuk reaksi cepat dari Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan atau Kememkopolhukam yang terus mengawasi proses penyidikan kasus tersebut. Pelaksana tugas Sekretaris Kemenkopolhukam Marsda TNI Arif Mustofa memastikan pihaknya yang hadir ke Polda Jawa Barat bersama unsur TNI AD dan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) akan transparan dalam pengusutan kasus tesebut. \"Polisi Militer Kodam (Pomdam) III Siliwangi dan Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) akan turut serta mendampingi dan mengawal proses penyidikan perkara ini,\" kata Arif di Polda Jawa Barat, Kota Bandung, Jumat. Setelah menghadiri pemaparan perkara dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, menurutnya, fakta-fakta di lapangan dan keterangan para saksi sudah disampaikan dengan apa adanya. Sebelumnya, Polda Jawa Barat telah membekuk pelaku penikaman terhadap purnawirawan TNI Muhammad Mubin. Kabidhumas Polda Jawa Barat Kombes Pol Ibrahim Tompo di Polda Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis, mengatakan pelaku yang dibekuk itu berinisial HH. (TG)

Kasus Ferdy Sambo, Pintu Masuk Pengusutan Penembakan KM 50 Secara Tuntas.

Jakarta, FNN - Peristiwa tewasnya Brigadir Joshua (J) pada 8 Juli 2022 karena  penembakan oleh sesama anggota polisi di rumah dinas Ferdy Sambo,  di Duren Tiga, Jakarta Selatan, masih terus bergulir antara misteri dan fakta hukum. Modus dan fakta hukum yang sebenarnya  diharapkan akan terungkap di meja persidangan nantinya. Hal itu dikatakan Juju Purwantoro, salah satu pembela Habib Rizieq Syhab, Munarman dan Edy Mulyadi, dalam siaran persnya yang diterima FNN, di Jakarta, Sabtu, 20 Agustus 2022. Untuk mengusut motif tewasnya Brigadir J secara serius, Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk Tim Khusus. Kasus tersebut juga telah menjadi atensi serius publik, termasuk dari presiden Jokowi. Lalu bagaimanakah halnya dengan pengungkapan kasus penembakan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di rest area KM 50, Tol Jakarta-Cikampek? Kasus penembakan laskar FPI tersebut, yang katanya juga dilakukan oleh anggota Satgas khusus dari Polri juga menjadi perhatian besar rakyat. Apalagi Kapolri juga pernah menyampaikan komitmennya sesuai temuan/laporan Komnas HAM (Hak Azasi Manusia) pada 10 Agustus 2022, akan serius mengusut tuntas kasus-kasus yang mendapat perhatian besar dari masyarakat.  Saat menangani kasus KM 50 yang terjadi pada 6 Desember 2020 itu, Ferdy Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polru, melakukan tindakan dan analisis bersama Propam Polri. Ferdy Sambo mengerahkan sebanyak 30 anggota Tim Propam untuk mengungkap fakta  tragedi KM 50 tersebut. Pada 7 Desember 2020 Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Inspektur Jenderal Fadil Imran  tampil dalam konperensi pers, bersama  Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jaya Mayor Jenderal  Dudung Abdurahman dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat  (Kabid Humas) Polda Metro, Komisaris Besar (Kombes) Yusri Yunus. Mereka menerangkan ada peristiwa tembak- menembak, dengan menunjukkan alat bukti 2 pistol, samurai dan celurit. Tentu saja patut diduga semua uraiannya diragukan, sebagai rekayasa cerita, alat bukti dan kebohongan publik (obstruction of justice). Keterlibatan Divisi Propam dalam kasus ditembaknya secara sepihak enam anggota laskar FPI, bukan karena adanya indikasi pelanggaran ataupun perlawanan, namun jelas- jelas adanya extra judicial killing. Kalau kita merujuk  persidangan KM 50 pada 18 Maret 2022, di PN Jakarta Selatan, hakim  memvonis bebas kedua terdakwa, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin. Ironi, seperti \'sidang dagelan dan peradilan sesat\' padahal fakta persidangan yang terjadi adalah, enam korban laskar FPI terbukti dianiaya lebih dahulu sebelum ditembak mati dalam \'status ditangkap\'. Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman dengan alasan menembak untuk membela diri (overmacht).  Peradilan kasus KM 50 dan kasus polisi tembak polisi di Duren Tiga, tentunya dapat dijadikan \'preseden dan pintu masuk\' (entering point) untuk mengusut lebih lanjut kasus penembakan (unlawfull killing) 6 laskar FPI. Karenanya, Kapolri Listyo Sigit juga harus berkomitmen mengungkapkan dan memproses lebih lanjut (tidak mempetieskan) kasus penembakan laskar FPI di KM 50, secara  terang-benderang demi hukum dan keadilan. Peristiwa tersebut adalah  pelanggaran HAM berat, TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif), sesuai UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU 39 tahun 1999 tentang Pelanggaran HAM berat.  Demikian juga mereka dapat dijerat pasal 340 KUHAP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman hukuman mati, pasal 351 (ayat 3) KUHAP tentang Penganiayaan sampai Mati, jo pasal 55 KUHAP. (Anw/FNN).

Pemberhentian Tidak Hormat Ferdy Sambo Dalam Proses Propam Polri

Jakarta, FNN - Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri tengah memroses pemberhentian tidak dengan hormat Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai anggota Polri atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.\"Kadiv Propam Polri sudah melaporkan (PTDH) masih dalam proses pemberkasan,\" kata Inspektur Pengawasan Umum (Irsum) Polri Komjen Pol. Agung Budi Maryoto di Mabes Polri, Jakarta, Jumat.PTDH anggota Polri ini diatur dalam Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan pada 14 Juni 2022 dan diundangkan pada 15 Juni 2022.Berdasarkan Pasal 111 berbunyi \"Terhadap terduga pelanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang diancam dengan sanksi PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu sebelum pelaksanaan Sidang KKEP\".\"Insya Allah dalam waktu dekat juga akan dilakukan sidang kode etik tapi belum bisa minggu ini, tapi paling tidak minggu berikutnya,\" ujar Agung.Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J bersama tiga tersangka lainnya, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’aruf.Selain keempat tersangka, penyidik baru menetapkan Putri Candrawathi sebagai tersangka baru, yang sama-sama dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.Dalam kasus ini Ferdy memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J, ia juga mengaku menjadi otak dari pembunuhan berencana. (Sof/ANTARA)