HUKUM
Sindiran Keras Mahfud MD ke Anggota DPR : Kok Diam Soal Kasus Brigadir Yoshua?
Jakarta, FNN – Hingga kini kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat bagikan bola panas yang masih terus bergulir ke segala arah. Kasus ini bukan hanya menyeret puluhan Polri termasuk beberapa jenderal dan penasihat ahli Polri. Saat ini bola panasnya telah bergulir ke DPR, publik kini bertanya mengapa anggota DPR RI khususnya Komisi III yang dikenal galak, tiba-tiba dalam kasus ini terkesan anteng-anteng saja. Pertanyaan serupa juga muncul dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam sebuah dialog Mahfud mengatakan semua masyarakat sekarang heran kenapa semua anggota DPR diam padahal ini perkara besar, biasanya kalau ada apa-apa paling ramai manggil-manggil. Mahfud MD ini menyebut lamanya pengungkapan kasus penembakan Brigadir Yoshua karena dua faktor yakni psikopolitis dan psikohierarkis. Tak berhenti di situ, Mahfud lantas mencontohkan faktor psikopolitis dengan sikap DPR yang dinilainya lebih banyak bungkam atas perkara ini. “Saya kira pak Mahfud ini tidak salah, kita sering sekali melihat drama apabila ada satu kasus pasti anggota DPR kemudian ikut memanggil, tetapi sekarang tenang-tenang saja,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Kamis (11/8/22) di Jakarta. Sindiran Mahfud MD ini sukses memancing diamnya para anggota DPR. Seolah mencari pembenaran, DPR merespons dan menyerang sentilan Menko Polhukam Mahfud MD. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto termasuk yang bersuara lantang membalas sindirian Mahfud MD, menurutnya sikap diam DPR RI karena masih menunggu hasil penyidikan Polri. Bambang Pacul lantas mempertanyakan, kinerja Mahfud MD sebagai Menko Polhukam. Menurut Pacul, Mahfud sebagai Menteri seharusnya bisa menunggu kinerja Polri dalam pengusutan dugaan pembunuhan Brigadir Yoshua. “Jadi kalau Menko Polhukam ngomong bahwa itu DPR kok tidak ribut justru karena DPR sadar posisi. Kita malah justru bertanya apakah Menko Polhukam itu punya posisinya memang tukang komentar?” kata Pacul. Politikus PDI Perjuangan ini mempertanyakan mengapa Mahfud kerap berkomentar di luar batas dalam pengusutan kasus Brigadir Yoshua. Bahkan, Mahfud sempat menyebut Polri akan mengumumkan tersangka ketiga, sebelum Polri mengumumkan secara resmi tersangka tersebut. Selain itu masih banyak lagi anggota DPR lain yang masih kebakaran jenggot karena kritikan Mahfud MD. “Kritikan Mahfud MD ini tidak semuanya benar dan juga tidak semuanya salah, namun di luar itu kalau kita jelih mengamati seluruh pernyataan pak Mahfud selama kasus tewasnya Brigadir Yoshua, pasti ada sesuatu dibalik pernyataannya ada target dibalik itu, banyak pernyataannya yang kemudian terbukti. Maka saya mengajak anda mencerna sindiran pak Mahfud ke DPR itu,” pungkas Hersubeno. (Lia)
Fahmi Alamsyah Diduga Menulis Skenario Drama Ferdy Sambo
Jakarta, FNN - Nama Fahmi Alamsyah belakangan mendapat sorotan karena diduga memiliki peran dalam insiden tewasnya Brigadir Yoshua Hutabarat. Diketahui, Fahmi membantu Irjen Ferdy Sambo dalam menyusun draf keterangan pers kepada awak media soal kematian Brigadir Yoshua. Fahmi merupakan Penasihat Kapolri Bidang Komunikasi Publik sejak tahun 2020 saat Jenderal Idham Azis menjabat. “Orang-orang yang mengenal Fahmi tentu banyak bertanya kompetensi apa si Fahmi ini kok bisa menjadi Penasihat Ahli Kapolri Bidang Komunikasi Publik,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam perbincangan bersama Agi Betha di kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (11/8/22) di Jakarta. Hersubeno menyebut belakangan ini Fahmi membuat marah para Penasihat Ahli Kapolri lainnya karena berupaya menggiring untuk mempercayai skenario pembunuhan terjadi akibat baku tembak antara Bharada Richard Eliezer (Bharada E) dan Brigadir Yoshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Salah satu Penasihat Ahli Kapolri Bidang Hukum, Chairul Huda mengaku upaya penggiringan opini itu terjadi saat para penasihat ahli Kapolri mendiskusikan saran terbaik untuk Kapolri Listyo. \"Dia menyampaikan masukan-masukan (di forum diskusi penasihat ahli) yang menggiring kami untuk percaya skenario itu. Kan kurang ajar namanya itu,\" ungkap Chairul. Kecurigaan soal campur tangan Fahmi Alamsyah dalam kasus ini terendus saat Fahmi mengirimkan sejumlah tautan berita dengan narasi seperti yang dibuat Ferdy Sambo. Chairul curiga bahwa Fahmi telah mengarahkan media-media itu untuk memuat tulisan tersebut. \"Dia menyampaikan link-link berita yang menggambarkan peristiwa itu seperti apa yang disampaikan di dalam press release. Boleh jadi link itu dia yang men-gdrive,\" ujarnya. Chairul menilai, dengan latar belakang komunikasi publik yang dimiliki Fahmi Alamsyah, bukan tak mungkin dia memiliki relasi yang baik dengan media. Persoalaan ini juga disinggung oleh Agi Betha, ia menyampaikan bahwa ada kesaksian dari salah satu wartawan soal sosok Fahmi ini. “Ada salah satu wartawan senior yang mengatakan berani untuk bersaksi bahwa selama dua tahun satu kantor sama Fahmi, ia tidak pernah melihatnya membuat dan menulis berita,” tuturnya. Agi menyatakan artinya Fahmi ini bukan seorang wartawan atau jurnalis. Fahmi pernah bekerja di media namun bukan jurnalis ata peliput melainkan dibidang lain. “Fahmi ini memiliki Perusahaan Public Relations ,sehingga dimata orang yang tidak tau kinerjanya bahwa ketika dia bekerja dimedia sebagai apa, maka orang menganggap dia sebagai orang yang expert dalam bidang komunikasi, sehingga dia menjadi Penasihat Ahli Kapolri,” lanjut Agi. Lebih lanjut, Hersubeno menanyakan atas dasar apa seseorang dapat diangkat menjadi penasihat ahli, “karena ini berbahaya sekali, seseorang yang menjadi penasihat ahli itu memberikan masukan sesuai kompetensinya,” pungkasnya. (Lia)
