HUKUM

Terkait Kasus Brigadir J, Polri Menyelidik Tersangka Lain

Jakarta, FNN - Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto menyebutkan tersangka penembakan terhadap Brigadir J ditetapkan empat orang, namun penyidik tim khusus Polri masih bekerja untuk menetapkan tersangka lainnya untuk kasus turunan yakni pelanggaran etik dan obstruction of justice.“Kalau untuk kasus penembakan sudah lengkap (empat tersangka). Kasus turunannya, kami tunggu Itsus (Inspektorat Khusus) sedang mendalami peran mereka,” kata Agus dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Kamis.Terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menjelaskan, kasus turunan yang dimaksudkan adalah pelanggaran etik dan menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti (obstraction of justice) yang dilakukan oleh 31 personel Polri.Pemeriksaan ini dilakukan oleh Tim Itsus di bawah pimpinan Wakil Irwasum Polri, yang telah memeriksa sebanyak 56 orang personel Polri, di mana 31 di antaranya terbukti diduga melanggar etik karena tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara (TKP).Selain pelanggaran etiknya, tim juga akan memeriksa pelanggaran unsur pidana yakni terkait menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti.“Ya, tapi kalau ada pelanggaran pidana obstraction of justice akan dilimpahkan ke penyidik untuk diproses pidana,” kata Dedi.Dedi menyebutkan, saat ini kedua tim yakni tim penyidik dan tim Itsus bergerak melakukan pemeriksaan. Tim sidik memeriksa tersangka Ferdy Sambo di Mako Brimob, dan pemeriksaan terhadap tersangka Kuat Maruf di Bareskrim Polri.Kemudian, tim Itsus melakukan pemeriksaan terhadap penyidik dari Polda Metro Jaya di Mabes Polri.“Semua masih berproses rekan-rekan nanti hasilnya akan disampaikan,” kata Dedi.Penyidik tim khusus Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo yang terjadi Jumat (8/7) lalu. Keempat tersangka adalah Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR dan Kuat Maruf alias KM.Keempat tersangka dijerat dengan pasal pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (Ida/ANTARA)

Atas Dasar Etika, Sebaiknya Benny Mamoto Minta Maaf dan Mundur!

