HUKUM

Ditemukan Bukti Cukup Ferdy Sambo Lakukan Tindak Pidana

Jakarta, FNN - Inspektorat Khusus yang dipimpin oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan bahwa telah ditemukan bukti yang cukup bahwa eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo melakukan tindak pidana.\"Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam, maka juga telah ditemukan bukti yang cukup bahwa FS adalah melakukan tindak pidana,\" kata Agung kepada wartawan dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam.Ia menjelaskan bahwa kemarin, Senin (8/8), pihaknya telah melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap Ferdy Sambo di Mako Brimob dan menemukan bukti yang cukup bahwa Ferdy Sambo melakukan tindak pidana.\"Kapolri tadi sudah menyampaikan, setelah melakukan gelar perkara dan sudah ditetapkan sebagai tersangka,\" ucapnya.Ketika menyampaikan paparan, Agung juga mengungkapkan bahwa saat melakukan pemeriksaan mendalam terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Bharada E mengungkapkan ingin menulis sendiri apa yang terjadi.\"Tidak usah ditanya, Pak. Saya menulis sendiri,\" ucap Agung ketika mengutip ucapan Bharada E ketika menjalani pemeriksaan mendalam.Bharada E menulis dari awal bahwa yang melakukan adalah yang bersangkutan dan dengan dilengkapi dengan cap jempol dan materai.\"Karena sudah ada unsur pidana-nya maka kami limpahkan kepada Bareskrim Polri untuk melakukan tindakan penyidikan lebih lanjut,\" tuturnya.Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkap Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri di Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang memerintahkan Bharada E untuk menembak.\"Tim khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap saudara J (Yosua) yang menyebabkan saudara J meninggal dunia yang dilakukan oleh saudara E (Bharada) atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo),\" kata Sigit di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam.Dalam peristiwa ini Timsus telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bribka RR dan KM. Keempat disangkakan dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup. (Sof/ANTARA)

Soal "JC" Bharada E, LPSK Berkoordinasi Dengan Kabareskrim Polri

Jakarta, FNN - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan berkoordinasi dengan Kabareskrim Polri soal pengajuan \"justice collaborator\" (\"JC\") atau saksi yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang diajukan Bharada E.\"Bareskrim meminta agar LPSK segera mengirim surat ke Kabareskrim Polri untuk koordinasi \'justice collaborator\',\" kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat dihubungi di Jakarta, Selasa.Hasto mengatakan lembaga yang dipimpinnya akan segera berkirim surat ke Kabareskrim Polri karena \"JC\" merupakan kewenangan LPSK.Hasto menjelaskan seseorang yang ingin mengajukan \"JC\" harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya bukan pelaku utama. Kemudian, bersedia mengungkap peran semua orang yang terlibat termasuk atasan.Selain itu, papar dia, keterangan yang diberikan oleh pihak yang mengajukan \"JC\" harus berdampak signifikan dalam proses peradilan pidana, termasuk adanya potensi ancaman yang bakal diterima oleh yang bersangkutan.\"Karena ada relasi kuasa dalam kasus ini, tentu saja potensi ancaman terhadap yang bersangkutan besar,\" kata dia.Oleh karena itu, sejak awal LPSK telah menyampaikan apabila Bharada E menjadi tersangka, maka masih bisa menjadi \"JC\".Hasto mengatakan seseorang yang mengajukan \"JC\" mendapatkan hak istimewa, yaitu berkas perkara dan tempat penahan akan dipisah dari pelaku lain.\"Pemohon \"JC\" juga berhak mendapatkan keringanan hukuman serta remisi-remisi lainnya,\" kata dia.Ia menegaskan saat ini Bharada E masih berstatus sebagai pemohon \"JC\". Perwakilan LPSK belum bisa bertemu langsung dengan Bharada E maupun Kabareskrim Polri soal pengajuan \"JC\". (Sof/ANTARA)