Satgasus Merah Putih Dibubarkan Kapolri
Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo secara resmi membubarkan satuan tugas khusus (Satgasus) merah putih di dalam institusi Polri.\"Kapolri sudah menghentikan kegiatan dari Satgasus Polri, sudah tidak ada lagi Satgasus Polri,\" kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo di Mako Brimob, Depok, Kamis malam.Dedi menegaskan pembubaran jabatan non struktural itu karena dianggap tidak diperlukan lagi. Satgasus merah putih terakhir dipimpin oleh Irjen Pol. Ferdy Sambo, sebelum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir J.Satgasus merah putih pertama kali dibentuk pada 2019 oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Pembentukannya melalui surat perintah (sprin) nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019.Satuan tugas itu memiliki beberapa fungsi diantaranya melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang menjadi atensi pimpinan di wilayah Indonesia dan luar negeri. Selain itu, Satgasus juga bertugas menangani upaya hukum pada perkara psikotropika, narkotika, tindak pidana korupsi, pencucian uang dan ITE.Irjen Pol. Ferdy Sambo tercatat pertama kali menjabat sebagai Kasatgasus Merah Putih pada 20 Mei 2020, lewat Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020. Saat itu Sambo masih mengisi posisi sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.Posisi Sambo sebagai Kasatgasus Merah Putih kemudian kembali diperpanjang hingga akhir 2022. Keputusan itu tertuang melalui Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Surat tersebut berlaku mulai 1 Juli 2022 hingga 31 Desember 2022. (Sof/ANTARA)
Gaya Mewah Keluarga Ferdy Sambo Bikin Melongo, Bukan Soal Iri, Ini Soal Etika.
Jakarta, FNN - Gaya hidup mewah keluarga Irjen Ferdy Sambo kini menjadi sorotan publik pasca penetapan tersangka mantan Kadiv Propam itu pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam waktu Indonesia. Dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis (11/8/22) di Jakarta, pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief angkat bicara mengenai persoalaan tersebut. Mereka menegaskan bahwa gaya hidup keluarga Ferdy Sambo harus dibongkar kepada publik karena dianggap telah menimbulkan kecurigaan. Berikut petikannya : Selamat pagi Bung Rocky. Apa kabar? Senang sekali kita ketemu lagi di hari Kamis ini. Iya, setiap pagi semua head line itu menunggu perkembangan berita Sambo dan seolah-olah orang tetap juga ada sesuatu yang tidak sekadar menyangkut kriminal, tetapi soal permainan uang, soal kehidupan yang mewah atau berlebih paling tidak. Kan semua sudah terekspos ke rakyat. Jadi ada satu cara baru sebetulnya untuk menguji peristiwa ini, sekaligus menguji gaya hidup para Jenderal. Itu intinya. Nah, ini menarik karena Anda menguji gaya para Jenderal dan saya kira ini fokus pada angle kita selama ini soal etika ya. Karena sebenarnya muaranya nanti semua pada soal itu. Mulai dari etika pribadi sampai etika kehidupan bernegara. Nah, sejak kemarin sudah mulai bocor video-video rekaman CCTV. Saya tidak tahu bagaimana bisa hasil ini penyidikan ini muncul ke media. Ini pasti ada operasi-operasi dan dengan target tertentu kita tidak tahu apakah ini dibocorkan oleh keluarga Ferdy Sambo sendiri, atau tim Pak Sambo sendiri, atau oleh penyidik yang sekarang bersaing dengan Ferdy Sambo. Itu ada juga faktor-faktor seperti itu, faktor office politicking yang selalu kita sebut di Mabes Polri. Tapi nanti kita bahas soal itu juga. Terus ada soal staf ahli yang mulai saling hajar juga di antara mereka sendiri, karena mereka menggunakan istilah Fahmi Alamsyah ini dianggap menyesatkan sebagai kurang ajar, ada seorang ahli yang menyebut kurang ajar. Juga Pak Benny Mamoto yang masih terus disorot oleh publik. Tetapi dia membela diri “kan saya cuma menyampaikan apa yang dikatakan oleh Kapolres Jakarta Selatan”. Mari kita mulai dari CCTV itu. Kan saya kemarin ngomong salah fokus dengan gaya hidup dari Ferdy Sambo. Ternyata ketika pulang dari Magelang kelihatan sekali bagaimana istri seorang Irjen dikawal moge dan mobil Patwal. Apa urgensinya ada seorang istri jenderal sampai diperlakukan seperti itu. Belum lagi kalau kita lihat kita juga bertanya-tanya, kok bisa Ferdy Sambo sampai punya delapan orang ajudan dan pengawal dan sopir yang semua dari kepolisian. Itu kan biaya negara semua. Ini Bung Rocky, nanti kita ngomongin dari sisi berapa sih sebenarnya gaji polisi dan sebagainya. Ya, itu juga yang memang kita nggak jelas itu fasilitas itu untuk apa. Kalau misalnya kepala Densus 88 yang di jalan itu pasti musti dikawal dengan lengkap karena beliau punya kegentingan khusus. Jadi sebut kegentingan khusus itu melekat pada seseorang yang jabatannya memang