Jakarta, FNN - Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas, Irjen Pol Benny Josua Mamoto, didesak mundur lantaran mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait pembunuhan Brigadir J, ajudan mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Pada 13 Juli 2022 lalu, Benny Mamoto menyebut tidak ada kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir J. Dia meyakini luka-luka yang ditemukan di tubuh Brigadir J adalah luka tembak. Semua pernyataan Benny terbantahkan oleh pengakuan Bharada Eliezer. Oleh karena itu publik mendesak agar Benny segera mundur.  Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan ada hak masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis.  “Upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu. Maka sebaiknya Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja,\" katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 10 Agustus 2022.  Bagaimana analisis Rocky dalam kasus yang sudah berjalan 1 bulan itu, berikut petikan lengkapnya. Apa kabar Bung Rocky, ini ketemu lagi kita di hari Rabu, dan Rabu ini banyak orang yang sudah merasa lebih lega karena sebuah kasus yang menyandera kita dalam sebulan terakhir ini akhirnya mencapai titik terang dan tidak jauh dari ekspektasi publik, dugaan, kecurigaan, dan ekspektasi sekaligus, yakni ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka bahkan sebagai dalang dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Ini tentu keluarga Yoshua juga lega, Yosua juga yang saya kira di alam sana juga lega, dan publik yang paling penting juga sudah mulai lega.  Iya, ini hari Rabu yang menghilangkan banyak keabu-abuan. Dan sebetulnya dari perspektif kasusnya sendiri orang masih menunggu jawaban atas pertanyaan motifnya apa? Kan begitu. Tetapi, yang jelas ada yang jadi tersangka. Memang itu menggiurkan rasa dendam, atau kejengkelan, marah, atau ngamuk tiba-tiba segala macam. Nah, orang tetep nunggu itu. Tetapi, sudah satu hal bisa terang benderang bahwa dengan disebutkan empat tersangka itu artinya fokusnya makin terarah dan publik harus bersabar karena ini menyangkut sesuatu yang tetap ada kehati-hatian. Mungkin orang anggap sudah 4 tapi sangat mungkin juga di atas itu masih ada masih ada master mind-nya. Mungkin tidak melibatkan kasus ini, tapi upaya untuk pembelaan. Tapi sekali lagi Pak Listyo mengambil keputusan yang bagus bahwa seorang pejabat tinggi di Polri, Kepala Divisi Propam, dinyatakan sebagai tersangka. Itu satu tindakan bagus sehingga rasa jengkel publik karena ini berlama-lama bisa tersalurkan. Jadi kejengkelan terhadap penundaan-penundaan ini. Tapi keterangan kemarin juga memang akhirnya masuk akal bahwa memang agak lambat karena harus memutuskan dua hal. Pertama hal kriminalnya; yang kedua hubungan-hubungan etis di antara para pejabat tinggi. Bukan etikanya, tapi hubungan-hubungan etnis di antara para pejabat tinggi. Ya, saya kira itu lebih pas hubungan-hubungan etis.   Ini untuk menyaingi istilah-istilah Pak Mahfud kan. Pak Mahfud kan suka kasih istilah-istilah tanda petik juga. Ya kita juga pakai istilah hubungan etis. Itu kira-kira. Kalau Pak Mahfud kan menggunakan istilah code of silent, menggunakan istilah Mabes dalam Mabes? Kondisi kita hari ini menunggu kelanjutan dan penungguan itu juga harus dengan cara yang sama seperti sekarang, konsistensi di dalam mengawal. Dan istana sepertinya terus kasih sinyal supaya ini diselesaikan secara tuntas.  Artinya, nggak ada beban lagi pada Pak Sigit sebetulnya kalau Pak Presiden atau melalui Pak Menko kasih sinyal itu. Jadi bersabar saja publik, tetapi terus-menerus kita musti awasi agar jangan sampai melenceng ke mana-mana. Gitu. Tetap upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu.  