HUKUM
Untuk Penyalahguna Narkotika, Hukuman Penjara Tidak Menyelesaikan Masalah
Jakarta, FNN - Ahli hukum narkotika Komjen Polisi (Purn) Anang Iskandar mengatakan pemberian hukuman penjara kepada penyalahguna narkotika tidak akan membuat jumlah penyalahguna narkoba menurun tapi malah meningkat.\"Jangan kaget kalau masalah narkotika itu terus naik karena penyalahguna-nya tidak disembuhkan, dia orang sakit tapi tidak disembuhkan malah dipenjara,\" kata Anang dalam webinar bertajuk \"Forum Koordinasi Perlindungan Anak dari Narkoba berbasis Sekolah, yang diikuti di Jakarta, Jumat.Menurutnya penyalahguna narkotika adalah orang yang menderita sakit adiksi akibat ketergantungan narkotika sehingga perlu untuk direhabilitasi.\"Langkah yang diutamakan adalah merehabilitasi, karena mereka adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika, mereka ini harus dilindungi dan diselamatkan agar masa depannya bisa kembali normal,\" katanya.Dia mengatakan Undang-Undang Narkotika bahkan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi kepada penyalahguna narkotika, baik terbukti atau tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika.\"Istilahnya tidak pas ya kan, orang sakit ketergantungan narkotika atau kecanduan tapi dihukum-nya dengan hukuman penjara padahal Undang-Undang Narkotika memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika,\" katanya.Oleh karena itu pihaknya meminta para guru untuk mencegah anak didiknya menggunakan narkotika karena bagi yang sudah ketergantungan narkotika, akan sulit untuk dicegah menggunakan narkotika kembali.Mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan definisi dari narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Anang menambahkan pada dasarnya narkotika adalah obat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis, namun memiliki efek samping dapat menyebabkan ketergantungan jika dikonsumsi tanpa petunjuk dokter.\"Jadi halal bila dikonsumsi atas petunjuk dokter, ya memang narkotika itu obat, obat sakit nyeri, obat mengurangi/ menghilangkan rasa sakit, tapi ingat, bisa menimbulkan ketergantungan,\" katanya. (Ida/ANTARA)
Ketidakpercayaan Publik Meluap, Negara Ini Harus Ditata Ulang
Jakarta, FNN - Insiden tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat terus meyedot perhatian publik sejak awal kasus ini diumumkan. Kini kasus tersebut memasuki babak baru dengan penetapan status tersangka kepada Bharada E yang terlibat dalam penembakan terhadap Brigadir Yoshua. Meski demikian, publik masih menyoroti terkait beberapa kejanggalan yang berujung pada lahirnya spekulasi liar. Situasi ini melahirkan antara terbenturnya spekulasi di publik dan keterangan atau penjelasan pihak kepolisian. Akademisi dan Pengamat Politik Rocky Gerung angkat suara lewat kanal YouTube miliknya Rocky Gerung Official dalam perbincangan bersama wartawan senior FNN Hersubeno Arief, Jumat, 6 Agustus 2022. Petikannya: Kalau sekarang yang paling aktual adalah penetapan Bharada E atau Bharada Richard Eliazer sebagai tersangka. Kemudian orang jadi bertanya-tanya, kalau kemudian disebut motifnya bukan membela diri apa urusannya Bharada Richard ini menjadi pelaku pembunuhan terhadap Brigadir Joshua. Kan orang bertanya-tanya, jangan-jangan ini dia cuma dikorbankan saja gitu. Kan Anda selalu persepsinya akan dari situ. Dari soal bagaimana keberpihakan kepada kelompok yang lemah. Ini akibatnya kalau penundaan makin lama maka komposisi lagu bisa berubah-ubah. Kita terpaksa musti melihat partitur awalnya apa sih sehingga kok terlihat semacam komposisi yang diubah-ubah. Arangernya siapa? Jadi kalau kita tahu itu maka dengan mudah kita bisa duga bahwa ini ada sesuatu yang lebih tinggi yang harus diselamatkan, yang sering kita sebut “janganlah ada konflik antar-bintang di langit terus ada batu di bawah yang ketiban”. Jadi nggak boleh begitu. Tetapi, publik sudah merasa bahwa terlalu jauhlah permainan ini. Jadi itu yang menyebabkan semua orang akhirnya menduga bahwa ini sudah masuk pada soal yang lebih rumit lagi, karena soal sikut menyikut di antara bintang, karena soal order meng-order, karena soal sebut saja bahkan gengsi antar-angkatan. Jadi semua hal sehingga orang menganggap ya sudah mau diapain lagi kalau keterangan-keterangan itu berseliweran. Tapi tetap, kita ingin lihat bahwa Polisi balikin kasus ini pada ketajaman ilmu pengetahuan, sebelum berkembang makin jauh. Lalu Pak Listyo Sigit mungkin merasa bahwa ini kesempatan dia terakhir untuk menunjukkan bahwa dia punya kemampuan untuk mengatur resolusi itu. Jadi jangan sampai kasus ini berakhir pada berantakannya institusi. Lalu semua saling salah menyalahkan. Padahal, dari awal keterangan yang berantakan itu justru datang dari penyidikan awal kan. Jadi intinya itu tuh. Tetapi, tetap Ibu Putri harus diproteksi kalau beliau sudah sehat baru dimintai keterangan. Demikian juga hasil otopsi itu, harus terbuka walaupun masih perlu waktu mungkin 2 bulan lagi. Tetapi, mencicil keterangan itu terlihat terlalu berbahaya karena ini melawan