setiap saat rawan. Kadensus, misalnya, atau kepala badan penanggulangan teroris (BNPT). Semua pejabat ini memang harus dikawal ketat itu karena sedikit saja lengah, dia diincar oleh teroris, diincar oleh macam-macam jebakan. Tapi Pak Ferdy Sambo kan kedudukannya hanya ingin orang melihat beliau tampil bila ada kasus, lalu kasih keterangan etis. Gitu kan. Jadi ya nggak ada orang yang merasa bahwa Pak Sambo itu punya kegentingan. Bahkan, orang menganggap Pak Sambo sebagai Propam itu justru yang ke paling dekat dengan masyarakat. Jadi berbaur saja kan? Mustinya begitu cara berpikirnya. Tetapi, sekali lagi, saya perhatikan memang ada kelompok perwira yang hidupnya berlebih dan terlihat secara kasat mata. Padahal, saya kenal beberapa Jenderal yang justru hidupnya mengejar pengetahuan. Jadi ikut sekolah lagi, masuk sekolah, sudah jadi Doctor masih mencari pelajaran yang lain, ilmu yang lain, dengan cara yang betul-betul dari awal itu. Jadi ada yang menumpuk pengetahuan, ada yang menumpuk kekayaan. Itu bedanya. Tetapi, sekali lagi, publik sekarang mulai merasa bahwa yang beginian ini memang harus dibongkar supaya jelas apa fungsi dari seseorang sehingga harus menyembunyikan kekayaan, misalnya. Tidak melaporkan secara lengkap artinya menyembunyikan. Jadi, ini intinya. Jadi, kalau kita balik pada public ethic, kita ingin supaya kepejabatan publik itu betul-betul transparan karena dia hidup dalam upaya untuk memberi harapan pada publik tentang keadilan. Kalau sendiri berbuat tidak adil itu artinya ada sesuatu yang aneh dalam reputasi dia sebagai pejabat. Dia hidup untuk memberi contoh kesederhanaan. Kalau dia sendiri bermewah-mewah itu artinya ada hal yang dicurigai oleh rakyat. Jadi jarak antara pemimpin dan rakyat itu makin lama makin jauh. Kalau kita protes bahwa disparitas ekonomi antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia, misalnya bisa diperlihatkan dengan genre ratio itu betul-betul timpang. Kita juga bisa melihat jarak etis antara pemimpin dengan rakyat makin jauh. Jadi hal-hal semacam ini menimbun kecurigaan sekaligus ya sebut saja dendam sosial. Nah, karena itu polisi kemudian terus menerus menjadi sasaran tembak, sasaran sinisme, sasaran satire, karena memang terlihat kemewahan-kemewahan itu seolah-olah nggak bisa lagi ditutup-tutupi. Jadi itu intinya kenapa kita selalu ingin selalu dalam forum FNN public ethic itu nomor satu, terutama untuk para pejabat publik. Kan itu masalah kita. Ya, oke. Nah, kan tadi kita singgung soal laporan kekayaan. Memang betul disebutkan ini bahwa kekayaan Ferdy Sambo ketika dicari oleh wartawan ternyata tidak tercantum di laporan harta kekayaan. Dan ketika ditanyakan ke KPK, katanya pada tahun 2001 itu memang Ferdy Sambo membuat laporan harta kekayaan, tapi tidak lengkap sehingga tidak bisa dipublikasikan. Jadi kalau tidak kenapa? Mari kita intip berapa besar gaji para Jenderal polisi ini. Ini saya baca di artikel disebutkan bahwa Jenderal polisi (Jenderal bintang 4), gajinya 5,23 juta hingga 5,93 juta; Komisaris Jenderal Polisi 5,07 juta hingga 5,97 juta; Inspektur Jenderal polisi. ini pangkatnya Ferdy Sambo 5,29 juta hingga 5,57 juta. Brigadir Jenderal Polisi 3,29 juta hingga 5,4 juta. Saya sih jujur melihat memang semacam ini nggak pantas untuk seorang Jenderal Bintang Empat, terlalu rendah. Tapi saya tahu gaji pokok, kemudian ada tunjangan-tunjangan. Katakanlah gaji mereka itu kita bulatkan saja misalnya sampai 50 juta, tetap saja tidak bisa menunjang gaya hidup mewah seperti seorang Ferdy Sambo. Ada dua mobil Lexus, ada Alphard, macem-macem. Itu kan sebenarnya tidak ada urusan juga dengan jabatan tersebut. Bisa ada seorang perwira pertama, misalnya, di kantongnya bisa bawa dollar yang puluhan ribu. Lalu orang curiga. Ya enggak. Dia memang lagi bertugas, karena perlu uang untuk ngintip bandar narkoba, untuk aktivitas spionase, jadi dia diberi uang oleh negara untuk melakukan aktivitasnya. Dia terlihat mewah itu masuk keluar hotel, duduk seolah ya dia lagi nyamar saja, karena itu tugas dari seorang yang memang lagi mengintai kejahatan. Jadi dia musti diperlengkapi senjata, termasuk uang untuk kamuflase dan macam-macam itu. Tapi kalau kedudukannya seperti Pak Sambo yang adalah Kepala Divisi Propam, itu kelihatannya kurang pantas. Kan tidak ada kegiatan spionase di situ. Itu kegiatan yang betul-betul keperluan internal polisi, tidak ada urusan dengan soal-soal BNPT atau teroris segala macam. Jadi, memang orang mencurigai kok yang dipamerkan itu adalah wilayah yang menyangkut kehidupan mewah. Itu intinya. Jadi, sekali lagi, kita mau sebetulnya polisi ya digaji saja 10 kali lipat, tidak ada soal. Tetapi, di dalam upaya itu juga kita tuntut satu kepastian bahwa perilaku polisi itu betul-betul perilaku hidup sederhana. Karena dia pelayan publik. Kan nggak bisa orang yang melayani publik itu terlihat justru berjarak dengan publik. Itu intinya. Saya ingin betul etik itu ditegakkan, dan sambil berterima kasih pada polisi yang benar-benar ingin etikanya atau kehidupan profesionalnya itu dihargai oleh rakyat. Jadi sebaiknya tambah ilmu pengetahuan, bukan tambah kekayaan. Karena toh nanti setelah pensiun orang akan nilai lagi itu. Kok jadi lain sesudah pensiun kayaknya bertambah kekayaannya. Padahal sebetulnya di