Sebenarnya sejauh ini kan kita tidak bisa membayangkan akan ada semacam peristiwa semacam ini dan kemudian langkah yang dilakukan semacam ini juga oleh polisi, karena kita sama-sama tahu kan semangat dan opininya berlebihan .... dan saling melindungi di antara mereka yang disebut-sebut oleh Pak Mahfud sebagai code of silent. Bahkan, ada orang juga menyebutnya ini seperti sebagai well organized crime karena mereka punya jabatan, punya kewenangan, dan penyebab berbagai persoalan. Saya kira nanti banyak kasus yang dibongkar karena saya membaca di mana-mana sudah mulai ada penggerebekan terhadap judi online. Yang ini diduga merupakan bagian dari operasi dari satgasus Merah Putih yang dipimpin oleh Ferdy Sambo. ,Iya, itu yang orang tunggu. Akhirnya, istilah satgas merah putih ini orang mau tahu apa isinya. Dulu dibentuk oleh Pak Tito. Jadi itu tetap institusi yang orang mau tahu ini institusi apa sebetulnya. Ada bayangan apa di belakang itu. Jadi bayang-bayang dari satgas merah putih ini justru ingin dipersoalkan lagi oleh publik. Tetapi, saya kira Pak Sigit akan ambil seluruh langkah untuk betul-betul momentum ini menghasilkan pembaruan dalam institusi kepolisian. Dan jangan tutup kemungkinan Pak Sambo juga bisa berubah jadi justice collaborator. Itu juga bisa berlangsung. Tetapi pengadilan ini yang akan menentukan. Dalam upaya ke arah pengadilan tentu masih ada penutup sedikit kasus, kira-kira begitu kan. Tetapi, tetap publik maju sama-sama dengan pers, itu kita ingin lihat institusi ini kembalikan Polri jadi institusi yang mewah secara etis, bermutu secara profesional, dan rekruitmen-rekruitmen pejabat Polri, termasuk para penasihat Kapolri, itu musti transparan. Karena bagaimanapun, penasihat Kapolri itu mewakili pikiran rakyat. Kapolri itu sebetulnya dinasihati oleh publik, oleh rakyat, di bidang media, di bidang humas, atau di bidang keahlian teknis tertentu. Itu diperlukan memang, tetapi juga harus terbuka supaya orang anggap bawah yang direkruitmen itu betul-betul mampu untuk memberi rasa batin yang lega pada publik bahwa itu bukan sekadar stafnya Kapolri, tapi itu adalah wakil rakyat yang kemudian menjadi staf khusus Pak Kapolri. Kan itu intinya.  Iya, ini juga lagi ramai dibicarakan, setelah kasusnya sudah jelas, ini siapa pelakunya, siapa dalangnya, sudah jelas. Tetapi, kemudian ada heboh soal staf khusus Kapolri bidang komunikasi publik Fahmi Alamsyah mengundurkan diri karena sebelumnya juga sempat disidang oleh staf khusus yang lain. Ini karena dia disebut-sebut, salah satunya oleh Tempo, yang menyebutkan bahwa Fahmi ini berperan dalam membuat skenario, skenario awal yang muncul pada publik bahwa itu terjadi tembak-menembak. Kemudian ditambahkan oleh Pak Ferdy Sambo bahwa persoalannya berlatar belakang pelecehan seksual. Kan begitu yang muncul. Banyak orang menyebut bahwa Fahmi Alamsyah adalah wartawan. Saya kenal dengan dia. Tetapi, saya cek kepada teman-teman karena kemarin saya sempat menyebut bahwa dia pernah menjadi wartawan di Media Indonesia, tapi menurut teman-teman, dia tidak pernah menjadi wartawan. Jadi jangan publik juga salah. Ini wartawan juga ngaco, ternyata malah bikin skenario bohong yang disebarkan ke publik. Iya, itu mungkin keahlian humas Fahmi diperlukan oleh Kapolri, keahlian humas. Jadi orang mesti terangkan apa yang dimaksud dengan keahlian hubungan masyarakat. Tapi, apapun pengunduran diri Pak Fahmi itu sangat baik sehingga orang langsung mengerti bahwa oke ada sesuatu yang membuat Saudara Fahmi memutuskan untuk mengundurkan diri supaya tidak menghalangi proses yang masih berlanjut ini. Itu juga satu sikap yang baik. Bahwa nanti saudara Fahmi ya pasti akan jadi sosok yang juga penting keterangannya nanti di pengadilan, itu hal yang positif. Tetapi, sekali lagi kita ingin agar supaya bau-bau, kan sering dianggap ada wartawan istana, ada wartawan Mabes, ada wartawan macam-macam itu, musti kita anggap bahwa kewartawanan itu yang lebih penting daripada statusnya di lokasi itu. Jadi seolah-olah kalau wartawan istana punya akses yang lebih bagus. Bukan, karena wartawannya bermutu maka ditempatkan di istana, karena wartawannya punya pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kepolisian maka dia ada di Mabes Polri. Jadi musti anggap bahwa wartawan ada di satu lokasi karena keahliannya dan kompetensinya. Nah, sekarang mulai terjadi isu bahwa kalau ada di Kapolri itu berarti bonusnya banyak, bonus