Terancam Hukuman Mati Empat Tersangka Penembakan Brigadir J

Jakarta, FNN - Tim Khusus Polri menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dengan sangkaan pembunuhan berencana, dan keempatnya terancam dengan pidana maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto dalam konferensi pers, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa malam, menyebutkan keempat tersangka adalah Bharada Dua Polri Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Bripka Ricky Rizal atau Bripka R, Kuat, dan Irjen Pol Ferdy Sambo.“Berdasarkan hasil pemeriksaan keempat tersangka, menurut perannya masing-masing, penyidik menetapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun,” kata Agus.Agus menjelaskan peran masing-masing tersangka, yakni Bharada E berperan melakukan penembakan terhadap korban Brigadir J. Tersangka Bripka RR turut membantu dan menyaksikan penembakan, tersangka Kuat turut membantu dan menyaksikan penembakan terhadap korban.“Irjen Pol FS menyuruh melakukan dan menskenariokan peristiwa seolah-olah terjadi peristiwa tembak-menembak di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga,” ujar Komjen Agus pula.Peristiwa penembakan terhadap Brigadir J atau Brigadir Joshua terjadi Jumat (8/7) lalu. Dari hasil penyidikan yang dilakukan Tim Khusus Bareskrim Polri, pada saat kejadian terdapat lima orang di tempat kejadian perkara (TKP) Duren Tiga, yakni Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, Irjen Pol Ferdy Sambo, Kuat, Bripka Ricky Rizal, Bharada Richard Eliezer, dan korban Brigadir Joshua (Yoshua).Menurut Agus, terungkapnya kasus ini berdasarkan penyidikan dari laporan pihak keluarga Brigadir Joshua. Namun, karena laporan tersebut dilayangkan pada tanggal 18 Juli, penyidik menemukan kendala dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, terlebih adanya skenario yang dibuat oleh tersangka Ferdy Sambo, pada penyelidikan awal dibuat seolah-olah ada peristiwa tembak-menembak.Selain itu, ada upaya mengambil dan menghilangkan barang bukti di TKP, seperti pengambilan rekorder CCTV, dan lain sebagainya. Penyidik memulai penyelidikan dengan turun ke Jambi memeriksa 47 saksi terkait dengan kejadian tewasnya Brigadir J.“Kemudian kami juga mendapatkan beberapa kendala yang ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, seluruh tim yang bekerja,” kata Agus.Namun, lanjut Agus, karena ancaman hukuman kasus tersebut Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman cukup tinggi membuat Bharada E mengakui peristiwa yang sebenarnya terjadi di TKP Duren Tiga.“Bharada E membuat pengakuan kepada penyidik setelah dilakukan pemeriksaan secara maraton,” kata Agus.Agus menambahkan, pengakuan Bharada E membuka tabir kecurigaan dan kejanggalan dari kasus tewasnya Brigadir J dari awalnya dilaporkan tembak-menembak menjadi peristiwa penembakan atau pembunuhan.Sementara itu, saat ini penyidik masih mendalam apa motif pembunuhan terhadap Brigadir J yang dilakukan oleh para tersangka. (Sof/ANTARA)

"Jin Buang Anak" adalah Idiom Lazim yang Tidak Perlu Dipermasalahkan

Jakarta, FNN - Sidang dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh terdakwa Edy Mulyadi kembali digelar pada Selasa, 9 Agustus 2022 di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus, Kemayoran, Jakarta Pusat.  Dalam persidangan ini, penasihat hukum terdakwa menghadirkan dua saksi meringankan, yakni seorang advokat muslim, Ahmad Khozinuddin dan kedua wartawan senior sekaligus Dewan Redaksi FNN.co.id, Harsubeno Arief.  Saksi Hersu, panggilan akrab Harsubeno Arief menjelaskan bahwa, frasa \'Jin Buang Anak\' merupakan idiom biasa yang sudah sering digunakan semua orang dan tidak ada masalah mengenai pernyataan tersebut.  \"Kalau pernyataan yang digunakan oleh Bung Edy itu kan hanya idiom biasa saja yang sering digunakan,\" ujarnya.  Hersu juga mengatakan bahwa pernyataan tersebut bahkan pernah digunakan oleh salah satu media ternama untuk menganalogikan suatu tempat yang sangat jauh, namun tidak ada tuntutan mengenai hal tersebut.  \"Frasa \'jin buang anak\' ini adalah idiom, dan selama saya menjadi wartawan tidak ada masalah menggunakan frasa tersebut, saya punya catatan yang dapat saya tunjukkan bahwa salah satu media ternama pada era 90an pernah menggunakan frasa tersebut. Frasa tersebut digunakan untuk menggambarkan salah satu daerah di Aceh yang memang letaknya sangat jauh, dan masyarakat Aceh pun tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut,\" ujarnya.  Diketahui Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dan penyebaran berita bohong atau hoax pada 31 Januari 2022. Edy lantas ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Edy terjerat perkara ini karena komentarnya terkait Ibu Kota Negara (IKN) baru sebagai tempat pembuangan jin. Padahal ia sudah minta maaf atas pernyataannya itu. Untuk pertama kalinya Edy Mulyadi menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022). Pada kasus ini Edy Mulyadi terancam hukuman penjara 10 tahun atas delik ujaran kebencian bernuansa SARA.  Sidang akan dilanjutkan pada hari Kamis 11 Agustus 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan mendatangkan dua saksi terdakwa tambahan yang berasal dari Dewan Pers dan Pemimpin Redaksi dari media FNN. (Hab)