awal tidak ada pelaporan. Kan itu masalahnya. Ya. Jadi jangan salah memahami ya. Kita juga ingin para aparat keamanan kita yang menjaga keamanan kita, itu juga menjalankan negara ini digaji secara pantas. Tetapi, kita juga tidak ingin kalau pejabat dengan alasan tidak digaji secara pantas kemudian mereka melakukan korupsi. Kan ini bukan sebuah aksioma. Ya. Itu kan tetap ada perimbangan antara penugasan, fungsi, dan pendapatan. Itu masuk akal. Semakin berbahaya tugas seseorang, imbalan upahnya juga harus makin bagus. Itu intinya. Misalnya, Departemen Pajak pegawai-pegawai mudah atau rentan untuk melakukan korupsi di situ. Oleh karena itu, gajinya musti dinaikkan supaya kehidupan nyata dia itu tidak lagi tergiur oleh uang orang lain. Kan itu soalnya. Jadi meritokrasi juga diperlukan dalam kerangka ini, yaitu keseimbangan antar fungsi dan gaji atau pendapatan. Kalau itu bisa dibuat semacam aturannya, lalu orang merasa oke, sudah, jangan lagi nambah-nambah. Tapi itu juga berlaku di tempat yang lain. Dan juga dipamerkan bukan sekedar oleh pejabat kepolisian, tapi juga pejabat –pejabat lain di kampus, misalnya. Kasus yang lalu kan juga di kampus UI, misalnya. Rektor UI, sudah digaji besar, masih juga mencari sambilan di BUMN. Itu sama masalahnya. Dan lebih berbahaya sebetulnya di wilayah Universitas. Jadi dia rakus sebetulnya. Padahal universitas sebetulnya musti rakus ilmu, bukan rakus gaji. Itu intinya. Dan sampai sekarang kita belum dapat keterangan juga itu Rektor UI yang digaji dua kali, digaji oleh negara sebagai Rektor, digaji juga dia cari pendapatan sebagai komisaris. Lalu dia mengundurkan diri. Kita tidak tau apa ada di tempat lain yang bersangkutan dapat tambahan keuangan juga. Jadi, sekali lagi ini soal besar bagi negara ini. Semua institusi itu harus terbuka dan tidak boleh ada rangkap jabatan dengan motif rangkap gaji. Itu bahayanya dan itu buruknya secara etis.
Sidang Lanjutan Kasus Jin Buang Anak, Pemred FNN Patahkan Dakwaan Jaksa
Jakarta, FNN - Sidang ke-21 kasus jin buang anak dengan terdakwa Edy Mulyadi yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 11 Agustus mendengarkan dua orang saksi fakta. Saksi pertama adalah Pemimpin Redaksi Forun News Network (FNN), H. Mangarhon Dongoran dan saksi kedua adalah Firdaus Baderi, Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi Neraca. Dalam kesaksiannya, Mangarahon Dongoran mematahkan seluruh dakwaan jaksa di awal persidangan yang menyebutkan Edy Mulyadi bukan wartawan dan FNN bukan produk jurnalistik. Dia juga nenegaskan, sampai persidangan yang ke-21 belum pernah menerima surat keberatan/hak jawab dan hak koreksi dari pihak-pihak yang melaporkan Edy Mulyadi ke aparat kepolisian. \"Sampai saat ini tidak ada pihak yang menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Padahal, itu mekanisme sengketa pers sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,\" katanya dalam sidang yang dipimpin Adeng Abdul Qohar itu. Dalam kesaksiannya, Mangarahon menegaskan, Edy Mulyadi adalah wartawan senior FNN. Dalam struktur redaksi, Edy Mulyani masuk dalam jajaran Dewan Redaksi FNN. \"Edy Mulyadi adalah wartawan FNN. Saya yang menandatangani kartu pers nya yang berlaku sejak 31 Desember 2021 sampai 31 Desember 2022. Saya juga yang menandatangani surat pernyataan yang menerangkan yang bersangkutan adalah wartawan FNN untuk keperluan orientasi wartawan PWI Jaya. Tanpa surat yang saya tandatangani, tidak bisa mengikuti orentasi wartawan yang merupakan syarat untuk memperoleh kartu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya,\" kata Dongoran. Edy Mulyadi adalah anggota PWI Jaya. Sebagai wartawan senior, kata Dongoran, Edy Mulyadi adalah seorang jusnalis yang kritis. Contohnya, tulisan Edy yang berjudul, \"Kereta Cepat Jakarta Bandung Buat Siapa,\" yang dimuat di FNN.co.id dibaca lebih dari 20.000 kali. \"Artinya, semakin banyak pembaca terhadap tulisan atau berita yang dimuat di sebuah media, menunjukkan isu yang ditulis penting dan sangat berbobot,\" ucap Dongoran. Dalam kesaksiannya, Dongoran juga menyebutkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai landasan dasar bagi setiap insan pers dalam melakukan kegiatannya. Dia menegaskan, FNN adalah media resmi yang berbadan hukum sesuai perintah UU tersebut. Semua diatur dalam UU yang lahir pasca reformasi itu. \"Karena FNN adalah perusahaan media berbadan hukum, maka kami sebagai pengelola tunduk dan patuh terhadap UU tersebut,\" katanya. Dia mengutip contoh pasal 12 UU tersebut. Kemudian, diikuti penjelasan mengenai pasal itu yang terdiri dari tiga butir, khususnya menyangkut media elektronik, termasuk YouTube. Seusai persidangan, Dongoran yang antara lain didampingi Herman Latief (pengacara Edy Mulyadi) mengingatkan kembali apa yang disampaikan Edy dalam Channelnya merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, media harus kompak menghadapi perlakuan yang tidak adil itu. \"Jangan lihat Edy-nya, tetapi lihatlah masa depan pers ke depan. Jika hal itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan bermunculan kasus Edy yang lain,\" kata Dongoran. Sidang ditunda hingga Selasa, 23 Agustus 2022. Majelis Hakim masih memberikan kesempatan kepada tim penasihat hukum Edy Mulyadi untuk menghadirkan saksi ahli. (Anw).