opini publik. Opini publik juga kadangkala masuk dalam kekonyolan dan mulai dengan sensasi. Jadi pertandingan sebetulnya antara opini publik dan opini institusi. Kenapa begitu? Karena opini publik dari awal mencurigai syarat-syarat saintifik yang sedang dipakai. Dan itu dibuktikan bahwa dua kali diotopsi artinya ada syarat-syarat saintifik yang dilanggar. Demikian juga kepolisian musti rapi karena ada soal tingkatan-tingkatan kebintangan. Dan ini menjadi masalah yang akan menumpuk di dua minggu ke depan atau dua bulan ke depan begitu otopsi diambil. Tetap isu ini akan dituntut oleh publik. Lain kalau isu korupsi mungkin dalam dua hari dua minggu juga selesai. Tapi ini karena ada berbau skandal, bukan sekadar skandal privat tapi skandal institusi. Itu yang kita ingin cegah jangan sampai skandal privat ini dieksploitasi, skandal institusi dieksploitasi, lalu kasusnya sendiri hilang di dalam ingatan publik. Saya banyak mendapat dapat chatting yabegitu tadi malam ditetapkan Bharada Richard ini sebagai tersangka, lo kok jadi antiklimaks ya Mas? Ini memang penting kita sampaikan supaya Pak Kapolri maupun polisi punya catatan bahwa mereka ini sekarang bekerja bukan hanya mereka harus cepat menyelesaikan, tapi mereka harus cepat-cepatan dengan logika publik. Karena semakin lama logika publik semakin tidak percaya. Iya, kalau tidak percaya masih mungkin dibuat percaya. Tapi kalau logika publik sudah dineal, nggak mau lagi diatur dengan logika sain, itu bahaya. Begitu logika publik menolak logika saintifik maka hancur negeri dan sistem penegakan hukum kita. Itu yang terjadi dalam semua kasus. Jadi ini kasus tembak menembak ini cuma aspek kecil dari meluapnya ketidakpercayaan orang pada institusi. Di kasus lain juga banyak, apalagi kasus korupsi. Jadi orang merasa bahwa ya sudah satu paket saja. Negara ini sebaiknya ditata ulang dari awal, dan yang menata ulang itu harus pergi pada perubahan kekuasaan tertinggi, perubahan politik, kekuasaan, macam-macamlah. Jadi ini taruhannya bagi Pak Listyo Sigit, juga terhadap presiden karena kasus ini ada di depan mata presiden dan kepolisian itu betul-betul sekarang sudah ada di bawah Presiden, sebagai institusi diperintah oleh Presiden, jadi keadaan itu yang harus kita... Kita sudah tahu sebetulnya, bedah anatomi sudah tahu siapa yang lempar isu duluan, siapa yang bilang kemudian ngompori, siapa yang kemudian ingin dapat keuntungan, partai mana yang pertama kali menganggap ini soal yang menyangkut pertandingan orang nomor satu di Polri. Jadi semua hal akhirnya harus diuji ulang, diriset ulang, perlahan-lahan tapi dengan ketertiban metodologi. Iya, dan ini saya kira tetap menjadi sulit karena sejak awal saya menyebutnya lapangannya sudah becek. Ya, itu intinya. Lapangan becek dan yang main di situ kan nggak jelas. Wasit sama penonton pun turun. Dan sinyal dari Pak Jokowi melalui Pak Mahfud kemaren kan dipercepat. Itu artinya, ada sesuatu yang melebihi apa yang kita intip sebagai sensasi. Jadi, Pak Mahfud harus terus-menerus ucapkan lagi apa yang dimaksudkan waktu itu. Jangan sekadar mengejar tikus lumbungnya terbakar. Dan Presiden Jokowi 2-3 kali memberi ketegasan itu. Tapi tetap, soal kita balik pada isu awal, ada tembak-menembak, ada korban, ada yang sekarang diproteksi oleh lembaga perlindungan saksi segala macam. Nah, sekarang ada faktor baru bahwa Bharada E adalah tersangka. Nah, ketersangkaan itu juga bisa panjang karena musti diulangi lagi rekonstruksi segala macam. Tetapi, minimal ada hal yang orang lihat ada titik terang bahwa oke itu adalah semacam lompatan-lompatan kejadian yang terlalu jauh, itu juga harus diterangkan dengan terang benderang oleh kepolisian. Bahwa ketersangkaan itu dalam soal apa. Itu yang ingin segera orang tahu, tersangka sebagai apa? Ini soalnya. Nah, satu hal dan orang juga paham, ini ada persoalan perang bintang dan saya kira belakangan ini bagaimanapun kan peran polisi ini begitu dominan dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dan ini kemudian mengingatkan kita pada masa lalu, peran semacam ini dipegang oleh TNI, terutama oleh Angkatan Darat. Tetapi, sekarang polisi ini kan berbeda dengan Angkatan Darat. Dia bahkan sampai masuk ke kehidupan kita sehari-hari karena berkaitan dengan masalah Kamtibmas. Saya kira persoalan-persoalan begini ini kalau kita biarkan nanti menyeret-nyeret lembaga kepolisian ke arah politik juga sangat berbahaya. Bukan hanya bangsa, tapi juga instansinya sendiri sangat berbahaya. Saya kira sudah terseret karena dari awal proses pengangkatan Kapolri itu dimensi politik tinggi sekali. Padahal, kita tahu dari awal polisi itu adalah manusia sipil, agen sipil, institusi sipil yang dipersenjatai. Jadi pertama-tama dia adalah lembaga sipil, lalu dipersenjatai untuk peran-peran penertibsn atau ketertiban. Jadi sangat mungkin lembaga yang seharusnya dikelola secara mental sipil ini, karena kemudian dipolitisir maka senjata yang seharusnya dipergunakan untuk ketertiban, dia bisa diubah menjadi alat untuk menekankan. Kan itu