dalam tanda petik. Kalau dari istana aksesnya lebih bagus. Oh, enggak. Itu kita anggap justru karena profesionalismenya, wartawan itu bisa dekat dengan narasumbernya. Jadi ini yang saya kira baik untuk diterangkan. Sekarang kita fokus ke masalah etik ya, karena pagi ini sebenarnya saya kembali mendapat kiriman video dari Ketua Harian Kompolnas, Pak Benny Mamoto, yang ternyata dia merupakan bagian dari yang menjelaskan bahwa terjadi tembak-menembak, kemudian Bharada Richard E adalah jago tembak, bahkan pelatih tembak. Nah, orang kemudian mulai menuntut bahwa ini kan juga bagian dari pembohongan publik. Dan selama ini banyak sekali contoh bahwa orang yang melakukan kebohongan itu bisa dipidana. Nah, ini persoalannya Pak Benny ini menjadi pengawas dari kepolisian. Jadi kalau sekarang kredibilitas dia dipertanyakan kepada publik, saya kira tak ada salahnya melakukan hal seperti Fahmi Alamsyah, mengundurkan diri.  Iya, betul. Standard etis itu musti ada. Pak Benny Mamoto harus bikin refleksi kenapa kalimat itu muncul? Kalau keterangan persnya baik orang akan terima. Tapi kalau orang menganggap bahwa tidak ada yang memungkinkan Pak Benny Mamoto mundur, Pak Benny musti membela diri. Apakah itu kalimat dia atau dia mengungkapkan sesuatu dalam konteks, tapi sudah keburu terbaca bahwa keterangan Pak Benny Mamoto itu sama dengan keterangan awal dari Kapolres Jakarta Selatan. Jadi sebetulnya orang akan anggap kok Pak Benny tidak lakukan verifikasi. Tapi itu urusan Kompolnas, bukan lagi bagian dari kepolisian. Jadi adalah hak dari masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis. Memang Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja. Supaya orang tahu bahwa dia ada kesalahan, tapi sudah diperbaiki, tapi Pak Benny integritasnya sehingga dia menganggap oke walaupun sudah diterangkan tapi lebih baik saya mengundurkan diri.  Jadi itu tradisi yang bagus. Kesalahan ucap bagi pejabat yang akan mempengaruhi opini publik sebaiknya langsung secara moralnya itu, panggilan hatinya itu, mengatakan oke saya berbuat salah dan itu bukan dalam upaya untuk mempertahankan diri, tapi justru dalam upaya untuk membersihkan diri.  Saya kira ini memang momentum bahwa kita semua harus menerapkan standar etik yang bagus. Polisinya jelas penting etikanya harus tinggi, wartawannya juga etikanya harus tinggi, Kompolnas etiknya harus tinggi, dan lebih penting lagi para penguasa/para pejabat kita, itu etikanya harus tinggi. Karena kalau kita baca komentar Pak Mahfud MD, misalnya, sekarang mulai menyindir-nyindir tentang teman-teman di DPR. Katanya kok diam saja dalam kasus Ferdy Sambo ini, padahal biasanya kalau ada kasus begini DPR paling cepat panggil sana panggil sini. Apalagi Komisi 3 ini banyak yang kebakaran jenggot karena misalnya Trimedya menyatakan bahwa dari  awal dia sudah mengawal kasus ini. Iya sih, memang awal-awal PDIP kenceng. Tapi belakangan ini tidak pernah kedengaran lagi suara PDIP. Itu penting kita ikuti prinsip Pak Mahfud untuk menegur karena kok Komisi 3 diam. Dan kita tentu juga ingin dengar teguran Pak Mahfud kenapa dalam kasus km 50 Komisi 3 juga diam. Kan begitu supaya setara. Jadi Pak Mahfud juga harus ucapkan bahwa banyak sinyal di mana Komisi 3 juga diem. Itu soal hak asasi manusia, soal mungkin selalu memang ada hubungan strategis antara Komisi 3 dan kepolisian karena ia adalah partner di dalam pembuatan kebijakan, dan semua isu tentang Komisi 3 itu juga terkait dengan perilaku Komisi 3 yang permisif kalau itu menyangkut kepentingan kepolisian. Dan orang menduga bahwa oke itu berarti ada sesuatu di dalam hubungan itu. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa itu meloloskan legislasi selalu musti lobi Komisi 3. Dan ini pentingnya supaya kepolisian itu nggak merasa terhalang untuk bahkan untuk mengatur anggaran sehingga harus pilih dengan Komisi 3. Kan kita selalu ingin ada keterbukaan bahwa kepolisian butuh anggaran, tapi kepolisian harus declaire bener-bener buat kebutuhan itu adalah demi masyarakat, bukan demi Komisi 3, atau bukan demi komisi untuk Komisi 3. (Ida/sof)