Motif Tewasnya Brigadir J Diungkap di Persidangan
Jakarta, FNN - Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto mengatakan pengungkapan motif penembakan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh Bharada E atas perintah Irjen Pol. Ferdy Sambo pada saat persidangan.\"Untuk menjaga perasaan semua pihak, biarlah jadi konsumsi penyidik dan nanti mudah-mudahan terbuka saat persidangan,\" kata Agus kepada wartawan di Mabes Polri, Kamis.Agus juga sependapat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mekopolhukam) Mahfud MD bahwa motif ini mungkin hanya bisa didengar oleh orang dewasa.Senada dengan Kabareskrim, Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengemukakan bahwa Polri ingin menjaga perasaan kedua belah pihak, yakni Brigadir J selaku korban maupun Ferdy Sambo selaku tersangka, terkait dengan motif penembakan itu.\"Untuk motif ini Pak Kabareskrim harus menjaga perasaan dua pihak, baik pihak dari Brigadir Yosua maupun pihak Saudara FS. Pak Menkopolhukam juga sudah menyampaikan. Karena ini masalah sensitif, nanti akan dibuka di persidangan,\" kata Dedi.Menurut Dedi, jika motif dibuka ke publik saat ini, dapat timbulkan citra atau gambaran yang berbeda-beda karena motif merupakan materi penyidikan yang nantinya akan diuji di persidangan.\"Ya, di persidangan silakan. Kalau nanti dikonsumsi ke publik timbul image (citra) berbeda-beda karena ini materi penyidikan dan semuanya nanti akan diuji di persidangan, semuanya akan disampaikan ke persidangan,\" ujarnya.Saat ditanyakan apakah motif tersebut terkait dengan dugaan perselingkuhan, Dedi menegaskan, \"Nanti itu (motif) di persidangan.\"Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus penembakan Brigadir J, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka Ricky Rizal, dan satu tersangka sipil bernama Kuat Maruf atau KM.Penetapan keempat orang itu sebagai tersangka atas dugaan melakukan pembunuhan berencana, Bharada E menembak Brigadir J atas perintah Irjen Pol. Ferdy Sambo, sedangkan tersangka Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf ikut melihat dan membiarkan peristiwa tersebut terjadi.Para tersangka dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (Ida/ANTARA)
Ada Indikasi Kuat Pelanggaran HAM Dalam Kematian Brigadir J
Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menemukan adanya indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM dalam kasus kematian Brigadir J khususnya yang mengarah pada obstruction of justice atau upaya penghambatan penegakan hukum.\"Makanya salah satu fokus kami misalnya soal obstruction of justice dalam konteks kepolisian itu perusakan tempat kejadian perkara,\" kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Kamis.Komnas HAM, kata dia, mendalami dan memperhatikan terkait obstruction of justice dalam kasus tersebut. Sebab apabila ditemukan, hal itu merupakan bagian dari pelanggaran HAM.\"Jadi kalau pertanyaannya saat ini banyak ditemukan indikasi adanya pelanggaran HAM khususnya soal obstruction of justice ? Indikasinya sangat kuat,\" kata dia.Ia mengatakan dalam konteks hukum biasa atau kasus kematian Brigadir J, obstruction of justice terkait dengan perusakan tempat kejadian perkara, pengaburan cerita dan lain sebagainya. Namun, dalam konteks HAM yang lebih luas mengarah kepada hambatan terhadap proses penegakan hukum.Komnas HAM, ujarnya, belum bisa menyimpulkan apakah hal tersebut terjadi atau tidak. Namun, kuat indikasi mengarah pada terjadinya obstruction of justice dalam kasus tewasnya Brigadir J dengan tersangka Bharada E, RR, KM dan Irjen Polisi Ferdy Sambo.Sementara itu, terkait pemeriksaan Ferdy Sambo, Kadiv Humas Polri Irjen Polisi Dedi Prasetyo mengatakan tim khusus Polri berkoordinasi dengan Komnas HAM yang juga mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Kadiv Propam Polri itu.\"Kemudian untuk Komnas HAM, karena hari ini ada pemeriksaan Irjen FS sebagai tersangka maka fokus tim khusus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Sehingga Irjen FS, belum bisa diperiksa Komnas HAM, karena pemeriksaan tim khusus Polri sifatnya pro justitia,\" kata Dedi. (Ida/ANTARA)
Terkait Kasus Brigadir J, Polri Menyelidik Tersangka Lain
Jakarta, FNN - Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto menyebutkan tersangka penembakan terhadap Brigadir J ditetapkan empat orang, namun penyidik tim khusus Polri masih bekerja untuk menetapkan tersangka lainnya untuk kasus turunan yakni pelanggaran etik dan obstruction of justice.“Kalau untuk kasus penembakan sudah lengkap (empat tersangka). Kasus turunannya, kami tunggu Itsus (Inspektorat Khusus) sedang mendalami peran mereka,” kata Agus dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Kamis.Terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menjelaskan, kasus turunan yang dimaksudkan adalah pelanggaran etik dan menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti (obstraction of justice) yang dilakukan oleh 31 personel Polri.Pemeriksaan ini dilakukan oleh Tim Itsus di bawah pimpinan Wakil Irwasum Polri, yang telah memeriksa sebanyak 56 orang personel Polri, di mana 31 di antaranya terbukti diduga melanggar etik karena tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara (TKP).Selain pelanggaran etiknya, tim juga akan memeriksa pelanggaran unsur pidana yakni terkait menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti.“Ya, tapi kalau ada pelanggaran pidana obstraction of justice akan dilimpahkan ke penyidik untuk diproses pidana,” kata Dedi.Dedi menyebutkan, saat ini kedua tim yakni tim penyidik dan tim Itsus bergerak melakukan pemeriksaan. Tim sidik memeriksa tersangka Ferdy Sambo di Mako Brimob, dan pemeriksaan terhadap tersangka Kuat Maruf di Bareskrim Polri.Kemudian, tim Itsus melakukan pemeriksaan terhadap penyidik dari Polda Metro Jaya di Mabes Polri.“Semua masih berproses rekan-rekan nanti hasilnya akan disampaikan,” kata Dedi.Penyidik tim khusus Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo yang terjadi Jumat (8/7) lalu. Keempat tersangka adalah Irjen Pol. Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR dan Kuat Maruf alias KM.Keempat tersangka dijerat dengan pasal pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (Ida/ANTARA)
Atas Dasar Etika, Sebaiknya Benny Mamoto Minta Maaf dan Mundur!