buruknya di situ. Dan kita ingin sebetulnya betul-betul dikembalikan, yang kita sebut sebagai sipil yang dipersenjatai, itu beda dengan tentara yang memang kedudukan utamanya adalah senjata. Di belakang senjata adalah orang. Kalau polisi yang di depan adalah orang, yang dibelakang senjata. Itu bedanya. Ini yang harus kita perhatikan supaya ada rasa bangga kita punya polisi yang bermutu dan tidak diintervensi oleh para politisi. Tetapi, itu juga butuh perubahan total. Itu cara kita menghasilkan demokrasi. Sekarang kita tahu bahwa Polisi Kejaksaan itu dekat dengan lobi-lobi politik. Itu bahayanya begitu. Di luar itu ada masalah lain tentang kelakuan oknum-oknum polisi yang terlibat di dalam berbagai macam bisnis gelap. Itu yang sudah dibersihkan sebetulnya dari awal oleh Pak Sigit. Tetapi, di ujung masa jabatannya, ia diuji akhirnya. Apakah betul presisi itu berlaku untuk semua orang atau akan ada grouping, akan ada senioritas, lalu terhenti kasus-kasus semacam ini. Iya ya. Jadi, sebenarnya kita bisa melihat kehebohan atau carut marut kasus tewasnya Brigadir Yosua ini ada semacam sebenarnya ini cuman simptom gitu ya. Betul. Ini simtom dari bisul yang besar, yang kemudian akhirnya orang ingin tau bisulnya apa penyebabnya? Infeksikah? Atau sengaja digelembungkan sebagai bisul sehingga kalau pecah efeknya bisa ke mana-mana nanahnya. Jadi kita nggak mau melemahkan institusi kepolisian. Jadi tetap dua hal, soal proteksi human right, proteksi hak-hak korban, yaitu Ibu Putri dan Pak Yosua; dan proteksi marwah institusi. Kan itu aja sebetulnya. Yang publik ingin lihat itu. Karena itu, percepat dan lakukan sesuatu yang betul-betul membuat publik percaya bahwa pekerjaan yang lagi dilakukan Pak Sigit ini adalah pekerjaan untuk memulihkan kembali peradaban demokrasi, karena ini menyangkut juga keterbukaan informasi. Sebelum demokrasi, informasi itu nomor satu. Dan keutuhan lembaga ini supaya betul-betul kasus ini clear, nggak ada lagi di belakang hari itu ikutannya banyak. Derivat dari kasus ini kan banyak betul, mulai dari adanya isu perjudian, money laundring mungkin. Macem-macem itu. Jadi semua soal ini yang harus dimulai dengan prinsip pertama, lakukan analisis kriminal murni, setelah itu putuskan di pengadilan, terbuka, dan itu selesai. Hal-hal yang menyangkut itu ya diselesaikan oleh institusi kepolisian di luar proses pidana
Siber Memeriksa 10 Handphone Terkait Kematian Brigadir J
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyebutkan hingga saat ini tim siber Polri telah memeriksa 10 telepon seluler (handphone) terkait dengan kematian Brigadir J.\"Tim siber sudah mengumpulkan 15 handphone dan 10 di antaranya sudah diperiksa. Sementara lima lagi sedang dianalisa,\" kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Jumat.Ia mengatakan berdasarkan permintaan keterangan dari tim siber, Komnas HAM mendapatkan foto, dokumen, kontak, akun, termasuk sejak kapan percakapan dilakukan.\"Termasuk temuan digital lainnya,\" kata Beka.Selain itu, kepada Komnas HAM, tim siber juga memperlihatkan sejumlah dokumen administrasi penyelidikan. Terakhir, lembaga itu mendapatkan sejumlah raw material (bahan dasar) soal percakapan.Hasil paparan berupa percakapan, foto, dokumen, kontak dan lain sebagainya akan dianalisa lebih lanjut oleh Komnas HAM.Pada kesempatan itu, Beka juga mengatakan pada awalnya Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan atau permintaan keterangan terkait uji balistik.Namun, hal tersebut ditunda karena tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri menyampaikan adanya perkembangan terbaru.Permintaan keterangan terkait komunikasi yang didapatkan melalui handphone tersebut berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dan baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB.\"Jadi, hari ini kami meminta keterangan dari tim siber dan Timsus terkait komunikasi yang didapatkan dari handphone, bukan balistik,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)
Ternyata Bharada E Bukan Jago Tembak
Jakarta, FNN – Kasus baku tembak antara Bharada E dengan Brigadir J belum berakhir. Terbaru, fakta soal sosok Bharada E yang ditemukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kali ini, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, dalam penelaahan pihaknya didapati kalau anggota Brimob asal Manado itu diketahui baru memegang senjata api sekitar tujuh bulan sebelum peristiwa Jumat berdarah di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Edwin juga memastikan kalau Bharada E bukanlah anggota polisi yang mahir menembak. Ia mendapat temuan bahwa Bharada E baru melakukan latihan menembak lagi pada Maret 2022. Jika dihitung dari insiden yang menewaskan Brigadir Yoshua itu rentang waktu nya cukup jauh dari terakhir kali Bharada E berlatih menembak. Dalam temuan LPSK belakangan ini didapati keterangan kalau Bharada E baru menggunakan pistol jenis Glock pada November 2021 dari Divisi Propam Polri. Kendati demikian, terhadap keterangan tersebut kata Edwin masih dalam