Dumai Tangkap 45 WNI dan 13 WNA

Pekanbaru, FNN - Sebanyak 45 WNI dan 13 WNA asal Bangladesh dan Myanmar ditangkap Selasa (9/8) oleh aparat penegak hukum karena dicurigai akan bepergian ke Malaysia secara ilegal setelah sempat berada sekitar jalan lintas Dumai-Sei Pakning, Provinsi Riau.\"Saya perintahkan seluruh jajaran keimigrasian untuk memperketat pengamanan, terutama di pelabuhan laut, bandara, pos lintas batas dan tempat lainnya yang merupakan jalur keluar-masuk wilayah Indonesia,\" kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau, Mhd. Jahari Sitepu di Pekanbaru, Rabu.Ia juga memerintahkan jajarannya agar jangan sampai kecolongan, memeriksa seluruh dokumen Keimigrasian dengan teliti dan memperkuat intuisi untuk mengantisipasi hal-hal yang mencurigakan.Khusus jajaran Keimigrasian di wilayah Dumai, katanya, agar memperketat penjagaan terutama pada Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).\"Jangan segan-segan untuk segera menindak pelanggaran keimigrasian demi keamanan dan ketentraman negara kita tercinta ini,” pesan Kakanwil.Sebagai wilayah yang berada di perbatasan, kata Sitepu, semua pihak harus lebih ekstra hati-hati sebab Riau kerap dijadikan sasaran empuk sebagai jalur penjualan manusia (human trafficking) bahkan penyelundupan narkoba.Untuk itu Sitepu meminta seluruh jajaran keimigrasian untuk selalu memperkuat sinergitas dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait demi meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.Kepala Kepolisian Sektor Medang Kampai AKP. Edwi Sunardi, beserta tim yang berhasil mengamankan 58 orang mencurigakan tersebut melaporkan bahwa 45 orang merupakan Pekerja Imigran Indonesia (PMI) yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, 12 orang merupakan WNA asal Bangladesh dan satu orang merupakan WNA asal Myanmar.\"Dari hasil penyelidikan bahwa ke 58 orang tersebut akan memasuki Malaysia pada malam hari dengan menggunakan speedboat, namun pada saat sampai di TKP tidak ada dijumpai tekong ataupun sponsor yang akan memberangkatkan para pekerja imigran tersebut,” kata Edwi.WNA ilegal tersebut dengan modus operandi berangkat dari negara asal Banglades dan Myanmar dengan menggunakan pesawat dengan tujuan Malaysia, namun ditolak kemudian menuju Jakarta, selanjutnya dari Jakarta naik bus menuju Kota Dumai, sesampainya di Dumai kemudian dikoordinir untuk diberangkatkan secara ilegal kembali ke Malaysia dengan menggunakan speedboat.Hingga saat ini, PMI dan imigran ilegal tersebut diamankan di Mapolres Dumai guna pengusutan lebih lanjut. (Sof/ANTARA)

Dugaan Praktik Prostitusi Anak di Bawah Umur Dibongkar Polisi

Makassar, FNN - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) kembali membongkar dugaan praktik prostitusi anak di bawah umur dengan sistem dalam jaringan (daring) atau online untuk menjajakan korban kepada para lelaki hidung belang.\"Tersangkanya berinisial UK yang menjual atau mengadakan wanita di bawah umur ditempatkan di Hotel B dan Hotel D. Ada dua tempatnya,\" ujar Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Komang Suartana, di Makassar, Rabu.Kasus dugaan prostitusi anak wanita di bawah umur itu, kata dia, diungkap Tim Subdit Retana Polda Sulsel melalui situs online, setelah menerima laporan masyarakat. Sejauh ini terus dikembangkan tim sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada publik.\"Kami terus mengantisipasi praktik prostitusi secara online ini di wilayah Sulsel. Untuk kasus ini ada tiga korban berinisial S, Z dan S. Semua wanita di bawah umur,\" ujarnya pula.Ditanyakan berapa tarif yang dipasang pelaku menjual korban kepada pemesannya melalui situs online, dia menyebutkan antara Rp600 ribu hingga Rp1 jutaan ke atas. Selain itu, pelaku maupun korban juga sering berpindah-pindah tempat.\"Semua korban asal sini (Makassar) menjual atau transaksi melalui online. Bisa di satu tempat atau bisa juga korban dibawa keluar. Tersangka mengakui sudah berkali-kali melakukan praktik tersebut,\" katanya lagi.Sedangkan untuk modus operandi yang dilancarkan pelaku, kata Komang, masih pendalaman. Tersangka ditangkap pada 9 Agustus 2022 setelah tim mengetahui keberadaan pelaku.\"Kalau modus masih didalami berapa lama korban melalukan itu dalam konten ini. Dan berapa lama operasi, nanti kami sampaikan. Untuk pelanggannya dari kalangan sedang, menengah dan bawah. Tergantung dari harganya,\" kata dia.Tersangka dikenakan Pasal 78 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. (Sof/ANTARA)