Jakarta, FNN - Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas, Irjen Pol Benny Josua Mamoto, didesak mundur lantaran mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait pembunuhan Brigadir J, ajudan mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Pada 13 Juli 2022 lalu, Benny Mamoto menyebut tidak ada kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir J. Dia meyakini luka-luka yang ditemukan di tubuh Brigadir J adalah luka tembak. Semua pernyataan Benny terbantahkan oleh pengakuan Bharada Eliezer. Oleh karena itu publik mendesak agar Benny segera mundur. Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan ada hak masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis. “Upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu. Maka sebaiknya Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja,\" katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 10 Agustus 2022. Bagaimana analisis Rocky dalam kasus yang sudah berjalan 1 bulan itu, berikut petikan lengkapnya. Apa kabar Bung Rocky, ini ketemu lagi kita di hari Rabu, dan Rabu ini banyak orang yang sudah merasa lebih lega karena sebuah kasus yang menyandera kita dalam sebulan terakhir ini akhirnya mencapai titik terang dan tidak jauh dari ekspektasi publik, dugaan, kecurigaan, dan ekspektasi sekaligus, yakni ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka bahkan sebagai dalang dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Ini tentu keluarga Yoshua juga lega, Yosua juga yang saya kira di alam sana juga lega, dan publik yang paling penting juga sudah mulai lega. Iya, ini hari Rabu yang menghilangkan banyak keabu-abuan. Dan sebetulnya dari perspektif kasusnya sendiri orang masih menunggu jawaban atas pertanyaan motifnya apa? Kan begitu. Tetapi, yang jelas ada yang jadi tersangka. Memang itu menggiurkan rasa dendam, atau kejengkelan, marah, atau ngamuk tiba-tiba segala macam. Nah, orang tetep nunggu itu. Tetapi, sudah satu hal bisa terang benderang bahwa dengan disebutkan empat tersangka itu artinya fokusnya makin terarah dan publik harus bersabar karena ini menyangkut sesuatu yang tetap ada kehati-hatian. Mungkin orang anggap sudah 4 tapi sangat mungkin juga di atas itu masih ada masih ada master mind-nya. Mungkin tidak melibatkan kasus ini, tapi upaya untuk pembelaan. Tapi sekali lagi Pak Listyo mengambil keputusan yang bagus bahwa seorang pejabat tinggi di Polri, Kepala Divisi Propam, dinyatakan sebagai tersangka. Itu satu tindakan bagus sehingga rasa jengkel publik karena ini berlama-lama bisa tersalurkan. Jadi kejengkelan terhadap penundaan-penundaan ini. Tapi keterangan kemarin juga memang akhirnya masuk akal bahwa memang agak lambat karena harus memutuskan dua hal. Pertama hal kriminalnya; yang kedua hubungan-hubungan etis di antara para pejabat tinggi. Bukan etikanya, tapi hubungan-hubungan etnis di antara para pejabat tinggi. Ya, saya kira itu lebih pas hubungan-hubungan etis. Ini untuk menyaingi istilah-istilah Pak Mahfud kan. Pak Mahfud kan suka kasih istilah-istilah tanda petik juga. Ya kita juga pakai istilah hubungan etis. Itu kira-kira. Kalau Pak Mahfud kan menggunakan istilah code of silent, menggunakan istilah Mabes dalam Mabes? Kondisi kita hari ini menunggu kelanjutan dan penungguan itu juga harus dengan cara yang sama seperti sekarang, konsistensi di dalam mengawal. Dan istana sepertinya terus kasih sinyal supaya ini diselesaikan secara tuntas. Artinya, nggak ada beban lagi pada Pak Sigit sebetulnya kalau Pak Presiden atau melalui Pak Menko kasih sinyal itu. Jadi bersabar saja publik, tetapi terus-menerus kita musti awasi agar jangan sampai melenceng ke mana-mana. Gitu. Tetap upaya kita adalah meminta agar supaya lembaga kepolisian betul-betul tegak dengan misinya, yaitu memberi ketertiban publik, menjaga kedamaian, dan memberi harapan bahwa ada perubahan yang fundamental pada institusi itu. Sebenarnya sejauh ini kan kita tidak bisa membayangkan akan ada semacam peristiwa semacam ini dan kemudian langkah yang dilakukan semacam ini juga oleh polisi, karena kita sama-sama tahu kan semangat dan opininya berlebihan .... dan saling melindungi di antara mereka yang disebut-sebut oleh Pak Mahfud sebagai code of silent. Bahkan, ada orang juga menyebutnya ini seperti sebagai well organized crime karena mereka punya jabatan, punya kewenangan, dan penyebab berbagai persoalan. Saya kira nanti banyak kasus yang dibongkar karena saya membaca di mana-mana sudah mulai ada penggerebekan terhadap judi online. Yang ini diduga merupakan bagian dari operasi dari satgasus Merah Putih yang dipimpin oleh Ferdy Sambo. ,Iya, itu yang orang tunggu. Akhirnya, istilah satgas merah putih ini orang mau tahu apa isinya. Dulu dibentuk oleh Pak Tito. Jadi itu tetap institusi yang orang mau tahu ini institusi apa sebetulnya. Ada bayangan apa di belakang itu. Jadi bayang-bayang dari satgas merah putih ini justru ingin dipersoalkan lagi oleh publik. Tetapi, saya kira Pak Sigit akan ambil seluruh langkah