penelaahan sekaligus investigasi oleh LPSK. Tak hanya itu, dalam penjelasannya selama menjalani pemeriksaan assessment psikologis di LPSK, Bharada E kata Edwin belum pernah terlibat baku tembak dengan orang lain manapun. Dalam artian lain, kejadian yang menewaskan Yoshua merupakan insiden pertama Bharada E terlibat baku tembak. Atas bukti-bukti itu, Edwin membantah informasi yang menyebut Bharada Eliezer adalah seorang sniper alias penembak jitu. Berdasarkan fakta yang beredar, wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Jumat (5/8/22) di Jakarta, mengatakan penjelasan dari Bharada E ke LPSK sangat berbeda dari informasi sebelumnya. “Sebelumnya dia dikatakan jago menembak bahkan menjadi inspektur tembak, padahal penjelasaan LPSK bahwa Bharada E belum mahir menembak, bagaimana bisa dibilang mahir apalagi instruktur tembak kalau dia mulai memegang senjata November 2021 dan baru latihan kembali bulan Maret lalu, namun tembakannya tepat, sementara Yoshua yang diketahui sebagai sniper, tembakannya tidak terkena tubuh Bharada E,” tuturnya. Kendati demikian, atas pernyataan tersebut LPSK kata Edwin masih akan melakukan pendalaman pemeriksaan termasuk meminta keterangan dari penyidik Bareskrim Polri untuk mengkomparasi keterangan Bharada E. (Lia)
Sambo dan Dua Jenderal Lainnya Dicopot serta Diperiksa Momentum Kapolri Bersih-Bersih
Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat gebrakan dengan mencopot tiga jenderal, termasuk Irjen Ferdy Sambo dari Kadiv Propam, terkait tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Ini merupakan langkah bersih-bersih yang dilakukan Kapolri terhadap “tangan-tangan kotor\" yang mencoreng institusi Polri. Demikian perbincangan pengamat politik Rocky Gerung dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis, 04 Agustus 2022. Petikan lengkapnya: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai bertindak cepat ini, bersih-bersih. Dan yang paling banyak dibersihkan ini divisi Propam. Propam ini kan harusnya tempat yang untuk membersihkan polisi, tapi justru ternyata propramnya yang sekarang dibersihkan. Ini disebut revolusi institusional. Karena propam itu kan semacam opposite comitee yang mau buat segala macam soal. Dan memang betul, akhirnya harus ada yang dinyatakan sebagai penanggung jawab kasus ini. Kenapa? Karena Sambo adalah kepala propamnya maka supaya fairness-nya jalan, aparat dan sebut saja yang biasa diucapkan, anak buah-anak buahnya juga harus jadi tidak dilibatkan dalam proses ini. Karena memang ada hirarki di dalam Propam kalau bosnya terlibat atau diduga terlibat, maka etikanya yang lain di bawahnya juga harus diperiksa atau diberhentikan sementara untuk supaya intervensi tidak berlangsung. Nah ini profesionalisme biasa saja sebetulnya. Tetapi, orang menduga ini ada yang lebih jauh dari itu. Kan mustinya ya sebagai individu yang diduga terseret dalam kasus pidana ini, ya Pak Sambo saja yang diberhentikan kan. Yang lain nggak perlu. Tetapi, karena kita tahu bahwa cara melihat kepolisian itu harus lebih dari sekedar orang, tapi ada semacam geng begitu, dalam pengertian sekarang itu, jadi geng siapa yang yang bermain. Kan itu yang sekarang diinsinuasikan di dalam kondisi sekarang. Kita ingin agar supaya betul-betul kalau memang seluruh perwira tinggi menengah dan aparat di situ hendak diperiksa, pasti hendak diperiksa maksudnya kan? Kalau nggak ya ngapain dinonaktifkan, supaya kedudukan dia tidak memengaruhi proses pemeriksaan. Itu bagus juga sebagai sinyal. Tapi lebih dari itu kita ingin dapat satu kepastian bahwa bersih-bersih Polri ini jadi momentum untuk bersih seluruh bagian di dalam Polri. Itu yang diinginkan oleh publik. Saya kira menarik ini karena ini luar biasa tiga bintang 3 ,di luar Sambo ya tentu saja, ada tiga Jenderal bintang satu, ada lima Kombes, Kombesnya juga sebentar lagi bintang, kemudian tiga AKBP, dan yang lain total 25 orang. Tapi kalau saya sih melihatnya, kenapa dipindahin ke Yanma ya? Yanma itu kan pelayanan masyarakat. Bukankah Yanma itu harusnya menjadi front line, jadi wajah depan dari polisi? Kalau orang bermasalah semua dipindahin ke Yanma ini dia sendiri lagi bermasalah, bagaimana menghadapi rakyat? Tapi bayangin kesulitan Pak Listyo Sigit, ini mau dipindahin ke mana ya? Dan mungkin yang masih kosong itu karena ya bagian-bagian itu dianggap nggak terlalu menjadi sorotan. Nanti kalau dipindahin ke wilayah yang lain juga dianggap bahwa ini hanya sekadar ingin diselimuti sedikit. Kalau di Yanma kan langsung kelihatan bahwa oh iya, mereka ada di situ. Jadi, setiap hari rakyat atau pencari keadilan akan melapor dan mungkin akan minta supaya bertemu dengan Pak Sambo di situ, bertemu beliau di Yanma. Jadi mendua sebetulnya kita melihat itu. Atau betul-betul dimaksudkan untuk ya Yanma ini kan tempat orang untuk melihat di awal, pelayanannya bagus apa nggak? Itu Pak Sambo punya pengetahuan banyak karena beliau sudah pernah jadi petinggi lalu dikembalikan ke Yanma untuk melayani masyarakat. Kira-kira itu dulu paradigma