BREAKING NEWS! Tersangka Pembunuhan Berencana Irjen Ferdy Sambo Terancam Hukuman Mati

Jakarta, FNN - Aparat Kepolisian akhirnya mengumumkan tersangka baru kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Tersangka baru kasus pembunuhan berencana ini adalah Eks Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo. Penetapan tersangka tersebut diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit, saat konfrensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8/2022). “Timsus telah mendapatkan titik terang secara scientific. Ditemukan perkembangan baru, tidak ditemukan fakta tembak-menembak dilakukan. Timsus telah memutuskan untuk menetapkan saudara FS (Ferdy Sambo) sebagai tersangka,” kata Kapolri Sigit Saat mengumumkan status tersangka pada Irjen Ferdy Sambo, Kapolri Listyo Sigit didampingi Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, Dankor Brimob Anang Revandoko, KabaintelkamPolri Irjen Ahmad Dofiri dan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo. Dalam jumpa persnya tersebut Kapolri mengatakan Tim Khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap Brigadir Yoshua yang mengakibatkan dirinya tewas. “Timsus menemukan peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap Brigadir Yoshua, saudara RE menembak atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo),” Ujar Sigit. Listyo mengatakan, untuk membuat seolah-olah telah terjadi tembak-menembak saudara FS melakukan penembakan dengan senjata milik saudara Yoshua ke dinding berkali-kali. “Terkait apakah saudara FS menyuruh ataupun terlibat langsung dalam penembakan saat ini tim terus melakukan pendalaman terhadap saksi-saksi dan pihak-pihak yang terkait,” imbuhnya. Adapun Tim khusus bentukan Polri menjerat Ferdy Sambo dengan pasal pembunuhan berencana. “Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55, Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup,” ujar Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Dia juga mengungkap, kini, ada 4 tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Ketiganya yakni Bharada E atau Richard Eliezer selaku sopir Putri Candrawathi, Brigadir RR yang merupakan ajudan istri Ferdy Sambo, KM, dan Ferdy Sambo. Pada kasus ini, Bharada E dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Juncto 55 dan 56 KUHP. Sedangkan, Brigadir RR dipersangkakan dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. (Lia)

Polri Babak Belur Bukan karena Emak-emak, Pers, atau Pengamat, tetapi di Dalam Gontok-gontokannya Gede