untuk betul-betul momentum ini menghasilkan pembaruan dalam institusi kepolisian. Dan jangan tutup kemungkinan Pak Sambo juga bisa berubah jadi justice collaborator. Itu juga bisa berlangsung. Tetapi pengadilan ini yang akan menentukan. Dalam upaya ke arah pengadilan tentu masih ada penutup sedikit kasus, kira-kira begitu kan. Tetapi, tetap publik maju sama-sama dengan pers, itu kita ingin lihat institusi ini kembalikan Polri jadi institusi yang mewah secara etis, bermutu secara profesional, dan rekruitmen-rekruitmen pejabat Polri, termasuk para penasihat Kapolri, itu musti transparan. Karena bagaimanapun, penasihat Kapolri itu mewakili pikiran rakyat. Kapolri itu sebetulnya dinasihati oleh publik, oleh rakyat, di bidang media, di bidang humas, atau di bidang keahlian teknis tertentu. Itu diperlukan memang, tetapi juga harus terbuka supaya orang anggap bawah yang direkruitmen itu betul-betul mampu untuk memberi rasa batin yang lega pada publik bahwa itu bukan sekadar stafnya Kapolri, tapi itu adalah wakil rakyat yang kemudian menjadi staf khusus Pak Kapolri. Kan itu intinya. Iya, ini juga lagi ramai dibicarakan, setelah kasusnya sudah jelas, ini siapa pelakunya, siapa dalangnya, sudah jelas. Tetapi, kemudian ada heboh soal staf khusus Kapolri bidang komunikasi publik Fahmi Alamsyah mengundurkan diri karena sebelumnya juga sempat disidang oleh staf khusus yang lain. Ini karena dia disebut-sebut, salah satunya oleh Tempo, yang menyebutkan bahwa Fahmi ini berperan dalam membuat skenario, skenario awal yang muncul pada publik bahwa itu terjadi tembak-menembak. Kemudian ditambahkan oleh Pak Ferdy Sambo bahwa persoalannya berlatar belakang pelecehan seksual. Kan begitu yang muncul. Banyak orang menyebut bahwa Fahmi Alamsyah adalah wartawan. Saya kenal dengan dia. Tetapi, saya cek kepada teman-teman karena kemarin saya sempat menyebut bahwa dia pernah menjadi wartawan di Media Indonesia, tapi menurut teman-teman, dia tidak pernah menjadi wartawan. Jadi jangan publik juga salah. Ini wartawan juga ngaco, ternyata malah bikin skenario bohong yang disebarkan ke publik. Iya, itu mungkin keahlian humas Fahmi diperlukan oleh Kapolri, keahlian humas. Jadi orang mesti terangkan apa yang dimaksud dengan keahlian hubungan masyarakat. Tapi, apapun pengunduran diri Pak Fahmi itu sangat baik sehingga orang langsung mengerti bahwa oke ada sesuatu yang membuat Saudara Fahmi memutuskan untuk mengundurkan diri supaya tidak menghalangi proses yang masih berlanjut ini. Itu juga satu sikap yang baik. Bahwa nanti saudara Fahmi ya pasti akan jadi sosok yang juga penting keterangannya nanti di pengadilan, itu hal yang positif. Tetapi, sekali lagi kita ingin agar supaya bau-bau, kan sering dianggap ada wartawan istana, ada wartawan Mabes, ada wartawan macam-macam itu, musti kita anggap bahwa kewartawanan itu yang lebih penting daripada statusnya di lokasi itu. Jadi seolah-olah kalau wartawan istana punya akses yang lebih bagus. Bukan, karena wartawannya bermutu maka ditempatkan di istana, karena wartawannya punya pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kepolisian maka dia ada di Mabes Polri. Jadi musti anggap bahwa wartawan ada di satu lokasi karena keahliannya dan kompetensinya. Nah, sekarang mulai terjadi isu bahwa kalau ada di Kapolri itu berarti bonusnya banyak, bonus dalam tanda petik. Kalau dari istana aksesnya lebih bagus. Oh, enggak. Itu kita anggap justru karena profesionalismenya, wartawan itu bisa dekat dengan narasumbernya. Jadi ini yang saya kira baik untuk diterangkan. Sekarang kita fokus ke masalah etik ya, karena pagi ini sebenarnya saya kembali mendapat kiriman video dari Ketua Harian Kompolnas, Pak Benny Mamoto, yang ternyata dia merupakan bagian dari yang menjelaskan bahwa terjadi tembak-menembak, kemudian Bharada Richard E adalah jago tembak, bahkan pelatih tembak. Nah, orang kemudian mulai menuntut bahwa ini kan juga bagian dari pembohongan publik. Dan selama ini banyak sekali contoh bahwa orang yang melakukan kebohongan itu bisa dipidana. Nah, ini persoalannya Pak Benny ini menjadi pengawas dari kepolisian. Jadi kalau sekarang kredibilitas dia dipertanyakan kepada publik, saya kira tak ada salahnya melakukan hal seperti Fahmi Alamsyah, mengundurkan diri. Iya, betul. Standard etis itu musti ada. Pak Benny Mamoto harus bikin refleksi kenapa kalimat itu muncul? Kalau keterangan persnya baik orang akan terima. Tapi kalau orang menganggap bahwa tidak ada yang memungkinkan Pak Benny Mamoto mundur, Pak Benny musti membela diri. Apakah itu kalimat dia atau dia mengungkapkan sesuatu dalam konteks, tapi sudah keburu terbaca bahwa keterangan Pak Benny Mamoto itu sama dengan keterangan awal dari Kapolres Jakarta Selatan. Jadi sebetulnya orang akan anggap kok Pak Benny tidak lakukan verifikasi. Tapi itu urusan Kompolnas, bukan lagi bagian dari kepolisian. Jadi adalah hak dari masyarakat sipil untuk meminta kesetaraan di dalam standar etis. Memang Pak Benny lebih bagus meminta maaf dan