yang kita bayangkan. Kita paham, tapi ini menurut saya, ke depan paradigma ini perlu diubah, karena termasuk juga Litbang. Dulu kan begitu, kan kalau ada orang yang mau digeser begitu, dilitbangkan. Padahal, kita tahu bahwa Litbang itu di negara-negara maju justru itulah yang menjadi jantungnya, termasuk juga pelayanan masyarakat ini frontline, customer service. Jadi harus enak dan pelayanannya harus bagus. Sekaligus kita benahi itu. Cara orang memandang Yanma. Sebetulnya di situ, yang disebut aspek kepolisian itu ada di situ, sebagai pelayan segala macam. Tapi lembaga-lembaga Litbang itu lembaga yang bermutu, tapi kok dianggap hasil buangan. Sementara BRIN yang setara dengan Litbang itu justru dianggap buat nampung kepentingan. Kan begitu, dalam skala yang lebih luas. Atau kalau di DPR ada yang namanya lembaga atau bagian hubungan luar negeri. Itu biasanya yang ribet di dalam negeri disuruh di bagian luar negeri saja supaya mondar mandir luar negeri saja. Kira-kira itu soalnya. Kita balik pada tadi, upaya untuk membenahi institusi. Karena ini institusi nggak boleh rapuh karena menjelang Pemilu, bahkan menjelang potensi perang dunia ke-3. Jadi polisi harus benar-benar kuat. Kesulitan ekonomi juga harus betul ditampilkan melalui wajah polisi yang mengayomi, sekaligus memberi rasa damai, tetapi juga memberi prospek bahwa Indonesia bisa melalui kesulitan ekonomi, politik, sosial, bahkan kesulitan global. Itu kan yang diinginkan. Jadi, betul Pak Sigit lakukan saja satu kali tarik nafas, seluruh soal yang selama ini dibebankan pada Polri atau Polri terbebani oleh repuatsi publik yang negatif, bisa dipulihkan reputasinya. Ya kan kita juga kemarin bahas bahwa ini hanya simptom, apa yang terjadi pada kasus ini. Tetapi, kita juga melihat ini sebagai sebuah momentum. Karena seperti kita juga anggak bahwa sekarang ini sudah mulai polisi ini sekarang menjadi salah satu organisasi terkuat di Indonesia, lembaga negara yang terkuat. Tetapi, kita melihat juga sudah ditarik kepentingan politik sana sini. Dan ini saya kira akan berbahaya jika lembaga seperti kepolisian tidak bersifat imparsial. Sifat imparsial itu yang dituntut publik karena bisnis yang di-backup oleh aparat di bawah, oknum, segala macam, kasak-kusuk untuk mengatur politik lokal saiapa yang musti menjadi Bupati, dan itu terbaca. Dan jurnalis lokal juga tahu ada satu keadaan di mana polisi terlalu ikut campur. Itu artinya diperintahkan oleh Kapolrikah; diperintah oleh gengkah; diperintah oleh angkatankah; atau diperintah oleh individuka? Jadi, kasak kusuk ini yang bikin orang akhirnya lihat polisi sebelah mata tuh. Padahal ini adalah institusi negara yang musti kita rawat sama-sama dan kita berikan kelegaan pada polisi untuk mengatur dirinya sendiri, tapi dengan aspek kesipilan itu. Kan itu yang orang inginkan. Dan kesipilan itu membutuhkan value sipil, supermation of sipil value. Hal-hal semacam ini yang kadangkala luput karena persaingan di dalamnya. Persaingan itu disponsori oleh partai poltik pasti. Ini bahayanya kalau partai politik juga nggak bisa menahan diri untuk merawat polisi sebagai institusi negara. Dia bukan institusi politik. Tapi yang bermain politik di situ macam-macam karena tarik-menarik kedudukan pejabat tinggi di Polri itu selalu harus diputuskan di DPR. DPR adalah tempat bermain. Politik itu pasti adalah uang. Uang di belakangnya pasti ada kepentingan. Jadi, soal ini yang saya kira Pak Listyo Sigit mengerti itu. Tapi dia harus berhati-hati juga, sebab kalau enggak Pak Listyo Sigit ini yunior sebetulnya di kalangan senior yang sudah matang melihat peta. Nah itu ujiannya Pak Sigit ada di situ. Kita percaya bahwa soal yunior - senior bukan itu intinya. Yang penting berintegritas atau enggak dalam mengupayakan pelayanan publik. Yang juga bikin heboh ini, selain kasus soal tewasnya Yosua di rumahnya, ini kan orang kemudian berdasarkan yang diungkap oleh Usman Hamid, dia menjadi ketua Satgas khusus. Ini kan semacam lembaga yang tidak ada dalam nomenklatur dari polisi dan kita tahu ada keterbatasan operasi-operasi dan seni. Begitu ada lembaga-lembaga semacam ini, kemudian mereka berpikir dana operasional. Dan operasional ini berpotensi yang dana non-budgeter. Dan kalau dana non-budgeter itu berarti kemudian ya kita tahu pasti akan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kan itu berbahaya. Ya, itu kecurigaan muncul lagi di situ. Tapi, oke, saya anggap bahwa Pak Sambo kooperatif karena sangat kooperatif diperiksa di Polres Jakarta Selatan oleh penyidik yang betul-betul profesional. Tapi, sekali lagi di pemeriksaan ini harus dikaitkan dengan tadi, lembaga mana yang paling otoritatif untuk mengasuh paling nggak mengasuh dulu kasus ini supaya dia betul jadi kasus kriminal kan? Kan itu pentingnya. Jadi kalau ada Irjen khusus dan lembaga khusu atau panitia khusus, itu mungkin dimaksudkan begitu. Tetapi kekhususan itu tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya untuk memberi khusus juga pada kasus ini. Jadi tetap kasus pidana yang harus