Pengadilan Paniai Momentum Negara Menunjukkan Keseriusan HAM

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan pengadilan HAM untuk peristiwa Paniai, Papua yang akan digelar di Makasar merupakan momentum bagi negara untuk menunjukkan keseriusan dan komitmen dalam menegakkan HAM.\"Hadirnya pengadilan HAM ini, terlepas dari persoalan yang bisa kita persoalkan, ini adalah momentum,\" kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin di Jakarta, Rabu.Amiruddin mengatakan pengadilan HAM untuk peristiwa Paniai harus dimanfaatkan secara baik dalam rangka memeriksa ulang seluruh prosedur yang ditentukan oleh undang-undang tersebut apakah efektif atau tidak.Selain itu juga momentum bagi pihak-pihak yang memperhatikan hukum dan HAM. Setidaknya melihat dalam 15 tahun terakhir apa yang bisa dilalui dari proses implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.Apabila selama 15 tahun terakhir undang-undang tersebut tidak berjalan maksimal, dan baru pada tahun 2022 mulai ada kemajuan maka artinya terdapat banyak masalah, kata dia.\"Saya pikir ini tantangan sekaligus peluang bagi orang yang memperhatikan hukum dan HAM,\" ujarnya.Apalagi, menurutnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM seolah-olah terabaikan secara akademik dan tidak banyak yang membahas atau mendiskusikannya.Secara umum, lahirnya Undang-Undang tentang Pengadilan HAM merupakan komitmen nasional untuk tidak memberikan ruang bagi terduga pelaku pelanggar HAM. Setiap orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat, khususnya genosida dan kejahatan terhadap manusia harus dibawa ke pengadilan.Dengan adanya komitmen tersebut, sejak 1999 Komnas HAM dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang dikeluarkan oleh Presiden pada saat itu kemudian menjadi undang-undang, mulai melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat.Mulai dari peristiwa Timor Timur (Timor Leste) sampai hingga saat kini Komnas HAM masih menjalankan undang-undang tersebut. Total 14 kasus dugaan pelanggaran HAM telah diselidiki oleh Komnas HAM. Dari jumlah itu, tiga di antaranya ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung dan terakhir penyidikan peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014. (Ida/ANTARA)

Antisipasi Aksi Bobotoh, Ratusan Polisi Mulai Menjaga Gedung Graha Persib

Bandung, FNN - Ratusan personel polisi dari Polda Jawa Barat dan Polrestabes Bandung mulai dikerahkan untuk menjaga Gedung Graha Persib guna mengantisipasi aksi suporter Persib atau Bobotoh yang rencananya digelar Rabu siang.  Adapun ratusan polisi itu datang sekitar pukul 10.30 WIB menggunakan sejumlah kendaraan pengangkut personel. Aksi Bobotoh yang rencananya dilakukan pada jam 12.00 WIB itu untuk memprotes performa Persib yang dianggap buruk di awal musim Liga 1.  \"Ada sekitar 450 personel,\" kata Kapolsek Bandung Wetan Kompol Asep Saepudin di depan Gedung Graha Persib, Jalan Sulanjana, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu. Para personel polisi itu mulai berjaga dan mempersiapkan sejumlah alat untuk melakukan pengamanan. Selain itu, polisi juga menyiapkan kendaraan taktis yang menjadi sumber suara untuk mengurai massa. Meski begitu, arus lalu lintas di Jalan Sulanjana masih dibuka normal dan bisa dilalui masyarakat. Namun sementara ini warga yang ingin berkunjung ke Graha Persib, tidak bisa memarkirkan kendaraannya di halaman gedung karena ditutup oleh polisi. Adapun Viking Persib Club (VPC) menyatakan bakal ada sekitar 5.000 orang yang melakukan aksi di Gedung Graha Persib. Humas Viking Persib Club Hendra Darmawan mengatakan ribuan orang yang akan datang itu berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat.  \"Beberapa sudah menyewa bus untuk datang ke Bandung. Ada juga teman-teman dari Makassar, katanya sudah sampai di Jakarta,\" kata Hendra.  Dalam surat pemberitahuan yang dilayangkan VPC ke Polrestabes Bandung, disebutkan ada dua tuntutan yang akan disampaikan pada aksi tersebut. Dua tuntutan itu yakni meminta Pelatih Persib Robert Alberts untuk berhenti dari kursi pelatih, serta meminta panitia penyelenggara lokal untuk memperbaiki sistem tiket pada pertandingan Persib. (Ida/ANTARA)