Jakarta, FNN -  Kasus polisi tembak polisi terus menjadi perhatian publik. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan bahwa kasus ini wajib diusut tuntas. Terbaru, Jokowi mengundang Panglima TNI dan Kapolri ke istana. Agenda Presiden kemarin penuh dan satu di antaranya pasti adalah upaya untuk meyakinkan publik bahwa Polri tidak boleh hancur hanya karena ada peristiwa Pak Sambo. “Jadi, ini memang harus diputuskan cepat bahwa ada Jenderal yang terlibat. Publik bukan menginginkan, tapi publik memang menduga kuat bahwa Pak Sambo pasti akan jadi tersangka. Jadi, keinginan publik adalah bersihkan institusi negara ini agar ada harapan besar bagi prestasi Kapolri ke depan,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 09 Agustus 2022. Rocky meyakini bahwa presiden tahu bahwa lembaga dia atau aparat dia yang namanya kepolisian itu agak susah untuk membackup pemerintahan dan ketertiban sipil, kalau masih babak belur. Bagaimana analisis lengkapnya, ikuti perbincangannya di bawah ini, Apa kabar Bung Rocky. Semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat di hari Selasa ini. Banyak orang menduga bahwa akan ada peristiwa penting hari ini berkaitan dengan perkembangan terbunuhnya Brigadir Yosua? Iya. Kemarin Presiden mengundang Panglima TNI dan Kapolri. Kita nggak tahu apa isinya, tapi kira-kira itu juga pasti dievaluasi karena ini peristiwa penting. Jadi, tidak mungkin presiden tidak menanggapi itu. Jadi, saya menduga bahwa Pak Sigit diminta ke istana bersamaan dengan Jenderal Andika itu dalam upaya untuk membahas, termasuk kasus Pak Sambol. Dan itu sebetulnya yang ingin dihadirkan pada publik bahwa harusnya ada percepatan penyelesaian karena Indonesia menumpuk masalahnya. Kita tahu juga bahwa hari-hari ini juga ada demonstrasi buruh yang sedang bergerak menuju Jakarta, dan itu penting sebetulnya pemerintah fokus pada soal buruh setelah soal Sambo selesai. Karena yang dituntut buruh itu serius, soal omnibuslaw yang menyengsarakan mereka. Jadi, kelihatannya ada pembicaraan di situ. Menko Perekonomian juga ada di istana kemarin beritanya begitu dan Pak Pramono Anung menemani Pak Jokowi seharian di situ. Ini menunjukkan bahwa agenda Presiden kemarin itu penuh dan satu di antaranya pasti adalah upaya untuk meyakinkan publik bahwa Polri tidak boleh hancur hanya karena ada peristiwa Pak Sambo. Iya itu. Dan memang betul, sekarang seperti kata Pramono Anung, itu sekarang hancur-hancuran citra Polri. Dan itu sebenarnya kan kita tahu Polri itu di bawah Pak Jokowi. Itu berarti langsung yang terkena juga Pak Jokowi. Ya, itu pentingnya Pak Jokowi harus betul-betul merapikan kembali yang hancur-hancuran itu. Kan nggak mungkin hancur-hancuran kalau dikoordinasi dengan baik oleh beliau kan. Itu masalahnya. Kan kita mesti ngerti bahwa Pak Pramono sebagai Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, tahu apa efek dari hancurnya Polri. Pasti Pak Jokowi juga melihat dengan jelas bahwa ini berbahaya. Jadi, kalau Pramono mengatakan ini hancur-hancuran, harusnya lebih dari itu keadaannya kan. Jadi, kira-kira begitu. Memang sangat membahayakan. Dan keretakan Polri itu kalau betul-betul dia menjadi rapuh justru di era banyak ketegangan politik, ada  persiapan Pemilu, ada persiapan perang, semua itu kan terkait dengan soal ketertiban publik. Dan ini akibatnya kalau hal yang sudah dari awal diketahui berpotensi retak tapi dibiarkan oleh istana, lalu sekarang istana yang bereaksi justru. Jadi, masyarakat menganggap iya memang dari dulu juga retak karena permainan politik. Biar begitu dalilnya. Oh, ternyata istilah yang tepat yang digunakan oleh Pramono Anung itu babak belur. Itu sama juga? Kalau polisi babak belur itu artinya Pramono musti terangkan kenapa? Karena ada yang menghajar Polri? Atau karena saling hajar-hajaran di dalam kan? Kan nggak mungkin Polri babak belur hanya karena pendapat emak-emak, pendapat pers, pendapat pengamat. Itu nggak ada masalah. Babak belur itu artinya di dalam juga gontok-gontokannya gede atau tonjok-tonjokannya bahkan. Dan itu intinya. Jadi babak belur itu istilah yang memang memperlihatkan bonyoknya institusi itu harus diperbaiki. Jadi kembalikan Polri sebagai institusi yang memberi rasa aman pada publik dan membuat kita merasa aman itu artinya kita yang dilindungi, jangan Polri melindungi para koruptor, para politisi segala macam. Jadi itu pesan moralnya.  