mengundurkan diri saja. Supaya orang tahu bahwa dia ada kesalahan, tapi sudah diperbaiki, tapi Pak Benny integritasnya sehingga dia menganggap oke walaupun sudah diterangkan tapi lebih baik saya mengundurkan diri. Jadi itu tradisi yang bagus. Kesalahan ucap bagi pejabat yang akan mempengaruhi opini publik sebaiknya langsung secara moralnya itu, panggilan hatinya itu, mengatakan oke saya berbuat salah dan itu bukan dalam upaya untuk mempertahankan diri, tapi justru dalam upaya untuk membersihkan diri. Saya kira ini memang momentum bahwa kita semua harus menerapkan standar etik yang bagus. Polisinya jelas penting etikanya harus tinggi, wartawannya juga etikanya harus tinggi, Kompolnas etiknya harus tinggi, dan lebih penting lagi para penguasa/para pejabat kita, itu etikanya harus tinggi. Karena kalau kita baca komentar Pak Mahfud MD, misalnya, sekarang mulai menyindir-nyindir tentang teman-teman di DPR. Katanya kok diam saja dalam kasus Ferdy Sambo ini, padahal biasanya kalau ada kasus begini DPR paling cepat panggil sana panggil sini. Apalagi Komisi 3 ini banyak yang kebakaran jenggot karena misalnya Trimedya menyatakan bahwa dari awal dia sudah mengawal kasus ini. Iya sih, memang awal-awal PDIP kenceng. Tapi belakangan ini tidak pernah kedengaran lagi suara PDIP. Itu penting kita ikuti prinsip Pak Mahfud untuk menegur karena kok Komisi 3 diam. Dan kita tentu juga ingin dengar teguran Pak Mahfud kenapa dalam kasus km 50 Komisi 3 juga diam. Kan begitu supaya setara. Jadi Pak Mahfud juga harus ucapkan bahwa banyak sinyal di mana Komisi 3 juga diem. Itu soal hak asasi manusia, soal mungkin selalu memang ada hubungan strategis antara Komisi 3 dan kepolisian karena ia adalah partner di dalam pembuatan kebijakan, dan semua isu tentang Komisi 3 itu juga terkait dengan perilaku Komisi 3 yang permisif kalau itu menyangkut kepentingan kepolisian. Dan orang menduga bahwa oke itu berarti ada sesuatu di dalam hubungan itu. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa itu meloloskan legislasi selalu musti lobi Komisi 3. Dan ini pentingnya supaya kepolisian itu nggak merasa terhalang untuk bahkan untuk mengatur anggaran sehingga harus pilih dengan Komisi 3. Kan kita selalu ingin ada keterbukaan bahwa kepolisian butuh anggaran, tapi kepolisian harus declaire bener-bener buat kebutuhan itu adalah demi masyarakat, bukan demi Komisi 3, atau bukan demi komisi untuk Komisi 3. (Ida/sof)
Dumai Tangkap 45 WNI dan 13 WNA
Pekanbaru, FNN - Sebanyak 45 WNI dan 13 WNA asal Bangladesh dan Myanmar ditangkap Selasa (9/8) oleh aparat penegak hukum karena dicurigai akan bepergian ke Malaysia secara ilegal setelah sempat berada sekitar jalan lintas Dumai-Sei Pakning, Provinsi Riau.\"Saya perintahkan seluruh jajaran keimigrasian untuk memperketat pengamanan, terutama di pelabuhan laut, bandara, pos lintas batas dan tempat lainnya yang merupakan jalur keluar-masuk wilayah Indonesia,\" kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau, Mhd. Jahari Sitepu di Pekanbaru, Rabu.Ia juga memerintahkan jajarannya agar jangan sampai kecolongan, memeriksa seluruh dokumen Keimigrasian dengan teliti dan memperkuat intuisi untuk mengantisipasi hal-hal yang mencurigakan.Khusus jajaran Keimigrasian di wilayah Dumai, katanya, agar memperketat penjagaan terutama pada Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).\"Jangan segan-segan untuk segera menindak pelanggaran keimigrasian demi keamanan dan ketentraman negara kita tercinta ini,” pesan Kakanwil.Sebagai wilayah yang berada di perbatasan, kata Sitepu, semua pihak harus lebih ekstra hati-hati sebab Riau kerap dijadikan sasaran empuk sebagai jalur penjualan manusia (human trafficking) bahkan penyelundupan narkoba.Untuk itu Sitepu meminta seluruh jajaran keimigrasian untuk selalu memperkuat sinergitas dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait demi meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.Kepala Kepolisian Sektor Medang Kampai AKP. Edwi Sunardi, beserta tim yang berhasil mengamankan 58 orang mencurigakan tersebut melaporkan bahwa 45 orang merupakan Pekerja Imigran Indonesia (PMI) yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, 12 orang merupakan WNA asal Bangladesh dan satu orang merupakan WNA asal Myanmar.\"Dari hasil penyelidikan bahwa ke 58 orang tersebut akan memasuki Malaysia pada malam hari dengan menggunakan speedboat, namun pada saat sampai di TKP tidak ada dijumpai tekong ataupun sponsor yang akan memberangkatkan para pekerja imigran tersebut,” kata Edwi.WNA ilegal tersebut dengan modus operandi berangkat dari negara asal Banglades dan Myanmar dengan menggunakan pesawat dengan tujuan Malaysia, namun ditolak kemudian menuju Jakarta, selanjutnya dari Jakarta naik bus menuju Kota Dumai, sesampainya di Dumai kemudian dikoordinir untuk diberangkatkan secara ilegal kembali ke Malaysia dengan menggunakan speedboat.Hingga saat ini, PMI dan imigran ilegal tersebut diamankan di Mapolres Dumai guna pengusutan lebih lanjut. (Sof/ANTARA)