diteliti dan hasil penelitiannya harus dibuka pada publik. Jadi, jangan lembaga khusus ini justru menyimpan rahasia yang dituntut oleh publik. Kan itu intinya. Bahwa secara teknis tidak semua harus dibuka, tapi publik dikasih kesan bahwa tim khusus ini atau apapun namanya, dimaksudkan untuk menerangkan keadaan. Dan itu yang saya tangkap dari Pak Sambo bahwa waktun dia diwawancara dia bilang oke saya sudah penuhi kewajiban saya sebagai terperiksa dan saya sudah kunjungi atau penuhi undangan untuk memeriksa saya di Kapolres Jakarta Selatan, bagian yang memang locus delicti-nya itu. Dan Pak Sambo bilang ya selebihnya saya serahkan pada tim khusus itu dan sepertinya akan jadi terang benderang. Itu sinyal yang bagus. Dan saya kira ini menjawab juga sinyalemen dari Pak Mahfud MD. Beliau kan bagaimanapun sebagai Menko Polhukam memulai kepolisian dan secara eks ovisio adalah ketua Kompolnas, Komisi Polisi Nasional. Karena dia menyebut misalnya ada hambatan psikokhirarkis dan ada hambatan psikopolitis. Nah, hambatan psikokhirarkis saya kira sudah selesai dengan dicopotnya Pak Sambo, kemudian juga yang lain-lain tadi ada 25 orang yang diambil tindakan disiplin, dan kemungkinan juga ke bisa bergulir ranah pidana. Yang susah ya itu tadi, yang disebut soal psikopolitis. Dan ini sama-sama kita tahu memang itu terjadi kan. Ya, tetap saya kritik Pak Mahfud karena beliau terlalu banyak komentar tuh. Bahkan orang bingung ini Menko atau Pengamat Politik atau bagian dari youtuber atau Twitter yang beri komentar tapi seperti kurang proporsional. Kan ada semacam keteguhan prinsip pada Pak Mahfud justru untuk menghormati proses hukum ini. Jadi, bagian ini sebetulnya orang ingin dengar dari Pak Mahfud sebagai keterangan yang profesional sebagai pejabat negara. Itu soalnya. Pak Mahfud ngapain ngomng ini soal khirarkipolitis. Kalau kita pengamat memang, jadi melakukan pengamatan itu. Pak Mahfud kan bukan pengamat. Lama-lama dia jadi analiser atau menjadi pengamat atau dia menjalankan fungsi pengetahuannya dia sebagai eks official Kompolnas. Kan itu intinya. Kalau eks official Kompolnas, ya ngomong sebagai eks officio. Dan orang akan dengar itu melalui keterangan yang diperoleh dari hasil sidang Kompolna. Kan begitu mustinya. (ida, sws)
Kapolri : Irjen Ferdy Sambo Dicopot, 3 Jenderal Diperiksa Terkait Tewasnya Brigadir Yoshua
Jakarta, FNN – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi mencopot jabatan tiga perwira tinggi kepolisian berpangkat jenderal bintang 2 atau inspektur jenderal (Irjen) dan jenderal bintang satu atau brigadir jenderal (Brigjen). Hal itu tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor 1628/VII/KEP/2022 Tanggal 4 Agustus 2022. Pencopotan tersebut buntut dari insiden tewasnya Brigadir Nofriansyah Hutabarat, pada Jumat, 8 Juli 2022, lalu. Jabatan Irjen Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri dicopot. Ia dimutasi sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas (Pati Yanma) Polri. Posisi Kadiv Propam kini dijabat oleh Wakabareskrim Irjen Syahardiantono. Selain Ferdy Sambo, perwira lain yang dicopot dari jabatannya, yakni Brigjen Hendra Kurniawan dicopot jabatannya dari Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Polri dimutasi sebagai Pati Yanma Polri. Lalu, Brigjen Pol Anggoro Sukartono yang sebelumnya menjabat sebagai Karo Waprof Divpropam Polri diangkat menggantikan jabatan yang ditinggalkan Hendra. Brigjen Benny Ali juga ikut dicopot dari jabatan sebagai Karo Provost Div Propam Polri lalu dimutasi sebagai Pati Yanma Polri. Kombes Pol Gupuh Setiyono lantas diangkat menggantikan posisi yang ditinggalkan Benny. Selain tiga nama tadi, terdapat personel kepolisian lain yang ikut dimutasi Kapolri imbas insiden penembakan terhadap Brigadir Yoshua tersebut. Sebelumnya, Kapolri Listyo mengatakan bahwa mereka telah menjalani pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus Tim Khusus (Irsus Timsus) Polri di bawah pimpinan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol. Agung Budi Maryoto. “Kita sudah memeriksa 3 personel pati, kombes 5 personel, AKBP 3 personel, kompol 2 personel, pama 7 personel, bintara dan tamtama 5 personel,” kata Kapolri saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8/2022). Selain itu, Kapolri membeberkan kesatuan personel Polri yang diperiksa. Kesatuan terdiri atas Ditpropam hingga Polda Metro Jaya. “Dari kesatuan Ditpropam, polres, dan juga ada beberapa personel dari polda, dan juga Bareskrim,” ungkap Sigit. Ke-25 personel ini masih terus menjalani pemeriksaan dan akan berkembang. Proses pemeriksaan terkait etika, namun tak menutup kemungkinan terkait proses pidana. “Tentunya kita ingin semua proses bisa berjalan dengan baik. Oleh karena itu, terhadap 25 personel yang saat itu telah menjalani pemeriksaan, kita akan menjalankan proses pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik,” pungkasnya. Di samping itu, juga akan diproses secara pidana apabila dari pemeriksaan yang berlangsung terdapat tindak pidananya. (Lia).