Dan kita tangkap itu bahwa presiden mengerti keadaan lalu meminta supaya percepatan itu. Nah, kita akan tetap bahas nanti apa istilah babak belur itu atau pers nanti hari ini akan kasih interpretasi apa yang dimaksud dengan babak belur. Babab belur di dalam karena persoalan di dalam atau karena dihajar oleh opini publik. Kira-kira sebetulnya begini. Kalau kita lihat kita bisa memahami kegalauan dari Pak Jokowi karena seperti Anda sampaikan tadi, situasinya memang lagi memburuk. Semua terjadi pemburukan. Ekonomi kita sedang memburuk, kemudian citra pemerintah juga memburuk, tapi saya juga tadi menyebutnya ada bahwa pembunuhan itu bisa terjadi karena dilakukan oleh faktor istana itu sendiri, yakni menginginkan tiga periode. Gitu kan? Ya. Itu itu inti yang sekarang juga paling kita cemaskan sebetulnya. Karena itu bisa bikin babak belur konstitusi kita, babak belur demokrasi kita, karena persiapan tiga periode jalan terus. Ini perimbangan ini yang orang menganggap kenapa fokus kita harus kembali pada soal ekonomi. Ya karena memang itu yang jadi krisis bahwa APBN bisa aman itu hanya karena ekspor komoditas kita iya. Tetapi, satu waktu ekspor komoditas juga jatuh harganya. Lalu  kesempatan untuk memulihkan ekonomi hilang karena fokus kita terus-menerus pada tiga periode. Padahal Pak Jokowi juga harusnya bicara saja bahwa kami sudah tidak lagi melakukan tiga periode itu. Tapi terlihat justru makin lama Pak Jokowi makin diam ketika relawannya terus-menerus mendorong tiga periode. Bahkan, kemarin beritanya ada yang lebih gila lagi, meminta supaya kepung DPR/MPR agar Presiden jadi tiga periode. Kan itu ngaco kan? Itu juga bikin DPR/MPR babak belur disebabkan karena ambisi. Ambisi dari siapa? Ya pasti dari Pak Jokowi ambisinya. Kan dengan mudah begitu walaupun nanti dibantah-bantah itu kan kita gak bisa cegah, itu ekspresi publik. Itu harus dicegah karena ini relawan Jokowi yang melakukan hal yang melakukan hal yang inkonstitusional. Itu kan memalukan. Seolah-olah Pak Jokowi memang harusnya jadi presiden seumur hidup. Tiga periode itu seumur hidup sebetulnya. Nah, ini kita balik lagi ya, ke topik kita tadi soal Pak Ferdy Sambo. Tanpa kita memberikan semacam penghakiman atau kalau di istilah pesr itu trial by the press, kita menangkap bahwa sekarang ini bagaimanapun ekspektasi publik itu sangat tinggi bahwa akan ada penetapan tersangka. Dan kita sama-sama tahu ekspektasi publik itu mereka mencurigai Ferdy Sambo. Apalagi kemudian penjelasan dari pengacara pun juga menjelaskan itu dari BAP, dari pengakuan berada Richard Eliazer. Ini kan jelas dia melakukan pembunuhan, tapi ini atas instruksi dan kemungkinan itu terjadi semacam eksekusi di situ. Menurut saya ini kan mengerikan dan itu terjadi di lembaga kepolisian terhadap internal kepolisian sendiri. Bayangkan itu Bung Rocky. Jadi keadaan ini akhirnya tidak rapi perencanaan itu. Karena dari awal hasil keterangan awal dari Kapolres Jakarta Selatan, itu sudah mengandung banyak kejanggalan. Jadi publik sebetulnya dari awal mencurigai itu dan kalau kita perhatikan statement-statement dari kepolisian, baik itu humasnya maupun inspektur khusus, kan itu makin lama makin terlihat bahwa tokoh-tokohnya tidak hanya satu-dua orang, ternyata lebar. Dan ini kalau lebar ya nggak mungkin itu hanya karena dua prajurit dibawa itu tembak-menembak. Pasti sinya di atasnya lebih kuat itu. Jadi Bharada E versus Brigadi J, kalau memang hanya itu soalnya, nggak mungkin ada upaya untuk meneliti lebih jauh soal etika dan soal permainan di belakang itu. Jadi ini memang harus diputuskan cepat bahwa ada Jenderal yang terlibat. Kan itu intinya.  