Mendengar Anaknya Ditembak Atas Perintah Ferdy Sambo, Ibu Brigadir J Terkejut

Jambi, FNN - Ibu kandung Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, Rosti Simanjuntak, terkejut mendengar keterangan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang mengatakan Yoshua ditembak atas perintah Irjen Pol. Ferdy Sambo.Ayah Brigadir Yoshua, Samuel Hutabarat, di Jambi, Rabu, mengatakan dia dan istrinya menonton keterangan resmi dari Kapolri melalui tayangan televisi di rumahnya, Selasa petang (9/8).\"Istri saya setelah menonton keterangan resmi dari Mabes Polri bersama keluarga langsung terkejut mendengar tersangka baru mantan pimpinan almarhum Yoshua, Irjen (Pol) Ferdy Sambo,\" kata Samuel.Setelah Kapolri menjelaskan peran masing-masing para tersangka secara lebih mendalam, pihak keluarga Brigadir Yoshua semakin sedih karena ternyata peristiwa itu bukan tembak-menembak antara Yoshua dan tersangka Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.Rosti juga sempat menonton dan mendengar keterangan Kapolri bahwa anaknya kandungnya ditembak mati oleh rekannya, Bharada E, langsung terkejut.Samuel mengatakan Rosti sebenarnya memiliki firasat kematian anaknya karena dibunuh. Namun, awalnya dia mendapat informasi bahwa Yoshua tewas setelah tembak-menembak dengan rekannya sesama anggota Polri.Keluarga juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Polri, khususnya Kapolri dan Kabareskrim, yang berhasil mengungkap kasusnya serta masyarakat luas yang memanjatkan doa agar kasus ini cepat terungkap pelaku utamanya.Pihak keluarga juga sangat berterima kasih kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang merespons berbagai keluhan keluarga Brigadir Yoshua saat mereka mendatangi Kantor Menkopolhukam di Jakarta beberapa waktu lalu. (Ida/ANTARA)

Tiga Perwira Tinggi Polri Ditahan di Mako Brimob

Jakarta, FNN - Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol. Agung Budi mengungkapkan tiga perwira tinggi (pati) Polri ditahan dan ditempatkan khusus di Markas Komando (Mako) Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok.\"Tiga perwira tinggi ditempatkan di Mako Brimob,\" kata Agung Budi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam.Satu dari tiga perwira tinggi itu ialah Irjen Pol. Ferdy Sambo, yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penembakan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J, sedangkan dua orang lainnya adalah perwira tinggi berpangkat jenderal bintang satu karena diduga melanggar kode etik dan perilaku Polri.Tiga orang itu merupakan bagian dari 31 personel Polri yang sedang dilalukan pemeriksaan mendalam oleh tim khusus Polri.\"Sebelas personel dilakukan penempatan khusus dari empat personel sebelumnya,\" kata Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo.Mereka terdiri atas satu orang jenderal bintang dua, dua orang jenderal bintang satu, dua orang komisaris besar (kombes), tiga orang AKBP, dua orang komisaris polisi (kompol), dan satu orang AKP. \"Kemungkinan masih bisa bertambah,\" kata Listyo Sigit.Sementara itu, situasi di Mako Brimob Polri Depok, Selasa malam, terpantau kondusif usai penetapan Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka. Dua mobil kendaraan taktis dan sejumlah kendaraan motor Brimob siaga di pintu masuk utama Mako Brimob. (Sof/ANTARA)