"Crime Investigation" dalam Kasus Brigadir J Diapresiasi oleh Pengamat
Jakarta, FNN - Pengamat intelijen Ngasiman Djoyonegoro mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam melakukan scientific crime investigation atau penyidikan berbasis ilmiah pada kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.Kapolri juga telah bersikap responsif, transparan, tegas, dan independen dalam penanganan kasus tersebut, kata Ngasiman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.\"Kapolri selalu menyampaikan bahwa pembuktian yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil atas suatu tindak pidana selalu berdasar pada scientific crime investigation sebagai upaya penguatan alat bukti dalam penanganan perkara pidana, termasuk dalam kasus meninggalnya Brigadir J,\" kata Ngasiman.Penyidikan berbasis ilmiah merupakan langkah Listyo Sigit sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik bahwa hasil penyidikan kasus tersebut benar-benar transparan dan dapat dibuktikan secara ilmiah.Polri menghimpun berbagai macam ahli, mulai dari unsur biologi, kimia forensik, balistik forensik, IT Forensik, hingga kedokteran forensik, sehingga unsur-unsur ilmiah dari pembuktian kasus pidana tersebut bisa terpenuhi.\"Komitmen keterbukaan dan ketegasan seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun stabilitas keamanan di masa yang akan datang. Saya optimistis sikap yang diambil oleh Kapolri akan meningkatkan integritas, independensi, dan kepercayaan publik pada institusi,\" jelasnya.Scientific crime investigation merupakan salah satu dari empat langkah strategis yang diambil Listyo Sigit Prabowo. Langkah lainnya adalah pencopotan sejumlah jabatan, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo dari Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Brigjen Pol. Hendra Kurniawan dari Karopaminal Divpropam Polri, Brigjen Pol. Benny Ali dari Karoprovos Divpropam Polri, dan Kombes Budhi Herdi Susianto dari Kapolres Jaksel.Selanjutnya, Listyo Sigit mengizinkan untuk mengautopsi ulang jenazah Brigadir J di Jambi, Rabu (27/7), untuk mengetahui lebih jelas penyebab kematian tersebut. Langkah lainnya adalah Listyo Sigit juga menyampaikan informasi perkembangan terkini penanganan penyidikan kasus Brigadir J kepada publik.Transparansi tidak hanya terkait dengan kelembagaan Polri, tetapi juga kinerja penyidikan yang dilakukan anggota Polri terhadap anggota lainnya.\"Keempat langkah di atas, bagi saya, jelas menunjukkan Kapolri ingin menunjukkan konsistensi kerja dan penegakan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang. Termasuk dalam keterangan pers terakhir Kapolri menyatakan sudah memeriksa 25 anggota,\" ujar Ngasiman. (Ida/ANTARA)
Komnas HAM Membuka Peluang untuk Periksa 25 Polisi yang Tidak Profesional
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI membuka peluang memeriksa 25 polisi yang telah diperiksa Inspektorat Khusus Tim Khusus Polri terkait tidak profesional dalam menangani tempat kejadian perkara (TKP) di rumah Irjen Polisi Ferdy Sambo.\"Belum, kami belum mengagendakan tetapi tidak tertutup kemungkinan,\" kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Jumat.Sejauh ini, kata Beka, Komnas HAM akan bekerja berdasarkan tahapan yang ada. Khusus hari ini, lembaga HAM tersebut menjadwalkan pemeriksaan uji balistik. Namun, jika Tim Siber datang, Komnas HAM langsung melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan.\"Tapi kalau ditanya soal 25 anggota polisi tersebut, belum kami putuskan,\" kata Beka.Terkait pemeriksaan uji balistik, Komnas HAM akan mendalami beberapa hal, misalnya penggunaan peluru, register senjata atas nama siapa, kemudian apakah ada peluru yang pecah atau tidak.Beka mengatakan apabila ada peluru yang pecah, apakah polisi menemukan pecahannya atau tidak, termasuk mengonfirmasi temuan-temuan lain dari tim khusus kepolisian dalam kasus kematian Brigadir J.Hingga saat ini Beka mengaku belum mendapatkan keterangan siapa saja yang akan hadir, termasuk jumlah personel yang datang ke Kantor Komnas HAM untuk memberikan keterangan.\"Namun yang jelas mereka sudah konfirmasi pagi ini akan datang ke Komnas HAM,\" kata dia.Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menyebutkan 25 personel Polri tersebut telah menjalani pemeriksaan oleh Irsus Timsus Polri di bawah pimpinan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Polisi Agung Budi Maryoto. (Ida/ANTARA)
Jokowi Minta RKUHP Dibahas Kembali dengan Melibatkan Masyarakat