Opini publiknya begitu. Kalau kriminal biasa ya sudah itu dengan mudah hari pertama sudah selesai kalau kriminal biasa. Jadi menunda itu, jadi penundaan itu yang memunculkan spekulasi ada apa ditunda tiga hari peristiwa itu? Tentu Pak Sigit tau lebij cepatlah kalau soal itu. Problemnya kenapa Pak Sigit juga setelah seolah-olah ada opini publik 3 hari baru muncul. Tapi sudah. Itu sudah terjadi kemarin. Pak Sigit berupaya untuk memulihkan institusi kepolisian dan betul-betul istana merasa bahwa itu sudah babak belur. Jadi kebabakbeluran itu harus disembuhkan secara cepat luka babak belur itu. Jadi publik bukan menginginkan, tapi publik memang menduga kuat bahwa Pak Sambo pasti akan jadi tersangka.  Kalau soal menginginkan semua orang memang menginginkan supaya kepolisian itu dibersihkan dan banyak aparat di situ yang punya masalah hukum bermacam-macam, bahkan berlapis-lapis. Jadi, keinginan publik adalah bersihkan institusi negara ini agar ada harapan besar bagi prestasi Kapolri ke depan. Ya, sejak awal ketika orang masih berspekulasi tentang kasus ini, Anda sendiri dan FNN sudah langsung ambil satu posisi bahwa ini justru momentum sebenarnya, momentum bagi polisi untuk  melakukan tata ulang, karena adanya Satgasus, itu yang disebut oleh Pak Mahfud MD ada Mabes di dalam Mabes. Ini kan mengingatkan kita bahwa ada negara di dalam negara. Jadi ini ada Mabes di dalam Mabes. Ya, dari awal kita tahu bahwa presiden tahu persoalannya. Karena itu, Pak Mahfud dengan cepat memberi sinyal ini tikus dan segala macemnya. Kita protes sebetulnya bahwa nggak boleh dong, walaupun itu tahu, tapi lakukan secara institusional. Jangan ngomong ke pers. Kan itu soalnya. Walaupun kita mengerti bahwa Pak Mahfud pasti lebih banyak dapat info dibanding kita, tetapi etikanya dia nggak boleh menyebutkan itu sebagai pejabat negara atau sebagai Kompolnas. Itu hanya bisa disebut di pengadilan atau secara diam-diam. Tapi pada akhirnya orang menganggap bahwa ya sudah terbuka Pak Mahfud sudah ngomong begitu, Pak Jokowi sudah dua sampai tiga kali bicara soal ini, itu artinya di belakangnya ada babak belur tadi dan babak belur tadi yang mencemaskan presiden. Jadi presiden tahu bahwa lembaga dia atau aparat dia yang namanya kepolisian itu agak susah untuk membackup pemerintahan dan ketertiban sipil kalau masih babak belur. Babak belur itu tetap istilah yang bagus. Tapi sekarang ini, makin ke belakang kenapa Pak Mahfud memberikan sinyal-sinyal semacam itu, sekarang saya sudah mulai paham. Itu karena dia memahami ada satu kekuatan besar yang dia tidak bisa hadapi sendiri sehingga dia meminjam opini publik dan meminjam media yang dalam bahasa Jawa ini ada istilah “nabok nyilih tangan”, menampar orang dengan meminjam tangan orang lain. Karena kemarin dia secara tersurat kemudian menyebutkan “ya ini terima kasih kepada media karena Anda-Anda semua, karena LSM gitu, karena civil society, kemudian kasus ini bisa dibongkar dengan cepat, karena ini ada semacam code of silence”. Begitu dia menyebutkan. Oh... ini kan ngeri kalau sampai seperti itu. Ya kita tagih saja Pak Mahfud terus-menerus supaya Pak Mahfud jadi beda justice collaborator. Justice collaborator ini memungkinkan publik dapat sinyal. Itu intinya. Tapi, sekali lagi, kedudukan Pak Mahfud MD itu adalah pejabat negara. Dia bisa kasih info, tapi jangan dia sendiri yang mengucapkan info itu. Kan tekniknya begitu. Baguslah. Di ujungnya baru bilang terima kasih. Walaupun orang tahu sudah pasti beberapa pers dekat dengan grupnya Pak Mahfud. Kan itu intinya. Dan itu yang penting kita tertibkan juga sehingga sewaktu-waktu nanti kalau ada peristiwa lain yang memungkinkan orang bikin spekulasi, lalu orang call Pak Mahfud. Jadi ngaco jadinya. Masa Pak Mahfud jadi ngebocorin informasi. Jadi Pak Mahfud MD harus berfungsi secara profesional sebagai pejabat publik oke, boleh kasih sinyal, tapi jangan sinyal itu insinuasi. Bukan soal benar atau tidak, tapi prinsip bahwa pemerintah itu tidak boleh kasih sinyal untuk hal-hal yang sifatnya wilayah kriminal. (ida, sof)