Ditemukan Bukti Cukup Ferdy Sambo Lakukan Tindak Pidana

Jakarta, FNN - Inspektorat Khusus yang dipimpin oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan bahwa telah ditemukan bukti yang cukup bahwa eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo melakukan tindak pidana.\"Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam, maka juga telah ditemukan bukti yang cukup bahwa FS adalah melakukan tindak pidana,\" kata Agung kepada wartawan dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam.Ia menjelaskan bahwa kemarin, Senin (8/8), pihaknya telah melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap Ferdy Sambo di Mako Brimob dan menemukan bukti yang cukup bahwa Ferdy Sambo melakukan tindak pidana.\"Kapolri tadi sudah menyampaikan, setelah melakukan gelar perkara dan sudah ditetapkan sebagai tersangka,\" ucapnya.Ketika menyampaikan paparan, Agung juga mengungkapkan bahwa saat melakukan pemeriksaan mendalam terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Bharada E mengungkapkan ingin menulis sendiri apa yang terjadi.\"Tidak usah ditanya, Pak. Saya menulis sendiri,\" ucap Agung ketika mengutip ucapan Bharada E ketika menjalani pemeriksaan mendalam.Bharada E menulis dari awal bahwa yang melakukan adalah yang bersangkutan dan dengan dilengkapi dengan cap jempol dan materai.\"Karena sudah ada unsur pidana-nya maka kami limpahkan kepada Bareskrim Polri untuk melakukan tindakan penyidikan lebih lanjut,\" tuturnya.Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkap Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri di Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang memerintahkan Bharada E untuk menembak.\"Tim khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap saudara J (Yosua) yang menyebabkan saudara J meninggal dunia yang dilakukan oleh saudara E (Bharada) atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo),\" kata Sigit di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam.Dalam peristiwa ini Timsus telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bribka RR dan KM. Keempat disangkakan dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup. (Sof/ANTARA)

Soal "JC" Bharada E, LPSK Berkoordinasi Dengan Kabareskrim Polri

Jakarta, FNN - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan berkoordinasi dengan Kabareskrim Polri soal pengajuan \"justice collaborator\" (\"JC\") atau saksi yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang diajukan Bharada E.\"Bareskrim meminta agar LPSK segera mengirim surat ke Kabareskrim Polri untuk koordinasi \'justice collaborator\',\" kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat dihubungi di Jakarta, Selasa.Hasto mengatakan lembaga yang dipimpinnya akan segera berkirim surat ke Kabareskrim Polri karena \"JC\" merupakan kewenangan LPSK.Hasto menjelaskan seseorang yang ingin mengajukan \"JC\" harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya bukan pelaku utama. Kemudian, bersedia mengungkap peran semua orang yang terlibat termasuk atasan.Selain itu, papar dia, keterangan yang diberikan oleh pihak yang mengajukan \"JC\" harus berdampak signifikan dalam proses peradilan pidana, termasuk adanya potensi ancaman yang bakal diterima oleh yang bersangkutan.\"Karena ada relasi kuasa dalam kasus ini, tentu saja potensi ancaman terhadap yang bersangkutan besar,\" kata dia.Oleh karena itu, sejak awal LPSK telah menyampaikan apabila Bharada E menjadi tersangka, maka masih bisa menjadi \"JC\".Hasto mengatakan seseorang yang mengajukan \"JC\" mendapatkan hak istimewa, yaitu berkas perkara dan tempat penahan akan dipisah dari pelaku lain.\"Pemohon \"JC\" juga berhak mendapatkan keringanan hukuman serta remisi-remisi lainnya,\" kata dia.Ia menegaskan saat ini Bharada E masih berstatus sebagai pemohon \"JC\". Perwakilan LPSK belum bisa bertemu langsung dengan Bharada E maupun Kabareskrim Polri soal pengajuan \"JC\". (Sof/ANTARA)