Jakarta, FNN – Kali ini polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) membuat Predisen Joko Widodo (Jokowi) perintahkan anak buah untuk membahas kembali dengan melibatkan masyarakat. Jokowi menilai masih ada materi yang membutuhkan pendalaman sehingga harus mencermati masukan semua kalangan yang keberatan dengan sejumlah pasal RKUHP. Ia ingin masyarakat betul-betul paham mengenai RKUHP ini. Ketika itu, memang tengah terjadi gejolak. Aktivis dan masyarakat sipil melakukan demonstrasi menolak isi RKUHP. Para akademisi pun menyebut RKUHP sebagai produk kolonialisme. Demikian perbincangan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (4/8/22) di Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (2/8/22). “Tadi Bapak Presiden memerintahkan atau meminta kepada kami dari pemerintah yang terkait dengan ini untuk sekali lagi memastikan bahwa masyarakat sudah paham terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan itu. Sehingga kami diminta untuk mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat untuk memberi pengertian dan justru meminta pendapat dan usul-usul dari masyarakat,” ujar Mahfud. Beberapa pasal dalam rancangan yang dibahas dinilai bermasalah salah satunya adalah Pasal 229, 241, 247, 262, 263, 281, 305, dan 364. Beberapa pasal tersebut menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di Indonesia dan juga akan memberangus pers dan keberadaan pers. Permasalahan dalam deretan pasal tersebut memunculkan polemik hingga menuai pertentangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. “Kita saja sebagai dewan pers, cukup terjekut dengan adanya Undang-Undang di dalamnya yang dirasa akan membelengu kebebasan pers, begitu juga mahasiswa yang mengatakan tidak mendengar dan tidak berbicara,” ungkap Agi. Selain itu, dewan pers merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Hersubeno mengungkapkan bahwa RKUHP ini persoalaan serius karena dampaknya bukan bagi kalangan pers saja, semua kalangan bisa kena, “Kalau saya menyarankan ini publik jangan kalah seriusnya mengawal kasus ini, saya sebutnya ini skandal KUHP,” tuturnya. Lebih lanjut, Agi menambahkan apabila dilihat secara prosedur, rencana Undang-Undang yang akan diundangkan secara resmi semestinya harus ada pendapat dari masyarakat luas, seperti roadshow DPR yang membawa ini ke diskusi para mahasiswa kampus, organisasi, dan pihak yang terlibat. “Banyak juga pubik menanyakan apakah Pak Jokowi tidak membaca sebelumnya, ataukah staff ahlinya yang memberikan intinya, padahal beliau banyak staff khususnya. Sehingga Pak Jokowi tidak terkejut dan meminta disikusikan terlebih dahulu sebelum diundangkan,” pungkasnya. (Lia)
LPSK Tegaskan Bharada E Bisa Dilindungi Asal Jadi Justice Collaborator
Jakarta, FNN – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan Bharada E yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir J masih bisa dilindungi instansi itu asalkan bersedia menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama.\"Kalau ditetapkan sebagai tersangka, LPSK tidak ada kewenangan lagi memberikan perlindungan kecuali yang bersangkutan bersedia menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dalam mengungkap kasus,\" kata Ketua LPSK, Hasto A Suroyo, saat dihubungi di Jakarta, Kamis. Ia menyinggung berdasarkan pasal yang dikenakan kepada Bharada E yakni pasal 338 juncto pasal 55 dan pasal 56 KUHP, maka hal itu bisa menjadi peluang bagi Bharada E sebagai terlindung LPSK.Akan tetapi, ujar dia, hal itu tetap kembali kepada yang bersangkutan apakah bersedia atau sebaliknya menjadi justice collaborator dalam mengungkap kematian Brigadir J.Ia mengingatkan tersangka yang ingin mendapatkan perlindungan dan bersedia menjadi justice collaborator, maka harus memenuhi persyaratan dari lembaga itu.\"Pertama, dia bukan pelaku utama. Dia harus bekerja sama dan mengungkapkan peristiwa yang dia ikut terlibat itu,\" jelas Suroyo.Pascapenetapan tersangka, dia mengaku Bharada E hingga kini belum berkoordinasi dengan lembaga itu apakah bersedia atau tidak menjadi justice collaborator.Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Kepolisian Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi Andi R Djajadi, mengatakan Bharada E ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus yang dilaporkan oleh kuasa hukum keluarga Brigadir J.Dari hasil pemeriksaan 42 saksi, saksi ahli, uji balistik, forensik dan kedokteran forensik termasuk penyitaan barang bukti sudah cukup untuk menetapkan Bharada E sebagai tersangka pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan turut serta. (mth/Antara)