Mahfud MD : Ada “Code Of Silence” pada Pengungkapan Kematian Brigadir Yoshua

Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD blak-blakan mengatakan ada tersangka baru dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Kasus yang awalnya penuh misteri itu kini menunjukkan kemajuan signifikan. Hal itu lantaran permasalahan politik dan hierarki yang disebut Mahfud MD sebagai psikopolitis dan psikohierarkis sudah bisa dieliminir. Berikut analisis dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (9/8/22).  “Tekanan publik semakin besar, dan media sudah menulis mengenai pengakuan bharada e terkait peristiwa ini yang memenuhi unsur-unsur pidana, kini publik bertanya-tanya sampai kapan Irjen Ferdy Sambo hanya diperiksa soal kode etik saja,” tutur Agi. Mahfud MD menilai jika pengungkapan kasus kematian Brigadir Yoshua memiliki kode senyap atau \'code of silence\'. Menurut Mahfud MD, kode senyap atau ‘code of silence’ adalah di mana seorang petugas memilih diam, menahan informasi sesuai keinginan sendiri atau adanya tekanan pihak lain. “Perkembangannya sebenarnya cepat, kasus yang seperti itu yang punya \'code of silence\' itu sekarang sudah ada tersangka, kemudian pejabat-pejabat tingginya sudah dimutasi,” kata Mahfud MD. Sebelumnya, melalui hasil pemeriksaan terakhir, penyidik telah merilis penetapan dua tersangka kasus tewasnya Brigadir Yoshua. Pertama, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dengan sangkaan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Adapun Brigadir RR ditersangkakan lantaran ada dua bukti yang sudah cukup kuat mendukung keputusan tersebut. Sayang, bukti itu belum bisa dibagikan ke muka publik. Menambah daftar pelaku, satu nama kini dihadirkan penyidik untuk melengkapi keping teka-teki penembakan itu. Penetapan tersangka baru ini, menurut Mahfud MD kemungkinan besar akan mengarah pada peran dari Bharada E dan Brigadir RR, serta tersangka lain sebagai eksekutor atau intelektual. (Lia)  

Hersubeno: Apa yang Dikatakan Edy Mulyadi Merupakan Peran Pers

Jakarta, FNN -  Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara ‘tempat jin buang anak’ dengan terdakwa Edy Mulyadi, Selasa (9/8/22). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi meringankan terhadap kasus Edy Mulyadi. Dua saksi yang dihadirkan, yaitu Ahmad Khozinuddin dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief. Ahmad Khozinuddin merupakan seorang pengacara dan juga seseorang yang mengundang Edy sebagai narasumber dalam kegiatan yang ia inisiasikan pada 17 Januari 2022 lalu Ahmad mengatakan semua yang Edy sampaikan adalah data-data yang dikutip langsung dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait persoalan tambang di wilayah yang direncanakan akan dibangun Ibu Kota Negara (IKN).  Usai saksi Ahmad memberikan keterangan dalam sidang, Edy dipersilahkan oleh Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar untuk memberikan tanggapan. “Benar semua keterangan dari saksi. Terima kasih,” tutur Edy. Pada kesempatan itu Edy sempat meneteskan air mata dan melepaskan kacamatanya, lalu mengusap matanya dengan sapu tangan. Ia menyampaikan alasannya menangis dalam persidangan. Menurutnya, Ahmad merupakan sahabatnya juga selaku saksi yang sangat menguasai persoalaan yang terjadi. “Saya terharu karena Ahmad ini memang sahabat saya. Kita keliling-keliling dan yang paling penting dia dalam fasilitas saksi dan lawyer sangat menguasai persoalan. Pembelaan-pembelaan itu begitu clear. Memang tentu ada unsur subjektivitas, tapi saya rasa unsur objektivitasnya dengan fakta-fakta itu membuat saya terharu,” ungkapnya. Selanjutnya, Hersubeno juga memberikan pembelaan terhadap Edy, menurutnya, apa yang disampaikan Edy itu merupakan peran pers melakukan advokasi terhadap kepentingan publik, karena Edy merupakan seorang wartawan dari Forum News Network (FNN). Hersu menegaskan bahwa Bang Edy Channel merupakan bagian dari produk jurnalistik FNN yang sudah didaftarkan di Dewan Pers. “Peran dari jurnalisme itu selain menyebarkan informasi, edukasi, ada juga advokasi yaitu berkepihakan kepada publik. Apa yg dilakukan Edy adalah salah satu peran pers dalam berkepihakan kepada publik,” kata Hersu. Kemudian, Hersu juga menjelaskan tugas pers itu ialah mengkritisi mereka yang sedang berkuasa bukan menjilat para penguasa,“kalau dia tidak kritisi terus itu bukan pers, namanya humas,” tambahnya. Edy memberikan tanggapan terhadap pernyataan Hersubeno bahwa saksi menjelaskan dengan sangat clear. “Alhamdulillah kedua saksi menjelaskan dengan sangat clear, seperti yang dikatakan saksi kedua yakni Hersubeno bahwa wartawan itu harus kritis dan skeptis, untuk masalah lingkungan walhi sudah sangat kredibel dan sungguh sangat layak dikutip,” pungkas Edy. Dalam catatan FNN, Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dan penyebaran berita bohong atau hoax pada 31 Januari 2022. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia lantas ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Edy terjerat perkara ini karena komentarnya terkait Ibu Kota Negara (IKN) baru sebagai tempat pembuangan jin. Padahal ia sudah minta maaf atas pernyataannya itu. Edy Mulyadi tetap harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022) sebagai sidang perdana. (Lia)

Pemeriksaan Ferdy Sambo oleh Komnas HAM Dijadwalkan Kamis

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menjadwalkan pemeriksaan dengan meminta keterangan Irjen Pol. Ferdy Sambo, Kamis (11/8), berkaitan dengan kasus kematian Brigadir J.\"Kami sedang mencari jadwal yang pasti dan sedang bernegosiasi; tapi sebisa mungkin di Komnas HAM,\" kata Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Terkait materi atau gambaran apa saja yang akan ditanyakan Komnas HAM kepada Ferdy Sambo, Taufan enggan memberitahu karena hal tersebut masuk ke ranah penyelidikan.Sebelum jadwal pemeriksaan Ferdy Sambo, Komnas HAM mengagendakan permintaan keterangan terkait uji balistik dengan Tim Khusus (Timsus) Polri pada Rabu (10/8). Agenda tersebut sebelumnya mengalami penundaan beberapa kali karena permintaan dari Polri.\"Kami sangat berharap timsus maupun penyidik Mabes Polri supaya agenda besok yang sudah disepakati betul-betul dipenuhi agar tidak tertunda-tunda,\" imbuhnya.Sementara itu, Selasa, tim Komnas HAM baru saja selesai meminta keterangan dari Polri terkait siber. Pemeriksaan tersebut diketahui tidak berlangsung lama yakni sekitar 30 menit.Taufan menjelaskan permintaan keterangan siber melengkapi bahan yang telah dikumpulkan. Semua bahan dan keterangan tersebut akan dianalisis secara internal untuk kemudian dibuat kesimpulan.\"Bahannya tentu saja semakin banyak memberikan informasi dan data-data yang memperjelas masalah ini,\" jelasnya.Sementara itu, Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan pihaknya menggunakan skenario urutan waktu sendiri dalam penyelidikan kasus kematian Brigadir J.Terkait adanya perbedaan keterangan Bharada E di awal dan setelahnya, hal tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Komnas HAM dalam mengusut kasus itu. \"Kami belum bisa simpulkan saat ini,\" ujar Anam. (Ida/ANTARA)

Penetapan Tersangka Tak Menghambat Penyelidikan, Tegas Komnas HAM

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan penetapan tersangka sejumlah ajudan Irjen Polisi Ferdy Sambo oleh kepolisian tidak menghambat proses penyelidikan yang dilakukan lembaga HAM tersebut.\"Sejak awal, Pak Wakapolri dan Pak Irwasum bersepakat dengan Komnas HAM untuk bersinergi,\" kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Selasa.Hingga saat ini, tegas Taufan, koordinasi dengan kepolisian berjalan sesuai komitmen di awal. Bahkan, jika ada hal-hal yang kurang jelas, baik Komnas HAM maupun Polri bisa saling bertanya.\"Jadi tidak ada sama sekali yang menghambat,\" ujarnya.Taufan mengatakan Tim Khusus Polri bekerja untuk mencari fakta sama halnya dengan tim dari Komnas HAM yang juga mencari fakta terkait kematian Brigadir J. Sehingga, tidak ada pihak-pihak yang menghambat penyelidikan maupun penyidikan.Pada kesempatan itu, Taufan mengatakan adanya perbedaan pernyataan atau keterangan yang disampaikan oleh Bharada E saat awal diperiksa dan sesudahnya, Komnas HAM akan kembali memeriksa yang bersangkutan. \"Sangat mungkin kita periksa ulang,\" ucap dia.Senada dengan itu, Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan sejak awal lembaga itu berangkat dari permintaan keterangan keluarga Brigadir J di Provinsi Jambi, termasuk pacar Brigadir J.Setelah itu, Komnas HAM mulai menata konstruksi peristiwa termasuk masalah waktu dan sebagainya. Kemudian barulah dilakukan permintaan keterangan terhadap semua pihak yang masuk dalam peristiwa tersebut.Permintaan keterangan kepada Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri, tim siber, ajudan dan lain sebagainya tersebut berangkat dari semua konstruksi peristiwa yang diperoleh Komnas HAM dari Jambi. (Ida/ANTARA)